������ Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853 �e-ISSN : 2684-883X
���� ��������Vol. 1, No. 2 Juni 2019
PENINGKATAN
KECERDASAN MORAL ANAK MELALUI PENGGUNAAN VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE (TEKNIK�
KLARIFIKASI NILAI)
Taty Setiaty dan Hoiruddin
Fathurohman
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Persis Bandung
Email:
[email protected]
Abstrak
Penelitian
bertujuan untuk mengetahui apakah kecerdasan moral dapat ditingkatkan melalui
penggunaan Klarifikasi Nilai. Penelitian ini dilakukan kepada 18 anak berusia 4
sampai 5 tahun di kelas A RA Nurul Amal. Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian tindakan model Kemmis & Taggart. Teknik analisis data
menggunakan analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Teknik analasis data
kuantitatif yang digunakan adalah analisa statistika dalam bentuk prosentase dan frekuency table.. Teknik analisis
kualitatif model Miles dan Huberman digunakan untuk menganalisis data
kualitatif. Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa Klarifikasi Nilai
merupakan teknik yang efektif untuk meningkatkan kecerdasan moral anak.
Klarifikasi nilai memberikan kesempatan anak untuk berekspresi menyatakan
pendapat dan mengutarakan perasaan serta menentukan tindakan. Klarifikasi nilai
merubah cara guru mengajar yakni menghindari metode doktrinasi.� Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa
klarifikasi nilai telah dapat meningkatkan kecerdasan moral anak. Kecerdasan
moral anak sebelum dilakukan tindakan berada dalam kategori Belum Berkembang,
berubah menjadi kategori Mulai Berkembang pada siklus I, dan naik lebih tinggi
lagi menjadi Berkembang Sesuai Harapanan�
di akhir Siklus II.
Kata kunci:
kecerdasan moral, klarifikasi nilai dan penelitian tindakan��
Pendahuluan
Penelitian Neuroscience telah menunjukkan bahwa
pada saat anak berusia tiga tahun, 90% dari otak telah dikembangkan, dan
menginjak usia empat tahun kecerdasan mereka telah dikembangkan 50%, dan
semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu, pendidikan
pada anak usia dini merupakan waktu paling tepat untuk menggali dan
mengembangkan segala potensi kecerdasan sebanyak-banyaknya, termasuk kecerdasan
moral mereka.
Kurikulum Pendidikan
Anak Usia Dini menyebutkan bahwa tujuan Pendidikan Anak Usia Dini untuk Taman
Kanak (TK)� dan Raudhatul Athfal� (RA) adalah membantu� anak didik mengembangkan berbagai potensi
baik psikis dan fisik yang meliputi moral, sosial, emosional, kemandirian,
kognitif,� bahasa, dan fisik motorik.
Selanjutnya disebutkan bahwa tujuan utama pendidikan nasional� adalah dalam rangka mengembangkan potensi
peserta didik menjadi manusia yang berakhlak mulia.� Memperhatikan tujuan tersebut diatas, dapat
diartikan bahwa Indonesia adalah negara yang mengedepankan masalah moral
sebagai pembentuk kepribadian bangsa. Hal tersebut akan sulit dicapai apabila
pendidikan kita mengabaikan perhatian terhadap pengembangan kecerdasan moral
sejak usia dini.�
Gambaran kecerdasan moral anak
di RA Nurul Amal yang diperoleh peneliti dalam pra penelitian menunjukkan bahwa
kecerdasan moral di Kelompok B dari 18 anak, masih
terdapat 9 anak (50%) yang belum berkembang sesuai harapan. Begitu
pula di Kelompok A, yakni dari 16
anak, 10 anak (60 %) yang belum berkembang. Kecerdasan moral anak
yang belum berkembang terutama dalam hal mengucapkan terima kasih, mengikuti
aturan permainan, mudah marah (membentak saat marah), belum berhati-hati
menggunakan barang orang lain, kurang mau berbagi, belum sabar menunggu
giliran, sulit berhenti bermain pada waktunya, dan sulit dibujuk�
Guru masih belum tepat menerapkan upaya pengembangan kecerdasan
moral pada anak TK. Metode pembelajaran lebih banyak menggunakan hafalan dan
doktrin semata. Hal tersebut menyebabkan anak hanya sekedar hafal contoh-contoh
perilaku moral namun tidak terdorong untuk mewujudkannya dalam perilaku sehari
hari, apalagi menjadikannya sebagai kebiasaan.
Berdasarkan hasil penelitian Mc Bride tahun 2010 di USA, ditemukan adanya
hubungan antara kecerdasan emosional dengan kognitif moral anak. Hasil
peneltian itu menunjukkan bahwa perhatian terhadap perkembangan kognitif moral
tidak saja dapat meningkatkan kecerdasan moral semata, namun juga kecerdasan emosional. Oleh karena itu penting untuk
memberikan perhatian terhadap upaya meningkatkan kecerdasan moral anak.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Indira Dhull dan� Narindra Kumar di Bahadurgarh, India tahun 2012, menunjukkan bahwa
klarifikasi nilai dapat mengembangkan pertimbangan moral anak dan membantu anak
yang� mengalami kesulitan menentukan
nilai-nilai.
Kecerdasan moral anak adalah kemampuan
anak untuk memahami benar dan salah.� Moral melibatkan cara berpikir dan merasa,
dan menerapkannya dalam perilaku (Clarken, 2009:3-5). Dengan demikian moral
terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait yaitu : 1) Pengetahuan tentang
moral (moral knowing),
2) Perasaan moral (moral feeling)
dan 3) Perilaku moral (moral behavior).
Teknik klarifikasi
nilai adalah cara yang digunakan untuk membantu siswa memilih nilai yang
diperkenalkan, menghargai nilai yang dipilihnya, dan mendorong untuk berbuat
sesuai dengan pilihan nilainya. Klarifikasi nilai adalah proses membantu
individu untuk menemukan nilainya sendiri secara rasional tanpa mendapat
paksaan (Maboa, 2002-viii). Dengan demikian klarifikasi nilai mengkolaborasikan
proses kemampuan kognitif (pemahaman) dengan proses yang menggugah perasaan
sehingga menimbulkan kesediaan berperilaku sesuai pengetahuan yang telah
diperolehnya.
Metode
Penelitian
Penelitian
menggunakan metode action research
model Kemmis
dan Taggart �terhadap
18 anak
kelompok A di RA Nurul Amal Bandung pada Desember 2015 sampai Nopember� 2016.
Hewitt
(2005:8) menyebut action
research �ditujukan
untuk meningkatkan praktek pengajaran guru, membuat perencanaan dan pengambilan
keputusan dalam pendidikan
sehingga pengaruh pembelajaran dapat diukur. Gabungan istilah action (tindakan)
dan research (penelitian) menunjukan ciri pokok dari penelitian tindakan:
mecobakan gagasan dalam praktik sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan.
Data
penelitian ini terdiri dari data kuantitatif dan data kualitatif. Sumber data
diperoleh dari guru dan anak. Pengumpulan data primer menggunakan Instrumen
penelitian� berupa lembar observasi
kecerdasan moral anak, catatan
wawancara dan catatan lapangan kegiatan pembelajaran. Validasi instrumen
dilakukan melalui expert judgement dan triangulasi.
Instrumen yang telah disusun dikonsultasikan kepada promotor dan co-promotor.
Prosedur
analisis data dilakukan terhadap data kualitatif dan data kuantitatif. Untuk data kuantitatif digunakan analisis prosentase dan frekuency table, sedangkan
untuk data kualitatif digunakan model Miles dan Huberman.
Penelitian
dikatakan berhasil apabila kecerdasan anak meningkat 71% dari TCP maksimal
(Miles, 2010;5). Peneliti dan kolabolator menetapkan keberhasilan tindakan
dalam penelitian ini adalah 75% dari TCP maksimal.
Hasil dan Pembahasan
Pelaksanaan tindakan
pada penelitian ini dilakukan sebanyak dua siklus yang setiap siklus dilakukan
sebanyak ewmpat kali, sehingga dilakukan sebanyak delapan \ kali pertemuan yang
bertujuan untuk mendapatkan data yang valid dan hasil yang signifikan. Tindakan
mengembangkan seluruh dimensi kecerdasan moral yakni moral knowing, moral feeling dan moral behavior. Kegiatan yang dilakukan adalah guru melakukan tanya
jawab, penugasan melalui lembar kerja dan meminta anak memilih gambar yang
berkaitan dengan aspek moral yaitu mau membantu, mau mengucapkan terima kasih,
mau mengalah, tidak berebut, taat aturan,�
mau mendengarkan, dan mau meminta maaf.�
Hasil analisis data
kualitatif menunjukkan bahwa
dalam setiap pertemuan anak terlihat gembira. Hal itu terjadi karena guru
banyak memberikan kesempatan untuk berekspresi serta terlibat langsung dengan kegiatan belajar. Agar anak dapat
mengutarakan pengetahuan dan perasaan mereka terkait dengan peristiwa moral,
guru menggunakan media menarik berupa gambar dan cerita serta memberikan
penugasan untuk mestimulasi anak melakukan perbuatan moral.
Berdasarkan hasil tindakan siklus
I, guru
masih kesulitan dalam melakukan keterampilan bertanya.
Guru masih banyak memberikan arahan, nasehat, dan doktrin sehingga perbuatan
moral yang ditunjukkan anak kurang spontan.�
Jika anak-anak menjawab pertanyaan guru terkait peristiwa moral, banyak
yang sekedar menjawab secara bersama-sama. Dari hasil refleksi siklus I juga
diputuskan kegiatan akan lebih menekankan nilai moral yang masih lemah yakni
meminta maaf, tidak berebut, dan mau berterima kasih.
Tindakan dalam siklus II guru akan melakuykan aktifitas mengajukan
pertanyaan terkait kecerdasan moral dengan bantuan menonton video, bermain
peran, dan� kegiatan
belajar di luar kelas.� Kegiatan pada
siklus II berjalan lebih baik karena guru telah menguasai bagaimana melakukan
teknik klarifikasi nilai dan sudah mulai bisa melepaskan kebiasaan memberikan
doktrinasi pada anak.
Berdasarkan hasil analisis data
kuantitatif pada siklus II
terungkap penggunaan klarifikasi nilai telah dapat merubah kecerdasan moral
anak. Tingkat capaian rata-rata kecerdasan moral anak
pada pra tindakan berada pada kriteria belum berkembang, berubah menjadi mulai
berkembang pada siklus I, meningkat menjadi berkembang sesuai harapan pada
siklus II. Tindakan moral anak terlihat lebih spontan dan mantap pada siklus
II. Sebagian besar anak dapat tetap konsisten menunjukkan perilaku moral
terpuji dalam situasi konflik yang telah diatur sebelumnya oleh guru. Anak tetap dapat menunjukkan tindakan perilaku moral yang
sesuai dengan pilihannya secara spontan dan tidak terpengaruh,� meskipun dalam� situasi yang menimbulkan dilema antara mengikuti
situasi pengetahuan moral yang telah dia ketahui ataukah tidak sanggup
mengontrol diri untuk berbuat sesuai kehendaknya. �����������
Perubahan kecerdasan
moral dari pra tindakan, siklus I hingga siklus II terlihat sebagai berikut:
A. Temuan
Kecerdasan Moral Anak
Sebelum dilakukan tindakan, kecerdasan anak belum
berkembang sesuai harapan khususnya anak kurang mampu mengungkapkan perasaan
yang dirasakannya. Hal itu terlihat ketika anak hanya diam atau hanya menjawab
mengikuti teman-teman lain pada saat ditanya kenapa mereka melakukan satu
perbuatan yang berkaitan dengan nilai moral yang diteliti.
Penelitian tindakan ini berusaha memberikan
pemahaman dan mendorong kepada anak untuk dapat menyebutkan perilaku moral,
alasan mengapa perilaku itu disebut sebagai perilaku yang baik atau sebaliknya.
Tindkan yang diberikan juga membantu anak mengungkapkan perasaannya moralnya,
sehingga mendorongnya untuk berperilaku sesuai pengetahuan dan perasaannya.
Pengetahuan dan perasaan moral anak dikembangkan
melalui kegiatan tanya jawab saat bercerita, melihat gambar, menonton film,
bermain peran, melakukan kegiatan di luar kelas serta membuat skenario kegiatan
dilema moral. Anak dapat mengungkapkan pengetahuan moralnya karena dengan
teknik ini anak terlibat dalam proses menemukan jawabannya sendiri. Anak diberi
kesempatan penuh memberikan tanggapan dan mengemukakan pendapat terhadap
peristiwa yang berkaitan dengan moral melalui stimulasi yang diberikan guru.
Guru memberi stimulasi menggunakan media yang cocok dengan anak, dalam hal ini
melalui percakapan atraktif dari guru, memperlihatkan gambar, cerita, film yang
menarik atau kegiatan yang menyenangkan seperti belajar di luar kelas. Dalam
semua proses tersebut guru memberikan penguatan berupa pujian atau� pemberian tanda bintang pada anak yang telah
mengemukakan pendapatnya.
Stimulasi tersebut menimbulkan respon pengungkapan
pengetahuan dan perasaan moral
anak. Hal tersebut terlihat ketika anak dapat memilih perbuatan moral dengan
menyebutkan perilaku yang baik serta alasan kenapa perilaku itu disebut
baik.� Temuan yang muncul antara lain
anak dapat� menyebutkan bahwa� tidak merengek saat ibu terlihat sibuk dengan
pekerjaan adalah bentuk membantu orang tua. Mengucapkan jazakumullah sebagai
bentuk terima kasih. Alasan tidak boleh merebut benda yang sedang dipegang
teman karena hal itu akan menimbulkan pertengkaran. Ungkapan perasaan moral
anak terlihat ketika anak menyebutkan �kasian� saat ditanya bagaimana perasaan
ibu yang sedang sibuk bekerja, atau teman akan �marah� ketika ditanya perkiraan
yang muncul saat mainan temannya direbut. Anak juga menyatakan disebut �anak
sholeh� ketika ditanya pujian apa yang akan mereka terima jika mau mengalah
saat berebut tangkai kipas. Ungkapan perasaan tersebut menunjukkan bahwa anak
memilki perasaan bangga atas perbuatan yang telah dilakukannya
Anak juga dapat menyatakan� bahwa di waktu yang akan datang, mereka
bersedia melakukan perbuatan yang dianggap baik. Hal itu menunjukkan bahwa anak
memiliki kemauan untuk mengulang perbuatan tersebut sebagai bentuk keyakinan
yang mendasari tingkah laku berikutnya.
Walaupun mengungkap perasaan dan memperkirakan
perasaan orang lain merupakan hal yang sulit karena sangat abstrak, namun hal
tersebut dapat diutarakan anak� dengan
bantuan penggunaan media yang menarik serta bisa memberikan gambaran situasi
yang real dan mudah dimengerti anak. Selain itu guru selalu memotivasi dan
memberikan penguatan terhadap ungkapan yang dinyatakan anak sehingga anak lebih
percaya diri dan merasa senang untuk mengungkapkan pengtahuan� dan
perasaannya.
Perbuatan moral merupakan indikator yang memiliki
skor paling tinggi di banding perasaan moral dan pengetahuan moral dari mulai
saat pra tindakan, siklus I hingga siklus II.
Perilaku moral pada anak lebih mudah muncul, hal ini
sesuai dengan pendapat Piaget dan Kohlberg. Piaget menyebutkan bahwa anak
berusia 4 tahun berada pada tahap moralitas heteronom.� Pada tahap heteronom, anak cenderung meniru
begitu saja aturan-aturan yang diberikan orang yang dianggap berkopenten dalam
hal ini adalah ibu gurunya. Oleh sebab itu, walaupun perbuatan moral anak telah
berkembang sesuai harapan, namun skor pengetahuan moralnya lebih rendah.
Artinya anak tidak mengerti kenapa dia memilih melakukan perbuatan itu. Anak
tidak bisa menyebutkan apa alasannya sehingga ia mengikuti aturan atau patuh
terhadap ibu guru.� Piaget juga
menyebutkan cara berpikir anak di bawah 7 tahun�
berada dalam kategori berpikir secara kongkrit. Anak cenderung meniru
perbuatan nyata yang diakuan oleh oarang lain, tanpa perlu� mencari tahu apa alasan atau mengapa begitu.
Kohlberg juga menyebutkan bahwa tahap perkembangan
moral anak usia 4 tahun berada pada tahap pra konsensional. Pada tahap pra
konvensionsl anak melihat benar dan salah berdasarkan pada orientasi menghidari
hukuman. Anak mengikuti aturan dan mau mendengar salah satunya adalah karena untuk
memperoleh pujian dari guru.
Perkembangan Moral anak masih bersifat Egosentris,
ketika dihadapkan dalam suatu situasi yang tidak sesuai dengan yang ia
inginkan, maka ia akan mengabaikan nilai-nilai moral yang telah ia ketahui.
Sifatnya yang masih egosentris memungkinkan dia mudah tergoda dengan hal-hal
yang lebih dia inginkan. Ketika orang dewasa yang dianggap berkopenten tidak
mengawasinya, maka mereka cenderung mengikuti keinginannya.
Hal ini juga disebabkan karakteristik kecerdasan
moral anak adalah unreflective atau tidak mendalam. Kecerdasan moral
menurut� Borba (2008:4),� Coles (1999:34), dan Lennick & Kiel
(2005:21) sebagai kemampuan untuk memahami benar dan salah. Pemahaman yang
kurang mendalam terhadap suatu keadaan moral, membuat sesorang kesulitan dalam
mempertimbangan nilai benar dan salahnya. Kruger (2002:10) menyebutnya sebagai
moral decision making dan Piaget
menyebutnya sebagai moral judgement..
B. Temuan Proses
Tindakan
Para
ahli sepakat bahwa kecerdasan moral anak akan terus berkembang seiring dengan
tahap perkembangannya. Lingkungan sekitar perlu memberikan bimbingan. Pemberian
stimulasi tentang nilai-nilai pada anak selama proses perkembangan, dapat
mengoptimalkan potensi kecerdasan moral mereka. Coles mengatakan semakin dini
diajarkan kepada anak, semakin bear kapasitas anak untuk mencapai karakter yang
solid yaitu growing to think, believe and
act moral .
Kecerdasan
anak belum meningkat sesuai harapan juga karena cara mengajar yang cenderung
bersifat hafalan dan doktrin. Hsio (2004:3) menyebutkan bahwa pendidikan moral
saat ini lebih berorientasi pada guru. Sebagai akibatnya anak kurang memahami
apa yang menjadi pilihan guru, bahkan lebih jauh lagi apa bila terdapat
ketidakcocokan antara yang dia nilai dengan apa yang dia dengar dari gurunya.
Karena sifatnya yang mengandung unsur doktrin sehingga kurang melakukan proses
penalaran, kurang mendorong anak untuk berpikir sendiri.
Peningkatan
kecerdasan moral dalam penelitian ini menerapkan proses mengklarifikasi. Proses
klarifikasi membantu mereka mengembangkan kejelasan akan nilai sendiri. Adanya
kejelasan itu menimbulkan keyakinan� dan
mendorong pilihan dan keteguhan hati untuk melakukan sesuai dengan aya yang
diketahuinya.�
Maboea
(2002) menyebutkan bahwa klarifikasi nilai merupakan bangunan yang menjunjung
tinggi kreativita, mengeksplorasi preferensi dan pilihan anak sendiri. Hal itu
tampak� dalam pernyataan anak RA Nurul
Amal ketika ditanya bagaimana� cara
menyampaikan terima kasih, satu anak menyebutkan : �bilang jazakumullah khaeran katsira bu�. Ibu Guru terkejut dan gembira
karena anak telah dapat memberikan jawaban yang lebih tinggi dari sekedar
mengucapkan terima kasih. Ibu Wilda mengatakan bahwa penerapan klarifikasi
nilai membuat anak-anak lebih kreatif disamping membuat mereka lebih bisa
mengungkapkan pendapat dan perasaannya sendiri. Klarifikasi nilai dapat
membantu meningkatkan kecerdasan moral melalui proses yang dinamis.
Mengkolaborasikan proses kemampuan kognitif melalui pemilihan nilai nilai,� dilakukan dengan proses yang menggugah
perasaan melalui tahap prizing. Hal tersebut menimbulkan kesediaan berperilaku
sesuai dengan pengetahuan yangdia peroleh.
Guru
sebaiknya memberikan lebih banyak kesempatan kepada anak untuk melakukan
aktivitas yang lebih menstimulasi kecerdasan moral anak dengan tema dan nilai
moral yang lain. Guru juga memberikan penguatan terhadap apa yang diungkapkan
oleh anak, sehingga anak lebih terpacu untuk melakukan perilaku moral. Guru
harus memandang anak sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk berkembang
sehingga dalam klarifikasi nilai tidak menyarankan menanamkan nilai-nilai
moral� datang dari guru. Guru sebagai
fasilitayor� yang membantu anak memberi
makna yang tepat terhadap nilai� dan
bersikap sebagai pemberi penguatan� pada
nilai moral yang telah dipegang anak, bukan sebagai pemberi hukuman. Untuk
mewujudkan kecerdasan moral yang optimal maka ketiga dimensi kecerdasan moral
itu harus terkait utuh dan bulat, satu sama lain. Perpaduan pengetahuan, rasa
dan perbuatan merupakan perilaku�
manusia. Seyogyanya afeksi moral anak perlu dibina untuk bisa merasakan
menghargai dan menilai semua perilaku moralnya. Anak perlu menerima sesuatu
melalui proses secara nalar. Keyakinan akan sesuatu� hendaknya merupakan hasil belajar dan
diinternasilasi secara nalar. Sebaliknya kognitif dan perilaku tanpa
memperhatikan perasaan moral, akan sangat rapuh.
Ibu
guru Wilda menyebutkan bahwa dengan menerapkan klarifikasi nilai, ketika
terjadi pelanggaran aturan saat di kelas atau bermain, guru tidak sulit lagi
untuk mengingatkan anak-anak. Ibu guru hanya menanyakan pada anak apa yang
seharusnya atau tidak boleh dilakukan,�
sesuai dengan apa yang pernah diungkap anak saat berbicara tentang nilai
baik dan buruk di kelas.
C.
Kaitan
dengan kecerdasan lainnya.
Hasil penelitian tindakan ini memiliki keterkaitan
dengan berbagai disiplin ilmu diantaranya kognitif, bahasa, fisik motorik,
sosial emosional, kemamdirian dan kreativitas anak. Melalui tanya jawab anak
dilatih kemampuan berpikir dalam pemahaman kecerdasan moral nya. Anak mulai
berpikir logis melalui proses pembelajaran. Anak mulai ingin bertanya dan
mengetahui jawaban yang ada dipikirannya mengenai kecerdasan moral. Dengan
pertanyaan yang diajukan guru tentang gambaran perasaan anak terkait nilai
moral yang diteliti, anak dilatih untuk terbiasa mengungkap emosinya.
Tindakan moral anak terlihat lebih spontan dan
mantap pada siklus II. Sebagian besar anak dapat tetap konsisten menunjukkan
perilaku moral terpuji dalam situasi konflik yang telah diatur sebelumnya oleh
guru. Anak tetap dapat menunjukkan tindakan perilaku
moral yang sesuai dengan pilihannya secara spontan dan tidak terpengaruh,� meskipun dalam� situasi yang menimbulkan dilema antara mengikuti
situasi pengetahuan moral yang telah dia ketahui ataukah tidak sanggup
mengontrol diri untuk berbuat sesuai kehendaknya. Hal itu menunjukkan bahwa
kemandirin anak menjadi lebih mantap.
Hubungan dengan kognitif anak, anak dapat
menyebutkan dan �memberi alasan mengenai pengetahuan moral yang diketahuinya. Anak juga berlatih
memperkirakan perasan orang lain yang muncul akibat perilaku anak yang tidak
menyenangkan, sehingga anak berkesempoatan dilatih kreativ berimajinasi selain
belajar mengembangkan empati.
Kesimpulan
1.
Penerapan
klarifikasi nilai pada anak kelas A RA Nurul Amal Bandung dilakukan dengan memperhatikan teknik
dalam klarifikasi yakni pemilihan, penghargaan dan perbuatan. Dalam kegiatannya menggunakan �media
gambar, menonton video, tanya jawab, membuat skenario situasi dilematis dan
pemberian penguatan selama proses klarifikasi nilai, telah dapat memancing anak
untuk mengutarakan pengetahuan dan perasaan moralnya, sehingga mendorong
tindakan moral anak.
2.
Penggunaan
teknik klarifikasi nilai berpengaruh terhadap peningkatan kecerdasan moral anak.
Hasil dalam action� research kecerdasan
anak berubah dari kategori Belum Berkembang�
saat sebelum diberi tindakan dan menjadi Mulai Berkembang pada siklus I
(TCP rata-rata = 117,36) dan berhasil meningkatkan kecerdasan moral 12 anak
dari 18 anak (67%), dan naik lebih tinggi lagi menjadi Berkembang Sesuai
Harapanan (TCP rata-rata = 138,67) serta berhasil meningkatkan kecerdasan moral
14 anak dari 18 anak (78%) di akhir Siklus II.
BIBLIOGRAFI
Borba, Michele. (2002).� Membangun Kecerdasan Moral Anak. Jakarta,Gramedia.
Clarken, R.H. (2009). Moral Intelligence in the School.
Detroit : Wayne State University.
Hsiao, Fang-Hua. (2004). The Role of Value Clarification and Correct Discretions in
Implementing Human Rights Agenda within Educational Contexts, Educating
for Human Rights and Global Citizenship International Conference, Canada,
Alberta, Edmonton: University of Alberta.
Indira Dhull & Narindra Kumar. (2012). Development of Moral
Reasoning in the Context of Intelligence and Socio-Economic Status Following
Value Clarification.� Journal of Education and Practice Vol 3.
Kruger, Teresa. (2002). Moral Intelligence: The
Construct And Key Correlates. Thesis Doctor In Philosophy in Faculty Of Management at the
University Of Johannesburg.
Lennick,
D., dan Kiel, F. (2005). Moral Intelligence: Enhancing Business
Performance and�
Leadership Success. US: Wharton School Publishing.
Maboea, Laurence Teboho Lazarus. (2002). The
Impact of Values Calification On Critical Thinking and Effective Communication
for Secondary School Leaners. Submitted
in fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Education in
the Department of Philosophy of Education at The University of Zulu land.
Mcbride. (2010). Emotional Intelligence and
Culture Moral Development. Capelan University. UMI,
ProQuest.
Mills, G.�
E. (2010).�
Action Research: A Guide for the
Teacher Researcher, 4th Edition. USA : Pearson.
Ralph Hewitt & Mary Little, (2005). Leading Action Research in
Schools. Copyright State of Florida Department of
State Department of Education, Bureau of Exceptional Education and Student
Services, through federal assistance under the Individuals with Disabilities
Education Act (IDEA), University of Central Florida.
Steven Coppens. (2006). Re-Introducing
Life Skills Education and Value Clarification In The
Learning Environment. Regional Learning
Advisor Plan WARO � West Africa Regional Office.