Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X
Vol. 4, No. 6, Juni 2022
FUNGSI BUDGETARY DAN REGULATORY PENERIMAAN NEGARA BUKAN
PAJAK (PNBP) DI INDONESIA
Tinton Ditisrama, Ramlani Lina Sinaulan, Ismail
Universitas Jayabaya,
Jakarta1,2, Universitas Bung Karno,
Jakarta3
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan salah satu instrumen pendapatan negara di luar penerimaan perpajakan, dan hibah yang merupakan penyumbang penerimaan terbesar kedua setelah penerimaan perpajakan dalam APBN. Sama halnya dengan penerimaan
perpajakan, konstitusionalitas
PNBP juga diatur dalam Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945. Selanjutnya politik hukum dari konstitusionalitas
PNBP tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP. Secara prinsip PNBP memiliki dua fungsi, yakni
fungsi budgetary dan fungsi
regulatory. Kedua fungsi
PNBP tersebut merupakan ruh atau jiwa
dari PNBP, artinya kedua fungsi tersebut
harus dipastikan benar-benar berjalan dan saling bersinergi, tanpa hal tersebut
maka eksistensi PNBP dalam mendukung kegiatan negara/ pemerintahan dalam rangka mencapai
kesejahteraan rakyat akan menjadi tidak
signifikakan dan tidak strategis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif, dengan metode tersebut
penulis mencoba memaparkan bagaimana implementasi dari fungsi budgetary dan fungsi
regulatory PNBP dalam mendukung
pelaksanaan kegiatan
negara/ pemerintahan di Indonesia.
Kata Kunci:
PNBP; fungsi
budgetary; fungsi regulatory; non-tax
revenue.
Abstract
Non-Tax Revenue (PNBP) is one of the instruments of state revenue
excluding tax revenues, and grants are the second largest contributor to
revenue after tax revenues in the APBN. Similar to tax revenues, the
constitutionality of PNBP is also regulated in Article 23A of the 1945
Constitution of the Republic of Indonesia. Furthermore, the legal politics of
the constitutionality of PNBP is described in Law Number 9 of 2018 concerning
PNBP. In principle, PNBP has two functions, namely the budgetary function and
the regulatory function. The two functions of PNBP are the spirit or soul of
PNBP, meaning that both functions must be ensured that they really work and
synergize with each other, without this, the existence of PNBP in supporting
state/government activities in order to achieve people's welfare will be
insignificant and not strategic. The method used in this study is
juridical-normative, with this method the author tries to explain how the
implementation of the budgetary function and the regulatory function of PNBP in
supporting the implementation of state/government activities in Indonesia.
Keywords: PNBP function; budgetary
function; regulatory function; non-tax revenue.
Pendahuluan
Dalam
mencapai tujuan negara sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945, pemerintah menyelenggarakan kegiatan dan menjalankan fungsi pemerintahan
di berbagai bidang (Fitriana,
2018). Bidang keuangan menjadi salah satu bidang yang penting dan strategis dalam upaya mendukung keberlangsungan penyelenggaraan urusan negara/pemerintahan dalam segala aspek
urusan (Junaedi et al., 2020). Sebagai
negara hukum yang berkedaulatan rakyat, menyelenggarakan pemerintahan
negara berdasarkan konstitusi (Ridwan, 2011). Maka sistem
pengelolaan keuangan negara harus mengikuti kaidah-kaidah pokok yang diatur dalam
UUD NRI Tahun 1945, yang dalam Pasal 23A disebutkan
bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undang-undang. Pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah dalam
pelayanan, pengaturan, perlindungan masyarakat, kepastian hukum, dan
pengelolaan kekayaan negara, termasuk pemanfaatan sumber daya alam, dapat menciptakan
suatu bentuk penerimaan negara yang disebut PNBP (Kurniasih, 2016).
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2018, didefinisikan bahwa PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung atau tidak
langsung atas jasa atau pemanfaatan
sumber daya dan hak yang diperoleh negara berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu penerimaan pemerintah pusat selain pajak
dan penerimaan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. Penerimaan negara dipungut dari sumber-sumber penerimaan yang telah diatur dalam undang-undang,
yaitu penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan hibah (Kurniasih,
2016).
PNBP
pada prinsipnya memiliki dua fungsi, yaitu
fungsi budgetary
dan fungsi regulatory
(Biswan & Kusumo,
2021). Sebagai fungsi budgetary,
PNBP merupakan penopang sumber penerimaan negara. PNBP memberikan sumbangsih penerimaan negara terbesar kedua setelah penerimaan
pajak (Rusdi, 2021). Dalam sepuluh tahun terakhir
(2012-2021), kontribusi PNBP terhadap
APBN berkisar 26,9% dari
total penerimaan negara. Bahkan
pada tahun 2018, realisasi
PNBP meningkat signifikan mencapai Rp. 407 triliun atau naik 147,77% dari jumlah yang ditargetkan dan tumbuh 30,86% dari nilai realisasi PNBP tahun 2017.
Berdasarkan uraian di atas,
penulis tertarik untuk melakukan analisis bagaimana implementasi dari fungsi budgetary
dan fungsi regulatory
dari PNBP dalam mendukung menyelenggaraan kegiatan negara/ pemerintahan. Manfaat dari penelitian
adalah untuk memaparkan bagaimana implementasi dari fungsi regulatory
dan budgetary dari
PNBP dalam mendukung penyelenggaraan kegiatan negara/ pemerintahan.
Metode Penelitian
Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Dilakukan adalah melalui studi kepustakaan
yang mengkaji data sekunder,
berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi UUD NRI Tahun 1945, peraturan perundang-undangan terkait PNBP dan keuangan negara.
Sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari kajian hasil penelitian,
seminar dan/atau lokakarya,
buku, jurnal ilmiah terkait PNBP dan keuangan negara.
Hasil dan Pembahasan
A. Fungsi Budgetary PNBP
PNBP sebagai
fungsi budgetary,
merupakan salah satu pilar penerimaan negara yang memiliki kontribusi cukup besar dalam membantu
anggaran negara melalui optimalisasi penerimaan negara (Biswan &
Kusumo, 2021). Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018, disebutkan bahwa PNBP adalah pendapatan yang menjadi hak pemerintah pusat di luar penerimaan
perpajakan dan hibah, dan pengelolaannya dilakukan melalui mekanisme APBN. Dalam postur APBN, penerimaan negara dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: Penerimaan Pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Penerimaan Hibah. Penerimaan pajak terdiri dari pajak
dalam negeri (seperti PPh migas, Pajak
Nonmigas, Bea dan Cukai)
dan pajak perdagangan internasional (Silalahi et al.,
2015). Sedangkan
PNBP secara garis besar dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu PNBP yang berasal dari Sumber
Daya Alam (SDA), Kekayaan Negara yang Dipisahkan
(KND), PNBP lainnya, dan Badan Layanan
Umum (BLU). Dilihat dari perkembangannya (berdasarkan LKPP data Kementerian Keuangan),
dalam 10 tahun terakhir (2012-2021), PNBP menyumbang
sekitar 26,9% dari seluruh penerimaan dalam APBN. Realisasi proporsi ini cukup
fluktuatif mengikuti PNBP
yang bergerak cukup dinamis sebagaimana diagram di bawah ini:
Gambar 1�
Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat,
Kementerian Keuangan
Dari data realisasi penerimaan negara 10 tahun terakhir di atas, dapat terlihat
bahwa PNBP telah menyumbang sekitar 26,9% dari total pendapatan negara, artinya fungsi PNBP dari sisi fungsi
budgetary cukup
signifikan dalam menyumbang pundi-pundi pendapatan negara yang dikelola dengan mekanisme APBN. Dari realisasi penerimaan PNBP tersebut, kontribusi terbesar bersumber dari penerimaan pemanfaatan SDA yaitu sebesar 44,4% sebagaimana diagram
di bawah ini.
Gambar 2
Realisasi Penerimaan PNBP dalam
kurun 10 tahun (2012-2021)
Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat,
Kementerian Keuangan
Dalam upaya
menjalankan fungsi budgetary, Pemerintah
Pusat melakukan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi untuk menggali potensi PNBP sehingga tercapai optimalisasi PNBP. Optimalisasi PNBP dilakukan dengan memperhatikan karakteristik masing-masing jenis
PNBP dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kesinambungan fiskal serta pengelolaan sektor pemerintahan yang bertanggung jawab. Misalnya, kebijakan pengelolaan PNBP untuk jenis yang berasal dari perizinan dan pemanfaatan sumber daya alam berbeda
dengan layanan pengelolaan PNBP kepada masyarakat (Kurniasih,
2016).
Teori Penerimaan
Dominal merupakan teori yang digunakan dalam pengelolaan keuangan negara. Teori tersebut menyatakan bahwa seluruh kekayaan
yang ada disuatu negara
pada hakekatnya merupakan sumber penerimaan negara, termasuk kewenangan serta kekuasaan tertentu dalam hal menghasilkan penerimaan negara. Teori inilah yang mendasari bahwa pemanfaatan sumber daya alam
dan kekayaan yang menjadi milik negara merupakan sumber penerimaan negara. Selain hal itu,
negara juga mempunyai kewenangan
untuk memberikan ijin kepada kelompok
tertentu untuk dapat melakukan kegiatan tertentu dalam hal pengelolaan
kekayaan tersebut.
Penerimaan negara dianggarkan
sesuai dengan prioritas nasional pemerintah dan program atau kegiatan yang diusulkan oleh
masing-masing kementerian negara/lembaga.
Peran PNBP dalam APBN semakin
meningkat dari tahun ke tahun
(Atmaja & Akhmadi, 2017). Peningkatan peran ini tidak hanya
berdasarkan angka statistik, tetapi dapat dilihat dari
peran PNBP yang dapat mendorong terselenggaranya pelayanan publik yang semakin berkualitas. UU PNBP mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting dan
strategis dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional dan memberikan landasan hukum yang kuat, adil, tegas,
dan jelas dalam pengelolaan PNBP sebagai sumber penerimaan negara. Untuk menyukseskan penyelenggaraan Negara dan pembangunan
nasional yang berkeadilan sosial, diperlukan dana yang semakin banyak, terutama yang berasal dari penerimaan dalam negeri, termasuk PNBP.
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam
penyelenggaraan negara, maka
pengelolaan PNBP perlu dilakukan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan prinsip-prinsip
yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara,
yang meliputi (1) Asas Tahunan, bahwa anggaran yang dibuat setiap tahun oleh Pemerintah harus disetujui oleh DPR. (2) Asas Universalitas, adanya batasan untuk tidak
mencampukan antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara. (3) Asas Kesatuan, bahwa semua pengeluaran harus dimasukkan dalam anggaran. (4) Asas Spesialitas, menghendaki agar jenis pengeluaran dimasukkan dalam pos anggaran tertentu/terpisah. (5) Asas Profesionalisme, bahwa pengelolaan keuangan negara ditangani oleh sumber daya yang professional.
(6) Asas Proporsionalitas, alokasi anggaran dilakukan dengan proporsional sesuai fungsi kementerian/Lembaga dan skala prioritas serta tujuan yang hendak dicapai. (7) Asas transparansi, bahwa adanya transparansi
dari mulai tahap pembahasan, penetapan, dan penghitungan anggaran, sampai pada hasil pengawasan lembaga pemeriksa independent.
(8) Asas pemeriksaan keuangan oleh lembaga pemeriksa yang bebas dan mandiri, memberikan kewenangan yang lebih besar kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara secara obyektif dan mandiri.
B. Fungsi Regulatory PNBP
Fungsi regulatory
PNBP dalam mendukung kebijakan pemerintah adalah dengan adanya
regulasi terkait penetapan tarif layanan publik serta penggunaan dana yang bersumber dari PNBP (Kurniasih, 2016). Filosofi dari mendukung kebijakan pemerintah tersebut adalah adanya kepastian hukum, peningkatan jumlah dan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat, artinya dengan adanya penetapan tarif atas jenis
PNBP, maka setiap layanan publik, baik layanan yang diberikan oleh Lembaga Kementerian, layanan
dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam, pengelolaan
kekayaan negara dipisahkan,
dan jenis PNBP lainnya menjadi pasti dan tranparan dalam hal pengenaan biaya
pada tiap jenis layanan yang diberikan oleh penyelenggara layanan, sehingga masyarakat sebagai penerima layanan merasa nyaman dan terlayani dengan baik. Dengan
begitu maka tingkat kepercayaan terhadap pemerintah bisa terus meningkat
dan kesejahteraan masyarakat
bisa terwujud.
Definisi PNBP sebagai pungutan yang dibayarkan oleh
orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung atau tidak langsung
atas jasa atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, maka berdasarkan definisi tersebut setidaknya ada empat karakteristik dalam PNBP, yaitu retribusi, manfaat, jasa, dan pemanfaatan sumber daya.
Ciri pertama yang terkandung dalam PNBP adalah retribusi. Sebagai pungutan negara, PNBP hanya dapat dibebankan
kepada masyarakat melalui undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945 dalam Pasal 23A yang berbunyi: �Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan
negara diatur dengan undang-undang�. Kata pungutan secara gramatikal
dapat dipahami bahwa sumber keuangan
negara tidak hanya melalui pajak tetapi
juga sumber lain yaitu pungutan lain yang harus diatur dengan undang-undang.
Penekanan pada pungutan
lain harus diatur dengan undang-undang sejalan dengan prinsip perpajakan bahwa pajak dipungut
berdasarkan undang-undang (Karma, Resen, 2018). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesewenang-wenangan negara dalam mengenakan pungutan kepada rakyatnya. Oleh karena itu, jenis
dan tarif untuk jenis-jenis PNBP yang dipungut dari masyarakat harus diatur dalam
suatu peraturan, agar ada dasar hukum
pungutannya. Selain itu, dengan dasar
hukum ini masyarakat dapat mengetahui besarnya tarif yang harus dibayar untuk suatu
pelayanan tertentu. Penerapan tarif PNBP sendiri dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2018.
Karakteristik yang kedua
dalam definisi PNBP adalah manfaat pada prinsipnya PNBP yang dibayarkan
oleh masyarakat akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk peningkatan kualitas layanan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Wajib Bayar (perorangan maupun badan) hanya membayar jika yang bersangkutan memerlukan layanan atau pemanfaatan
sumber daya tertentu. Dalam PNBP terdapat juga karakteristik lain yaitu penerapan pola earmarking, yaitu penggunaan anggaran yang sumber penerimaan maupun pengeluarannya ditentukan secara spesifik (Kurniasih, 2016). Dalam konsep ini, pendapatan tertentu menjadi sumber pendanaan dalam membiayai layanan publik tertentu, sehingga terdapat kepastian dan keberlangsungan pendanaan atas layanan publik
yang diberikan oleh pemerintah.
Menurut (Edwinarta, 2020) PNBP yang berasal dari
layanan pembuatan paspor yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM akan
dialokasikan kembali dalam bentuk layanan
kepada masyarakat. Dengan demikian, layanan pembuatan paspor dapat dilakukan
secara efektif dan transparan, melalui penyediaan sistem Online serta peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana layanan.
Karakteristik ketiga dalam definisi PNBP adalah layanan. Layanan adalah layanan publik yang diberikan oleh negara kepada masyarakat tanpa membedakan suku, ras, agama maupun golongan (Agustina,
2019). Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, menyatakan bahwa pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian
kegiatan demi memenuhi kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas jasa,
barang, dan pelayanan administrasi yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik. Berdasarkan uraian tersebut, PNBP hadir untuk mendukung
pelaksanaan layanan yang diberikan negara kepada masyarakat agar semakin meningkat kualitasnya, yang dibuktikan dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas suatu layanan (Ma�ruf, 2018).
Karekteristik definisi
PNBP yang keempat adalah pemanfaatan sumber daya. Dalam konteks
negara, pemerintah mempunyai
tanggung jawab dalam mengelola sumber daya yang dipunyai oleh bangsa Indonesia. Sumber daya ini
bisa meliputi sumber daya finansial
maupun non-finansial. Salah
satu contoh sumber daya finansial
adalah penanaman modal
negara. Modal negara yang telah diberikan
kepada badan usaha harus bisa dioptimalkan
pemanfaatannya untuk mendukung pembangunan nasional (Machmud, 2015). Adapun contoh sumber
data non-finansial adalah sumber daya alam.
Sebagai Negara yang menganut
kedaulatan rakyat, maka rakyatlah sebagai pemilik dari seluruh sumber
daya dan seluruh kekayaan alam yang ada di Negara Indonesia, kekayaan
tersebut untuk selanjutnya dijadikan sebagai kekuatan sekaligus ketahanan bagi Negara. Selanjutnya atas pengelolaan kekayaan tersebut rakyat membikan madat kepada Negara dalam hal ini
pemerintah untuk mengelola sebaik-baiknya sumber daya alam
agar bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Dalam menjalankan fungsi regulatory,
PNBP berperan dalam melaksanakan dan mendukung kebijakan pemerintah dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat
dan pembangunan masa depan.
Bentuk pelaksanaan fungsi PNBP erat kaitannya dengan regulasi terkait tarif dan penggunaan dana yang bersumber dari PNBP. Tujuan dan kebijakan tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum, meningkatkan jumlah dan kualitas pelayanan kepada masyarakat serta mendukung pelestarian sumber daya alam dan peningkatan
kualitas lingkungan hidup.
Fenomena
selain yang tersebut di atas, adalah maraknya terjadi pungutan liar yang
menjadi pendorong hadirnya PNBP sebagai bentuk pungutan yang dilakukan oleh
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam memberikan
perlindungan serta kepastian hukum kepada masyarakat. Berdasarkan Laporan
Pencapaian Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli)
Januari-Maret 2019, sebagai gambaran dapat kita lihat studi kasus terkait PNBP
vs pungutan liar berdasarkan
Laporan Pencapaian Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli)
Januari-Maret 2019, dalam periode 28 Oktober 2016 sampai dengan 31 Maret 2019,
terdapat 36.880 laporan pengaduan dari masyarakat. Dari pengaduan tersebut,
telah dilaksanakan 15.283 kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dengan jumlah
tersangka sebanyak 25.500 orang. Jumlah barang bukti berupa uang hasil OTT di
seluruh Indonesia diperoleh Rp322,37 miliar.
Lebih jauh, BPK RI menyampaikan hasil temuannya pada Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat pada tahun 2016, bahwa terdapat temuan berupa pungutan PNBP belum memiliki
dasar hukum atau melebihi tarif PNBP yang berlaku, dan digunakan langsung
sebagai belanja pada 9 (sembilan) kementerian/ Lembaga (K/L) dengan nilai
temuan sebesar Rp59 miliar. Kategori temuan hasil pemeriksaan ini berulang
setiap tahun. Pada tahun 2019 temuan sejenis terdapat pada 7 (tujuh) K/L dengan
nilai temuan sebesar 36,5 miliar. Hal ini menjadi salah satu perhatian
tersendiri bagi pemerintah untuk mengatasinya.
Tabel 1
�Pungutan
PNBP tanpa Dasar Hukum
(Temuan BPK-RI pada LKPP Tahun
2016-2019)
Tahun |
Jumlah K/L |
Nilai Temuan |
2016 |
9 |
Rp 59,00 Miliar |
2017 |
9 |
Rp 99,89 Miliar |
2018 |
6 |
Rp 28,82 Miliar |
2019 |
7 |
Rp 36,5 Miliar |
Sumber: PNBP, 2020
Apakah
perbedaan antara pungutan PNBP dengan pungutan liar? Baik pungutan PNBP maupun
pungutan liar merupakan pungutan kepada PNBP yang dilakukan oleh pihak yang
memiliki kewenangan atau otoritas. Hal mendasar yang membedakan keduanya adalah
aspek legalitas. Menurut (Nst et al.,
2020) Pungutan PNBP dilakukan sesuai kewenangan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jenis dan tarif
PNBP, sedangkan pungutan liar dilakukan tanpa atau tidak sesuai dengan dasar
hukum, baik dari sisi pengaturan maupun besaran pungutannya.
Timbulnya
pungutan liar umumnya diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang dari oknum di
lingkungan Instansi Pengelola PNBP, untuk kepentingan pribadi atau pihak-pihak
tertentu. Penyalahgunaan wewenang tersebut antara lain terkait dengan
kewenangan dalam melakukan penghitungan dan penetapan PNBP terutang, kewenangan
untuk menyetujui atau menolak permohonan dari Wajib Bayar PNBP, atau kewenangan
untuk memproses suatu pelayanan atau pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah.
Bentuk pungutan liar dapat berupa pungutan tambahan dari tarif PNBP yang diatur
sesuai peraturan perundang-undangan, atau bahkan pungutan tanpa didasari
peraturan perundang-undangan. Adapun kasus pungutan liar memberikan citra
negatif atas layanan pemerintah kepada masyarakat. Stigma negatif bahwa layanan
pemerintah lamban dan butuh �Uang Pelicin� untuk mempercepat proses layanan merupakan sesuatu yang berusaha dihapus
oleh pemerintah, melalui program reformasi birokrasi sejak tahun 2010.
Pemerintah
telah berupaya secara serius untuk mengatasi pungutan liar. Beberapa kebijakan
konkret yang berkaitan dengan pengelolaan PNBP telah diambil dan dilaksanakan
oleh pemerintah untuk mengatasi pungutan liar, antara lain (Patricia, 2020):
1. Menerapkan transparansi layanan, memberikan
informasi dan edukasi terkait prosedur dan besaran tarif layanan kepada para
pengguna layanan, baik secara Online maupun offline, melainkan
media cetak maupun elektronik.
2. Mendorong penggunaan teknologi informasi dalam pemberian
layanan publik, dan mengurangi layanan dalam bentuk tatap muka langsung dalam
rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi layanan.
3. Melakukan penyederhanaan prosedur dan mengurangi
rantai birokrasi dalam pemberian layanan kepada masyarakat, antara lain melalui
sistem pelayanan satu pintu. Hal ini antara lain ditunjukkan melalui penggunaan
Indonesia National Single Window (INSW) untuk pengurusan ekspor impor
dan penggunaan Online Single Submission (OSS) untuk pengurusan perizinan
berusaha.
4. Menyediakan fasilitas pembayaran secara non-tunai
atau elektronik melalui Sistem Informasi PNBP Online (SIMPONI) � Modul
Penerimaan Negara Generasi 3 (MPN G-3), baik secara langsung maupun terhubung
melalui sistem informasi pada masing-masing Instansi Pengelola PNBP.
5. Menyediakan fasilitas layanan pelanggan, baik secara
luring (offline) pada area pelayanan maupun secara daring (Online)
pada laman Instansi Pemerintah.
6. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparatur
sipil negara, terutama terkait pembangunan karakter sumber daya manusia yang
terlibat langsung dalam penyediaan layanan masyarakat.
7. Meningkatkan monitoring dan pengawasan PNBP, baik
oleh satuan kerja Instansi Pengelola PNBP, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah,
Kementerian Keuangan selaku pengelola fiskal, penegak hukum, maupun tim/ satgas
antarkementerian/lembaga seperti Satgas Saber Pungli.
8. Meningkatkan koordinasi dengan instansi pemeriksa
dan penegak hukum dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan penindakan atas
tindakan pelanggaran hukum, termasuk pungutan liar.
Kesimpulan
Implementasi dari fungsi budgetary
dan regulatory PNBP dapat terlihat dari peran strategis
PNBP dalam mendukung kegiatan pemerintahan. Dari fungsi budgetary,
PNBP merupakan instrument yang menghasilkan
pundi-pundi penerimaan
negara dalam APBN, kontribusi
PNBP dalam penerimaan
negara adalah terbesar kedua setelah penerimaan
perpajakan. Artinya peran dan eksistensi PNBP dalam mendukung penyelenggaraan kegiatan negara/ pemerintah tidak bisa dipandang sebelah mata. Pemerintah
terus melakukan intensifikasi dan ektensifikasi dalam rangka penggalian
potensi PNBP, upaya ini merupakan komitmen
serius dari pemerintah untuk pengelolaan PNBP yang lebih baik, sehingga seluruh potensi yang berasal dari seluruh
sumber daya yang ada di negara dapat tergali dan menghasilkan manfaat ekonomis bagi rakyat selaku
pemilik kedaulatan atas seluruh sumber
daya yang ada di negara. Selanjutnya dengan fungsi regulatory,
PNBP merupakan instrument yang dapat
mengarahkan dan mendukung kebijakan pemerintah dalam berbagai sektor sebagai upaya mewujudkan ketahanan dan kesinambungan fiskal.
Agustina, E.
(2019). Pelaksanaan Pelayanan Publik Berkualitas Bagi Masyarakat. Jurnal
Literasi Hukum, 3(2), 10. Google
Scholar
Atmaja, W. K., & Akhmadi, R. S. (2017). Efektivitas
Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Wacana
Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum, 16(3), 197�208. Google Scholar
Biswan, A. T., & Kusumo, D. P. P. (2021). Penajaman
Peran Penganggaran Sektor Publik Sebagai Alat Perencanaan Dan Pengendalian. JAS
(Jurnal Akuntansi Syariah), 5(1), 58�77. Google Scholar �
Edwinarta, C. D. (2020). Implementation of the Eazy Passport
Office of Immigration Class I TPI Tanjung Perak at the University of
Muhammadiyah Gresik. Journal of Politics and Policy, 3(1), 41�60.
Google
Scholar
Fitriana, M. K. (2018). Peranan Politik Hukum dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia sebagai Sarana Mewujudkan
Tujuan Negara (Laws And Regulations In Indonesia As The Means Of Realizing The
Country�S Goal). Jurnal Legislasi Indonesia, 12(2). Google
Scholar
Junaedi, I., Abdillah, D., & Yasin, V. (2020). Analisis
Perancangan Dan Pembangunan Aplikasi Business Intelligence Penerimaan Negara
Bukan Pajak Kementerian Keuangan RI. Journal of Information System, Applied,
Management, Accounting and Research, 4(3), 88�101. Google
Scholar
Karma, Resen, M. G. S. (2018). Konsep, Konsepsi,
Dan Miskonsepsi Makna Pungutan, Pungutan Yang Sah, Dan Pungutan Liar Yang
Terjadi Di Desa Pakraman. Google
Scholar
Kurniasih, D. A. (2016). Pembaharuan pengelolaan penerimaan
negara bukan pajak. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional,
5(2), 213�228. Google Scholar
Ma�ruf, A. (2018). Transparansi Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia Menuju Good Police
Governance. Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum, 7(1). Google
Scholar
Machmud, S. (2015). Kajian Pemanfaatan Dana Corporate Social
Responsibility Sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan Pembangunan Daerah. Jurnal
Ekonomi, Bisnis & Entrepreneurship (e-Journal), 9(1). Google
Scholar
Nst, M. Z.,
Bahmid, B., & Siregar, E. S. (2020). Tinjauan Yuridis Terhadap Penerimaan
Negara Bukan Pajak Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak. JURNAL PIONIR, 6(1). Google Scholar
Patricia, W. (2020). Analisis Pengelolaan Piutang Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP). Jurnal Ilmu Manajemen Dan Bisnis, 11(1),
1�10. Google
Scholar
Ridlwan, Z. (2011). Negara Hukum Indonesia Kebalikan
Nachtwachterstaat. Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, 5(2). Google
Scholar
Rusdi, D. R. (2021). Peranan Penerimaan Negara Bukan Pajak
dalam Pendapatan dan Belanja Negara. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial Dan
Pendidikan), 5(1). Google Scholar �
Silalahi, S., Al Musadieq, M., & Nurtadjono, G. E. (2015).
Pengaruh Kualitas Pelayanan PerpajakanTerhadap Kepuasan Wajib Pajak, Kepatuhan
Wajib Pajak Dan Penerimaan Pajak (Studi Pada Kantor Pelayanan Pajak Madya
Malang). Jurnal Perpajakan (JEJAK), 1(1). Google
Scholar
Tinton Ditisrama,
Ramlani Lina Sinaulan,
Ismail (2022) |
First publication right: |
This article is licensed under: |