Syntax
Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
Vol. 4, No. 12, Desember 2022
PENGELOLAAN RUANG BAWAH TANAH DALAM REFORMASI HUKUM PERTANAHAN DI
INDONESIA
Nur Nafa Maulida Atlanta, Bayu Dwi Anggono,
Fendi Setyawan
Fakultas Hukum Universitas Jember, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Kondisi sulitnya memperoleh ataupun memakai bidang permukaan bumi di wilayah perkotaan mengakibatkan masyarakat mulai mencari sejumlah bidang tanah di bawah permukaan bumi. Maka, diperlukan
sebuah inovasi terobosan pembangunan yang bisa mengatasi perkembangan kebutuhan masyarakat itu yakni ruang di bawah permukaan bumi. Pemanfaatan ruang bawah tanah, yakni UUPA, secara otomatis mengacu pada hak milik dalam pembahasan
pemanfaatan ruang bawah tanah. Tujuan, untuk menemukan sistem pemberian hak atas
tanah atau hak pengelolaan pada ruang bawah tanah
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja terhadap
perseorangan. Penelitian
ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan teknik pengumpulan dari kepustakaan yang terdiri dari bahan
hukum primer dan sekunder.
Hasil dari penelitian ini yaitu Sistem pemberian hak atas
tanah ataupun hak pengelolaan pada ruang bawah tanah
dalam UUPA melalui melandaskan terhadap ketetapan Pasal 2 ayat (2) UUPA, istilah menguasai ditafsirkan �mengatur� serta �menyelenggarakan�. Undang-Undang Cipta Kerja kepada
perseorangan ataupun badan hukum diberikan HGB serta HP dengan jangka waktu sebagaimana
yang terdapat konsep pengelolaan ruang bawah tanah pada pasal 146 ayat (1) hingga (5) UUCK yaitu ayat (1) Tanah ataupun ruang yang terbentuk di ruang atas maupun
bawah tanah serta dipakai kegiatan
tertentu bisa diberikan HGB, HP, atau HPL.
Kesimpulan, Wewenang Negara
itu berkaitan terhadap (a) penggunaan dan/atau peruntukan, persediaan, serta
pemeliharaan atas bumi, air, ruang angkasa maupun kekayaan alam di wilayah
NKRI; (b) penentuan maupun pengaturan macam hak atas tanah; (c) penentuan
maupun pengaturan beberapa hubungan hukum antar orang maupun badan hukum yang
berobjekkan tanah.
.
Kata kunci: Pengelolaan,
Ruang bawah tanah,
Reformasi hukum pertanahan
Abstract
The
difficulty of obtaining or using the earth's surface in urban areas has resulted
in people starting to look for a number of plots of land below the earth's
surface. Thus, a development breakthrough innovation is needed that can address
the development of community needs, namely the space below the earth's surface.
The use of basements, namely UUPA, automatically refers to property rights in
discussing the use of basements. The aim is to find a system for granting land
rights or management rights to basements in Law Number 5 of 1960 concerning
Basic Agrarian Regulations and Law Number 11 of 2022 concerning Job Creation
for individuals. This research is a normative juridical
research with collection techniques from the literature which consists
of primary and secondary legal materials. The results of this study are the
system of granting land rights or management rights to basements in the BAL by
basing it on the provisions of Article 2 paragraph (2) of the BAL, the term
"management" and "organizes". The Job Creation Law is for
individuals or legal entities that are given HGB and HP for a period of time as
contained in the concept of basement management in Article 146 paragraph (1) to
(5) of the UUCK, namely paragraph (1) The land or space formed in the upper
room or underground and used for certain activities can be given HGB, HP, or HPL.
In conclusion, the State Authority relates to (a) the use and/or allotment,
supply and maintenance of the earth, air, space and natural resources in the
territory of the Republic of Indonesia; (b) payment or arrangement of types of
land rights; (c) paying or arranging several legal relations between people and
legal entities with land as objects.
Keywords: Management;
Basement; Land law reform.
Pendahuluan
Tanah adalah
karunia sang pencipta yang merupakan salah satu sumber utama kelangsungan hidup
dan penghidupan seluruh rakyat. Bangsa Indonesia berfalsafah bahwa tanah
dipergunakan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan dibagi secara
adil dan merata (Wardani, 2019). Guna
mencegah terjadinya kekosongan yang peraturan (recht vacuum), seraya menunggu
hal itu maka ditetapkan Pasal II Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (yang selanjurnya disebut UUD NRI 1945), yaitu
menjelaskan menggunakan peraturan pertanahannya sebelumnya yang sudah digunakanselama
masih belum ada peraturan baru yang mengatur" (Hayati, 2015). Aturan
Peralihan merupakan cikal bakal Indonesia mengatur secara keseluruhan regulasi
tentang pengelolaan
tanah secara mandiri selain itu juga wilayah Indonesia yang mencakup atas laut,
udara serta darat termasuk ruang angkasa.
Regulasi
persolaan pengelolaan tanah diatur pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
terkait Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya disebut UUPA).
Tanah adalah bagian kesatuan dari keberadaan kehidupan manusia. Seperti yang
dikemukakan oleh
(Harsono, 1994),
regulasi pertanahan adalah sebuah kerangka. Selain� pengaturan pertanahan merupakan bidang yang
berdiri sendiri sebagai bagian dari ilmu pengetahuan secara ketentuan peraturan
yang memiliki kedudukannya sendiri dalam masyarakat secara keseluruhan
seperangkat hukum yang substansinya adalah keseluruhan pengaturan hukum yang
tersusun dan tidak tertulis dan dalam perspektif hak-hak istimewa penggunaan
tanah sebagai lembaga yang diakui oleh hukum dan suatu hubungan yang
substansial, dengan sudut publik maupun umum, yang bisa dikumpulkan serta
dikonsentrasikan dengan efisien sehingga keseluruhan berubah menjadi satu
kesatuan (Harsono, 1994).
Pasal 33 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 mengemukakan bahwa �bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya akan dikuasai
dan dimanfaatkan oleh negara, untuk
berhasilnya tujuan makmurnya masyarakat indonesia.� Pedoman untuk persoalanan agraria di Indonesia dilakukan pengaturan pada UUPA.�
Dengan demikian, pedoman ketentuan pengaturan agraria harus dimulai dengan
pengaturan pasal 33 yang mengemukakan bahwa �bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, digunakan untuk kemakmuran masyarakat indonesia.�
Sejalan dengan hal diatas adapun
permasalahan lain yang saat
ini dihadapi yaitu ketersediaan lahan menjadi kendala
pada penyelenggaraan pembangunan
mengingat luas lahan yang tidak bertambah akan tetapi kebutuhan akan lahan terus
mengalami peningkatan baik untuk mata
pencaharian, bisnis maupun kebutuhan yang lain misalnya infrastruktur (Fajriany, 2017).
Pada beberapa kota dimana tingkat kepadatan penduduknya makin padat serta
kemampuan untuk menyediakan tanah telah makin terbatas
maka ketergantungan akan hasil rekayasa
akan makin tinggi. Pemakaian ruang di bawah tanah pastinya akan membawa pengaruh
kepada pengaturan lembaga hak-hak atas tanah yang sudah ada yang bila tidak segera
diadakan sejumlah pemikiran yang mendalam akan bisa mempunyai
akibat atas munculnya sejumlah permasalahan hukum serta sosial yang akan menjadi kendala
pada kelancaran pembangunan.
Begitu pula akan timbul tuntutan yuridis terkait hak atas tanah
apa yang bisa diberikan serta sampai sejauh apa
batas kewenangan dari pemegang hak
atas tanah penggunaan tanahnya melalui terdapatnya fasilitas lainnya yang ada di bawah hak
atas tanahnya dan perlindungan hukum yang bisa didapatkannya jika nanti pada kemudian hari muncul
sengketa (Adhim, 2019).
Secara resmi telah dicanangkan Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya
disebut UUCK).�
Maka selanjutnya segala pengaturan yang berkaitan atas tanah digunakannya UUCK sebagai dasar. namun saat ini
UUPA yang masih digunakan
juga dalam hal pengaturan tanah, UUPA sendiri masih menjadi
undang-undang khusus (lex spesialis) yang mengatur segala bentuk pengelolaan
tanah serta hak-hak atas tanah
di Indonesia, tujuan diundangkannya
UUCK satu diantaranya untuk meningkatkan taraf perekonomian Indonesia namun disisi lain menimbulkan permasalahan lainnya yang kaitannya dengan sistem pengelolaan
hak atas tanah, disamping itu pula bagaimana prosedur pemberian hak tanah pada ruang bawah tanah
dalam UUCK juga harus dijelaskan secara detail, setidaknya dengan diundangkannya UUCK masih relevan atau berjalan
beriringan juga dengan tujuan hukum pertanahan
di Indonesia bukan hanya sekedar melihat nilai investasinya saja tetapi melihat
kepada tujuan regulasi atas tanah
di Indonesia, melalui diberikannya
kemudahan� hak pengelolaan atas tanah kepada
investor, sehingga tidak merugikan warga negara Indonesia selaku pemilik atas tanah dipermukaan
maupun dibawah bumi di Indonesia.
Peraturan hukum yang
ada tidak secara tegas mengatur
pemanfaatan dan pemanfaatan
ruang di atas tanah dan ruang bawah tanah, sehingga
menimbulkan perbedaan interpretasi kasus pemanfaatan dan pemanfaatan ruang, pembangunan dan kemajuan ekonomi. Misalnya, instrumen status hak basement sama dengan dasar hak
di atasnya. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang ada tidak mempertimbangkan perkembangan dan kemajuan teknologi. Sehingga tidak dapat menjawab
pertanyaan yang ada terkait penggunaan dan pengembangan ruang atas dan bawah tanah (Sakti, n.d.).
Oleh karena
itu, perlu adanya inovasi pengembangan yang melampaui pengembangan ruang bawah permukaan (basement) yang menjadi kebutuhan masyarakat. Namun terobosan maupun inovasi itu pastinya
memerlukan dukungan hukum. Hal ini memastikan bahwa pelaksanaannya membawa kepastian hukum serta keadilan untuk semua lapisan
masyarakat. Pada perihal ini, tentu saja
harus kembali berdasarkan hukum pertanahan, yakni UUPA.
Metode Penelitian
Tipe penelitian
pada penulisan tesis ini adalah Yuridis
Normatif (legal
research) yaitu mencari
serta menemukan suatu kebenaran yang koherensi melalui cara dengan mencari
adakah aturan hukum yang telah sesuai dengan norma
hukum dan adakah norma berupa sebuah
perintah maupun larangan tersebut telah sesuai prinsip
hukum dan apakah seseorang bertindak menurut norma hukum
(Marzuki, 2005).
Penelitian ini dilaksanakan dengan cara menganalisis beberapa norma hukum yang sifatnya formil, seperti undang-undang, peraturan lain
yang berakaitan dan literatur
lain yang berisikan konsep teoritis, dan kemudian dikaitkan dengan masalah yang dibahas dalam karya tulis
berupa tesis (Ciputat, 2020).
Penelitian ini menggunakan pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
konseptual (conceptual approach) dan pendekatan sejarah (Histori approach).
Hasil dan Pembahasan
Umumnya
kepemilikan tanah di Indonesia dilakukan pengaturan pada Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 Pasal 2 Pasal 4 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 terkait UUPA, artinya, negara
menguasai bumi dan air serta kekayaan alam yang dikandungnya, negara menetapkan
jenis-jenis hak atas permukaan bumi, dan negara menetapkan hak atas tanah itu
kepada rakyat secara sepihak atau kepada orang lain dan badan hukum lainnya
apabila yang bersangkutan memiliki hak menggunakan tanah maupun air dan ruang
yang terdapat diatasnya, dibutuhkan hanya untuk kepentingan yang berhubungan
langsung terhadap pemakaian tanah tersebut. Pasal 33(3) UUD 1945, Pasal 2 dan 4
UUPA dengan tegas hanya memberikan dasar bagi hak atas tanah di atas permukaan.
Mengenai
penggunaan dan pengembangan ruang bawah tanah, masalah hukum di sini bisa
menjadi rumit dengan masalah peraturan dan hukum pada bidang lainnya misalnya
penataan ruang (Wahid & SH, 2016). Pengadaan
tanah untuk pembangunan guna kepentingan umum, pertambangan, kehutanan,
perkebunan, sumber daya air, perumahan maupun kawasan permukiman,
ketenagalistrikan, rumah susun, perlindungan sumber daya alam hayati maupun
ekosistemnya, pengelolaan wilayah pesisir maupun sejumlah pulau kecilnya, wakaf
serta masyarakat adat (Hermawan & Hananto, 2021).
Mengacu pada
sudut pandang teori kepastian hukum
berlandaskan Utrecht mempunyai kandungan dua definisi, yakni pertama,
terdapatnya aturan-aturan umum yang memberitahukan kepada individu-individu
tindakan yang bisa dan tidak bisa dilakukan, serta kedua, berupa persamaan
hukum bagi orang perseorangan, persamaan hukum bagi orang perseorangan, dengan
penyelewengan, dapat dipaksakan atau dilaksanakan oleh negara terhadap individu (Yanto, 2020). Maka sehingga
Negara harus memiliki landasan dasar atas pengelolaan atas hak atas
ruang bawah tanah. Maka berdasarkan
teori diatas setiap gejala kehidupan
dimasyarakat maka harus berpegang teguh atas peraturan
yang telah disepakati, Melalui pemakaian interpretasi ekstensif Pasal 4 ayat (2) UUPA, RUU Pertanahan, mengingat ruang bawah tanah
terpisah dari penggunaan hak atas tanah, ada
dua alternatif pertimbangan terkait konstruksi yuridisnya. Di satu sisi, undang-undang
hukum yang berbeda (dari badan hukum yang berbeda) dapat ditetapkan untuk penggunaan ruang di atas maupun di bawah tanah, termasuk
status hak atas tanah dengan sebutan
tambahan: HGB (bawah tanah), HP (bawah tanah) serta hak
lainnya. Setiap orang lain
yang yurisdiksinya berlaku
mutatis mutandis terhadap yurisdiksi
atas hak atas tanah menurut
ketetapan aturan perundang-undangan (Hermawan & Hananto, 2021).
Sejalan dengan itu dalam ketetapan
Pasal 2 ayat (2) UUPA, diksi menguasai ditafsirkan �mengatur� serta �menyelenggarakan� yang selanjutnya oleh MK (Putusan MK
RI No. 35/PUU-X/2012; Putusan MK RI No. 50/PUUX/2012;
serta Putusan MK RI No.
3/PUU-VIII/2010) diberi ketegasan
akan makna dari �menguasai� yakni melakukan perumusan ataupun melakukan pembuatan kebijakan, mengatur, mengurus, melakukan pengelolaan serta melakukan pengawasan. Kekuasaan negara berkaitan terhadap
(a)
penggunaan dan peruntukan, penyediaan dan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa serta sumber
daya alam dalam wilayah kedaulatan negara kesatuan RI;
(b)
menentukan serta mengatur
jenis-jenis hak atas tanah;
(c)
menentukan maupun mengatur
hubungan hukum antara orang perseorangan dan/atau badan hukum dengan objek real estat; Singkatnya, kekuasaan negara harus mempunyai tujuan guna mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran masyarakatnya. Sehingga melalui diskursus sekitar tahun 1991, pembagian hak atas tanah
yang sumbernya dari hak milik negara diperkenalkan oleh para ahli agraria berdasarkan Pasal 4 UUPA.
Hak atas tanah berlandaskan UUPA objeknya ialah hak milik yang berada di permukaan bumi ataupun tertutup
air sampai batas tertentu. Jika sertifikat hak atas tanah
ada di sungai, laut, danau serta
diberikan kepada orang pribadi atau badan hukum tanpa izin
pemerintah, air laut, danau, sungai, dan tanah di bawah danau dianggap sebagai tanah berdasarkan
UUPA untuk haknyaa. Pelanggaran hukum yang termasuk dalam peraturan atau hukum administrasi pidana.
Tanah disebut tanah
apabila hak dan kegunaannya adalah penggunaan tanah di atas tanah, badan tanah atau penggunaan
tanah secara konkrit masih berkaitan
dengan penggunaan tanah di atas tanah
(Mustofa, SH, & Suratman, 2022).
Garasi parkir bawah tanah dan pemakaian ruang udara gedung 100 lantai masih tergolong
overburden. Artinya pemegang
HGB/HP/HPL dapat membangun gedung dengan 5 lantai di bawah tanah dan sampai dengan 100 lantai, tetapi ruang di bawah lantai dasar
dan di atas 100 lantai bukan lagi haknya.
Definisi pasca UUCK tentang tanah telah
diperluas untuk mencakup ruang di atas tanah serta
bawah tanah sesuai dengan PP No. 18 tahun 2021 berdasarkan Pasal 146 ayat (1). Tanah ataupun daerah yang terbentuk di atas maupun di bawah tanah serta dipakai
guna kegiatan tertentu bisa diberi
hak guna, guna ataupun pengelolaan
suatu bangunan. Proposisi Pasal 146 ayat (1) PP No. 18 Tahun 2021 juncto UUCK hak atas tanah dapat
diberikan atas permukaan, ruang-ruang tanah dan ruang-ruang bawah tanah dari
harta benda yang isinya adalah UUPA Pasal 16 hak atas
tanah. Bahasa Pasal 16 UUPA
jelas membedakan konsep kepemilikan dari konsep pemisahan
dan pemisahan ruang yang muncul dari Pasal
16 ayat 1 dan ayat 2 UUPA.
Diundang-undangkannya UU No. 11 tahun
2020 terkait Cipta Kerja (selanjutnya disebut UUCK) salah satunya merupakan perbelakuannya hukum pertanahan yang tidak lagi mengacu
lagi kepada UUPA melainkan pada UUCK. Namun UUCK telah diputus Inkonstitusional
Bersyarat oleh MK lewat Putusan MK Tahun 2020 pada 25
November 2021. Dalam putusan
nya, MK menilai pembentukan UUCK tidak dilandaskan kepada cara maupun metode
yang baku, standar, pasti dan sistematika pembentukan undang-undang, disamping itu berlangsung
perubahan penulisan pada sejumlah substansi pasca persetujuan DPR maupun Presiden dan berlawnana terhadap sejumlah asas pembentukan
aturan perundang-undangan sehingga MK mengemukakan bahwasannya proses pembentukan dari UU No. 11 Tahun 2020 yakni tidak memenuhi
ketetapan UUD 1945 sehinga harus dikatakan �Cacat Formil�. Putusan terkait inkonsitusional bersyarat tersebut diambil karena MK harus melakukan penyeimbangan diantara pembentukan UU yang harus dipenuhi selaku persyaratan formil sehingga memperoleh UU yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfatan maupun keadilan dan mempertimbangkan pula tujuan strategis dari dari dibentuknya UUCK. Mahkamah konstitusi memberikan perintah supaya segera disusun
dasar hukum yang baku sehingga bisa
menjadi pedoman untuk penyusunan UU dengan memaki metode
Omnibus Law (Corputty, 2020).
UUCK dilangsungkan perbaikan
untuk memenuhi cara ataupun metode
yang baku, standar, pasti dan memenuhi sejumlah asas penyusunan
UU khususnya yakni asas keterbukaan melalui cara menyertakan
partisipasi warga yang
optimal (Negara, 2015).
Hak atas tanah dalam perihal
hukum agraria, Adapun PP, sebelum omnibus law. No. 24 Tahun
1997 24 tahun 1997 adalah properti yang terdaftar atau disertifikasi berdasarkan Pasal 16 UUPA. Apabila mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 2021 jo Permen ATR/BPN Nomor 18 Undang-Undang pasca omnibus Tahun 2021, maka hal ini timbul
karena adanya hubungan hukum diantara pemegang hak dengan harga
benda, termasuk ruang tanah. Ruang di atas tanah maupun
bawah tanah timbul untuk mengelola,
memiliki, menggunakan, memanfaatkan, dan memelihara tanah maupun ruang
bawah tanah (Alrip, 2012).
Definisi hak atas tanah yang ditetapkan oleh Omnibus Act memasukkan
kata �inklusif� pada pengertiannya.
Jadi, secara harfiah, pemegang hak atas
tanah adalah mutatis
mutandis pemilik tanah, pemilik basement. Kesalahpahaman akibat pengertian hak atas tanah
dalam model-model seperti itu dapat muncul
ketika kata �termasuk� dikaitkan dengan tanah dan ruang, tetapi arti sebenarnya adalah bahwa pemegang
HGB atas bidang tanah berbeda dengan
ruang milik pemegang HGB, berbeda dengan pemilik basement.
Konsep pengelolaan
ruang bawah tanah diamanatkan pada Pasal 146 ayat (1)� hingga (5) UUCK yakni �ayat (1) Tanah ataupun ruang yang terbentuk di ruang atas maupun bawah
tanah serta dipakai untuk aktivitas
tertentu bisa diberi HGB, HP ataupun hak pengelolaan, ayat (2) Batas kepemilikan tanah di ruang atas tanah oleh pemilik hak atas
tanah diberikan sesuai terhadap koefisien dasar bangunan maupun lantai bangunan, serta rencana tata ruang yang dilakukan penetapan berdasarkan ketetapan aturan perundang-undangan, ayat (3) Batas
kepemilikan tanah di ruang bawah tanah
oleh pemilik hak atas tanah diberikan
sesuai terhadap batas kedalaman pemanfaatan yang dilakukan pengaturan sesuai terhadap ketetapan aturan perundang undangan, ayat (4) Penggunaan maupun pemanfaatan tanah di ruang atas maupun
bawah tanah oleh pemilik hak yang berbeda bisa diberi
HGB, HP ataupun hak pengelolaan, ayat (5) Ketetapan lebih lanjut terkait pemakaian tanah di ruang atas maupun
bawah tanah seperti halnya yang dimaksudkan dalam ayat 1 hingga 4 dilakukan pengaturan pada Perpres.�(Boy & Maiyestati, 2022).
Pengeolaan ruang bawah
tanah tudak terlepas hak atas
tanah melekat serta tidak bisa
terpisahkan dalam hukum agraria Indonesia (Satriani, 2016).
Hak atas tanah bukan hanya
istilah hukum, tetapi juga konsep hukum dengan pernyataan
hukum. Hak atas tanah selaku
konsep hukum bisa dipahami dari
tiga perspektif hukum-hukum administrasi, perdata serta agrarian (Gunanegara, 2022).
Dengan mengacu pada PP No.
24 Tahun 1997, hak atas tanah dalam
konteks pra-undang-undang pertanian adalah bidang tanah yang terdaftarkan ataupun mempunyai sertifikat seperti halnya yang dimaksudkan dalam Pasal 16 UUPA. Bila mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 2021 jo Permen ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021 berdasarkan Omnibus Law, maka hubungan hukum antara pemegang hak dengan harta
benda, termasuk ruang tanah menggunakan,
memanfaatkan, dan memelihara
hak ruang bawah tanah, tanah,
permukaan, ruang bawah tanah yang timbul dari hubungan
tersebut. Definisi hak atas tanah
yang dibuat oleh Omnibus Act memasukkan
kata �termasuk� dalam definisinya. Ini berarti bahwa, seperti surat yang dibaca, pemilik tanah, dengan modifikasi
yang diperlukan, pemilik tanah, pemilik tanah di atas pemilik
ruang bawah tanah. Kesalahpahaman karena definisi hak atas tanah
dalam model seperti itu dapat muncul
ketika kata "termasuk"
dikaitkan dengan tanah atau ruang
yang memiliki properti di atasnya, tidak seperti pemilik ruang bawah tanah
(Sutedi, 2020).
Penggunaan dan pemanfaatan
tanah pada ruang atas dan/atau bawah
tanah oleh pemegang hak yang berbeda, dapat diberikan hak guna bangunan,
hak pakai, atau hak pengelolaan
(Rongiyati, 2016).
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tanah pada ruang atas tanah
diatur dengan peraturan Presiden. Ketentuan di atas mengandung makna bahwa ruang atas
tanah atau ruang bawah tanah
yang digunakan untuk kegiatan pembangunan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya terpisah dari penggunaan dan pemanfaatan yang ada di atas tanah (permukaan
bumi). Dapat ditafsirkan dalam konsep UU CK, pemegang hak atas tanah
dipermukaan bumi berbeda dengan pemegang hak atas
tanah di ruang bawah tanah atau
pemegang hak ruang atas tanah,
kemudian tidak ada bagian bersama
dan benda bersama sehingga berbeda dengan konsep rumah
susun. Maka perlu diatur bagaimana
dengan tangga dan lift, siapakah pemegang hak nya, apakah
pemegang hak tanah di permukaan bumi atau pemegang
hak atas ruang bawah tanah.
Perlu diatur juga jika kedepannya ruang bawah tanah
terdiri dari beberapa lapis atau level, bagaimana pengaturan lapis kedua, ketiga dan seterusnya, apakah pemberian haknya juga mutatis
mutandis dengan pemberian hak atas tanah
di permukaan bumi. Sampai berapa level pemberian hak terhadap
ruang bawah tanah, apakah di bawah hak ruang
bawah tanah dimungkinkan diberikan hak ruang bawah
tanah lagi, atau seperti bentuk
rumah susun ke bawah, kemungkinan
ini bisa saja terjadi mengingat
perkembangan teknologi
sangat pesat. Jika dijadikan
hak tanggungan, bagaimana kedudukan hak tanggungan ruang bawah tanah
lapis kedua, ketiga dan selanjutnya. Kemudian bagaimana hubungan antara hak atas
tanah di permukaan bumi dengan hak
atas ruang atas tanah atau
ruang bawah tanah, apakah ada
yang bersifat primer dan sekunder
atau keduanya bersifat primer. Selanjutnya terhadap ruang atas tanah perlu
ditetapkan batas maksimal yang dapat diberikan haknya, tidak hanya mengacu
kepada koefisien dasar bangunan atau koefisien lantai bangunan untuk memberi kepastian
batas ruang atas tanah yang dapat dimanfaatkan. Selain itu, adanya
pemberian hak atas ruang bawah
tanah dan ruang atas tanah harus
diikuti dengan modernisasi pemetaannya dengan tiga dimensi
meliputi permukaan bumi, di atas permukaan
bumi dan di bawah permukaan bumi (Sakti, n.d.).
Pada ketentuan Pasal
146 UUCK memberikan prinsip-prinsip
penguasaan hak atas ruang bawah
tanah. Dengan adanya ketentuan pasal ini Negara dapat memberikan hak pengelolaan atas ruang bawah
tanah. Ada beberapa pedoman dari berbagai
otoritas mengenai memakai ruang di atas maupun di bawah tanah. Kementrian
PUPR sudah mengeluarkan aturan tentang penggunaan ruang bumi. Pemerintah DKI setempat telah mengeluarkan perintah gubernur terkait ruang bawah tanah.
Peraturan ini hanya melakukan pengaturan mengenai pemakaian ruang bawah tanah guna
pembangunan MRT. Penataan ruang membutuhkan upaya harmonisasi dan koordinasi yang lebih efektif. Dalam konteks ini, perlu
penguatan integrasi pengelolaan ruang angkasa pemerintah dengan pengaturan ruang di atas maupun
di bawah tanah. Untuk bisa memasukan
ruang di atas tanah maupun ruang
bawah tanah secara paralel dengan desain permukaan,
pengelolaan tata ruang wilayah
juga harus dikembangkan secara tiga dimensi.
Harmonisasi kesepakatan tidak hanya menyangkut
penataan ruang, tetapi juga bidang hukum lainnya seperti
hukum kelautan, kehutanan, konstruksi serta lingkungan. Hal tersebut juga berkaitan terhadap kenyataan bahwa ruang di atas maupun di bawah tanah membutuhkan
pemanfaatan teknologi guna mendukung keberadaan serta pemanfaatannya (Sakti, n.d.).
Hak Pengelolaan
yang dilakukan pengaturan
di sejumlah peraturan pemerintah maupun perundang-undangan tersebut. UU Cipta Kerja dan aturan pelaksanaannya yakni PP 18 Tahun 2021. Penguatan perihal Hak Pengelolaan secara tegas diatur
dalam Bagian Keempat Pertanahan Paragraf 2 Pasal 136 sampai dengan Pasal 142 UU Cipta Kerja. Mengacu
pada konsep bahwasannya hak pengelolaan ialah hak menguasai
negara atas tanah yang dapat diberikan pada sebuah badan penguasa yang digunakan untuk pelaksanaan tugasnya
masing-masing dimana kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan pada pemegang haknya (Hajati, Winarsi, Sekarmadji, & Moechtar, 2020).
Hak menguasai dari negara terhadap tanah tersebut merupakan sumber dari hak bangsa
Indonesia terhadap tanah
yang secara hakikatnya ialah penugasan penyelenggaraan tugas kewenangan bangsa Indonesia dengan kandungan unsur publik didalamnya
(Santoso, 2012).
Konsep dari Hak Pengelolaan yang ialah pelimpahan �sebagian� dari kewenangan negara tersebut secara prinsip hanya dapat terjadi
diatas tanah negara (Safitri, 2015).
Ratio legis dari prinsip ini adalah
oleh sebab hak pengelolaan ialah kewenangan dari hak menguasai negara maka dari hak
menguasai negara tersebut memberikan batasan bahwa tanah yang diberikan adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara yang diberikan
kepada subjek hak tertentu (Hajati et al., 2020).
HGU, HGB, HP dalam kebijakan negara yang mengatur jangka waktu hak
atas tanah dalam peraturan pra-UUCK dan pasca-UUCK. Pengaturan hak atas tanah pra-UUCK
dimulai dengan titik tolak yang ditetapkan oleh UUPA terkait Peraturan Pemerintah Nomor. 40 Tahun 1996 tentang hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas
tanah. menggabungkan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dengan peraturan
menteri nomor. 3 tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan peraturan nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, peraturan menteri nomor.9 tahun 1999 tentang tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara dan hak pengelolaan serta dibandingkan terhadap peraturan hak atas tanah
pasca UUCK junct Permen ATR/BPN No. 16 Tahun 2021,
juncto PP No. 18 Tahun 2021
juncto Peraturan Menteri
ATR/BPN No. 18/2021 Pada saat yang sama, HGU memiliki Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21-22/PUU-V/2007 dalam
hal permohonan pengujian UU No. 25/2007 terkait Penanaman Modal.
Pertimbangan hukum pengadilan sederhana ketika berurusan dengan lembaga yang diatur oleh undang-undang penanaman modal. Instansi-instansi
ini memberikan pelayanan sederhana untuk memperoleh sertifikat tanah berupa HGU selama 95 tahun, 60 tahun ke depan, terbarukan
35 tahun,
Pengaturan hak atas tanah melalui
metode hukum normatif oleh UUCK dan UUPA telah
menimbulkan kontradiksi dan
anomali normatif dalam kedua undang-undang
tersebut. Abnormalitas antar hukum dan konflik antar norma
muncul tidak hanya pada tataran norma, kalimat, dan konsep, tetapi juga pada tataran kebijakan hukum (legal thinking) yang dianut
oleh masing-masing undang-undang, yaitu
masalah terminologi. dan pemahaman tentang hak atas tanah.
Kedua, persoalan pengurusan hak milik, perpanjangan hak milik, dan jangka waktu hak
atas tanah milik perseorangan sampai tiga generasi.
Ketiga, kerancuan penyusunan UU UUCK yang secara bersyarat dinyatakan inkonstitusional oleh pengadilan,
akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengaturan hak atas tanah.
Ketidakpastian hukum pertama berdampak kepada terganggunya sistem perlindungan hukum negara bagi pemilik hak atas
tanah.
Argumentasi hukum dipertimbangkan oleh penulis. Pertama, timbulnya dua UU yang melakukan pengaturan terkait masalah hukum yang serupa, seharusnya berdasarkan teoritis tidak boleh dua
peraturan berbeda melakukan pengaturan berbeda terhadpa isu hukum yang sama. Kedua, jika
UUCK tidak berlaku efektif nota bene (nota kesepahaman)
akan tetap berlaku, dan UUPA sendiri akan menyatakan bahwa negara (secara hipotetis) tidak berdaya dan bahwa ketimpangan tanah di antara anak-anak bangsa. Masalahnya, masalah mafia tanah, masalah konflik pertanahan inheren didalamnya permasalahan tumpang tindih serta sertifikat berganda. Ketiga, masalah tataran konstitusional (Gunanegara, 2022).
Sehingga sistem pemberian hak atas
tanah ataupun hak pengelolaan pada ruang bawah tanah
dalam UUPA melalui melandaskan terhadap ketetapan Pasal 2 ayat (2) UUPA, istilah menguasai ditafsirkan �mengatur� serta �menyelenggarakan� yang selanjutnya
oleh MK (Putusan MK RI No. 35/PUU-X/2012; Putusan Putusan MK RI No.
50/PUUX/2012; serta Putusan
MK RI No. 3/PUU-VIII/2010). Wewenang Negara itu berkaitan terhadap
(a) penggunaan dan/atau peruntukan, persediaan, serta pemeliharaan atas bumi, air, ruang angkasa maupun
kekayaan alam di wilayah
NKRI; (b) penentuan maupun pengaturan macam hak atas tanah;
(c) penentuan maupun pengaturan beberapa hubungan hukum antar orang maupun badan hukum yang berobjekkan tanah. Kewenangan yang dimiliki oleh Negara itu wajib ditujukan untuk upaya guna
mencapai kemakmuran masyarakat secara maksimal. Sehingga melalui diskursus pemberian hak atas
ruang bawah tanah sebagaimana diderivasikan dari Hak milik negara di mana berbasiskan kepada Pasal 4 UUPA. Namun dalam Undang-Undang Cipta Kerja kepada
perseorangan ataupun badan hukum diberikan HGB serta HP dengan jangka waktu sebagaimana
yang terdapat Konsep pengelolaan ruang bawah tanah diamanatkan
pada Pasal 146 ayat (1) hingga (5) UUCK yaitu ayat (1) Tanah ataupun ruang yang terbentuk di ruang atas maupun
bawah tanah serta dipakai kegiatan
tertentu bisa diberikan HGB, HP, atau HPL. Pada
ketentuan Pasal 146 memberikan prinsip-prinsip penguasaan hak atas ruang bawah
tanah. Dengan adanya ketentuan pasal ini Negara dapat memberikan hak pengelolaan atas ruang bawah
tanah. Sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik sosial reforma pertanahan di Indonesia demi terciptanya
keadilan bagi warga negara dan terjaminnya kepastian hukum.
Kesimpulan
Sistem pemberian
hak atas tanah ataupun hak pengelolaan pada ruang bawah tanah dalam UUPA
melalui melandaskan terhadap ketetapan Pasal 2 ayat (2) UUPA, istilah menguasai
ditafsirkan �mengatur� serta �menyelenggarakan� yang selanjutnya oleh MK
(Putusan MK RI No. 35/PUU-X/2012; Putusan Putusan MK RI No. 50/PUUX/2012; serta
Putusan MK RI No. 3/PUU-VIII/2010). Wewenang Negara itu berkaitan terhadap (a)
penggunaan dan/atau peruntukan, persediaan, serta pemeliharaan atas bumi, air,
ruang angkasa maupun kekayaan alam di wilayah NKRI; (b) penentuan maupun
pengaturan macam hak atas tanah; (c) penentuan maupun pengaturan beberapa
hubungan hukum antar orang maupun badan hukum yang berobjekkan tanah.
Kewenangan yang dimiliki oleh Negara itu wajib ditujukan untuk upaya guna
mencapai kemakmuran masyarakat secara maksimal. Sehingga melalui diskursus
pemberian hak atas ruang bawah tanah sebagaimana diderivasikan dari Hak milik
negara di mana berbasiskan kepada Pasal 4 UUPA. Namun dalam Undang-Undang Cipta
Kerja kepada perseorangan ataupun badan hukum diberikan HGB serta HP dengan
jangka waktu sebagaimana yang terdapat Konsep pengelolaan ruang bawah tanah
diamanatkan pada Pasal 146 ayat (1) hingga (5) UUCK yaitu ayat (1) Tanah
ataupun ruang yang terbentuk di ruang atas maupun bawah tanah serta dipakai
kegiatan tertentu bisa diberikan HGB, HP, atau HPL. Pada ketentuan pasal 146
memberikan prinsip-prinsip penguasaan hak atas ruang bawah tanah. Dengan adanya
ketentuan pasal ini Negara dapat memberikan hak pengelolaan atas ruang bawah
tanah.
Bibliografi
Adhim, Nur. (2019). Penggunaan Ruang Bawah Tanah
Dilema Antara Kebutuhan Dan Pengaturan. Diponegoro Private Law Review, 4(3).Google Sholar
Alrip, Ismail. (2012). Pengaturan Pemanfaatan Ruang
Bawah Tanah Underground Space Utilization Settings. Universitas Hasanuddin.
Google Sholar
Boy, Yendra Tamin, & Maiyestati, Maiyestati.
(2022). Perbandingan Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 Tentang Cipta Kerja. Universitas Bung Hatta. Google Sholar
Ciputat, Jl K. H. Ahmad Dahlan Cirendeu. (2020).
Paradigma Undang-Undang Dengan Konsep Omnibus Law Berkaitan Dengan Norma Hukum
Yang Berlaku Di Indonesia. Volume 9 Nomor 1, April 2020, 9(1),
143. Google Sholar
Corputty, Patrick. (2020). Omnibus Law Sebagai
Alternatif Penyembuh Obesitas Regulasi Sektoral. Jurnal Saniri, 1(1),
44�61. Google Sholar
Fajriany, Nur Isra. (2017). Analisis Faktor-Faktor
Yang Memengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian Di Kabupaten Pangkep.
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Google Sholar
Gunanegara, Gunanegara. (2022). Kebijakan Negara Pada
Pengaturan Hak Atas Tanah Pasca Undang-Undang Cipta Kerja. Refleksi Hukum:
Jurnal Ilmu Hukum, 6(2), 161�184. Google Sholar
Hajati, Sri, Winarsi, Sri, Sekarmadji, Agus, &
Moechtar, Oemar. (2020). Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Airlangga
University Press. Google Sholar
Harsono, Boedi. (1994). Hukum Agraria Indonesia:
Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya.
Djambatan. Google Sholar
Hayati, Tri. (2015). Era Baru Hukum Pertambangan:
Di Bawah Rezim Uu No. 4 Tahun 2009. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Google Sholar
Hermawan, Sapto, & Hananto, Supid Arso. (2021).
Pengaturan Ruang Bawah Tanah Berdasarkan Prinsip Agraria Nasional. Pandecta
Research Law Journal, 16(1), 27�44. Google Sholar
Marzuki, Peter Mahmud. (2005). Penelitian Hukum,
Kencana. Jakarta. Google Sholar
Mustofa, H., Sh, M. Si, & Suratman, S. H. (2022). Penggunaan
Hak Atas Tanah Untuk Industri. Bumi Aksara. Google Sholar
Negara, Prodi Hukum Administrasi. (2015). Pelaksanaan
Pelayanan Surat Izin Mengemudi (Sim) Di Wilayah Hukum Polres Tana Toraja Untuk
Mewujudkan Pelayanan Publik Yang Optimal. Google Sholar
Rongiyati, Sulasi. (2016). Pemanfaatan Hak Pengelolaan
Atas Tanah Oleh Pihak Ketiga (Land Use Rights Management By A Third Party). Negara
Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan, 5(1),
77�89. Google Sholar
Safitri, Myrna A. (2015). Meninjau Kembali Hak
Pengelolaan Dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Jurnal Hukum Dan
Bisnis (Selisik), 1(2), 103�122. Google Sholar
Sakti, Trie. (N.D.). Aspek Yuridis Dan Implikasi Hak
Guna Ruang Atas Dan Bawah Tanah. Google Sholar
Santoso, U. (2012). Hukum Agraria, Kajian
Komprehensif. Jakarta: Kencana Pernadamedia Group. Schlager, E., & Otsrom,
E.(1992). Property-Rights Regimes And Natural Resources: A Conceptual Analysis.
Land Economics, 68(3), 249�262. Google Sholar
Satriani, Satriani. (2016). Urgensi Pendaftaran
Tanah Dalam Menjamin Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah Di Kabupaten
Bulukumba. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Google Sholar
Sutedi, Adrian. (2020). Implementasi Prinsip
Kepentingan Umum Di Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Sinar Grafika
(Bumi Aksara). Google Sholar
Wahid, A. M. Yunus, & Sh, M. Si. (2016). Pengantar
Hukum Tata Ruang. Prenada Media. Google Sholar
Wardani, Irwan Haryo. (2019). Perlindungan Hak Atas
Penguasaan Tanah Transmigrasi Di Lahan Usaha Ii Upt Seunaam Iv Provinsi Aceh. Jurnal
Hukum Responsif, 7(7), 145�157. Google Sholar
Yanto, Oksidelfa. (2020). Negara Hukum Kepastian,
Keadilan, Dan Kemanfaatan Hukum. Google Sholar
Nur
Nafa Maulida Atlanta, Bayu Dwi Anggono,
Fendi Setyawan (2022) |
First
publication right: |
This
article is licensed under: |