Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X

Vol. 4, No. 9, September 2022

 

STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIANJUR NOMOR 1808/PDT.G/2018/PA.CJR TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN DIKARENAKAN PEMALSUAN AKTA CERAI

 

Elsa Nurjanah, Djanuardi, Sherly Ayuna Putri

Universitas Padjadjaran

Email:[email protected][email protected], [email protected]

 

Abstrak

Perceraian merupakan putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri. Suatu perceraian harus adanya alasan yang kuat antara suami dan istri tidak dapat rukun kembali sebagai suami istri. Dalam Pasal 65 Undang-Undang Peradilan Agama menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Salah satu kasus dalam Putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr yang mana Penggugat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan terhadap perkawinan Tergugat I dan Tergugat II yang menggunakan akta cerai palsu karena Tergugat I tidak pernah melakukan persidangan perceraian di Pengadilan Agama Cianjur dengan Penggugat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan pembatalan perkawinan karena pemalsuan akta cerai dan akibat hukum dari pembatalan perkawinan.

 

Kata Kunci: Pembatalan Perkawinan; Perceraian, Akta Cerai Palsu

 

Abstract

Divorce is the breakdown of the marital relationship between husband and wife. A divorce must have a compelling reason that husband and wife cannot get along again as husband and wife. In Article 65 of the Law on Religious Courts it is asserted that divorce can only be carried out before a Court hearing after the Court concerned has tried and unsuccessfully reconciled the two parties. One of the cases in the Cianjur Religious Court Number 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr where the Plaintiff filed a marriage annulment suit against the marriage of Defendant I and Defendant II who used the fake divorce certificate because Defendant I had never conducted a divorce trial in the Cianjur Religious Court with the Plaintiff. This study aims to determine the validity of marriage annulment because the forgery of divorce certificates and the legal consequences of marriage annulment against.

 

Keywords: Marriage Annulment, Divorce, Fake Divorce Certificate

 

 

 

Pendahuluan

Manusia sebagai makhluk yang telah diberikan cipta, rasa, dan karsa oleh Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, untuk dapat melanjutkan keturunan, manusia mewujudkan hal tersebut melalui perkawinan yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka perkawinan ditempatkan dalam posisi yang penting dan sakral. Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan atas kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diakui sah, akan tetapi sebagai proses kodrat hidup manusia (Isis Ikhwansyah, 2018, p.1-2).

Supaya tidak terjadinya perkawinan yang menyimpang maka pemerintah Republik Indonesia mengatur masalah perkawinan dalam sebuah aturan tertulis yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan), Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 (selanjutnya disebut Kompilasi Hukum Islam), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan (selanjutnya disebut PP Nomor 9 Tahun 1975), dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 (selanjutnya disebut Undang-Undang Peradilan Agama).

Hukum Islam memuat hal-hal pokok yang sifatnya kejiwaan, kerohanian, kehidupan lahir batin, dan kemanusiaan. Perkawinan juga didasarkan pada nilai-nilai keagamaan dengan memenuhi keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Santoso, 2016, p.413). Menurut Hukum Islam, perkawinan merupakan akad antara calon istri dengan calon suaminya. Akad nikah harus diucapkan oleh wali dari pihak wanita dengan jelas berupa ijab dan qabul oleh calon suami yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat (Hilman Hadikusuma, 2007, p.6). Melangsungkan perkawinan berarti melaksanakan ibadah sebagaimana dituangkan dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa:

�Perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah�.

Berdasarkan Hukum Islam, perkawinan merupakan ibadah, yaitu dengan mempertalikan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam ikatan sah. Perkawinan tersebut menjauhkan dan memelihara diri dari perbuatan zina. Perkawinan bagi orang yang beragama Islam diatur dalam Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam. (Nasution, 2013, p.139).

Adapun ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang Perkawinan yakni berdasarkan pada aspek formal dan aspek agama. Aspek formal berkaitan dengan administratif yakni pencatatan perkawinan, sementara pada aspek agama menentukan keabsahan suatu perkawinan (Nahdiyanti, 2021, p.151). Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa:

�Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa�.

Keabsahan suatu perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa:

�Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya�.

Perceraian dalam istilah umum merupakan putusnya hubungan atau ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, sementara dalam Hukum Islam, perceraian dikenal dengan talak yang berarti melepaskan tali perkawinan atau mengakhiri hubungan suami istri. Talak maupun cerai gugat bukanlah suatu larangan, akan tetapi apabila suatu perkara tidak dapat diselesaikan melalui cara kekeluargaan oleh para pihak yang berperkara (Abror, 2020, p.23-24). Untuk itu, jalan terakhir adalah dengan meminta bantuan Pengadilan Agama untuk mengajukan permohonan maupun gugatan perceraian. Suatu perkawinan dapat dilakukan perceraian, apabila adanya hal-hal yang diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa:

�Putusnya suatu perkawinan dapat terjadi karena adanya kematian, perceraian, dan putusan pengadilan�.

Prosedur perceraian di Pengadilan Agama diatur dalam Undang-Undang Peradilan Agama sebagai berikut:

Pertama, permohonan cerai talak atau gugatan perceraian diajukan oleh suami, istri, atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon atau tergugat dengan disertai nama, umur, tempat kediaman pemohon atau penggugat maupun termohon atau tergugat, dan alasan dilakukannya perceraian.

Kedua, pada tahap pemeriksaan permohonan cerai talak atau gugatan perceraian dilakukan oleh majelis hakim paling lambat tiga puluh hari setelah berkas atau surat permohonan atau gugatan didaftarkan di Kepaniteraan dan pemeriksaan dilakukan secara tertutup.

Ketiga, setelah Pengadilan berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi berdamai dan telah cukup alasan perceraian, maka pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan dan putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Keempat, pada cerai talak setelah dilakukan penetapan, maka Pengadilan akan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan istri maupun wakilnya untuk menghadiri sidang. Suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya dan suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa dihadiri istri atau wakilnya.

Dalam kurun waktu enam bulan sejak ditetapkan hari sidang pengucapan ikrar talak, jika suami tidak datang menghadap sendiri atau tidak ada juga wakilnya, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan kembali dengan alasan yang sama. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Jika dikaitkan dengan kasus yang diambil oleh penulis adalah kasus pembatalan perkawinan dikarenakan adanya pemalsuan akta cerai. Dalam kasus ini, Penggugat dan Tergugat I merupakan pasangan suami istri yang melakukan perceraian melalui seseorang tanpa surat kuasa dan hanya memberikan sejumlah bayaran. Akibatnya, melanggar Pasal Pasal 65 Undang-Undang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa:

�Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak�.

Penggugat dan Tergugat I juga tidak pernah melakukan prosedur persidangan perceraian di Pengadilan Agama Cianjur, maka hal ini tidak sesuai dengan ketentuan prosedur perceraian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Peradilan Agama. Perceraian tersebut tidak sah, maka Penggugat dan Tergugat I masih terikat perkawinan oleh karena itu, Penggugat dan Tergugat I diberi akta cerai palsu oleh seseorang tersebut.

Pada tanggal 09 Mei 2018 Tergugat I menggunakan akta cerai palsu untuk melangsungkan perkawinan dengan Tergugat II dan mengaku sebagai janda cerai, akan tetapi Tergugat II tidak mengetahui mengenai akta cerai palsu tersebut. Setelah itu, Penggugat melakukan gugatan pembatalan perkawinan terhadap perkawinan Tergugat I dan Tergugat II disertai alasan bahwa perkawinan tersebut menggunakan akta cerai palsu dan Tergugat I mengaku sebagai janda cerai.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian berupa deskriptif analitis melalui data sekunder yang dilakukan melalui studi kepustakaan yakni peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dan teori-teori hukum. Metode analisis data yang digunakan adalah metode normatif kualitatif.

 

Hasil dan Pembahasan

1.      Keabsahan Pembatalan Perkawinan Dalam Putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr Dikarenakan Pemalsuan Akta Cerai Berdasarkan Hukum Islam dikaitkan dengan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Dalam Hukum Islam, perkawinan merupakan sebuah akad atau perjanjian yang sifatnya suci, kuat, dan kokoh untuk menghalalkan seorang pria dengan seorang wanita dalam membangun rumah tangga. Akad nikah harus memenuhi rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh syariat Islam. Perkawinan bertujuan untuk menciptakan rumah tangga yang rukun, penuh cinta, dan kasih sayang sehingga suami istri dapat menjalankan kehidupan rumah tangga sesuai dengan yang diperintahkan agama (Santoso, 2016, p.413).

Ketentuan perkawinan yang termuat dalam Undang-Undang Perkawinan didasarkan pada dua aspek yaitu, aspek formal dan aspek agama. Aspek formal berkaitan dengan administratif yakni pencatatan perkawinan, sedangkan aspek agama menentukan keabsahan suatu perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa:

�Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa�.

Pada frasa �berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa� artinya perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama, sehingga untuk menentukan keabsahan suatu perkawinan yaitu dengan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam agamanya masing-masing, sementara pencatatan perkawinan merupakan tindakan administratif agar perkawinan yang telah dilangsungkan diakui sah secara negara. Hal ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa:

�Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu�.

Ditegaskan bahwa bagi yang beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam, sementara bagi agama selain Islam berlaku hukum perkawinan yang diatur dalam agamanya. Dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa:

�Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan�.

Perkawinan menurut Hukum Islam dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan, serta tidak melanggar larangan-larangan perkawinan. Rukun perkawinan dalam Hukum Islam yakni adanya calon mempelai pria dan calon mempelai wanita, wali nikah bagi mempelai wanita, dua orang saksi laki-laki yang beragama Islam, ijab dan kabul yang harus terdengar jelas oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. (Hadikusuma, 2007, p.6), hal ini dituangkan ke dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam. Sahnya perkawinan sangat penting untuk menentukan kapan hubungan antara pria dan wanita menjadi halal, begitu pula dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam menjelaskan mengenai syarat-syarat perkawinan, yakni sebagai berikut:

1.      Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;

2.      Adanya izin kedua orang tua maupun wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun;

3.      Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun;

4.      Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak boleh dalam hubungan darah atau keluarga yang tidak boleh kawin;

5.      Salah satu pihak tidak sedang dalam ikatan perkawinan dengan orang lain;

6.      Bagi suami istri yang bercerai, kemudian kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, setelah itu kawin lagi untuk ketiga kalinya, asalkan agama dan kepercayaan mereka tidak melarang hal tersebut;

7.      Bagi calon mempelai wanita yang janda tidak sedang dalam waktu tunggu;

8.      Bagi yang beragama Islam, calon mempelai pria harus membayar mahar atau mas kawin kepada calon mempelai wanita, Islam tidak menentukan jumlah mahar namun mahar didasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan.

Suatu perkawinan dapat dibatalkan, apabila perkawinan yang dilangsungkan tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana ketentuan diatas, baik dari kedua belah pihak maupun dari salah satu pihak sebagaimana dalam Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa:

�Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan�.

Pembatalan dari kata batal yaitu menganggap tidak sah atau menganggap tidak pernah ada. Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang dilangsungkan dianggap sebagai peristiwa yang tidak sah atau dianggap tidak pernah ada serta perkawinan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hukum agama. Syarat yang mendasari permohonan pembatalan perkawinan tersebut harus terbukti benar, sehingga oleh hakim perkawinan tersebut akan dinyatakan batal dan perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.

Dengan demikian, bagi pihak yang mengetahui jika perkawinan yang telah dilangsungkan tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan dan mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan pada pengadilan yang berwenang menangani hal tersebut. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan juncto Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa:

1.      �Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;

2.      Suami atau isteri;

3.      Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

4.      Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus�.

Penggugat dalam putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr mengenai pembatalan perkawinan merupakan pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 huruf b Undang-Undang Perkawinan juncto Pasal 73 huruf b Kompilasi Hukum Islam. Pada pertimbangan putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr, perkawinan yang dilangsungkan oleh Tergugat I dan Tergugat II menggunakan akta cerai palsu dengan Nomor: xxx/AC/2016/PA/Msy.Cjr tertanggal 15 Maret 2016, karena perceraian Tergugat I dan Penggugat melalui seseorang tanpa diberi surat kuasa dan hanya memberikan sejumlah bayaran, serta tidak melalui proses persidangan perceraian di Pengadilan Agama Cianjur.

Perceraian pada dasarnya terjadi karena ketidakharmonisan dalam sebuah perkawinan. Suatu perceraian tidak akan terjadi apabila pasangan suami istri mempunyai ikatan lahir dan batin yang kuat satu sama lain, sehingga perceraian dipandang sebagai solusi terbaik agar terlepas dari ikatan perkawinan (Rais, 2014, p.200). Dalam Hukum Islam, perceraian dianggap sah apabila suami telah menjatuhi talak kepada istrinya. Al-Qur�an dan Hadits tidak mengatur mengenai pencatatan perceraian maupun perceraian harus dilakukan di hadapan sidang pengadilan. Berdasarkan pada ijtihad, perceraian menimbulkan mudarat maka proses perceraian diatur oleh Pemerintah. Hukum yang diterapkan atas dasar ijtihad ini dapat berubah sesuai dengan kondisi dan selama perubahan hukum tersebut demi kemaslahatan, serta tidak bertentangan dengan Al-Qur�an dan Hadits.

Dengan demikian, apa yang tidak diatur secara khusus dalam Al-Qur�an dan Hadist, dapat dibuat aturan yang mengharuskan kemaslahatan dan menghindari mudarat. Berdasarkan hal tersebut, maka pencatatan perceraian dapat diwajibkan untuk memberikan kemaslahatan karena perceraian yang tidak tercatat banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat (Abror, 2020).

Pada prinsipnya perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam dan hendak melakukan perceraian, haruslah melalui persidangan di Pengadilan Agama namun karena ketidaktahuan masyarakat akan proses persidangan perceraian di Pengadilan Agama, kerap kali terjadi pihak yang tidak berwenang mengeluarkan akta cerai palsu dengan memalsukan tanda tangan Panitera Pengadilan Agama. (Hasibuan & Siregar, 2020).

Perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II yang menggunakan akta cerai palsu, menurut Hukum Islam tidak dapat dibenarkan karena dengan sengaja memberikan keterangan atau surat palsu sehingga menimbulkan kemudaratan kepada Penggugat, Tergugat I, dan Tergugat II. Oleh karena itu perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II dipandang berdosa dan termasuk ke dalam perkawinan yang harus dibatalkan atau fasid sebagaimana diatur dalam Pasal 71 huruf b Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa:

�Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud�.

Perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II apabila dihubungkan dengan syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan juncto Pasal 40 huruf a Kompilasi Hukum Islam. Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa:

�Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini�.

Pasal 40 huruf a Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa:

�Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

a.       Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain�.

Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II yang menggunakan akta cerai palsu adalah dapat dibatalkan, karena tidak memenuhi syarat perkawinan yakni Tergugat I masih terikat perkawinan dengan Penggugat karena perceraian yang dilakukan Tergugat I dan Penggugat tidak melalui proses persidangan di Pengadilan Agama Cianjur. Suatu perceraian yang tanpa adanya penetapan atau putusan Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum. Sahnya perceraian harus dibuktikan dengan adanya akta cerai sebagai pengakuan negara terhadap putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri, sehingga sangat penting keberadaan akta cerai. Adapun tujuan dari akta cerai untuk mengetahui status pasangan yang akan melangsungkan perkawinan (Megawati, 2020, p.10) sebagaimana dalam Pasal 8 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: �Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak�.

Indonesia tidak mengenal perkawinan poliandri atau bersuami lebih dari satu, sehingga selama seorang istri yang masih terikat perkawinan dengan orang lain maka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi. Perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II dikategorikan sebagai poliandri atau bersuami lebih dari satu. Perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II bertentangan pula dengan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa:

�Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami�.

Jika Tergugat I ingin melangsungkan perkawinan lagi, maka perceraian dengan Penggugat harus dilakukan melalui proses persidangan di Pengadilan Agama Cianjur hingga diterbitkannya akta cerai sebagai bukti dari keabsahan perceraian antara Tergugat I dan Penggugat guna memenuhi syarat-syarat perkawinan selanjutnya.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis setuju dengan Putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr yang dalam pertimbangan hakimnya menyatakan bahwa Tergugat I statusnya masih mempunyai seorang suami dan masih terikat perkawinan dengan suami pertamanya yakni Penggugat, serta perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II yang tercatat dalam buku Akta Nikah dengan nomor 0229/12/V/2018 tertanggal 09 Mei 2018 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Cianjur Kecamatan Haurwangi Kabupaten Cianjur batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum telah sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan juncto Pasal 71 huruf b Kompilasi Hukum Islam.

  1. Akibat Hukum Dari Putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr Terhadap Penggugat dan Tergugat I serta Tergugat I dan Tergugat II Berdasarkan Undang-Undang Peradilan Agama dan Undang-Undang Perkawinan

Pasal 2 Undang-Undang Peradilan Agama menyatakan bahwa:

�Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuaksaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini�.

Pengadilan Agama mempunyai dua kewenangan yaitu kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Kewenangan absolut merupakan kekuasaan Pengadilan Agama berkaitan dengan jenis perkara yang ditentukan oleh undang-undang. Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama mengatur mengenai jenis perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama yakni perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah, oleh karena itu perkara pembatalan perkawinan termasuk ke dalam kewenangan Pengadilan Agama Cianjur.

Kompetensi relatif merupakan kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili suatu perkara berkaitan dengan wilayah atau tempat tinggal pihak yang berperkara (Hamami, 2003, p.106-107). Berdasarkan fotokopi KTP dan pengakuan Penggugat, Tergugat I, dan Tergugat II dalam persidangan bahwa Penggugat, Tergugat I, dan Tergugat II beragama Islam yang berdomisili di wilayah Kabupaten Cianjur, maka hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa:

�Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten�.

Pada putusan pembatalan perkawinan terhadap perkawinan Tergugat I dan Tergugat II oleh Pengadilan Agama Cianjur sebagaimana termuat dalam Putusan Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr tanggal 02 Agustus 2018 telah mengemukakan dalil-dalil sebagai berikut:

Penggugat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan tertanggal 03 Juli 2018 yang didaftarkan di Pengadilan Agama Cianjur dengan Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr dengan dalil bahwa Tergugat I dan Tergugat II menggunakan akta cerai palsu untuk melangsungkan perkawinan pada tanggal 09 Mei 2018 sebagaimana termuat dalam Kutipan Akta Nikah Nomor: 0229/12/V/2018 yang dicatat oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Haurwangi Kabupaten Cianjur.

Akta nikah merupakan bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan yang menjadi jaminan hukum apabila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan tindakan menyimpang (Yunus, 2020, p.23). Alat bukti dalam acara perdata diatur dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ Pasal 164 HIR, yang terdiri dari:

1.      �Bukti tulisan;

2.      Saksi;

3.      Persangkaan;

4.      Pengakuan;

5.      Sumpah�.

Alat bukti tertulis berisi mengenai keterangan suatu peristiwa, keadaan maupun hal-hal tertentu, bukti tertulis dapat berupa akta otentik dan akta dibawah tangan (Mantili & Afriana, 2015, p.44). Akta otentik diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ Pasal 165 HIR menyatakan bahwa:

�Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat�.

Menurut Sudikno Mertokusumo, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang oleh penguasa dan menurut ketentuan yang telah ditetapkan. Sementara akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat para pihak untuk menyatakan hal-hal yang menjadi kesepakatan para pihak tanpa melibatkan pejabat (Sinaga, 2015). Menurut R. Soebekti, akta merupakan tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti mengenai suatu peristiwa dan ditandatangani (Laurensius Arliman, 2015, p.26).

Dalam Pasal 1685 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ Pasal 163 HIR dapat disimpulkan bahwa, siapa yang mendalilkan atau mengemukakan suatu peristiwa atau kejadian, atau juga hak, maka kepadanya dibebankan kewajiban untuk membuktikannya. Asas ini merupakan asas umum mengenai pembuktian, karena siapa yang mengajukan dalil-dalil gugatannya, maka kepadanya dibebankan beban pembuktian (Manan, 2008, p.234), oleh karena itu pihak yang menanggung beban pembuktian dalam Putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr adalah Penggugat.

Tergugat I untuk melangsungkan perkawinan dengan Tergugat II menggunakan akta cerai palsu dengan Nomor: xxx/AC/2016/PA/Msy.Cjr tertanggal 15 Maret 2016. Akta cerai adalah akta otentik yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang setelah adanya putusan pengadilan, pejabat yang berwenang menerbitkan akta perceraian bagi yang beragama Islam adalah Panitera Pengadilan Agama dan bagi yang beragama selain Islam adalah kantor catatan sipil (Tutik, 2011, p.68).

Suatu akta tidak cukup apabila hanya dilihat dari akta itu dibuat atau di hadapan pejabat saja, melainkan harus dilihat dari segi prosedur pembuatan akta tersebut, apakah telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang. Akta otentik harus memenuhi dua syarat untuk dapat dijadikan alat bukti, sebagai berikut: (Manan, 2008, p.241-243)

1.      Syarat formil

a.    Bersifat partai, maksudnya akta tersebut dibuat atas kesepakatan sekurang-kurangnya dua pihak, dalam hal ini hanya hubungan hukum perjanjian jual beli, sedangkan akta otentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang tidak bersifat partai;

b.    Dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat yang berwenang;

c.    Sengaja dibuat akta tersebut untuk surat bukti;

d.   Memuat tanggal, hari, tahun pembuatan, dan ditandatangani oleh pejabat yang membuat; dan

e.    Mempunyai pembuktian yang sempurna dan mengikat.

2.      Syarat materiil

a.    Isi yang tercantum dalam akta otentik harus berkaitan dengan perkara yang disengketakan di pengadilan;

b.    Isi akta otentik tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum; dan

c.    Pembuatannya sengaja dipergunakan sebagai alat bukti.

Dalam hukum pembuktian, bukti tulisan atau surat merupakan alat bukti yang diutamakan apabila dibandingkan dengan alat bukti yang lain (Manan, 2008, p.240), maka akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat, sehingga akta tersebut tidak lagi memerlukan bukti tambahan dan hakim wajib mempercayai kebenaran apa yang tertulis di dalam akta tersebut selama tidak ada yang menyangkalnya. Pembuktian mengikat merupakan pembuktian antara para pihak, bahwa pada tanggal dan waktu yang tercantum dalam akta tersebut telah menghadap kepada pegawai berwenang dan menerangkan apa yang tercantum di dalam akta tersebut. Apabila ada yang menyangkal suatu akta otentik maka harus dibuktikan dengan bukti akta lain sebagaimana dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ Pasal 163 HIR yang menyatakan bahwa:

�Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu�.

Suatu akta otentik yang disangkal oleh pihak lawan, dengan menyatakan bahwa akta otentik tersebut adalah palsu atau cacat hukum, maka pihak yang menyangkal tersebut harus membuktikan sangkalannya (Manan, 2008, p.243). Dalam Putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr pihak yang menyangkal terhadap akta cerai Tergugat I adalah Penggugat, Penggugat menyatakan akta cerai yang digunakan Tergugat I untuk melangsungkan perkawinan dengan Tergugat II adalah palsu.

Akibat hukum dari akta cerai palsu yang digunakan Tergugat I berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah akta cerai tersebut tidak sempurna dan tidak mengikat Penggugat dan Tergugat I karena prosedur pembuatan akta cerai tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang, dimana akta cerai tidak dibuat atau dihadapan pejabat yang berwenang dan tidak menerangkan suatu perbuatan hukum yang sah, dalam hal ini perbuatan hukum tersebut adalah perceraian Penggugat dan Tergugat I tidak melalui proses persidangan di Pengadilan Agama Cianjur sehingga akta cerai palsu bukanlah pembuktian yang mengikat.

Tergugat I mengakui bahwa akta cerai yang digunakan untuk melangsungkan perkawinan dengan Tergugat II adalah palsu karena Penggugat dan Tergugat I mengurus perceraian melalui seseorang tanpa surat kuasa dan hanya memberi sejumlah bayaran, serta tidak pernah melakukan persidangan perceraian di Pengadilan Agama Cianjur, oleh karena itu Penggugat dan Tergugat I diberi akta cerai palsu.

Pengakuan adalah keterangan tergugat yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang menjadi pokok perkara yang diajukan oleh penggugat sehingga kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna (Manan, 2008, p.263). Menurut A. Pitlo, pengakuan merupakan keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui dalil gugatan pihak lawan. Pengakuan salah satu pihak yang berperkara harus memenuhi dua syarat untuk dapat dijadikan alat bukti, sebagai berikut: (Manan, 2008, p.250-260)

1.      Syarat formil

a.    Disampaikan dalam proses pemeriksaan perkara dalam persidangan Majelis Hakim Pengadilan Agama; dan

b.    Pengakuan disampaikan oleh pihak yang berperkara atau kuasanya dalam bentuk lisan atau tulisan.

2.      Syarat materiil

a.    Pengakuan yang diberikan tersebut langsung berkaitan dengan pokok perkara;

b.    Tidak merupakan kebohongan;

c.    Tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, moral dan ketertiban umum.

Dalam Pasal 174 HIR menyatakan bahwa:

�Pengakuan yang diucapkan di hadapan Hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan orang yang mengakui itu, baik yang diucapkannya sendiri maupun dengan pertolongan orang lain, yang istimewa dikuasakan untuk itu�.

Berdasarkan syarat formil dan materiil mengenai pengakuan, serta Pasal 174 HIR diatas, maka pengakuan yang diucapkan di depan sidang oleh salah satu pihak yang berperkara sendiri atau kuasa hukumnya, maka pengakuan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs). Hal ini berarti apabila tergugat telah mengakui dalil gugatan pihak lawan atau penggugat, maka hakim harus mengabulkan gugatan penggugat dan perkara dianggap selesai (Manan, 2008, p.257-258).

Meningkatnya angka perceraian dijadikan peluang oleh pihak yang tidak bertanggungjawab dengan menawarkan akta cerai tanpa melalui persidangan di pengadilan sehingga diperlukan perlindungan hukum terhadap pembuatan akta. Dengan demikian, agar tidak terjadi hal seperti itu maka pihak tersebut dapat dikenakan sanksi, sebagai suatu paksaan yang bertujuan untuk memberi kesadaran dan efek jera bahwa tindakan yang dilakukannya telah menyimpang dari kaidah hukum (Devi & Westra, 2021, p.253). Adapun sanksi terhadap pemalsuan akta cerai diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

�Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut�.

Majelis Hakim Pengadilan Agama Cianjur pada Putusan Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan bahwa perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II sebagaimana tercantum dalam Kutipan Akta Nikah Nomor: 0229/12/V/2018 yang dicatat oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Haurwangi Kabupaten Cianjur batal demi hukum.

Menurut pendapat penulis, akibat hukum dari putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr berdasarkan Undang-Undang Peradilan Agama terhadap Penggugat dan Tergugat I yakni Penggugat dan Tergugat I masih terikat perkawinan, karena perceraian yang dilakukan tidak melalui proses persidangan perceraian di Pengadilan Agama Cianjur.

Dalam Undang-Undang Peradilan Agama tidak terdapat klausul yang menyatakan secara eksplisit bahwa perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan adalah tidak sah, akan tetapi ditegaskan dalam Pasal 65 Undang-Undang Peradilan Agama menyatakan bahwa:

�Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak�.

Prosedur perceraian dibagi ke dalam dua jenis, tergantung pihak mana yang mengajukan gugatannya, yaitu gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak suami disebut cerai talak, sementara gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak istri yang disebut cerai gugat. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan yang cukup, jika suami dan istri tidak adanya harapan untuk hidup rukun kembali sebagai suami istri, hal ini agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang oleh salah satu pihak dalam melakukan perceraian. Adapun alasan-alasan perceraian diatur dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa:

1.      �Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2.      Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;

3.      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

5.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

6.      Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga�.

Pasal 70 Undang-Undang Peradilan Agama diatur mengenai proses cerai talak, sebagai berikut:

1.      �Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan;

2.      Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri dapat mengajukan banding;

3.      Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut;

4.      Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya;

5.      Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya;

6.      Suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama�.

Proses cerai gugat di Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Peradilan Agama menyatakan bahwa:

1.      �Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak;

2.      Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu;

3.      Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi;

4.      Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan�.

Berdasarkan pendapat penulis, selain perceraian antara Penggugat dan Tergugat I yang tidak sah karena tidak melalui proses persidangan di Pengadilan Agama Cianjur, perceraian tersebut juga bertentangan dengan ketentuan proses perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat yang diatur dalam Undang-Undang Peradilan Agama. Dapat ditafsirkan bahwa perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan adalah tidak sah karena perceraian tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka ikatan perkawinan para pihak tersebut masih tetap utuh atau masih terikat perkawinan (Mubarok, 2015, p.23).

Perceraian Penggugat dan Tergugat I hanya dapat dilakukan dan sah secara hukum apabila melalui proses persidangan di Pengadilan Agama Cianjur, setelah perkara perceraian tersebut telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka akan dikeluarkan akta cerai. Dengan adanya akta cerai tersebut yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Cianjur sebagai bukti telah putusnya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat I. Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Agama menyatakan bahwa:

�Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap�.

Apabila perceraian Penggugat dan Tergugat I dilakukan melalui proses persidangan di Pengadilan Agama Cianjur, maka selama proses perceraian tersebut Pengadilan Agama Cianjur dapat menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami, hal-hal yang diperlukan untuk pemeliharaan dan pendidikan anak, dan menentukan hal-hal yang diperlukan untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri maupun barang-barang yang menjadi hak masing-masing suami istri, hal ini tercantum dalam Pasal 78 juncto Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama. Dengan demikian, selesai sudah rangkaian proses acara peradilan di bidang perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat, serta tuntaslah tugas Pengadilan Agama dalam menangani perkara yang bersangkutan (Hamami, 2003, p.240).

Perceraian tanpa adanya penetapan atau putusan Pengadilan Agama tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang melakukan perceraian, karena perceraian mempunyai konsekuensi sebagaimana dalam Pasal 41 Undang Perkawinan menyatakan bahwa:

�Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

1.      Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

2.      Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

3.      Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri�.

Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan, karena suatu perkawinan membawa akibat hukum terhadap suami istri dan keluarganya, sehingga untuk menghindari terjadinya pembatalan perkawinan yang dilakukan oleh instansi lain di luar pengadilan, hal ini diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa:

�Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan�.

Menurut pendapat penulis, akibat hukum dari Putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr terhadap Tergugat I dan Tergugat II adalah perkawinan tersebut menjadi putus, dengan kata lain dianggap tidak pernah melangsungkan perkawinan. Oleh karena perkawinan tersebut tidak pernah terjadi, maka tidak ada harta bersama antara Tergugat I dan Tergugat II sehingga harta yang ada selama perkawinan tersebut merupakan harta masing-masing dimana tidak berhak atas harta satu sama lain.

Dengan demikian, tidak ada harta bersama dalam perkawinan Tergugat I dan Tergugat II yang dibatalkan tersebut dan yang berhak terhadap harta bersama adalah perkawinan terdahulu yakni Penggugat dan Tergugat I. Apabila terdapat anak yang dilahirkan dari perkawinan Tergugat I dan Tergugat II yang telah dibatalkan. Oleh karena itu, keputusan Pengadilan Agama tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan, maksudnya anak tersebut merupakan anak yang sah dan berhak mendapatkan warisan dari Tergugat I dan Tergugat II, akan tetapi dalam Putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr Tergugat I dan Tergugat II belum dikaruniai seorang anak. Ketentuan mengenai akibat hukum pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa:

a.       �Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b.      Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama ��bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

c.       Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap�.

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang terdapat pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. Keabsahan pembatalan perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II dalam Putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr adalah sah karena perkawinan Tergugat I dan Tergugat II menggunakan akta cerai palsu. Perkawinan tersebut bertentangan dengan Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan juncto Pasal 40 huruf a Kompilasi Hukum Islam dimana Tergugat I masih terikat perkawinan dengan Penggugat karena perceraian yang dilakukan oleh Tergugat I dan Penggugat tidak melalui proses persidangan perceraian. Berdasarkan ijtihad pencatatan perceraian harus dilakukan demi kemaslahatan. Di sisi lain, perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II termasuk ke dalam perkawinan poliandri dan bertentangan pula dengan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
  2. Akibat hukum dari Putusan Pengadilan Agama Cianjur Nomor 1808/Pdt.G/2018/PA.Cjr berdasarkan Undang-Undang Peradilan Agama terhadap Penggugat dan Tergugat I adalah masih terikat perkawinan karena perceraian tidak melalui persidangan di Pengadilan Agama Cianjur. Akibat perceraian yang dilakukan di luar sidang Pengadilan Agama tidak dapat memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban Penggugat dan Tergugat I serta hak anak dari perkawinan Penggugat dan Tergugat I sebagaimana diatur dalam Pasal 78 juncto Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama dan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan. Adapun akibat hukum terhadap perkawinan Tergugat I dan Tergugat II berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan adalah perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi, begitupun dengan harta bersama Tergugat I dan Tergugat II yakni tidak berhak atas harta satu sama lain, serta apabila dalam perkawinan Tergugat I dan Tergugat II dikaruniai seorang anak, maka anak tersebut tetap sah dan berhak mendapatkan warisan.

 

BIBLIOGRAFI

 

Abror, H. Khoirul. (2020). Hukum Perkawinan Dan Perceraian Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bening Pustaka.Google Scholar

 

Arliman, Laurensius. (2015). Notaris dan Penegakan Hukum Oleh Hakim. Deepublish. Google Scholar

Devi, Ni Made Lalita Sri, & Westra, I. Ketut. (2021). Akibat Hukum serta Sanksi Pemalsuan yang Dilakukan Notaris Kepada Penghadap Ketika Pembuatan Akta Otentik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 6(02), 248�258. Google Scholar

 

Hadikusuma, Hilman. (2007). Hukum Perkawinan Indonesia: menurut perundangan, hukum adat, hukum agama. Google Scholar

 

Hamami, Taufiq. (2003). Mengenal lebih dekat kedudukan dan eksistensi peradilan agama dalam sistem tata hukum di Indonesia. Alumni. Google Scholar

 

Hasibuan, Juriyana Megawati, & Siregar, Fatahuddin Aziz. (2020). Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Pencacatan Perceraian Di Kantor Urusan Agama. Jurnal El-Qanuniy: Jurnal Ilmu-Ilmu Kesyariahaan Dan Pranata Sosial, 6(1). Google Scholar

 

Isis Ikhwansyah et.al. (2018). Hukum Kepailitan Analisis Dalam Hukum Keluarga Dan Harta Kekayaan. Google Scholar

 

Manan, H. Abdul. (2008). Penerapan hukum acara perdata di lingkungan peradilan agama. Google Scholar

 

Mantili, Rai, & Afriana, Anita. (2015). Buku Ajar Hukum Acara Perdata. Bandung: Kalam Media. Google Scholar

 

Mubarok, Jaih. (n.d.). Pembaruan Hukum Perkawinan Di Indonesia. Google Scholar

 

Nasution, HotnidahNasution, Hotnidah. (2013). Pembatalan Perkawinan Poligami di Pengadilan Agama (Tinjauan Dari Hukum Positif). Jurnal Cita Hukum, 1(1), 96048. (2013). Pembatalan Perkawinan Poligami di Pengadilan Agama (Tinjauan Dari Hukum Positif). Jurnal Cita Hukum, 1(1), 96048. Google Scholar

 

Rais, Isnawati. (2014). Tingginya angka cerai gugat (khulu�) di indonesia: analisis kritis terhadap penyebab dan alternatif solusi mengatasinya. Al-�Adalah, 12(1), 191�204. Google Scholar

 

Santoso, Santoso. (2016). Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum Adat. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 7(2), 412�434. Google Scholar

 

Sinaga, V. Harlen. (2015). Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman Hukum Materiil. Erlangga, Jakarta. Google Scholar

 

Titik Triwulan Tutik. (2011). Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana. Google Scholar

 

Yunus, Ahyuni. (2020). Hukum Perkawinan dan Itsbat Nikah: Antara Perlindungan dan Kepastian Hukum. Humanities Genius. Google Scholar

 

 

Copyright holder:

Elsa Nurjanah, Djanuardi, Sherly Ayuna Putri (2022)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under: