Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853� e-ISSN : 2684-883X
Vol. 2, No. 5 Mei 2020
ANALISIS FAKTOR GAYA HIDUP YANG BERHUBUNGAN DENGAN RISIKO KEJADIAN
GASTRITIS BERULANG
Endah Sari Purbaningsih�
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes)
Mahardika, Cirebon
Email: [email protected]
Abstrak
Gastritis adalah
proses inflamasi pada mukosa
dan submukosa lambung dapat terjadi secara
akut atau kronis. Ada beberapa faktor gaya hidup
yang mempengaruhi terjadinya
gastritis pada individu, penyebab
tersering adalah pola makan, stres,
merokok, usia, obat-obatan, dan alkohol. Tujuan untuk mengetahui
faktor gaya hidup yang berhubungan dengan resiko kejadian
gastritis berulang. Metode Penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan menggunakan study cross sectional.Jumlah sampel sebanyak 55 responden. Hasil uji statistik tentang pola makan dengan
kejadian gastritis berulang
diperoleh nilai p = 0,000
< α = 0,05. tentang merokok
dengan kejadian gastritis berulang nilai p = 0,009 <
α = 0,05, penggunaan Obat
dengan kejadian gastritis berulang diperoleh nilai p = 0,000 < α = 0,05, tingkat
stres dengan kejadian gastritis berulang diperoleh nilai p = 0,000 <
α = 0,05, minum alkohol
dengan kejadian gastritis berulang diperoleh nilai p = 0,000 < α = 0,05. Kesimpulan dari penelitian analisis faktor gaya hidup yang beresiko gastritis berulang adalah pola makan,
merokok, penggunaan obat, tingkat stres
dan minum alkohol.
Kata kunci: Gastritis,
�faktor gaya hidup, inflamasi.
Pendahuluan
Gaya hidup dicirikan dengan pola perilaku individu yang akan
memberikan dampak pada kesehatan individu terutama gaya hidup yang tidak sehat.
Diungkapkan oleh (Saydam, 2011) bahwa gaya hidup yang tidak
sehat diantaraya adalah merokok, stres, pola makan yang kurang baik dan tidak
teratur, konsumsi minuman beralkohol. Gaya hidup tidak sehat ini dapat
menimbulkan penyakit pada saluran pencernaan gastritis. Gizi juga acap kali dijadikan sebab kenapa seseorang tidak sehat, sering
sakit dan tidak dalam pertumbuhan yang baik (Kurniawan, 2018).
Menurut data dari Departemen Kesehatan RI dalam (Tussakinah W, 2018) angka persentase dari kejadian penyakit gastritis di
Indonesia adalah 40,8%. Angka kejadian gastritis pada beberapa daerah di
Indonesia itu sendiri cukup tinggi dengan prevalensi persentase 274.396 kasus
dari 238.452.952 penduduk. Tingginya prevalensi pada gastritis sangat terasa
dampaknya baik pada individu ataupun masyarakat, dampak tersebut dapat berupa
menurunnya produktivitas kerja serta bertambahnya pengeluaran untuk biaya
pengobatan penyakit. Sebab jika penderita gastritis akut dibiarkan tidak
ditangani secara tepat maka akan menyebabkan tukak lambung dan perdarahan pada
lambung, dan episode berulang gastritis akut dapat menyebabkan gastritis kronik
(Misnadiarly, 2009).
Gastritis adalah satu diantara masalah pencernaan yang banyak
di derita orang. (Kurnia, 2012) mengatakan hampir 10%
pasien datang ke instansi gawat darurat dengan gejala yang mengindikasikan
dokter dengan diagnosa gastritis. Gastritis atau lebih dikenal dengan sebutan
�maag� merupakan inflamasi pada daerah lambung tepatnya di mukosa, dengan
gejala klinik mual, muntah, nyeri, perdarahan, fatique, nafsu makan berkurang.
Terdapat 2 jenis diantaranya akut dan kronik dengan penyebab bersifat
multifaktor. Pada gastritis kornis ada kaitannya dengan infeksi, yaitu bakteri Helicobacteri Pylori, dan pada hasil
pemeriksaan fisik pasien mengeluh adanya nyeri tekan pada daerah epigastrium
atau tukak lambung (Muttaqin & Sari, 2011).
Beberapa faktor yang menyebabkan kejadian gastritis
diantaranya adalah pola makan, stres, kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan
yang bersifat NSAID, minuman kopi. Seperti halnya yang diungkapkan dalam hasil
penelitian (Putri & Agustin, 2010) bahwa penderita
gastritis� (100%) mengkonsumsi makanan
tidak sesuai atau kurang dari kebutuhan tubuh dengan jenis makanan yang
dikonsumsinya tidak bervariasi baik dari nilai gizi (karbohidrat, protein,
lemak). Frekuensi makan yang kurang dipengaruhi oleh kebiasaan makan, diet agar
berat badan ideal tetap terjaga. Semua ini mengakibatkan sulitnya lambung dalam
beradaptasi hingga akhirnya asam lambung meningkat dan timbul iritasi pada
mukosa dinding lambung dan timbulah gastritis.
Penelitian lainnya mengatakan bahwa stres mempengaruhi akan
kejadian gastritis (60,5%)� dengan nilai
α=0,008. Hal dikarenakan stres menimbulkan efek negatif (Megawati, Nosi, & Syaipuddin,
2014). Sistem
neuroendokrin bermekanisme dalam saluran pencernaan yang mengakibatkan adanya
penurunan aliran darah pada sel epitel lambung dalam melindungi mukosa,
akibatnya mudah teriritasi. Ini terjadi karena otak merangsang pengeluaran adrenalin yang menuju ginjal, merangsang
proses perubahan glikogen menjadi glukosa dan mempercepat peredaran darah, dengan
demikian memicu peningkatan tekanan darah, respirasi meningkat, saluran
pencernaan mendapatkan dampaknya, diantaranya kelenjar air liur menghentikan
aliran air liur atau bahkan memproduksi berlebihan, lambung memproduksi asam
lambung hingga ada muncul gejala mual, iritasi, perih pada tukak lambung,
diare, sebagian orang menimbulkan kejang otot (kram otot daerah perut) (Losyk, 2007).
Jumlah pasien di Klinik Detasemen C Pelopor Cirebon rata-rata
dalam 2 bulan terakhir adalah 120 pasien dengan diagnosa gastritis, pasien ini
rata-rata adalah anggota. Variasi penyebab-penyebab kejadian gastritis atau
kekambuhannya, stres pekerjaan, pola makan yang tidak teratur, penggunaan
obat-obatan, dan sebagainya. Adanya angka yang tinggi penderita gastritis ini
perlu dilakukan penelitian tentang faktor gaya hidup yang berhubungan dengan
risiko kejadian gastritis berulang.
Metode Penelitian
Jenis penelitian
yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross
sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosa
gastritis 120 responden dan jumlah sampel yang diambil adalah 55 responden,
sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi (Sugiyono, 2017) pengambilan sampel dengan
cara accidental sampling. Pengambilan
data ini sebelumnya dilakukan persetujuan dengan menandatangani lembar informed consent. Data dikumpulkan
dengan menggunakan kuesioner dan kemudian di olah dan dianalisis dengan
menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat� yaitu analisis chi-square.
Hasil
dan Pembahasan
A. Hasil
Tabel
1
Hubungan Faktor Gaya Hidup Dalam Pola
Makan Dengan Kejadian Gastritis Berulang
Pola
Makan |
Gastritis
Berulang |
Total |
p- value |
||||
Berulang |
Tidak
Berulang |
||||||
N |
% |
n |
% |
n |
% |
||
Kurang Baik |
16 |
88.9 |
2 |
11.1 |
18 |
100 |
0.001 |
baik |
14 |
37.8 |
23 |
62.2 |
37 |
100 |
|
Total |
30 |
54.5 |
25 |
45.5 |
55 |
100 |
|
Diperoleh nilai p
sebesar 0,001 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara pola makan dengan
kejadian gastritis berulang.
Tabel
2
Hubungan
Faktor Gaya Hidup Dalam Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Gastritis Berulang
Merokok |
Gastritis
Berulang |
Total |
p- value |
||||
Berulang |
Tidak
Berulang |
||||||
N |
% |
n |
% |
n |
% |
||
Perokok |
19 |
73.1 |
7 |
26.9 |
26 |
100 |
0.019 |
Bukan Perokok |
11 |
37.9 |
18 |
62.1 |
29 |
100 |
|
Total |
30 |
54.5 |
25 |
45.5 |
55 |
100 |
|
Diperoleh nilai p
sebesar 0,019 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara merokok dengan
kejadian gastritis berulang.
Tabel 3
Hubungan Faktor Gaya Hidup Dalam Penggunaan
Obat-obatan OAINS Dengan Kejadian Gastritis Berulang
Obat-obatan
OAINS |
Gastritis
Berulang |
Total |
p- value |
||||
Berulang |
Tidak
Berulang |
||||||
N |
% |
N |
% |
n |
% |
||
Sering |
28 |
100 |
0 |
0 |
28 |
100 |
0.000 |
Tidak |
2 |
7.4 |
25 |
92.6 |
27 |
100 |
|
Total |
30 |
54.5 |
25 |
45.5 |
55 |
100 |
|
Diperoleh nilai p
sebesar 0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara penggunaan obat-obatan
dengan kejadian gastritis berulang.
Tabel 4
Hubungan Faktor Gaya Hidup Tingkat Stres
Dengan Kejadian Gastritis Berulang
Tingkat
Stres |
Gastritis
Berulang |
Total |
p- value |
||||
Berulang |
Tidak
Berulang |
||||||
n |
% |
N |
% |
N |
% |
||
Stress |
24 |
88.9 |
3 |
11.1 |
27 |
100 |
0.000 |
Tidak stress |
6 |
21.4 |
22 |
78.6 |
28 |
100 |
|
Total |
30 |
54.5 |
25 |
45.5 |
55 |
100 |
|
Diperoleh nilai p
sebesar 0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara tingkat stres dengan
kejadian gastritis berulang.
Tabel 5
Hubungan Faktor Gaya Hidup Minum Alkohol
Dengan Kejadian Gastritis Berulang
Minum
alkohol |
Gastritis
Berulang |
Total |
p- value |
||||
Berulang |
Tidak
Berulang |
||||||
n |
% |
N |
% |
N |
% |
||
Tidak Konsumsi |
12 |
100 |
0 |
0 |
12 |
100 |
0.001 |
konsumsi |
18 |
41.9 |
25 |
58.1 |
43 |
100 |
|
Total |
30 |
54.5 |
25 |
45.5 |
55 |
100 |
|
Diperoleh nilai p
sebesar 0,001 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara tingkat minum alkohol
dengan kejadian gastritis berulang
B. Pembahasan�
1. Faktor
gaya hidup dalam pola makan dengan kejadian gastritis berulang
Pola makan
merupakan kebiasaan menetap terkait dengan konsumsi makanan berdasarkan jenis
bahan makanan dan frekuensi (Almatsier,
2002).
Pola makan� tidak teratur dapat
mengakibatkan berbagai masalah terutama dalam masalah pencernaan seperti diare,
gastritis, tumbuh kembang seperti gizi buruk bahkan gizi lebih, stunting, dan
penyakit lainnya diantaranya hiperkolesterolemia, diabetes mellitus, kanker,
penyakit kardiovaskuler (Almatsier,
2002).
Pola makan yang
disarankan adalah yang berkontribusi pada jenis bahan makanan dengan sumbangan
energi hingga 60%-70%, protein 15-20%, dan lemak 20%-30%, selain itu juga di
dukung oleh vitamin, mineral dan serat. Frekuensi yang tepat pada pola makan
yang baik adalah terbagi dalam 3 waktu diantaranya adalah makan pagi, makan
siang dan makan malam. Makan pagi atau sarapan tidak bisa diabaikan karena
berpengaruh pada� kerja tubuh dari pagi
hingga siang.
Jenis makanan
sangat berperan dalam pengosongan lambung. Makanan yang berjumlah banyak akan
menghasilkan kimus dalam jumlah banyak pula. Kimus yang terlalu banyak di duodenum
akan memperlambat proses pengosongan lambung. Makanan yang banyak mengandung
karbohidrat meninggalkan lambung dalam beberapa jam. Makanan yang kaya protein
lebih lama meninggalkan lambung lebih lambat, dan pengosongan paling lambat
setelah memakan, makanan yang kaya lemak (Sherwood,
2001).
Kurangnya kesadaran
dari responden akan pentingnya pola makan yang teratur mengakibatkan kondisi
lambung ini sulit untuk beradaptasi, akibatnya asam lambung dapat meningkat dan
mengiritasi dinding mukosa lambung. Pola makan yang kurang baik atau tidak
teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi
asam lambung.
Setiap saat
(dengan jumlah volume �1500 ml/hari) Lambung akan selalu memproduksi asam
lambungnya secara alami. Pola makan yang kurang baik akan menjadi salah satu
penyebab meningkatnya produksi asalam lambung dari segi faktor histaminergik
dimana hal ini mempengaruhi kinerja dari sel G dalam produksi gastrin dan juga
mengakibatkan defek barrier mukosa dan difusi balik ion H+ yang akan merangsang
histamin untuk mempengaruhi� kelenjar oksintik
dalam memproduksi asam lambung. Apabila ini terjadi dalam waktu yang lama maka
produksi lambung ini akan terjadi berlebih hingga akhirnya mengiritasi dinding
mukosa lambung dan terjadilah gastritis (P.
Tarigan, 2006).
Hasil penelitian
ini mengungkapkan bahwa pola makan yang kurang baik (88.9) mengakibatkan
kekambuhan jika dibandingkan dengan responden yang pola makannya baik (37.8).
hal ini mengindikasikan bahwa kekambuhan gastritis terjadi karena pola makan
yang kurang baik, akibatnya asam lambung mengiritasi mukosa lambung karena
terjadinya peningkatan sekresi asam lambung. Karena adanya ketidakmampuan
lambung (indegesti) produksi asam lambung yang berlebihan akibat
ketidakseimbangan faktor defensif dan faktor agresif yang mengakibatkan
produksi HCl meningkat akibat porsi makanan yang kurang atau bahkan berlebih,
makanan yang merangsang seperti pedas, asam, dan waktu makan yang tidak teratur
(P.
Tarigan, 2006).
2. Faktor
gaya hidup dalam kebiasaan merokok dengan kejadian gastritis berulang
Rokok merupakan
produk dari olahan tembakau dan mengandung nikotin, tar dan dengan atau tanpa
bahan tambahan lainnya (Santika,
2011).
Kebiasaan merokok pada sebagian orang sulit untuk dihilangkan, bahkan dianggap
merokok itu kegiatan yang sangat mengasikan, candu, ada perumpamaan lebih baik
tidak makan daripada tidak merokok. Hal ini terjadi karena kandungan dalam
rokok tersebut, yaitu nikotin. Nikotin berperan menghalangi rasa lapar, dengan
demikian asam lambung akan meningkat dan terjadilah gastritis (Haustein
& Groneberg, 2009).
Rokok sangat
berpengaruh pada saluran pencernaan, diantaranya adalah melemahkan katup
esofagus dan pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam
lambung, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan cairan
lambung, dan menurunkan pH duodenum. Terjadinya peningkatan pengeluaran asam
lambung dapat terjadi karena adanya respon dari sekresi gastrin atau
asetilkolin.
Faktor defensif
lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di mukosa) dapat
terganggu karena rokok. Rokok juga dapat memperburuk peradangan, dan sangat
erat kaitannya dengan komplikasi tambahan akibat dari infeksi helicobacter pylori. Selain itu merokok
sangat menghambat dalam proses penyembuhan secara spontan, bahkan justru
menambah akan risiko kekambuhan peptic
ulcer (Beyer
& Alexopoulos, 2004).
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kejadian gastritis berulang banyak terjadi pada responden
perokok dengan frekuensi 73,1% dengan P Value 0,019 ini menunjukkan hubungan
yang erat bahwa kebiasaan merokok menambah sekresi asam lambung yang
mengakibatkan gastritis hingga peptic
ulcer (Depkes RI, 2001).� Dengan kata
lain selama perokok ini tidak berhenti dalam kebiasaannya merokok penyembuhan
akan sangat sulit terjadi, artinya akan selalu ada kemungkinan gastritis mengalami
kekambuhan.
3. Faktor
gaya hidup dalam penggunaan obat-obatan dengan kejadian gastritis berulang
Gastritis terjadi
karena adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif (Pepsin dan HCl) dengan
faktor defensif (mukus bikarbonat), yang menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan tersebut karena adanya infeksi bakteri pada lambung (H. Pylori), konsumsi obat-obatan seperti
obat anti inflamasi non steroid (OAINS), kortikosteroid dan gaya hidup lainnya
yang sangat tidak baik (GN, 2002;
P. Tarigan, 2006).
Contoh obat OAINS yang banyak dikonsumsi oleh responden dalam penelitian ini
diantaranya adalah asam mefenamat, bodrex.
Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa responden yang mengkonsumni obat-obatan terutama golongan
OAINS seluruhnya (100%) mengalami kejadian gastritis berulang. Sejalan dengan
penelitian FM. (Amrulloh
& Utami, 2016)
bahwa OAINS dapat memicu terjadinya gastritis dan atau kekambuhan gastritis karena
mekanisme kerja dari OAINS adalah menghambat aksi dari enzim sikloosigenase,
akibatnya COX-1 tidak dapat membentuk prostaglandin dalam lambung. Jika tidak
ada pembentuk prostaglandin dalam lambung maka adenyl cyclase akan terbentuk,
sehingga pompa proton akan terbuka, maka asam (H+) dalam keluar ke lumen
lambung untuk bertemu ion Cl- dan membentuk asam lambung. Jika kejadian ini
berlangsung lama dan bersifat terus menerus maka asam lambung yang berada pada
lumen lambung akan berlebihan dan akibatnya mengikis mukosa lambung.
OAINS ini dapat
merusak lambung terutama mukosa secara topikal dan sistemik. Kerusakan mukosa
secara topikal dapat terjadi karena OAINS ini sifatnya lipofilik dan asam,
akibatnya trapping ion hidropgen
sangat dengan mudah masuk ke mukosa dan terjadi ulserasi. Sedangkan efek sistemik terjadi karena adanya kerusakan
mukosa lambung yang terjadi akibat dari menurunnya produksi prostaglandin. Prostaglandin merupakan substansi sitoproteksi yang sangat vital
bagi mukosa lambung. Sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga aliran
darah pada mukosa serta meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat. Prostaglandin memperkuat sawar mukosa
lambung
4. Faktor
gaya hidup tingkat stres dengan kejadian gastritis berulang
Gaya hidup sangat
berkaitan dengan stress dan kecemasan. Pada kondisi stres dapat mempengaruhi
peningkatan produksi asam lambung dan mengiritasi mukosa lambung (Ika,
2010).
Stres merupakan
sekumpulan perubahan fisiologis akibat tubuh terpapar terhadap bahaya atau
ancaman. Stres dapat menimbulkan suatu pengaruh yang tidak menyenangkan pada
seseorang berupa gangguan atau hambatan dalam pengobatan, meningkatkan resiko
kesakitan seseorang, menimbulkan kembali penyakit yang sudah mereda,
mencetuskan atau mengeksaserbasi suatu gejala dari kondisi medis umum (Clinic,
n.d.).
Hasil penelitian
ini menunjukkan hasil responden yang mengalami stres (88,9%) mengalami kejadian
gastritis berulang, artinya stres acapkali dialami oleh responden hingga
mengalami gangguan pada sistem pencernaan seperti lambung terasa kembung,
perih, mual akibat dari peningkatan asam lambung, dan ini sejalan dengan
penelitian (Citra
Julita Tarigan, 2003)
faktor psikis dan emosi pada responden dengan kecemasan dan depresi dapat
mempengaruhi fungsi gastrointestinal tract yang mengakibatkan perubahan sekresi
HCl, mempengaruhi motilitas dan vaskularisasi mukosa lambung.
Stres yang dialami
pada responden bisa terjadi karena adanya tekanan dan tugas terkait dengan
pekerjaan yang di emban, dan pekerjaan ini merupakan salah satu tantangan yang
jika tidak dapat diselesaikan dengan baik bisa berpotensi menjadi sumber stres.
Stres berdampak
negatif pada saluran pencernaan melalui mekanisme neuroendokrin pada
gastrointestinal tract yaitu menyebabkan produksi saliva menurun sehingga mulut
terasa menjadi lebih kering, kontraksi otot esofagus sehingga menyulitkan untuk
respon menelan, peningkatan HCl, penurunan aliran darah pada sel epitel lambung
dalam melindungi mukosa lambung (S., n.d.).
Stres dapat memicu tubuh untuk memproduksi asam lambung secara berlebih.
Produksi asam lambung yang berlebih inilah yang menyebabkan peradangan lambung
dan yang menyebabkan gastritis atau sakit maag. Stres juga dapat merangsang
area tertentu pada otak yang meningkatkan sensitifitas terhadap nyeri, termasuk
nyeri pada bagian ulu hati. Jadi, meskipun asam lambung tidak begitu meningkat,
namun bagi orang yang sedang dalam kondisi
tertekan, rasa nyeri di bagian ulu hati ini akan cukup terasa, alasan
lainnya mengapa stres menyebabkan sakit maag adalah karena stres dapat menurunkan kadar hormon prostaglandin yang memiliki fungsi membantu
memperkuat mucous barrier yang melindungi lapisan lambung dari
efek korosif asam lambung. Selain itu stres juga memicu produksi hormon adrenalin dalam tubuh. Meningkatnya jumlah
hormon adrenalin ini, juga menyebabkan peningkatan produksi
asam lambung. Stres dan perasaan negatif lainnya juga akan merangsang sistem
syaraf simpatik yang mengakibatkan kesulitan dalam proses pencernaan makanan.
Hal-hal yang dipicu oleh stres ini semua, berpotensi untuk melukai lambung dan
menyebabkan peningkatan risiko gastritis dan kekambuhan gastritis.
5. Hubungan
faktor gaya hidup minum alkohol dengan kejadian gastritis berulang
Mengkonsumsi
minuman yang mengandung alkohol dapat mengakibatkan gastritis, dikarenakan
dalam minuman tersebut mengandung ethanol
(merupakan bahan psikoaktif yang bisa menyebabkan penurunan kesadaran
apabila dikonsumsi), yang bersifat iritatif (merusak mukosa lambung). Dampak lain
dalam mengkonsumsi alcohol adalah
merusak kesehatan tubuh dengan tanda sakit kepala, kelelahan, sakit perut, gangguan
otak, penyakit jantung, gangguan pencernaan, merusak hati, gangguan pada
ginjal, kanker dan gangguan reproduksi yang bisa berdampak kematian. Efek psikososial
mengkonsumsi alcohol berupa tindak
kekerasan serta kecelakaan karena efek alkohol yang bisa membuat peminumnya
tidak sadarkan diri (Hirlan, 2009).
Alkohol dapat
merusak mukosa lambung, mengganggu pertahanan mukosa lambung dan memungkinkan
difusi kembali asam pepsin ke dalam jaringan lambung, hal ini menimbulkan
peradangan. Akibat iritasi pada respons mukosa lambung yang terus menerus, jaringan
menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan, masuknya zat-zat seperti asam
dan basa kuat yang bersifat korosif mengakibatkan
peradangan dan nekrosis pada dinding
lambung. Nekrosis dapat mengakibatkan
perforasi dinding lambung dengan akibat berikutnya perdarahan dan peritonitis (Nurwijaya
& Ikawati, 2010).
Hasil penelitian
menunjukkan pada responden yang konsumsi alkohol (41.9%) mengalami gastritis
berulang. Hal ini memperburuk gejala yang dialami karena mengkonsumsi alkohol
menyebabkan kerusakan lambung. Konsentrasi alkohol yang diminum akan dirasakan
tubuh dalam 30�90 menit setelah diminum. Akibat minum alkohol yang berlebihan
menyebabkan hangover atau timbul rasa
nyeri yang biasanya menyerang perut, mengalami jackpot atau muntah terjadi akibat kadar asam lambung berlebih di
dalam perut, sakit kepala dan sering berkemih hal ini dikarenakan tubuh akan
membuang cairan tubuh empat kali lebih banyak dibanding kondisi normal apabila
minum alkohol (Pambudi,
2007).
Organ yang berperan dalam metabolisme
alkohol adalah hati dan lambung sehingga kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam
jangka panjang tidak hanya berupa kerusakan hati atau sirosis tetapi juga kerusakan lambung. Dalam jumlah sedikit,
alkohol merangsang produksi asam lambung berlebih mengakibatkan nafsu makan
berkurang, mual sedangkan dalam jumlah banyak, alkohol dapat merusak mukosa
lambung, memperburuk gejala tukak peptik dan mengganggu penyembuhan tukak
peptik. Alkohol mengakibatkan menurunnya kesanggupan mencerna dan menyerap makanan
karena ketidakcukupan enzim pankreas dan perubahan morfologi serta fisiologi
mukosa gastrointestinal (Beyer
& Alexopoulos, 2004).
Jika mukosa lambung rusak maka terjadi difusi HCl ke mukosa lambung kemudian
merasngsang perubahan pada pepsinogen menjadi pepsin, dan pepsin akan
merangsang pelepasan histamin dari sel mast yang akan mengakibatkan adanya
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan dari
intrasel ke ekstrasel hingga timbul edema dan kerusakan kapiler hingga timbul
perdarahan pada lambung (Beyer
& Alexopoulos, 2004).
�
Kesimpulan
Beberapa faktor
yang terkait dengan gaya hidup dengan kejadian gastritis berulang diantaranya
adalah pola makan, penggunaan obat-obatan (OAINS), merokok, stres dan konsumsi
alkohol terdapat hubungan yang signifikan dengan nilai P masing masing pola
makan dan konsumsi alkohol dengan kejadian gastritis berulang adalah 0,001,
faktor kebiasaan merokok nilai P 0,019, faktor penggunaan obat-obatan (OAINS)
dan faktor stress nilai P 0,000. Produksi hormon kortisol saat stres dapat
menyebabkan penurunan limfosit dan menurunkan sistem kekebalan tubuh terhadap
bakteri sebagai faktor iternal dalam kejadian gastritis. Sedangkan pada faktor
ekstrinsik seperti pola makan, stres, merokok, minuman alkohol, penggunaan obat
OAINS dapat mengakibatkan kejadian gastritis berulang dikarenakan adanya
produksi HCl yang berlebih sehingga mengiritasi mukosa lambung dikarenakan oleh
masing masing zat seperti nikotin yang menekan rasa lapar sehingga tidak ada
nafsu makan, minuman alkohol yang mengandung ethanol yang bersifat iritan dan korosif. Dan pada penggunaan obat OAINS mekanisme kerja dari OAINS
adalah menghambat aksi dari enzim sikloosigenase, akibatnya COX-1 tidak dapat
membentuk prostaglandin dalam
lambung. Jika tidak ada pembentuk prostaglandin
dalam lambung maka adenyl cyclase
akan terbentuk, sehingga pompa proton akan terbuka, maka asam (H+) dalam keluar
ke lumen lambung untuk bertemu ion Cl- dan membentuk asam lambung. Jika
kejadian ini berlangsung lama dan bersifat terus menerus maka asam lambung yang
berada pada lumen lambung akan berlebihan dan akibatnya mengikis mukosa lambung.
BIBLIOGRAFI
Almatsier, Sunita. (2002). Prinsip dasar ilmu gizi.
Amrulloh, Fathan Muhi, &
Utami, Nurul. (2016). Hubungan Konsumsi OAINS terhadap Gastritis. Jurnal
Majority, 5(5), 18�21.
Beyer, P. L., & Alexopoulos,
Y. (2004). Medical nutrition therapy for upper gastrointestinal tract
disorders. Krause�s Food, Nutrition, and Diet Therapy. 11th Ed. London:
Saunders, 686�735.
Clinic, Mayo. (n.d.). Stress
symptomps: effect on your body, feelings and behavior. Retrieved from
www.mayoclinic.org/healthylifestyle/stress-management/indept/stresssymptomps/
GN, Lindseth. (2002). Gangguan
lambung dan duodenum. In Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis
proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Volume ke-1. Jakarta: EGC.
Haustein, Knut Olaf, &
Groneberg, David. (2009). Tobacco or health?: physiological and social
damages caused by tobacco smoking. Springer Science & Business Media.
Hirlan. (2009). Gastritis dalam
Ilmu Penyakit Dalam (Edisi V). Jakarta: InternaPublishing.
Ika. (2010). Hubungan kecemasan
dan tipe kepribadian introvert dengan dyspepsia fungsional=. Primary Care
Companion Journal Clin Psychiatry 2010.
Kurnia, Rahmi Gustin. (2012).
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Gastritis pada Pasien yang
Berobat Jalan di Puskesmas Gulai Bancah Kota Bukittinggi Tahun 2011. Artikel
Penelitian.
Kurniawan, Wawan. (2018). Hubungan
Pengetahuan Ibu Balita Tentang Gizi Dengan Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Pada
Balita Desa Cikoneng. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(1),
136�150.
Losyk, Bob. (2007). Kendalikan
stres anda. Gramedia Pustaka Utama.
Megawati, Andi, Nosi, Hasnah,
& Syaipuddin, Syaipuddin. (2014). Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Gastritis Pada Pasien Yang Di Rawat Di RSUD Labuang Baji Makassar. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Diagnosis, 4(1), 29�36.
Misnadiarly. (2009). Misnadiarly.
(2009). Mengenal Penyakit Organ Cerna: Gastritis (Dyspepsia atau maag), Infeksi
Mycobacteria pada Ulcer Gastrointestinal. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Muttaqin, Arif, & Sari,
Kumala. (2011). Gangguan gastrointestinal: aplikasi asuhan keperawatan medikal
bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Nurwijaya, Hartati, & Ikawati,
Zullies. (2010). Bahaya Alkohol. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Pambudi, D. (2007). Remaja Dan
Allkohol. Jakarta: Pakar Raya.
Putri, Rona Sari Mahaji, &
Agustin, Hanum. (2010). Hubungan Pola Makan Dengan Timbulnya Gastritis Pada
Pasien Di Universitas Muhammadiyah Malang Medical Center (Umc). Jurnal
Keperawatan, 1(2).
S., Greenberg. J. (n.d.).
Comprehensive Stress Management. In 2002 (7th Ed). United States: Mc
Graw Hill Company Inc.
Santika, E. (2011). Mengintip
Kisah Dibalik Tembakau. Nasionalis Rakyat Merdeka News. Diakses Pada, 25.
Saydam, Gouzali. (2011). Memahami
Berbagai Penyakit. Bandung: Alfabeta.
Sherwood, Lauralee. (2001). Fisiologi
manusia: dari sel ke sistem. EGC.
Sugiyono, P. D. (2017). Metode
Penelitian Bisnis: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Kombinasi, dan R&D.
Penerbit CV. Alfabeta: Bandung.
Tarigan, Citra Julita. (2003). Perbedaan
depresi pada pasien dispepsia fungsional dan Dispepsia Organik.
Tarigan, P. (2006). Tukak Gaster.
In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K., & S.
Tussakinah W, Burhan IR. (2018). Hubungan
Pola Makan dan Tingkat Stres terhadap Kekambuhan Gastritis di Wilayah Kerja
Puskesmas Tarok Kota Payakumbuh Jurnal kesehatan Andalas.