JOURNAL SYNTAX IDEA

p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 5, No.7, July 2023

 

 

 

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS MELALUI PRINSIP RESTORATIVE JUSTICE DI WILAYAH KOTA SORONG

 

Ryo Guntur Triatmoko, Ramlani Lina Sinaulan, Yuhelson

Program Magister Hukum Universitas Jayabaya

Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini berfokus pada masalah yang pertama penyelesaian perkara tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang berlangsung selama ini yang diterapkan dalam penegakan hukum dan bagaimana rekonstruksi penyelesaian tindak pidana kecelakaan lalulintas yang ideal berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan penelitian berupa pendekatan normatif. Hasil dari penelitian ini bahwa keterlibatan langsung antara pelaku, korban, dan masyarakat dalam penyelesaian kasus pidana ditekankan dalam pendekatan keadilan restoratif. Tindak pidana yang melibatkan kecelakaan lalu lintas dapat diselesaikan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif. Karena melayani kepentingan korban dan pelaku berdasarkan dua perspektif (korban dan pelaku) dalam hal tindak pidana kecelakaan, penggunaan keadilan restoratif sangat penting. Penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana yang mengutamakan kepentingan korban dan pelaku dalam mencari solusi atas kejahatan dan akibatnya telah dituangkan dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Kepolisian Republik Indonesia.� Dinamika tradisional antara masyarakat lokal dan pemerintah mereka dalam memerangi kejahatan dapat diubah dengan penggunaan keadilan restoratif dalam kasus-kasus yang melibatkan kecelakaan. Lembaga adat masih sering digunakan di Kota Sorong oleh masyarakat setempat untuk menyelesaikan konflik, namun UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mengatur ancaman hukuman pidana bagi mereka yang bertanggung jawab atas kecelakaan lalu lintas. Oleh karena itu, polisi harus menyelidiki kecelakaan lalu lintas meskipun keluarga korban memutuskan untuk tidak menuntut..

Kata Kunci: Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas, Keadilan Restoratif, Lembaga Adat


 

Abstract

This study focuses on the first problem of solving traffic accident criminal cases that have been applied in law enforcement and how to reconstruct the ideal traffic accident crime resolution based on a restorative justice approach. The method used in this study is normative juridical research with a research approach in the form of a normative approach. The result of this study is that direct involvement between perpetrators, victims, and communities in solving criminal cases is emphasized in the restorative justice approach. Criminal acts involving traffic accidents can be resolved in accordance with the principles of restorative justice. Because it serves the interests of victims and perpetrators based on two perspectives (victims and perpetrators) in terms of accident crimes, the use of restorative justice is essential. The application of restorative justice in solving criminal cases that prioritizes the interests of victims and perpetrators in finding solutions to crimes and their consequences has been outlined in a circular issued by the Indonesian National Police. The traditional dynamic between local communities and their governments in fighting crime can be changed by the use of restorative justice in cases involving accidents. Customary institutions are still often used in Sorong City by local communities to resolve conflicts, but Law No. 22/2009 on Traffic and Road Transport has stipulated the threat of criminal penalties for those responsible for traffic accidents. Therefore, the police should investigate the traffic accident even if the victim's family decides not to prosecute.

 

Keywords: Traffic Accident Crime, Restorative Justice, Customary Institutions

 

PENDAHULUAN

Lalu lintas sebagai salah satu gerak kendaraan dan jalan masyarakat yang berperan dalam memperlancar pembangunan nasional di berbagai bidang Yuliana (2020). Lalu lintas juga sebagai salah satu sarana yang sangat penting bagi masyarakat dalam memperlancar berbagai aktivitas masyarakat, menunjang mobilitas penduduk dan memperlancar pembangunan di berbagai bidang. Permasalahan lalu lintas merupakan salah satu masalah berskala nasional yang didasari dari perkembangan masyarakat. Salah satu permasalahan dalam lalu lintas adalah tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas tidak hanya menimbulkan korban jiwa tetapi juga menimbulkan kerugian secara materiil atau finansial.

Kecelakaan lalu lintas merupakan peristiwa yang terjadi pada suatu pergerakan lalu lintas akibat adanya kesalahan pada sistem pembentuk lalu lintas yang melibatkan manusia sebagai pengemudi, kendaraan, jalan dan lingkungan sekitar. Kecelakaan lalu lintas juga terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara jumlah kendaraan dengan fasilitas jalan yang ada, terutama perluasan jaringan jalan �raya (Nurcahyo, 2022).

Meningkatnya volume kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor di jalan raya yang tidak disertai dengan penambahan akses jalan raya yang memadai untuk menampung banyaknya kendaraan menimbulkan dampak negatif bagi pengguna jalan yang lain, misalnya kemacetan dan tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Lalu lintas yang tidak aman, tidak tertib, tidak lancar dan tidak efesien akan menimbulkan berbagai kesulitan dalam masyarakat (Enggarsasi & Sa�diyah, 2017). Kecelakaan lalu lintas di Indonesia mengindikasikan adanya hubungan yang cukup signifikan antara perilaku kejadian kecelakaan dengan karakteristik lalu lintasnya, misalnya di jalan-jalan perkotaan pada umumnya yang terlibat kecelakaan terbesar adalah sepeda motor, pejalan kaki dan sepeda yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang fatal, sedangkan kecelakaan di luar kota mengindikasikan dominasi keterlibatan kendaraan roda empat ke atas dengan tingkat kefatalan yang juga mengkhawatirkan (Sailendra, 2008).

Pada tindak pidana kecelakaan lalu lintas seringkali terjadi kontra diksi, di mana pelaku tindak pidana lalu lintas sudah melaksanakan kewajibannya memberikan santunan kepada korban atau keluarga korban namun tetap dikenakan sanksi pidana. Hal ini seringkali dirasa tidak adil bagi pelaku tindak pidana lalu lintas jalan. Oleh karena itu kemudian timbul wacana agar dapat diupayakan diversi dengan pendekatan keadilan yang restoratif (restorative justice) bagi pelaku tindak pidana lalu lintas jalan. Keadilan restoratif (restorative justice) merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan masyarakat, korban dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercipta keadilan bagi seluruh pihak sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti saat sebelum terjadinya kejahatan serta untuk mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut. Tujuan keadilan restoratif (restorative justice) dengan kata lain adalah pemulihan hubungan antara pelaku dengan dengan korban.

Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk menjawab ketidakpuasan atas hasil kerja Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang ada. Pendekatan ini digunakan sebagai bingkai strategi dalam menangani perkara pidana. Prinsip keadilan restoratif merupakan bagian dari inheren dalam sistem peradilan pidana di negara maju (Syahrin, 2018). Prinsip-prinsip keadilan restoratif (restorative justice) sebagaimana yang dirumuskan dalam United� Nations Resolutions and Decision Adopted by ECOSOC at its Substantive Session of 2002 (Denis, 2021).

Konsep asli atau teoretis dari restorative justice (keadilan restoratif) adalah penyelesaian konflik secara informal dalam rangka pemulihan hubungan. Keadilan restoratif (restorative justice) di Indonesia cenderung bersifat informal dalam suatu pranata sosial yang bersifat formal. Restorative justice (keadilan restoratif) merupakan suatu filsafat, proses, ide, teori dan intervensi yang menekankan dan memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh pelaku kriminal. Proses ini sangat kontras dengan cara standar mengenai kejahatan yang dipandang sebagai pelanggaran yang dilakukan terhadap negara. Restorative justice (keadilan restoratif) menemukan dasar filosofis dalam sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah sebagai prioritas dalam mengambil keputusan. Tujuan menyelesaikan masalah dengan mediasi adalah untuk memanusiakan sistem peradilan, yaitu keadilan yang mampu menjawab kebutuhan yang hakiki dari korban, pelaku dan masyarakat (Fitrian & Muhammad, 2021).

Rumusan khusus yang mengatur tentang restorative justice (keadilan restoratif) memang belum ada, namun hal ini tidak berarti bahwa penerapan restorative justice (keadilan restoratif) tidak ada dasar hukumnya. Terlebih dalam Teori Penemuan Hukum yang menjadi tugas penegak hukum yang meliputi juga menemukan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat (Muhibbuddin, 2015). Apabila hukum yang ada dalam masyarakat ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada maka menurut kajian sociolegal studies, aparat penegak hukum tidak berarti diam dan melakukan pembiaran tanpa menciptakan keadilan (Prayitno, 2012).

Pemikiran mengenai restorative justice (keadilan restoratif) pertama kali muncul di kalangan ahli Hukum Pidana sebagai reaksi atas dampak negatif yang timbul dari penerapan sanksi pidana dengan sifat represif dan koersifnya.. Hal ini terlihat dari pernyataan Hulsman yang mengatakan bahwa sistem Hukum Pidana dibangun dengan pemikiran bahwa Hukum Pidana harus menimbulkan nestapa. Pemikiran tersebut menurut Hulsman sangat berbahaya, oleh karena itu Hulsman mengemukakan ide untuk menghapus sistem Hukum Pidana yang dianggap lebih banyak mendatangkan penderitaan dari pada kebaikan dan menggantikanya dengan cara lain yang dianggap lebih baik (Hulsman, 1998). Dalam konteks kecelakaan lalu lintas di Kota Sorong, Papua Barat, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dari perspektif hukum adat suku Moi, yakni suku Moi memiliki sistem hukum adat yang khas yang mengatur tentang tindakan-tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anggota suku Moi. Dalam hukum adat suku Moi, biasanya tindakan yang harus dilakukan adalah melalui upacara adat yang disebut "garewa". Garewa adalah upacara adat yang dilakukan sebagai bentuk perdamaian antara keluarga korban dan pelaku kecelakaan. Dalam upacara ini, pihak pelaku kecelakaan harus memberikan sejumlah uang sebagai bentuk ganti rugi kepada keluarga korban, serta melakukan berbagai ritual sebagai tanda permohonan maaf dan meminta pengampunan dari keluarga korban.

Namun, di samping hukum adat suku Moi, ada juga peraturan-peraturan hukum nasional yang berlaku di Indonesia, termasuk dalam hal kecelakaan lalu lintas. Dalam hal kecelakaan lalu lintas di Kota Sorong, pihak yang terlibat dalam kecelakaan biasanya akan diatur oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sementara itu, apabila terdapat perbedaan antara hukum adat dan hukum nasional, maka biasanya hukum nasional akan diutamakan sebagai hukum yang berlaku. Meskipun begitu, pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dapat mencoba untuk menyelesaikan masalah secara damai dengan melibatkan adat istiadat suku Moi sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan konflik secara adil dan harmonis. Dalam Hukum adat mengacu pada prinsip-prinsip dan praktik-praktik hukum tidak tertulis yang diwariskan secara turun-temurun dalam suatu komunitas atau masyarakat tertentu. Kebiasaan ini sering kali berakar kuat pada budaya dan tradisi masyarakat dan mungkin telah dipraktikkan selama berabad-abad. Belakangan ini, hukum adat telah mendapatkan pengakuan sebagai sumber hukum yang sah di banyak yurisdiksi, termasuk dalam konteks peraturan lalu lintas.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif, dan bersifat deskriptif analitis menggunakan baik bahan hukum primer, sekunder maupun tersier sebagai data utama. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan abstrak teoritis. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundangundangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Sedangkan pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum (Cantika, 2022).

Bahan-bahan hukum yang ditelaah dalam penelitian ini, antara lain terdiri dari Pertama, bahan hukum primer, yaitu: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP); Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 096/KMA/SK/VII/2011 tentang Tim Penerbitan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai Rumusan Kaidah Hukum; Yurisprudensi Mahkamah Agung Putusan Nomor 1600 K/Pid/2009. Kedua, bahan hukum sekunder, yaitu sumber hukum sekunder berupa buku, artikel dalam jurnal ilmiah, surat kabar, majalah, dan lainnya yang berkaitan dengan topik yang diteliti, dan Ketiga, bahan hukum tertier, yaitu: kamus, ensiklopedia, dan lainnya yang menjelaskan lebih ringkas dari suatu penelitian. Data-data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode studi dokumen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Melalui Prinsip Restorative Justice Di Wilayah Kota Sorong

Seiring dengan perkembangan hukum pidana, ada kecenderungan paradigma pemidanaan dan gagasan keadilan berubah dari keadilan retributif (peradilan pidana) menjadi keadilan restoratif. Dalam hal, tindak pidana kecelakaan lalu lintas dapat diselesaikan dengan menggunakan prinsip-prinsip keadilan restoratif dan kebijakan hukum pidana dalam penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas merupakan beberapa dari sekian banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai hal ini. keadilan restoratif dapat membantu para pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas untuk mencapai penyelesaian dan mencapai keadilan dan manfaat bagi semua pihak.

Keadilan restoratif adalah model pendekatan yang dikembangkan pada tahun 1960-an untuk membantu menyelesaikan kasus-kasus pidana. Strategi ini menekankan keterlibatan langsung antara pelaku, korban, dan masyarakat dalam penyelesaian kasus pidana, berbeda dengan strategi yang digunakan dalam sistem peradilan pidana tradisional. Keadilan restoratif adalah kerangka hukum yang menurut liebmann, "bertujuan untuk memulihkan kesejahteraan korban, pelaku, dan masyarakat yang dirugikan oleh kejahatan, serta mencegah terjadinya pelanggaran atau tindak pidana." (Liebmann, 2007) selain itu, liebmann menawarkan rumusan prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif sebagai berikut: (a) memprioritaskan dukungan dan pemulihan korban; (b) pelaku bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya; (c) dialog antara korban dan pelaku untuk mencapai kesepahaman; (d) ada upaya untuk menempatkan kerugian yang ditimbulkan secara layak; (e) pelaku harus menyadari bagaimana menghindari kejahatan di masa depan; dan (f) masyarakat membantu mengintegrasikan kedua belah pihak, baik korban maupun pelaku� (Liebmann, 2007).

Kepentingan korban memiliki peran yang jauh lebih penting dalam proses restoratif dibandingkan dengan sistem peradilan pidana saat ini. Undang-undang yang mendefinisikan hak-hak prosedural korban selama proses hukum acara pidana atau hukum acara pidana anak telah diadopsi di beberapa negara (Hutauruk, 2019). untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana di luar pengadilan, keadilan restoratif dapat diterapkan dengan salah satu dari beberapa cara. Metode-metode ini dapat dikembangkan sebagai hasil dari penelitian yang ekstensif (Utomo et al., 2019).

Keterlibatan masyarakat juga dapat menjadi bagian dari keadilan restoratif, yang memungkinkan anggota masyarakat yang terkena dampak untuk mengambil bagian dalam proses dialog dan menawarkan bantuan kepada korban dan pelaku. Dengan mendorong rasa akuntabilitas dan tanggung jawab di dalam komunitas, hal ini dapat membantu pemulihan kepercayaan. Penting untuk diingat bahwa keadilan restoratif tidak dapat menggantikan proses peradilan pidana. Tuntutan pidana mungkin masih diperlukan dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang serius untuk meminta pertanggungjawaban pelaku atas tindakan mereka dan untuk melindungi masyarakat. Tujuan dari keadilan restoratif adalah untuk mengatasi kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan dengan cara yang lebih komprehensif dan berfokus pada masyarakat. Hal ini dapat digunakan sebagai pendekatan komplementer terhadap peradilan pidana.

Kecelakaan lalu lintas yang merupakan tindak pidana, dan diatur dalam pasal 310 ayat (2), (3), dan (4) UU no. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Sebelum UU lalu lintas dan angkutan jalan diundangkan, kecelakaan lalu lintas hanya dianggap sebagai masalah pribadi. UU lalu lintas dan angkutan jalan dianggap sebagai terobosan hukum karena menempatkan kecelakaan lalu lintas, yang sebelumnya hanya dianggap sebagai kelalaian (culpa), sebagai suatu tindak pidana/kejahatan yang harus diberlakukan hukum publik. Dalam hukum publik, dalam hal ini hukum pidana, setiap masalah yang timbul akan diserahkan kepada negara melalui sistem peradilan untuk penyelesaiannya. Proses penyelesaian dalam sistem peradilan pidana tidak melibatkan pelaku maupun korban. Baik korban maupun pelaku hanya berperan kecil dan tidak ada ruang yang tersedia bagi pelaku dan korban untuk menemukan keadilan yang lebih personal.

Dampak kecelakaan lalu lintas tidak hanya dirasakan oleh korban dan keluarganya, tetapi juga oleh lingkungan sekitar. Masyarakat dipaksa untuk menyaksikan ketidakadilan dan kejahatan yang terjadi di lingkungan mereka. Orang-orang ini dapat terlibat jika korban kecelakaan lalu lintas mengalami masalah psikologis, fisik, atau sosial sebagai akibat dari kecelakaan tersebut. Oleh karena itu, kasus-kasus yang melibatkan kecelakaan lalu lintas perlu melibatkan masyarakat dalam penyelesaiannya. Penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas yang intensif dan menyeluruh tidak hanya berfokus pada korban, pelaku, dan keluarga mereka, tetapi juga pada orang-orang yang terkena dampak langsung dari kecelakaan tersebut (Primasari, n.d.).

Menurut (Marshall, 1996) definisi keadilan restoratif telah dimodifikasi dengan adanya partisipasi dari pelaku, korban, keluarga, dan masyarakat. marshall berpendapat bahwa pendekatan keadilan restoratif adalah suatu metode penyelesaian perkara pidana yang melibatkan semua pihak yang terkait agar pada akhirnya dapat mencapai suatu penyelesaian dan juga perdamaian dalam menghadapi peristiwa yang terjadi setelah terjadinya tindak pidana dan untuk menemukan cara menghadapinya di kemudian hari (Marshall, 1996). penggunaan keadilan restoratif merupakan paradigma baru dalam menangani kejahatan. Menurut (Yarn, 2023), keadilan restoratif lebih menekankan pada rasa sakit atau kehilangan yang dialami oleh korban daripada hukuman terhadap pelaku. Korban kecelakaan mobil tidak mendapatkan apapun dari hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku.

Ide keadilan restoratif adalah metode penyelesaian pelanggaran hukum dengan mempertemukan korban dan pelaku dalam sebuah pertemuan sehingga mereka dapat bersuara. Alih-alih menekankan bagaimana pelaku harus bertanggung jawab atas kejahatan yang telah dilakukan dan bagaimana korban dapat dikembalikan ke kondisi semula, keadilan restoratif lebih mengutamakan bagaimana pelaku dapat bertanggung jawab atas kejahatan yang telah dilakukan. Tujuan utama dari keadilan restoratif adalah untuk menciptakan peradilan yang adil, tetapi juga diantisipasi bahwa semua pihak, termasuk pelaku, korban, dan masyarakat, akan memainkan peran yang signifikan dalam proses tersebut. Korban berhak atas kompensasi yang disepakati oleh pelaku dan diharapkan dapat menggantikan kerugian atau penderitaan yang diderita oleh korban secara proporsional dengan penderitaan yang dialami.�

Selain itu, diharapkan melalui keadilan restoratif, pelaku akan mengakui kesalahannya. Mediasi, mediasi korban-pelaku, reparasi, pertemuan kelompok keluarga, kelompok korban-pelaku, dan kewaspadaan korban adalah contoh-contoh teknik penyelesaian keadilan restoratif. Prinsip dasar dari keadilan restoratif adalah mendorong partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat untuk menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Pelaku, korban, dan masyarakat diposisikan sebagai pemangku kepentingan yang secara langsung mencari solusi yang dianggap adil bagi semua pihak.

Keadilan restoratif digunakan dalam kasus-kasus kriminal yang melibatkan anak sebagai pelaku, namun saat ini sering muncul diskusi mengenai penggunaan keadilan restoratif dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang fatal.� Hal ini memunculkan beberapa masalah. Pertama, ada kekhawatiran bahwa pelaku akan bertindak sewenang-wenang karena mereka percaya bahwa mereka dapat memberikan kompensasi kepada korban kecelakaan atau keluarga mereka, yang memungkinkan mereka untuk mengulangi tindakan mereka di masa depan karena hukuman yang mereka terima tidak membuat mereka jera. Kedua, jika terjadi perdamaian antara para pihak sebelum proses hukum, apakah mungkin pelaku tidak akan dituntut? Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena dapat mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Ketika keadilan restoratif diterapkan dalam kasus kecelakaan lalu lintas, kedua masalah ini sering menimbulkan ambiguitas.

Sebaliknya, mengingat keterbatasan hukum pidana dalam menangani kejahatan, maka akan menimbulkan lebih banyak masalah. Menurut barda nawawi arief, sifat/esensi dan tujuan hukum pidana itu sendiri dapat menjadi faktor penyebab terbatasnya efektivitasnya (Engineer, 2007). sanksi hukum yang berlaku saat ini tidak berfungsi sebagai obat untuk mengatasi penyebab (sumber) penyakit dan juga mengandung unsur-unsur yang berpotensi membahayakan. Pada umumnya, polisi menggunakan metode mediasi penal untuk menyelesaikan sengketa kecelakaan lalu lintas agar kedua belah pihak mendapatkan keuntungan dari penyelesaian kasus tersebut (Hairuddin, 2016). kepentingan korban tidak terpengaruh oleh hukuman yang bersifat pribadi. Penerapan hukum pidana semakin diperlemah dengan sedikitnya jenis sanksi pidana yang diatur dalam uu lalu lintas dan angkutan jalan. UU lalu lintas dan angkutan jalan hanya mencantumkan sanksi pidana-yaitu penjara dan denda-secara individual atau kolektif.

Keadilan, menurut john rawls, didefinisikan sebagai fairness, yang mencakup gagasan bahwa orang yang bebas dan rasional harus ditempatkan pada pijakan yang sama ketika memajukan kepentingan mereka harus ditempatkan pada pijakan yang sama ketika mereka memulai, dan bahwa ini adalah kondisi yang diperlukan bagi mereka untuk bergabung dengan organisasi yang ingin mereka ikuti. Bergabung dengan kelompok yang mereka inginkan (Sutrisno, 2007). jadi, jika tatanan yang ada dapat diterima oleh semua individu secara adil, melalui penerimaan yang tulus terhadap semua tatanan yang ada oleh semua kelompok, golongan, ras, etnis, dan agama tanpa tekanan, maka tatanan yang ada dengan sendirinya bertransformasi menjadi adil (alamiah, natural).

Ketika upaya penerapan keadilan restoratif lebih mengedepankan kepentingan pelaku daripada kepentingan korban, perdebatan mengenai penerapannya dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban jiwa menjadi semakin mengemuka.� Persepsi masyarakat menjadi miring terhadap penerapan keadilan restoratif. Kemudian, masyarakat memperdebatkan kelebihan dan kekurangan dari penggunaan keadilan restoratif untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana kecelakaan lalu lintas.� Pendapat yang pro menyatakan bahwa karena faktor penyebab kecelakaan lalu lintas biasanya karena ketidaksengajaan atau kelalaian, maka memenjarakan pelaku akan menjadi hukuman yang sangat memberatkan.� Di sisi lain, sudut pandang yang berlawanan berpendapat bahwa korban kecelakaan lalu lintas dan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku telah memenuhi rasa keadilan. Oleh karena itu, dalam menggunakan penafsiran prinsip-prinsip kecelakaan harus dilihat dari sudut pandang korban dan pelaku kecelakaan lalu lintas sebelum menerapkan keadilan restoratif pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana.

Konsep keadilan restoratif muncul sebagai respon atas dampak negatif dari sanksi pidana yang bersifat represif dan koersif, seperti yang dijelaskan oleh Hulsman. Gagasan ini telah mendapatkan pengakuan di berbagai negara, termasuk Indonesia, dan telah diterapkan pada beberapa kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban jiwa. Meskipun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mengatur sanksi pidana bagi pengendara kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan korban jiwa, namun korban dalam kecelakaan lalu lintas juga perlu mendapat perhatian. Dalam disiplin ilmu viktimologi yang membahas masalah korban dalam segala aspek, termasuk hak dan kewajibannya dalam Sistem Peradilan Pidana, beberapa kasus diselesaikan melalui partisipasi aktif korban, pelaku, dan masyarakat dalam hubungannya dengan aparat penegak hukum. Hukum adat dan mekanisme penyelesaian konflik Suku Moi juga relevan dengan konsep keadilan restoratif karena menekankan keterlibatan masyarakat dan pembangunan konsensus.

Dalam hal penjatuhan sanksi pidana, penyelesaian secara adat diperlukan di Kota Sorong. Hal ini dimaksudkan agar dalam kasus-kasus pidana, masyarakat adat atau kepala adat Moi dapat meninjau kembali penyelesaian secara litigasi atau di luar pengadilan. Selain itu, jika pelaku menolak untuk mematuhi hukuman kurungan, hukum adat Moi dapat berfungsi sebagai subsider atau pengganti masalah utama, seperti denda sebagai pengganti hukuman kurungan. Korban dan kepala suku Moi menentukan jumlah denda, yang dapat dibayar dengan babi, piring, guci, atau barang-barang lain dari ekonomi tradisional suku Moi.

Masyarakat Moi mengikuti hukum adat sebagai kode etik, dan ini sangat penting dalam menyelesaikan sengketa. Masyarakat adat yang menjadi pelaku dalam kasus kriminal diharuskan membayar ganti rugi material, biasanya dalam bentuk uang, sebagai bagian dari proses mediasi. Kasus pidana dianggap selesai setelah korban menerima pembayaran, dan pada saat itu mereka mencabut laporan polisi. Secara keseluruhan, selama permintaan korban untuk membayar denda adat dipenuhi, masyarakat Moi senang dengan prosedur hukum adat. Jelas bahwa menerapkan hukum adat memiliki keuntungan, seperti mencegah calon pelanggar dan memberikan rasa keadilan kepada korban. Dalam hal penerapan sanksi atau denda adat Moi, prosesnya secara umum sama untuk suku-suku yang memiliki marga yang berbeda. Kepala adat akan mempertemukan kedua belah pihak untuk berdamai.

Dalam hal, kasus kriminal kemudian ditangani sesuai dengan hukum nasional yang relevan setelah hukum adat diterapkan. Hasil dari penyelesaian hukum adat dapat menjadi pedoman atau faktor dalam keputusan pengadilan jika kasus tersebut dibawa ke pengadilan. Kepolisian Resor Kota Sorong bekerja sama dengan masyarakat adat di daerah tersebut, khususnya masyarakat adat Moi, untuk menyelesaikan kasus-kasus kriminal di Kota Sorong dengan menggunakan metode pendekatan adat. Kepolisian Resor Kota Sorong bekerja sama dengan pihak-pihak yang berperkara (lembaga adat) atau masyarakat adat yang terlibat dalam kasus-kasus pidana ringan. Menerima laporan, memanggil para pihak dan saksi, melakukan diskusi, dan mengambil keputusan adalah bagian dari prosedur ini. Para pemimpin lembaga adat atau Masyarakat Adat yang bersangkutan juga dilibatkan.

Dalam kasus kecelakaan lalu lintas, hukum adat juga dapat berlaku, terutama di daerah pedesaan di mana norma-norma dan praktik-praktik tradisional masih dominan. Di sisi lain, hukum adat dapat menjadi rumit dan mungkin berbeda dengan hukum nasional, sehingga menimbulkan ambiguitas dan ketidakpastian bagi para pelaku dan korban. Di Kabupaten Sorong, mereka yang menyebabkan kecelakaan diwajibkan untuk memberikan kompensasi kepada korban atau keluarga korban berdasarkan hukum adat. Namun, di bawah hukum nasional, mereka masih dapat dimintai pertanggungjawaban pidana meskipun ada kewajiban untuk mengganti kerugian. Hal ini menimbulkan argumen tandingan di mana mereka yang melakukan pelanggaran lalu lintas mungkin percaya bahwa mereka dihukum secara tidak adil meskipun mereka telah memenuhi kewajiban mereka untuk memberikan ganti rugi.

Cedera serius atau bahkan kematian akibat kecelakaan lalu lintas dapat menimbulkan tuntutan pidana di bawah sejumlah undang-undang dan peraturan, termasuk UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam situasi seperti ini, pelaku dapat dihukum dengan denda dan penjara, yang dalam beberapa kasus mungkin terlihat tidak adil, terutama jika pelaku telah memberikan kompensasi kepada korban atau keluarga korban. Dengan adanya kesulitan-kesulitan tersebut, ada peningkatan minat untuk meneliti strategi keadilan restoratif untuk menangani kecelakaan lalu lintas.

Dalam rangka menemukan resolusi yang memuaskan kebutuhan kedua belah pihak, keadilan restoratif berfokus pada perbaikan kerusakan yang disebabkan oleh kejahatan dan melibatkan komunikasi langsung antara korban dan pelaku. Strategi ini dapat sangat membantu dalam situasi tabrakan di mana mungkin ada kebutuhan untuk dukungan dan rehabilitasi yang berkelanjutan karena potensi parahnya dampak emosional pada kedua belah pihak. Salah satu strategi alternatif adalah keadilan restoratif, yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh pelanggaran dan memperbaiki ikatan antara pihak-pihak yang terlibat. Strategi ini dapat menghasilkan penyelesaian yang lebih adil dan layak bagi semua pihak, termasuk korban, keluarga korban, dan pelaku.

Secara umum, masalah kecelakaan lalu lintas melibatkan berbagai sistem hukum dan norma budaya, dan masih sulit untuk menemukan solusi yang adil dan tepat untuk kerugian yang ditimbulkan oleh kecelakaan ini. Keadilan restoratif mungkin dapat menjadi jalan yang menjanjikan, namun masih diperlukan lebih banyak penelitian dan pengujian untuk dapat memahami potensinya dalam situasi ini. Hukum adat dan keadilan restoratif dapat menjadi mekanisme yang saling melengkapi untuk menyelesaikan konflik dan memajukan keadilan di Kabupaten Sorong dan sekitarnya, sementara peraturan perundang-undangan nasional menyediakan kerangka kerja untuk menangani kecelakaan lalu lintas.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keterlibatan langsung antara pelaku, korban, dan masyarakat dalam penyelesaian kasus pidana ditekankan dalam pendekatan keadilan restoratif. Tindak pidana yang melibatkan kecelakaan lalu lintas dapat diselesaikan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif. Karena melayani kepentingan korban dan pelaku berdasarkan dua perspektif (korban dan pelaku) dalam hal tindak pidana kecelakaan, penggunaan keadilan restoratif sangat penting. Penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana yang mengutamakan kepentingan korban dan pelaku dalam mencari solusi atas kejahatan dan akibatnya telah dituangkan dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Kepolisian Republik Indonesia.� Dinamika tradisional antara masyarakat lokal dan pemerintah mereka dalam memerangi kejahatan dapat diubah dengan penggunaan keadilan restoratif dalam kasus-kasus yang melibatkan kecelakaan.

Lembaga adat masih sering digunakan di Kota Sorong oleh masyarakat setempat untuk menyelesaikan konflik, namun UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mengatur ancaman hukuman pidana bagi mereka yang bertanggung jawab atas kecelakaan lalu lintas. Oleh karena itu, polisi harus menyelidiki kecelakaan lalu lintas meskipun keluarga korban memutuskan untuk tidak menuntut. Sudut pandang yang berbeda tentang bagaimana menangani kejahatan dan dampaknya terhadap korban, pelaku, dan masyarakat ditawarkan oleh keadilan restoratif. Masyarakat adat Moi di Kota Sorong memiliki sistem hukum adatnya sendiri yang mengedepankan asas kekeluargaan dan negosiasi untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dalam kasus-kasus kriminal, terutama yang melibatkan kecelakaan lalu lintas. Budaya Moi telah menciptakan sejumlah mekanisme, seperti "kalak foo" dan "teh bless", untuk menyelesaikan perselisihan dalam kehidupan sosial dan budaya mereka. Metode tradisional masih penting sebagai representasi budaya dan sejarah Moi, meskipun popularitasnya menurun di daerah perkotaan. Untuk mewakili masyarakat adat dalam hubungan eksternal yang melibatkan kepentingan adat, Dewan Masyarakat Adat Malamoi mengelola dan menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat.

Di Kota Sorong, penyelesaian secara adat diperlukan untuk menjatuhkan hukuman pidana, dan kasus pidana dianggap selesai ketika korban telah menerima kompensasi. Proses hukum adat umumnya disukai oleh masyarakat Moi karena memberikan rasa keadilan bagi korban dan mencegah calon pelaku. Jika masalah ini dibawa ke pengadilan, kesimpulan dari penyelesaian hukum adat dapat digunakan sebagai preseden atau sebagai faktor penentu oleh pengadilan. Untuk menyelesaikan kasus-kasus kriminal di Kota Sorong dengan menggunakan teknik-teknik tradisional, Kepolisian Resor Kota Sorong bekerja sama dengan masyarakat adat setempat, khususnya masyarakat adat Moi.

BLIBLIOGRAFI

Cantika, M. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Kapal Pompong Pada Pelabuhan Sekupang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.

Denis, Y. P. (2021). Pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia Untuk Mencapai Tujuan Pemidanaan. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN.

Enggarsasi, U., & Sa�diyah, N. K. (2017). Kajian terhadap faktor-faktor penyebab kecelakaan lalu lintas dalam upaya perbaikan pencegahan kecelakaan lalu lintas. Perspektif, 22(3), 238�247.

Engineer, A. A. (2007). Islam dan pembebasan. LKIS Pelangi Aksara.

Fitrian, A., & Muhammad, A. (2021). Penerapan Metode Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara di Indonesia. Innovative: Journal Of Social Science Research, 1(2), 243�249.

Hairuddin, A. (2016). LEGALITAS PENYIDIK POLRI PADA PENYELESAIAN PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS. LEX ET SOCIETATIS, 4(6).

Hulsman, L. H. C. (1998). Selamat Tinggal Hukum Pidana Menuju Swa Regulasi, diterjemahkan oleh Wonosusanto. Forum (Surakarta: Studi Hukum Pidana).

Hutauruk, R. H. (2019). Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum. Sinar Grafika.

Liebmann, M. (2007). Restorative justice: How it works. Jessica Kingsley Publishers.

Marshall, T. F. (1996). The evolution of restorative justice in Britain. Eur. J. on Crim. Pol�y & Rsch., 4, 21.

Muhibbuddin, M. (2015). Pembaruan Hukum Waris Islam di Indonesia. State Islamic Institute of Tulungagung.

Nurcahyo, M. W. A. (2022). IMPLEMENTASI SANKSI PIDANA MENURUT UNDANG�UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN (Studi di Pengadilan Negeri Surabaya). Jurnal Hukum Dan Keadilan.

Prayitno, K. (2012). restorative justice untuk peradilan di Indonesia (perspektif yuridis filosofis dalam penegakan hukum In concreto). Jurnal Dinamika Hukum, 12(3), 407�420.

Primasari, L. (n.d.). MODEL PENYELESAIAN PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS (STUDI KASUS DI KEPOLISIAN DAERAH JAWA TENGAH). Yustisia Jurnal Hukum, 3(2).

Sailendra, A. B. (2008). Pengkajian Besaran Biaya Kecelakaan Lalu Lintas Atas Dasar Perhitungan Biaya Korban Kecelakaan Studi Kasus Bandung, Cirebon Dan Purwokerto. Jurnal Jalan-Jembatan, 89�111.

Sutrisno, E. (2007). Bunga rampai hukum & globalisasi. Genta Press.

Syahrin, M. A. (2018). Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Majalah Hukum Nasional, 48(1), 97�114.

Utomo, W., Isnaini, H., Suhartono, S., & Isnaeni, M. (2019). The Position of Honorary Council of Notary in Coaching Indonesian Notaries. JL Pol�y & Globalization, 92, 126.

Yarn, D. H. (2023). Evolution and dueling dispute processing. Evolution and Human Behavior, 44(3), 272�277.

 

Copyright Holder:

Alif Putri Diajengsari, Guspri Devi Artanti, Cucu Cahyana (2023)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under: