Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853� e-ISSN : 2684-883X

Vol. 2, No. 5 Mei 2020

 


ANALISIS FAKTOR GAYA HIDUP YANG BERHUBUNGAN DENGAN RISIKO KEJADIAN GASTRITIS BERULANG

 

Endah Sari Purbaningsih�

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Mahardika, Cirebon

Email: [email protected]

 

Abstrak

Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung dapat terjadi secara akut atau kronis. Ada beberapa faktor gaya hidup yang mempengaruhi terjadinya gastritis pada individu, penyebab tersering adalah pola makan, stres, merokok, usia, obat-obatan, dan alkohol. Tujuan untuk mengetahui faktor gaya hidup yang berhubungan dengan resiko kejadian gastritis berulang. Metode Penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan menggunakan study cross sectional.Jumlah sampel sebanyak 55 responden. Hasil uji statistik tentang pola makan dengan kejadian gastritis berulang diperoleh nilai p = 0,000 < α = 0,05. tentang merokok dengan kejadian gastritis berulang nilai p = 0,009 < α = 0,05, penggunaan Obat dengan kejadian gastritis berulang diperoleh nilai p = 0,000 < α = 0,05, tingkat stres dengan kejadian gastritis berulang diperoleh nilai p = 0,000 < α = 0,05, minum alkohol dengan kejadian gastritis berulang diperoleh nilai p = 0,000 < α = 0,05. Kesimpulan dari penelitian analisis faktor gaya hidup yang beresiko gastritis berulang adalah pola makan, merokok, penggunaan obat, tingkat stres dan minum alkohol.

 

Kata kunci: Gastritis, �faktor gaya hidup, inflamasi.

 

Pendahuluan

Gaya hidup dicirikan dengan pola perilaku individu yang akan memberikan dampak pada kesehatan individu terutama gaya hidup yang tidak sehat. Diungkapkan oleh (Saydam, 2011) bahwa gaya hidup yang tidak sehat diantaraya adalah merokok, stres, pola makan yang kurang baik dan tidak teratur, konsumsi minuman beralkohol. Gaya hidup tidak sehat ini dapat menimbulkan penyakit pada saluran pencernaan gastritis. Gizi juga acap kali dijadikan sebab kenapa seseorang tidak sehat, sering sakit dan tidak dalam pertumbuhan yang baik (Kurniawan, 2018).

Menurut data dari Departemen Kesehatan RI dalam (Tussakinah W, 2018) angka persentase dari kejadian penyakit gastritis di Indonesia adalah 40,8%. Angka kejadian gastritis pada beberapa daerah di Indonesia itu sendiri cukup tinggi dengan prevalensi persentase 274.396 kasus dari 238.452.952 penduduk. Tingginya prevalensi pada gastritis sangat terasa dampaknya baik pada individu ataupun masyarakat, dampak tersebut dapat berupa menurunnya produktivitas kerja serta bertambahnya pengeluaran untuk biaya pengobatan penyakit. Sebab jika penderita gastritis akut dibiarkan tidak ditangani secara tepat maka akan menyebabkan tukak lambung dan perdarahan pada lambung, dan episode berulang gastritis akut dapat menyebabkan gastritis kronik (Misnadiarly, 2009).

Gastritis adalah satu diantara masalah pencernaan yang banyak di derita orang. (Kurnia, 2012) mengatakan hampir 10% pasien datang ke instansi gawat darurat dengan gejala yang mengindikasikan dokter dengan diagnosa gastritis. Gastritis atau lebih dikenal dengan sebutan �maag� merupakan inflamasi pada daerah lambung tepatnya di mukosa, dengan gejala klinik mual, muntah, nyeri, perdarahan, fatique, nafsu makan berkurang. Terdapat 2 jenis diantaranya akut dan kronik dengan penyebab bersifat multifaktor. Pada gastritis kornis ada kaitannya dengan infeksi, yaitu bakteri Helicobacteri Pylori, dan pada hasil pemeriksaan fisik pasien mengeluh adanya nyeri tekan pada daerah epigastrium atau tukak lambung (Muttaqin & Sari, 2011).

Beberapa faktor yang menyebabkan kejadian gastritis diantaranya adalah pola makan, stres, kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan yang bersifat NSAID, minuman kopi. Seperti halnya yang diungkapkan dalam hasil penelitian (Putri & Agustin, 2010) bahwa penderita gastritis� (100%) mengkonsumsi makanan tidak sesuai atau kurang dari kebutuhan tubuh dengan jenis makanan yang dikonsumsinya tidak bervariasi baik dari nilai gizi (karbohidrat, protein, lemak). Frekuensi makan yang kurang dipengaruhi oleh kebiasaan makan, diet agar berat badan ideal tetap terjaga. Semua ini mengakibatkan sulitnya lambung dalam beradaptasi hingga akhirnya asam lambung meningkat dan timbul iritasi pada mukosa dinding lambung dan timbulah gastritis.

Penelitian lainnya mengatakan bahwa stres mempengaruhi akan kejadian gastritis (60,5%)� dengan nilai α=0,008. Hal dikarenakan stres menimbulkan efek negatif (Megawati, Nosi, & Syaipuddin, 2014). Sistem neuroendokrin bermekanisme dalam saluran pencernaan yang mengakibatkan adanya penurunan aliran darah pada sel epitel lambung dalam melindungi mukosa, akibatnya mudah teriritasi. Ini terjadi karena otak merangsang pengeluaran adrenalin yang menuju ginjal, merangsang proses perubahan glikogen menjadi glukosa dan mempercepat peredaran darah, dengan demikian memicu peningkatan tekanan darah, respirasi meningkat, saluran pencernaan mendapatkan dampaknya, diantaranya kelenjar air liur menghentikan aliran air liur atau bahkan memproduksi berlebihan, lambung memproduksi asam lambung hingga ada muncul gejala mual, iritasi, perih pada tukak lambung, diare, sebagian orang menimbulkan kejang otot (kram otot daerah perut) (Losyk, 2007).

Jumlah pasien di Klinik Detasemen C Pelopor Cirebon rata-rata dalam 2 bulan terakhir adalah 120 pasien dengan diagnosa gastritis, pasien ini rata-rata adalah anggota. Variasi penyebab-penyebab kejadian gastritis atau kekambuhannya, stres pekerjaan, pola makan yang tidak teratur, penggunaan obat-obatan, dan sebagainya. Adanya angka yang tinggi penderita gastritis ini perlu dilakukan penelitian tentang faktor gaya hidup yang berhubungan dengan risiko kejadian gastritis berulang.

 

 

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosa gastritis 120 responden dan jumlah sampel yang diambil adalah 55 responden, sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi (Sugiyono, 2017) pengambilan sampel dengan cara accidental sampling. Pengambilan data ini sebelumnya dilakukan persetujuan dengan menandatangani lembar informed consent. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan kemudian di olah dan dianalisis dengan menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat� yaitu analisis chi-square.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Hasil

Tabel 1

Hubungan Faktor Gaya Hidup Dalam Pola Makan Dengan Kejadian Gastritis Berulang

 

Pola Makan

Gastritis Berulang

Total

p- value

Berulang

Tidak Berulang

N

%

n

%

n

%

Kurang Baik

16

88.9

2

11.1

18

100

0.001

 

baik

14

37.8

23

62.2

37

100

Total

30

54.5

25

45.5

55

100

 

 

Diperoleh nilai p sebesar 0,001 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara pola makan dengan kejadian gastritis berulang.

 

Tabel 2

Hubungan Faktor Gaya Hidup Dalam Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Gastritis Berulang

 

Merokok

Gastritis Berulang

Total

p- value

Berulang

Tidak Berulang

N

%

n

%

n

%

Perokok

19

73.1

7

26.9

26

100

0.019

 

Bukan Perokok

11

37.9

18

62.1

29

100

Total

30

54.5

25

45.5

55

100

 

 

Diperoleh nilai p sebesar 0,019 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara merokok dengan kejadian gastritis berulang.

 

 

 

 

 

 

Tabel 3

Hubungan Faktor Gaya Hidup Dalam Penggunaan Obat-obatan OAINS Dengan Kejadian Gastritis Berulang

 

Obat-obatan OAINS

Gastritis Berulang

Total

p- value

Berulang

Tidak Berulang

N

%

N

%

n

%

Sering

28

100

0

0

28

100

0.000

 

Tidak

2

7.4

25

92.6

27

100

Total

30

54.5

25

45.5

55

100

 

 

Diperoleh nilai p sebesar 0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara penggunaan obat-obatan dengan kejadian gastritis berulang.

 

Tabel 4

Hubungan Faktor Gaya Hidup Tingkat Stres Dengan Kejadian Gastritis Berulang

 

Tingkat Stres

Gastritis Berulang

Total

p- value

Berulang

Tidak Berulang

n

%

N

%

N

%

Stress

24

88.9

3

11.1

27

100

0.000

 

Tidak stress

6

21.4

22

78.6

28

100

Total

30

54.5

25

45.5

55

100

 

 

Diperoleh nilai p sebesar 0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara tingkat stres dengan kejadian gastritis berulang.

 

Tabel 5

Hubungan Faktor Gaya Hidup Minum Alkohol Dengan Kejadian Gastritis Berulang

 

Minum alkohol

Gastritis Berulang

Total

p- value

Berulang

Tidak Berulang

n

%

N

%

N

%

Tidak Konsumsi

12

100

0

0

12

100

0.001

 

konsumsi

18

41.9

25

58.1

43

100

Total

30

54.5

25

45.5

55

100

 

 

Diperoleh nilai p sebesar 0,001 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara tingkat minum alkohol dengan kejadian gastritis berulang

B.  Pembahasan�

1.    Faktor gaya hidup dalam pola makan dengan kejadian gastritis berulang

Pola makan merupakan kebiasaan menetap terkait dengan konsumsi makanan berdasarkan jenis bahan makanan dan frekuensi (Almatsier, 2002). Pola makan� tidak teratur dapat mengakibatkan berbagai masalah terutama dalam masalah pencernaan seperti diare, gastritis, tumbuh kembang seperti gizi buruk bahkan gizi lebih, stunting, dan penyakit lainnya diantaranya hiperkolesterolemia, diabetes mellitus, kanker, penyakit kardiovaskuler (Almatsier, 2002).

Pola makan yang disarankan adalah yang berkontribusi pada jenis bahan makanan dengan sumbangan energi hingga 60%-70%, protein 15-20%, dan lemak 20%-30%, selain itu juga di dukung oleh vitamin, mineral dan serat. Frekuensi yang tepat pada pola makan yang baik adalah terbagi dalam 3 waktu diantaranya adalah makan pagi, makan siang dan makan malam. Makan pagi atau sarapan tidak bisa diabaikan karena berpengaruh pada� kerja tubuh dari pagi hingga siang.

Jenis makanan sangat berperan dalam pengosongan lambung. Makanan yang berjumlah banyak akan menghasilkan kimus dalam jumlah banyak pula. Kimus yang terlalu banyak di duodenum akan memperlambat proses pengosongan lambung. Makanan yang banyak mengandung karbohidrat meninggalkan lambung dalam beberapa jam. Makanan yang kaya protein lebih lama meninggalkan lambung lebih lambat, dan pengosongan paling lambat setelah memakan, makanan yang kaya lemak (Sherwood, 2001).

Kurangnya kesadaran dari responden akan pentingnya pola makan yang teratur mengakibatkan kondisi lambung ini sulit untuk beradaptasi, akibatnya asam lambung dapat meningkat dan mengiritasi dinding mukosa lambung. Pola makan yang kurang baik atau tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung.

Setiap saat (dengan jumlah volume �1500 ml/hari) Lambung akan selalu memproduksi asam lambungnya secara alami. Pola makan yang kurang baik akan menjadi salah satu penyebab meningkatnya produksi asalam lambung dari segi faktor histaminergik dimana hal ini mempengaruhi kinerja dari sel G dalam produksi gastrin dan juga mengakibatkan defek barrier mukosa dan difusi balik ion H+ yang akan merangsang histamin untuk mempengaruhi� kelenjar oksintik dalam memproduksi asam lambung. Apabila ini terjadi dalam waktu yang lama maka produksi lambung ini akan terjadi berlebih hingga akhirnya mengiritasi dinding mukosa lambung dan terjadilah gastritis (P. Tarigan, 2006).

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pola makan yang kurang baik (88.9) mengakibatkan kekambuhan jika dibandingkan dengan responden yang pola makannya baik (37.8). hal ini mengindikasikan bahwa kekambuhan gastritis terjadi karena pola makan yang kurang baik, akibatnya asam lambung mengiritasi mukosa lambung karena terjadinya peningkatan sekresi asam lambung. Karena adanya ketidakmampuan lambung (indegesti) produksi asam lambung yang berlebihan akibat ketidakseimbangan faktor defensif dan faktor agresif yang mengakibatkan produksi HCl meningkat akibat porsi makanan yang kurang atau bahkan berlebih, makanan yang merangsang seperti pedas, asam, dan waktu makan yang tidak teratur (P. Tarigan, 2006).

2.    Faktor gaya hidup dalam kebiasaan merokok dengan kejadian gastritis berulang

Rokok merupakan produk dari olahan tembakau dan mengandung nikotin, tar dan dengan atau tanpa bahan tambahan lainnya (Santika, 2011). Kebiasaan merokok pada sebagian orang sulit untuk dihilangkan, bahkan dianggap merokok itu kegiatan yang sangat mengasikan, candu, ada perumpamaan lebih baik tidak makan daripada tidak merokok. Hal ini terjadi karena kandungan dalam rokok tersebut, yaitu nikotin. Nikotin berperan menghalangi rasa lapar, dengan demikian asam lambung akan meningkat dan terjadilah gastritis (Haustein & Groneberg, 2009).

Rokok sangat berpengaruh pada saluran pencernaan, diantaranya adalah melemahkan katup esofagus dan pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam lambung, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan cairan lambung, dan menurunkan pH duodenum. Terjadinya peningkatan pengeluaran asam lambung dapat terjadi karena adanya respon dari sekresi gastrin atau asetilkolin.

Faktor defensif lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa) dapat terganggu karena rokok. Rokok juga dapat memperburuk peradangan, dan sangat erat kaitannya dengan komplikasi tambahan akibat dari infeksi helicobacter pylori. Selain itu merokok sangat menghambat dalam proses penyembuhan secara spontan, bahkan justru menambah akan risiko kekambuhan peptic ulcer (Beyer & Alexopoulos, 2004).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian gastritis berulang banyak terjadi pada responden perokok dengan frekuensi 73,1% dengan P Value 0,019 ini menunjukkan hubungan yang erat bahwa kebiasaan merokok menambah sekresi asam lambung yang mengakibatkan gastritis hingga peptic ulcer (Depkes RI, 2001).� Dengan kata lain selama perokok ini tidak berhenti dalam kebiasaannya merokok penyembuhan akan sangat sulit terjadi, artinya akan selalu ada kemungkinan gastritis mengalami kekambuhan.

3.    Faktor gaya hidup dalam penggunaan obat-obatan dengan kejadian gastritis berulang

Gastritis terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif (Pepsin dan HCl) dengan faktor defensif (mukus bikarbonat), yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan tersebut karena adanya infeksi bakteri pada lambung (H. Pylori), konsumsi obat-obatan seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS), kortikosteroid dan gaya hidup lainnya yang sangat tidak baik (GN, 2002; P. Tarigan, 2006). Contoh obat OAINS yang banyak dikonsumsi oleh responden dalam penelitian ini diantaranya adalah asam mefenamat, bodrex.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang mengkonsumni obat-obatan terutama golongan OAINS seluruhnya (100%) mengalami kejadian gastritis berulang. Sejalan dengan penelitian FM. (Amrulloh & Utami, 2016) bahwa OAINS dapat memicu terjadinya gastritis dan atau kekambuhan gastritis karena mekanisme kerja dari OAINS adalah menghambat aksi dari enzim sikloosigenase, akibatnya COX-1 tidak dapat membentuk prostaglandin dalam lambung. Jika tidak ada pembentuk prostaglandin dalam lambung maka adenyl cyclase akan terbentuk, sehingga pompa proton akan terbuka, maka asam (H+) dalam keluar ke lumen lambung untuk bertemu ion Cl- dan membentuk asam lambung. Jika kejadian ini berlangsung lama dan bersifat terus menerus maka asam lambung yang berada pada lumen lambung akan berlebihan dan akibatnya mengikis mukosa lambung.

OAINS ini dapat merusak lambung terutama mukosa secara topikal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara topikal dapat terjadi karena OAINS ini sifatnya lipofilik dan asam, akibatnya trapping ion hidropgen sangat dengan mudah masuk ke mukosa dan terjadi ulserasi. Sedangkan efek sistemik terjadi karena adanya kerusakan mukosa lambung yang terjadi akibat dari menurunnya produksi prostaglandin. Prostaglandin merupakan substansi sitoproteksi yang sangat vital bagi mukosa lambung. Sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah pada mukosa serta meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat. Prostaglandin memperkuat sawar mukosa lambung

4.    Faktor gaya hidup tingkat stres dengan kejadian gastritis berulang

Gaya hidup sangat berkaitan dengan stress dan kecemasan. Pada kondisi stres dapat mempengaruhi peningkatan produksi asam lambung dan mengiritasi mukosa lambung (Ika, 2010).

Stres merupakan sekumpulan perubahan fisiologis akibat tubuh terpapar terhadap bahaya atau ancaman. Stres dapat menimbulkan suatu pengaruh yang tidak menyenangkan pada seseorang berupa gangguan atau hambatan dalam pengobatan, meningkatkan resiko kesakitan seseorang, menimbulkan kembali penyakit yang sudah mereda, mencetuskan atau mengeksaserbasi suatu gejala dari kondisi medis umum (Clinic, n.d.).

Hasil penelitian ini menunjukkan hasil responden yang mengalami stres (88,9%) mengalami kejadian gastritis berulang, artinya stres acapkali dialami oleh responden hingga mengalami gangguan pada sistem pencernaan seperti lambung terasa kembung, perih, mual akibat dari peningkatan asam lambung, dan ini sejalan dengan penelitian (Citra Julita Tarigan, 2003) faktor psikis dan emosi pada responden dengan kecemasan dan depresi dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal tract yang mengakibatkan perubahan sekresi HCl, mempengaruhi motilitas dan vaskularisasi mukosa lambung.

Stres yang dialami pada responden bisa terjadi karena adanya tekanan dan tugas terkait dengan pekerjaan yang di emban, dan pekerjaan ini merupakan salah satu tantangan yang jika tidak dapat diselesaikan dengan baik bisa berpotensi menjadi sumber stres.

Stres berdampak negatif pada saluran pencernaan melalui mekanisme neuroendokrin pada gastrointestinal tract yaitu menyebabkan produksi saliva menurun sehingga mulut terasa menjadi lebih kering, kontraksi otot esofagus sehingga menyulitkan untuk respon menelan, peningkatan HCl, penurunan aliran darah pada sel epitel lambung dalam melindungi mukosa lambung (S., n.d.).

Stres dapat memicu tubuh untuk memproduksi asam lambung secara berlebih. Produksi asam lambung yang berlebih inilah yang menyebabkan peradangan lambung dan yang menyebabkan gastritis atau sakit maag. Stres juga dapat merangsang area tertentu pada otak yang meningkatkan sensitifitas terhadap nyeri, termasuk nyeri pada bagian ulu hati. Jadi, meskipun asam lambung tidak begitu meningkat, namun bagi orang yang sedang dalam kondisi tertekan, rasa nyeri di bagian ulu hati ini akan cukup terasa, alasan lainnya mengapa stres menyebabkan sakit maag adalah karena stres dapat menurunkan kadar hormon prostaglandin yang memiliki fungsi membantu memperkuat mucous barrier yang melindungi lapisan lambung dari efek korosif asam lambung. Selain itu stres juga memicu produksi hormon adrenalin dalam tubuh. Meningkatnya jumlah hormon adrenalin ini, juga menyebabkan peningkatan produksi asam lambung. Stres dan perasaan negatif lainnya juga akan merangsang sistem syaraf simpatik yang mengakibatkan kesulitan dalam proses pencernaan makanan. Hal-hal yang dipicu oleh stres ini semua, berpotensi untuk melukai lambung dan menyebabkan peningkatan risiko gastritis dan kekambuhan gastritis.

5.    Hubungan faktor gaya hidup minum alkohol dengan kejadian gastritis berulang

Mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol dapat mengakibatkan gastritis, dikarenakan dalam minuman tersebut mengandung ethanol (merupakan bahan psikoaktif yang bisa menyebabkan penurunan kesadaran apabila dikonsumsi), yang bersifat iritatif (merusak mukosa lambung). Dampak lain dalam mengkonsumsi alcohol adalah merusak kesehatan tubuh dengan tanda sakit kepala, kelelahan, sakit perut, gangguan otak, penyakit jantung, gangguan pencernaan, merusak hati, gangguan pada ginjal, kanker dan gangguan reproduksi yang bisa berdampak kematian. Efek psikososial mengkonsumsi alcohol berupa tindak kekerasan serta kecelakaan karena efek alkohol yang bisa membuat peminumnya tidak sadarkan diri (Hirlan, 2009).

Alkohol dapat merusak mukosa lambung, mengganggu pertahanan mukosa lambung dan memungkinkan difusi kembali asam pepsin ke dalam jaringan lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Akibat iritasi pada respons mukosa lambung yang terus menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan, masuknya zat-zat seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif mengakibatkan peradangan dan nekrosis pada dinding lambung. Nekrosis dapat mengakibatkan perforasi dinding lambung dengan akibat berikutnya perdarahan dan peritonitis (Nurwijaya & Ikawati, 2010).

Hasil penelitian menunjukkan pada responden yang konsumsi alkohol (41.9%) mengalami gastritis berulang. Hal ini memperburuk gejala yang dialami karena mengkonsumsi alkohol menyebabkan kerusakan lambung. Konsentrasi alkohol yang diminum akan dirasakan tubuh dalam 30�90 menit setelah diminum. Akibat minum alkohol yang berlebihan menyebabkan hangover atau timbul rasa nyeri yang biasanya menyerang perut, mengalami jackpot atau muntah terjadi akibat kadar asam lambung berlebih di dalam perut, sakit kepala dan sering berkemih hal ini dikarenakan tubuh akan membuang cairan tubuh empat kali lebih banyak dibanding kondisi normal apabila minum alkohol (Pambudi, 2007).

Organ yang berperan dalam metabolisme alkohol adalah hati dan lambung sehingga kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang tidak hanya berupa kerusakan hati atau sirosis tetapi juga kerusakan lambung. Dalam jumlah sedikit, alkohol merangsang produksi asam lambung berlebih mengakibatkan nafsu makan berkurang, mual sedangkan dalam jumlah banyak, alkohol dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik dan mengganggu penyembuhan tukak peptik. Alkohol mengakibatkan menurunnya kesanggupan mencerna dan menyerap makanan karena ketidakcukupan enzim pankreas dan perubahan morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal (Beyer & Alexopoulos, 2004). Jika mukosa lambung rusak maka terjadi difusi HCl ke mukosa lambung kemudian merasngsang perubahan pada pepsinogen menjadi pepsin, dan pepsin akan merangsang pelepasan histamin dari sel mast yang akan mengakibatkan adanya peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan dari intrasel ke ekstrasel hingga timbul edema dan kerusakan kapiler hingga timbul perdarahan pada lambung (Beyer & Alexopoulos, 2004).

�

Kesimpulan

Beberapa faktor yang terkait dengan gaya hidup dengan kejadian gastritis berulang diantaranya adalah pola makan, penggunaan obat-obatan (OAINS), merokok, stres dan konsumsi alkohol terdapat hubungan yang signifikan dengan nilai P masing masing pola makan dan konsumsi alkohol dengan kejadian gastritis berulang adalah 0,001, faktor kebiasaan merokok nilai P 0,019, faktor penggunaan obat-obatan (OAINS) dan faktor stress nilai P 0,000. Produksi hormon kortisol saat stres dapat menyebabkan penurunan limfosit dan menurunkan sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri sebagai faktor iternal dalam kejadian gastritis. Sedangkan pada faktor ekstrinsik seperti pola makan, stres, merokok, minuman alkohol, penggunaan obat OAINS dapat mengakibatkan kejadian gastritis berulang dikarenakan adanya produksi HCl yang berlebih sehingga mengiritasi mukosa lambung dikarenakan oleh masing masing zat seperti nikotin yang menekan rasa lapar sehingga tidak ada nafsu makan, minuman alkohol yang mengandung ethanol yang bersifat iritan dan korosif. Dan pada penggunaan obat OAINS mekanisme kerja dari OAINS adalah menghambat aksi dari enzim sikloosigenase, akibatnya COX-1 tidak dapat membentuk prostaglandin dalam lambung. Jika tidak ada pembentuk prostaglandin dalam lambung maka adenyl cyclase akan terbentuk, sehingga pompa proton akan terbuka, maka asam (H+) dalam keluar ke lumen lambung untuk bertemu ion Cl- dan membentuk asam lambung. Jika kejadian ini berlangsung lama dan bersifat terus menerus maka asam lambung yang berada pada lumen lambung akan berlebihan dan akibatnya mengikis mukosa lambung.

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Almatsier, Sunita. (2002). Prinsip dasar ilmu gizi.

 

Amrulloh, Fathan Muhi, & Utami, Nurul. (2016). Hubungan Konsumsi OAINS terhadap Gastritis. Jurnal Majority, 5(5), 18�21.

 

Beyer, P. L., & Alexopoulos, Y. (2004). Medical nutrition therapy for upper gastrointestinal tract disorders. Krause�s Food, Nutrition, and Diet Therapy. 11th Ed. London: Saunders, 686�735.

 

Clinic, Mayo. (n.d.). Stress symptomps: effect on your body, feelings and behavior. Retrieved from www.mayoclinic.org/healthylifestyle/stress-management/indept/stresssymptomps/

 

GN, Lindseth. (2002). Gangguan lambung dan duodenum. In Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Volume ke-1. Jakarta: EGC.

 

Haustein, Knut Olaf, & Groneberg, David. (2009). Tobacco or health?: physiological and social damages caused by tobacco smoking. Springer Science & Business Media.

 

Hirlan. (2009). Gastritis dalam Ilmu Penyakit Dalam (Edisi V). Jakarta: InternaPublishing.

 

Ika. (2010). Hubungan kecemasan dan tipe kepribadian introvert dengan dyspepsia fungsional=. Primary Care Companion Journal Clin Psychiatry 2010.

 

Kurnia, Rahmi Gustin. (2012). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Gastritis pada Pasien yang Berobat Jalan di Puskesmas Gulai Bancah Kota Bukittinggi Tahun 2011. Artikel Penelitian.

 

Kurniawan, Wawan. (2018). Hubungan Pengetahuan Ibu Balita Tentang Gizi Dengan Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Pada Balita Desa Cikoneng. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(1), 136�150.

 

Losyk, Bob. (2007). Kendalikan stres anda. Gramedia Pustaka Utama.

 

Megawati, Andi, Nosi, Hasnah, & Syaipuddin, Syaipuddin. (2014). Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gastritis Pada Pasien Yang Di Rawat Di RSUD Labuang Baji Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis, 4(1), 29�36.

 

Misnadiarly. (2009). Misnadiarly. (2009). Mengenal Penyakit Organ Cerna: Gastritis (Dyspepsia atau maag), Infeksi Mycobacteria pada Ulcer Gastrointestinal. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

 

 

Muttaqin, Arif, & Sari, Kumala. (2011). Gangguan gastrointestinal: aplikasi asuhan keperawatan medikal bedah. Jakarta: Salemba Medika.

 

Nurwijaya, Hartati, & Ikawati, Zullies. (2010). Bahaya Alkohol. Jakarta: Elex Media Komputindo.

 

Pambudi, D. (2007). Remaja Dan Allkohol. Jakarta: Pakar Raya.

 

Putri, Rona Sari Mahaji, & Agustin, Hanum. (2010). Hubungan Pola Makan Dengan Timbulnya Gastritis Pada Pasien Di Universitas Muhammadiyah Malang Medical Center (Umc). Jurnal Keperawatan, 1(2).

 

S., Greenberg. J. (n.d.). Comprehensive Stress Management. In 2002 (7th Ed). United States: Mc Graw Hill Company Inc.

 

Santika, E. (2011). Mengintip Kisah Dibalik Tembakau. Nasionalis Rakyat Merdeka News. Diakses Pada, 25.

 

Saydam, Gouzali. (2011). Memahami Berbagai Penyakit. Bandung: Alfabeta.

 

Sherwood, Lauralee. (2001). Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. EGC.

 

Sugiyono, P. D. (2017). Metode Penelitian Bisnis: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Kombinasi, dan R&D. Penerbit CV. Alfabeta: Bandung.

 

Tarigan, Citra Julita. (2003). Perbedaan depresi pada pasien dispepsia fungsional dan Dispepsia Organik.

 

Tarigan, P. (2006). Tukak Gaster. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K., & S.

 

Tussakinah W, Burhan IR. (2018). Hubungan Pola Makan dan Tingkat Stres terhadap Kekambuhan Gastritis di Wilayah Kerja Puskesmas Tarok Kota Payakumbuh Jurnal kesehatan Andalas.