Syntax
Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
Vol. 4, No. 11, November 2022
PENYELESAIAN PERKARA LGBT PRAJURIT TNI DALAM SISTEM PERADILAN MILITER
Prastiti Siswayani, Nurini Aprilianda, Faizin Sulistyo
Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual,
dan Transgender) merupakan sebuah
perilaku dan orientasi seksual menyimpang yang berlawanan dengan dogma agama, kodrat manusia, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Perilaku LGBT ternyata juga ada yang dilakukan prajurit TNI, sehingga dalam kaitan dengan
penyelesaian prilaku LGBT dalam system Peradilan Militer terhadap perbedaan pertimbangan Majelis Hakim dalam keterbuktian tindak pidana sehingga dalam penelitian ini yaitu tentang
filosofi Majelis Hakim dalam keterbuktian tindak pidana didasarkan
pada Pasal 103 Kitab Undang
Undang Hukum Pidana Militer dan dasar diterapkannya Pasal 103 KUHPM tersebut serta solusi pengaturan penyelesaian LGBT ke depannya. Disamping itu penelitian yang dilakukan merupakan penelitian normatif dengan pendekatan komparatif putusan hakim di dua pengadilan militer.Hasil, Homoseksual merupakan salah satu dari LGBT, yaitu seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang
berjenis kelamin sama sebagai sarna
menyalurkan Hasrat seksualnya
disebut homoseksual. Kesimpulannya, perilaku LGBT di Pengadilan Militer merupakan sebuah perilaku asusila dan amoral yang dapat dijatuhi sanksi tegas berupa pidana
pada ketentuan pasal 281 maupun 103 KUHP.
Kata kunci:
LGBT; Militer;
Peradilan Militer.
Abstract
LGBT
(Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender) is a deviant sexual orientation and
behavior that is contrary to religious dogma, human nature, and values
that live in Indonesian society. It turns out that LGBT behavior
has also been committed by TNI soldiers, so that in relation to the resolution
of LGBT behavior in the Military Justice system regarding differences in the
considerations of the Panel of Judges in the evidence of criminal acts so that
in this study it is about the philosophy of the Panel of Judges in proving
criminal acts based on Article 103 of the Indonesian Criminal Code. Military
Criminal Law and the basis for the implementation of Article 103 of the
Criminal Code as well as solutions for setting up LGBT settlements in the
future. Apart from that, the research being conducted is normative research
with a comparative approach to the decisions of judges in two military courts.
prioritizing people of the same sex as a means of channeling their sexual
desires is called homosexuality. In conclusion, LGBT behavior in Military
Courts is an immoral and immoral behavior that can be subject to strict
sanctions in the form of a crime under the provisions of Articles 281 and 103
of the Criminal Code.
Keywords: LGBT; Military;
Military Justice.
Pendahuluan
��������� Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana dijelaskan pada batang tubuh UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 1 ayat (3), dalam konsep Negara hukum, hukumlah yang menjadi panglima, kekuasaan hukum harus mampu menciptakan rasa keadilan dalam berbangsa dan benegara serta terciptanya rasa adil, rasa aman dan terjaminnya hak-hak asasi manusia. Prajurit TNI menjunjung tinggi hukum dan HAM sebagai jati diri TNI yang terangkum dalam Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang menyebutkan mengenai jati diri TNI antara lain sebagai Tentara Profesional yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Dalam konteks penegakan hukum terhadap Prajurit TNI di lingkungan militer di Indonesia, ada ketentuan hukum�� yang secara tegas mengatur Prajurit TNI tentang tindakan apa saja yang merupakan pelanggaran, kejahatan atau merupakan larangan yang diberikan ancaman berupa sanksi pidana terhadap pelanggarnya yang diatur dalam hukum pidana militer.
Peradilan militer merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang berada di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 ayat (2) Undang �undang Dasar Negara Republik Indonesia di lingkungan
oleh Pengadilan dalam Lingkungan Lingkungan Peradilan Militer� sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer berwenang : (Indonesia, 1999)
Mengadili tindak pidana yang dilakukan seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
1. Prajurit.
2. Yang berdasarkan ketentuan Undang Undang dipersamakan dengan prajurit,
3. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang.
4. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
5. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
6. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan.
Perbuatan LGBT yaitu
adanya orientasi seksual yang menyimpang dari aturan agama dan nilai kehidupan kehidupan yang regilus di dalam masyarakat Indonesia, dimana perbuatan telah melanggar etika moral dan etika sosial masyarakat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri
dalam lingkungan militer juga terdapat penyimpangan orientasi seksual yang menyimpang yang dilakukan oleh pelaku yang notabene adalah seorang prajurit TNI yang dalam masyarakat mungkin dianggap mustahil karena melihat sosok seorang
prajurit yang dikenal gagah serta memiliki
kedisiplinan dan kepatuhan dalam melaksanakan tugas dan aturan yang ada. Akan tetapi karena factor lingkungan , factor keluarga dan factor genetik yang ada pada pelaku yang merupakan sosok prajurit tersebut hingga prajurit TNI terlibat dalam prilaku yang LGBT .
Tindak pidana
LGBT secara khusus belum diatur dalam
Undang-undang sehingga terhadap delik ini terjadi kekosongan
hukum dan perlu adanya undang-undang yang mengatur terkait hal tersebut. Ada aturan yang secara tidak langsung mengatur LGBT. Seperti pada pasal 292 KUHP yang berisi �Orang
yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun. Pada pasal
292 KUHP dijelaskan bahwa perbuatan LGBT hanya dapat dipidana jika pasangan mainnya
adalah seorang yang belum dewasa secara
hukum pidana dan adanya kekerasan ancaman kekerasan. Pengadilan militer sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman mempunyai suatu peran dalam penegakan
hukum terhadap pelaku tindak pidana
LGBT sehingga terhadap Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut mampu memberikan pertimbangan yang baik dan lengkap sesuai fakta di persidangan melalui pertimbangan hukumnya.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (Juridis Normatif) yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis. Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai
penerapan norma dalam perkara LGBT prajurit TNI dan pemidanaan terhadap prajurit TNI pelaku tindak pidana
LGBT dalam dua Pengadilan Militer yang berbeda (Soekanto, 2007).
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
komparatif (comparative approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan komparatif dilakukan dengan membandingkan dua putusan hakim dalam dua pengadilan militer yang berbeda sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan
telaah terhadap kasus kasus berkaitan
dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menjadi kajian pokok didalam pendekatan
kasus adalah ratio
decidendi atau reasoning, yaitu
pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada
sauatu putusan (Marzuki, 2005).
Hasil dan Pembahasan
1.Ketentuan LGBT dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia
Homoseksual
merupakan salah satu dari LGBT, yaitu seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang berjenis kelamin sama sebagai
sarna menyalurkan Hasrat seksualnya disebut homoseksual, sebagaimana disebutkan oleh (Oetomo, 2001),
mendefinisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan pada seseoarang atau orang orang dari jenis kelamin
yang sama atau ketertarikan seseoarng secara emosional dan seksual kepada seseorang atau orang orang dari jenis
kelamin yang sama (Oetomo, 2001).
Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa homoseksual merupakan� orientasi pilihan dari seseorang
yang ditujukan pada individu
atau beberapa individu dengan jenis kelamin yang sama. Homoseksual laki-laki disebut dengan Gay sedangkan homoseksual perempuan disebut Lesbian (Muttaqin, 2016).
Lesbian merupakan
istilah bagi para perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesame perempuan, selain itu juga diartikan wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesame jenisnya, wanita homoseks. Istilah ini juga merujuk kepada perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual,
emosional atau secara spiritual (Martos, Wilson, & Meyer, 2017).
Gay merupakan
istilah yang digunakan untuk seorang pria
yang secara seksual tertarik kepada sesama pria dan menunjukkan pada komunitas yang berkembang diantara orang-orang
yang mempunyai orientasi seksual yang sama. Istilah Gay biasanya dikontraskan dengan straight, biseksual adalah istilahyang digunakan untuk menggambarkan orang-orang
yang tertarik kepada dua jenis kelamin
sekaligus, jadi type ini tertarik pada laki-laki juga tertarik pada perempuan (Hamidi & Hakim, 2018).
Transegender merupakan istilah untuk orang yang cara berprilaku atau penampilannya tidak sesuai dengan
jenis kelaminnya, misalnya laki-laki tetapi tingkah laku dan sikapnya seperti perempuan dan sebaliknya. Sedangkan transeksual berbeda transgender, transeksual adalah orang yang merasa identitas gendernya berbeda dengan orientasi seksualnya, orang ini merasa bahwa dirinya
terjebak pada tubuh yang
salah.
Faktor-faktor penyebab timbulnya penyimpangan seksual atau munculnya
LGBT yaitu:
a. Faktor lingkungan bisa memicu terjadinya
LGBT, misalnya saja karena salah pergaulan. Ketika seseorang berteman dengan orang yang termasuk LGBT, ada kecenderungan dia akan ikut
menjadi LGBT disebabkan
factor pengaruh teman. Jadi,
lingkungan dan kebiasaan menjadi factor pemicu paling besar terjadinya LGBT di
Indonesia. Adanya pengaruh budaya barat yang masuk ke Indonesia juga bisa menyebabkan penyimpangan prilaku ini terjadi.
b.Faktor keluarga jika seseorang
anak mengalami kekerasan di lingkungan keluarganya, hal ini bisa menjadi
salah satu factor yang menyebabkan
seseorang menjadi LGBT.
Oleh karena sebab itulah, peranan di dalam keluarga sangat penting. Kehangatan dan keharmonisan keluarga sangat penting. Kehangatan dan keharmonisan keluarga akan mendorong anak untuk tumbuh
normal dan wajar. Selain itu jika kedua
orang tua memberikan
Pendidikan agama dan moral yang baik, hal ini akan
membentengi seseorang untuk menyimpang menjadi LGBT.
c. Faktor genetik yaitu
penyimpangan seksual seperti lesbian, gay, biseksual ataupun transgender bisa terjadi karena adanya Riwayat keturunan dari anggota keluarga
sebelumnya. Dalam tubuh manusia, kromosom seorang laki-laki normal ialah XY dan perempuan XX. Namun, di kehidupan nyata, bisa ditemukan bahwa seorang laki-laki
memiliki kromosom XXY. Kelebihan kromosom ini bisa menyebabkan
dia memiliki prilaku menyerupai seorang perempuan.
Dalam kaitannya dengan hukum positif,
baik di Indonesia maupun di
negara-negara lain, praktek homoseksual
mengalami pro dan kontra. Khusus di Indonesia, hubungan seksual antara sesama jenis diatur
dalam Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Pasal 292 KUHP mengatur
bahwa orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya
dengan dia yang diketahuinya atau sepatutnya harus di duganya belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Menurut (Wirjono, 2003),
pertimbangan pasal ini tampaknya adalah
kehendak pembentuk Undang-Undang untuk melindungi kepentingan orang yang
belum dewasa, yang menurut keterangan dengan perbuatan homoseksual ini kesehatannya akan sangat terganggu, terutama jiwanya.Homo berasal dari bahasa Yunani yang berarti sama (Kartasapoetra, 1992).
Sedangkan seksual mempunyai
dua pengertian, pertama: seks sebagai
jenis kelamin. Kedua: seks adalah
hal ihwal yang berhubungan dengan alat kelamin, misalnya
persetubuhan atau senggama (Asyari, 2018).
Menurut (Surianto, Budiana, & Wahjudianata, 2021),
homoseksual adalah keadaan tertarik terhadap orang dan jenis kelamin yang sama. (Yatim, Ersi, & Yulia, 2021),
memberikan dua pengertian terhadap homoseksual. Pertama, orang yang tertarik nafsu syahwatnya kepada orang sejenis dengannya. Kedua, dalam keadaan
tertarik terhadap orang
yang jenis kelaminnya sama; atau cenderung
kepada perhubungan sejenis.
(Sutowijoyo, 2022),
mengatakan homoseksual adalah dalam keadaan
tertarik terhadap orang dari jenis kelamin
yang sama.
Pada umumnya
para penyandang homoseksual
itu sendiri tidak mengetahui mengapa mereka menjadi demikian. Sebagian ada yang menerima keadaan dirinya dan hidup dengan senang
sebagai homoseksual dan ada sebagian lain yang tidak bisa menerima
keadaan dirinya sehingga terus menerus berada dalam keadaan konflik
batin selama hidupnya (Sarwono, 2005).
Berbicara mengenai hukum, maka Thomas Aquinas sebagaimana dikutip oleh �(Erfa, 2015)
menjelaskan definisi konsep hukum . Ia menyebutkan bahwa hukum adalah
suatu aturan atau ukuran dari
Tindakan Tindakan. Dalam hal mana manusia dirangsang untuk bertindak (sesuai aturan atau ukuran
itu) atau dikekang untuk tidak bertindak (sesuai dengan aturan
atau ukuran itu) atau dikekang
untuk tidak bertindak (sesuai dengan aturan atau
ukuran itu. Sebagaiman diketahui, perkataan lex (law, hukum) adalah berasal dari kata ligare (mengikat). Sebab ia mengikat seseorang
untuk bertindak (menurut aturan atau ukuran tertentu).
Hukum tidak lain merupakan perintah rasional tentang sesuatu yang memerintahkan hal hal umum yang baik,
disebarluaskan melalui perintah yang diperhatikan oleh masyarakat� (Adrian, 2021).
Homoseksual
menunjuk kepada suatu perbuatan Bersama melanggar kesusilaan antara dua orang berkelamin sama , jadi antara laki-laki
dengan laki-laki, perempaun dengan perempuan (Wirjono, 2003).
Sedangkan yang dimaksud dengan kesusilaan adalah dalam arti yang luas. Bukan hanya
menyangkut soal kebirahian atau sex saja, akan tetapi
meliputi semua kebiasaan hidup yang pantas dan berakhlak dalam suatu kelompok
masyarakat (tertentu) yang sesuai dengan sifat
sifat dari masyarakat yang bersangkutan. Norma
kesusilaan tidak hanya terbatas bagi orang orang yang memeluk suatu agama tertentu saja, melainkan juga bagi mereka yang tidak mengakui sesuatu agama. Orang terdorong untuk mentaati norma-norma kesusilaan , karena keinginan untuk hidup bermasyarakat tanpa semata mata
karena paksaan rohaniah atau jasmaniah
(Sianturi, 1985).
Menurut (Sudibyo, 2019)
yang dimaksud dengan kesopanan yaitu dalam arti kata kesusilaan, perasaan malu yang berhubungan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan
Wanita, memperlihatkan anggota
kemaluan Wanita atau pria, mencium, dan sebagainya. Pengerusakan kesopanan ini semuanya
dilakukan dengan perbuatan. LGBT merupakan perbuatan yang bertentangan pendapat umum terutama
pemuka adat dan agama yang ada di Indonesia, menolak perbuatan LGBT, oleh karena itu sudah sepantasnya
perbuatan LGBT dijerat atau diancam dengan
pasal yang berkaitan dengan kesusilaan seperti yang diatur dalam Pasal 281 KUHP.
LGBT muncul
akibat adanya interaksi terus menerus anatara manusia (baik sebagai
individu ataupun sebagai kelompok) dengan masyarakatnya yang diunkapkan secara sosial melalui berbagai Tindakan Tindakan sosial. Proses terbentuknya
Tindakan LGBT sebagai suatu
realitas sosial menjadi sangat menarik untuk dikaji karena
melibatkan aspek aspek sosial yang berhubungan secara dialektis dalam interaksi sosial antara individu dengan masyarakat4.
Perdebatan mengenai eksistensi LGBT oleh karena tidak adanya dasar
hukum yang jelas. Fakta ini mengindifikasikan adanya kekosongan hukum dan menimbulkan ruang bagi gagasan
atau perilaku apapun, baik yang tidak masuk akal
agar dapat dibaut landasan hukumnya. Hal inipun yang sebenarnya diperjuangkan oleh LGBT, yaitu adanya pengakuan dari pemerintah untuk mengategorikan LGBT sebagai wujud keragaman
gender. Terkait dengan hal tersebut. Saat
ini yang diakui di
Indonesia hanya Laki-laki
dan perempuan. Samarnya payung hukum terhadap
LGBT yang berkelanjutan perlu
mendapat perhatian pemerintah. Polemik ketidakjelasan dasar hukum LGBT tersebut menjadi keresahan sejumlah kalangan praktisi dan akademisi perempuan sehingga pada tanggal 19 April 2016 agar melakukan
pengujian konstitusianalitas
terhadap sejumlah pasal dan secara tersburat juga mengusulkan agar
LGBT dapat dikategorikan sebagai delik tindak
pidana murni sama seperti perbuatan
zina (Pasal 284 KUHP), pemerkosaan
(Pasal 285 KUHP), dan pencabulan
(Pasal 292 KUHP).
Pada akhirnya
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian konstitusionalitas pada
pasal-pasal tersebut, hal ini tertera
pada Putusan Nomor 46/PUU/IV/2016.
Fakta dalam putusan menunjukkan bahwa memperluas jenis delik pidana bukanlah
wewenang MK melainkan wewenang DPR dan Presiden. Untuk itu perlunya
LGBT dalam RUU KUHP dimasukkan
sebagai suatu delik, namun sampai
saat ini RUU tersbut belum juga disahkan sehingga regulasi KUHP dipandang belum mencakup dan menyelesaikan permasalahan LGBT
di Indonesia. Pada akhirnya LGBT tetap
tidak memiliki fondasi hukum yang jelas di Indonesia. Indonesia sebagai
negara Demokrasi yang menjunjung
tinggi nilai-nilai
Pancasila dan budaya ketimuran,
pada permaslahan LGBT ini dihadapkan dengan suatu keputusan yang dapat dikatakan sulit untuk ditentukan
arah hukumnya.
Dalam konsep KUHP Nasional telah sepakat bahwa
tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah
dilakukannya tindak pidana dalam menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembianaan sehingga masalah masalah hukum, menjadikannya orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Disinilah harusnya arah politik atau
kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi
perbuatan LGBT, dengan menitik beratkan pada tujuan pemidanaan yang dapat memberikan perbaikan dan pembinaan serta dapat membuat
efek jera pada pelaku perbuatan LGBT, serta mengembalikan keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam masyarakat, dan menjaga kesucian nilai nilai keseimbangan yang ada pada Pancasila terutama nilai ketuhanan.
2.
Penerapan Penyelesaian Perkara LGBT dalam Sistem Peradilan
Militer
Peradilan Militer
yang merupakan salah satu penyelenggara kekuasanan kehakiman yang berada dibawah Mahkamah Agung Republik Indonesia hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 yang merumuskan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di awahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang
RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia yang menyebutkan mengenai
jati diri TNI antara lain sebagai Tentara Profesional yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik
praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia,
ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Dalam konteks penegakan hukum terhadap Prajurit TNI di lingkungan militer di Indonesia, ada ketentuan hukum yang secara tegas mengatur
Prajurit TNI tentang tindakan apa saja
yang merupakan pelanggaran,
kejahatan atau merupakan larangan yang diberikan ancaman berupa sanksi pidana
terhadap pelanggarnya yang diatur dalam hukum
pidana militer
Selanjutnya
Berkaitan dengan perkara LGBT yang disidangkan di Pengadilan Militer adalah perkara homoseksual orientasi seksual yang dilakukan sesama jenis yaitu
antara laki-laki dengan laki- laki
dengan dakwaan sebagai berikut:
a. Pasal 281 ke -1 KUHP yang berbunyi �Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan�.
b.Pasal 294
ayat (2) ke -1 KUHP yang berbunyi �Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga��.
c. Pasal 103 ayat (1) KUHPM yang berbunyi �Militer yang menolak atau dengan
sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas atau dengan semaunya
melampaui perintah sedemikian itu �.
d.Pasal 36
UU RI No 44 tahun 2008 tentang
Pornografi Yang berbunyi �Setiap orang yang mempertontonkan
diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum
yang menggambarkan ketelanjangan,
eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi�.
e. Pasal 32 Jo Pasal 6 UU RI Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang berbunyi �Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan,
memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi�.
f. Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (1) UU RI No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 tahun 2008 tentang ITE yang berbunyi �Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan atau menstransmisikan
dan /atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronil dan/atau dokumen elektronik
yang memiliki muatan melanggar kesusilaan �.
Berkaitan
dengan Tindak pidana LGBT yang dilakukan oleh prajurit TNI dimana Oditur Militer mendakwakan Terhadap diri Terdakwa dengan
dakwaan yang disusun dalam dakwaan alternative dimana terhadap dakwaan tersebut Majelis Hakim dalam pertimbangannya telah membuktikan unsur mana yang bersesuaian dengan fakta yang ada dalam persidangan dengan mengemukakan pertimbangan pertimbangan yag menjadi dasar
Majelis Hakim baik hal hal yang meringankan
dan hal hal yang memberatkan sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim sehingga Majelis Hakim� dalam penjatuhan pidana telah mempertimbangkannya� baik berupa pidana pokok
dan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer.
Selanjutnya
dengan adanya beberapa perkara LGBT yang disidangkan di Pengadilan Militer dengan beberapa dakwaan yang berasifat alternative yang salah satu
adalah perkara Nomor pada Pengadilan Militer II-08 Jakarta Nomor 212-K/PM
II-08AD/XI/2020 dan Putusan Pengadilan
Militer Tinggi II Jakarta Nomor
87- K/BDG/PMT-II/AD/XII/2020.
Pertimbangan putusan yang dilakukan oleh Majelis Hakim tingkat pertama dalam membuktikan unsur dakwaan yang terbukti secara sah dan meyakinkan berbeda dengan pertimbangan yang dibuktikan oleh
perngadilan militer tinggi tentang keterbuktian unsur dengan pertimbangan sebagai berikut:
Pada perkara
pidana LGBT dengan Putusan Nomor 212-K/PM
II-08AD/XI/2020 Register dimana dakwaan
Oditur dengan disusun secara alternatif yaitu:
a. Alternatif Pertama: Pasal 294 ayat (2) ke -1 KUHP yang berbunyi �Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk����� dijaga �.
b.Alternatif
Kedua: Pasal 281 ayat (2) KUHP yang berbunyi ��Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan�
c. Alternatif ketiga: Pasal
103 ayat (1) KUHPM yang berbunyi
�Militer yang menolak atau dengan sengaja
tidak mentaati suatu perintah dinas atau dengan
semaunya melampaui perintah sedemikian itu �
Majelis Hakim tingkat pertama membuktikan dakwaan alternative pertama yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana �Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya� sebagaimana Pasal 294 ayat (2) ke -1 KUHP dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Bahwa Terdakwa tidak perduli dan tidak taat dengan
ketentuan yang berlaku sehingga Terdakwa yang merupakan seorang perwira dan juga seorang Komandan telah melakukan perbuatan asusila dengan anggotanya yang merupakan bawahanya hanya untuk kepentingan yaitu untuk memenuhi
hawa nafsunya sehingga melanggar norma susila dan norma agama.
b.Bahwa Terdakwa sebagai seorang pejabat Komandan tentunya sangat memahami tentang aturan dan ketentuan dalam kehidupan prajurit dan harus bias menjadi bawahannya akan tetapi justru
terdakwa melakukan perbuatan asusila dengan bawahannya.
c. Bahwa akibat perbuatan
Terdakwa tersebut menyebabkan anggota yang merupakan bawahan dari Terdakwa merasa
tidak nyaman dalam melaksanakan tugas di kesatuan yang dipimpim oleh Terdakwa dan dapat merusak moral serta disiplin prajurit yang merugikan satuan yang bersangkutan dalam membina dan menyiapkan prajuri dalam menghadapi pelaksanaan tugas personel maupun satuan.
Oleh karenanya
Majelis Hakim tingkat pertama menjatuhkan pidana baik berupa
pidana pokok penjara selama 8 (delapan) bulan serta dijatuhi pidana tambahan berupa Dipecat dari dinas militer
dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Berdasar ketentuan pasal 26 KUHPM yang menyatakan pemecatan dari dinas militer dengan
atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata selain yang ditentukan dalam pasal 39 KUHPM dapat dijatuhi oleh Hakim berbarengan dengan putusan penjatuhan pidana pokok kepada seorang
militer yang berdasarkan kejahatan yang dilakukan dipandang tidak layak lagi tetap
dalam kalangan militer.
b.Terdakwa sebagai seorang pemimpin Komandan satuan telah melakukan
perbuatan yang melanggar norma kesusilaan dan norma kesopanan terhadap anggota sehingga bisa menggoyahkan
sendi-sendi dan tata tertib
dalam kehidupan prajurit lainnya.
c. Terdakwa telah melakukan
perbuatan yang mencoreng nama baik TNI dan satuan Terdakwa dan merusak disiplin prajurit yang telah terbina dengan baik di satuan justru Terdakwa melakukan perbuatan asusila dengan korban yang anggotanya sendiri merupakan perbuatan yang tidak pantas dilakukan
di lingkungan TNI.
Terhadap putusan tersebut Terdakwa megajukan upaya hukum banding yang selanjutnya oleh Majelis Hakim tingkat banding yang memeriksa dan
memutus perkara Terdakwa dengan pertimbangan Terdakwa di dakwakan dengan dakwaan alternative berupa dakwaan pertama Pasal 294 ayat (2) KUHP, dakwaan alternative kedua Pasal 281 ayat (2) KUHP dan dakwaan alternative ketiga Pasal 103 KUHPM.� dimana salah satu dakwaannya adalah pasal 103 KUHPM sehingga dengan mendasari ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut yang menyatakan jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu
aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana
yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Dalam hukum pidana
terdapat suatau asas penting yaitu
asas lex specialis derogat legi generali
yang merupakan suatu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (general) sehingga putusan tingkat banding tersebut mengubah tentang terbuktinya unsur sehingga Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana �Militer yang dengan sengaja tidak mentaati perintah dinas �. Dan menguatkan putusan tingkat pertama untuk seluruhnya,
Dengan adanya perbedaan
Majelis Hakim baik tingkat pertama maupun tingkat banding dalam pembuktian unsur perkara asusila
yang dilakukan oleh prajurit
TNI dengan sesama jenis (Gay) yang disidangkan di Pengadilan Militer dapat dikaji dalam
menganalisa kasus tersebut bahwa perbuatan gay (LGBT) yang dilakukan
oleh prajurit TNI sangat bertentangan
dengan norma yang hidup dalam masyarakat
baik norma kesusilaan maupun norma agama.
Menurut ST Panglima TNI Nomor ST Nomor 1313/VIII/2009 tentang larangan bagi prajurit TNI untuk melakukan perbuatan LGBT, dan selanjutnya diperkuatkan dengan ST Kasad NOmor 2497 tanggal 28 Desember 2012 merupakan perintah bagi prajurit TNI AD untuk tidak melakukan
perbuatan LGBT, namun demikian ST Panglima TNI dan ST Kasad tersebut tidak bisa dijadikan
landasan untuk menghukum dan menjatuhkan pidana bagi seorang
anggota TNI. dan ST tersebut
hanya merupakan sebuah pertimbangan dalam pemberian pemberatan pidana dan layak atau tidaknya
seorang prajurit TNi dipertahankan dalam dinas militer.
Selanjutnya di dalam Sema Nomor� 10 tahun 2020 tentang pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah tahun 2020 sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi Pengadilan
tersebut didalam rumusan kamar militer
yaitu tentang penerapan hokum terhadap prajurit TNI Pelaku Homoseksual/Lesbian terhadap pelanggaran ST Panglima TNI Nomor 398/2009 tanggal 22 Juli 2009 Juncto ST Panglima TNI Nomor ST/1648/2019 tanggal 22 Oktober 2019 yang mengatur tentang larangan bagi prajurit
TNI melakukan perbuaan asusila dengan jenis kelamin yang sama (Homoseksual/Lesbian) diterapkan ketentuan Pasal 103 ayat (1) KUHPM sebagai perbuatan melanggar perintah dinas.
Bahwa yang dimaksud dengan perintah dinas adalah� penggambaran suatu kehendak baik secara lisan
maupun tertulis yang disampaikan oleh seseorang atasan terhadap bawahannya berhubungan dengan kepentingan dinas militer bahwa
suatu perintah dinas harus memenuhi
syarat syarat (SITUMORANG, 2022).
Dengan adanya penekanan
tentang� perbuatan asusila� LGBT yang dilakukan
oleh prajurit TNI baik dalam apabila dikaitkan
dengan ST Panglima TNI Nomor 1313/VIII/2009 tentang larangan bagi Prajurit
TNI untuk melakukan perbuatan LGBT, namun tentunya ST Panglima maupun ST KASAD tidak bisa dijadikan landasan untuk menghukum dan menjatuhkan pidana bagi seseorang
anggota TNI karena ST tersebut hanya merupakan pertimbangan� dalam pemberatan pidananya maupun layak tidaknya
Terdakwa dipertahankan dalam dinas militer.
Sedangkan terhadap pemberlakukan rapat pleno Militer tidak
dapat diterapkan bergitu saja Pasal
103 KUHPM.
Majelis Hakim Militer yang menyidangkan perkara LGBT yang dilakukan oleh prajurit TNI yang didakwakan dengan dakwaan Pasal 281 KUHP, Pasal 294 ayat (2) ke 1 KUHP dan Pasal 103 KUHPM terkadang dalam mempertimbangkan unsur mana yang
paling bersesuaian dengan fakta persidangan agar bersikap hati hati
dalam memberikan pertimbangan terkait pasal tersebut sebagai bahan pertimbangan
nantinya dalam penjatuhan pidananya.�
Dengan menyikapi adanya perkara LGBT yang dilakukan oleh prajurit TNI tentunya Majelis Hakim dapat memberikan pertimbangan yang baik dalam pembuktian unsur mana yang paling bersesuaian
dengan fakta di persidangan dan perlu dipahami juga bahwa perbuatan LGBT sendiri merupakan perbuatan yang terlarang dilakukan oleh prajurit TNI sehingga terhadap pelakunya apabila perkaranya disidangkan di Pengadilan Militer tentunya dikenakan sanksi yang sangat tegas berupa pidana
penjara maupun pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer.
Pidana tambahan pemecatan dari dinas militer yang dijatuhkan di Pengadilan Militer harus dapat
mempertimbangkan tentang terhadap layak tidaknya Terdakwa dipertahankan sebagai Prajurit TNI, haruslah dilihat dari kwalitas
kejahatan yang dilakukan Terdakwa dan pengaruhnya baik bagi Kesatuan
dalam pembinaan disiplin Prajurit di Kesatuan, maupun bagi masyarakat. Bahwa selain ukuran
ketidaklayakan Majelis
Hakim berpendapat Pemecatan
juga harus memperhatikan tujuan dari pemidanaan,
maka dalam menjatuhkan pemidanaan harus diperhatikan keadaan yang obyektif dari tindak pidana
yang dilakukan oleh Terdakwa
sehingga tujuan pemidanaan yang preventif dan edukatif yang memenuhi rasa keadilan dapat tercapai. Seperti dalam putusan terhadap
layaknya tidaknya prajurit TNI dipertahankan dalam dinas militer , yaitu� dengan mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
a. Terdakwa tidak bisa
mengendalikan diri sehingga dengan mudahnya diajak oleh seseorang untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutannya sebagai seorang prajurit yang harus menjunjung tinggi hukum dan peraturan perundang-undangan serta penekanan dari Panglima TNI yang melarang keras bagi setiap prajurit
terlibat hubungan sesama jenis karena
dampak yang ditimbulkannya bukan saja untuk
diri sendiri akan tetapi juga sangat mempengaruhi tugas pokok TNI.
b.Terdakwa mengabaikan perhatian dan perintah Panglima TNI tentang larangan melibatkan diri dalam hubungan sesama jenis, serta
dikaitkan dengan tugas pokok TNI yang merupakan benteng pertahanan negara maka dibutuhkan seorang prajurit yang mempunyai fisik yang prima, sikap mental
dan dedikasi yang tinggi untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas sehingga Terdakwa sebagai seorang aparat Terdakwa seharusnya menghindari terjadinya hubungan sesama jenis, bukannya sebagai pelaku hubungan sesama jenis.
c. Status kepangkatan dan kapasitas jabatan Terdakwa tersebut seharusnya Terdakwa menanamkan pada dirinya untuk mengabdi dan memberikan yang terbaik demi bangsa dan negara, karena dipandang setiap prajurit TNI mampu melaksanakan pengabdian melebihi panggilan tugas, akan tetapi
disisi lain Terdakwa telah melakukan hubungan sesama jenis yang dilarang keras terjadi dalam
lingkungan TNI. Hal ini membuktikan bahwa Terdakwa bukanlah sosok prajurit yang luar biasa yang mampu melindungi bangsa dan negaranya.
d.Bahwa dilihat dari sisi
pertahanan Negara, Terdakwa
sebagai Prajurit TNI yang setiap saat disiapkan
untuk melaksanakan tugas Negara dalam mempertahankan NKRI, yang membutuhkan
fisik yang prima serta mental
dan kesehatan yang baik. Tetapi Terdakwa yang sudah terkontaminasi dengan hubungan sesama jenis, maka
sudah tidak dapat di harapkan lagi menjadi anggota
TNI yang siap menghadapi segala kemungkinan yang ada.
e. Bahwa Terdakwa mengetahui pimpinan TNI melarang keras prajurit TNI terlibat dalam hubungan sesama jenis demi menjaga kepentingan militer, sehingga Terdakwa seharusnya tidak melibatkan diri dalam hubungan
sesama jenis karena Terdakwa mengetahui sanksi bagi prajurit yang terlibat hubungan sesama jenis sangat berat, oleh karenanya apabila dalam perkara
ini Terdakwa dijatuhi pidana tambahan pemecatan dari dinas militer
maka sesungguhnya dan sejatinya Terdakwa sendiri yang menghendaki hal tersebut karena
Terdakwa secara sadar telah melibatkan
diri dalam hubungan sesama jenis� yang sangat dilarang terjadi di lingkungan TNI.�����
Berdasarkan fakta-fakta yang melekat pada diri Terdakwa dari perbuatannya
dihadapkan dengan ukuran-ukuran tata kehidupan atau sistem nilai
yang berlaku di lingkungan
TNI termasuk pula jika dilihat dari segi
edukatif, preventif, korektif maupun represif, Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa sudah tidak layak lagi
untuk dipertahankan sebagai prajurit TNI karena dikhawatirkan akan mengganggu dan menggoyahkan sendi-sendi disiplin dan tata tertib kehidupan prajurit TNI.
Selanjutnya untuk menggali
apa yang menjadi pertimbangan masing masing Majelis Hakim tersebut tentunya kita akan
terlebih dahulu menganalisa pertimbangan pertimbangan dari Majelis Hakim sebagaimana yang dikemukakan dalam putusan dimana antara satu perkara
satu dengan perkara lainnya (case) berbeda , namun dari perbuatan pelaku yaitu seorang
prajurit yang terbukti melakukan tindak pidana LGBT didalam amarnya tercantum adanya pidana tambahan
sesuai dengan� ketentuan pasal 26 KUHPM yaitu dipecat dari dinas
militer.
Ukuran penjatuhan pidana pemecatan di samping pidana pokok ialah� pandangan�
hakim militer mengenai kejahatan yang dilakukan oleh Terdakwa /terpidana berdasarkan �nilai� sebagai tidak layak
lagi dipertahankan dalam kehidupan masyarakat militer. Dapat rasakan betapa
besar kepercayaan yang dilimpahkan ini, justru harus merupakan
peringatan bagi para hakim militer, jika hendak
menegakkan keadilan, apabila dijatuhkan pidana pemecatan ini, maka dalam
pandangan/penilaian� hakim militer itu harus
tercakup atau tersirat suatu makna, bahwa apabila
tidak dijatuhkan pidana pemecatan, maka kehadiran terpidana nantinya dalam masyarakat militer setelah ia selesai menjalani
pidananya akan menggoncangkan sendi-sendi ketertiban dalam masyarakat.
Ketidaklayakan dan ketidakpantasan tersebut secara tegas harus menjadi
pertimbangan majelis dalam menilai perbuatan
terdakwa. Pada bagian pertimbangan mengenai penilaian tentang sifat dan hakekat serta akibat dari
perbuatan terdakwa, harus mempertimbangkan habwa terdakwa secara nyata sudah
tidak pantas dan layak lagi untuk
dipertahankan dalam dinas militer dihadapkan
dengan norma-norama kepantasan dan kelayakan bagi seorang prajurit.
Dalam hal ini
jelas bahwa Majelis Hakim di lingkungan Pengadilan Militer dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana
LGBT diharapkan mampu memberikan pertimbangan hukum yang baik dan lengkap sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan sehingga mendapatkan kebenaran dan keadilan yang bersumber dari hukum positif
dengan tetap berkewajiban menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat,
sehingga tercermin kepastian hukum,keadilan dan kemanfaatan.
Mendasarkan hal hal
tersebut dimana dalam penerapan norma hukum terhadap
pelaku tindak pidana LGBT prajurit TNI serta pertimbangan pengadilan dalam menerapkan norma sehingga diharapkan dalam putusan pengadilan
tersebut akan terdapat persesuaian antara perkara yang hampir sama dan tidak begitu saja
diterapkan pasal 103 KUHPM apabila unsur-unsur dari dakwaan tersebut
bisa dibuktikan secara baik dan benar serta�� pertimbangannya dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer
bagi Terdakwa pelaku LGBT dirasakan akan sangat bermanfaat bagi pembinaan satuan karena di lingkungan TNI yang disiplin yaitu tunduk dan patuh pada hukum dirasa akan sangat menodai institusi TNI� apabila terhadap pelaku LGBT tidak diselesaikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Kesimpulan
Tindak pidana LGBT secara khusus belum diatur dalam Undang-undang
sehingga terhadap delik ini terjadi kekosongan hukum dan perlu adanya
undang-undang yang mengatur terkait hal tersebut. namun demikian adanya� aturan�
yang secara tidak langsung mengatur LGBT. Seperti pada pasal 292 KUHP
yang berisi �Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama
kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Pada pasal 292 KUHP
dijelaskan bahwa perbuatan LGBT hanya dapat dipidana jika pasangan mainnya
adalah seorang yang belum dewasa secara hukum pidana dan adanya kekerasan
ancaman kekerasan.
Perkara LGBT yang dilakukan prajurit TNI sangat
bertentangan dengan ST Panglima TNI dan ST KASAD sehingga terhadap pelaku LGBT
tersebut harus dilakukan Tindakan yang tegas apabila perkaranya diselesaikan
lewat jalur pengadilan militer maka dengan menerapkan ketentuan norma-norma
yang ada� dan terhadap majelis hakim
militer perlu memberikan pertimbangan-pertimbangan yang benar dan baik dalam
penjatuhan pidananya serta juga harus mempertimbangkan tentang diberikan pidana
tambahan berupa pemecatan dari dinas militer dengan mempertimbangkan layak
tidaknya prajurit TNI pelaku LGBT apabila tetap berada di
lingkungan TNI karena akan membawa dampak bagi pembinaan disiplin di kesatuan
dan mengoyahkan sendi sendi kehidupan prajurit.
BIBLIOGRAFI
Adrian, Adrian. (2021). Penegakan Hukum Terhadap
Penyalah Guna Narkotika Melalui Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial.
Universitas Hasanuddin.Google Scholar
Asyari, Fatimah. (2018). LGBT dan Hukum Positif
Indonesia. LEGALITAS: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 2(2), 57�65. Google Scholar
Erfa, Riswan. (2015). Kriminalisasi Perbuatan Cabul
Yang Dilakukan Oleh Pasangan Sesama Jenis Kelamin (Homoseksual). Brawijaya
University. Google Scholar
Hamidi, Jazim, & Hakim, Lukman Nur. (2018). Zina
Dan Gerakan Lgbt: Quo Vadis Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam
Penyelamatan Moralitas Bangsa (Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
26/PUUXIV/2016)/Adultery And Lgbt Movement: Quo Vadis Penal Policy For Saving
Moral Nations (Annotation of Constitutional Court Decision Number
26/PUUXIV/2016). Jurnal Hukum Dan Peradilan, 7(2), 263�278. Google Scholar
Indonesia. (1999). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Panca
Usaha. Google Scholar
Kartasapoetra, G. (1992). Kamus sosiologi dan
kependudukan. Bumi Aksara.
Martos, Alexander J., Wilson, Patrick A., & Meyer,
Ilan H. (2017). Lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) health services
in the United States: Origins, evolution, and contemporary landscape. PloS
One, 12(7), e0180544. Google Scholar
Marzuki, Peter Mahmud. (2005). Penelitian Hukum,
Kencana. Jakarta. Google Scholar
Muttaqin, Imron. (2016). Membaca strategi eksistensi
LGBT di Indonesia. Raheema: Jurnal Studi Gender Dan Anak, 3,
78�86. Google Scholar
Oetomo, Dede. (2001). Memberi suara pada yang bisu.
Galang Press Yogyakarta. Google Scholar
Sarwono, Sarlito Wirawan. (2005). Adolescence.
Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Google Scholar
Sianturi, Sari Roels. (1985). Hukum Pidana Militer
di Indonesia. Alumni AHAEM-PETEHAEM. Google Scholar
SITUMORANG, GAYA ARDA. (2022). Perbedaan Dasar
Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anggota Tni Pelaku
Hubungan Seksual Sesama Jenis/Homoseksual. Google Scholar
Soekanto, Soerjono. (2007). Penelitian hukum normatif:
Suatu tinjauan singkat. Google Scholar
Sudibyo, Ateng. (2019). Kebijakan Kriminal Terhadap,
Gay, Biseksual Dan Transgender (LGBT) Dikaitkan Dengan Delik Kesusilaan Di
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukum,
4(1), 28�41. Google Scholar
Surianto, Malvin Sebastian, Budiana, Daniel, &
Wahjudianata, Megawati. (2021). Representasi Gay dalam Drama TV Serial Money
Heist. Jurnal E-Komunikasi, 9(2). Google Scholar
Sutowijoyo, Sutowijoyo. (2022). Analisa Tindak Pidana
Pemalsuan Identitas Dalam Perkawinan Yang Dilakukan Oleh Pasangan Sesama Jenis.
Legal Spirit, 6(1). Google Scholar
Wirjono, Prodjodikoro. (2003). Tindak-Tindak Pidana
Tertentu di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, Hal, 103. Google Scholar
Yatim, Yenita, Ersi, Livia, & Yulia, Refni.
(2021). Menghindari Lgbt Melalui Proses Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal Bagi
Remaja Di Sma Negeri 1 Pagai Utara Selatan. Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat Cahaya Mandalika (Abdimandalika) e-ISSN 2722-824X, 2(12
(Desemb), 280�285. Google Scholar
�
������������������������������������������������
Prastiti Siswayani (2022) |
First
publication right: |
This
article is licensed under: |