Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�

Vol. 4, No. 11, November 2022

 

PENGGUNAAN SENJATA API OLEH PETUGAS IMIGRASI DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN

 

Aldi Rizky Setiyawan, Tofik Yanuar Chandra, Hedwig Adianto Mau

Politeknik Imigrasi, Jakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran mengenai implementasi penggunaan senjata api bagi petugas imigrasi menggunakan metode penelitian normatif empiris dengan pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pejabat imigrasi, dan PPNS Keimigrasian merupakan salah satu contoh aparat penegak hukum yang memiliki ancaman dalam melaksanakan tugasnyam sehingga diperbolehkan untuk dilengkapi dengan senjata api dalam pelaksanaan tugasnya sebagai alat bela diri. Tetapi faktanya, di Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok belum ada penggunaan senjata api oleh petugas imigrasi khususnya pejabat imigrasi dan PPNS Keimigrasian dalam melaksanakan tugas penegakan hukum keimigrasian. Pada Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok hanya 1 (satu) orang yang memiliki izin kepemilikan senjata api.Kendala yang dihadapi oleh pejabat imigrasi dan PPNS Keimigrasian dalam penggunaan senjata api, yaitu belum ada kebijakan kepala kantor yang mengakomodasi perencanaan penggunaan senjata api dinas, belum adanya kajian peraturan pendukung penggunaan senjata api dinas di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi, belum ada kualifikasi pejabat imigrasi, dan PPNS Keimigrasian yang mendukung untuk memiliki izin pemakaian, dan penggunaan senjata api, dan sarana sebagai tempat penyimpanan, serta perawatan senjata api. Kesimpulan Petugas penegak hukum bisa dilengkapi dengan senjata api, amunisi, dan peralatan pendukung lainnya dalam melaksanakan tugas berdasarkan ketentuan nasional, dan ketentuan internasional mengenai penggunaan senjata api. Petugas penegak hukum keimigrasian yang bisa dilengkapi dengan senjata api, dan peralatan pendukung lainnya, yaitu pejabat imigrasi dan PPNS Keimigrasian yang telah memenuhi persyaratan untuk memperoleh izin pemilikan dan izin penggunaan

 

Kata Kunci: Senjata Api; Penegakan Hukum; Imigrasi.

 

Abstract

The purpose of the study is to get an idea of the implementation of firearms use for immigration officers using empirical normative-research methods with a constitutional approach, and a qualitative approach. Result of research has shown that immigration officer, and the civil servant investigator of immigration are the examples of law enforcement officer who have threat in carry out their duties. Therefore, allowed to be equipped with firearms in the performance of his duties as a martial arts device. But, facts in the immigration office (class I) of Tanjung Priok were found that there had been no use of firearms by immigration staff particularly immigration officers, and the civil servant investigator of immigration in performing duties of immigration law enforcement. As a fact there's only one person in the field who has a licensed for ownership firearms. The obstacle faced by immigration officers, and the civil servant investigator of immigration in the use of firearms, namely There is no chief of immigration office policy yet on which to plan the use of service firearms, There is no rule review of the service firearms ordinance in the Directorate General of Immigration,� There are no have qualifications immigration officer and the civil servant investigator of immigration yet, are supported to have a permit, and the use of firearms, And facilities for storage, as well as the treatment of firearms. Conclusion Law enforcement officers can be equipped with firearms, ammunition and other supporting equipment in carrying out their duties based on national regulations and international provisions regarding the use of firearms. Immigration law enforcement officers who can be equipped with firearms and other supporting equipment, namely immigration officials and Immigration PPNS who have met the requirements to obtain ownership permits and use permits.

 

Keywords: Firearms; Law Enforcement; Immigration

 

Pendahuluan

Era globalisasi mempermudah perpindahan penduduk yang berkembang saat ini, namun kemudahan tersebut diiringi dengan dampak positif, dan dampak negatif bagi suatu negara (Hidayanti, 2018). Dampak negatif dari adanya perpindahan penduduk adalah kejahatan lintas negara yang hingga saat ini menjadi suatu ancaman bagi dunia internasional. �(Fadli, n.d.) kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi akibat globalisasi, dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk menyelubungi perdagangan manusia, dan penyelundupan manusia. Perdagangan manusia, dan penyelundupan manusia menjadi salah satu contoh kejahatan lintas negara yang melibatkan perlakuan buruk dari pelanggaran harkat, dan martabat manusia. Sehingga, untuk meminimalisasi potensi kejahatan tersebut, diperlukan kerja sama yang baik antara pemerintah, dan masyarakat (Sitania & Suponyono, 2020).

Perdagangan manusia, dan penyelundupan manusia menimbulkan masalah besar terutama di wilayah perbatasan negara. Permasalahan timbul akibat tindakan pelaku yang menggunakan kekerasan verbal dan fisik dalam proses perekrutan, pengangkutan antar daerah atau antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan, dan penampungan sementara. Tindakan tersebut dilakukan untuk memperoleh keuntungan, namun tujuannya untuk pelacuran, eksploitasi seksual, buruh migran legal/ilegal, adopsi anak, industri pornografi, pengedar obat terlarang, pemindahan organ tubuh, serta bentuk eksploitasi lainnya (Agustina, 2006).

Permasalahan yang muncul di wilayah perbatasan negara, tidak hanya kejahatan lintas negara, hingga saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan kelompok kriminal separatis bersenjata yang lebih sering disebut KKSB. Wilayah perbatasan Indonesia yang cukup luas, membuat timbulnya potensi lalu lintas pelintas batas ilegal, baik melalui wilayah darat, maupun laut. KKSB di wilayah perbatasan yang rawan memiliki hubungan dengan pelintas batas ilegal, dan menjadi ancaman yang besar bagi keamanan negara. Ancaman yang besar tersebut muncul akibat kesulitan yang dihadapi di perbatasan Indonesia yang masih rawan seperti Papua, yaitu sulitnya mendeteksi pelintas batas ilegal yang menjadi bagian dari KKSB (Sulistya, 2018).

Fungsi keimigrasian ditetapkan pemerintah melalui kebijakan keimigrasian, Fungsi keimigrasian menurut ketentuan yang terdapat pada Undang Undang Nomor 6 Tahun� 2011� tentang� Keimigrasian����������� berada di sepanjang garis perbatasan wilayah Indonesia dilaksanakan oleh pejabat imigrasi yang meliputi tempat pemeriksaan imigrasi (TPI) dan pos lintas batas (pasal 3 ayat 3). Selain itu dalammelaksanakan fungsi keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 dapat dibentuk Kantor Imigrasi di kabupaten, kota, atau kecamatan.

Fungsi keimigrasaian merupakan wewenang imigrasi dalam melakukan segala sesuatu mengenai lalu lintas orang yang masuk, atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara (Puspitasari, 2020).Melihat munculnya modus kejahatan transnasional terorganisasi akibat perpindahan manusia, kejahatan dapat dilakukan melalui perbatasan wilayah darat, hingga wilayah laut Indonesia. Kondisi aktivitas kawasan perbatasan memiliki keragaman akibat dari pertahanan, dan keamanan, sosial, dan budaya, serta ekonomi lintas batas. Kondisi tersebut menimbulkan potensi terjadinya gangguan keamanan lintas batas (Firdaus, 2018).

Pertahanan negara merupakan segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara berdasarkan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kaitannya dengan fungsi imigrasi dan kedaulatan negara sebagaimana disebut dalam pasal 1 butir 3 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Dari sini jelaslah bahwa imigrasi menjadi unsur komponen pendukung dalam sistem pertahanan, dan keamanan. Oleh karena itu, imigrasi dalam rangka menjalankan tugas, dan peran sebagai alat penegak hukum, dan keamanan negara perlu diberikan kuasa untuk menggunakan senjata api sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penegakan hukum dilaksanakan untuk meningkatkan ketertiban, dan kepastian hukum di lingkungan masyarakat. Hal tersebut dilakukan melalui penertiban fungsi, tugas, dan wewenang lembaga penegak hukum (Sanyoto, 2008) sebagai subyek hukum (Asshiddiqie, 2006). Lembaga penegak hukum dapat dikatakan sebagai penegak hukum,tidak hanya memiliki kewenangan terkait proses peradilan, melainkan memiliki kewenangan menangkap, memeriksa, mengawasi, atau menjalankan perintah undang-undang di bidangnya masing-masing. Namun, dalam melaksanakan tugas, dan wewenangnya, aparat penegak hukum berisiko tinggi terhadap ancaman (Hadi, 2012).

Para pelaku kejahatan transnasional terorganisasi dalam melakukan kejahatannya, sering kali melupakan batas-batas kemanusiaan. Tindakan pelaku dalam mengamankan kejahatannya dapat saja mengakibatkan korban mengalami luka berat, bahkan mengakibatkan kematian.Tindakan tersebut didasari oleh keinginan pelaku untuk mengamankan dirinya sendiri. Tindakan pelaku perdagangan manusia dan penyelundupan manusia dapat menimbulkan potensi ancaman jiwa bagi petugas imigrasi yang sedang melaksanakan wewenang keimigrasian di seluruh wilayah Indonesia (Hutapea, 2022). Selain itu, di wilayah perbatasan yang berada di daerah rawan seperti di Papua, memiliki potensi munculnya KKSB. Merebaknya isu melemahnya nasionalisme, dan Papua merdeka di Papua, menambah ancaman di wilayah perbatasan serta sulitnya mendeteksi pelintas batas ilegal yang diduga mendukung KKSB di Papua dan dapat menjadi ancaman bagi petugas imigrasi yang melaksanakan tugas di daerah Papua (Sulistya, 2018).

Salah satu contoh kejadian yang pernah berpotensi menimbulkan ancaman jiwa pada saat melakukan tugas dan fungsi keimigrasian, yaitu petugas Kantor Imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok melakukan pengawasan di wilayah perairan pelabuhan Tanjung Priok, pada hari Rabu , 26 Februari 2020. Pada hari tersebut petugas imigrasi melakukan pemeriksaan terhadap kapal dengan nama MV Atalante, pada saat merapat ke kapal tersebut, kapten kapal tidak kooperatif terhadap kedatangan petugas imigrasi. Setelah melalukan komunikasi persuasif, kapten kapal memberikan tangga naik untuk petugas imigrasi. Setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan bahwa kapal tersebut sudah diterakan cap keberangkatan, namun masih berada di wilayah Indonesia. Petugas imigrasi menduga bahwa kapal tersebut telah melakukan pelanggaran keimigrasian, sehingga petugas imigrasi perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Melihat kondisi kapal yang berada di tengah laut, kapten kapal yang tidak kooperatif, jumlah petugas imigrasi yang melakukan pemeriksaan tidak sebanding dengan jumlah crew kapal, suasana tersebut kemungkinanmenimbulkan intimidasi, dan ancaman jiwa bagi petugas yang melakukan pemeriksaan. Sehingga, petugas imigrasi perlu dilengkapi dengan senjata api non organik untuk kepentingan bela diri sebagai upaya perlindungan diri dari ancaman yang dapat membahayakan keselamatan jiwa, dan kehormatan (Hasil wawancara dengan Bapak Kuscahyono, Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian).

Contoh lainnya terjadi pada hari Sabtu, 27 Juni 2020, sekelompok warga negara Nigeria yang berdomisili di Apartemen Green Park View, Cengkareng, Jakarta Barat, mengeroyok petugas yang diduga petugas imigrasi. Hal ini terjadi karena ada salah satu warga apartemen yang diduga warga negara Nigeria berteriak ada razia warga negara asing dari pihak imigrasi, dan tiba-tiba sekitar 60 warga negara Nigeria mengeroyok 5 orang yang diduga petugas imigrasi. Setelah ditelusuri lebih lanjut, 5 orang tersebut merupakan anggota tim siber Polda Metro Jaya.

Melihat kedua contoh diatas, pelaksanaan tugas, dan fungsi di bidang penegakan hukum keimigrasian memiliki cukup besar ancaman yang dapat membahayakan keselamatan jiwa dan kehormatan. Sebagai unsur penegak hukum, petugas imigrasi perlu untuk dibekali alat untuk kepentingan bela diri berupa senjata api nonorganik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Tentara Nasional Indonesia. Kepemilikan dan penggunaan senjata api nonorganik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Tentara Nasional Indonesia wajib mendapatkan izin dan pengawasan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberikan secara selektif dengan pesyaratan secara ketat.

Kewenangan memiliki danatau menggunakan senjata api nonorganik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Tentara Nasional Indonesia untuk kepentingan bela diri tidak dapat diberikan kepada seluruh pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi. Merujuk pada pasal 8 sampai dengan 25 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2015 tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Nonorganik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Tentara Nasional Indonesia Untuk Kepentingan Bela Diri.

Apabila persyaratan administrasi tersebut belum terpenuhi, walaupun sudah terdapat senjata api dinas di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi, tetap tidak bisa digunakan senjata api tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan, dan pengendalian terhadap persyaratan administrasi kepemilikan dan/atau penggunaan senjata api nonorganik Polri/TNI. Dari fakta tersebut, kemudian menjadi alasan penulis tertarik membuat penelitian mengenai penggunaan senjata api oleh petugas imigrasi dalam rangka penegakan hukum keimigrasian.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif-empiris melalui pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan ini fokus terhadap aturan hukum yang diteliti pada penelitian ini (Efendi & Ibrahim, 2018). Data penelitian bersumber dari data primer dan data sekunder (Taufani, 2018). Data primer diperoleh dari wawacara dan observasi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam menganalisis data atau bahan hukum, penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analisis dengan bentuk pengolahan yang terdiri dari pemeriksaaan data, reduksi data, penyajian data, serta verifikasi data (Efendi & Ibrahim, 2018).

 

Hasil dan Pembahasan

A.     Impelementasi Penggunaan Senjata Api Oleh Petugas Imigrasi Dalam Rangka Melaksanakan Penegakan Hukum Keimigrasian

Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum keimigrasian bagi petugas penegak hukum dalam hal ini pejabat imigrasi dan PPNS Keimigrasian berpedoman terhadap ketentuan-ketentuan internasional dan nasional. Ketentuan internasional yang mengatur tentang penggunaan senjata api yakni Kongres PBB pada 27 Agustus hingga 7 September 1990. Pada deklarasi tersebut hak-hak dasar sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang harus dinikmati semua manusia, perlu di hormati, dan dilindungi oleh setiap orang (Dore, 2013). Sedangkan ketentun nasional penggunaan senjata api (mulai dari pendaftaran, izin pemakaian, kewenangan perizinan, peningkatan pengawasan dan pengendalian senjata api) mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1948, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 20 Tahun 1960, dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976.

Izin pemilikan senjata api non organik Kepolisian atau Tentara Nasional Indonesia diterbitkan dalam bentuk Buku Pemilikan Senjata Api sedangkan izin penggunaan senjata api non organik Kepolisian atau Tentara Nasional diterbitkan dalam bentuk kartu yang merupakan Surat Izin Khusus Senjata Api (IKSA), Surat Izin Penggunaan Senjata Api Peluru karet (SIPSPK); dan/atauSurat Izin Penggunaan Senjata Api Peluru Gas (SIPSPG).

Dalam hal penegakan hukum keimigrasian bagi warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara Asing (WNA), tindakan penegakan hukum oleh petugas penegak hukum dilakukan dengan otoritas masing-masing menurut hukum yang berlaku. Saat melakukan tugas sebagai penegak hukum keimigrasian, pejabat imigrasi dan PPNS Keimigrasian menggunakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011yang mengatur mekanisme penyidikan, dan penentuan jenis sanksi, seperti sanksi administratif dan sanksi pidana.

Keimigrasian dapat dikategorikan bidang hukum dari perspektif hukum administrasi dan hukum pidana. Dalam hukum administrasi, keimigrasian melaksanakan urusan pemerintahan dalam mengatur pergerakan orang masuk dan keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam menjaga tegaknya kedaulatan negara. Dengan demikian, penegakan hukum administrasi pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dijalankan menggunakan wewenang pengawasan dan wewenang menetapkan sanksi yang dilakukan secara langsung oleh Pejabat Imigrasi tanpa melalui peradilan. Dalam perspektif hukum pidana, perumusan hukuman pidana merujuk pada Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana. Namun, perumusan hukum pidana KUHP tidak diberlakukan apabila suatu undang-undang telah mengaturnya, hal ini sebagaimana dimaksud pada asas lex spesialis derogate legi generalis. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasiantelah mengatur sanksi pidana di dalamnya, sehingga penentuan jenis hukuman tidak merujuk pada hukuman pidana KUHP. Hukum pidana memiliki hukum formil yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sehingga dalam melaksanakan penyidikan suatu tindak pidana yang diatur pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, berpedoman pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Penegakan aturan keimigrasian negara Republik Indonesia di mulai dari pengawasan keimigrasian (pengawasan administratif dan pengawasan lapangan). Saat menjalankan penegakan hukum keimigrasian terhadap kasus-kasus tersebut, dapat diterapkan 2 (dua) tindakan yang dapat diberikan oleh Pejabat Imigrasi, dan PPNS Keimigrasian, yakni tindakan administratif keimigrasian Pasal 1 Angka 31 dan Pasal 75 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011), dan penyidikan tindak pidana keimigrasian (Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011, Pasal 5 Ayat 1 Huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013.

Petugas imigrasi yang diutamakan dilengkapi dengan senjata api, yaitu pejabat imigrasi, dan PPNS Keimigrasian. Hal tersebut didukung dari hasil wawancara dengan Bapak Kuscahyono (Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian) yang mengatakan bahwa pejabat imigrasi dan juga PPNS Keimigrasian pernah menjalani pelatihan keterampilan menembak ketika mengikuti diklat PPNS dan latsarmil (latihan dasar militer), sehingga menurut saya bisa dipersenjatai, dan peralatan pendukung lainnya�.

Jenis senjata api yang dapat digunakan oleh pejabat imigrasi dan PPNS Keimigrasian sangat terbatas. Jenis senjata api yang dapat diberikan hanya jenis senjata api peluru tajam dengan caliber 12 GA untuk jenis senapan, dan 22, 25,32 untuk jenis pistol atau revolver, dan senjataapi peluru karet dengan kaliber paling tinggi 9 mm. Senjata api peluru tajam hanya dapat diberikan bagi pejabat imigrasi dengan pangkat/golongan serendah-rendahnya IV/a dengan bukti Surat KeputusanPengangkatan pangkat/golongan maupun jabatan dari pejabat yang berwenang. Sedangkan, senjata api peluru karet dapat diberikan bagi pejabat imigrasi dengan pangkat/golongan serendah-rendahnya III/a dengan bukti Surat Keputusan Pengangkatan pangkat/golongan maupun jabatan dari pejabat yang berwenang.

Pengadaan jenis senjata yang dibutuhkan oleh pejabat imigrasi dan PPNS Keimigrasian disusun oleh Direkotrat Jenderal Imigrasi, dan diajukan oleh Menteri Hukum dan HAM kepada Panglima TNI dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Pengadaan senjata apidan peralatan pendukung lainnya dapat dilakukan melalui pembelian dalam negeri, pembelian dari luar negeri, dan penerimaan hibah. Pengadaan tersebut juga perlu mendapatkan izin dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Setelah memiliki senjata api dan peralatan pendukung lainnya, dilakukan penyimpanan, pengangkutan, serta pengadministrasian untuk menjaga kondisi senjata api, dan peralatan keamanan lainnya tetap terjaga.

Perizinan penggunaan senjata api oleh pejabat imigrasi dan PPNS Keimigrasian dilengkapi dengan surat keterangan psikolog kepolisian,sertifikat menembak dengan klasifikasi paling rendah kelas III yang dikeluarkan oleh Sekolah Polisi Negara (SPN), atau Pusat Pendidikan Kepolisian, memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dari Kepolisian setempat sesuai domisili, surat rekomendasi dari Direktorat Jenderal Imigrasi dalam hal kepemilikan senjata api, dan surat pernyataan kesanggupan tidak menyalahgunakan senjata api.Untuk menghindari ancaman atau gangguan dari penyalahgunaan senjata api, Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai instansi pemerintah yang diberikan wewenang untuk menggunakan senjata api dan peralatan pendukung lainnya dalam melaksanakan tugas, perlu melakukan pengawasan serta pengendalian masalah senjata api, seperti pemasukan, pemilikan, penguasaan, danatau penggunaan senjata api. Kegiatan pengawasan serta pengendalian senjata api dilakukan dengan membatasi jumlah pejabat imigrasi dan PPNS Keimigrasian yang diberi izin memiliki, menguasai, danatau menggunakan senjata api, melakukan pelaporan mengenai jumlah, dan posisi senjata api dinas kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan membuat sistem pelaporan apabila terjadi cedera atau kematian yang disebabkan oleh penggunaan senjata api kepada pejabat yang ditunjuk.

Terdapat 2 (dua) UPT keimigrasian yang berada di Kotamadya Jakarta Utara yaitu Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok dan Kantor imigrasi kelas I TPI Jakarta Utara. Apabila melihat pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Imigrasi, dapat disimpulkan bahwa penetapan wilayah kerja 2 (dua) unit pelaksana teknis yang berada dalam 1 (satu) kotamadya, dibagi menjadi 2 yaitu Kantor imigrasi kelas I TPI Jakarta Utara memiliki wilayah kerja di seluruh Kotamadya Jakarta Utara, dan Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok memiliki wilayah kerja kawasan pelabuhan internasional Tanjung Priok, dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dalam pelaksanaan tugas, dan fungsi keimigrasian, Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok mengalami hambatan karena letak Kantor berada di kecamatan Koja, dan kecamatan tersebut masuk kedalam wilayah kerja Kantor imigrasi kelas I TPI Jakarta Utara. Selain itu, kecamatan Tanjung Priok juga tidak masuk wilayah kerja Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok, padahal terdapat nomenklatur Tanjung Priok pada nama Kantor. Oleh karena itu, dilakukan pemekaran wilayah kerja dari Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-02.OT.01.03 Tahun 2020 tentang Perubahan Nomenklatur dan Wilayah Kerja Kantor Imigrasi tanggal 01 Juli 2020.

Perubahan wilayah kerja pada Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok menyebabkan wilayah kerja dari Kantor imigrasi kelas I TPI Jakarta Utara kehilangan Kecamatan Koja, dan Kecamatan Tanjung Priok. Sehingga, Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok memiliki wilayah kerja yang baru yaitu wilayah administrasi pelabuhan laut Tanjung Priok, Kabupaten Kepulauan Seribu, Kecamatan Koja, dan Kecamatan Tanjung Priok. Potensi ancaman yang ada di wilayah kerja Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu potensi ancaman wilayah laut, dan potensi ancaman wilayah darat. Ancaman wilayah laut dapat muncul karena sebagain besar wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu berada di permukaan air laut, dan sarana transportasi untuk mengakses daerah tersebut sangat minim. Salah satu sarana transportasi yang digunakan yaitu menggunakan sarana transportasi air seperti speed boat.

Selanjutnya, ancaman wilayah darat dapat muncul di Kecamatan Tanjung Priok, dan Kecamatan Koja yang masing-masing wilayahnya digunakan sebagai perumahan sebesar 57,74%, dan 65,08% berdasarkan hasil statistik wilayah DKI Jakarta. Kategori perumahan didalamnya termasuk rumah, apartemen, kondominium, hingga rumah susun. Penggunaan tanah sebagai perumahan memicu adanya peluang warga negara Asing untuk menetap atau bahkan melakukan kegiatan di Kecamatan Tanjung Priok, dan Kecamatan Koja.Hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah warga negara asing yang berada di Kecamatan Tanjung Priok diperoleh data sebanyak 301 orang, dan di Kecamatan Koja sebanyak 15 orang berdasarkan dari registrasi penduduk akhir tahun 2018. Sehingga, ancaman yang dapat mengancam Pejabat Imigrasi, dan PPNS Keimigrasian di wilayah kerja Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok dapat muncul dari wilayah laut, dan wilayah darat, tepatnya di kawasan apartemen. Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Bapak Kuscahyono (Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian) mengenai ancaman di kawasan apartemen.

Berdasarkan pernyataan Bapak Kuscahyono (Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian) mengenai pelaksanaan tugas dan fungsi seksi intelijen dan penindakan di wilayah kerja Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum yang dilakukan petugas imigrasi di wilayah kerja Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok, yaitu pengawasan lapangan yang memilikiancaman yang sulit dideteksi karena kondisi geografisnya yang sebagian besar perairan, dan dalam melaksanakan kegiatan penyidikan keimigrasian dilakukan kolaborasi dengan Divisi Keimigrasian, dan juga Kantor imigrasi lainnya di DKI Jakarta. Dalam mendukung keselamatan jiwa petugas yang melaksanakan tugas, digunakan peralatan alat kejut listrik, dan rompi anti peluru, walaupun tanpa membawa senjata api.

Menurut Bapak Edisong (Kepala Kantor Imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok) yang menyatakan bahwa Kantor Imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok belum memiliki senjata api. Meskipun demikian, dalam mendukung keselamatan petugas dalam melakukan tugas pengawasan, intelijen, dan penindakan, masih dibekali beberapa alat pelindung diri, seperti rompi anti peluru, dan alat yang menyerupai senjata api berupa stun gun. Belum adanya keberadaan senjata api di Kantor Imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok ditunjukkan dengan tidak adanya prasarana untuk menyimpan, dan juga merawat senjata api, seperti diketahui bahwa di seksi intelijen dan penindakan Kantor imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok belum ada ruangan khusus/ tempat tertentu yang digunakan untuk menyimpan, dan merawat senjata api. Sarana yang terdapat di seksi intelijen dan penindakan Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok, yaitu ruang kepala seksi, ruang pemeriksaan, ruang kepala subseksi, dan ruang detensi imigrasi.

Secara keseluruhan, jumlah pegawai yang ada di Kantor Imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok, yaitu 78 (tujuh puluh delapan) orang. Sasaran dalam penelitian ini fokus kepada Pejabat Imigrasi, dan PPNS Keimigrasian. Berikut merupakan jumlah Pejabat Imigrasi, dan PPNS Keimigrasian, sebagai berikut:

 

Tabel 1

Daftar Pejabat Imigrasi dan PPNS Keimigriasian per seksi

No

Seksi

Jumlah Pejabat Imigrasi

Jumlah PPNS Keimigrasian

1

Lalu Lintas Keimigrasian

7

1

2

Izin Tinggal dan Status Keimigrasian

1

2

3

Intelijen dan Penindakan Keimigrasian

1

3

4

Teknologi Informasi Komunikasi Keimigrasian

3

0

 

Jumlah

12

6

Sumber: Data Kepegawaian Kantor imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok, 2020

 

Tabel 1 menunjukkan bahwa di Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok jumlah Pejabat Imigrasi sebanyak 12 orang, sudah termasuk Kepala Kantor, dan jumlah PPNS Keimigrasian sebanyak 6 orang. Menurut Kepala Kantor imigrasi perihal kebijakan penggunaan senjata api di lingkungan Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok bahwa 1 (satu) orang Pejabat Imigrasi, dan 3 (tiga) orang PPNS Keimigrasian diprioritaskan untuk memperoleh izin kepemilikan, dan pemakaian senjata api. Meskipun demikian, 3 (tiga) orang PPNS Keimigrasian di luar seksi intelijen dan penindakan keimigrasian diperbolehkan memiliki izin pemakaian senjata api dengan catatan pengawasan, dan pengendalian melekat dari Kepala Kantor. Selain itu, 11 (sebelas) orang Pejabat Imigrasi di luar seksi intelijen dan penindakan keimigrasian diperbolehkan juga memiliki izin pemakaian senjata api dengan pengawasan, dan pengendalian melekat dari Kepala Kantor.

B.      Kendala Penggunaan Senjata Api oleh Petugas Imigrasi

Pelaksanaan penegakan hukum dalam ruang lingkup Direktorat Jenderal Imigrasi, merujuk pada pasal 1 angka 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011. Berdasarkan hal tersebut, wewenang penegakan hukum diberikan kepada Pejabat Imigrasi dalam menegakkan aturan yang diatur pada Undang-Undang diluar ruang lingkup hukum pidana, sedangkan PPNS Keimigrasian menegakkan aturan pidana yang diatur pada Undang-Undang, dan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Sebagai penegak hukum bukan dari anggota Kepolisian,pejabat imigrasi, dan PPNS Keimigrasian dijamin untuk memiliki, dan menggunakan senjata api untuk kepentingan bela diri melalui Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 18 Tahun 2015. Kententuan internasional yang dituangkan pada Prinsip Dasar Penggunaan kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum, memperkuat bahwa pejabat imigrasi, dan PPNS Keimigrasian sebagai penegak hukum dalam ruang lingkup keimigrasian dapat dilengkapi dengan senjata api, amunisi, dan juga peralatan pendukung lainnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan, Pejabat Imigrasi, dan PPNS Keimigrasian yang berada di Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok terdapat 1 (satu) orang yang memiliki izin penggunaan senjata api peluru tajam, dan 2 (dua) orang yang memiliki iin penggunaan senjata api untuk kepentingan olahraga. Kondisi tersebut dapat melemahkan penindakan keimigrasian, dan menganggu keselamatan petugas imigrasi termasuk Pejabat Imigrasi, dan PPNS Keimigrasian dalam melaksanakan penegakan hukum. Apabila dikaitkan dengan kendala penggunaan senjata api di lingkungan Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1.   Faktor hukum

Penegak hukum yang dalam pelaksanaan tugasnya terdapat ancaman yang menggangu keselamatan jiwanya, bisa dilengkapi dengan senjata api (Iriyanto, 2009). Melihat asas hukum lex niminem cogit ad impossibilia, bahwa Undang- Undang tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin, penggunaan senjata api oleh penegak hukum di Indonesia sudah diakomodasi penuh oleh pasal 9 UU 8/1948. Selanjutnya, melalui Instruksi Presiden RI Nomor 9 Tahun 1976, para Menteri Pimpinan Lembaga Pemerintah diminta melakukan pengawasan serta pengendalian masalah senjata api, khususnya pemasukan, pemilikan, hingga penggunaan. Namun, dalam pelaksanaan dilapangan, penggunaan senjata api oleh petugas imigrasi di Kantor Imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok, belum dapat dilaksanakan karena di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi belum ditemukan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara fokus perihal Pejabat Imigrasi dan PPNS Keimigrasian yang dapat dipersenjatai, standarisasai senjata yang digunakan untuk menunjang pelaksanaan tugas penegakan hukum keimigrasian, dan pelaksanaan pengawasan, dan pengendalian terhadap penggunaan senjata api.

2.   Faktor penegak hukum

Petugas penegak hukum yang memiliki kualifikasi keterampilan, mentalitas, dan kepribadian yang baik dapat diperkenankan memperoleh� izin kepemilikan dan/atau menggunakan senjata api untuk kepentingan bela diri (Sridadi, 2019). Hal tersebut merujuk pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2015 tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Untuk Kepentingan Bela Diri Bab III Perizinan. Dalam fakta yang ditemukan dilapangan, hanya terdapat 1 (satu)� orang yang memiliki izin penggunaan senjata api, tetapi izin tersebut sudah mati. Hal ini terjadi karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mewadahi penyelenggaraan pelatihan keterampilan menembak bagi petugas imigrasi. Padahal, pada Prinsip Dasar Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum sebagai hasil dari Kongres Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Havana sudah diatur bahwa, pemerintah dan lembaga penegak hukum harus diberikan pelatihan, dan diuji sesuai dengan standar kemahiran yang sesuai. Selain itu, diberikan juga pelatihan khusus bagi petugas yang diberikan wewenang membawa senjata api.

3.   Faktor sarana atau fasilitas pendukung lainnya

Dalam pengadaan senjata api dinas, perlu diperhatikan juga sarana untuk penyimpanan senjata api dinas. Senjata api dinas harus disimpan di tempat yang memenuhi persyaratan keamanan. Fakta dilapangan ditemukan bahwa sarana atau fasilitas pendukung lainnya mencakup pada tempat penyimpanan senjata api belum ada, kemudian peralatan untuk perawatan senjata api itu sendiri belum ada, sehingga dalam membuat rencana kebutuhan senjata api di lingkungan Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok, perlu memperhatikan sarana tersebut.

4.   Faktor masyarakat

Pemahaman hukum mengenai penggunaan senjata api menurut Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian bahwa �Ide pengamanan di lingkungan Imigrasi belum dipikirkan, hal tersebut berbeda dengan yang sudah diterapkan oleh Bea Cukai yang memberikan wewenang kepada Pejabat Bea Cukai dalam melaksanakan tugasnya.� Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa belum adanya keberadaan senjata api di lingkungan Kantor Imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok, pemahaman peraturan perundang-undangan mengenai senjata api belum sepenuhnya dipahami oleh Pejabat Imigrasidan PPNS Keimigrasian.

 

Kesimpulan

Petugas penegak hukum bisa dilengkapi dengan senjata api, amunisi, dan peralatan pendukung lainnya dalam melaksanakan tugas berdasarkan ketentuan nasional, dan ketentuan internasional mengenai penggunaan senjata api. Petugas penegak hukum keimigrasian yang bisa dilengkapi dengan senjata api, dan peralatan pendukung lainnya, yaitu pejabat imigrasi dan PPNS Keimigrasian yang telah memenuhi persyaratan untuk memperoleh izin pemilikan dan izin penggunaan. Hanya saja penggunaan senjata api di lingkungan Kantor Imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok belum berjalan sepenuhnya karena hanya terdapat seorang yang hanya memiliki izin kepemilikan dan izin penggunaan senjata api. Selain itu, ditemukan juga alat yang menyerupai senjata api berupa alat kejut listrik, namun belum ada izin kepemilika, dan izin penggunaannya.

Kendala yang dialami dalam penggunaan senjata api oleh penegak hukum secara peraturan perundang-undangan tidak ditemukan, namun belum adanya kajian peraturan perundang-undangan di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi, sehingga penggunaan senjata api di lingkungan Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok dapat dilaksanakan dengan baik, dan mampu menjamin keselamatan jiwa petugas imigrasi yang menjalankan tugas. Kendala yang ditemukan pada lingkungan Kantor Imigrasi Kelas I TPI Tanjung Priok, yaitu belum adanya sarana yang mendukung kualifikasi Pejabat Imigrasi dan PPNS Keimigrasian, sehingga memiliki kualifikasi yang memenuhi untuk memperoleh izin pemilikan, dan izin penggunaan senjata api, kemudian sarana penyimpanan, dan perawatan senjata api belum ada di Kantor imigrasi kelas I TPI Tanjung Priok. Kurangnya kepatuhan hukum terkait penggunaan senjata api dinas oleh penegak hukum menyebabkan kajian mengenai peraturan perundang-undangan senjata api belum dapat dilaksanakan.


BIBLIOGRAFI

 

Agustina, Shinta. (2006). Perdagangan perempuan dan anak sebagai kejahatan transnasional: Permasalahan dan penanggulangannya di Indonesia. Jurnal Hukum Pro Justitia, 24(1).Google Scholar

 

Asshiddiqie, Jimly. (2006). Pengantar ilmu hukum tata negara. Google Scholar

 

Dore, Kerry M. (2013). An anthropological investigation of the dynamic humanvervet monkey (Chlorocebus aethiops sabaeus) interface in St. Kitts, West Indies. The University of Wisconsin-Milwaukee. Google Scholar

 

Efendi, Jonaedi, & Ibrahim, Johnny. (2018). Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. Google Scholar

 

Fadli, Ahmad Risyad. (n.d.). Tindak pidana penyelundupan manusia (people smuggling) dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian (tinjauan hukum pidana Islam). Google Scholar

 

Firdaus, Insan. (2018). Optimalisasi Pos Lintas Batas Tradisional dalam Pelaksanaan Fungsi Keimigrasian Studi Kasus Imigrasi Entikong. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 12(1), 57�71. Google Scholar

 

Hadi, Ilman. (2012). Siapa Sajakah Penegak Hukum di Indonesia. Hukum online, November2013. http://www. hukumonline. com/klinik/d etail. Google Scholar

 

Hidayanti, Ika. (2018). Pengaruh Akulturasi Global Popular Culture Terhadap Perkembangan Electronic Dance Music Di Indonesia. Perpustakaan. Google Scholar

 

Hutapea, Daniel Chandra. (2022). Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (People Smuggling) Di Wilayah Hukum Polres Bengkalis. Universitas Islam Riau. Google Scholar

 

Iriyanto, Puji. (2009). Penerapan Hukum Terhadap Penyalah gunaan/izin Kepemilikan Senjata Api Organik Polri (Studi kasus Penembakan Warga Sipil Oleh Oknum Polri). Universitas Bhayangkara Jakarta Raya. Google Scholar

 

Puspitasari, Santi. (2020). Penegakan Hukum Terhadap Penyalahgunaan Izin Keimigrasian Yang Berindikasi Tindak Pidana (Studi Di Wilayah Hukum Kantor Imigrasi Kelas I Tpi Makassar). Universitas Hasanuddin. Google Scholar

 

Sanyoto, Sanyoto. (2008). Penegakan Hukum Di Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, 8(3), 199�204. Google Scholar

 

Sitania, Lourensy Varina, & Suponyono, Eko. (2020). Akomodasi Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Aspek Hukum Internasional Dan Nasional. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 2(1), 38�54. Google Scholar

Sridadi, Ahmad Rizki. (2019). Aspek Hukum Dalam Bisnis. Airlangga University Press. Google Scholar

 

Sulistya, Yasid. (2018). Negara Dan Ancaman Trans National Organized Crime Di Wilayah Perbatasan. Prosiding Senaspolhi, 1(1). Google Scholar

 

Taufani, Galang. (2018). Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, teori, dan praktis/Suteki. Google Scholar

 

Copyright holder:

Aldi Rizky Setiyawan, Tofik Yanuar Chandra, Hedwig Adianto Mau (2022)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under: