How to cite:
Rismantika,D, J., Djanuardi, Mantili, R., (2022) Itsbat Nikah Terhadap Perkawinan Di Bawah Umur
Tanpa Dispensasi Kawin Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Islam, (4) 10,
https://10.36418/syntax-idea.v4i10.1927
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
Syntax Idea: pISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X
Vol. 3, No. 10, Oktober 2022
ITSBAT NIKAH TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA
DISPENSASI KAWIN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
DAN HUKUM ISLAM
Dinada Junia Rismantika, Djanuardi, Rai Mantili
Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected], djanuardi@unpad.ac.id, [email protected]
Abstrak
Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa perkawinan yang dilangsungkan
harus dilakukan pencatatan oleh pejabat yang berwenang. Perkawinan yang belum
dilakukan pencatatan, maka dapat mengajukan permohonan itsbat kepada
Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Undang-Undang Perkawinan
menentukan syarat usia perkawinan sebagai salah satu syarat perkawinan.
Perkawinan di bawah umur yang hendak dilaksanakan harus mendapat izin
dispensasi dari Pengadilan. Pada kenyataannya seringkali terjadi perkawinan di
bawah tangan dengan tidak memperhatikan syarat-syarat perkawinan. Sebagai
contoh permohonan itsbat nikah terhadap perkawinan di bawah umur tanpa
dispensasi kawin yang terjadi di Pengadilan Agama. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui dan menganalisis mengenai keabsahan dan akibat hukum
dari itsbat nikah terhadap perkawinan di bawah umur tanpa dispensasi kawin
ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam. Penelitian ini
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian
yang bersifat deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu
dengan melakukan studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara
dengan narasumber terkait. Metode analisis yang digunakan yaitu secara yuridis
kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, bahwa ketiadaan dispensasi
kawin tidak mempengaruhi keabsahan suatu perkawinan di bawah umur.
Perkawinan di bawah umur tanpa dispensasi kawin dapat di itsbat kan di
Pengadilan Agama dengan memperhatikan syarat-syarat itsbat nikah. Perkawinan
di bawah umur tanpa dispensasi kawin yang telah di itsbat kan di Pengadilan
Agama akan berakibat hukum sama dengan perkawinan pada umumnya. Status
perkawinan tersebut akan berkekuatan hukum tetap yang dibuktikan dengan
diperolehnya Kutipan Akta Nikah.
Kata kunci: Itsbat nikah; dispensasi kawin; perkawinan di bawah umur
Abstract
The Marriage Law stipulates that marriages that occur must be recorded by an
authorized official. If you have not registered your marriage, you can apply to the
Religious Courts for Muslims. The Marriage Law stipulates the age requirement for
marriage as one of the requirements for marriage. Underage marriages to be carried
out must obtain dispensation permission from the Court. Marriages are often carried
out under the hands without regard to the terms of the marriage. For example, the
Dinada Junia Rismantika, Djanuardi, Rai Mantili
1448 Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022
application for itsbat marriage against underage marriages without a marriage
dispensation that occurs in the Religious Courts. The purpose of this study was to
determine and analyze the validity and legal consequences of itsbat marriage on
underage marriages without a marriage dispensation in terms of Marriage Law and
Islamic Law. This study uses a normative juridical approach with analytical
descriptive specifications. The data collection technique used is by conducting
library research and field studies through interviews with related sources. The
analytical method used is juridical qualitative. The absence of a marriage
dispensation does not affect the validity of an underage marriage. Underage
marriages without a marriage dispensation can be legalized in the Religious Courts
by taking into account the conditions for itsbat marriage. Underage marriages
without a marriage dispensation that have been legalized in the Religious Courts will
have the same legal consequences as marriages in general. The marital status will
have permanent legal force as evidenced by obtaining a Marriage Certificate
Quotation
Keywords: marriage itsbat; marriage dispensation; underage marriage
Pendahuluan
Perkawinan sebagai suatu peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat yang ketika
dilangsungkan akan menimbulkan berbagai akibat hukum bagi para pihak yang
bersangkutan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya
disebut Undang-Undang Perkawinan) dibentuk dalam rangka me-unifikasi hukum
perkawinan di Indonesia tanpa menghilangkan unsur kebhinekaan yang ada di dalam
hukum yang hidup di masyarakat (Mangku & Yuliartini, 2020). Setelah Undang-
Undang Perkawinan terbentuk, kemudian dibentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dengan maksud untuk melancarkan dan memastikan Undang-Undang
Perkawinan dapat dilaksanakan secara efektif di Indonesia. Pada perkembangannya
dibentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Muchimah, 2018).
Perkawinan di bawah umur merupakan perkawinan yang dilangsungkan oleh
seseorang yang belum memasuki kategori usia perkawinan, sebagaimana Undang-
Undang Perkawinan mengatur syarat batas usia minimal perkawinan. Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa batas usia minimal dilangsungkannya
perkawinan adalah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi
wanita. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan ini mengalami
perubahan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan batas
minimal usia perkawinan menjadi 19 (sembilan belas tahun) tahun baik bagi pria
maupun wanita. Perkawinan di bawah umur yang terjadi di Indonesia umumnya
disebabkan karena berbagai faktor seperti kehamilan di luar nikah, budaya, ekonomi,
dan pendidikan (Muchimah, 2018).
Itsbat Nikah terhadap Perkawinan di Bawah Umur tanpa Dispensasi Kawin Ditinjau
dari Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam
Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022 1449
Undang-Undang Perkawinan juga memberikan alternatif bagi pasangan di bawah
umur yang hendak melangsungkan perkawinan, yaitu dengan cara mengajukan
permohonan dispensasi kepada Pengadilan dengan mengemukakan alasan mendesak
dan disertai dengan bukti-bukti pendukung yang cukup. Undang-Undang Perkawinan
tidak memberikan definisi dari dispensasi itu sendiri. Hilman Hadikusuma mengartikan
dispensasi kawin sebagai suatu perkawinan yang terjadi dimana mempelai atau salah
satunya belum mencapai umur yang ditentukan oleh Undang-Undang.
1
Berdasarkan
Pasal 1 angka 5 PERMA No. 5 Tahun 2019, dispensasi merupakan pemberian izin
kawin oleh Pengadilan kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun untuk
melangsungkan perkawinan.
Pada kenyataannya seringkali perkawinan dilaksanakan dengan menyimpangi
ketentuan hukum perkawinan, baik penyimpangan terhadap hukum agamanya maupun
Undang-Undang Perkawinan. Seperti halnya praktik perkawinan di bawah umur tanpa
terlebih dahulu memperoleh izin dispensasi dari pengadilan sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan di bawah umur tanpa izin
dispensasi dari Pengadilan akan berakibat pada perkawinan yang tidak dicatatkan atau
perkawinan bawah tangan (Handayani, 2016).
Pencatatan perkawinan sama saja dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
yang terjadi dalam kehidupan seseorang, seper ti halnya pencatatan terhadap suatu
kelahiran dan kematian seseorang yang kemudian dinyatakan di dalam surat keterangan
atau akta dan juga dimuat di dalam daftar pencatatan. Pencatatan perkawinan termasuk
dalam unsur deklaratif administratif, yaitu sebagai alat bukti yang berkekuatan hukum
untuk dapat membuktikan status mereka sebagai sepasang suami istri yang
sah.
2
Terhadap orang-orang yang beragama Islam maka pencatatan perkawinan
dilakukan di Kantor Urusan Agama, sedangkan bagi orang-orang yang beragama selain
Islam, maka pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan
perkawinan merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebab perkawinan hanya
dapat dibuktikan dengan kepemilikan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah.
Perkawinan yang sudah dilangsungkan secara sah menurut syari’at agama Islam
namun tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, maka terhadap perkawinan tersebut
dapat diajukan permohonan itsbat nikah (pengesahan perkawinan) ke Pengadilan
Agama bagi mereka yang beragama Islam. Sementara bagi orang-orang yang beragama
selain Islam, maka permohonan pengesahan perkawinan dilakukan melalui Pengadilan
Negeri. Dengan adanya pengakuan secara hukum atas status hukum suatu perkawinan,
maka secara otomatis hak dan kewajiban yang timbul dalam perkawinan akan
dilindungi oleh hukum.
Sebagai contoh kasus permohonan itsbat nikah yang terjadi di Kota Waingapu,
Nusa Tenggara Timur pada tahun 2019. A dan B sebagai para Pemohon mengajukan
permohonan pengesahan pernikahan yang telah dilangsungkan menurut hukum agama
Dinada Junia Rismantika, Djanuardi, Rai Mantili
1450 Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022
Islam pada tahun 2017. Permohonan pengesahan pernikahan para Pemohon diajukan
dengan alasan bahwa sejak para Pemohon menikah hingga pada saat permohonan
tersebut diajukan, para Pemohon tidak mempunyai kutipan akta nikah dari
pernikahannya tersebut. Pernikahan para Pemohon tidak terdaftar di Kantor Urusan
Agama Kecamatan setempat, sebab calon mempelai laki-laki (Pemohon I) pada saat itu
masih berusia 17 tahun. Sedangkan syarat usia perkawinan yaitu 19 (sembilan belas)
tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita sebagaimana Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan.
Meskipun para Pemohon tidak memiliki izin dispensasi kawin dari Pengadilan,
majelis hakim berpendapat hal tersebut merupakan kesalahan yang bersifat administratif
dan tidak berpengaruh pada keabsahan pernikahan secara syar’i. Kesalahan
administratif dalam perkawinan dapat diperbaiki secara administratif juga. Diaturnya
mengenai batas usia pernikahan oleh Undang-Undang adalah untuk memastikan
kematangan psikologis seseorang dalam berumah tangga. Tujuan dalam membangun
rumah tangga yaitu terwujudnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
warrahmah. Permohonan itsbat nikah kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Agama
Waingapu dengan Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2019/PA.WGP.
Kasus lain mengenai permohonan itsbat nikah di bawah umur terjadi di
Pengadilan Agama Bontang. Pada tahun 2012 Para Pemohon mengajukan permohonan
pengesahan nikah di Pengadilan Agama Bontang. Para Pemohon telah melangsungkan
pernikahannya menurut ketentuan agama Islam pada tanggal 10 September 2005.
Permohonan pengesahan nikah tersebut ditujukan untuk keperluan pembuatan buku
nikah dan akta kelahiran anak-anak Para Pemohon. Majelis hakim dalam
pertimbangannya menyatakan, perkawinan hanya dapat dilakukan terhadap laki-laki
yang berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita berumur 16 (enam belas) tahun
sebagaimana syarat perkawinan pada Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 15
Kompilasi Hukum Islam. Dan apabila mempelai belum cukup umur, maka harus ada
dispensasi dari pengadilan. Usia pemohon II pada saat dilangsungkannya pernikahan
secara agama masih berumur 14 (empat belas) tahun, dan para Pemohon tidak dapat
menunjukkan izin dispensasi dari pengadilan. Majelis hakim dalam amarnya
menyatakan menolak permohonan para Pemohon dengan Penetapan Nomor
19/Pdt.P/2012/PA.Botg.
Kedua contoh kasus di atas merupakan peristiwa permohonan itsbat nikah
terhadap perkawinan di bawah umur yang tidak didahului izin dispensasi dari
Pengadilan. Dari kedua kasus tersebut memiliki perbedaan dalam pertimbangan hakim
di Pengadilan Agama dalam menetapkan permohonan itsbat nikah. Berdasarkan hal
tersebut akan diraikan lebih lanjut terhadap permasalahan keabsahan itsbat nikah
terhadap perkawinan di bawah umur tanpa dispensasi kawin dan akibat hukum yang
ditimbulkan dari penetapan itsbat nikah pada perkawinan di bawah umur tanpa
dispensasi kawin.
Itsbat Nikah terhadap Perkawinan di Bawah Umur tanpa Dispensasi Kawin Ditinjau
dari Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam
Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022 1451
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Penelitian
yuridis normatif adalah penelitian yang di dalamnya mengacu pada norma-norma
hukum di dalam peraturan perundang-undangan nasional, doktrin-doktrin atau asas-asas
ilmu hukum. Dalam penelitian ini akan mengkaji pada berbagai peraturan perundang-
undangan seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta
perubahannya dalam Undang-Undang 16 Tahun 2019, dan peraturan perundang-
undangan terkait lainnya. Selain itu, pada metode pendekatan ini juga dilakukan
penelitian terhadap bahan kepustakaan berupa data sekunder sebagai sumber data
utama. Penulisan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan spesifikasi
penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu dengan memusatkan peraturan
perundang-undangan yang dihubungkan dengan asas-asas dan teori-teori hukum, dan
kemudian mengkaji terhadap permasalahan yang akan diteliti, dalam hal ini perkawinan
dan itsbat nikah.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
kualitatif. Analisis data secara yuridis, yaitu penelitian didasarkan pada peraturan yang
ada sebagai norma hukum positif, sementara kualitatif artinya penelitian didasarkan
pada asas-asas dan informasi guna mengetahui keterkaitannya dengan permasalahan
yang akan dikaji, dan kemudian akan ditarik ke dalam suatu kesimpulan yang objektif.
3
Hasil dan Pembahasan
A. Keabsahan Itsbat Nikah terhadap Perkawinan Di Bawah Umur Tanpa
Dispensasi Kawin Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan dan Hukum
Islam. Perkawinan merupakan perjanjian suci lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita dengan maksud membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan
warrahmah. Perkawinan di Indonesia diatur menurut ketentuan hukum agama yang
dianutnya masing-masing dan sebagai unifikasi hukum perkawinan, maka
perkawinan secara umum diatur Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam bagi yang beragama Islam. Perkawinan yang dilaksanakan akan
menimbulkan perubahan status dan akibat hukum bagi seseorang, sehingga patutnya
perkawinan dilaksanakan sebagaimana ketentuan hukum agama dan hukum positif
yang berlaku.
Sebagaimana Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan
bahwa: “Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut
ketentuan hukum agama dan kepercayaan yang dianut.”. Ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan ini menegaskan bahwa sahnya suatu perkawinan
dilihat jika perkawinan tersebut dilakukan sesuai dan memenuhi ketentuan hukum
dan kepercayaan yang dianut pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan.
Sebagai contoh calon mempelai laki-laki dan perempuan yang beragama Islam
Dinada Junia Rismantika, Djanuardi, Rai Mantili
1452 Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022
apabila hendak melaksanakan perkawinan maka yang berlaku adalah ketentuan
hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum utama umat
Islam. Dalam Hukum Islam, Perkawinan merupakan salah satu bentuk ibadah yang
dianjurkan apabila mampu dan telah siap dalam melaksanakannya. Perkawinan yang
sah menurut hukum Islam adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan memenuhi
rukun dan syarat perkawinan. Bilamana rukun dan syarat perkawinan tersebut tidak
terpenuhi maka perkawinan yang telah dilaksanakan menjadi tidak sah. Rukun
perkawinan menurut hukum Islam di antaranya yaitu, adanya mempelai laki-laki,
mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qabul.
4
Syarat
perkawinan menurut hukum Islam adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi, dan dalam
ijab qabul. Sementara itu Undang-Undang Perkawinan mengatur syarat-syarat
perkawinan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan juga mengatur syarat usia perkawinan
dengan sebagai berikut: (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun; (2)
Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan”. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan (2) tersebut kemudian
mengalami perubahan menjadi sebagai berikut: “(1) Perkawinan hanya diizinkan
apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun; (2) Dalam hal terjadi
penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang
tua pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang
cukup”. Dalam Hukum Islam sendiri tidak ditentukan mengenai batas usia untuk
dapat melangsungkan perkawinan. Hukum Islam hanya mengatur mengenai baligh
(kedewasaan) seseorang dengan melihat pada tanda-tanda ihtilam pada pria dan haid
pada wanita.
Selain memperhatikan rukun dan syarat perkawinan, perkawinan yang
dilaksanakan harus dilakukan pencatatan perkawinan oleh pegawai pejabat nikah
yang berwenang sebagaimana peraturan perundang-undangan. Terhadap perkawinan
yang belum dilakukan pencatatan dapat mengajukan permohonan itsbat nikah
kepada Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dengan memperhatikan
syarat-syarat permohonan itsbat nikah.
Permohonan itsbat nikah salah satunya terjadi di Pengadilan Agama
Waingapu pada tahun 2019 dan Pengadilan Agama Bontang pada tahun 2012.
Permohonan itsbat nikah pada kedua kasus tersebut adalah permohonan itsbat nikah
yang dilakukan terhadap perkawinan di bawah umur tanpa memperoleh izin
dispensasi kawin dari Pengadilan sebelumnya. Perbedaan pada kedua kasus tersebut
terletak pada pertimbangan hakim dan putusan hakim, bahwa di Pengadilan Agama
Itsbat Nikah terhadap Perkawinan di Bawah Umur tanpa Dispensasi Kawin Ditinjau
dari Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam
Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022 1453
Waingapu majelis hakim mengabulkan permohonan itsbat nikahnya, sedangkan di
Pengadilan Agama Bontang majelis hakim menolak permohonan itsbat nikahnya.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana keabsahan itsbat nikah
terhadap perkawinan di bawah umur tanpa didahului izin dispensasi dari Pengadilan.
Menanggapi permasalahan tersebut, H. Ohan selaku Komisi Fatwa MUI Jawa Barat
berpendapat sebagai berikut. Bahwa dalam suatu pernikahan adalah sah apabila
dilaksanakan menurut hukum agamanya masing-masing. Dalam kaidah-kaidah
keislaman suatu pernikahan harus dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat
nikah yaitu adanya mempelai laki-laki dan perempuan, wali nikah, dua orang saksi,
ijab qabul dan mahar. Hukum Islam tidak menentukan adanya batas-batas usia
perkawinan layaknya Undang-Undang Perkawinan, hanya ditandai pada kondisi
baligh nya seseorang. Seseorang dikatakan sudah baligh jika telah mengalami
menstruasi pada perempuan dan keluarnya air mani pada laki-laki, yang
menandakan bahwa ia harus melakukan tuntutan kewajiban-kewajibannya dalam
beribadah sehingga diperbolehkan untuk kawin guna menghindari terjadinya
perzinaan atau hubungan seksual di luar perkawinan. Majelis Ulama Indonesia
sendiri pada prinsipnya mengikuti pada ketentuan hukum negara, dan terhadap izin
dispensasi kawin diserahkan kepada Putusan Pengadilan (Rahman, 2017)
Menurut Ade Mulyana selaku penghulu Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Ujung Berung, dikatakan bahwa apabila terdapat warga yang hendak
melaksanakan pernikahan maka pihak KUA akan menanyakan dan memeriksa
segala berkas yang diperlukan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Syarat-syarat tersebut diperlukan baik untuk keperluan administrasi maupun untuk
memastikan bahwa perkawinan yang akan dilaksanakan telah sesuai dengan
ketentuan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Tidak ada persyaratan
tertentu yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan di bawah umur
terkecuali harus melampirkan izin dispensasi dari Pengadilan. Calon mempelai yang
hendak melangsungkan perkawinan di bawah umur atau meminta agar perkawinan
di bawah umur yang telah dilaksanakan agar dicatatkan, maka pihak KUA akan
meminta untuk menunjukan izin dispensasi dari Pengadilan. Dalam hal pihak yang
bersangkutan tidak dapat menunjukan izin dispensasi tersebut, maka pihak KUA
akan melakukan penolakan untuk ke Pengadilan, dan selanjutnya Pengadilan yang
menentukan apakah akan diberi dispensasi atau tidak. Setelah diberi dispensasi dari
Pengadilan, pihak yang bersangkutan dapat mendatangi KUA kembali, dan KUA
akan mengurus sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Terhadap
perkawinan di bawah tangan maka secara otomatis tidak tercatat di KUA, sehingga
bagi suami istri yang ingin mendapatkan legislasi buku nikah harus mengajukan
permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Setelah dilakukan itsbat nikah di
Pengadilan Agama, para pihak tersebut dapat mengajukan kembali kepada KUA
untuk mendapatkan buku nikah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan H. Mhd Dongan selaku Hakim pada
Pengadilan Agama Bandung bahwa perkawinan yang sudah memenuhi syarat dan
Dinada Junia Rismantika, Djanuardi, Rai Mantili
1454 Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022
rukun perkawinan dalam Islam maka perkawinan tersebut tetap sah. Dispensasi
bukan termasuk rukun nikah, dan pendaftaran nikah pada Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Perkawinan hanya merupakan kewajiban sebagai penduduk Indonesia dan
dapat dijadikan sebagai bukti perkawinan. Perkawinan yang akan di itsbat kan dapat
diajukan setelah usia yang melangsungkan perkawinan diperbolehkan untuk
menikah, artinya pada saat mengajukan permohonan itsbat nikah para pihak yang
bersangkutan telah berusia 19 tahun (Yunus, 2020)
Melihat contoh kasus permohonan itsbat nikah yang terjadi di Pengadilan
Agama Waingapu pada Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2019/PA.WGP bahwa A dan B
(para Pemohon) telah melaksanakan perkawinannya secara sah menurut agama
Islam yaitu dengan terpenuhinya rukun nikah. Perkawinan dilaksanakan di rumah
orang tua B (Pemohon II) di Kota Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang
dihadiri oleh kedua calon mempelai (para Pemohon), ayah kandung B (Pemohon II)
sebagai wali nikah, dua orang saksi, ijab qabul antara wali dan A (Pemohon I) dan
dengan maskawin berupa cincin emas 3 (tiga) gram dibayar tunai. Perkawinan
antara A dan B tidak didasarkan adanya hubungan nasab, semenda maupun
sepersusuan, dan tidak termasuk ke dalam bentuk larangan perkawinan lainnya
sebagaimana syariat Islam dan peraturan perundang-undangan. Permohonan itsbat
nikah tersebut juga sesuai dengan salah satu alasan itsbat nikah di Pengadilan
Agama sebagaimana Pasal 7 ayat (3) huruf (e) Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
“Permohonan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki halangan
perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”. Para Pemohon
dalam persidangan telah membuktikan dalil-dalilnya dengan mengajukan kedua
orang saksi dalam perkawinannya dengan memberikan keterangan yang sesuai
dengan dalil-dalil para Pemohon (Putri, 2021)
Melihat dari fakta-fakta kejadian pada perkara tersebut, dapat dibuktikan
bahwa perkawinan antara A dan B adalah sah menurut hukum agama Islam
meskipun secara hukum positif perkawinan tersebut melanggar ketentuan Pasal 7
ayat 1 Undang-Undang Perkawinan di mana A (Pemohon I) pada saat perkawinan
dilangsungkan secara agama masih berusia 17 (tujuh belas) tahun dan para Pemohon
tidak dapat menunjukkan izin dispensasi tersebut (Ahyani, 2016)
Majelis hakim dalam pertimbangannya berpendapat bahwa perkawinan para
Pemohon tanpa mengajukan permohonan dispensasi terlebih dahulu merupakan
kesalahan yang bersifat administratif yang dapat diperbaiki juga secara
administratif. Meskipun perkawinan para Pemohon dilakukan ketika masih di bawah
umur, namun hingga saat permohonan itsbat nikah diajukan para Pemohon masih
hidup rukun. Dapat disimpulkan bahwa tujuan-tujuan perkawinan yaitu membangun
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah telah terwujud. Terlebih
diketahui B (Pemohon II) pada saat permohonan diajukan sedang dalam keadaan
hamil 6 bulan dari perkawinan tersebut. Majelis hakim menilai bahwa para
Pemohon telah mempunyai kesiapan mental untuk membentuk dan melanjutkan
Itsbat Nikah terhadap Perkawinan di Bawah Umur tanpa Dispensasi Kawin Ditinjau
dari Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam
Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022 1455
rumah tangganya. Atas hal ini maka tidak ada alasan bagi majelis hakim untuk tidak
mengabulkan permohonan itsbat nikah para Pemohon.
Sementara pada kasus permohonan itsbat nikah lainnya yang terjadi di
Pengadilan Agama Bontang pada Penetapan Nomor 19/Pdt.P/2012/PA.Botg bahwa
para Pemohon dalam dalil-dalilnya menyatakan telah melangsungkan perkawinan
sesuai dengan tata cara agama Islam. Menurut para Pemohon perkawinan
dilaksanakan dengan wali nikah Pemohon II, dengan berwakil kepada imam
kampung, disaksikan oleh dua orang saksi dan mahar berupa seperangkat alat sholat
dan uang tunai sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah). Para Pemohon
mengajukan permohonan itsbat nikah dikarenakan untuk mengurus Buku Kutipan
Akta Nikah dan untuk kepentingan pembuatan Akta Kelahiran kedua anaknya.
Diketahui para Pemohon datang sendiri menghadap persidangan dan tidak
menghadirkan dua orang saksi dalam perkawinannya. Selain itu para Pemohon juga
tidak dapat menunjukkan izin dispensasi atas perkawinan di bawah umur yang telah
dilaksanakannya. Melihat pada fakta-fakta tersebut, maka para Pemohon tidak
benar-benar dapat membuktikan perkawinannya sehingga majelis hakim dengan
pertimbangan hukumnya sepakat untuk menolak permohonan para Pemohon.
Menurut. H. Mhd Dongan selaku Hakim Pengadilan Agama Bandung,
bahwa ditolaknya permohonan itsbat nikah dimungkinkan terjadi karena beberapa
faktor, di antaranya:
1. Pada saat itsbat nikah usia para pihak yang perkawinannya hendak di itsbat kan
belum memenuhi syarat untuk di itsbat kan, yaitu belum mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun.
2. Bukti-bukti yang diajukan para Pemohon setelah dianalisa ternyata tidak
memenuhi rukun dan syarat sah nikah.
3. Majelis hakim berpendapat dengan melihat kondisi suatu daerah. Sebagai
contoh di daerah tersebut sudah terlalu banyak perkawinan di bawah tangan
dengan kondisi usia para mempelai tidak memenuhi batas usia perkawinan.
Ketika hakim berpendapat demikian, maka dimungkinkan permohonan itsbat
nikah akan ditolak, misalnya dengan maksud membuat trauma di masyarakat
agar tidak menormalisasi perkawinan di bawah umur.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dispensasi kawin
bukan merupakan syarat dan rukun pernikahan dalam syariat Islam. Dalam hal
perkawinan di bawah umur menurut Undang-Undang telah dilaksanakan secara
syariat Islam namun tidak dicatatkan atau tidak dilaksanakan melalui Kantor
Urusan Agama, maka perkawinan tersebut termasuk dalam perkawinan siri dan
perkawinannya adalah sah apabila sudah baligh, meskipun tidak didasarkan
pada izin dispensasi kawin atas perkawinan di bawah umur tersebut.
Dispensasi berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak
dan melindungi anak dari perlakuan sewenang-wenang orang tua atau walinya
untuk menikahkan anaknya.
Dinada Junia Rismantika, Djanuardi, Rai Mantili
1456 Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022
Perkawinan di bawah umur tanpa dispensasi tersebut adalah sah dan
sama seperti perkawinan siri lainnya, tetapi kurang sempurna, maka perlu
untuk mengajukan itsbat nikah di Pengadilan Agama agar perkawinannya
dapat dicatatkan dan mendapatkan Kutipan Akta Nikah. Para pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan permohonan itsbat nikah apabila telah berusia
sekurang-kurangnya 19 (sembilan belas) tahun sebagaimana syarat minimal
usia perkawinan yang berlaku saat ini. Para pihak juga se dapat mungkin untuk
membuktikan bahwa perkawinannya benar-benar telah dilaksanakan serta
memenuhi ketentuan hukum agama Islam.
Dalam contoh kasus permohonan itsbat nikah yang ditolak oleh
Pengadilan Agama, bukan berarti perkawinan yang telah dilaksanakan menjadi
tidak sah, sebab hakikatnya keabsahan suatu perkawinan kembali pada
ketentuan hukum agamanya masing-masing. Hanya saja perkawinan di bawah
tangan yang tidak di itsbat kan berakibat pada tidak adanya buku nikah
sehingga perkawinan menjadi tidak tercatat dan status perkawinan tidak diakui
oleh negara.
B. Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Penetapan Itsbat Nikah terhadap
Perkawinan Di Bawah Umur Tanpa Dispensasi Kawin Ditinjau dari Undang-
Undang Perkawinan dan Hukum Islam.
Perkawinan sebagai peristiwa hukum akan menimbulkan akibat-akibat
hukum baik bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan (suami dan istri),
anak-anak yang dilahirkan, maupun pihak ketiga yang memiliki kepentingan.
Akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dalam perkawinan akan dilindungi oleh
hukum apabila perkawinan tersebut dilaksanakan sebagaimana ketentuan hukum
yang berlaku. Ketentuan hukum perkawinan yang berlaku saat ini merujuk pada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan beberapa
perubahan pada pasalnya melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perbuatan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Di
mana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan
undang-undang unifikasi yang mengatur mengenai perkawinan beserta akibat-akibat
hukumnya (Safira, Judiasih, & Yuanitasari, 2021).
Perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum tercantum secara eksplisit
dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yaitu perkawinan yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan hukum agamanya, kemudian perkawinan tersebut dicatat
menurut peraturan perundang-undangan. Dalam hal perkawinan di bawah umur
tanpa dispensasi kawin yang telah dilaksanakan hendak mendapat legalitas maka
harus dilakukan itsbat nikah terhadap perkawinan tersebut. Perkawinan yang telah di
itsbat kan oleh Pengadilan maka akibat hukumnya sama dengan perkawinan pada
umumnya. Bahwa setelah perkawinan di bawah umur telah di itsbat kan maka
perkawinannya berkekuatan hukum tetap dan akan memperoleh Kutipan Akta Nikah
Itsbat Nikah terhadap Perkawinan di Bawah Umur tanpa Dispensasi Kawin Ditinjau
dari Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam
Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022 1457
sebagai jaminan terhadap akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan tersebut
(Oktafia & Sudarsono, 2022)
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ade Mulyana selaku perwakilan dari
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Ujung Berung, bahwa setelah perkawinan
di bawah umur di itsbat kan oleh Pengadilan Agama, maka pihak yang bersangkutan
dapat mendatangi Kantor Urusan Agama setempat dengan menunjukan bukti
penetapan itsbat nikah dari Pengadilan Agama, dan kemudian pihak Kantor Urusan
Agama dapat menerbitkan buku nikah. Buku nikah yang telah diperoleh dapat
dipergunakan untuk mengurus segala dokumen kependudukan lainnya (Amir, 2008)
Meskipun hukum Islam tidak menjadikan pencatatan perkawinan sebagai
syarat sahnya perkawinan, namun dapat diqiyaskan dengan nash pada muamalah
hutang piutang, sebab terdapat kesamaan illah dari keduanya yakni bukti sahnya
perjanjian atau transaksi muamalah. Sebagaimana diqiyaskan pada perintah
pencatatan akad hutang piutang, maka pencatatan akad pada perkawinan merupakan
anjuran menurut hukum Islam, yang mana kaidah fikihnya menyatakan bahwa :
“Sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan bukti atau keterangan sepadan dengan
yang telah ditetapkan berdasarkan kenyataan” Selain itu pencatatan perkawinan
bertujuan untuk tertib administrasi, memberikan jaminan atas kepastian dan
perlindungan hukum status suami, istri, anak-anak yang dilahirkan, serta hak-hak
yang ditimbulkan seperti halnya hak nafkah, hak harta bersama, hak waris, dan hak
atas identitas hukum seperti memperoleh akta kelahiran dan kartu keluarga (Oktafia
& Sudarsono, 2022)
Akibat hukum yang ditimbulkan setelah dilakukan itsbat nikah terhadap
perkawinan di bawah umur tanpa dispensasi kawin di Pengadilan Agama di
antaranya sebagai berikut :
1. Status Perkawinan
Setelah perkawinan di itsbat kan melalui penetapan Pengadilan Agama
yang telah berkekuatan hukum tetap, maka para pihak dapat memperoleh buku
nikah sebagai bukti status perkawinannya.
5
Buku nikah merupakan bukti
keabsahan perkawinan menurut hukum dan dapat digunakan untuk mengurus
berbagai dokumen kependudukan sebagai hak-hak administratif yang dimiliki
para pihak, seperti Kartu Keluarga, Akta Kelahiran Anak, dan surat penting
lainnya. Selain itu buku nikah (Kutipan Akta Nikah) dapat dijadikan sebagai alat
bukti autentik yang dapat melindungi hak-hak para pihak yang menyangkut
status perkawinan tersebut (Soemitro, 1990)
2. Hubungan Suami Istri
Dalam suatu ikatan perkawinan yang sah akan menimbulkan hubungan
hukum antara suami dan istri. Hubungan hukum antara suami dan istri dalam
suatu ikatan perkawinan akan menimbulkan berbagai hak dan kewajiban sebagai
seorang suami maupun seorang istri sebagaimana ketentuan Pasal 30 sampai
Dinada Junia Rismantika, Djanuardi, Rai Mantili
1458 Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022
dengan Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan. Di mana suami istri harus saling
setia, mencintai, tolong menolong dan saling memberikan bantuan lahir bathin.
Seorang suami juga berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya.
Mengenai pewarisan, bahwa kedudukan istri sebagai ahli waris suami maupun
kedudukan suami sebagai ahli waris istri menjadi terang. Hal ini dapat
dibuktikan dengan kepemilikan buku nikah sebagai bukti status perkawinan di
antara mereka (Chand, 2021)
3. Anak Yang Dilahirkan
Anak sebagai anugerah dari Allah SWT yang dititipkan kepada kedua
orang tua untuk dirawat dan dibesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Sebagaimana salah satu tujuan dari perkawinan dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 1
ialah untuk menghasilkan dan melanjutkan keturunan. Berdasarkan Pasal 42
Undang-Undang Perkawinan, bahwa seorang anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah akan memperoleh status sebagai anak sah (Oktafia &
Sudarsono, 2022)
Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan
dengan ibu dan keluarga ibu (Julir, 2018) Status anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang telah di itsbat kan selain memiliki hubungan keperdataan
dengan ibu dan keluarga ibu, juga memiliki hubungan keperdataan dengan ayah
dan keluarga ayah. Kemudian hubungan hukum yang ditimbulkan antara orang
tua dan anak yaitu bahwa orang tua bertanggung jawab untuk memelihara dan
memenuhi hak-hak anak seperti hak untuk mendapatkan kasih sayang,
perlindungan, pendidikan, kesejahteraan dan sebagainya. Seorang anak
berkewajiban untuk taat dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Sebagaimana
Undang-Undang Perkawinan mengatur mengenai hak dan kewajiban orang tua
dan anak dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan
(Aripin, 2009).
Kewajiban seorang anak dalam menghormati kedua orang tuanya
tercantum dalam Q.S Al-Isra: 23 yang artinya sebagai berikut:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya
perkataan yang baik (Sulaikin Lubis, 2018)
Dalam hal pewarisan seorang anak dapat menjadi ahli waris bagi ayah
dan ibunya, maupun ayah dan ibunya dapat menjadi ahli waris bagi anaknya.
Berdasarkan Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam, pewarisan antara orang tua dan
anak merupakan mengelompokkan ahli waris menurut hubungan darah (Manan
& SH, 2017)
Itsbat Nikah terhadap Perkawinan di Bawah Umur tanpa Dispensasi Kawin Ditinjau
dari Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam
Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022 1459
4. Harta Benda Perkawinan
Harta benda perkawinan merupakan semua harta yang dikuasai oleh
masing-masing suami istri maupun secara bersama-sama dalam ikatan
perkawinan. Di Indonesia mengenai harta benda perkawinan telah diatur dalam
Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan. Menurut Pasal
35 Undang-Undang Perkawinan bahwa harta benda dalam perkawinan terbagi
menjadi dua macam yaitu harta bersama dan harta bawaan. Setelah Pengadilan
Agama mengeluarkan penetapan itsbat nikah, maka dapat dibedakan antara harta
benda perkawinan yang diperoleh selama ikatan perkawinan, apakah termasuk
ke dalam harta bersama maupun harta bawaan terkecuali ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan (Ali, 2021)
Menurut H. Mhd Dongan selaku Hakim pada Pengadilan Agama
Bandung bahwa akibat hukum yang ditimbulkan apabila perkawinan di bawah
umur tersebut tidak segera di itsbat kan, maka akan berakibat pada beberapa hal
yaitu:
a. Kesulitan dalam mengajukan perceraian karena tidak dapat menunjukan bukti
status perkawinannya. Sebab perkawinan yang telah dilaksanakan rakibat
pula pada secara di bawah tangan tidak dapat memperoleh buku nikah, yang
beperkawinan tidak dapat dibuktikan dan tidak tercatat di Kantor Urusan
Agama.
b. Berpoligami tanpa prosedur. Sebagai contoh suami yang hendak menikah lagi
dengan wanita lain atau berpoligami, maka istri pertama tidak dapat
menghalangi suami sebab perkawinan mereka dilakukan dengan di bawah
tangan dan belum di itsbat kan, sehingga perkawinan tersebut tidak dapat
dibuktikan.
c. Anak yang dilahirkan tidak dapat didaftarkan dalam kartu keluarga sebab
tidak memiliki buku nikah orang tuanya, sehingga tidak terlihat siapa ayah
dari anak yang dilahirkan tersebut. Akibatnya anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut tidak memiliki hubungan keperdataan dengan ayah dan
keluarga dari ayah, melainkan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan
ibu dan keluarga dari ibu.
d. Anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak dapat menjadi ahli waris
bagi ayahnya.
e. Ayahnya tidak dapat menjadi wali nikah bagi anak perempuan yang
dilahirkan dari perkawinan di bawah tangan.
f. Kesulitan dalam menentukan kedudukan harta bersama. Terhadap
perkawinan di bawah umur yang tidak di itsbat kan maka harta bersama
tersebut dianggap tidak ada dan hanya berlaku harta masing-masing
(Nurmalasari et al., 2016)
Dinada Junia Rismantika, Djanuardi, Rai Mantili
1460 Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022
Melihat pada berbagai akibat hukum yang ditimbulkan tersebut maka terlihat
urgensi dari suatu perkawinan agar dilakukannya itsbat nikah untuk mendapatkan
jaminan dan perlindungan hukum. Suatu perkawinan di bawah umur tanpa
dispensasi kawin yang tidak segera diajukan permohonan itsbat nikah maka akan
berakibat pada hilangnya hak-hak yang sepatutnya dimiliki para pihak yang
bersangkutan. Terlebih dalam hal ini pihak perempuan dan anak yang paling banyak
mendapatkan kerugian apabila perkawinan di bawah umur tersebut tidak dilakukan
itsbat nikah (Judiasih, Suparto, Afriana, & Yuanitasari, 2018).
Kesimpulan
Keabsahan perkawinan di bawah umur tanpa dispensasi kawin pada dasarnya
kembali kepada ketentuan hukum agama yang dianutnya, sebagaimana Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan. Sementara itu dispensasi kawin bukan sebagai syarat
sahnya perkawinan. Keabsahan perkawinan ditentukan pada ketentuan hukum
agamanya masing-masing. Dalam hukum Islam, bahwa perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan, serta tidak melanggar
larangan-larangan perkawinan. Maka ketiadaan dispensasi kawin tidak mempengaruhi
keabsahan suatu perkawinan di bawah umur. Perkawinan di bawah umur tanpa
dispensasi kawin yang telah di itsbat kan di Pengadilan Agama akan berakibat hukum
sama dengan perkawinan pada umumnya. Akibat hukum yang ditimbulkan diantaranya:
(1) Status perkawinan yang telah di itsbat kan melalui penetapan Pengadilan Agama
yang telah berkekuatan hukum tetap akan memperoleh buku nikah sebagai bukti status
perkawinannya; (2) Menimbulkan hubungan hukum antara suami dan istri. Hubungan
hukum tersebut diantaranya hak dan kewajiban antara suami dan istri, serta kedudukan
ahli waris antara suami dan istri; (3) Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah
akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan ibu dan keluarga ibu serta ayah dan
keluarga ayah, menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, dan dapat
mendudukkan anak sebagai ahli waris bagi ayah dan ibunya maupun sebaliknya; dan (4)
Dapat dibedakan kedudukan harta benda perkawinan yang termasuk ke dalam harta
bersama maupun harta bawaan.
Itsbat Nikah terhadap Perkawinan di Bawah Umur tanpa Dispensasi Kawin Ditinjau
dari Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam
Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022 1461
BIBLIOGRAFI
Ahyani, Sri. (2016). Pertimbangan Pengadilan Agama Atas Dispensasi Pernikahan Usia
Dini Akibat Kehamilan Di Luar Nikah. Jurnal Wawasan Yuridika, 34(1), 31
47.Google Scholar
Ali, Zainuddin. (2021). Metode penelitian hukum. Sinar Grafika. Google Scholar
Amir, Syarifuddin. (2008). ushul fiqh jilid 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Google Scholar
Aripin, H. Jaenal. (2009). Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia. Prenada Media.
Google Scholar
Chand, Gambhir Bahadur. (2021). Challenges Faced by Bachelor Level Students While
Speaking English. IJELTAL (Indonesian Journal of English Language Teaching
and Applied Linguistics), 6(1), 4560. Google Scholar
Handayani, Yunita. (2016). Analisis Terhadap Dispensasi Pengadilan Negeri dalam
Memberikan Izin Perkawinan Kepada Anak di Bawah Umur (Studi Penetapan
Pengadilan Negeri Magelang Nomor: 168/Pdt. P/2012/PN. Mgl). Google Scholar
Judiasih, Sonny Dewi, Suparto, Susilowati, Afriana, Anita, & Yuanitasari, Deviana.
(2018). Dispensasi Pengadilan: Telaah Penetapan Pengadilan Atas Permohonan
Perkawinan Di Bawah Umur. Adhaper: Jurnal Hukum Acara Perdata, 3(2), 191
203. Google Scholar
Julir, Nenan. (2018). Pencatatan Perkawinan di Indonesia Perspektif Ushul Fikih.
JURNAL ILMIAH MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi, Dan Keagamaan, 4(1),
5362. Google Scholar
Manan, H. Abdul, & SH, S. (2017). Aneka masalah hukum perdata Islam di Indonesia.
Prenada Media. Google Scholar
Mangku, Dewa Gede Sudika, & Yuliartini, Ni Putu Rai. (2020). Diseminasi Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Peningkatan Kesadaran
Hukum Masyarakat Di Desa Sidetapa Terkait Urgensi Pencatatan Perkawinan
Untuk Memperoleh Akta Perkawinan. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan
Undiksha, 8(1), 138155.Google Scholar
Muchimah, Muchimah. (2018). Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
dalam Perspektif Sosiologi dan Antropologi Hukum Islam. Volksgeist: Jurnal Ilmu
Hukum Dan Konstitusi, 1(2), 157171. Google Scholar
Nurmalasari, Trisna, Zahara, Sita, Arisanti, Nisa, Mentari, Putri, Nurbaeti, Yulia,
Lestari, Tresna, & Rahmiyani, Ira. (2016). Uji aktivitas antioksidan ekstrak buah
kupa (Syzygium polycephalum) terhadap radNurmalasari, Trisna, Zahara, Sita,
Arisanti, Nisa, Mentari, Putri, Nurbaeti, Yulia, Lestari, Tresna, & Rahmiyani, Ira.
Dinada Junia Rismantika, Djanuardi, Rai Mantili
1462 Syntax Idea, Vol. 4, No. 10, Oktober 2022
(2016). Uji aktivitas antioksidan ekstrak buah kupa (Syz. Jurnal Kesehatan Bakti
Tunas Husada: Jurnal Ilmu-Ilmu Keperawatan, Analis Kesehatan Dan Farmasi,
16(1), 6168. Google Scholar
Oktafia, Yeni, & Sudarsono, Sudarsono. (2022). Sudarsono. (2005). Hukum
Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila
Dan Kewarganegaraan, 6(2), 462469. Google Scholar
Putri, Inayah Alicia. (2015). Analisis Yuridis Upaya Hukum Pencatatan Perkawinan
Beda Agama Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia. Google Scholar
Rahman, Faizel. (2017). Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Dispensasi Kawin
Dibawah Umur Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam Di Pengadilan Agama
Rengat (Studi Kasus Perkara Nomor: 0133/Pdt. P/2015/PA Rgt). Universitas Islam
Riau. Google Scholar
Safira, Levana, Judiasih, Sonny Dewi, & Yuanitasari, Deviana. (2021). Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Perkawinan Bawah Umur Tanpa
Dispensasi Kawin Dari Pengadilan. Acta Diurnal Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan,
4(2), 210225. Google Scholar
Soemitro, Ronny Hanitijo. (1990). Metodologi penelitian hukum dan jurimetri. Ghalia
Indonesia, Jakarta, 167. Google Scholar
Sulaikin Lubis, S. H. (2018). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.
Kencana. Google Scholar
Yunus, Ahyuni. (2020). Hukum Perkawinan dan Itsbat Nikah: Antara Perlindungan dan
Kepastian Hukum. Humanities Genius. Google Scholar
Copyright holder:
Dinada Junia Rismantika, Djanuardi, Rai Mantili (2022)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: