JURNAL SYNTAX IDEA

p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 5, No. 6, Juni 2023

 

 

LEMBAGA PEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 

Khoirul Amin

Fakultas Hukum, Universitas Jayabaya Jakarta� �

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih detail tentang lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang. Penelitian ini bermaksud mengkaji Undang-Undang Dasar 1945 sebelum di amandemen dan sesudah amandemen, selain itu juga mengkaji dengan Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini, adalah metode penelitian yuridis normatif. Sedangkan bahan atau data yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, dengan mencari dan mengumpulkan bahan yang berasal dari data kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lembaga negara pembentuk undang-undang adalah lembaga negara yang ikut andil dalam proses pembentukan undang-undang. Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945, lembaga negara yang berwenang membentuk Undang-Undang adalah MPR dan DPR. Dan setelah adanya amandemen UndangUndang Dasar 1945, kewenangan membentuk Undang-Undang berubah yaitu terdiri dari DPR, Presiden dan DPD. Akan tetapi kekuasaan untuk membentuk undang-undang, berada ditangan DPR, sedangkan DPD kekuasaan legislasinya masih sangat terbatas dan hanya memiliki kewenangan untuk ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan pemekaran dan Pengolahan Sumber Daya Alam serta Sumber Daya Ekonomi lainya, dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

 

Kata kunci: Lembaga Negara, Undang-Undang, MPR, DPR, Presiden; DPD.

 

INTRODUCTION

Dalam teori terdapat tiga kekuasaan utama yang ada dalam suatu negara agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Teori mengenai tiga kekuasaan negara diawali pendapat dari John Locke yang memisahkan tiga kekuasaan negara menjadi Kekuasaan Legislatif (merupakan kekuasaan yang untuk membentuk atau membuat aturan), Kekuasaan Eksekutif (yaitu kekuasaan untuk menjalankan aturan) dan Kekuasaan Federatif (kekuasaan yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri atau kerja sama dengan negara lain) (Safudin, 2020).

Sedangkan Montesqueue membagi tiga kekuasaan negara menjadi Kekuasaan Legislatif (kekuasaan untuk membentuk aturan), Kekuasaan Eksekutif (kekuasaan untuk menjalankan atau melaksanakan aturan yang telah dibuat), dan terakhir adalah Kekuasaan Yudisial (yaitu kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili penyimpangan dari pelaksanaaan aturan tersebut), Yang dikenal dengan Trias Politica (Suherman, Aryani, & Yulyana, 2021). Terdapat perubahan yang sangat signifikan tentang Lembaga negara di Indonesia, antara masa sebelum amandamen dan pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum diamandemen, tidak ada ketentuan mengenai istilah lembaga negara, istilah lembaga negara banyak muncul dalam ketetapan-ketetapan MPR, sehingga mulai ditemukannya konsep lembaga negara di Indonesia yang membagi kedudukan lembaga negara kedalam dua kategori, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan Presiden, DPA, DPR, BPK dan MA sebagai lembaga tinggi negara (Suyadi, 2020). Begitu pula dengan lembaga negara pembentuk Undang-Undang, juga terjadi perubahan yang signifikan sebelum amandamen dan pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (Busroh et al., 2022).

Lembaga negara pembentuk peraturan perundang-undangan juga mulai dikenal dan tumbuh sejak berkembangnya organisasi yang memiliki kekuasaan dan wewenang tertinggi untuk menguasai dan mengatur kehidupan masyarakat, yaitu negara (Widyatmojo, 2022). Oleh sebab itu, ada anggapan yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan tidak lain adalah perwujudan kekuasaan dan kehendak yang berkuasa dalam bentuk hukum. (Paribasa, n.d.) menyatakan, bahwa Peraturan perundang-undangan diartikan setiap keputusan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang serta mengikat umum (mencakup undangundang dalam arti formal maupun material).

Peraturan perundang-undangan ke dalam 2 (dua) pengertian, yaitu: �Pertama: sebagai proses pembentukan (proses membentuk) peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah, dan Kedua: segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah� (Supryadi & Amalia, 2021). Lembaga perwakilan rakyat dibeberapa negara memiliki berbagai macam istilah, sesuai dengan bahasa yang dipakai di setiap negara tersebut. Mulai dari bentuk, susunan, kedudukan, dan kewenangannya yang beragam sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan di masing-masing negara. Akan tetapi secara umum, lembaga perwakilan rakyat pada mulanya dipandang sebagai representasi yang mutlak warga negara, dalam rangka ikut serta menentukan jalannya pemerintahan (Nada, 2021).

Maka apa yang diputuskan oleh parlemen, itulah yang dianggap sebagai putusan mutlak rakyat yang berdaulat. Dari situlah lahir doktrin supremasi parlemen (the principle of supremacy of parliament). Oleh sebab itu, dalam perspektif yang demikian, undang-undang sebagai produk dari parlemen tidak dapat diganggu gugat, apalagi dinilai oleh hakim. Sebab hakim hanya berwenang untuk menerapkan undang-undang dan bukan untuk menilai apalagi membatalkannya.

Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam susunan ketatanegaraan Indonesia pernah dikenal istilah lembaga tertinggi negara, dan lembaga tinggi negara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Lembaga yang disebut sebagai lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara berdasarkan UUD 1945 adalah: (a) Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR). (b) Presiden. (c) Dewan Pertimbangan Agung (DPA). (d) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). (e) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). �(f) Mahkamah Agung (MA) (Sati, 2020).

Dari enam lembaga negara tersebut, Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Kemudian MPR mendistribusikan kekuasaannya kepada lima lembaga yang lain dan kedudukannya sejajar, yakni sebagai lembaga tinggi negara. Dalam susunan ketatanegaraan Republik Indonesia pada waktu itu, yang berperan sebagai lembaga legislatif adalah MPR dan DPR (Subanrio & Elcaputera, 2021).

a.     Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR)

Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945, susunan anggota MPR terdiri dari anggota DPR ditambah dengan utusan daerah, golongan politik, dan golongan karya (Pasal 1 ayat 1 UU No. 16 Tahun 1969). Terkait dengan kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara, MPR diberi wewenang dan kekuasaan tak terbatas (super power). Karena kekuasaan ada di tangan rakyat, dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, dan MPR adalah perwujudan serta penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. Maka MPR yang memiliki wewenang untuk menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden (Chafid, 2021).

b.     Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga tinggi negara, adalah terdiri dari golongan politik dan golongan karya, yang pengisian kursinya melalui pemilihan dan juga pengangkatan. Maka wewenang DPR berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut: (1) DPR Bersama presiden membentuk UU (Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20 ayat (1). (2) DPR berwenang untuk memberikan persetujuan RUU yang diajukan presiden disamping mengajukan sendiri RUU tersebut. (Pasal 21 UUD 1945) 3) Bersama presiden menetapkan APBN (Pasal 23 ayat (1). 4) Meminta MPR mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden (Hutagalung, 2022).

Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 juga membawa dampak dan perubahan yang signifikan terhadap peran DPR dalam membentuk undang-undang (fungsi legislasi). Perubahan tersebut dimaksudkan untuk memberdayakan posisi DPR sebagai lembaga legislatif yang memiliki kekuasaan dan kewenangan membentuk undang-undang, karena peranan DPR sebelum amandemen UUD 1945 hanya bertugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap RUU yang dibuat oleh Presiden (eksekutif).

Amandemen UUD 1945 juga memberikan hak kepada anggota DPR untuk dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU). Pergeseran kewenangan untuk membentuk undang-undang, yang sebelumnya DPR hanya membahas dan memberikan persetujuan saja. Setelah amandemen UUD 1945 dialihkan dari tangan Presiden kepada DPR, hal itu merupakan langkah konstitusional untuk meletakkan fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Dimana DPR sebagai lembaga negara pembentuk undang-undang (kekusaan legislatif) sedangkan Presiden sebagai lembaga negara pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif). Namun demikian, UUD 1945 juga mengatur kekuasaan dan kewenangan Presiden di bidang legislatif, antara lain adalah ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden (Santio & Nasution, 2021).

Selain itu, Presiden juga memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk menetapkan peraturan perundang-undangan (Perpu) dalam hal ikhwal yang genting dan memaksa. Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Dimana Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memiliki fungsi legislasi dan peran yang utama serta signifikan dalam membentuk undang-undang.

Dalam berbagai pembentukan peraturan perundang-undangan, fungsi legislasi menjadi hal yang sangat penting, ada 3 (tiga) fungsi DPR selain fungsi legislasi, yaitu: (a) fungsi legislasi, (b) fungsi pengawasan, dan (c) fungsi anggaran. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam praktik di Indonesia, fungsi legislasi DPR yang dianggap utama, sedangkan untuk fungsi pengawasan dan anggaran adalah menjadi fungsi kedua dan ketiga sesuai dengan urutan penyebutannya yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Kartika, 2021). Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: Setiap undang-undang dibahas bersama oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (2) tersebut di atas, maka pada pokoknya fungsi legislatif itu menyangkut 4 (empat) bentuk kegiatan sebagai berikut: (1) Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation); (2) Pembahasan rancangan undang-undang (law making process); (3) Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enachtment approval); (4) Memberi persetujuan ratifikasi dsn perjanjian serta memberi persetujuan internasional atas dokumen hukum yang mengikat (binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).

Maka dengan adanya pergeseran kekuasaan dan kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undang di Indonesia, maka sesungguhnya secara otomatis telah ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan (distribution of power). Dengan prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power), prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi sebagai ciri yang melekat (Slamet Pribadi & Dwi Atmoko, 2023). Hal tersebut juga merupakan penjabaran dan pengejawentahan untuk memperkuat sistem presidensial. Tidak ada satupun negara di dunia yang memiki tiga lembaga negara dalam kekuasaan legislatif yang terpisah seperti di Indonesia. Dimana Indonesia memiliki DPR, DPD, dan MPR dalam cabang kekuasaan legislatif dalam arti luas dan legislatif dalam arti sempit. MPR memang tidak terlibat secara langsung dalam pembentukan undang-undang. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh MPR tidak termasuk ke dalam pengertian cabang kekuasaan legislatif. �

 

RESEARCH METHODS

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Penggunaan data primer adalah sebagai data pendukung bahan hukum data sekunder.

 

RESULTS AND DISCUSSION

Undang-undang adalah prodak hukum formal yang dibentuk oleh Pemerintah (eksekutif) dengan mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif). Undang-undang mengatur persoalan-persoalan yang pokok dalam rangka melaksanakan hukum dasar negara. Berdasarkan pengertian di atas, maka undang-undang merupakan produk hukum bersama antara DPR dan Presiden. Apabila salah satunya tidak ada, baik itu DPR ataupun Presiden, maka secara formal tidak ada produk peraturan perundang-undangan. Dengan demikian sebelum DPR dibentuk, Presiden tidak mungkin untuk mengajukan inisiatif dan membentuk undang-undang, begitupun sebaliknya, DPR juga tidak mungkin membentuk peraturan perundang-undangan selama jabatan Presiden belum diisi. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal tersebut merupakan langkah maju dan produktif. Untuk mewujudkan produk hukum yang responsif dan aspiratif serta dapat memenuhi rasa keadilan terhadap masyarakat. Sebagai bukti nyata, kita dapat melihat dengan dicantumkannya klausul-klausul mengenai partisipasi masyarakat di dalam pembentukan undang-undang (Iswahyudi, 2020).

Selain itu, dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 juga menunjukan adanya upaya untuk memperbaiki sistem hukum di Indonesia, khususnya tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sudah mulai dilakukan, baik dalam hal-hal mengenai asas (Pasal 5), maupun materi muatan (Pasal 6), serta hierarki peraturan perundang-undangan (Pasal 7). Bahwa tentang materi muatan juga diatur lebih rinci dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dimana telah disebutkan dan diatur mengenai materi muatan dari suatu undang-undang.

Oleh sebab itu, materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal sebagai berikut:

a. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: (1) Hak-hak asasi manusia; (2) Hak dan kewajiban warga negara; (3) Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; (4) Wilayah negara dan pembagian daerah; (5) Kewarganegaraan dan kependudukan; (6) Keuangan negara.

b. Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. Bahwa undang-undang adalah merupakan bentuk dari peraturan perundang-undangan yang memiliki jangkauan paling luas, baik tentang materi muatan maupun isinya. Oleh sebab itu dapatlah dikatakan, tidak ada aktivitas kehidupan maupun kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan masyarakat maupun individu yang tidak dapat dijangkau serta diatur oleh peraturan perundang-undangan. Bidang yang tidak dapat dijangkau dan diatur oleh undang-undang hanyalah hal-hal yang sudah diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945, atau sesuatu hal yang oleh undang-undang itu sendiri telah didelegasikan pada bentuk peraturan perundang-undangan lainnya.

Bahwa berdasarkan pada Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa �diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang�. Maka secara redaksional ketentuan ini menjadi tidak jelas, sebab di dalam praktiknya tidak ada undang-undang yang mendelegasikan kepada undang-undang yang lain, yang ada.

Pendelegasian peraturan perundang-undangan (delegated legislation) dari peraturan perundang-undangan yang derajatnya secara hirarki lebih tinggi kepada peraturan yang lebih rendah. Menurut Bagir Manan, bahwa materi muatan undang-undang ditentukan berdasarkan tolok ukur sebagai berikut: (1) Ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar; (2) Ditetapkan dalam undang-undang terdahulu; (3) Ditetapkan untuk mencabut, menambah, atau mengganti undang-undang yang lama; (4) Materi muatan menyangkut hak dasar atau hak asasi manusia; (5) Materi muatan menyangkut dengan kepentingan umum atau kewajiban rakyat banyak.

Berdasarkan tolak ukur di atas, maka dalam hal-hal tertentu tidak bersifat mutlak. Artinya tidak ssemua dan segala materi muatan peraturan perundang-undangan tersebut harus diatur secara formal dalam undang-undang, akan tetapi dapat juga peraturan perundang-undangan tersebut mendelegasikan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan yang secara hirarki lebih rendah tingkatannya (delegated legislation).

Tugas dan Wewenang DPR dalam bidang legislasi: (1) Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas). (2) Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU). (3) Menerima Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) �terkait dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Ekonomi (SDE) lainnya; serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah�. (4) Membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan oleh Presiden ataupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). (5) Menetapkan UU Bersama-sama dengan Presiden. (6) Menyetujui dan/atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang diajukan oleh Presiden untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang.

Tugas dan Wewenang DPD dalam bidang legislasi Jika dilihat dari fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD masih sangat terbatas sekali, hal tersebut tercermin dari Pasal 22 D ayat (1) dan (2) UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi: (1) DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan Pemekaran dan Penggabungan Daerah, Pengolahan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainya. (2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ikut membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan pemekaran, Pengolahan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainya, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Tugas dan Wewenang Presiden dalam bidang legislasi Dalam konsep trias politica, kekuasaan legislatif adalah membentuk undang-undang yang direfleksikan kemudian lembaga yang memegang kekuasaan itu adalah DPR berdasarkan UUD 1945 pasal 20 ayat 1. Dalam praktiknya kekuasaan legislatif tidak hanya dikuasai oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melainkan keterlibatan Presiden yang juga berhak ikut andil sesuai ketentuan pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Keikutsertaan Presiden dalam bidang legislasi adalah perwujudan mekanisme antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berupa checks and balance.

Untuk itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak bisa berarogansi dalam penguasaan legislatif sehingga bisa diminimalisir. Meskipun pada akhirnya peraturan perundang-undangan tetap bisa disahkan walaupun Presiden tidak menyetujuinya. Hak Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berdasarkan pada Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) Pasal 23 ayat (1) �Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat�. (2) Pasal 23 ayat (2) �Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah�. (3) Pasal 23 ayat (3) �Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu�.

Pasal tersebut menunjukan bahwa fungsi anggaran tidak bisa hanya dimonopoli oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Karena Presiden juga memiliki hak untuk menjalankan fungsi anggaran atau budget dalam rangka kekuasaan legislatif yang dimiliki. Bahwa Perpu adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal yang genting dan memaksa. Mengenai syarat dan ketentuan tentang kondisi kegentingan tersebut telah diatur secara detail dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 pada Pasal 1 ayat (4), selengkapnya berbunyi: �Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah sebuah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa�. Bahwa frasa tentang �kegentingan yang memaksa� juga masih menjadi perdebatan karena pengertian tersebut dianggap masih multi tafsir.

Semestinya dalam menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, Presiden harus diberikan batasan yang objektif mengenai kegentingan yang memaksa tersebut. Materi muatan dalam Perpu sama dengan materi muatan yang ada pada peraturan perundang-undang. Apabila negara dalam keadaan darurat atau staatsnoodrecht, maka Presiden memiliki hak untuk menetapkan Perpu sesuai yang telah diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945.

Maka dalam hal ini Presiden juga tidak dapat sewenangwenang dan perlu mewujudkan mekanisme Check and balance dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Hak Presiden Untuk Menetapkan Peraturan Pemerintah Selain legislasi Presiden juga memiliki hak yang bersifat regulatif, yaitu penetapan peraturan pemerintah, hal tersebut tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945, dimana untuk menjalankan Undang-Undang. Peraturan ini berfungsi untuk mengefektifkan fungsi undang-undang dengan cara merinci ketentuan-ketentuannya dan penerapannya. Kekuasan reglementer yang dimiliki oleh presiden secara prinsip sebenarnya tidak melampaui undang-undang.

Hal tersebut telah sesuai dengan konsep stuffanbau theory atau biasa disebut juga dengan istilah lex superior derogat lex inferior. Yang memiliki arti bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya atau yang lebih tinggi. Undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mengatur bahwa Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dimana Peraturan Pemerintah secara reglementer juga dibatasi ruang geraknya dengan ada tidaknya aktualisasi kekuasaan legislatif itu sendiri.

Jadi Presiden dapat dan diperbolehkan untuk membentuk peraturan pemerintah yang efektif jika memang dilakukan secara eksplisit dan sesuai dengan kehendak kekuasaan pembentukan undang-undang. Kekuasaan dan kewenangan Presiden dalam menetapkan Perpu tidak bergantung pada kekuasaan legislatif, akan tetapi harus ada Undang-Undang Induknya sebagai landasan yuridisnya. Itulah sebabnya Presiden tidak bisa menetapkan peraturan pemerintah sebelum ada undang-undang yang menjadi induknya. Sudah menjadi ketentuan bahwa peraturan pemerintah dibuat atas perintah undang-undang yang menjadi induknya atau sebagai pelaksana atas undang-undang.

Hal tersebut disebabkan karena Peratutran Pemerintah tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya pendelegasian materiil dari undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu. d. Hak Presiden Untuk Membuat dan Menetapkan Peraturan Presiden Hak Presiden yang bersifat regeling atau mengatur telah termaktub di dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Yang selengkapnya berikut sebagai berikut: �Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden,� maka secara hirarki Peraturan Presiden adalah berada di bawah Peraturan Pemerintah dan di atas Peraturan Daerah (Perda). Bahwa dalam Pasal 11 kemudian menjelaskan lebih lanjut tentang materi muatan dalam Peraturan Presiden, yaitu berisi tentang materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau menteri untuk menjalankan dan sebagai pelaksana dari Peraturan Pemerintah. Selain itu, hak Presiden dalam yudikatif juga tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 selengkapnya berbunyi sebagai berikut: �Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan mahkamah agung,� kemudian pada Pasal 12 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 selengkapnya berbunyi sebagai berikut: �Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.�

Maka Presiden secara hukum perlu memperhatikan dan juga meminta pertimbangan kepada Mahkaman Agung dan secara politik kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebalum memutuskan untuk memberikan amnesti dan abolisi, bahwa Presiden adalah jabatan yang memegang peran penting dalam pembentukan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup dan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Meskipun dalam beberapa hal Presiden masih harus memeperhatikan dan meminta pertimbangan lembaga lainnya, namun Presiden memiliki hak untuk menetapkan peraturan perundangundangan berdasarkan Undang Undang Dasar 1945.

Maka itulah sebabnya Presiden diharapkan mampu mempertimbangkan dengan seksama sebelum memutuskan kebijakan tertentu demi kepentingan rakyat Indonesia. 5. Proses Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen Undang Undang Dasar 1945, adalah sebagai berikut: (1) Perencanaan penyusunan Undang-Undang (UU) dilakukan dalam Program Legislasi Nasional yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan pemerintah untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang Undang (RUU). (2) Rancangan Undang Undang (RUU) dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), atau Presiden. (3) Setiap Rancangan Undang Undang (RUU) yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali untuk Rancangan Undang Undang (RUU) anggaran pendapatan dan belanja negara, Rancangan Undang Undang (RUU) penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta Rancangan Undang Undang (RUU) pencabutan Undang-Undang (UU) atau pencabutan Perpu. (4) Rancangan Undang Undang (RUU) dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diajukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi. (5) Rancangan Undang Undang (RUU) yang diajukan oleh presiden diajukan dengan surat presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan usulannya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya ekonomi (SDE) lainnya, serta hal-hal yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (6) Materi muatan Rancangan Undang Undang (RUU) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah serupa dengan yang dapat diajukan oleh presiden yang telah diterangkan di atas. Rancangan Undang Undang (RUU) tersebut beserta naskah akademiknya diajukan secara tertulis oleh pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). (7) Selanjutnya Rancangan Undang Undang (RUU) ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan. (8) Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, dan rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus (Pansus). (9) Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I yang meliputi pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.

(10) Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berisi: (a) Penyampaian laporan yang berisi tentang proses, dan pendapat mini dari fraksi, pendapat mini dari Dewan Perwakilan Daerah, serta hasil pembicaraan tingkat I; (b) Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan (c) Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugaskan untuk itu.

(11) Bila tidak tercapai kata sepakat dalam musyawarah untuk mufakat, maka keputusan diambil dengan suara terbanyak atau voting. (12) Rancangan Undang Undang (RUU) yang telah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan presiden diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam Lembaran Negara. (13) Apabila pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) telah memasuki pembahasan daftar inventarisasi masalah pada periode masa keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat saat itu, hasil pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) tersebut disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan/atau Dewan Perwakilan Daerah, Rancangan Undang Undang (RUU) tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Program Legislasi Nasional jangka menengah dan/atau Program Legislasi Nasional prioritas tahunan.

 

CONCLUSION

Berdasarkan uraian-uraian dan analisa tentang pokok permasalahan yang telah disampaikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut: (1) Bahwa terjadi perubahan yang cukup signifikan tentang lembaga yang berwenang membentuk Undang-Undang sebelum amandemen dan pasca amandemen UUD 1945. Dimana pasca amandemen UUD 1945 DPR diberikan kekuasaan dalam membentuk Undang-Undang (fungsi legislasi), yang awalnya hanya bertugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang yang dibuat oleh Presiden. (2) Bahwa masih ada tumpeng tindih kewenangan dan pembagian kekuasaan antara DPR dan DPD sebagai legislatif (pembentuk undang-undang) dengan Presiden sebagai eksekutif (pelaksana undang-undang). Karena Presiden juga ikut terlibat dalam bidang legislative, yaitu pembahasan setiap rancangan undang-undang serta membuat dan menetapkan Perpu.

 

 

BIBLIOGRAPHY

 

Busroh, H. Firman Freaddy, Khairo, Fatria, Djufri, H. Darmadi, Sugianto, H. Bambang, Oktarina, E. V. I., & Candra, Andi. (2022). Hukum Tata Negara. Inara Publisher (Kelompok Intrans Publishing).

 

Chafid, Moch. (2021). Implikasi Ketatanegaraan Presidential Term Limit Menurut Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amendemen Terhadap Presidential Continuism Masa Orde Baru. " Dharmasisya� Jurnal Program Magister Hukum Fhui, 1(3), 17.

 

Hutagalung, Aldyan. (2022). Pemberhentian Dan Penggantian Antar Waktu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Analisis Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd, Dan Dprd).

 

Iswahyudi, Fauzi. (2020). Peran Perancang Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah. Penerbit Enammedia.

 

Kartika, Yuni. (2021). Lembaga Legislatif Republik Indonesia Dalam Perspektif Siyasah Dusturiyyah (Analisis Terhadap Fungsi Legislasi, Pengawasan, Dan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia). Iain Bengkulu.

 

Nada, Izzah Qotrun. (2021). Kedudukan Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Telaah Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Kpk). Fakultas Syariah Program Studi Hukum Tata Negara.

 

Paribasa, Yulius Dwi Putra. (N.D.). Pelaksanaan Pasal 22 Peraturan Badan Pengawasan Obat Dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Bahan Tambahan Pangan (Studi Di Kota Pontianak). Jurnal Fatwa Hukum, 5(3).

 

Safudin, Endrik. (2020). Politik Hukum Diskresi Indonesia, Analisis Terhadap Pembagian Kekuasaan Antara Pemerintah Dan Legislatif. Jurnal Penelitian Islam, 14(01).

 

Santio, Erik, & Nasution, Bahder Johan. (2021). Analisis Kewenangan Presiden Republik Indonesia Di Bidang Legislatif Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Limbago: Journal Of Constitutional Law, 1(1), 152�169.

 

Sati, Nisrina Irbah. (2020). Ketetapan Mpr Dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia. Jurnal Hukum & Pembangunan, 49(4), 834�846.

 

Slamet Pribadi, S. H., & Dwi Atmoko, S. H. (2023). Politik Hukum. Cv Literasi Nusantara Abadi.

 

Subanrio, Subanrio, & Elcaputera, Arie. (2021). Penataan Kedudukan Dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Supremasi Hukum: Jurnal Penelitian Hukum, 30(1), 66�79.

 

Suherman, Andika, Aryani, Lina, & Yulyana, Eka. (2021). Analisis Fungsi Peraturan Mentri Pendidikan, Kebudayaan, Riset Dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Dalam Mencegah Kekerasan Seksusal Di Kampus. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 7(7), 173�182.

 

Supryadi, Ady, & Amalia, Fitriani. (2021). Kedudukan Peraturan Menteri Ditinjau Dari Hierarki Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia. Unizar Law Review (Ulr), 4(2).

 

Suyadi, Asih. (2020). Hukum Ekonomi Syari�ah. Cv Jejak (Jejak Publisher).

 

Widyatmojo, S. Jati. (2022). Pengaturan Tentang Penertiban Tanah Terlantar Berstatus Sertipikat Hak Milik Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Pertanahan. Magister Ilmu Hukum.

 

Copyright holder:

Khoirul Amin (2023)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under: