Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN:
2684-883X�����
Vol. 2, No. 4 April 2020
PENEGAKAN HUKUM PENGUASAAN TANAH TANPA HAK DI WILAYAH JAKARTA UTARA
����������������������������
Elvlyn, Chatarina Dwi Agista dan Margaretha Andini Oktavina
Universitas Tarumanagara, Jakarta���
Email: [email protected], [email protected],
dan [email protected]
Abstrak
Penegakan hukum di Indonesia sampai saat ini
masih belum berjalan sebagaimana semestinya, sangat memprihatinkan dan masih membutuhkan banyak perhatian, salah satunya adalah penegakkan hukum atas kejahatan
terhadap tanah. Setiap Warga Negara Indonesia, masing-masing memiliki hak-hak atas tanah.
Hak atas tanah diatur dalam
Undang-undang No. 5 Tahun
1960 mengenai Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA). Diantara tujuan pokok dibentuknya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yakni
menempatkan
asas-asas untuk memberikan kepastian hukum terkai hak atas tanah.
Guna mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah
serta memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kejahatan terhadap tanah, pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan yaitu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.
Namun, nyatanya masih banyak warga
Indonesia yang tidak peduli
dengan peraturan itu. Dalam penelitian
yang dilakukan di wilayah Jakarta Utara, penguasaan tanah tanpa hak yang sudah terbukti akan ditindaklanjuti dengan sebuah penertiban
yang dilakukan oleh Satpol
PP dengan merujuk pada Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 27 Tahun 2016 tentang Penertiban Pemakaian atau Penguasaan Tanah Tanpa Izin Yang Berhak. Tujuan dari penertiban yang dilakukan untuk mengajak masyarakat agar lebih tertib dan bijak, sehingga terciptanya tatanan kota yang sebagaimana mestinya.
Kata kunci: Penegakan hukum, penguasaan tanah, tanah tanpa
hak
Pendahuluan
Dalam cakupan agraria, tanah adalah suatu bagian yang ada di
bumi, yang kemudian disebut dengan permukaan bumi. Tanah yang dimaksud ialah
mengatur tanah dalam suatu aspek, yaitu tanah dalam arti yuridis yang disebut
hak (Urip Santoso & SH, 2017). Dalam berbagai
(aspek/perspektif), tanah memiliki banyak sekali kegunaan. Bila ditinjau
melalui aspek/prespektif sosial, tanah yang merupakan tempat atau lahan dapat
dimanfaatkan oleh manusia untuk membangun tempat tinggal sehingga mereka dapat
melindungi dirinya dan mengadakan kegiatan sosial.� Selain itu, pemanfaatan tanah oleh masyarakat
yang ditinjau dalam aspek/perspektif�
ekonomi, antara lain digunakan untuk mencari nafkah dengan cara melakukan
jual-beli tanah ataupun melakukan jual-beli barang (Doly, 2017). Sehingga mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup.
Boedi Harsono dalam buku Hukum Agraria Indonesia: Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya menyatakan
bahwa pengertian penguasaan dan menguasai tanah bisa digunakan dalam arti
fisik, pun dalam arti secara yuridis. Pun bisa diartikan berperspektif perdata serta
publik (Boedi, 2005). Boedi Harsono mengatakan bahwa aneksasi yuridis didasari
hak, yang dijaga oleh hukum serta hakikatnya memberi kewenangan kepada pemegang
hak untuk mendominasi secara fisik tanah yang dihaki, melainkan terdapat pula
penguasaan yuridis yang meskipun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang
dihaki secara fisik, pada realitanya penguasaan fisiknya dilakuksanakan pihak
lain.
Secara umum, hak atas tanah diatur dalam Undang-undang No. 5
Tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Diantara tujuan
pokok dibentuknya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yakni menempatkan asas-asas
untuk memberikan kepastian hukum terkait hak atas tanah. Kepastian hukum yang
dimaksudkan mencakup: kepastian mengenai subjek hukum atas tanah (orang atau
badan hukum); kepastian mengenai letak, batas, ukuran atau luas tanah ataupun
kepastian terkait objek hak; serta kepastian terkait status hak atas tanah yang
menjadi fundamen relasi antar tanah dengan orang atau badan hukum (Boedi, 2005). Sehingga, untuk menjamin adanya kepastian hukum oleh
pemerintah, diselenggarakan pendaftaran tanah disemua wilayah Republik
Indonesia berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria. Penyelenggaraan pendaftaran
tanah dilaksanakan oleh Pemerintah dan teknis pelaksanaannya diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. Badan Pertanahan Nasional dan
pelaksanaannya dilakukan oleh seluruh kepala kantor pertanahan di tingkat
Kabupaten/kota dimana letak objek tanah itu berada (Kesuma, 2016).
Pendaftaran tanah tersebut bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah, serta
untuk memberikan informasi kepada pihak yang berkepentingan. Adapun tujuan lain
adalah terselenggaranya tertib administrasi pertanahan, sehingga memudahkan
dalam merumuskan kebijakan di bidang pertanahan (Parlindungan, 1990).
Pada dasarnya negara itu tidak memiliki tanah, tetapi negara
menguasai tanah untuk kepentingan rakyat yang berperan sebagai kepala ulayat
yang mengatur sedemikian rupa. Menurut peraturan perundang-undangan, sertifikat
tanah merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai instrumen pembuktian
yang kokoh atas penguasaan atau pemilikan hak atas tanah seseorang. Sehingga
yang diakui oleh negara dan pemerintahan mengenai kepemilikan tanah yaitu
adanya sertifikat hak milik atas tanah tersebut. Menurut Moch. Isnaini,
sertifikat hak atas tanah bukan merupakan satu-satunya alat bukti yang bersifat
mutlak, justru sebaliknya baru merupakan alat bukti awal yang setiap saat dapat
digugurkan pihak lain yang terbukti memang lebih berwenang (Isnaeni, 2000).
Jika seandainya dalam kasus sengketa tanah, seseorang yang
membawa girik, petok, atau surat keterangan tanah (SKT) dan sebagainya, maka
hal tersebut bukanlah surat tanda bukti yang berlaku menjadi instrumen
pembuktian atas kepemilikan tanah. Melainkan, hanya merupakan asal mula
lahirnya sebuah hak penguasaan tanah yang sifatnya tidak dapat dialihkan karena
tidak ada instrumen yang dapat mengalihkannya kecuali sertifikat. Sehingga
dalam kasus ini, seseorang yang memiliki sertifikat hak milik atau bukti
kepemilikan tanah ialah pemilik tanah atau pemegang kekuasaan tanah yang sah,
karena sifat sertifikat yang diakui oleh negara merupakan hak yang terkokoh serta
terpenuh. Sedari dulu tanah mempunyai daya tarik tersendiri serta selalu berhubungan
dengan kekuasaan. Seorang bangsawan disebutkan kaya apabila dia mempunyai
sejumlah tanah yang luas.
Tanah menjadi target penguasaan sebuah resim atau dinasti
yang berkuasa, perang selalu berakhir dengan hasil yang mengakibatkan pihak
kalah memberikan tanah mereka kepada pihak yang menang (Mustamid, 2019). Penguasaan dalam arti hukum ialah penguasaan yang
didasari hak yang dijaga oleh hukum serta pada hakikatnya memberi kewenangan bagi
pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, contohnya pemilik
tanah memakai atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan pada
pihak lain (Urip Santoso & SH, 2017).� Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa penguasaan seseorang terhadap tanah dapat diberikan untuk melakukan
sesuatu hal terhadap tanah tersebut dengan diikuti tanggung jawab atas
pengelolaan dan pemanfaatan tanah.
Penguasaan tanah tanpa hak merupakan tindak pidana ringan
dimana seseorang yang telah menguasai sebidang tanah tanpa memiliki bukti
kepemilikan hak atas tanah, ternyata di atas tanah tersebut terdapat pemegang
hak atas tanah yang sah. Ketika si penguasa tanah telah diperingati dan
ternyata dia tetap ingin bertahan dan tidak ingin keluar dari tanah yang
dimaksud, maka tindakan seperti ini termasuk tindak pidana �penguasaan tanah
tanpa izin yang berhak atau kuasanya�, sebagaimana dimaksud di dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.
Tindak penguasaan tanah tanpa hak merupakan sebuah tindakan
pidana yang dapat dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang untuk
kepentingan pribadi atau kepentingan bersama.
Pemakaian tanah perlu disinkronkan dengan sifat, tujuan, dan
keadaannya hingga aspek kemanfaatannya baik dalam kesejahteraan maupun
kebahagiaan bagi yang bersangkutan maupun untuk rakyat serta negara. Antara kepentingan
masyarakat serta kepentingan individu semestinya saling proporsional hingga
tercapai tujuan utama, yakni kemakmuran, keadilan, serta kebahagiaan bagi semua
rakyatnya. Tanah semestinya dipelihara dengan baik supaya bertambah kesuburan serta
dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara ini tidak hanya dibebankan bagi
pemegang haknya, tetapi menjadi beban juga untuk setiap orang, badan hukum,
ataupun organisasi yang mempunyai suatu relasi dengan tanah itu (Urip Santoso, 2015). Sebagai langkah pertama pemerintah dalam
menindaklanjuti tindakan untuk mencegah meluasnya permasalahan perbuatan pemakaian
tanah secara tidak sah dan mengeluarkan peraturan sebagai dasar hukumnya dalam
bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 51 Tahun 1960
tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.
Pemakaian tanah yang melanggar norma-norma hukum serta
tata-tertib yang nyatanya masih banyak terjadi di wilayah Jakarta Utara,
tentunya menghambat pemerintah, sehingga tidak berjalannya pelaksanaan rencana
pembangunan tata kota di lapangan. Tidak adanya tanggung-jawab dari para pihak
yang menguasai tanah untuk melaksanakan kegiatan seperti berjualan, mendirikan
tempat tinggal dan hal lainnya, tentu akan berdampak buruk bagi pihak yang
bersangkutan, masyarakat dan juga negara. Jika diperhatikan dari sudut pandang
tata tertib, penguasaan tanah tanpa hak harus ditindaklanjuti secara mendalam.
Kemudian jika diperhatikan dari sudut pandang kesehatan, beberapa daerah memang
sudah tidak layak untuk ditinggali karena bukan tempat yang seharusnya untuk
didirikan bangunan, bahkan akan menjadi sarang dari berbagai penyakit. Tindakan
seperti ini, membuat kerugian bagi negara dan masyarakat lainnya, seperti
kerusakan lahan yang merupakan salah satu hasil produksi yang penting dalam
perekonomian negara (Lowing, 2017).
Metode Penelitian
Dalam penyusunan jurnal hukum ini, metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian kualitatif, karena bertujuan untuk
menganalisa dan mendeskripsikan terhadap suatu variabel, keadaan atau fenomena
sosial tertentu. Dalam hal ini guna untuk menganalisis data serta data yang didapatkan
secara mendalam dan menyeluruh, dengan harapan dapat mengetahui landasan hukum
yang sesuai mengenai penguasaan tanah tanpa hak.
Hasil
dan Pembahasan
1. Kebijakan Pemerintah
Dalam Menangani Kasus Ini
Dalam
menindaklanjuti kasus pemakaian tanah tanpa izin, Pemerintah dengan tegas
mengeluarkan suatu peraturan yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(PERPU) Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang
Berhak Atau Kuasanya yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak
atau kepentingan warga masyarakat, serta mencegah terjadinya pemakaian tanah
tanpa izin kuasanya. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 16 Desember 1960
dan berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia.
Dalam Pasal 1 PERPU
No.51/1960 dijelaskan bahwa seseorang atau badan hukum yang berhak untuk
memakai tanah harus disertai dengan suatu hak sebagai bukti kepemilikan tanah
yang sah oleh perseorangan atau badan hukum. Sedangkan yang berhak untuk
memakai tanah milik negara adalah Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuk.
Jika seandainya ada
seseorang atau sekelompok orang yang memakai tanah tanpa izin kuasanya, maka
suatu saat Walikota/ Bupati yang bersangkutan dapat mengambil tindakan untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut. Penyelesaian permasalahan berupa
penertiban atau penataan lahan untuk mengosongkan tanah yang dimaksud dengan
mengikuti proses dan pelaksanaan penertiban yang tertuang dalam Peraturan
Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 207 Tahun 2016 tentang
Penertiban Pemakaian atau Penguasaan Tanah Tanpa Izin Yang Berhak. Tetapi untuk
penyelesaian penguasaan lahan milik negara, harus diusahakan menggunakan
penyelesaian jalur musyawarah dengan pihak-pihak yang bersangkutan. Menteri
Agraria harus memperhatikan kepentingan masyarakat yang memakai tanah tersebut,
serta kepentingan penduduk lainnya di area sekitar. Ketentuan ini diatur dalam
Pasal 5 Ayat (4) PERPU No.51/1960.
Sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3, 4 dan 5, barangsiapa yang
sebagaimana dimaksud telah memakai tanah tanpa izin yang sah, mengganggu yang
berhak untuk menggunakan tanahnya, mengajak, serta memberi bantuan untuk
melakukan tindakan pemakaian tanah tanpa hak, maka dapat dipidana dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). Berdasarkan Pasal 6 PERPU
No.51/1960, dikatakan bahwa tindakan pidana ini termasuk tindakan pelanggaran Pasal
6 PERPU No. 51 Tahun 1960.
2. Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Timbulnya Penguasaan Tanah Tanpa Hak
Penyebab timbulnya
permasalahan tanah dikarenakan terjadinya migrasi, yaitu perpindahan penduduk
dari satu tempat ke tempat lainnya dengan tujuan untuk menetap, terutama bagi
sekelompok masyarakat tertentu dan yang berpenghasilan rendah (Jo Santoso & Sukowati, 2010). Perpindahan masyarakat ini
menyebabkan banyak pihak yang saling mengakui dan merasa berkuasa atas haknya
untuk menduduki serta menguasai tanah yang sebagai objek dari sengketa.
Biasanya pengakuan pihak ini didorong oleh faktor historis� yang artinya lahan tersebut sudah ditempatkan
sejak nenek moyang mereka dan akhirnya diturunkan kepada anak-cucunya. Sehingga
masyarakat yang menempati tanah tersebut merasa bahwa tanah yang dijadikan
objek sengketa merupakan tanah miliknya. Sedangkan kenyataannya, mereka tidak
dapat membuktikan haknya dalam memiliki tanah tersebut. Seperti yang sudah
dibahas sebelumnya dalam Pasal 1 PERPU No.51/1960 dikatakan bahwa dalam hal ini
yang berhak memakai tanah milik negara yaitu Menteri Agraria atau pejabat yang
ditunjuk. Berarti dalam permasalahan ini, penduduk yang tidak memiliki bukti
hak kepemilikan atas tanah merupakan sebuah tindakan pemakaian atau penguasaan
tanah tanpa izin kuasanya.
Faktor lainnya
adalah adanya keinginan untuk memiliki yang tinggi, disertai dengan adanya niat
dan kesempatan untuk menguasai tanah yang jelas bukan miliknya. Sehingga
penguasaan tanah tanpa hak oleh seseorang dapat terjadi. Pada akhirnya mereka
merasa nyaman untuk tinggal menetap di atas lahan tersebut dan telah
menyesuaikan diri dengan lingkungan hunian yang ditempati (Asvada, 2013).� Kemudian,
saat Walikota/Bupati yang bersangkutan meminta penduduk sekitar untuk melakukan
pengosongan lahan, biasanya mereka akan menolaknya, dan dapat menghambat proses
penertiban.
3. Dampak Pemakaian
Tanah Tanpa Izin Yang Berhak
Dengan melihat
faktor yang menimbulkan terjadinya penguasaan tanah tanpa hak. Kemudian apa saja
yang telah pemerintah lakukan untuk mendorong masyarakat agar semakin taat pada
hukum yang berlaku di negara kita ini. Namun, pada kenyataannya masih terdapat
lahan yang biasanya digunakan untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial tidak
dapat digunakan sesuai dengan fungsinya, karena disebabkan oleh adanya
permasalahan pemakaian atau penguasaan tanah secara tidak sah. Sehingga dalam
hal ini, pihak yang dirugikan biasanya adalah negara. Hal ini dikarenakan
Pemerintah tidak dapat menggunakan tanah yang sebagaimana dimaksud untuk
kepentingan umum, seperti contohnya yang pernah terjadi di Jalan Agung Perkasa
VIII, Jakarta Utara. Lokasi tersebut merupakan salah satu tempat yang
menunjukkan adanya warga masyarakat yang menghuni atau menduduki lahan tanpa
adanya keterangan Hak Kepemilikan Tanah. Terdapat pembangunan liar yang menutup
saluran sehingga saluran tidak dapat terkoneksi dan membuat daerah sekitar
kerap tergenang jika terjadi hujan dengan intensitas tinggi. Maka dari itu,
agar Pemerintah dapat menggunakan tanah tersebut secara efisien dan efektif,
diperlukan sebuah proses dan pelaksanaan penertiban atau penataan ruang.
Menurut Bapak
Luasman Manihuruk, penguasaan tanah tanpa izin harus ditindaklanjuti dengan
langkah-langkah penertiban yang telah ditetapkan. Beliau menekankan bahwa tidak
ada penggusuran, tetapi yang ada adalah penertiban, karena nyatanya masih
banyak masyarakat yang menganggap kinerja dari Satpol PP adalah sebuah
penggusuran. Tujuan dari penertiban yang dilakukan adalah untuk mengajak masyarakat
agar lebih tertib dan bijak, sehingga terciptanya tatanan kota yang sebagaimana
mestinya. Dalam Pasal 3� PERGUB
No.207/2016 dijelaskan tujuan dilaksanakannya penertiban, yaitu untuk: (a)
mencegah terjadinya pemakaian atau penguasaan tanah tanpa izin yang berhak; (b)
mewujudkan tertib administrasi pertanahan, administrasi pemakaian dan
pemanfaatan tanah; dan (c) memberikan kepastian hukum pengimplementasian
penertiban pada pemakaian/penguasaan tanah tanpa izin yang berhak.
Jika dalam
pelaksanaan penertiban wilayah yang memang harus ditertibkan dan masyarakat
wilayah tersebut enggan untuk ditertibkan dan memaksa untuk menetap di atas
tanah yang sebagaimana dimaksud, maka akan dilaksanakan penertiban secara paksa
dengan didampingi TNI-Polri, agar mencegah perihal yang tidak diinginkan.
Sebelum melaksanakan penertiban secara paksa, Walikota/Bupati akan mengadakan
rapat teknis penertiban atau koordinasi dengan SKPD/UKPD terkait, pihak
Kepolisian, TNI, Kejaksaan, Pengadilan serta Instansi terkait lainnya, untuk
memutuskan (a) waktu yang pas untuk melaksanakan aktivitas penertiban; (b) memastikan
jumlah personil yang hendak dikerahkan; (c) prasarana serta sarana pendukung
yang dibutuhkan; (d) instansi yang terlibat; dan (e) pola operasi penertiban
yang hendak diberlakukan. Hal ini tertuang di dalam Pasal 12 Peraturan Gubernur
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 207 Tahun 2016.
Proses dan
pelaksanaan penertiban terhadap pemakaian atau penguasaan tanah tanpa izin yang
berhak termuat dalam Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 207 Tahun 2016. Dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa penertiban terhadap
penguasaan tanah tanpa izin yang berhak atas tanah milik Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan BUMN/BUMD diajukan oleh pengguna aset kepada Gubernur. Artinya,
proses penertiban terhadap pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atas kuasanya
akan mulai diselidiki jika saat pemilik tanah�
mengajukan permohonan atau bersurat kepada Gubernur. Kemudian, akan
dilakukan penelitian serta validasi data yuridis dan data fisik oleh SKPD/UKPD
yang mendapat disposisi Gubernur Data yuridis berupa surat bukti kepemilikan
tanah, riwayat perolehan tanah, serta dokumen pendukung lainnya. Sedangkan data
fisik berupa luas, letak dan batas tanah, benda-benda yang terdapat diatas
tanah yang dimaksud, pihak-pihak yang menguasai tanah tanpa izin yang berhak,
dan sebagainya. SKPD/UKPD yang bersangkutan melakukan penelitian dan verifikasi
data dan wajib melakukan rapat-rapat koordinasi. Hasil penelitian dan
verifikasi data diajukan kepada Asisten Pemerintahan dan Kepala SKPD/UKPD untuk
mendapatkan rekomendasi. Lalu, hasil rekomendasi akan diajukan ke Gubernur
untuk ditindaklanjuti.
Setelah memperoleh
persetujuan dari Gubernur untuk melaksanakan penertiban, Walikota/Bupati yang dibantu
Satpol PP melakukan kegiatan pembinaan, pemberitahuan dan peringatan, serta
penertiban. Pertama, pembinaan dilakukan oleh Walikota/Bupati dan menugaskan
Camat, serta melakukan sosialisasi seperti mengunjungi dan mengundang warga
yang menguasai tanah tanpa izin atas kuasanya dan memberikan arahan serta
dihimbau untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan
pembinaan tersebut dilakukan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja, dan setelah itu Walikota/Bupati akan mengeluarkan surat pemberitahuan
dan peringatan kepada pihak-pihak yang memakai tanah tanpa izin yang berhak
untuk melakukan pengosongan tanah atau bangunan. Surat peringatan pertama
diberikan waktu selama-lamanya 7 (tujuh) hari kalender dan jika tidak diindahkan,
maka surat peringatan kedua diberikan oleh Walikota/Bupati dengan jangka waktu
3 (tiga) hari kalender. Apabila tidak dilaksanakan juga, maka surat peringatan
ketiga diberikan dalam waktu 1 (satu) hari. Tetapi apabila surat ketiga tetap
tidak dilakukan, maka Walikota/Bupati akan melakukan penertiban secara paksa..�
Penertiban yang
dilakukan oleh Satpol PP selalu saja membuat masyarakat marah, hingga sampai
terjadi kericuhan. Seperti yang terjadi saat Penertiban bangunan liar di Jalan
Agung Perkasa VIII Kelurahan Sunter Jaya, Kecamatan Tanjung Priok Jakarta
Utara. Pasalnya warga yang menolak untuk ditertibkan melakukan perlawanan
kepada pihak Satpol PP, yang kemudian berhasil dileraikan oleh TNI-Polri.
Penertiban yang dilakukan adalah untuk mengembalikan fungsi jalur hijau.
Apabila tidak dilakukan penertiban, masyarakat yang menempati lahan jalur hijau
atau di atas sungai akan terkena dampak banjir saat musim hujan tiba.
Penertiban yang dilakukan itu bermaksud baik demi kepentingan bersama. Namun,
terkadang tidak ditanggapi dengan baik oleh beberapa pihak.
Ketetapan MPR
No.IX/MPR/2001 mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
yakni �menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia� merupakan sebuah
prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam penanganan sengketa
agraria. Dengan mengacu pada Tap MPR ini, langkah-langkah yang dilalui oleh
(aparat) negara itu pastinya menjadi perilaku yang tragis-ironis. Dapat
diperlihatkan, betapa buruknya implementasi hukum kita, serta betapa masyarakat
yang seharusnya dilindungi selalu berada dalam posisi tidak berdaya, selalu
dipersalahkan, serta menjadi korban. Ironisnya, hampir dalam setiap kasus
sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah ataupun dilemahkan. Masyarakat
sering tidak mempunyai dokumen-dokumen legal yang dapat membuktikan kepemilikan
tanahnya. Kemampuan masyarakat hanya bersandar pada �kepemilikan historis�
dimana tanah yang mereka miliki telah ditempati dan digarap secara turun
temurun (Perangin, n.d.).�
Berdasarkan hasil
wawancara penulis dengan Bapak Boni Satrio Simarmata, S.H, M.Hum.,� beliau mengatakan mengenai permasalahan penguasaan
tanah tanpa hak merupakan suatu tindak pidana yang dalam kategori seperti ini
di kualifikasi tindak pidana adalah tindak pidana �penguasaan lahan tanpa izin
yang berhak atau kuasanya yang sah�, sebagaimana dimaksud di dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 51 tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya. Permasalahan tanah yang seringkali
berlangsung di masyarakat berupa sengketa tanah, penyerobotan tanah, menempati
lahan tanpa izin, penanaman di atas milik orang lain, perusakan tanaman,
perusakan pagar milik orang lain, serta tindakan lainnya yang berkaitan dengan
masalah tanah.
Sampai saat ini
masih banyak masyarakat serta pihak aparat yang menyelesaikan masalah tanah
menggunakan pendekatan penyelesaian dengan proses perdata yang pastinya
menghabiskan waktu serta biaya yang tidak sedikit. Menurut beliau pihak yang
dirugikan dapat melakukan pendekatan pidana yang lebih efektif dan memiliki
efek jera, meskipun masalah pokoknya adalah masalah tanah yang masuk dalam
wilayah hukum perdata, namun di dalamnya jelas terkandung perbuatan pidana
seseorang yang bisa diproses serta dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam KUHP
antara lain Pasal Pemalsuan (Jika pelaku memalsukan surat menyurat yang ada),
Pasal Perusakan (Jika Pelaku melakukan perusakan tanaman, pagar, patok
kepunyaan pemilik yang sah, pasal penyerobotan lahan (Apabila pelaku menjual
lahan milik orang lain yang legal), Pasal Penipuan (Apabila ada unsur menipu
orang lain dengan tipu muslihat serta melawan hukum).
Kesimpulan
Secara garis besar, hak-hak atas tanah diatur
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Tujuan dibentuknya UUPA tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum, berupa perlindungan perorangan maupun badan hukum sebagai pemegang
hak atas tanah. Dengan adanya
perlindungan bagi pemegang hak atas
tanah, hal ini setidaknya dapat mencegah serta mengurangi permasalahan-permasalahan tindak kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan seseorang dan/atau sekelompok orang untuk kepentingan pribadi maupun bersama.
Kebijakan pemerintah
terhadap permasalahan penguasaan tanah tanpa hak telah
diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya. Peraturan Pemerintah ini berlaku untuk
seluruh wilayah Indonesia. Barangsiapa
yang melanggar isi dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam PERPU ini maka dapat
ditindaklanjuti oleh Walikota/Bupati yang bersangkutan yang didasari dengan prosedur penataan lahan. Proses dan pelaksanaan penertiban tersebut tercantum dalam Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 27 Tahun 2016 tentang Penertiban Pemakaian atau Penguasaan Tanah Tanpa Izin Yang Berhak. Tujuan dari penertiban yang dilakukan antara lain adalah untuk mengajak
masyarakat agar lebih tertib dan bijak, sehingga terciptanya tatanan kota yang sebagaimana mestinya, serta mencegah terjadinya pemakaian atau penguasaan tanah tanpa izin
yang berhak.
�����������������������������������������������������������������������������
BIBLIOGRAFI
Asvada, Anne. (2013).
Pengendalian Pembangunan Permukiman Dibantaran Kali Angke Kelurahan Rawa Buaya
Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat. Teknik PWK (Perencanaan Wilayah Kota),
2(4), 1029�1039.
Boedi,
Harsono. (2005). Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Djambatan. Jakarta.
Doly,
Denico. (2017). Kewenangan Negara Dalam Penguasaan Tanah: Redistribusi Tanah
Untuk Rakyat (The Authority Of The State In Land Tenure: Redistribution Of Land
To The People). Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan
Kesejahteraan, 8(2), 195�214.
Isnaeni,
Moch. (2000). Benda Terdaftar dalam Konstelasi Hukum Indonesia. Jurnal Hukum
IUS QUIA IUSTUM, 7(13), 47�64.
Kesuma,
Derry Angling. (2016). Implementasi Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin
yang Berhak atau Kuasanya. Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum, 3(1).
Lowing,
Fenia Stepanie Gabriella. (2017). Implementasi Penegakan Hukum Terhadap
Penyerobotan Hak Milik Atas Tanah Menurut UU No. 51/PERPU/1960. Lex
Et Societatis, 5(1).
Mustamid,
Mustamid. (2019). Penerapan Pembelaan Hak Kepemilikan Tanah Oleh LBH SGJI di
Desa Sukajadi Kecamatan Cibaliung Kabupaten Pandeglang. Syntax Literate;
Jurnal Ilmiah Indonesia, 4(9), 65�72.
Parlindungan,
Adi Putera. (1990). Pendaftaran tanah di Indonesia. Mandar Maju.
Perangin,
Effendi. (n.d.). Hukum Agraria di Indonesia, Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Santoso,
Jo, & Sukowati, Desi. (2010). Studi Proses Bermukim Komunitas Kolong Tol
Kasus: Kolong Tol Harbour Road Rawa Bebek Kelurahan Penjaringan, Kecamatan
Penjaringan�Jakarta Utara. Planesa, 1(1).
Santoso,
Urip, & SH, M. H. (2017). Hukum Agraria: Kajian Komprehenshif.
Prenada Media.
Urip
Santoso, S. H. (2015). Perolehan hak atas tanah. Prenada Media.