Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X
Vol. 4, No. 10, Oktober 2022
TINJAUAN
YURIDIS PERSYARATAN PERMOHONAN PENERBITAN
PASPOR TERHADAP ANAK YANG LAHIR DARI ORANGTUA STATELESS DI INDONESIA
Oktinardo Mandira Dulage Kansil, Hedwig Adianto Mau, Mardi Candra
Politeknik Imigrasi, Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak
Etnis Rohingya datang ke Indonesia sebagai pencari suaka dimana
status mereka adalah stateless
person. Apabila para pencari
suaka memiliki anak yang lahir di Indonesia, berdasarkan pasal 4 huruf i dan k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, anaknya merupakan Warga Negara Indonesia, tetapi tidak ada bukti
tertulis berupa dokumen kependudukan yang dapat diperoleh bagi anak dari
orang tua berstatus stateless
person. Dengan tidak adanya bukti tertulis,
berakibat pada tidak dimungkinkannya menerbitkan paspor bagi anak,
padahal kepemilikan paspor merupakan salah satu hak bagi
seorang warga negara. Penelitian ini menggunakan metode normatif, yaitu mengkaji ketentuan-ketentuan hukum dan menarik asas-asas hukum yang ada dalam masyarakat
serta apa dampak dan akibat yang timbul dari ketentuan
hukum tersebut dalam kehidupan masyarakat. Dari undang-undang maupun peraturan-peraturan pendukung undang-undang dapat terlihat bahwa di Indonesia sudah diatur mengenai status kewarganegaraan anak dari orang tua berstatus stateless person tetapi
tidak ada aturan dalam bentuk
undang-undang ataupun peraturan lain yang mengatur mengenai bentuk dokumen tertulis kependudukan atau kewarganegaraan untuk kondisi seperti ini. Tidak adanya
dokumen tersebut maka prosedur penerbitan
paspor tidak dapat terpenuhi sehingga pemenuhan hak seseorang untuk
memiliki paspor tidak dapat dilakukan.
Kata Kunci: Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2006; Warga negara
Indonesia; Masalah Paspor
Abstract
Rohingyas come to Indonesia as asylum seekers where
their status is stateless person. If asylum seekers have children who were born
in Indonesia, based on article 4 letters i and k of Law Number 12 of 2006, the
child is an Indonesian citizen, but there is no written evidence in the form of
residence documents that can be obtained for children from stateless person
parents. In the absence of written evidence, it is impossible to issue
passports for children, even though a passport ownership is one of the citizen
rights. This research uses a normative method, which examines legal provisions
and draws on legal principles that exist in society and what are the impacts
and consequences arising from these legal provisions in people's lives. From
the laws and regulations supporting the law, it can be seen that in Indonesia
it has been regulated regarding the citizenship status of children from
stateless person parents, but there are no rules in the form of laws or other
regulations that regulate the form of written residence documents or citizenship
for this kind of condition. In the absence of these documents, the procedure
for issuing a passport cannot be fulfilled, so that the fulfillment of a
person's right to have a passport cannot be carried out.
Keywords:
Law Number 12 Year 2006; Indonesian Citizen; �Passport Issuance
Pendahuluan
Negara merupakan suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat yang dengan tata pemerintahan melaksanakan tata-tertib atas suatu
umat di suatu daerah tertentu, bagaimana bentuk dan coraknya, negara selalu merupakan organisasi kekuasaan, organisasi kekuasaan ini selalu
mempunyai tata pemerintahan,
dan tata pemerintahan ini selalu melaksanakan tata tertib atas suatu
umat/rakyat di daerah tertentu (Tutik & SH, 2016) Umat atau rakyat yang terdapat di daerah tertentu tersebut dapat disebut sebagai warga negara. Dalam konstitusi Indonesia warga negara
diatur dalam Undang-Undang Dasar Pasal 26 Ayat
(1) yang artinya orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa
lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Selain itu isi Pasal
dalam Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 26 Ayat (1) tersebut
tertuang kembali pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.
Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu
negara. Status kewarganegaraan menimbulkan
hubungan timbal balik antara warga negara dengan negaranya. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Status kewarganegaraan
seseorang merupakan suatu hal yang sangatlah penting. Dalam kewarganegaraan seseorang memegang peranan dalam bidang
hukum publik. Dalam hubungan antar negara dan perseoranganlah diperlihatkan betapa pentingnya status kewarganegaraan
seseorang. Seseorang termasuk warga negara atau warga negara asing besar konsekuensinya
dalam kehidupan publik ini. Kewarganegaraan
merupakan keanggotaan suatu negara, secara sederhana dapat diumpamakan negara merupakan suatu perkumpulan atau organisasi tertentu. Suatu organisasi tentunya memerlukan orang-orang yang dapat
dipandang merupakan inti dari suatu organisasi
tersebut. Setiap organisasi harus mempunyai anggota. Demikianlah sebuah negara perlu juga memiliki anggota. Anggota dari negara dapat disebut dengan warga negara.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 merupakan undang-undang yang memberi definisi mengenai warga negara dan kewarganegaraan. Warga negara adalah warga suatu
negara yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Kewarganegaraan mempunyai definisi yang berbeda dengan warga negara dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Kewarganegaraan adalah segala hal ikhwal
yang berhubungan dengan warga negara.� Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh undangundang tersebut memang definisi dari warga
negara dan kewarganegaraan berbeda
tetapi satu sama lain memiliki keterkaitan tetapi memiliki perbedaan hak dan kewajiban. Kewarganegaraan adalah suatu persoalan pokok yang mendasar tentang bagaimana seseorang hidup sebagai warga negara pada suatu negara tertentu dimana pada masingmasing negara memiliki aturan hukum masing-masing (Marliyanto & Indrayati, 2011). Hak dan kewajiban seseorang atas kewarganegaraanya akan terus terikat
selama seseorang tersebut masih mempunyai status sebagai warga negara suatu negara tertentu dimanapun ia berada baik
ketika ia di dalam wilayah negara aslinya atau ketika tinggal
di wilayah negara lain (Kusnardi & Ibrahim, 1983)
Orang yang disebut sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) didefinisikan
dalam Pasal 4 Undang-Undang 12 Tahun 2006. WNI
dan Warga Negara Asing (WNA)
yang ada di Indonesia disebut
juga penduduk. Salah satu bentuk bukti kependudukan
adalah dengan kewajiban kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi WNI dan WNA pemegang Izin Tinggal Tetap
(ITAP) yang telah berumur
17 tahun. Bentuk administrasi kependudukan lainnya dapat berupa
surat keterangan tempat tinggal, kutipan akta kelahiran,
kutipan akta kematian, kutipan akta perkawinan, kutipan akta perceraian,
kutipan akta pengakuan anak dan kutipan akta pengesahan
anak.
Berkaitan dengan hal tersebut
kemudian timbul permasalahan yakni mengenai status anak yang lahir di Republik Indonesia tetapi pada waktu lahir tidak jelas
status kewarganegaraan ayah dan ibunya
serta orang tua yang tidak mempunyai kewarganegaraan sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 Huruf I dan Huruf K Undang-Undang 12 Tahun 2006. Persoalan tanpa kewarganegaraan seseorang seharusnya dapat diatasi dengan berbagai instrumen. Instrumen yang dapat digunakan salah satunya adalah instrumen hukum. Intrumen hukum tersebut dapat berbentuk konvensi internasional yang secara khusus membahas
persoalan tanpa keweraganegaraan ataupun melalui aturan hukum nasional suatu negara hasil ratifikasi konvensi internasional yang dimaksud.
Salah satu kasus nyata yang terjadi adalah mengenai etnis rohingnya di Myanmar.
Negara Myanmar adalah tempat
tinggal bagi etnis rohingnya. Etnis ini adalah
etnis beragama Islam dan telah mendiami kota di utara negara bagian Rakhiang. Pemerintah Myanmar mengakui etnis Rohingya sebagai orang
Bengali (Bangladesh) yang tinggal di Myanmar bukan sebagai salah satu etnis dari
135 etnis Uni Myanmar (I. D. Rismayanti, 2009). Kemudian setelah diberlakukannya Burma Citizenship Law 1982, yang menyatakan bahwa etnis Myanmar tidak termasuk salah satu etnis yang diakui Myanmar sebagai warga negara, maka etnis rohingnya
kehilangan kewarganegaraannya
dengan tidak diakuinya kewarganegaraan mereka. Tidak diakuinya
kewarganegaraan etnis rohingnya, maka etnis tersebut dapat dianggap sebagai orang-orang tanpa kewarganegaraan (Stateless
Persons). Stateless Persons menurut Black�s Law
Dictionary berdasarkan hukum
internasional adalah A natural person who is not considered a
nation by any country (Orang yang tidak dianggap sebagai bangsa oleh negara mana pun) (Bowen et al., 2009)
Dengan begitu secara hukum,
orang Rohingya tidak mendapatkan
hak yang sama dengan warga Myanmar lainnya. Sejalan dengan kebijakan tersebut, Pemerintah Myanmar memberlakukan berbagai pembatasan di bidang ekonomi, sosial dan politik bagi etnis
Rohingya. Fakta lainnya adalah
dari hasil penyelidikan diketahui bahwa mereka meninggalkan
Myanmar untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik di negara lain atau dengan kata lain faktor ekonomilah yang menjadi motif pendorong utama (D. Rismayanti, 2009) Pencarian suaka dan kegiatan pengungsian dilakukan oleh etnis rohingnya ke negara-negara sekitar
Beberapa etnis rohingya telah berada di negara Thailand,
Malaysia dan juga Indonesia. Status Stateless
Persons yang disandang oleh para pencari suaka dari
etnis rohingnya menjadi suatu hal
yang patut menjadi perhatian karena pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan pada Pasal 4 Huruf� I dan K yang
pada pokoknya menyatakan bahwa WNI adalah anak yang lahir di wilayah negara
Republik Indonesia yang pada waktu
lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah
dan ibunya, atau apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya. Hal tersebut berkaitan dengan, apabila para pencari suaka seperti etnis
rohingnya tersebut mencari suaka di Indonesia dan mereka mempunyai anak yang dilahirkan di wilayah Republik Indonesia. Menurut Pasal 4 Huruf i dan k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, anak tersebut merupakan WNI. Akan tetapi dalam peraturan-peraturan
di Indonesia yang berkaitan dengan
kependudukan, tidak ada aturan atau
hukum yang mengatur mengenai bagaimana dokumen kependudukan yang dapat diperoleh kepada seorang anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia tetapi memiliki ayah dan ibu (orang tua) yang memiliki status Stateless Person. Dikarenakan
tidak adanya aturan yang mengatur dokumen kependudukan bagi anak yang lahir di wilayah Republik
Indonesia yang memiliki orang tua
berstatus Stateless
Person, maka anak tersebut juga tidak dapat memenuhi persyaratan untuk dapat membuat paspor.
Padahal dalam prosedur penerbitan paspor dokumen kependudukan sangat diperlukan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri
Hukum dan Ham Nomor 8 Tahun
2014 setidaknya disebut syarat permohonan paspor harus melampirkan
dokumen persyaratan beberapa diantaranya yaitu, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akta Kelahiran. Beberapa persyaratan penerbitan paspor tersebut merupakan bentuk dokumen yang menjadi bukti kependudukan
Metode Penelitian
Jenis penelitian
yang dipergunakan adalah metode normatif, yaitu mengkaji ketentuan-ketentuan hukum dan menarik asas-asas hukum yang ada dalam masyarakat serta apa dampak
dan akibat yang timbul dari ketentuan hukum tersebut dalam kehidupan masyarakat (Soekanto, 2006) dengan menggunakan sumber data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
serta bahan hukum tersier yang dikumpulkan dengan tenik kepustakaan. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif yang bersifat deskriptif (Soekanto,
2006)
Hasil dan Pembahasan
a.
Status hukum
anak dari orang tua berstatus stateless yg lahir di Indonesia
Salah satu
definisi dari negara adalah asosiasi
tertinggi manusia yang ada di suatu wilayah tertentu, memiliki pemerintahan sah
dan berdaulat, memiliki sistem dan aturan yang berlaku bagi seluruh
masyarakatnya, serta berdiri secara independent. Terdapat 4 (empat) syarat yang
harus dipenuhi untuk berdirinya suatu negara, salah satunya adalah adanya
rakyat yang memiliki makna sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu
persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Fungsi dari negara
adalah memberikan suatu kepastian hukum bagi rakyatnya atau bagi warganya.
Definisi kepastian dapat diartikan bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap
penerapan hukum dalam masyarakat agar tidak menyebabkan banyak salah
tafsir� (Wijayanta, 2014).
Kewarganegaraan
seseorang merupakan salah satu bentuk pemberian atau implementasi negara
terhadap prinsip kepastian hukum. Kewarganegaraan seseorang memiliki peran
penting dalam bidang hukum publik. Hubungan antara negara dan individu yang
menunjukkan pentingnya status kewarganegaraan seseorang. Apakah seseorang
adalah warga negara atau orang asing memiliki konsekuensi besar dalam kehidupan
publik ini. Kebangsaan adalah keanggotaan suatu negara. Sederhananya, negara
adalah asosiasi atau organisasi tertentu. Suatu organisasi tentu membutuhkan
orang yang dapat dilihat sebagai inti dari suatu organisasi. Setiap organisasi
harus memiliki anggota. Dengan demikian suatu negara juga harus memiliki
anggota. Anggota negara dapat disebut warga negara.
Mengenai
status kewarganegaraan itu sendiri merupakan suatu bentuk hak dari setiap orang
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (Indonesia, 2002) pada Pasal
28D Ayat (4).
Dengan adanya hak atas kewarganegaraan tersebut maka negara mempunyai
kewajiban untuk melindungi setiap orang sebagai warga negaranya dan menjamin
perlindungan atas hak-hak lainnya yang dimiliki seorang warga negara. Penentuan kewarganegaraan
seseorang ditentukan oleh 2 (dua) asas yaitu Ius Sangunis (hukum
darah) yang didasarkan pada keturunan atau tidak berdasarkan
tempat lahir dan Ius Soli (hukum tanah) yang didasarkan
pada negara kelahiran yang tidak
dipengaruhi oleh kewarganegaraan
orang tuanya.
Peraturan yang mengatur tentang kewarganegaraan di
Indonesia adalah Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006. Undang- undang ini menganut asas Ius Soli (hukum tanah)
terbatas, artinya kewarganegaraan ditentukan berdasarkan tempat kelahiran
tetapi diperuntukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
oleh undang-undang. Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 menyatakan WNI adalah
orang-orang Bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara.
Status kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh
melalui beberapa cara. Seseorang dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yaitu
(1) Atas dasar kelahiran yang tercermin dalam Pasal 4 Huruf b, Huruf c, Huruf
d, Huruf e, Huruf f, Huruf g, Huruf i, Huruf j, Huruf k, Huruf l; (2) Mengajukan
permoho nan Pewarganegaraan (Naturalisasi) yang tercermin dalam Pasal 8 sampai
dengan Pasal 18;
(3) Anak WNA yg diangkat anak oleh orang tua WNI yang tercermin dalam Pasal
21 Ayat (2); Menyampaikan
pernyataan yang tercermin dalam Pasal 19; dan Pemberian Kewarganegaraan kepada orang asing yang
berjasa kepada Negara Republik Indonesia atau dengan alasan
kepentingan Negara yang tercermin dalam Pasal 20; dan Mendaftarkan diri untuk
memperoleh WNI yang tercermin dalam Pasal 41 dan Pasal 42.
Untuk menjadi WNI dapat terjadi secara otomatis (karena keturunan
atau karena tempat kelahiran Indonesia) dan dapat terjadi karena
pewarganegaraan (permohonan dan pemberian). Dengan kewarganegaraan otomatis
artinya seseorang dapat menjadi warga negara dengan sendirinya secara otomatis, yang menjadi
WNI secara
otomatis ini dibagi dua yakni karena sudah memiliki status itu dan karena
kelahiran. WNI terdiri
atas 2 (dua) macam, yaitu Warga
negara by Operation Law atau Stelsel
Pasif yang memperoleh kewarganegaraan dengan berlakunya suatu ketentuan
tertentu
dan Warga negara by Registration atau
Stelsel Aktif yaitu warga negara asing yang memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia melalui Naturalisasi (pewarganegaraan).
Setiap WNI harus
memiliki bukti kependudukan. Bukti kependudukan tersebut dimulai dari
pencatatan kelahiran WNI
yang merujuk pada Pasal 33 Peraturan Presiden Nomor 96
Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil.
Penentuan status kewarganegaraan di Indonesia
terdapat suatu anomali, dimana status kewarganegaraan seseorang tersebut telah
diatur dalam undang-undang tetapi negara dalam hal ini tidak dapat memberikan
suatu kepastian terhadap status kewarganegaraan tersebut. Anomali tersebut
yakni pemberian status kewarganegaraan bagi anak yang lahir diwilayah Republik
Indonesia, tetapi memiliki orang tua berstatus stateless person. Stateless
person adalah istilah hukum mengenai hilangnya kewarganegaraan, atau tidak
adanya hubungan pengakuan antara individu dan negara. Stateless person juga dapat diartikan sebagai sebuah kondisi dimana
seseorang tidak diakui sebagai warga negara di setiap negara yang ada di dunia (Weis, 1961).
Status stateless
person dalam hal ini berkaitan dengan dengan para pencari suaka dari etnis
Rohingya. Etnis Rohingya kehilangan status kewarganegaraannya karena negara
Myanmar tidak menganggap etnis Rohingya sebagai salah satu dari 135 etnis Uni
Myanmar, karena hal itu menyebabkan etnis Rohingya melakukan pencarian suaka
dan kegiatan pengungsian ke negara-negara sekitar salah satunya ke Indonesia.
Kedatangan etnis Rohingya ke Indonesia untuk mencari suaka tidak menutup
kemungkinan mereka untuk memperoleh anak. Anak yang lahir tersebut walaupun
dilahirkan dari orang tua berstatus stateless
merupakan Warga Negara Indonesia. Pendapat penulis didukung oleh Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 pada Pasal 4 Huruf i dan k. Unsur
esensial dalam ketentuan di Pasal tersebut yaitu ketidakjelasan status
kewarganegaraan atau tanpa kewarganegaraan orang tua dari anak yang lahir di
wilayah Indonesia. Selain itu, hal tersebut juga didukung oleh asas cara
memperoleh kewarganegaraan di Indonesia yaitu berdasarkan tempat kelahiran (Ius Soli) dan berdasarkan teori, anak
tersebut memperoleh kewarganegaraannya dengan cara Operation Law atau Stelsel Pasif yang memperoleh kewarganegaraan
dengan berlakunya suatu ketentuan tertentu yang dalam hal ini kelahiran anak
tersebut dikualifikasikan sebagai WNI diatur
dalam Undang-Undang
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pada Pasal 4 Huruf i dan k (I. D. Rismayanti, 2009).
Akan tetapi dengan kedatangan pencari suaka dengan
status stateless person seperti etnis
Rohingya ke Indonesia membawa suatu hal yang dilematis karena apabila para
pencari suaka etnis Rohingya ini memiliki anak yang lahir di Indonesia maka
anak tersebut merupakan WNI berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada Pasal 4 Huruf i dan k, tetapi negara
belum dapat memberikan suatu kepastian hukum mengenai status anak tersebut
sebagai WNI karena
tidak ada peraturan perundang-undangan ataupun aturan dibawahnya yang mengatur
bagaimana bukti kependudukan dalam bentuk dokumen tertulis yang
menyatakan bahwa anak dari orang tua berstatus stateless yang lahir di Indonesia tersebut benar-benar secara sah
dan meyakinkan merupakan WNI walaupun
secara undang-undang, asas, maupun teori anak tersebut merupakan WNI.
Anak yang lahir dari orang tua berstatus stateless hanya sah secara undang-undang
tetapi tidak sah secara administrasi kependudukan karena apabila mengacu pada
Pasal 33 Ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96
Tahun 2018 menyatakan bahwa pencatatan kelahiran WNI harus
memenuhi syarat, yaitu surat keterangan kelahiran, buku nikah/kutipan akta
perkawinan, kartu keluarga, dan KTP-elektonik dimana hal tersebut tidak dapat
dipenuhi oleh orang-orang dengan status stateless
person karena tidak memiliki KTP ataupun kartu keluarga. Selain itu,
mengacu pada Pasal 33 Ayat (5) Peraturan Presiden Nomor 96
Tahun 2018 apabila orang berstatus stateless
person dianggap sebagai orang asing maka pencatatan kelahiran anaknya di
Indonesia harus memenuhi syarat, yaitu surat keterangan lahir, dokumen
perjalanan, KTP-elektronik atau izin tinggal tetap atau kartu izin tinggal
terbatas atau visa kunjungan, hal tersebut juga akan sulit dipenuhi karena
mengingat orang berstatus stateless
person yang datang ke Indonesia seperti pengungsi dari etnis Rohingya tidak
memiliki dokumen perjalanan ataupun izin tinggal di Indonesia (El-Sakka, 2016)
Akibat terbenturnya syarat formal yang telah
ditentukan tersebut maka anak dari orang tua berstatus stateless yang lahir di Indonesia tersebut lahir tanpa kejelasan,
tidak ada bukti tertulis yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan WNI dengan
bukti sekurang-kurangnya berbentuk akta kelahiran atau dokumen lain yang berisi
pernyataan bahwa anak tersebut adalah WNI. Penerapan Pasal 4 Huruf i dan k Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 belum terdapat suatu aturan khusus atau prosedur perolehan
kewarganegaraan bagi kasus seperti ini. Dalam hal ini negara harus dapat
memberikan kepastian hukum mengenai status kewarganegaraan anak yang lahir di
Indonesia dengan orang tua berstatus stateless
karena kepastian status kewarganegaraan seseorang di Indonesia merupakan
suatu hak yang dijamin dan tertuang dalam Undang- Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 (Marliyanto &
Indrayati, 2011)
b.
Prosedur
penerbitan paspor terhadap pemenuhan hak bagi anak dari orang tua berstatus stateless
Berdasarkan Pasal 24
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Kusuma, 2014) Dokumen Perjalanan Republik Indonesia terdiri atas Paspor
dan Surat Perjalanan Laksana
Paspor. Berdasarkan pengertian KBBI, Paspor adalah surat keterangan
yang dikeluarkan oleh pemerintah
untuk seorang warga negara yang akan mengadakan perjalanan ke luar negeri. Sedangkan Paspor menurut Pasal 1 Ayat (16) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia kepada WNI untuk
melakukan perjalanan antar negara yang berlaku selama jangka waktu tertentu (Hikmah, 2017)
Permohonan paspor Republik Indonesia hanya dapat
diajukan oleh WNI baik yang
berada di wilayah Indonesia maupun diluar wilayah Indonesia. Paspor sebagai
dokumen resmi suatu negara merupakan keterangan autentik bagi pemegangnya dan
dapat dipertanggungjawabkan kebenaran data-data yang ada di dalamnya. Sebagai
dokumen resmi paspor berfungsi sebagai Surat Perjalanan antar negara yang
memiliki fungsi utamanya sebagai identitas pemegangnya yang berarti dengan
memperlihatkan paspornya, seseorang akan dikenal siapa dia, seperti,
kebangsaannya, umurnya, kadang-kadang tertera tinggi badan, warna kulit, alamat
dan keterangan lain dari pemegang paspor tersebut. Pasal 25 Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2011 menjelaskan bahwa Paspor terdiri dari Paspor Diplomatik, Paspor Dinas, dan Paspor Biasa (Alwasilah, 2002).
Bentuk paspor yang umum dimiliki oleh WNI adalah
paspor biasa. Permohonan penerbitan paspor biasa dapat diajukan oleh WNI di wilayah
Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Pasal
49 dan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 8 Tahun 2014
tentang Paspor Biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor Pasal 4 Ayat (1),
permohonan paspor dilakukan di Kantor Imigrasi maupun di kantor perwakilan
Indonesia yang berada di luar negeri dengan melampirkan dokumen persyaratan
sebagai berikut:
1. Kartu tanda penduduk yang masih berlaku;
2. Kartu keluarga;
3. Akta kelahiran, akta perkawinan atau buku nikah,
ijazah, atau surat baptis
4. Surat pewarganegaraan Indonesia bagi Orang Asing
yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui pewarganegaraan atau
penyampaian pernyataan untuk memilih kewargangeraan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan;
5. Surat penetapan ganti nama dari pejabat yang
berwenang bagi yang telah mengganti nama;
6. Paspor biasa lama, bagi yang telah memiliki paspor
biasa.
Disamping
itu, dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 8 Tahun
2014 dinyatakan persyaratan permohonan paspor bagi anak-anak dapat diajukan
dengan melengkapi dokumen sebagai berikut:
1. Kartu tanda penduduk ayah atau ibu yang masih
berlaku;
2. Kartu keluarga;
3. Akta kelahiran atau surat baptis;
4. Akta perkawinan atau buku nikah orang tua;
5. Surat penetapan ganti dari pejabat yang berwenang
bagi yang telah mengganti nama;
6. Paspor biasa lama bagi yang telah memiliki paspor
biasa;
Selanjutnya
dalam kelengkapan persyaratan pada akta kelahiran, akta perkawinan atau buku nikah,
ijazah, atau surat baptis harus memuat nama, tanggal lahir, tempat lahir, dan
nama orang tua. Berdasarkan peraturan-peraturan yang telah disampaikan mengenai
prosedur penerbitan paspor, pada saat ini prosedur penerbitan paspor untuk memperoleh
paspor Republik Indonesia bagi anak dari orang tua berstatus stateless masih belum ada. Padahal
aturan semacam ini sangat diperlukan di Indonesia mengingat dalam dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 pada Pasal 4 Huruf i dan k yang pada pokoknya menyatakan
bahwa anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu
lahir ayah dan ibunya tidak jelas status kewarganegaraan atau tidak mempunyai
kewarganegaraan juga merupakan WNI. Pernyataan
kewarganegaraan Indonesia oleh undang-undang tersebut tidak berbanding lurus
dengan fakta yang ada sebenarnya, dalam hal ini menyangkut peraturan-peraturan
lain yang berkaitan dengan status kewarganegaraan seseorang. Hal tersebut
terlihat dari tidak adanya aturan mengenai prosedur penerbitan paspor untuk
anak dari orang tua berstatus stateless,
dimana semua orang yang
menjadi WNI dijamin
hak-haknya oleh negara termasuk haknya untuk memiliki paspor.
Timbulnya
kekosongan ini berkaitan juga dengan tidak adanya satupun produk hukum yang
mengatur prosedur pemberian status WNI dengan bukti dokumen tertulis bagi anak yang lahir
di Indonesia dari orang tua berstatus stateless
padahal, secara undang-undang anak tersebut merupakan WNI sehingga
mengakibatkan tidak adanya instrumen untuk menempatkan status seorang anak yang
lahir di Indonesia dengan orang tua berstatus stateless tersebut sebagai WNI melalui asas Ius
Soli terbatas. Tidak adanya bukti dokumen tertulis tersebut yang kemudian
membuat tidak dimungkinkannya dilakukan penerbitan paspor bagi anak yang lahir
di Indonesia dengan orang tua yang berstatus stateless tersebut, dimana dokumen tertulis kependudukan atau
kewarganegaraan seseorang sangat dibutuhkan dalam pemenuhan syarat penerbitan
paspor (Marliyanto & Indrayati, 2011)
Menurut
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 8 Tahun 2014 tentang Paspor
Biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor, syarat-syarat untuk penerbitan
paspor untuk anak-anak yaitu dengan melengkapi dokumen yakni, kartu tanda
penduduk ayah atau ibu yang masih berlaku, kartu keluarga, akta kelahiran dan
lain- lain dimana dokumen-dokumen persyaratan tersebut merupakan dokumen
kependudukan yang berisi identitas diri yang didalamnya terdapat informasi
kewarganegaraan seseorang. Beberapa dokumen yang dipersyaratkan untuk dapat
diterbitkannya paspor tersebut tidak dapat dipenuhi oleh anak dari orang tua
berstatus stateless tersebut karena Negara Republik Indonesia tidak memiliki
instrument yang mengatur untuk penerbitan dokumen tertulis tersebut bagi orang
dengan status stateless dan juga anak
dari orang yang berstatus stateless tersebut
(Garner, 2009)
Peristiwa
hukum kewarganegaraan bagi anak yang lahir di Indonesia dengan orang tua
berstatus staleless person seperti
anak dari orang tua beretnis Rohingya yang lahir di Indonesia merupakan suatu
peristiwa hukum yang baru. Tidak adanya instrumen yang mengatur hal tersebut
menimbulkan tidak berjalannya asas kepastian hukum, padahal asas kepastian
hukum itu sendiri dijamin oleh negara. Kasus khusus seperti ini memerlukan
suatu aturan khusus, jika masih berdasarkan tata cara, prosedur dan persyaratan
perolehan paspor terdahulu, maka pihak Imigrasi tidak dapat menerbitkan paspor
bagi anak etnis Rohingya yang lahir di Indonesia padahal anak tersebut
berdasarkan Undang-undang Kewarganegaraan Indonesia merupakan WNI yang
memiliki hak yang sama dengan WNI lainnya,
salah satu haknya yaitu memiliki paspor (Hikmah, 2017)
Kesimpulan
Status kewarganegaraan anak dari orang tua
berstatus stateless yang lahir di
Indonesia hanya sah secara peraturan undang-undang tetapi tidak sah secara
administrasi kependudukan. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya peraturan
perundang-undangan atau aturan lain dibawahnya yang mengatur mengenai bukti
kependudukan dalam bentuk dokumen tertulis yang menyatakan bahwa anak dari orang
tua berstatus stateless yang lahir di
Indonesia tersebut benar-benar secara sah dan meyakinkan merupakan WNI. Kekosongan hukum tersebut menimbulkan
ketidakpastian hukum mengenai status kewarganegaraan seseorang yang dijamin oleh
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28D. Selain itu, Prosedur penerbitan paspor dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan saat ini terhadap pemenuhan hak untuk memperoleh
paspor Republik Indonesia bagi anak dari orang tua berstatus stateless masih belum ada.
BIBLIOGRAFI
Alwasilah, A. C.
(2002). Pokoknya kualitatif:
Dasar-dasar merancang dan melakukan penelitian kualitatif. Pustaka jaya.Google Scholar
Bowen,
S., Chawla, N., Collins, S. E., Witkiewitz, K., Hsu, S., Grow, J., Clifasefi,
S., Garner, M., Douglass, A., & Larimer, M. E. (2009). Mindfulness-based
relapse prevention for substance use disorders: A pilot efficacy trial. Substance Abuse, 30(4), 295�305. Google Scholar
El-Sakka,
S. M. F. (2016). Self-Regulated Strategy Instruction for Developing Speaking
Proficiency and Reducing Speaking Anxiety of Egyptian University Students. English Language Teaching, 9(12), 22. Google Scholar
Garner,
B. A. (2009). Black Law Dictionary,
United State America: Thomson Reuters. West Publishing Co. Google Scholar
Hikmah,
M. (2017). Sudah Saatnya Indonesia Memiliki Kodifikasi Hukum Perdata
Internasional. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 33(2),
300�305. Google Scholar
Indonesia,
R. (2002). Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR RI. Google Scholar
Kusnardi,
M., & Ibrahim, H. (1983). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti. Google Scholar
Kusuma,
N. M. W. (2014). Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Mengenai Tanggung Jawab
Penjamin Atas Keberadaan dan Kegiatan Orang Asing di Bali. Udayana
University. Google Scholar
Marliyanto,
R., & Indrayati, R. (2011). Analisis
Yuridis Status Kewarganegaraan terhadap Orang yang Tidak Memiliki
Kewarganegaraan (Stateless) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Google Scholar
Rismayanti,
D. (2009). Analisis Portofolio Kredit
(Konsumtif dan Produktif) Dan Pengaruhnya Terhadap Laba (Studi Kasus PT Bank X
Tbk). Google Scholar
Rismayanti,
I. D. (2009). Manusia Perahu Rohingya: Tantangan Penegakan HAM di ASEAN. Opinio Juris, 16. Google Scholar
Soekanto,
S. (2006). Pengantar penelitian hukum.
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Google Scholar
Tutik,
T. T., & SH, M. H. (2016). konstruksi
hukum tata negara Indonesia pasca amandemeTutik, T. T., & SH, M. H. (2016).
konstruksi hukum tata negara Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Prenada Media.n
UUD 1945. Prenada Media. Google Scholar
Weis,
P. (1961). The convention relating to the status of stateless persons. International & Comparative Law
Quarterly, 10(2),
255�264. Google Scholar
Wijayanta,
T. (2014). Asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam kaitannya
dengan putusan kepailitan pengadilan niaga. Jurnal Dinamika Hukum, 14(2),
216�226. Google Scholar
Oktinardo Mandira Dulage Kansil, Hedwig Adianto Mau,
Mardi Candra (2022) |
First publication right: |
This article is licensed under: |