Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X

Vol. 4, No. 11, November 2022

 

PENYELESAIAN PERKARA LGBT PRAJURIT TNI DALAM SISTEM PERADILAN MILITER

 

Prastiti Siswayani, Nurini Aprilianda, Faizin Sulistyo

Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) merupakan sebuah perilaku dan orientasi seksual menyimpang yang berlawanan dengan dogma agama, kodrat manusia, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Perilaku LGBT ternyata juga ada yang dilakukan prajurit TNI, sehingga dalam kaitan dengan penyelesaian prilaku LGBT dalam system Peradilan Militer terhadap perbedaan pertimbangan Majelis Hakim dalam keterbuktian tindak pidana sehingga dalam penelitian ini yaitu tentang filosofi Majelis Hakim dalam keterbuktian tindak pidana didasarkan pada Pasal 103 Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer dan dasar diterapkannya Pasal 103 KUHPM tersebut serta solusi pengaturan penyelesaian LGBT ke depannya. Disamping itu penelitian yang dilakukan merupakan penelitian normatif dengan pendekatan komparatif putusan hakim di dua pengadilan militer.Hasil, Homoseksual merupakan salah satu dari LGBT, yaitu seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang berjenis kelamin sama sebagai sarna menyalurkan Hasrat seksualnya disebut homoseksual. Kesimpulannya, perilaku LGBT di Pengadilan Militer merupakan sebuah perilaku asusila dan amoral yang dapat dijatuhi sanksi tegas berupa pidana pada ketentuan pasal 281 maupun 103 KUHP.

 

Kata kunci: LGBT; Militer; Peradilan Militer.

 

Abstract

LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender) is a deviant sexual orientation and behavior that is contrary to religious dogma, human nature, and values ​​that live in Indonesian society. It turns out that LGBT behavior has also been committed by TNI soldiers, so that in relation to the resolution of LGBT behavior in the Military Justice system regarding differences in the considerations of the Panel of Judges in the evidence of criminal acts so that in this study it is about the philosophy of the Panel of Judges in proving criminal acts based on Article 103 of the Indonesian Criminal Code. Military Criminal Law and the basis for the implementation of Article 103 of the Criminal Code as well as solutions for setting up LGBT settlements in the future. Apart from that, the research being conducted is normative research with a comparative approach to the decisions of judges in two military courts. prioritizing people of the same sex as a means of channeling their sexual desires is called homosexuality. In conclusion, LGBT behavior in Military Courts is an immoral and immoral behavior that can be subject to strict sanctions in the form of a crime under the provisions of Articles 281 and 103 of the Criminal Code.

 

Keywords: LGBT; Military; Military Justice.

 

 

Pendahuluan

��������� Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana dijelaskan pada batang tubuh UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 1 ayat (3), dalam konsep Negara hukum, hukumlah yang menjadi panglima, kekuasaan hukum harus mampu menciptakan rasa keadilan dalam berbangsa dan benegara serta terciptanya rasa adil, rasa aman dan terjaminnya hak-hak asasi manusia. Prajurit TNI menjunjung tinggi hukum dan HAM sebagai jati diri TNI yang terangkum dalam Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang menyebutkan mengenai jati diri TNI antara lain sebagai Tentara Profesional yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Dalam konteks penegakan hukum terhadap Prajurit TNI di lingkungan militer di Indonesia, ada ketentuan hukum�� yang secara tegas mengatur Prajurit TNI tentang tindakan apa saja yang merupakan pelanggaran, kejahatan atau merupakan larangan yang diberikan ancaman berupa sanksi pidana terhadap pelanggarnya yang diatur dalam hukum pidana militer.

Peradilan militer merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang berada di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 ayat (2) Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia di lingkungan oleh Pengadilan dalam Lingkungan Lingkungan Peradilan Militersebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer berwenang : (Indonesia, 1999)

Mengadili tindak pidana yang dilakukan seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:

1.   Prajurit.

2.   Yang berdasarkan ketentuan Undang Undang dipersamakan dengan prajurit,

3.   Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang.

4.   Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

5.   Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.

6.   Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan.

Perbuatan LGBT yaitu adanya orientasi seksual yang menyimpang dari aturan agama dan nilai kehidupan kehidupan yang regilus di dalam masyarakat Indonesia, dimana perbuatan telah melanggar etika moral dan etika sosial masyarakat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri dalam lingkungan militer juga terdapat penyimpangan orientasi seksual yang menyimpang yang dilakukan oleh pelaku yang notabene adalah seorang prajurit TNI yang dalam masyarakat mungkin dianggap mustahil karena melihat sosok seorang prajurit yang dikenal gagah serta memiliki kedisiplinan dan kepatuhan dalam melaksanakan tugas dan aturan yang ada. Akan tetapi karena factor lingkungan , factor keluarga dan factor genetik yang ada pada pelaku yang merupakan sosok prajurit tersebut hingga prajurit TNI terlibat dalam prilaku yang LGBT .

Tindak pidana LGBT secara khusus belum diatur dalam Undang-undang sehingga terhadap delik ini terjadi kekosongan hukum dan perlu adanya undang-undang yang mengatur terkait hal tersebut. Ada aturan yang secara tidak langsung mengatur LGBT. Seperti pada pasal 292 KUHP yang berisi �Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Pada pasal 292 KUHP dijelaskan bahwa perbuatan LGBT hanya dapat dipidana jika pasangan mainnya adalah seorang yang belum dewasa secara hukum pidana dan adanya kekerasan ancaman kekerasan. Pengadilan militer sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman mempunyai suatu peran dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana LGBT sehingga terhadap Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut mampu memberikan pertimbangan yang baik dan lengkap sesuai fakta di persidangan melalui pertimbangan hukumnya.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (Juridis Normatif) yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis. Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai penerapan norma dalam perkara LGBT prajurit TNI dan pemidanaan terhadap prajurit TNI pelaku tindak pidana LGBT dalam dua Pengadilan Militer yang berbeda (Soekanto, 2007). Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan komparatif dilakukan dengan membandingkan dua putusan hakim dalam dua pengadilan militer yang berbeda sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus kasus berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menjadi kajian pokok didalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada sauatu putusan (Marzuki, 2005).

 

Hasil dan Pembahasan

1.Ketentuan LGBT dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

Homoseksual merupakan salah satu dari LGBT, yaitu seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang berjenis kelamin sama sebagai sarna menyalurkan Hasrat seksualnya disebut homoseksual, sebagaimana disebutkan oleh (Oetomo, 2001), mendefinisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan pada seseoarang atau orang orang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan seseoarng secara emosional dan seksual kepada seseorang atau orang orang dari jenis kelamin yang sama (Oetomo, 2001). Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa homoseksual merupakanorientasi pilihan dari seseorang yang ditujukan pada individu atau beberapa individu dengan jenis kelamin yang sama. Homoseksual laki-laki disebut dengan Gay sedangkan homoseksual perempuan disebut Lesbian (Muttaqin, 2016).

Lesbian merupakan istilah bagi para perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesame perempuan, selain itu juga diartikan wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesame jenisnya, wanita homoseks. Istilah ini juga merujuk kepada perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual (Martos, Wilson, & Meyer, 2017).

Gay merupakan istilah yang digunakan untuk seorang pria yang secara seksual tertarik kepada sesama pria dan menunjukkan pada komunitas yang berkembang diantara orang-orang yang mempunyai orientasi seksual yang sama. Istilah Gay biasanya dikontraskan dengan straight, biseksual adalah istilahyang digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang tertarik kepada dua jenis kelamin sekaligus, jadi type ini tertarik pada laki-laki juga tertarik pada perempuan (Hamidi & Hakim, 2018).

Transegender merupakan istilah untuk orang yang cara berprilaku atau penampilannya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, misalnya laki-laki tetapi tingkah laku dan sikapnya seperti perempuan dan sebaliknya. Sedangkan transeksual berbeda transgender, transeksual adalah orang yang merasa identitas gendernya berbeda dengan orientasi seksualnya, orang ini merasa bahwa dirinya terjebak pada tubuh yang salah.

Faktor-faktor penyebab timbulnya penyimpangan seksual atau munculnya LGBT yaitu:

a. Faktor lingkungan bisa memicu terjadinya LGBT, misalnya saja karena salah pergaulan. Ketika seseorang berteman dengan orang yang termasuk LGBT, ada kecenderungan dia akan ikut menjadi LGBT disebabkan factor pengaruh teman. Jadi, lingkungan dan kebiasaan menjadi factor pemicu paling besar terjadinya LGBT di Indonesia. Adanya pengaruh budaya barat yang masuk ke Indonesia juga bisa menyebabkan penyimpangan prilaku ini terjadi.

b.Faktor keluarga jika seseorang anak mengalami kekerasan di lingkungan keluarganya, hal ini bisa menjadi salah satu factor yang menyebabkan seseorang menjadi LGBT. Oleh karena sebab itulah, peranan di dalam keluarga sangat penting. Kehangatan dan keharmonisan keluarga sangat penting. Kehangatan dan keharmonisan keluarga akan mendorong anak untuk tumbuh normal dan wajar. Selain itu jika kedua orang tua memberikan Pendidikan agama dan moral yang baik, hal ini akan membentengi seseorang untuk menyimpang menjadi LGBT.

c. Faktor genetik yaitu penyimpangan seksual seperti lesbian, gay, biseksual ataupun transgender bisa terjadi karena adanya Riwayat keturunan dari anggota keluarga sebelumnya. Dalam tubuh manusia, kromosom seorang laki-laki normal ialah XY dan perempuan XX. Namun, di kehidupan nyata, bisa ditemukan bahwa seorang laki-laki memiliki kromosom XXY. Kelebihan kromosom ini bisa menyebabkan dia memiliki prilaku menyerupai seorang perempuan.

Dalam kaitannya dengan hukum positif, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, praktek homoseksual mengalami pro dan kontra. Khusus di Indonesia, hubungan seksual antara sesama jenis diatur dalam Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 292 KUHP mengatur bahwa orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya dengan dia yang diketahuinya atau sepatutnya harus di duganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

Menurut (Wirjono, 2003), pertimbangan pasal ini tampaknya adalah kehendak pembentuk Undang-Undang untuk melindungi kepentingan orang yang belum dewasa, yang menurut keterangan dengan perbuatan homoseksual ini kesehatannya akan sangat terganggu, terutama jiwanya.Homo berasal dari bahasa Yunani yang berarti sama (Kartasapoetra, 1992).

Sedangkan seksual mempunyai dua pengertian, pertama: seks sebagai jenis kelamin. Kedua: seks adalah hal ihwal yang berhubungan dengan alat kelamin, misalnya persetubuhan atau senggama (Asyari, 2018). Menurut (Surianto, Budiana, & Wahjudianata, 2021), homoseksual adalah keadaan tertarik terhadap orang dan jenis kelamin yang sama. (Yatim, Ersi, & Yulia, 2021), memberikan dua pengertian terhadap homoseksual. Pertama, orang yang tertarik nafsu syahwatnya kepada orang sejenis dengannya. Kedua, dalam keadaan tertarik terhadap orang yang jenis kelaminnya sama; atau cenderung kepada perhubungan sejenis.

(Sutowijoyo, 2022), mengatakan homoseksual adalah dalam keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama.

Pada umumnya para penyandang homoseksual itu sendiri tidak mengetahui mengapa mereka menjadi demikian. Sebagian ada yang menerima keadaan dirinya dan hidup dengan senang sebagai homoseksual dan ada sebagian lain yang tidak bisa menerima keadaan dirinya sehingga terus menerus berada dalam keadaan konflik batin selama hidupnya (Sarwono, 2005).

Berbicara mengenai hukum, maka Thomas Aquinas sebagaimana dikutip oleh (Erfa, 2015) menjelaskan definisi konsep hukum . Ia menyebutkan bahwa hukum adalah suatu aturan atau ukuran dari Tindakan Tindakan. Dalam hal mana manusia dirangsang untuk bertindak (sesuai aturan atau ukuran itu) atau dikekang untuk tidak bertindak (sesuai dengan aturan atau ukuran itu) atau dikekang untuk tidak bertindak (sesuai dengan aturan atau ukuran itu. Sebagaiman diketahui, perkataan lex (law, hukum) adalah berasal dari kata ligare (mengikat). Sebab ia mengikat seseorang untuk bertindak (menurut aturan atau ukuran tertentu). Hukum tidak lain merupakan perintah rasional tentang sesuatu yang memerintahkan hal hal umum yang baik, disebarluaskan melalui perintah yang diperhatikan oleh masyarakat(Adrian, 2021).

Homoseksual menunjuk kepada suatu perbuatan Bersama melanggar kesusilaan antara dua orang berkelamin sama , jadi antara laki-laki dengan laki-laki, perempaun dengan perempuan (Wirjono, 2003). Sedangkan yang dimaksud dengan kesusilaan adalah dalam arti yang luas. Bukan hanya menyangkut soal kebirahian atau sex saja, akan tetapi meliputi semua kebiasaan hidup yang pantas dan berakhlak dalam suatu kelompok masyarakat (tertentu) yang sesuai dengan sifat sifat dari masyarakat yang bersangkutan. Norma kesusilaan tidak hanya terbatas bagi orang orang yang memeluk suatu agama tertentu saja, melainkan juga bagi mereka yang tidak mengakui sesuatu agama. Orang terdorong untuk mentaati norma-norma kesusilaan , karena keinginan untuk hidup bermasyarakat tanpa semata mata karena paksaan rohaniah atau jasmaniah (Sianturi, 1985).

Menurut (Sudibyo, 2019) yang dimaksud dengan kesopanan yaitu dalam arti kata kesusilaan, perasaan malu yang berhubungan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan Wanita, memperlihatkan anggota kemaluan Wanita atau pria, mencium, dan sebagainya. Pengerusakan kesopanan ini semuanya dilakukan dengan perbuatan. LGBT merupakan perbuatan yang bertentangan pendapat umum terutama pemuka adat dan agama yang ada di Indonesia, menolak perbuatan LGBT, oleh karena itu sudah sepantasnya perbuatan LGBT dijerat atau diancam dengan pasal yang berkaitan dengan kesusilaan seperti yang diatur dalam Pasal 281 KUHP.

LGBT muncul akibat adanya interaksi terus menerus anatara manusia (baik sebagai individu ataupun sebagai kelompok) dengan masyarakatnya yang diunkapkan secara sosial melalui berbagai Tindakan Tindakan sosial. Proses terbentuknya Tindakan LGBT sebagai suatu realitas sosial menjadi sangat menarik untuk dikaji karena melibatkan aspek aspek sosial yang berhubungan secara dialektis dalam interaksi sosial antara individu dengan masyarakat4.

Perdebatan mengenai eksistensi LGBT oleh karena tidak adanya dasar hukum yang jelas. Fakta ini mengindifikasikan adanya kekosongan hukum dan menimbulkan ruang bagi gagasan atau perilaku apapun, baik yang tidak masuk akal agar dapat dibaut landasan hukumnya. Hal inipun yang sebenarnya diperjuangkan oleh LGBT, yaitu adanya pengakuan dari pemerintah untuk mengategorikan LGBT sebagai wujud keragaman gender. Terkait dengan hal tersebut. Saat ini yang diakui di Indonesia hanya Laki-laki dan perempuan. Samarnya payung hukum terhadap LGBT yang berkelanjutan perlu mendapat perhatian pemerintah. Polemik ketidakjelasan dasar hukum LGBT tersebut menjadi keresahan sejumlah kalangan praktisi dan akademisi perempuan sehingga pada tanggal 19 April 2016 agar melakukan pengujian konstitusianalitas terhadap sejumlah pasal dan secara tersburat juga mengusulkan agar LGBT dapat dikategorikan sebagai delik tindak pidana murni sama seperti perbuatan zina (Pasal 284 KUHP), pemerkosaan (Pasal 285 KUHP), dan pencabulan (Pasal 292 KUHP).

Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian konstitusionalitas pada pasal-pasal tersebut, hal ini tertera pada Putusan Nomor 46/PUU/IV/2016. Fakta dalam putusan menunjukkan bahwa memperluas jenis delik pidana bukanlah wewenang MK melainkan wewenang DPR dan Presiden. Untuk itu perlunya LGBT dalam RUU KUHP dimasukkan sebagai suatu delik, namun sampai saat ini RUU tersbut belum juga disahkan sehingga regulasi KUHP dipandang belum mencakup dan menyelesaikan permasalahan LGBT di Indonesia. Pada akhirnya LGBT tetap tidak memiliki fondasi hukum yang jelas di Indonesia. Indonesia sebagai negara Demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan budaya ketimuran, pada permaslahan LGBT ini dihadapkan dengan suatu keputusan yang dapat dikatakan sulit untuk ditentukan arah hukumnya.

Dalam konsep KUHP Nasional telah sepakat bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dalam menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembianaan sehingga masalah masalah hukum, menjadikannya orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Disinilah harusnya arah politik atau kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi perbuatan LGBT, dengan menitik beratkan pada tujuan pemidanaan yang dapat memberikan perbaikan dan pembinaan serta dapat membuat efek jera pada pelaku perbuatan LGBT, serta mengembalikan keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam masyarakat, dan menjaga kesucian nilai nilai keseimbangan yang ada pada Pancasila terutama nilai ketuhanan.

2.   Penerapan Penyelesaian Perkara LGBT dalam Sistem Peradilan Militer

Peradilan Militer yang merupakan salah satu penyelenggara kekuasanan kehakiman yang berada dibawah Mahkamah Agung Republik Indonesia hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang merumuskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di awahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang menyebutkan mengenai jati diri TNI antara lain sebagai Tentara Profesional yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Dalam konteks penegakan hukum terhadap Prajurit TNI di lingkungan militer di Indonesia, ada ketentuan hukum yang secara tegas mengatur Prajurit TNI tentang tindakan apa saja yang merupakan pelanggaran, kejahatan atau merupakan larangan yang diberikan ancaman berupa sanksi pidana terhadap pelanggarnya yang diatur dalam hukum pidana militer

Selanjutnya Berkaitan dengan perkara LGBT yang disidangkan di Pengadilan Militer adalah perkara homoseksual orientasi seksual yang dilakukan sesama jenis yaitu antara laki-laki dengan laki- laki dengan dakwaan sebagai berikut:

a. Pasal 281 ke -1 KUHP yang berbunyiBarangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan�.

b.Pasal 294 ayat (2) ke -1 KUHP yang berbunyiPejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga��.

c. Pasal 103 ayat (1) KUHPM yang berbunyiMiliter yang menolak atau dengan sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas atau dengan semaunya melampaui perintah sedemikian itu �.

d.Pasal 36 UU RI No 44 tahun 2008 tentang Pornografi Yang berbunyiSetiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi�.

e. Pasal 32 Jo Pasal 6 UU RI Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang berbunyiSetiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi�.

f.  Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (1) UU RI No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 tahun 2008 tentang ITE yang berbunyiSetiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau menstransmisikan dan /atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronil dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan �.

Berkaitan dengan Tindak pidana LGBT yang dilakukan oleh prajurit TNI dimana Oditur Militer mendakwakan Terhadap diri Terdakwa dengan dakwaan yang disusun dalam dakwaan alternative dimana terhadap dakwaan tersebut Majelis Hakim dalam pertimbangannya telah membuktikan unsur mana yang bersesuaian dengan fakta yang ada dalam persidangan dengan mengemukakan pertimbangan pertimbangan yag menjadi dasar Majelis Hakim baik hal hal yang meringankan dan hal hal yang memberatkan sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim sehingga Majelis Hakimdalam penjatuhan pidana telah mempertimbangkannyabaik berupa pidana pokok dan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer.

Selanjutnya dengan adanya beberapa perkara LGBT yang disidangkan di Pengadilan Militer dengan beberapa dakwaan yang berasifat alternative yang salah satu adalah perkara Nomor pada Pengadilan Militer II-08 Jakarta Nomor 212-K/PM II-08AD/XI/2020 dan Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Nomor 87- K/BDG/PMT-II/AD/XII/2020.

Pertimbangan putusan yang dilakukan oleh Majelis Hakim tingkat pertama dalam membuktikan unsur dakwaan yang terbukti secara sah dan meyakinkan berbeda dengan pertimbangan yang dibuktikan oleh perngadilan militer tinggi tentang keterbuktian unsur dengan pertimbangan sebagai berikut:

Pada perkara pidana LGBT dengan Putusan Nomor 212-K/PM II-08AD/XI/2020 Register dimana dakwaan Oditur dengan disusun secara alternatif yaitu:

a. Alternatif Pertama: Pasal 294 ayat (2) ke -1 KUHP yang berbunyiPejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk����� dijaga �.

b.Alternatif Kedua: Pasal 281 ayat (2) KUHP yang berbunyi ��Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan

c. Alternatif ketiga: Pasal 103 ayat (1) KUHPM yang berbunyiMiliter yang menolak atau dengan sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas atau dengan semaunya melampaui perintah sedemikian itu

Majelis Hakim tingkat pertama membuktikan dakwaan alternative pertama yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidanaPejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnyasebagaimana Pasal 294 ayat (2) ke -1 KUHP dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Bahwa Terdakwa tidak perduli dan tidak taat dengan ketentuan yang berlaku sehingga Terdakwa yang merupakan seorang perwira dan juga seorang Komandan telah melakukan perbuatan asusila dengan anggotanya yang merupakan bawahanya hanya untuk kepentingan yaitu untuk memenuhi hawa nafsunya sehingga melanggar norma susila dan norma agama.

b.Bahwa Terdakwa sebagai seorang pejabat Komandan tentunya sangat memahami tentang aturan dan ketentuan dalam kehidupan prajurit dan harus bias menjadi bawahannya akan tetapi justru terdakwa melakukan perbuatan asusila dengan bawahannya.

c. Bahwa akibat perbuatan Terdakwa tersebut menyebabkan anggota yang merupakan bawahan dari Terdakwa merasa tidak nyaman dalam melaksanakan tugas di kesatuan yang dipimpim oleh Terdakwa dan dapat merusak moral serta disiplin prajurit yang merugikan satuan yang bersangkutan dalam membina dan menyiapkan prajuri dalam menghadapi pelaksanaan tugas personel maupun satuan.

Oleh karenanya Majelis Hakim tingkat pertama menjatuhkan pidana baik berupa pidana pokok penjara selama 8 (delapan) bulan serta dijatuhi pidana tambahan berupa Dipecat dari dinas militer dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Berdasar ketentuan pasal 26 KUHPM yang menyatakan pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata selain yang ditentukan dalam pasal 39 KUHPM dapat dijatuhi oleh Hakim berbarengan dengan putusan penjatuhan pidana pokok kepada seorang militer yang berdasarkan kejahatan yang dilakukan dipandang tidak layak lagi tetap dalam kalangan militer.

b.Terdakwa sebagai seorang pemimpin Komandan satuan telah melakukan perbuatan yang melanggar norma kesusilaan dan norma kesopanan terhadap anggota sehingga bisa menggoyahkan sendi-sendi dan tata tertib dalam kehidupan prajurit lainnya.

c. Terdakwa telah melakukan perbuatan yang mencoreng nama baik TNI dan satuan Terdakwa dan merusak disiplin prajurit yang telah terbina dengan baik di satuan justru Terdakwa melakukan perbuatan asusila dengan korban yang anggotanya sendiri merupakan perbuatan yang tidak pantas dilakukan di lingkungan TNI.

Terhadap putusan tersebut Terdakwa megajukan upaya hukum banding yang selanjutnya oleh Majelis Hakim tingkat banding yang memeriksa dan memutus perkara Terdakwa dengan pertimbangan Terdakwa di dakwakan dengan dakwaan alternative berupa dakwaan pertama Pasal 294 ayat (2) KUHP, dakwaan alternative kedua Pasal 281 ayat (2) KUHP dan dakwaan alternative ketiga Pasal 103 KUHPM.dimana salah satu dakwaannya adalah pasal 103 KUHPM sehingga dengan mendasari ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut yang menyatakan jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Dalam hukum pidana terdapat suatau asas penting yaitu asas lex specialis derogat legi generali yang merupakan suatu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (general) sehingga putusan tingkat banding tersebut mengubah tentang terbuktinya unsur sehingga Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidanaMiliter yang dengan sengaja tidak mentaati perintah dinas �. Dan menguatkan putusan tingkat pertama untuk seluruhnya,

Dengan adanya perbedaan Majelis Hakim baik tingkat pertama maupun tingkat banding dalam pembuktian unsur perkara asusila yang dilakukan oleh prajurit TNI dengan sesama jenis (Gay) yang disidangkan di Pengadilan Militer dapat dikaji dalam menganalisa kasus tersebut bahwa perbuatan gay (LGBT) yang dilakukan oleh prajurit TNI sangat bertentangan dengan norma yang hidup dalam masyarakat baik norma kesusilaan maupun norma agama.

Menurut ST Panglima TNI Nomor ST Nomor 1313/VIII/2009 tentang larangan bagi prajurit TNI untuk melakukan perbuatan LGBT, dan selanjutnya diperkuatkan dengan ST Kasad NOmor 2497 tanggal 28 Desember 2012 merupakan perintah bagi prajurit TNI AD untuk tidak melakukan perbuatan LGBT, namun demikian ST Panglima TNI dan ST Kasad tersebut tidak bisa dijadikan landasan untuk menghukum dan menjatuhkan pidana bagi seorang anggota TNI. dan ST tersebut hanya merupakan sebuah pertimbangan dalam pemberian pemberatan pidana dan layak atau tidaknya seorang prajurit TNi dipertahankan dalam dinas militer.

Selanjutnya di dalam Sema Nomor10 tahun 2020 tentang pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah tahun 2020 sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi Pengadilan tersebut didalam rumusan kamar militer yaitu tentang penerapan hokum terhadap prajurit TNI Pelaku Homoseksual/Lesbian terhadap pelanggaran ST Panglima TNI Nomor 398/2009 tanggal 22 Juli 2009 Juncto ST Panglima TNI Nomor ST/1648/2019 tanggal 22 Oktober 2019 yang mengatur tentang larangan bagi prajurit TNI melakukan perbuaan asusila dengan jenis kelamin yang sama (Homoseksual/Lesbian) diterapkan ketentuan Pasal 103 ayat (1) KUHPM sebagai perbuatan melanggar perintah dinas.

Bahwa yang dimaksud dengan perintah dinas adalahpenggambaran suatu kehendak baik secara lisan maupun tertulis yang disampaikan oleh seseorang atasan terhadap bawahannya berhubungan dengan kepentingan dinas militer bahwa suatu perintah dinas harus memenuhi syarat syarat (SITUMORANG, 2022).

Dengan adanya penekanan tentangperbuatan asusilaLGBT yang dilakukan oleh prajurit TNI baik dalam apabila dikaitkan dengan ST Panglima TNI Nomor 1313/VIII/2009 tentang larangan bagi Prajurit TNI untuk melakukan perbuatan LGBT, namun tentunya ST Panglima maupun ST KASAD tidak bisa dijadikan landasan untuk menghukum dan menjatuhkan pidana bagi seseorang anggota TNI karena ST tersebut hanya merupakan pertimbangandalam pemberatan pidananya maupun layak tidaknya Terdakwa dipertahankan dalam dinas militer. Sedangkan terhadap pemberlakukan rapat pleno Militer tidak dapat diterapkan bergitu saja Pasal 103 KUHPM.

Majelis Hakim Militer yang menyidangkan perkara LGBT yang dilakukan oleh prajurit TNI yang didakwakan dengan dakwaan Pasal 281 KUHP, Pasal 294 ayat (2) ke 1 KUHP dan Pasal 103 KUHPM terkadang dalam mempertimbangkan unsur mana yang paling bersesuaian dengan fakta persidangan agar bersikap hati hati dalam memberikan pertimbangan terkait pasal tersebut sebagai bahan pertimbangan nantinya dalam penjatuhan pidananya.

Dengan menyikapi adanya perkara LGBT yang dilakukan oleh prajurit TNI tentunya Majelis Hakim dapat memberikan pertimbangan yang baik dalam pembuktian unsur mana yang paling bersesuaian dengan fakta di persidangan dan perlu dipahami juga bahwa perbuatan LGBT sendiri merupakan perbuatan yang terlarang dilakukan oleh prajurit TNI sehingga terhadap pelakunya apabila perkaranya disidangkan di Pengadilan Militer tentunya dikenakan sanksi yang sangat tegas berupa pidana penjara maupun pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer.

Pidana tambahan pemecatan dari dinas militer yang dijatuhkan di Pengadilan Militer harus dapat mempertimbangkan tentang terhadap layak tidaknya Terdakwa dipertahankan sebagai Prajurit TNI, haruslah dilihat dari kwalitas kejahatan yang dilakukan Terdakwa dan pengaruhnya baik bagi Kesatuan dalam pembinaan disiplin Prajurit di Kesatuan, maupun bagi masyarakat. Bahwa selain ukuran ketidaklayakan Majelis Hakim berpendapat Pemecatan juga harus memperhatikan tujuan dari pemidanaan, maka dalam menjatuhkan pemidanaan harus diperhatikan keadaan yang obyektif dari tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa sehingga tujuan pemidanaan yang preventif dan edukatif yang memenuhi rasa keadilan dapat tercapai. Seperti dalam putusan terhadap layaknya tidaknya prajurit TNI dipertahankan dalam dinas militer , yaitudengan mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

a. Terdakwa tidak bisa mengendalikan diri sehingga dengan mudahnya diajak oleh seseorang untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutannya sebagai seorang prajurit yang harus menjunjung tinggi hukum dan peraturan perundang-undangan serta penekanan dari Panglima TNI yang melarang keras bagi setiap prajurit terlibat hubungan sesama jenis karena dampak yang ditimbulkannya bukan saja untuk diri sendiri akan tetapi juga sangat mempengaruhi tugas pokok TNI.

b.Terdakwa mengabaikan perhatian dan perintah Panglima TNI tentang larangan melibatkan diri dalam hubungan sesama jenis, serta dikaitkan dengan tugas pokok TNI yang merupakan benteng pertahanan negara maka dibutuhkan seorang prajurit yang mempunyai fisik yang prima, sikap mental dan dedikasi yang tinggi untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas sehingga Terdakwa sebagai seorang aparat Terdakwa seharusnya menghindari terjadinya hubungan sesama jenis, bukannya sebagai pelaku hubungan sesama jenis.

c. Status kepangkatan dan kapasitas jabatan Terdakwa tersebut seharusnya Terdakwa menanamkan pada dirinya untuk mengabdi dan memberikan yang terbaik demi bangsa dan negara, karena dipandang setiap prajurit TNI mampu melaksanakan pengabdian melebihi panggilan tugas, akan tetapi disisi lain Terdakwa telah melakukan hubungan sesama jenis yang dilarang keras terjadi dalam lingkungan TNI. Hal ini membuktikan bahwa Terdakwa bukanlah sosok prajurit yang luar biasa yang mampu melindungi bangsa dan negaranya.

d.Bahwa dilihat dari sisi pertahanan Negara, Terdakwa sebagai Prajurit TNI yang setiap saat disiapkan untuk melaksanakan tugas Negara dalam mempertahankan NKRI, yang membutuhkan fisik yang prima serta mental dan kesehatan yang baik. Tetapi Terdakwa yang sudah terkontaminasi dengan hubungan sesama jenis, maka sudah tidak dapat di harapkan lagi menjadi anggota TNI yang siap menghadapi segala kemungkinan yang ada.

e. Bahwa Terdakwa mengetahui pimpinan TNI melarang keras prajurit TNI terlibat dalam hubungan sesama jenis demi menjaga kepentingan militer, sehingga Terdakwa seharusnya tidak melibatkan diri dalam hubungan sesama jenis karena Terdakwa mengetahui sanksi bagi prajurit yang terlibat hubungan sesama jenis sangat berat, oleh karenanya apabila dalam perkara ini Terdakwa dijatuhi pidana tambahan pemecatan dari dinas militer maka sesungguhnya dan sejatinya Terdakwa sendiri yang menghendaki hal tersebut karena Terdakwa secara sadar telah melibatkan diri dalam hubungan sesama jenisyang sangat dilarang terjadi di lingkungan TNI.�����

Berdasarkan fakta-fakta yang melekat pada diri Terdakwa dari perbuatannya dihadapkan dengan ukuran-ukuran tata kehidupan atau sistem nilai yang berlaku di lingkungan TNI termasuk pula jika dilihat dari segi edukatif, preventif, korektif maupun represif, Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan sebagai prajurit TNI karena dikhawatirkan akan mengganggu dan menggoyahkan sendi-sendi disiplin dan tata tertib kehidupan prajurit TNI.

Selanjutnya untuk menggali apa yang menjadi pertimbangan masing masing Majelis Hakim tersebut tentunya kita akan terlebih dahulu menganalisa pertimbangan pertimbangan dari Majelis Hakim sebagaimana yang dikemukakan dalam putusan dimana antara satu perkara satu dengan perkara lainnya (case) berbeda , namun dari perbuatan pelaku yaitu seorang prajurit yang terbukti melakukan tindak pidana LGBT didalam amarnya tercantum adanya pidana tambahan sesuai denganketentuan pasal 26 KUHPM yaitu dipecat dari dinas militer.

Ukuran penjatuhan pidana pemecatan di samping pidana pokok ialahpandangan� hakim militer mengenai kejahatan yang dilakukan oleh Terdakwa /terpidana berdasarkannilaisebagai tidak layak lagi dipertahankan dalam kehidupan masyarakat militer. Dapat rasakan betapa besar kepercayaan yang dilimpahkan ini, justru harus merupakan peringatan bagi para hakim militer, jika hendak menegakkan keadilan, apabila dijatuhkan pidana pemecatan ini, maka dalam pandangan/penilaian� hakim militer itu harus tercakup atau tersirat suatu makna, bahwa apabila tidak dijatuhkan pidana pemecatan, maka kehadiran terpidana nantinya dalam masyarakat militer setelah ia selesai menjalani pidananya akan menggoncangkan sendi-sendi ketertiban dalam masyarakat.

Ketidaklayakan dan ketidakpantasan tersebut secara tegas harus menjadi pertimbangan majelis dalam menilai perbuatan terdakwa. Pada bagian pertimbangan mengenai penilaian tentang sifat dan hakekat serta akibat dari perbuatan terdakwa, harus mempertimbangkan habwa terdakwa secara nyata sudah tidak pantas dan layak lagi untuk dipertahankan dalam dinas militer dihadapkan dengan norma-norama kepantasan dan kelayakan bagi seorang prajurit.

Dalam hal ini jelas bahwa Majelis Hakim di lingkungan Pengadilan Militer dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana LGBT diharapkan mampu memberikan pertimbangan hukum yang baik dan lengkap sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan sehingga mendapatkan kebenaran dan keadilan yang bersumber dari hukum positif dengan tetap berkewajiban menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga tercermin kepastian hukum,keadilan dan kemanfaatan.

Mendasarkan hal hal tersebut dimana dalam penerapan norma hukum terhadap pelaku tindak pidana LGBT prajurit TNI serta pertimbangan pengadilan dalam menerapkan norma sehingga diharapkan dalam putusan pengadilan tersebut akan terdapat persesuaian antara perkara yang hampir sama dan tidak begitu saja diterapkan pasal 103 KUHPM apabila unsur-unsur dari dakwaan tersebut bisa dibuktikan secara baik dan benar serta�� pertimbangannya dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer bagi Terdakwa pelaku LGBT dirasakan akan sangat bermanfaat bagi pembinaan satuan karena di lingkungan TNI yang disiplin yaitu tunduk dan patuh pada hukum dirasa akan sangat menodai institusi TNIapabila terhadap pelaku LGBT tidak diselesaikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

 

Kesimpulan

Tindak pidana LGBT secara khusus belum diatur dalam Undang-undang sehingga terhadap delik ini terjadi kekosongan hukum dan perlu adanya undang-undang yang mengatur terkait hal tersebut. namun demikian adanyaaturanyang secara tidak langsung mengatur LGBT. Seperti pada pasal 292 KUHP yang berisi �Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Pada pasal 292 KUHP dijelaskan bahwa perbuatan LGBT hanya dapat dipidana jika pasangan mainnya adalah seorang yang belum dewasa secara hukum pidana dan adanya kekerasan ancaman kekerasan.

Perkara LGBT yang dilakukan prajurit TNI sangat bertentangan dengan ST Panglima TNI dan ST KASAD sehingga terhadap pelaku LGBT tersebut harus dilakukan Tindakan yang tegas apabila perkaranya diselesaikan lewat jalur pengadilan militer maka dengan menerapkan ketentuan norma-norma yang adadan terhadap majelis hakim militer perlu memberikan pertimbangan-pertimbangan yang benar dan baik dalam penjatuhan pidananya serta juga harus mempertimbangkan tentang diberikan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer dengan mempertimbangkan layak tidaknya prajurit TNI pelaku LGBT apabila tetap berada di lingkungan TNI karena akan membawa dampak bagi pembinaan disiplin di kesatuan dan mengoyahkan sendi sendi kehidupan prajurit.

BIBLIOGRAFI

Adrian, Adrian. (2021). Penegakan Hukum Terhadap Penyalah Guna Narkotika Melalui Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial. Universitas Hasanuddin.Google Scholar

 

Asyari, Fatimah. (2018). LGBT dan Hukum Positif Indonesia. LEGALITAS: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 2(2), 57�65. Google Scholar

 

Erfa, Riswan. (2015). Kriminalisasi Perbuatan Cabul Yang Dilakukan Oleh Pasangan Sesama Jenis Kelamin (Homoseksual). Brawijaya University. Google Scholar

 

Hamidi, Jazim, & Hakim, Lukman Nur. (2018). Zina Dan Gerakan Lgbt: Quo Vadis Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Penyelamatan Moralitas Bangsa (Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUUXIV/2016)/Adultery And Lgbt Movement: Quo Vadis Penal Policy For Saving Moral Nations (Annotation of Constitutional Court Decision Number 26/PUUXIV/2016). Jurnal Hukum Dan Peradilan, 7(2), 263�278. Google Scholar

 

Indonesia. (1999). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Panca Usaha. Google Scholar

 

Kartasapoetra, G. (1992). Kamus sosiologi dan kependudukan. Bumi Aksara.

Google Scholar

 

Martos, Alexander J., Wilson, Patrick A., & Meyer, Ilan H. (2017). Lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) health services in the United States: Origins, evolution, and contemporary landscape. PloS One, 12(7), e0180544. Google Scholar

 

Marzuki, Peter Mahmud. (2005). Penelitian Hukum, Kencana. Jakarta. Google Scholar

 

Muttaqin, Imron. (2016). Membaca strategi eksistensi LGBT di Indonesia. Raheema: Jurnal Studi Gender Dan Anak, 3, 78�86. Google Scholar

 

Oetomo, Dede. (2001). Memberi suara pada yang bisu. Galang Press Yogyakarta. Google Scholar

 

Sarwono, Sarlito Wirawan. (2005). Adolescence. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Google Scholar

 

Sianturi, Sari Roels. (1985). Hukum Pidana Militer di Indonesia. Alumni AHAEM-PETEHAEM. Google Scholar

 

SITUMORANG, GAYA ARDA. (2022). Perbedaan Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anggota Tni Pelaku Hubungan Seksual Sesama Jenis/Homoseksual. Google Scholar

 

Soekanto, Soerjono. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. Google Scholar

 

Sudibyo, Ateng. (2019). Kebijakan Kriminal Terhadap, Gay, Biseksual Dan Transgender (LGBT) Dikaitkan Dengan Delik Kesusilaan Di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukum, 4(1), 28�41. Google Scholar

 

Surianto, Malvin Sebastian, Budiana, Daniel, & Wahjudianata, Megawati. (2021). Representasi Gay dalam Drama TV Serial Money Heist. Jurnal E-Komunikasi, 9(2). Google Scholar

 

Sutowijoyo, Sutowijoyo. (2022). Analisa Tindak Pidana Pemalsuan Identitas Dalam Perkawinan Yang Dilakukan Oleh Pasangan Sesama Jenis. Legal Spirit, 6(1). Google Scholar

 

Wirjono, Prodjodikoro. (2003). Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, Hal, 103. Google Scholar

 

Yatim, Yenita, Ersi, Livia, & Yulia, Refni. (2021). Menghindari Lgbt Melalui Proses Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal Bagi Remaja Di Sma Negeri 1 Pagai Utara Selatan. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Cahaya Mandalika (Abdimandalika) e-ISSN 2722-824X, 2(12 (Desemb), 280�285. Google Scholar

������������������������������������������������

Copyright holder:

Prastiti Siswayani (2022)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under: