Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X

Vol. 4, No. 8, Agustus 2022

 

PERBUATAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENEGAKANNYA MELALUI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABOLATOR

Maria Sheren

Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Email: [email protected]

 

Abstrak

Menjamurnya tindak pidana korupsi tentu membuat segenap bangsa Indonesia gundah gulana. Ternyata korupsi terjadi pada pelbagai sektor dan juga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta sektor swasta (private sector). Oleh karena itu pemberantasan korupsi merupakan salah satu fokus utama Pemerintah dan Bangsa Indonesia. Upaya-upaya telah ditempuh, baik untuk mencegah maupun memberantas. korupsi secara serentak, mengingat tindak pidana korupsi sebagai white collar crime serta sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Upaya-upaya itu sebenarnya telah dilakukan dan diupayakan agar membuahkan hasil berupa tumbuhnya itikad pemberantasan korupsi hingga ke pelosok Indonesia. Bahwa Indonesia sebagai Negara yang besar telah memandang tindak pidana korupsi sebagai sebuah kejahatan yang dapat menimbulkan begitu besar kerugian yang diderita oleh Masyarakat. Sudah sangat dikenal oleh awam bahwa korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara. Fakta senyatanya lebih luas, bahwa korupsi merupakan perbuatan bejat, busuk, jahat, jelek, tidak jujur, dan konotasi negatif lainnya, bahkan extra ordinary crime. Untuk itu, perlu adanya upaya strategis untuk melakukan pencegahan dan penegakan tindak pidana korupsi melaui perlindungan hukum terhadap justice collabolator

 

Kata Kunci: korupsi; justice collabolator; penegakan

 

Abstract

The proliferation of criminal acts of corruption certainly makes the entire Indonesian nation nervous. It turns out that corruption occurs in various sectors as well as in the executive, legislative and judiciary powers as well as the private sector. Therefore, eradicating corruption is one of the main focuses of the Government and the Indonesian people. Efforts have been made, both to prevent and to eradicate. corruption simultaneously, considering the criminal act of corruption as a white collar crime as well as an extra ordinary crime. These efforts have actually been carried out and attempted to produce results in the form of a growing will to eradicate corruption throughout Indonesia. Whereas Indonesia as a large country has seen the criminal act of corruption as a crime that can cause huge losses to the people. It is well known to the general public that corruption is a crime that harms state finances. The fact is broader in fact, that corruption is a lecherous, rotten, evil, ugly, dishonest act, and has other negative connotations, even extra ordinary crime. For this reason, there is a need for strategic efforts to prevent and enforce corruption crimes through legal protection against justice collectors

 

Keywords: Corruption; Justice Collabolator; Enforcement

Pendahuluan

Detik ini, siapa yang tidak mengenal korupsi? Korupsi. Satu kata ini telah menjadi konsumsi sehari-hari oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan sejak beberapa tahun terakhir korupsi telah menjadi isu utama di negeri ini. Hampir setiap hari media massa, baik lokal maupun nasional memberitakan masalah korupsi. Namun sayangnya, hal ini belum bisa menghilangkan kebiasaan korupsi di Indonesia. Bahkan pada tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat ke-118 sebagai negara paling korup dari 176 negara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 32. Di level Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Singapura (87), Brunei Darussalam (55), Malaysia (49), dan Thailand (37) Semakin kecil angka indeks menunjukkan potensi korupsi negara tersebut cukup besar, begitu pula sebaliknya. Sebagaimana dijelaskan diatas, Etika Pancasila adalah etika yang berdasarkan pada penilaian baik dan buruk terhadap nilai � nilai yang ada dalam Pancasila yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Jika ditilik sejarahnya korupsi memang sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma, abad pertengahan sampai abad sekarang. Saat ini modus operandi korupsi pun semakin beragam. (Sutiyoso, 2010) Korupsi yang dulu dilakukan secara sederhana, sekarang ditempuh dengan beragam cara yang rumit, rapi, dan semakin sulit dibongkar. Bahkan korupsi di Indonesia saat ini menjadi semakin sistematis dan terorganisir karena melibatkan para aparat penegak hukum. Permasalahan korupsi di Indonesia sudah sangatlah dahsyat sehingga dibutuhkan usaha yang sangat revolusioner untuk memberantas korupsi di Indonesia. (Muhammad, 2015) Sejalan dengan hal itu, Adami Chazawi mengemukakan bahwa sebagai kejahatan yang tergolong extraordinary crime, tindak pidana korupsi jelas memerlukan extraordinary measure / extraordinary enforcement (penanganan yang luar biasa). (Utsman, 2009)

Sehingga sikap anti korupsi telah mencerminkan notion etika Pancasila dimana sikap anti korupsi adalah sikap yang menganggap bahwa tindakan korupsi adalah perbuatan yang bertentangan dengan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan yang mana akibat dari perbuatan korupsi sangatlah merugikan banyak pihak sehingga korupsi adalah suatu hal yang harus diperangi dan diberantas. (Weda, 2013) Sikap anti korupsi adalah sebuah sikap yang selalu konsisten dengan notion etika Pancasila karena pada dasarnya sikap anti korupsi itu sendiri bersumber pada etika pancasila dan memiliki tujuan yang sama dengan notion etika pancasila baik dalam hal pemikiran maupun diwujudkan dalam perbuatan sikap. Indonesia adalah negara hukum yang mana hal tersebut termaktub dalam konstitusi Republik Indonesia yaitu Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sehingga memiliki konsekuensi logis bahwa setiap tindakan Pemerintah dan warga negara harus didasarkan pada hukum dan peraturan perundang � undangan yang berlaku. Hukum merupakan suatu instrumen yang hidup di masyarakat ubi societas ibi ius yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Sehingga hukum saat ini seolah � olah merupakan suatu kebutuhan primer yang dicari oleh masyarakat yang mana hukum digunakan untuk melindungi hak setiap orang agar tidak berbenturan dengan hak orang lain.� (Maryanto, 2012)

Manusia sebagai mahluk sosial yang bersifat zoon politicon (Aristoteles) yang nyata dalam kehidupan masyarakat itu tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena setiap manusia mempunyai kebutuhan dan kepentingan sendiri yang sering bertentangan satu sama lain. Dari akibat perbedaan itu sering terjadi ketidakseimbangan/ketidakserasian dalam masyarakat. Disinilah aturan tata kehidupan antarmanusia yang disebut hukum itu dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat. sebuah masyarakat yang nyaman dan berkeadilan, terkadang oleh segelintir orang tidak diindahkan keberadaannya. Tidak jarang hukum itu diciderai, dilanggar, bahkan dimanipulasi fungsinya oleh orang yang memang mempunyai kepentingan, atau orang yang masih menganggap tidak pentingnya sebuah hukum yang ada di masyarakat. (Utsman, 2009) Orang-orang tersebut merupakan orang-orang yang tidak sadar dan tidak patuh terhadap hukum. Peranan kesadaran hukum masyarakat sebagaimana tujuan hukum itu sendiri adalah menjamin kepastian dan keadilan. Dalam kehidupan masyarakat masyarakat senantiasa terdapat perbedaan antara pola-pola perilaku atau tata kelakuan yang berlaku di masyarakat dengan pola-pola perilaku yang dikehendaki oleh normanorma (kaidah) hukum. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya suatu masalah berupa kesenjangan sosial sehingga pada waktu tertentu cenderung terjadi konflik dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat mengganggu jalannya perubahan masyarakat sebagaimana arah yang dikehendaki. Keadaan demikian terjadi oleh karena adanya hukum yang diciptakan diharapkan dapat dijadikan pedoman (standar) dalam bertindak bagi masyarakat tidak ada kesadaran hukum, sehingga cenderung tidak ada ketaatan hukum. (Sutiyoso, 2010)

Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Dan dalamfungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan. Tujuan hukum merupakan arah atau sasaran yang hendak diwujudkan dengan memakai hukum sebagai alat dalam mewujudkan tujuan tersebut dengan mengatur tatanan dan prilaku masyarakat. Tujuan hukum adalah untuk mencari keadilan, kebermanfaatan, dan kepastian hukum yang mana kesemuanya itu tidak akan tercapai bila dalam penegakan hukumnya tidak sesuai dengan aturan yang ada. Penegakan hukum yang tidak maksimal diakibatkan beberapa faktor yaitu :

1)   Peraturan Hukum yang ada tidak ideal, artinya peraturan hukum yang digunakan memiliki celah hukum yang dapat digunakan pelaku kejahatan untuk lepass dari jerat hukuman;

2)   Para penegak hukum yang tidak melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan peraturan hukum. Praktik korupsi menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan para penegak hukum tidak mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik;

3)   Budaya hukum saat ini yang tidak baik, artinya masyarakat sendiri pun juga turut mengamini adanya praktik � praktik yang senyatanya jelas melanggar hukum. (Weda, 2013)

Hal tersebut yang mengakibatkan penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari ideal khususnya dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Korupsi. (Satjipto, 2006) Satu kata ini telah menjadi konsumsi sehari-hari oleh masyarakat Indonesia. Hukum haruslah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, artinya hukum harus mengikuti kehendak dari masyarakat. (Ariyanti & Ariyani, 2020) Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan perasaan hukum manusia (perorangan). Maksudnya sama, hanya jika kesadaran hukum dikaitkan dengan masyarakat, sementara perasaan hukum dikaitkan dengan manusia perorangan, sehingga dapatlah disebutkan bahwa kesadaran hukum sebenarnya merupakan generalisasi dari perasaan hukum. (Hartono, 1975)

Akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan tentang merosotnya kesadaran hukum menganai gerakan anti korupsi. Pandangan tentang merosotnya kesadaran hukum terhadap gerakan anti korupsi disebabkan karena terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum dan ketidakpatuhan hukum yang terkesan dibiarkan dan tidak dilakukan penegakan hukum secara tergas. Bahkan yang lebih menyedihkan ialah bahwa tidak sedikit orang yang menjadi panutan, orang yang tahu hukum justru ia yang melanggar hukum. (Muhammad, 2015) Bahkan meningkatnya kriminalitas bukan hanya dalam kuantitas dan volumenya saja, tetapi juga dalam kualitas atau intensitas serta jenisnya. Untuk mengetahui kenapa orang mematuhi hukum maka menurut penulis harus dlihat kesadaran hukum yang ada dimasyarakat yang mana kesadaran hukum merupakan faktor paling penting agar masyarakat mematuhi hukum. (Nurisman & Fitriano, 2021) Tegaknya suatu peraturan hukum baru akan menjadi kenyataan bilamana didukung oleh adanya kesadaran hukum dari segenap warga masyarakat. (Untari, 2012) Kesadaran bagi berlakunya hukum adalah dasar bagi dilaksanakannya hukum itu sendiri. Korupsi bukanlah budaya dari Negara dan Bangsa Indonesia karena sebagaimana dicantumkan dalam UUD 1945 tujuan dibentuknya Indonesia adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. (Ariyanti & Ariyani, 2020)

 

Metode Penelitian

����������� Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute-approach), yaitu dengan menelaah dan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum kehutanan; pendekatan kasus (case approach), dengan menelaah dan memahami kasus terkait kebijakan di bidang ketenagakerjaan, khususnya dalam hal perbuatan tindak pidana korupsi dan penegakannya melalui perlindungan hukum terhadap justice collabolator. (Nurisman & Fitriano, 2021). Selain itu, tulisan ini juga menggunakan pendekatan hukum secara sosiologis yakni hukum dianggap sebagai suatu perwujudan ide, seperti keadilan, rasio, dan lain-lain, melainkan sebagai realitas sosial atau produk kenyataan dalam kemasyarakatan. Hukum haruslah bersifat dinamis yang pada hakekatnya lebih rentan terhadap suatu pendekatan historis. (Chazawi, 2021) Sehingga dalam pandangan hukum sosiologis, penglihatan hukum tidak bertujuan melihat perwujudan hukum dari satu atau lain asas absolut, melainkan menengok suatu produk kenyataan kemasyarakatan. Referensinya ). (Untari, 2012)

 

Hasil dan Pembahasan

Permasalahan korupsi di Indonesia sudah sangatlah dahsyat sehingga dibutuhkan usaha yang sangat revolusioner untuk memberantas korupsi di
Indonesia. Sejalan dengan hal itu, Adami Chazawi mengemukakan bahwa sebagai kejahatan yang tergolong extraordinary crime, tindak pidana korupsi jelas memerlukan extraordinary measure / extraordinary enforcement (penanganan yang luar biasa). Terbukti cara konvensional yang telah dilakukan dengan menekankan pada pemidanaan tidak mampu menurunkan angka korupsi. (Semendawai, 2013) Oleh karena itu untuk menyelamatkan negara dari dampak negatif korupsi ini, diperlukan kesadaran dari semua pihak untuk melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap terjadinya tindak pidana korupsi
Dalam sistem hukum Indonesia, pengertian justice collaborator diatur dalam Peraturan Bersama tentang Perlindungan terhadap Saksi Pelapor, Saksi dan Saksi Pelaku Bekerjasama, justice collaborator disebut sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama, yaitu: �Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan�. (Wiryawan & Tjatrayasa, 2016)

Selain itu menurut SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, menentukan seseorang sebagai justice collaborator adalah sebagai berikut:

a.      Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;

b.     Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana;

Justice Collaborator inilah yang diharapkan (Wiryawan & Tjatrayasa, 2016) dapat berperan secara signifikan dalam memberantas korupsi di Indonesia. Dengan adanya kesaksian justice collaborator diharapkan dapat menangkap otak pelaku yang lebih besar sehingga tindak pidana dapat tuntas dan tidak terhenti pada pelaku yang berperan minim dalam tindak pidana korupsi. (Hidayah, 2018) Sebagaimana dalam kasus Susno Duadji yang mengungkapkan adanya makelar kasus dalam penyidikan kasus pajak senilai Rp. 25.000.000.000,- di institusinya, yaitu Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. (Nurisman & Fitriano, 2021) Laporan Susno Duadji kemudian berhasil mengungkap keberadaan mafia pajak, yakni Gayus Tambunan yang mengakui telah membagikan uang sejumlah Rp. 5.000.000.000,- kepada jaksa, polisi, dan hakim. (Wiryawan & Tjatrayasa, 2016). Namun untuk menjadi justice collaborator dalam mengungkap suatu kasus korupsi memang tidak lah mudah. Bahkan ancaman keselamatan diri sering menghampiri para justice collaborator. (Maryanto, 2012) Oleh karena itu dilatarbelakangi masih banyaknya seorang justice collaborator yang takut untuk menjadi seorang saksi, maka pemerintah membuat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). yang didasarkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam hal ini LPSK diharapkan dapat mempunyai peran strategis dalam memberikan perlindungan seorang justice collaborator di dalam mengungkap kasus-kasus korupsi. (Semendawai, 2013)

Jika dilihat dasar hukumnya, justice collaborator memang belum diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengatur secara khusus bentuk perlindungan hukum bagi justice collaborator. Pasal 10 ayat (2) menyebutkan bahwa: �Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.� Dengan demikian perlindungan yang diberikan dirasa kurang memadahi, karena:

a)     bentuk dan sifat sangat terbatas

b)     sifat fakultatif (bukan kewajiban)

c)     tidak adanya jaminan atas pemberian perlindungan. Kurangnya perlindungan hukum terhadap justice collaborator tentunya akan berakibat pada peran justice collaborator yang menjadi tidak leluasa dan tertekan dengan kesaksian yang akan, sedang, dan telah ia lakukan dalam pemeriksaan kasus korupsi yang dihadapinya. Lemahnya perlindungan yang diberikan kepada justice collaborator juga akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat. Sebab, masyarakat yang berpotensi menjadi justice collaborator akan menjadi takut untuk melapor. (Hidayah, 2018) Padahal, justice collaborator memiliki potensi dan peran yang sangat strategis dalam mengungkap kasus-kasus korupsi. (Weda, 2013) Oleh sebab itu, penulis merekomendasikan solusi perlindungan hukum justice collaborator berupa penguatan kerangka hukum (legal framework) bagi justice collaborator. (Hartono, 1975) Solusi ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2013. Dengan demikian, kebijakan perlindungan hukum justice collaborator mampu mendorong masyarakat untuk mengungkapkan kasus korupsi yang turut berkontribusi terhadap perbaikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di Indonesia. (Rumpia & Tisnanta, 2018)

 

Kesimpulan

Kondisi perlindungan hukum bagi justice collaborator masih sangatlah lemah sehingga diperlukan sebuah langkah strategis dalam rangka pengoptimalan perlindungan hukum bagi justice collaborator. Pro-Reward merupakan gagasan alternatif yang digunakan dalam rangka mengoptimalkan perlindungan hukum bagi justice collaborator. Hal ini tentunya akan menimbulkan dampak positif, yaitu akan semakin banyak para koruptor yang ingin menjadi justice collaborator, sehingga kasus akan terungkap secara masif dan signifikan. Selain itu, Masyarakat juga akan menjadi takut untuk melakukan korupsi karena rekan koruptornya sewaktu-waktu dapat melaporkannya, mengingat semua orang berpotensi menjadi justice collaborator.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Ariyanti, Dwi Oktafia, & Ariyani, Nita. (2020). Model Pelindungan Hukum Terhadap Justice Collaborator Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 27(2), 328�344. Google Scholar

 

Chazawi, Adami. (2021). Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi: Edisi Revisi. Media Nusa Creative (MNC Publishing). Google Scholar

 

Hartono, Sunaryati. (1975). Peranan Kesadaran Hukum Rakyat dalam Pembaharuan Hukum, Kertas Kerja pada Simposium Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi. Jakarta: BPHN-Bina Cipta. Google Scholar

 

Hidayah, Astika Nurul. (2018). Analisis Aspek Hukum Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Pendidikan Anti Korupsi. Kosmik Hukum, 18(2). Google Scholar

 

Maryanto, Maryanto. (2012). Pemberantasan Korupsi Sebagai Upaya Penegakan Hukum. CIVIS, 2(2). Google Scholar

 

Muhammad, Rusli. (2015). Pengaturan dan Urgensi Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 22(2), 203�222. Google Scholar

 

Nurisman, Eko, & Fitriano, Risko. (2021). ANALISIS HUKUM TERHADAP IMPLIKASI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA. Jurnal Komunitas Yustisia, 4(2), 712�724. Google Scholar

 

Rumpia, James Reinaldo, & Tisnanta, H. S. (2018). Hukum dan Bahasa: Refleksi dan Transformasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Lentera Hukum, 5, 247. Google Scholar

 

Satjipto, Rahardjo. (2006). Hukum Dalam Jagat Ketertiban. UKI Pers, Jakarta. Google Scholar

 

Semendawai, Abdul Haris. (2013). Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi Catatan tentang UrSemendawai, Abdul Haris. (2013). Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi Catatan tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana. Ma. Makalah Disampaikan Dalam Stadium General Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta, 17. Google Scholar

 

Sutiyoso, Bambang. (2010). Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 17(2), 217�232. Google Scholar

 

Untari, Sri. (2012). PancasiladalamKehidupanBerasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara� dalamMargono (Ed). PendidikanPancasilaTopikAktualKenegaraan dan Kebangsaan. Malang: Universitas Negeri Malang. UM Press. Google Scholar

 

Utsman, Sabian. (2009). Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat Dilengkapi Proposal Penelitian Hukum (Legal Research). Google Scholar

 

Weda, Ida Bagus Ketut. (2013). Korupsi dalam Patologi Sosial: Sebab, Akibat dan Penanganannya Untuk Pembangunan di Indonesia. Jurnal Advokasi, 3(2), 29379. Google Scholar

 

Wiryawan, Putu Ariesta, & Tjatrayasa, Made. (2016). Analisis Hukum Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidananya. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum. Google Scholar

 

Copyright holder:

Maria Sheren (2022)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under:

 

 

 

 

 

 

������������������������������������������������������������������������������