Syntax Idea: p–ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X

Vol. 4, No. 7, Juli 2022

 

TANGGUNG JAWAB DISTRIBUTOR KEPADA RETAILER DALAM PEMASARAN PRODUK HANDPHONE YANG TIDAK SESUAI PEMESANAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 20/PDT.G/2019/PN ADL)

 

Tranis Bella H, Dedi Harianto, Syarifah Lisa Andriati

Universitas Sumatera Utara, Indonesia

Email: [email protected][email protected][email protected]                     

 

Abstrak

Aturan mengenai perlindungan hukum terhadap retailer belum lengkap, hal ini dapat dicermati dari ketentuan hukum yang mengatur tentang retailer yang sampai saat ini baru diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan tentang ketentuan umum distribusi barang. Pada studi Putusan Pengadilan Negeri Andoolo No. 20/Pdt.G/2019/PN ADL merupakan putusan Pengadilan Negeri yang mengabulkan dua (2) lembar kuitansi pembayaran adalah sah dan mengikat pihak retailer dan distributor. Oleh sebab itu, perlu dipahami bagaimana pengaturan hubungan hukum antara distributor dengan retailer dalam jual beli smartphone, bagaimana pertanggungjawaban distributor terhadap retailer terkait penerimaan produk smartphone yang tidak sesuai dengan pemesanan berdasarkan KUH Perdata, serta bagimana analisa hukum pertimbangan dan putusan Hakim mengenai pertanggungjawaban distributor terhadap retailer pada Putusan Pengadilan Negeri Andoolo No. 20/Pdt.G/2019/PN ADL. Jenis penelitian hukum normatif dan sifat penulisan: penelitian hukum yang bersifat deskriptif analitis. Sumber data: bahan hukum sekunder. Kemudian, teknik pengumpul data: kepustakaan, serta alat pengumpulan data: studi dokumen dan analisis data: analisis data kualitatif. Dari hasil penulisan ini, Pengaturan hubungan hukum antara distributor dengan retailer dalam jual beli smartphone, diatur dalam Pasal 1338 KUHP yang menganut asas kebebasan berkontrak, Pasal 6 angka 1 huruf A dan Pasal 6 angka 2 PERMENDAGRI Nomor 66 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22/M-DAG/PER/3/2016 tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang, pada kegiatan distribusi perikatan timbul baik dari perjanjian, penunjukan, dan/atau bukti transaksi secara tertulis, sehingga pertanggungjawaban distributor terhadap retailer terkait penerimaan produk handphone yang tidak sesuai dengan pemesanan memiliki akibat hukum perbuatan Wanprestasi. Terkait biaya kerugian yang harus diganti pada putusan No. 20/Pdt.G/2019/PN ADL, Majelis Hakim memberikan keputusan yang didasarkan kepada petitum subsidair yang berbentuk ex aequo et bono yang mana lebih mendekati rasa keadilan dan masih dalam kerangka yang serasi dengan inti petitum primair.

 

Kata Kunci: retailer; distributor; perjanjian.

 

 

 

Abstract

The rules regarding legal protection of retailers are not complete, this can be observed from the legal provisions governing retailers which until now have only been regulated in the Regulation of the Minister of Trade on the general provisions for the distribution of goods. In the study of the Judgment of the District Court of Andoolo No. 20/Pd.G/2019/PN ADL is a judgment of the District Court that grants two (2) sheets of payment receipts is valid and binding on the retailer and distributor. Therefore, it is necessary to understand how to regulate the legal relationship between distributors and retailers in buying and selling smartphones, how distributors' liability to retailers related to the receipt of smartphone products that are not in accordance with orders based on the Civil Code, as well as how the legal analysis of the judge's consideration and decision regarding the distributor's liability to retailers in the Andoolo District Court Decision No. 20 / Pdt.G / 2019 / PN ADL. Type of research: normative law and the nature of writing: legal research of an analytical descriptive nature. Data source: secondary legal material. Then, data collection techniques: literature, as well as data collection tools: document study and data analysis: qualitative data analysis. From the results of this writing, the regulation of legal relations between distributors and retailers in buying and selling smartphones, is regulated in Article 1338 of the Criminal Code which adheres to the principle of freedom of contract, Article 6 number 1 letter a and Article 6 number 2 of the PERMENDAGRI Number 66 of 2019 concerning Amendments to the Regulation of the Minister of Trade Number 22/M-DAG/PER/3/2016 concerning General Provisions for The Distribution of Goods, in the distribution activities of the agreement arises either from the agreement, appointment, and/or proof of transaction in writing, so that the distributor's liability to the retailer related to the receipt of mobile phone products that are not in accordance with the order has a legal consequence of default. Regarding the cost of the loss to be reimbursed in judgment No. 20/Pdt.G/2019/PN ADL, the Panel of Judges gave a decision based on the petitum subsidair in the form of ex aequo et bono which is closer to the sense of justice and is still within a framework compatible with the prima facie petitum core.

 

Keywords: retailers; distributors; agreements.

 

Pendahuluan

Perkembangan dunia bisnis belakangan ini sangat mendukung perkembangan para pelaku usaha yang berada di pasar, terutama perkembangan dunia bisnis yang terjadi dalam bidang perdagangan teknologi, seperti smartphone. Smartphone yang dipasarkan di Indonesia pada umumnya diimpor dari Negara lainAs the development of field-based hypotheses and identify the salient characteristics of the circular economy (CE) for improvement in both countries sebagai pengembangan hipotesis berbasis lapangan dan mengidentifikasi karakteristik yang menonjol dari ekonomi sirkular (CE) untuk perbaikan di kedua negara (Chun et al., 2022). Smartphone tersebut sampai ke tangan konsumen melalui proses distribusi, baik distribusi langsung maupun distribusi tidak langsung. Pada proses distribusi tidak langsung, distributor mendistribusikan barang tersebut kepada konsumen melalui rantai distribusi yang bersifat umum, seperti melalui retailer (Ramli, 2019). Menurut Pasal 1 angka 8 PERMENDAGRI No. 22/M-DAG/PER/3/2016 Tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang menyatakan Distributor adalah perusahaan perniagaan kewarganegaraanisme yang beraksi atas namanya sendiri berdasarkan perjanjian yang melakukan pembelian, penjualan penyimpanan, serta pemasaran barang dan jasa yang dimiliki/dikuasai, sedangkan Pasal 1 angka 14 PERMENDAGRI No. 22/M-DAG/PER/3/2016 Tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang menyatakan “Pengecer adalah pelaku usaha distribusi yang kegiatan pokoknya memasarkan barang secara langsung kepada konsumen”. Namun tidak semua barang yang beredar yang di terima oleh retailer memiliki kualitas yang prima dan terkadang jenis smartphone yang dipesan tidak sesuai dengan apa yang sudah diperjanjikan dimuka. Bagi seorang distributor, hubungan baik dengan retailer sama pentingnya dengan hubungan baik antara perusahaan dengan konsumen.

Aturan mengenai perlindungan hukum terhadap retailer belum lengkap, indikator hal ini dapat dicermati dari ketentuan hukum yang mengatur tentang retailer yang sampai saat ini baru diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan. Pengaturan tentang perlindungan terhadap retailer ditentukan oleh perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Sementara penyaluran barang antara distributor dengan retailer tersebut diawali dengan perjanjian yang di buat oleh ke dua belah pihak. Suatu yang wajib harus dipenuhi dalam sebuah perjanjian adalah prestasi. Prestasi merupakan isi dari pada perjanjian. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia dikatakan “Wanprestasi” (kelalaian) (Riduan, 2010). Pembahasan kali ini, retailer telah membayar harga yang dijanjikan kepada distributor dengan jumlah yang cukup besar maka perlu dipahami, bagaimana caranya menuntut pemenuhan apabila distributor memberi barang yang tidak sesuai dengan pemesanan yang telah diperjanjikan yang dikategorikan sebagai suatu pelanggaran. Banyak fakta menunjukkan adanya kasus Wanprestasi oleh distributor. Misalnya kasus Wanprestasi distributor smartphone yang terjadi di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yaitu dengan perkara Pengadilan Negeri Nomor 20/Pdt.G/2019/PN ADL. Perkara tersebut juga didaftarkan dalam upaya banding melalui Pengadilan Tinggi Kendari dengan perkara Nomor 60/PDT/2020/PT KDI.

Namruddin selaku distributor smartphone dan seorang retailer bernama Dian Jabar Aliyamin yang mana Dian Jabar Aliyamin melakukan pembelian Handphone All Brand (Iphone, Samsung, Oppo, Vivo, dan Nokia) yang jumlahnya tertera di dalam kuitansi. Kuitansi tersebut berisi mengenai sejumlah uang secara tunai dan sebagian melalui transfer dengan total sebesar Rp. 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah) kepada Namruddin, hal ini dibuktikan berdasarkan 2 (dua) lembar kuitansi pembayaran yang dibuat dan ditandatangani oleh Namruddin dan beberapa orang saksi masing-masing tertanggal 5 Juli 2019 dengan nominal perlembar kuitansi masing-masing sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah) yang diterima langsung Namruddin dari Dian Jabar Aliyamin dengan syarat yang disepakati Namruddin secara lisan bahwa pada saat grand opening toko Handphone Dian dilakukan, semua orderan Dian sudah ada dan terisi di etalase toko untuk dijual pada konsumen di Lapulu Kota Kendari.

Oleh karena kuitansi dibuat sebagai bukti tanda terima uang ditanda tangani kedua belah pihak serta disaksikan oleh beberapa orang saksi maka menurut hukum kuitansi tersebut adalah sah, berlaku dan mengikat secara hukum. Pada saat pelaksanaan grand opening toko Handphone milik Dian yang bernama Galery Ponsel Store (GPS) yang terletak di Lapulu Kota Kendari yang terlaksana pada tanggal 18 Agustus 2019, produk handphone yang diantarkan oleh Namruddin ke toko Dian tidak sesuai dengan janji Namruddin untuk menyediakan seluruh produk handphone sesuai permintaan Dian. Dian memesan pembelian produk handphone dengan merk-merk, seperti Iphone, Samsung, Oppo, Vivo, dan Nokia namun faktanya produk handphone yang diantarkan Namruddin justru merk-merk lain yang sesungguhnya tidak diorder Dian, seperti merk handphone Evercoss, Luna, X-COM, Maxtron, Advan, Strawberry, GenPRO, dan Aldo yang mana produk handphone yang diantarkan ini, setelah dilakukan pengecekan, memiliki total senilai Rp. 652.750.000,- (Enam Ratus Lima Puluh Dua Juta Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).

Adanya fakta produk handphone tidak sesuai pesanan, maka satu minggu setelah grand opening toko, Dian melakukan pengembalian barang kepada Namruddin yang mana bila dikalkulasikan maka senilai Rp. 448.968.000,- (Empat Ratus Empat Puluh Delapan Juta Sembilan Ratus Enam Puluh Delapan Ribu Rupiah), sedangkan sisa barang yang tidak dikembalikan senilai Rp. 203.782.000,- (Dua Ratus Tiga Juta Tujuh Ratus Delapan Puluh Dua Ribu Rupiah). Dian meminta Namruddin untuk mendatangkan barang sesuai dengan permintaan di awal dengan nilai uang yang diberikan, namun Namruddin selaku distributor tidak memenuhi permintaan Dian dan Dian selaku retailer melayangkan surat somasi kepada Namruddin dengan tuntutan segera mengembalikan seluruh dana milik Dian, namun hingga gugatan diajukan, Namruddin tidak kunjung memenuhi kewajibannya kepada Dian.

Sehubungan dengan hal tersebut, Majelis Hakim pada perkara tersebut mengeluarkan putusan dengan Nomor 20/Pdt.G/2019/PN ADL yang menyatakan dalam pokok perkara mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebahagian, menyatakan tergugat telah melakukan ingkar janji (Wanprestasi), menghukum Tergugat untuk membayar sisa uang yang telah dibayar Penggugat kepada Tergugat dalam hal perdagangan handphone sebesar Rp. 524.193.000,- (Lima Ratus Dua Puluh Empat Juta Seratus Sembilan Puluh Tiga Ribu Rupiah) kepada Penggugat dengan seketika dan sekaligus, menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya, dan menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 756.000,- (Tujuh Ratus Lima Puluh Enam Ribu Rupiah). Hingga putusan tersebut disahkan, pada hari Senin tanggal 3 Agustus 2020, Namruddin selaku Tergugat melakukan upaya banding yang didaftarkan ke Pengadilan Tinggi Kendari dengan perkara No 60/PDT/2020/PT KDI.

Pada tanggal 14 Oktober 2020 putusan Banding diumumkan, Majelis Hakim mengeluarkan amar putusan yang menyatakan: Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Tergugat; Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Andoolo tanggal 22 Juni 2020, Nomor 20/Pdt.G/2019/PN ADL yang dimohonkan banding tersebut; Menghukum Pembanding semula Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam kedua tingkat peradilan dan dalam tingkat banding ditetapkan sejumlah Rp. 150.000.- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah). Hingga putusan tersebut dikeluarkan, tidak ada upaya hukum kasasi yang diajukan dalam perkara tersebut.

Perjanjian antara retailer dan distributor tersebut menggunakan sistem pembayaran yang dilakukan secara bertahap. Namun dalam kurun waktu yang lebih singkat, meskipun distributor sudah diberikan keringanan dengan cara meminta secara baik-baik kepada distributor untuk mendatangkan kembali barang sesuai dengan permintaan dan ketika retailer melayangkan surat somasi kepada distributo. Distributor tersebut tidak kunjung memenuhi kewajibannya yang biasa disebut sebagai Wanprestasi yang menyebabkan retailer mengalami kerugian. Pada saat retailer mengajukan gugatan, distributor merasa retailer tersebut tidak memuat secara jelas tentang obyek sengketa gugatan dikarenakan retailer tersebut tidak menyerahkan bukti surat berupa kontrak kerjasama mengenai pengorderan brand smaprtphone, retailer tersebut hanya menyerahkan bukti-bukti surat, seperti kuitansi pembayaran, bukti transfer, faktur penjualan PT. Mobile Trade Center (MTC), dan lain sebagainya. Untuk itu dalam penulisan ini perlu dipahami bagaimana hubungan hukum dan perlindungan hukum terhadap retailer, bagaimana keabsahan dua lembar kwitansi pembayaran, dan bagaimana upaya yang dapat dilakukan retailer dalam menghadapi kerugian yang dialaminya.

Atas dasar latar belakang pemikiran tersebut, maka rumusan masalah di dalam penelitian ini pertama, bagaimana pengaturan hubungan hukum antara distributor dengan retailer dalam jual beli smartphone, bagaimana pertanggungjawaban ditributor terhadap retailer terkait penerimaan produk handphone yang tidak sesuai dengan pemesanan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta bagaimana analisa hukum pertimbangan dan putusan Hakim mengenai pertanggungjawaban distributor terhadap retailer pada Putusan Nomor 20/Pdt.G/2019/PN ADL. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengkajian terhadap putusan Nomor 20/Pdt.G/2019/PN ADL yang dituangkan dalam sebuah karya tulis berjudul: “Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Distributor Kepada Retailer dalam Pemasaran Produk HandPhone yang Tidak Sesuai”.

 

Metode Penelitian

Teknik pengumpul data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan (library research) yang merupakan langkah awal dari penelitian hukum normatif yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Alat pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen, yaitu dengan cara membaca, mempelajari, mengidentifikasi literatur-literatur, laporan penelitian serta sumber bacaan lainnya dengan menyalin atau memindahkan data yang relevan dengan penulisan (Sugiyono, 2015). Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, bahan hukum yang telah terkumpul dan diolah akan dibahas dengan menggunakan analisa data kualitatif. Teknik Penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yaitu dengan cara menarik kesimpulan dari data-data yang bersifat umum ke data-data yang bersifat khusus. Didapat dari data-data yang diperoleh dan dianalisis, kemudian ditarik kesimpulan (Marzuki, 2016).

Bahan sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer (Asikin, 2018). Terdiri dari buku-buku teks, jurnal hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan serta komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu: a. Buku-buku yang berkaitan dengan perjanjian kerjasama. b. Buku-buku yang berkaitan dengan Wanprestasi. c. Karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan perjanjian kerjasama. d. Karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan Wanprestasi. Menurut bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia dan kamus bahasa Inggris” (Soekanto & Mamudji, 2014).

 

Hasil dan Pembahasan

A.   Pengaturan Hubungan Hukum Antara Distributor dengan Retailer dalam Jual Beli Smartphone

Perjanjian antara distributor dengan retailer dalam jual beli Smartphone sudah berlangsung semenjak penandatanganan perjanjian kerjasama, yaitu pada tanggal 16 Juni 2019 melalui Perjanjian kontrak kerjasama Mobile Trade Centre (MTC) yang dibuat dan ditanda tangani oleh distributor dan retailer. Pihak pertama adalah perusahaan distributor smartphone yang bergerak dibidang produsen smartphone dan pihak kedua adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dalam hal ini retailer yang keduanya telah setuju melakukan kontrak kerjasama yang saling menguntungkan. Berawal dari akan dilaksanakannya grand opening toko Galery Ponsel Store (GPS) milik retailer yang menjual barang-barang jenis handphone maka pada tanggal 16 Juni 2019 retailer tersebut diajak bertemu oleh distributor tersebut untuk membicarakan terkait rencana pembukaan toko handphone milik retailer. Saat pertemuan, distributor tersebut menyampaikan kesiapan dan kesanggupan untuk membantu pihak retailer dalam membuka toko handphone tersebut khususnya terkait dengan pengadaan/pengorderan handphone yang akan dijual dalam toko retailer tersebut.

Hal-hal yang diatur dalam perjanjian kontrak kerjasama jual beli handphone tersebut, seperti retailer wajib melakukan pengorderan all brand smartphone melalui distributor (Mobile Trade Center/Namrudin) tersebut tanpa terkecuali dengan keadaan sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun, status retailer dan distributor tersebut merupakan team kerjasama dalam perdagangan smartphone yang tujuannya mencari keuntungan, selama proses pemesanan Handphone All Brand tersebut selalu berkoordinasi dengan retailer tersebut melalui faktur penjualan dan nota barang yang akan dibuat. Hal lain yang diatur dalam perjanjian tersebut, seperti pihak distributor memenuhi pesanan/orderan barang (handphone) dari retailer sebelum pelaksanaan grand opening toko retailer tersebut agar pada saat pelaksanaan grand opening toko sudah dipenuhi pajangan handphone guna semakin menarik pelanggan karena produk-produk jualan lengkap dan banyak pilihan merk ternama dan terbaru, pihak distributor membantu retailer tersebut dalam hal brandingan toko milik retailer berupa pemasangan branding yang terdiri dari bilboard, mail box, dan stiker yang rencananya akan dipasang dalam rangka grand opening di toko milik retailer tersebut, serta proses pembayaran dengan metode angsuran dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian, terjadilah kesepakatan antara retailer dan distributor yang tertuang di dalam surat perjanjian kontrak kerjasama Mobile Trade Centre (MTC) tertanggal 16 Juni 2019.

Selain perjanjian kontrak kerjasama tersebut, terdapat pula dua (2) lembar kuitansi pembayaran yang dibuat dan ditanda tangani oleh distributor dan retailer dan beberapa orang saksi masing-masing tertenggal 05 Juli 2019 yang diterima langsung oleh kedua belah pihak yang mana di atas kuitansi tersebut terdapat tulisan tangan yang telah disepakati oleh distributor dan retailer terkait merk handphone yang dipesan, yaitu Iphone, Samsung, Oppo, Vivo, dan Nokia. Khusus tentang perjanjian distribusi barang sesuai dengan ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata, iperjanjian ikerjasama iini dikategorikan idalam iperjanjian itidak ibernama i(innominaat) (Moniung, 2015). Ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang distributor, seperti dikeluarkannya Keputusan PERMENDAGRI No. 22/M-DAG/PER/3/2016 Tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang sebagaimana kemudian diubah dengan dikeluarkannya PERMENDAGRI No. 66 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas PERMENDAGRI No. 22/M-DAG/PER/3/2016 Tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang.

Selain itu, perjanjian pembagian barang yang dibuat oleh para pihak didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang diadvokasi oleh Pasal 1338 KUH Perdata. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, kedudukan kedua belah pihak adalah sama dan sederajat (Moniung, 2015). Distributor menurut Pasal 1 angka 8 PERMENDAGRI No. 22/M-DAG/PER/3/2016 Tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang adalah pelaku usaha distribusi yang bertindak atas namanya sendiri dan atas penunjukan dari produsen atau supplier atau importir berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan pemasaran barang. Pasal 3 angka 1-2 PERMENDAGRI No.22/M-DAG/PER/3/2016 Tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang, menjelaskan:

1.     Distribusi barang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan oleh Pelaku Usaha Distribusi dengan menggunakan rantai distribusi yang bersifat umum, yaitu:

a.     Distribusi dan jaringannya.

b.     Agen dan jaringannya.

2.     Pelaku usaha distribusi yang menggunakan distributor dan jaringannya sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a terdiri dari:

a.     Distributor.

b.     Sub distributor.

c.     Perkulakan.

d.     Grosir.

e.     Pengecer.

 

Pasal 1 angka 14 PERMENDAGRI No. 22/M-DAG/PER/3/2016 Tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang menyatakan Pengecer adalah pelaku usaha distribusi yang kegiatan pokoknya memasarkan barang secara langsung kepada konsumen. Pada dasarnya distribusi barang secara tidak langsung dilakukan oleh pelaku usaha distribusi berdasarkan perjanjian, penunjukan, dan/atau bukti transaksi secara tertulis. Apabila melihat pada Pasal tersebut di atas, hubungan hukum antara distributor dengan retailer dalam jual beli smartphone tidak hanya berdasarkan perjanjian, namun juga lahir karena perikatan akibat ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal tersebut.

Perjanjian distribusi antara distributor dan retailer tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata, sehingga perjanjian antara distributor dan retailer dapat digolongkan dalam perjanjian innominaat, sehingga keberadaannya mengikuti asas konsensualisme. Berdasarkan asas konsensualisme, maka perjanjian yang akan dilakukan oleh distributor dan retailer harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dengan demikian secara tidak langsung berlaku Pasal 1338 KUH Perdata: Semua perjanjian dibuat secara sah, kemudian diterapkan sebagai hukum bagi mereka yang menggunakan persamaannya (Moniung, 2015). Hubungan hukum yang timbul antara distributor dan retailer, yaitu berdasarkan adanya surat perjanjian kontrak kerjasama Mobile Trade Centre (MTC) tertanggal 16 Juni 2019 yang ditanda tangani, dalam perjanjian tersebut lahir juga perikatan yang mana terdapat dua (2) lembar kuitansi pembayaran yang dibuat dan ditanda tangani oleh distributor dan retailer dan beberapa orang saksi masing-masing tertenggal 05 Juli 2019 yang diterima langsung oleh kedua belah pihak yang mana di atas kuitansi tersebut terdapat tulisan tangan yang telah disepakati oleh distributor dan retailer terkait merk handphone yang dipesan.

Apabila melihat pada isi Pasal 6 angka 2 PERMENDAGRI No. 66 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas PERMENDAG No. 22/M-DAG/PER/3/2016 tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang yang telah disebutkan sebelumnya, maka bukti transaksi secara tertulis berupa dua (2) kuitansi tersebut yang mana terdapat tulisan tangan yang telah disepakati oleh distributor dan retailer terkait merk handphone yang dipesan adalah sah dan mengikat kedua belah pihak.

 

B.    Pertanggungjawaban Distributor Terhadap Retailer Terkait Penerimaan Produk Handphone yang Tidak Sesuai dengan Pemesanan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pelaksanaan suatu hak dan kewajiban hukum selalu menuntut adanya tanggung jawab hukum, pelaksanaan setiap kegiatan yang dibebankan dalam suatu perjanjian selalu menuntut adanya tanggung jawab. Menurut Kelsen, Seseorang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan (Bachtiar & Sumarna, 2018). Bagi Nasution, tanggung jawab hukum itu sendiri dapat bermakna sebagai pertanggungjawaban yang didasarkan atas the rule of the game atau the rule of law. Dengan demikian, tanggung jawab hukum merupakan tanggung jawab yang didasarkan atas kehendak norma-norma hukum yang tentunya bersumber pada berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk yang bersumber dari adanya suatu perikatan yang telah dituangkan ke dalam suatu perjanjian/kontrak (Bachtiar & Sumarna, 2018).

Tanggung jawab hukum atas dasar Wanprestasi didasari adanya hubungan perikatan, hubungan perikatan tersebut timbul baik karena perjanjian atau karena undang-undang, pada kegiatan distribusi perikatan timbul baik dari perjanjian, penunjukan, dan/atau bukti transaksi secara tertulis hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 6 angka 1 huruf a dan Pasal 6 angka 2 PERMENDAGRI No. 66 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas PERMENDAG No. 22/M-DAG/PER/3/2016 tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang. Menurut ajaran hukum perdata apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan prestasinya maka dikatakan Wanprestasi. Wanprestasi itu sendiri dalam berbagai literatur dimaknai sebagai tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diterapkan perikatan atau perjanjian, tidak dipenuhinya kewajiban dalam suatu perjanjian, dapat disebabkan dua hal, yaitu kesalahan debitur baik disengaja maupun tidak disengaja dikarenakan kelalaian dan keadaan memaksa atau overmacht/force majure (Bachtiar & Sumarna, 2018).

Sementara Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merumuskan Wanprestasi sebagai: “Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika produk yang harus diberikan atau dibuatnya, semata-mata bisa diberikan atau dibuat berdasarkan batas waktu yang telah dilampaukannya”. Pada kegiatan distribusi, seperti distribusi barang berupa handphone kepada retailer apabila distributor melakukan Wanprestasi maka pihak retailer dapat megajukan gugatan perbuatan Wanprestasi ke pengadilan, sehingga dapat dimintai tanggung jawab secara keperdataan. Dalam konteks keperdataan, tanggung jawab tersebut lahir karena adanya perjanjian dan karena undang-undang.

Tanggung jawab hukum perdata dapat diajukan atas dasar, yaitu (Bachtiar & Sumarna, 2018):

a.     Adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang pada dasarnya menentukan bahwa barang siapa melakukan perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang salah karena salahnya mengganti kerugian tersebut.

b.     Adanya Wanprestasi, yaitu sama sekali tidak menerima penampilan, terlambat memberikan penampilan, melakukan penampilan tidak menurut ketentuan yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dilakukan salah satu pihak dalam perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal KUH Perdata.

Berdasarkan hukum perikatan, tanggung jawab dapat dibedakan, yaitu (Sudjana, 2019):

a.     Tanggung jawab hukum karena perjanjian/hubungan kontraktual (Privity of Contract) seperti yang tercantum dalam pasal 1338 dan pasal 1317 KUH Perdataan.

b.     Tanggung jawab karena undang-undang.

Oleh sebab itu, tanggung jawab distributor merupakan suatu konsekuensi dari berbagai tindakan yang dilakukan dalam kerangka menjalankan fungsi-fungsi distributor yang menjadi lingkup kewenangannya namun memiliki batas-batas yang sudah ditentukan dalam perjanjian. Apabila distributor Wanprestasi yaitu dalam hal ini distributor memberi barang (smartphone) yang tidak sesuai dengan perjanjian yang diterima retailer dalam pemasaran, maka dengan hal ini distributor dapat dipertanggungjawabkan karena memiliki hubungan hukum langsung antara distributor dengan retailer.

Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh retailer berdasarkan akibat hukum perbuatan Wanprestasi, oleh karena itu sejak saat itu debitur berkewajiban mengganti kerugian yang timbul dan kreditur dapat meminta (Busro, 2011):

a.     Pengganti kerugian.

b.     Benda yang dijadikan obyek perikatan sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggungjawab dari debitur.

c.     Bila perikatan timbul perjanjian timbal balik, kreditur dapat meminta pembatalan atau pemutusan perjanjian.

Sehingga pertanggungjawaban perdata dari distributor dapat secara langsung didasarkan pada Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

 

C.   Analisa Hukum Pertimbangan dan Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban Distributor Terhadap Retailer pada Putusan Nomor 20/Pdt.G/2019/PN ADL

1.     Analisa Hukum Pertimbangan Hakim

Gugatan Penggugat pada pokoknya ditujukan agar Pengadilan Negeri Andoolo menyatakan sah, berlaku serta memiliki kekuatan hukum mengikat atas 2 lembar kuitansi pembayaran yang dibuat dan ditanda tangani oleh Tergugat dan beberapa orang saksi masing-masing tertanggal 5 Juli 2019 dengan nominal perlembar kuitansi masing-masing sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah), Penggugat juga memohon agar Majelis Hakim menyatakan sah dan berharga sita jaminan terhadap barang-barang/aset-aset milik Tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Selain itu juga Penggugat dalam gugatannya ditujukan agar Pengadilan Negeri Andoolo menyatakan Tergugat telah terbukti Wanprestasi/ingkar janji dan menghukum Tergugat untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan Penggugat secara tunai, seketika, dan sekaligus sebesar Rp. 796.218.000,- (Tujuh Ratus Sembilan Puluh Enam Juta Dua Ratus Delapan Belas Ribu Rupiah).

Penggugat juga memohon kepada Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk membayar kerugian Penggugat secara tunai, seketika, dan sekaligus sebesar Rp. 79.621.800,-/bulan terhitung sejak Tergugat Wanprestasi hingga putusan perkara ini berkekuatan hukum tetap dan memohon untuk menghukum Tergugat untuk membayar kerugian yang diderita Penggugat akibat mengeluarkan biaya untuk membayar jasa honorarium pengacara Penggugat secara tunai, seketika, dan sekaligus sebesar Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah). Selanjutnya, Penggugat juga memohon kepada Majelis Hakim agar menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah) setiap hari keterlambatan mematuhi putusan perkara tersebut dan menghukum Tergugat membayar seluruh biaya perkara tersebut.

Khusus tentang perjanjian distribusi barang sesuai dengan ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata, perjanjian kerjasama ini dapat dikategorikan dalam ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian tidak bernama (innominaat) (Moniung, 2015). Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah sah apabila memenuhi elemen-elemen sebagai berikut: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan; 3. Ada suatu sebab tertentu; 4. Suatu hal yang tidak terlarang. Apabila melihat pada isi Pasal 6 angka 2 PERMENDAGRI No. 66 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas PERMENDAG No. 22/M-DAG/PER/3/2016 tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang yang telah disebutkan sebelumnya, maka bukti transaksi secara tertulis berupa dua (2) kuitansi tersebut yang mana terdapat tulisan tangan yang telah disepakati oleh distributor dan retailer terkait merk handphone yang dipesan adalah sah dan mengikat kedua belah pihak.

Bertitik tolak dari Pasal 1878 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kuitansi merupakan tanda terima/tanda bayar atau pembebasan orang yang namanya tercantum dalam surat itu dan kemudian menguasainya telah memenuhi pembayaran yang diperintahkan oleh penandatangan, dicantumkan tanggal jadinya dan ditandatangani. Kuitansi berdasarkan Putusan Negeri Kuala Kurun Nomor 1/Pdt.G/2018/PN KKN adalah: “Alat bukti di bawah tangan pernyataan sepihak yang pembuktiannya bersifat formil dan bersifat materiil, sah dan memiliki kekuatan hukum bila syarat formil berbentuk tertulis, mencantumkan identitas penandatangan dan pihak kreditur, menyebutkan dengan jelas kegunaan/tujuan pemberian uang dan tanggal/waktu pembayaran, ditulis tangan oleh penandatangan, ditandatangani penulis akta yang tertera pada kuitansi, diakui secara harafiah langsung oleh para pihak, serta syarat materiil yaitu pernyataan pengakuan sepihak dari penanda tangan, pengakuan sepihak tanpa syarat, jumlah uang/barang yang dibayar disebutkan secara pasti”.

Pada perkara No. 20/Pdt.G/2019/PN. ADL, Majelis Hakim menyatakan berlaku serta memiliki kekuatan hukum mengikat atas dua (2) lembar kuitansi pembayaran tertanggal 5 Juli 2019 yang telah ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat dan diketahui oleh empat (4) orang saksi. Dalam persidangan, Penggugat berdasarkan bukti dua (2) kuitansi tersebut yang diajukan Penggugat ke persidangan mendukung dalil gugatan Penggugat yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang mengikat antara Penggugat dan Tergugat, sehingga telah memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, mengenai suatu hal tertentu, dan sebab yang halal, maka dua (2) lembar kuitansi tersebut mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya.

Terkait nominal perlembar kuitansi masing-masing sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah), Pembuktian hanya dapat ditegaskan berdasarkan dukungan fakta-fakta (Harahap, 2017). Sebagai pedoman atau aturan umum digariskan dalam Pasal 163 HIR yang menjelaskan:

“Barang siapa yang mengemukakan ia memiliki hak, atau ia mengucapkan suatu perilaku guna menguatkan haknya tersebut, atau membantah hak orang lain, maka orang tersebut harus memberikan bukti akan adanya hak dan peristiwa yang telah terjadi berdasarkan fakta”.

Apa yang tercantum dalam Pasal 163 ini adalah yang biasa disebut pembagian beban pembuktian, yang maksudnya adalah setiap kedua belah pihak yang memiliki perkara harus memberikan bukti yang nyata dari hasil perbuatan dan kejadian-kejadian yang dipersengketakan, sebaliknya, apabila kedua belah pihak tersebut tidak memiliki perkara atau tidak menyangkal maka tidak perlu membuktikan apapun.

Berdasarkan keseluruhan pembuktian antara Penggugat dan Tergugat, Majelis Hakim menyimpulkan dana yang diterima oleh Tergugat adalah sejumlah Rp. 812.300.000,- (Delapan Ratus Dua Belas Juta Tiga Ratus Ribu Rupiah). Dalam perkara No. 20/Pdt.G/2019/PN ADL, Majelis Hakim menolak permohonan Penggugat untuk menyatakan sah dan berharga sita jaminan terhadap barang-barang/aset-aset milik Tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Hakim berpendapat bahwa karena dalam persidangan, tidak ada yang mendukung dalil gugatan Penggugat yang mencerminkan adanya upaya Tergugat mengalihkan aset/harta benda miliknya, sehingga Majelis Hakim menyatakan bahwa Penggugat tidak berhasil membuktikan kebenaran dalil gugatannya. Hal tersebut dikarenakan pada saat permohonan sita diajukan Penggugat harus menjelaskan dan menunjukan identitas barang yang hendak disita, menjelaskan letak, jenis, ukuran, dan batas-batasnya (Harahap, 2017).

 

 

2.     Analisis Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban Distributor Terhadap Retailer Pada Putusan Nomor 20/Pdt.G/2019/PN ADL

Pada perkara Wanprestasi dengan perkara No. 20/Pdt.G/2019/PN. ADL, telah dilakukan proses pemeriksaan perkara di persidangan pada Pengadilan Negeri Andoolo telah selesai karena telah melalui tahapan pemeriksaan gugatan Penggugat dilanjutkan dengan tahapan proses pembuktian, sehingga dapat diputuskan amar putusan dalam Rapat Musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Andoolo pada hari Senin, 20 Juli 2020 dengan perkara No. 20/Pdt.G/2019/PN. ADL.

Berikut amar putusan dalam putusan Pengadilan Negeri Andoolo dengan No. 20/Pdt.G/2019/PN. ADL:

a.     Dalam Provisi

1)    Menolak Gugatan Provisi Penggugat untuk Seluruhnya

Pada perkara register Nomor 20/Pdt.G/2019/PN ADL, Penggugat memohon gugatan provisi dengan tuntutan meletakkan sita jaminan (conservatoir beslaag) terhadap harta benda, barang-barang/aset-aset milik Tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Sita jaminan diatur dalam Pasal 227 angka 1 HIR, Pasal 261 angka 1 RBg atau Pasal 720 Rv:

a)     Menyita barang debitur selama belum dijatuhkan putusan dalam perkara tersebut.

b)    Tujuannya agar barang itu tidak digelapkan atau diasingkan Tergugat selama proses persidangan berlangsung, sehingga pada saat putusan dilaksanakan, pelunasan pembayaran utang yang dituntut Penggugat dapat terpenuhi dengan jalan menjual barang sitaan itu.

Pada saat permohonan sita diajukan Penggugat harus menjelaskan dan menunjukan identitas barang yang hendak disita, menjelaskan letak, jenis, ukuran, dan batas-batasnya (Harahap, 2017). Pada dalil Penggugat, Penggugat mengajukan permohonan terhadap permintaan sita jaminan agar perkara tersebut tidak sia-sia, nihil, dan hampa (illusoir) dan agar kerugian yang diderita Penggugat dapat kembali dan tidak semakin besar, serta menghindari upaya Tergugat mengalihkan aset/harta benda milik Tergugat. Namun Majelis Hakim menolak permohonan Penggugat dikarenakan Penggugat tidak dapat membuktikan terkait upaya Tergugat mengalihkan aset/harta benda milik Tergugat.

 

b.    Dalam Eksepsi

1)    Menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya

Exceptie (Belanda), exception (Inggris) secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam konteks hukum acara bermakna tangkisan atau bantahan (objection) (Harahap, 2017). Menurut (Mertokusumo, 2013) eksepsi adalah suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan batalnya gugatan.

Adanya gugatan yang diajukan oleh Penggugat maka Tergugat di dalam eksepsinya tentang pokok perkara membantah dalil-dalil gugatan Penggugat. Tergugat menyatakan gugatan Penggugat tidak memuat secara jelas tentang objek sengketa baik yang terkait dengan keberadaan Surat Kontrak Kerjasama MTC, tanggal 16 Juni 2019, sehingga Tergugat merasa gugatan Penggugat menjadi kabur (obscuur libel) dan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Andoolo Nomor 20/Pdt.G/2019/PN ADL telah menilai melalui dalil gugatan Penggugat dan Tergugat, sehingga Majelis Hakim memutuskan menyatakan sah, berlaku serta memiliki kekuatan hukum perjanjian yang melahirkan perikatan pada objek sengketa dua (2) buah kuitansi pembayaran tertanggal 5 Juli 2019.

 

c.     Dalam Pokok Perkara

1)    Mengabulkan gugatan Penggugat untuk Sebahagian

Pasal 178 angka 2 HIR, Pasal 189 angka 2 Rbg, putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Sesuai dengan asas kebebasan kehakiman (judicial independency) yang dimiliki Hakim dalam mengadili perkara sepenuhnya berwenang untuk mengabulkan seluruh atau sebagian gugatan tergantung atas penilaian fakta atau pembuktian yang ditemukan dalam persidangan. Apabila alat bukti yang diajukan berhasil membuktikan seluruh dalil gugatan dan dalilnya juga mempunyai dasar hukum yang kuat serta pengabulannyatidak bertentangan dengan kepatutan dan prinsip keadilan umum maka cukup alasan untuk mengabulkan seluruh gugatan (Harahap, 2017).

Sebaliknya apabila yang terbukti maupun yang patut dikabulkan berdasarkan prinsip umum keadilan hanya sebagian, sepenuhnya terserah kepada pertimbangan hakim. Bentuk putusan akhir dari Putusan Pengadilan Negeri Andoolo Nomor 20/Pdt.G/2019/PN ADL adalah bentuk putusan akhir yang mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian dan menolak selebihnya, hal ini dikarenakan meskipun terpenuhi kriteria gugatan mempunyai dasar hukum yang jelas antara posita dan petitum sejalan dan saling mendukung akan tetapi dalil gugatan yang terbukti hanya sebagian saja sedang yang sebagian lagi tidak terbukti.

2)    Menyatakan Tergugat telah melakukan ingkar janji (Wanprestasi)

Berlangsungnya kegiatan program pemeriksaan perkara di pengadilan dilakukan oleh Penemuan Hukum dengan Hakim. Oleh karena itu agar bisa mengetahui prosedur penemuan hukum dapat diikuti tahapan pemeriksaan perkara perdata yang pada dasarnya memiliki 2 (dua) hal yang penting bagi Hakim, yaitu peristiwa yang disengketakan dan hukumnya (Butarbutar, 2010).

Salah satu yang harus dikemukakan oleh para pihak dalam proses berperkara ialah peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang disengketakan diperoleh dari proses jawab menjawab karena jawab menjawab ini bermaksud untuk memberikan pengetahuan bagi Hakim tentang kasus manakah yang sekiranya menjadi sengketa atau agar hakim bisa menentukan pokok perkara (Butarbutar, 2010). Setelah itu harus dibuktikan melewati proses pembuktian untuk memperoleh kepastian perihal kasus atau peristiwa konkrit yang telah terjadi. Setelah Hakim berhasil mendapatkan pengakuan tentang kasus yang telah terjadi maka Hakim harus menerapkan hukumnya terhadap peristiwa konkrit tersebut. Penerapan hukum ini dilakukan dengan cara menghubungkan peristiwa konkrit dengan peraturan hukum yang menguasai peristiwa konkrit tersebut (Butarbutar, 2010).

Jika dianalisis, dalam agenda sidang pembuktian atas register perkara No. 20/Pdt.G/2019/PN ADL, pada bukti T.1 tanggal 16 Juni 2019 dibuat perjanjian kontrak kerjasama distribusi handphone antara Penggugat dan Tergugat yang mana salah satu dalam poin perjanjiannya menyatakan bahwa Penggugat mempercayakan Tergugat untuk mengorder Handphone All Brand lalu dikatikan dengan bukti P.1 dan P.2, yaitu pada tanggal 5 Juli 2019 dilakukan pembayaran melalui dua (2) lembar kuitansi yang mana di atas kuitansi tersebut terdapat tulisan tangan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak terkait type handphone yang di pesan, yaitu Iphone, Samsung, Oppo, Vivo, dan Nokia.

Bagi Majelis Hakim ketiga alat bukti tersebut berlaku serta memiliki kekuatan hukum mengikat atas dua (2) lembar kuitansi pembayaran tertanggal 5 Juli 2019 yang telah ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat dan diketahui oleh empat (4) orang saksi serta perjanjian kontrak kerjasama tertanggal 16 Juni 2019 yang ditandatangani kedua belah pihak secara sadar, sehingga terdapat hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat. Maka dengan demikian, melalui perjanjian tersebut terbitlah perikatan antara Penggugat dan Tergugat yang mana Tergugat diminta untuk memberikan sesuatu dengan objek perikatannya ialah Handphone All Brand (Iphone, Samsung, Oppo, Vivo, dan Nokia), namun Handphone All Brand yang diterima Penggugat adalah evercoss,luna, X-COM, maxtron, advan, strawberry, GenPro, dan Aldo. Hingga Penggugat melayangkan somasi kepada Tergugat untuk dapat memenuhi segala prestasinya, namun sampai perkara ini di putus upaya somasi yang dilakukan Penggugat tidak mendapat tanggapan. Untuk itu, Majelis Hakim menegaskan dalam amar Putusan Pengadilan Negeri Andoolo Nomor 20/Pdt.G/2019/PN ADL menyatakan Tergugat telah melakukan ingkar janji (Wanprestasi).

Pada Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai landasan memaknai ketentuan Wanprestasi yang menyatakan “debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Hal ini sejalan dengan pendapat Abdulkadir Muhammad yang mengemukakan Wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang (Ulya, atus Sholikah, & Santika, 2015).

Majelis Hakim menimbang bahwa didalam hukum perjanjian menyatakan terdapat empat (4) macam Wanprestasi, yaitu:

a)     Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.

b)    Melaksanakan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

c)     Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, dan

d)    Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan

Berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim pada perkara ini menetapkan kedudukan Tergugat telah terbukti melakukan ingkar janji (Wanprestasi) atas permasalahan yang telah disengketakan. Menghukum Tergugat untuk membayar sisa uang yang telah dibayar Penggugat kepada Tergugat dalam hal perdagangan handphone sebesar Rp. 524.193.000.- (Lima Ratus Dua Puluh Empat Juta Seratus Sembilan Puluh Tiga Ribu Rupiah) kepada Penggugat dengan seketika dan sekaligus Pada salah satu gugatan Penggugat, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim untuk menghukum Tergugat untuk membayar sisa uang yang telah dibayar Penggugat kepada Tergugat dalam hal perdagangan handphone sebesar Rp. 796.218.000,- (Tujuh Ratus Sembilan Puluh Enam Juta Dua Ratus Delapan Belas Ribu Rupiah) kepada Penggugat dengan seketika dan sekaligus, dikarenakan menurut Penggugat total uang yang diterima Tergugat sejumlah Rp. 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah).

Namun, berdasarkan beban pembuktian yang diberikan oleh Tergugat, total keseluruhan uang yang diterima Tergugat ialah sejumlah Rp. 812.300.000,- (Delapan Ratus Dua Belas Juta Tiga Ratus Ribu Rupiah), sehingga Majelis Hakim mengkalkulasikan nilai uang berdasarkan fakta yang telah terbukti adanya dan mendapatkan total sisa uang yang harus dibayar Tergugat kepada Penggugat ialah Rp. 524.193.000,- (Lima Ratus Dua Puluh Empat Juta Seratus Sembilan Puluh Tiga Ribu Rupiah). Hal itu pun sesuai dengan penegasan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 140K/Sip/1971 yang mana keputusan judex facti yang didasarkan kepada petitum subsidair yang berbentuk ex aequo et bono, yaitu permohonan mengadili menurut kebijaksanaan Pengadilan hingga karenanya merasa tidak terikat kepada rumusan petitum primair, dapat dibenarkan karena dengan demikian lebih diperoleh suatu keputusan yang lebih mendekati rasa keadilan asalkan masih dalam kerangka yang serasi dengan inti petitum primair.

 

3)    Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya

Pada saat menyetujui gugatan, Hakim tidak diwajibkan untuk mengabulkan seluruh gugatan melainkan Hakim bisa mengabulkan sebagian dan menolak selebihnya, atau mengabulkan sebagian dan menyatakan tidak dapat diterima sebagian yang lain, atau dapat juga mengabulkan sebagian dan menolak sebagian serta menyatakan tidak dapat diterima sebagian lainnya. Pada dasarnya setiap Hakim mrmiliki pertimbangan yang berbeda dalam memeriksa perkara yang sedang dihaadapinya.

Pada putusan akhir register perkara No. 20/Pdt.G/2019/PN ADL, Majelis Hakim memutuskan mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian dan menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya, amar yang berisi penegasan menolak sebagian gugatan ditujukan kepada petitum yang dalil gugatannya tidak terbukti, maksudnya dari sekian banyak dalil yang diajukan sebagian terbukti maka terhadapnya amar putusan menegaskan mengabulkan gugatan tersebut, sedang terhadap dalil yang tidak terbukti amar putusan menegaskan menolak gugatan (Muhammad, 2000).

4)    Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 756.000.- (Tujuh Ratus Lima Puluh Enam Ribu Rupiah)

“Barang siapa, yang dikalahkan dengan keputusan akan dihukum membayar biaya perkara. Akan tetapi semua atau sebagian biaya perkara itu dapat diperhitungkan antara: laki isteri, keluarga sedarah dalam turunan yang lurus, saudara laki-lakidan saudara perempuan atau keluarga semenda, lagi pula jika dua belah pihak masing-masing dikalahkan dalam beberapa hal.”, isi dari Pasal 181 angka 1 HIR.

Jika Hakim menghadapi kasus yang menempatkan para pihak berada dalam posisi tidak ada yang kalah mutlak maka Hakim berwenang memikulkan biaya perkara kepada para pihak secara berimbang. Pada perkara tersebut Majelis Hakim, menempatkan Tergugat sebagai pihak yang kalah dan memutuskan untuk mengabulkan gugatan Penggugat dan menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 756.000,- (Tujuh Ratus Lima Puluh Enam Ribu Rupiah).

Kesimpulan

Pengaturan hubungan hukum antara distributor dengan retailer dalam penyaluran/pendistribusian smartphone, sesuai dengan Pasal 1338 KUHP yang menganut asas kebebasan berkontrak dan Pasal 6 angka 1 huruf a dan Pasal 6 angka 2 PERMENDAGRI Nomor 66 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22/M-DAG/PER/3/2016 tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang, pada kegiatan distribusi perikatan timbul baik dari perjanjian, penunjukan, dan bukti transaksi secara tertulis, maka perjanjian kontrak kerjasama Mobile Trade Centre (MTC) yang dibuat secara sadar pada tanggal 16 Juni 2019 dan ditanda tangani oleh para pihak dan dua (2) lembar kuitansi pembayaran dengan menambahkan beberapa type handphone yang tertulis yang dibuat dan ditanda tangani oleh distributor dan retailer dan diketahui empat (4) orang saksi masing-masing tanggal 05 Juli 2019 tersebut adalah sah dan mengakibatkan terjadinya hubungan hukum antara distributor dan retailer. Pada pihak pertama adalah perusahaan distributor smartphone yang bergerak dibidang produsen smartphone dan pihak kedua adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dalam hal ini retailer yang keduanya telah setuju melakukan kontrak kerjasama yang saling menguntungkan.

Pertanggungjawaban distributor terhadap retailer terkait penerimaan produk handphone yang tidak sesuai dengan pemesanan, maka pertanggungjawaban perdata dari distributor dapat secara langsung didasarkan pada Pasal 1243 KUHP yaitu akibat hukum perbuatan Wanprestasi, oleh karena itu sejak saat itu distributor berkewajiban mengganti kerugian yang timbul dan retailer dapat meminta: Pengganti kerugian, Benda yang dijadikan obyek perikatan sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggungjawab dari debitur, dan Bila perikatan timbul perjanjian timbal balik, kreditur dapat meminta pembatalan atau pemutusan perjanjian.

 

Bibliografi

 

Asikin, Zainal. (2018). Amiruddin.(2012). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Google Scholar

Bachtiar, Bachtiar, & Sumarna, Tono. (2018). Pembebanan tanggung jawab perdata kepada kepala daerah akibat Wanprestasi oleh kepala dinas. Jurnal Yudisial, 11(2), 209–225. Google Scholar

Busro, Achmad. (2011). Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata. Pohon Cahaya, Yogyakarta. Google Scholar

Butarbutar, Elisabeth Nurhaini. (2010). Arti Pentingnya Pembuktian dalam Proses Penemuan Hukum di Peradilan Perdata. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 22(2), 347–359. Google Scholar

Chun, Yoon Young, Matsumoto, Mitsutaka, Chinen, Kenichiro, Endo, Hideki, Gan, Shu San, & Tahara, Kiyotaka. (2022). What will lead Asian consumers into circular consumption? An empirical study of purchasing refurbished smartphones in Japan and Indonesia. Sustainable Production and Consumption. Google Scholar

Harahap, M. Yahya. (2017). Hukum acara perdata: tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan. Sinar Grafika. Google Scholar

Marzuki, Peter Mahmud. (2016). Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan Ke-12. Jakarta: Kencana. Google Scholar

Mertokusumo, Sudikno. (2013). Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi. Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta. Google Scholar

Moniung, Ezra Ridel. (2015). Perjanjian Keagenan dan Distributor dalam Perspektif Hukum Perdata. Lex Privatum, 3(1). Google Scholar

Muhammad, Abdulkadir. (2000). Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Google Scholar

Ramli, Abdul Haeba. (2019). Person-Organization Fit dalam Rantai Distribusi Pemasaran. Jurnal Manajemen Dan Pemasaran Jasa, 12(1), 77–92. Google Scholar

Riduan, Syahrani. (2010). Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Edisi Ke-Empat. Cetakan Ke-Satu. Bandung: Alumni. Google Scholar

Soekanto, Soerjono, & Mamudji, Sri. (2014). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 16. Rajawali Pers, Jakarta. Google Scholar

Sudjana, Sudjana. (2019). Akibat Hukum Wanprestasi dan Tanggung Jawab Para Pihak dalam Transaksi Anjak Piutang. Veritas et Justitia, 5(2), 374–398. Google Scholar

Sugiyono, Prof. (2015). Metode penelitian kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta, 28, 1–12. Google Scholar

Ulya, Rifqathin, atus Sholikah, Zhahrul Marâ, & Santika, Ines Age. (2015). Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum Wanprestasi pada Kasus antara PT Metro Batavia dengan PT Garuda Maintenance Facility (Gmf) Aero Asia. Privat Law, (7), 26596. Google Scholar

 

Copyright holder:

Tranis Bella H, Dedi Harianto, Syarifah Lisa Andriati (2022)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under: