Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853� e-ISSN : 2684-883X
Vol. 2, No. 5 Mei 2020
HUBUNGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN DAN PENGHASILAN ORANG TUA DENGAN
PERNIKAHAN DINI PADA PEREMPUAN DI DESA KUTA BOGOR
Rosalia� Rahayu
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes)
Mahardika Cirebon
Email: [email protected]
Abstrak
Pernikahan dini masih menjadi tantangan
yang harus ditanggulangi terutama di negara-negara Asia Selatan dan Afrika. Secara global diketahui bahwa 650 juta perempuan yang hidup saat ini menikah
pada masa remaja. (UNICEF, 2018). Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda tinggi
di dunia (ranking 37). Jumlah kasus
pernikahan di Indonesia mencapai
50 juta penduduk. Desa Kuta merupakan
desa dengan angka pernikahan remaja yang cukup besar pada tahun 2015 (70,8 %). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan pendidikan perempuan dan penghasilan orang tua dengan pernikahan dini pada perempuan di Desa Kuta, Bogor. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Sampel
pada penelitian ini adalah 119 orang.�
Hasil penelitian menunjukkan
terdapat hubungan yang bermakna antara variabel pendidikan perempuan dan penghasilan orang tua dengan kejadian
pernikahan dini. Kesimpulan
penelitian adalah ada hubungan antara
pendidikan perempuan dan penghasilan orang tua dengan pernikahan dini. Oleh karena itu, perlu kerjasama
lintas program dan lintas sektoral guna meminimalisir
angka kejadian pernikahan dini dan memberdayakan remaja agar produktif serta mempunyai hak atas
masa depan mereka
Kata kunci: Pendidikan,
Penghasilan Orang Tua, Perempuan, dan Pernikahan dini
Pendahuluan
Negara-negara Asia Selatan dan Afrika merupakan negara dengan
jumlah pernikahan dini yang cukup tinggi. Mayoritas anak perempuan mengalami
penderitaan yang tak terungkapkan, diantaranya adalah hambatan pendidikan,
kesehatan dan segala hal yang menempatkan anak perempuan pada posisi yang tidak
menguntungkan. Secara global diketahui bahwa 650 juta perempuan yang hidup saat
ini menikah pada masa remaja.
World Fertility
Policies juga menunjukkan data yang sama bahwa di Indonesia tercatat 11,13 persen
perempuan menikah di usia 10�15 tahun dan 32,10 persen di usia 16�18 tahun.
Pada tahun 2018, 1 dari 9 anak perempuan menikah di Indonesia. Perempuan umur 20-24
tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2018 diperkirakan mencapai
1.220.900 dan angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka
absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.
Hasil Survei Demografi Indonesia tahun 2017, terutama yang
terkait dengan kesehatan reproduksi remaja menunjukkan perilaku pacaran menjadi
titik masuk pada praktik perilaku beresiko yang menjadikan remaja rentan
mengalami pernikahan di usia dini, kehamilan di luar nikah, kehamilan tidak
diinginkan, dan terinfeksi penyakit menular seksual hingga aborsi yang tidak
aman. Indonesia merupakan negara yang di beberapa kabupaten/ kotanya mempunyai
kebijakan Kota Layak Anak (KLA) dan salah satu indikatornya adalah tidak ada
perkawinan anak atau perkawinan di bawah umur 18 tahun. Namun dilain sisi,
Indonesia juga tidak lepas dari kejadian pernikahan anak. Menurut data
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) dalam
Profil Anak Indonesia 2012, sebesar 1,62 persen anak perempuan di bawah umur 18
tahun di Indonesia berstatus kawin dan pernah kawin.
Di Indonesia, jaminan terhadap hak anak tercantum dalam UUD
1945 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Terkait dengan perkawinan anak, UU 35 2014 secara eksplisit menyebutkan
kewajiban orang tua dalam mencegah terjadinya perkawinan anak. Komitmen
Pemerintah Indonesia untuk mencegah perkawinan anak kemudian terwujud dengan
terbitnya UU 16/2019 yang mengubah pasal mengenai batas minimum usia perkawinan
anak dalam UU 1/1974 tentang Perkawinan. Dengan terbitnya UU 16/2019, batas
minimum usia perkawinan meningkat dari 16 tahun menjadi 19 tahun.�
Berdasarkan data dari Kantor Urusan Agama (KUA),
didapatkan bahwa Desa Kuta merupakan desa dengan angka pernikahan dini
terbesar, dimana jumlah remaja yang melakukan perkawinan dibawah usia 20 tahun
pada tahun 2015 sebanyak 61 orang dari 86 perkawinan (70,8 %). Hal tersebut
menunjukkan bahwa angka perkawinan dibawah usia 20 tahun masih tergolong
tinggi.
Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa (Yani, 2017). Tetapi Pernikahan
pada anak bukan merupakan salah satu hal yang umum. Penyebab pernikahan pada
anak terdiri atas berbagai macam faktor, antara lain faktor sosial ekonomi
(tempat tinggal di area pinggir kota, kemiskinan dan pendidikan yang selalu
menjadi faktor yang dominan dan terjadi secara berulang (Raj, Jackson, & Dunham, 2018). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan pendidikan responden dan penghasilan orang tua dengan
pernikahan dini pada perempuan di Desa Kuta Bogor.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik yang
menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Lokasi penelitian bertempat di Desa Kuta Bogor.
Populasi studi (populasi target) adalah perempuan berusia 20-35 tahun baik yang
sudah menikah maupun yang belum sejumlah 364 orang.
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik multistage random sampling dengan jumlah
sampel minimal adalah 119 orang. Teknik pengumpulan data merupakan data primer
dengan instrumen berupa kuesioner.
Hasil
dan Pembahasan
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Responden Yang
Menikah Dini Di Desa Kuta Bogor
Pernikahan
Dini |
Jumlah ( n ) |
Persentase ( % ) |
Ya |
84 |
70,6 |
Tidak |
35 |
29,4 |
Jumlah |
119 |
100 |
Tabel 2
�Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden di
Desa Kuta Bogor
Pendidikan |
Jumlah ( n ) |
Persentase
( % ) |
Dasar |
101 |
84.9 |
Menengah
&Tinggi |
18 |
15.1 |
Jumlah |
119 |
100 |
Tabel� 3
Distribusi Frekuensi
Penghasilan Orangtua di Desa Kuta Bogor
Penghasilan
Orang tua |
Jumlah (
n ) |
Persentase ( % ) |
Rendah |
104 |
87,4 |
Tinggi |
15 |
12,6 |
Jumlah |
119 |
100.0 |
Tabel 4
Hubungan Pendidikan Perempuan Dengan
Pernikahan Dini di Desa Kuta Bogor
Pendidikan |
Pernikahan
Dini |
Total |
P
Value |
OR (95
% CI) |
||||
Ya |
Tidak |
|||||||
|
n |
% |
n |
% |
N |
% |
|
|
Dasar |
76 |
75,2 |
25 |
24,8 |
101 |
100 |
|
3,8 (1,352
� 10,683) |
Menengah
&Tinggi |
8 |
44,4 |
10 |
55,6 |
18 |
100 |
0,008 |
|
Jumlah |
84 |
70,6 |
35 |
29,4 |
119 |
100 |
|
|
Tabel 5
Hubungan Penghasilan Orang Tua
Dengan Pernikahan Dini di Desa Kuta Bogor
Penghasilan
orang tua |
Pernikahan
Dini |
Total |
P
Value |
OR (95
% CI) |
||||
Ya |
Tidak |
|||||||
n |
% |
n |
% |
N |
% |
|
|
|
Rendah |
78 |
73,6 |
28 |
26,4 |
106 |
100 |
0,040 |
3,250 (1,006-10,501) |
Tinggi |
6 |
46,4 |
7 |
53,8 |
13 |
100 |
||
Jumlah |
84 |
100 |
35 |
29,4 |
119 |
100 |
|
|
A.
Hubungan
Pendidikan Perempuan dengan Pernikahan Dini di Desa Kuta Bogor
Berdasarkan
tabel 4 diketahui bahwa responden yang menikah dini lebih banyak pada kategori
pendidikan dasar (75,2 %) dibandingkan dengan pendidikan menengah & tinggi
(44,4 %) dan hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
pendidikan dengan pernikahan dini dengan nilai P = 0,008. Selain itu, diketahui
juga bahwa responden yang berpendidikan dasar atau rendah berpeluang 3,8 kali
melakukan pernikahan dini dibandingkan responden yang berpendidikan menengah
dan tinggi.
Beberapa
faktor dominan yang terdokumentasikan menjelaskan bahwa salah satu faktor yang
berkontribusi terhadap terjadinya hubungan seksual pada masa remaja adalah
level pendidikan yang rendah (Faisal-Cury
et al., 2017).
Hasil
penelitian Naibaho menggambarkan rata-rata pendidikan �orang�
tua� maupun informan� itu�
sendiri� masih� tergolong�
rendah.� Tidak� ada�
informan� yang� melanjutkan pendidikannya ke perguruan
tinggi.� Tinggi rendahnya usia kawin
pertama adalah rendahnya akses kepada pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan
disebabkan oleh ekonomi keluarga yang kurang dimana kekurangan biaya menjadi
kendala bagi kelanjutan pendidikan (Naibaho,
2014).
Rata-rata
lama sekolah baik untuk perempuan
maupun
laki-laki usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan setelah usia 18 tahun
lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang melangsungkan perkawinan sebelum
usia 18 tahun. Pada kelompok perempuan usia 20-24 tahun selisih rata-rata lama
sekolah antara yang melangsungkan perkawinan pada usia anak dan usia 18 tahun
ke atas hampir mencapai dua tahun. Perempuan usia 20-24 tahun yang
melangsungkan perkawinan setelah usia 18 tahun bersekolah lebih lama dua tahun
dibandingkan dengan perempuan yang melangsungkan perkawinan di usia anak dari
kelompok umur yang sama. Perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan
perkawinan sebelum usia 18 tahun mempunyai rata-rata sekolah sampai kelas 7.
Artinya, perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan sebelum usia
18 tahun rata-rata menamatkan pendidikannya pada jenjang Sekolah Dasar (SD).
Berbeda dengan perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan setelah
usia 18 tahun rata-rata sekolahnya sampai dengan tamat SMP. Diantara perempuan
20-24 tahun yang sudah menikah, alasan utama mengapa mereka tidak bersekolah
lagi adalah menikah (47,9 persen untuk yang menikah di bawah 18 tahun dan 42,1
persen untuk menikah di atas 18 tahun). Alasan terbesar selanjutnya adalah
mengurus rumah tangga dan tidak ada biaya sekolah. Sedangkan, diantara
perempuan 20-24 tahun yang belum menikah, 34,94 persen mengaku masih bersekolah
dan jika tidak bersekolah lagi, alasan terbesar mereka adalah karena bekerja
(30,54 persen), dilanjutkan dengan tidak ada biaya sekolah dan merasa
pendidikannya sudah cukup (Statistik,
2017).
Dewi & Dartanto (2019) mengemukakan bahwa adanya sekolah
menengah dan pelatihan keterampilan mengurangi kemungkinan anak perempuan
menikah di usia anak. Setiap tambahan dari salah satu fasilitas ini dapat
mengurangi kemungkinan perkawinan anak terjadi sebesar 1,3 poin persen (sekolah
menengah) dan 0,46 poin persen (institusi pelatihan).
B.
Hubungan
Penghasilan orang tua dengan Pernikahan Dini di Desa Kuta Bogor
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa responden yang menikah dini lebih banyak pada kategori
penghasilan orang tua yang rendah (73,6 %) dibandingkan dengan penghasilan
tinggi (46,4 %) dan uji statistik menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara penghasilan orang tua dengan pernikahan dini. Selain itu, diketahui bahwa
orang tua yang berpenghasilan rendah memiliki peluang 3,250 kali untuk
menikahkan anaknya secara dini dibandingkan dengan orang tua yang
berpenghasilan tinggi.
Berdasarkan
penelitian (Dwinanda,
Wijayanti, & Werdani, 2017) peran
orangtua dalam menentukan perkawinan anak dipengaruhi oleh faktor sosial
ekonomi keluarga, tingkat pendidikan keluarga, kepercayaan dan adat istiadat
yang berlaku dalam keluarga dan kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi
masalah remaja (Faisal-Cury
et al., 2017).
Penelitian
(Montazeri,
Gharacheh, Mohammadi, Alaghband Rad, & Eftekhar Ardabili, 2016) mengungkapkan
bahwa sebagian besar responden tumbuh pada situasi ekonomi keluarga yang kurang
beruntung. Sehingga pengalaman dan lingkungan masa kecil mereka sangat sulit
dan inilah yang menjadi alasan fundamental yang mendorong mereka untuk menikah
dini untuk mengurangi beban orangtua (Faisal-Cury
et al., 2017).
Anak
menikah sebelum umur 18 tahun seringkali terjadi karena beberapa penyebab,
seperti kemiskinan, akses yang buruk ke pendidikan formal dan kapasitas
pengasuhan orang tua yang kurang. Sebelumnya, situasi-situasi tersebut dilihat
sebagai hal yang terpisah dan karenanya program tidak dilaksanakan secara
komprehensif (Djaja,
M., Gyamitri, B., Alfiasari., & Novita, 2016).
Beberapa
penelitian sebelumnya oleh UNFPA (2012) dan UNICEF & UNFPA (2018)
menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan pendorong utama perkawinan anak pada
perempuan di negara berkembang (Paul,
2019).
Kondisi keluarga yang miskin membuat anak dianggap sebagai beban ekonomi,
sehingga perkawinan anak adalah satu-satunya solusi untuk mengurangi beban
tersebut (Benedicta,
G. D., Noor, I. R., Kartikawati, R., Zahro, F.A., Susanti, 2017).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara variabel pendidikan perempuan dan penghasilan orang tua dengan
pernikahan dini pada perempuan di Desa Kuta Bogor. Adapun kegiatan yang perlu
dikembangkan di masyarakat adalah peran serta secara aktif dalam memberikan
informasi kepada remaja di Desa Kuta, baik berupa penyuluhan, memasang poster
atau media lain yang mengandung imbauan atau promosi kesehatan tentang
kesehatan remaja, melakukan advokasi kepada tokoh masyarakat agar ikut
melaksanakan program yang terkait kesehatan remaja serta bersama aparat desa
mengadakan kegiatan rutin dalam kelompok Bina Keluarga Remaja (BKR), misalnya
kegiatan olahraga, konseling oleh narasumber dan lain-lain.
BIBLIOGRAFI
Benedicta, G. D., Noor, I. R., Kartikawati, R., Zahro,
F.A., Susanti, et al. (2017). Studi Kualitatif � Yes I Do Alliance (YID).
Faktor Penyebab dan Konsekuensi Perceraian Setelah Perkawinan Anak di Kabupaten
Sukabumi, Rembang dan Lombok Barat.
Djaja, M., Gyamitri, B., Alfiasari.,
& Novita, L. (2016). Telaah Kebijakan Pendewasaan Usia Perkawinan Anak
di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dwinanda, Aditya Risky, Wijayanti,
Anisa Catur, & Werdani, Kusuma Estu. (2017). Hubungan antara Pendidikan Ibu
dan Pengetahuan Responden dengan Pernikahan Usia Dini. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Andalas, 10(1), 76�81.
Faisal-Cury, Alexandre, Tabb,
Karen M., Niciunovas, Guilherme, Cunningham, Carrie, Menezes, Paulo R., &
Huang, Hsiang. (2017). Lower education among low-income Brazilian adolescent
females is associated with planned pregnancies. International Journal of
Women�s Health, 9, 43.
Kumala Dewi, Luh Putu Ratih, &
Dartanto, Teguh. (2019). Natural disasters and girls vulnerability: is child
marriage a coping strategy of economic shocks in Indonesia? Vulnerable
Children and Youth Studies, 14(1), 24�35.
Montazeri, Simin, Gharacheh,
Maryam, Mohammadi, Nooredin, Alaghband Rad, Javad, & Eftekhar Ardabili,
Hassan. (2016). Determinants of early marriage from married girls� perspectives
in Iranian setting: a qualitative study. Journal of Environmental and Public
Health, 2016.
Naibaho, Hotnatalia. (2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda (studi kasus di Dusun IX
Seroja pasar VII Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang). Welfare
StatE, 2(4).
Paul, Pintu. (2019). Effects of
education and poverty on the prevalence of girl child marriage in India: A
district�level analysis. Children and Youth Services Review, 100,
16�21.
Raj, Anita, Jackson, Emma, &
Dunham, Serena. (2018). Girl child marriage: A persistent global women�s health
and human rights violation. In Global Perspectives on Women�s Sexual and
Reproductive Health Across the Lifecourse (pp. 3�19). Springer.
Statistik, Badan Pusat. (2017). Buku
4 Konsep dan Definisi Susenas Maret 2018. Jakarta: BPS.
Yani, Encep Ahmad. (2017). Peranan
Wali Nikah Siri Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia. Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(11), 40�49.