Syntax
Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X
Vol. 3, No. 6, Juni 2022
DINASTI POLITIK DALAM
KONTESTASI PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA
Yohanes Lado Jera, Achmad Edi Subiyanto,
Markoni
Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul
Jakarta
Email: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini menjabarkan tentang dinasti politik dalam kompetisi pemilihan kepala daerah di Indonesia. Diadakan penelitian ini karena realitas dinasti politik yang terjadi dalam masyarakat
Indonesia yang terus meningkat
dari tahun ke tahun. Penelitian
ini lahir dari adanya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang melegalkan
praktik dinasti politik dalam pencalonan
kepala daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa dinasti politik merupakan realitas empiris, yuridis dan merupakan konsekuensi negara hukum yang harus menciptakan keadilan terutama dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan
undang-undang yang berlaku.
Perumusan masalahnya adalah pertama, Apakah dinasti politik dalam pemilihan
kepala daerah bertentangan dengan hak asasi manusia
yang dijamin oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945? Kedua, Bagaimana konstitusionalitas Dinasti politik dalam Pemilihan
Kepala Daerah di Indonesia? Metode
penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian
hukum normatif dilakukan dengan cara menelaah bahan
kepustakaan atau bahan-bahan sekunder. Penelitian normatif bertujuan untuk sistematisasi, mengoreksi dan memperjelas aturan hukum yang berlaku pada bidang hukum tertentu
dengan cara melakukan analisis terhadap teks-teks mengenai bahan hukum primer dan sekunder dan kemudian dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinasti politik
sebagai realitas pemilihan kepala daerah bersifat konstitusional karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Kedua, Perlunya diatur dalam Undang-Undang
mengenai regulasi pemilihan kepala daerah dan persyaratan kompetensi calon yang lebih ketat, dari
persyaratan intelektual,
dan managerial keterampilan leadership, pengalaman dan moralitas. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui seberapa integritas calon tersebut.
Kata Kunci:
dinasti politik; kontestasi; pemilihan kepala daerah.
Abstract
In this
study is to describe the political dynasty in the regional head election
competition in Indonesia. This study was conducted because of the reality of
political dynasties that occur in Indonesian society that continues to increase
from year to year. This research was born from the decision of the
Constitutional Court Number 33/PUU-XIII/2015 which legalized the practice of
political dynasties in the nomination of regional heads. This study aims to
explain that political dynasty is an empirical, juridical reality and is a
consequence of the rule of law that must create justice, especially in the
process of nominating regional heads and deputy regional heads in accordance
with applicable law. The formulation of the problem is first, Is the political
dynasty in the election of regional heads contrary to human rights guaranteed
by the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia? Second, What is the constitutionality of political dynasties in the
Election of Regional Heads in Indonesia? The research method used is a type of
normative law research conducted by reviewing library materials or secondary
materials. Normative research aims to systematize, correct and clarify the
rules of law that apply to a particular field of law by analyzing the texts on
primary and secondary legal materials and then analyzed. The results show that
the political dynasty as a reality of the election of regional heads is constitutional
because it does not conflict with the 1945 Constitution and the Human Rights
Law. Second, there is a need to be regulated in the Law on the regulation of
the election of regional heads and stricter requirements of candidate
competence, than the requirements of intellectual, and managerial leadership
skills, experience, and morality. This aims to find out how integrity the
candidate is.
Keywords: political
dynasty; contestation; election of regional heads.
Pendahuluan
Di Indonesia
praktik dinasti politik sudah merajalela sejak masa kepemimpinan Soekarno,
Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo (Margiansyah, 2019). Hal ini menjelaskan bahwa dinasti
politik tidak akan pernah hilang di bumi ini. Artinya dengan berkembangnya
dinasti politik, tentunya sangat tidak baik dalam membangun negara demokrasi.
Dinasti politik tentunya akan menciptakan proses politik yang tidak adil dan
tentunya sangat tidak demokratis (Bimantara & Harsasto, 2018). Dinasti
politik tentunya sangat tidak baik dalam membangun suatu negara terutama negara
demokrasi yang mana pasti akan adanya kecenderungan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) (Davis, 2011).
Praktik dinasti
politik mudah terjadi di negara demokrasi, baik di level nasional maupun
regional, sehingga perkembangan demokrasi sulit diwujudkan (Effendi, 2018). Hal ini dikarenakan bahwa praktik
dinasti politik yang terjadi di kedua level (daerah dan nasional) tersebut
sangat meningkat, dan perkembangan dinasti politik ini juga tidak terlepas dari
adanya peran partai politik dan regulasi-regulasi tentang pilkada yang
memungkinkan dinasti politik ini berkembang. Di mana dalam partai politik itu
terdapat kaum kapitalis yang menjadi peran utamanya, sehingga menyebabkan
mekanisme kandidasi dan pencalonan tidak berjalan dengan lancar (Susanti, 2017). Akhir-akhir ini, proses pencalonan kepala
daerah selalu berdasarkan keinginan elit partai, bukan lewat
mekanisme-mekanisme yang telah ditetapkan seperti mempertimbangkan segi kualitas
dan integritas calon-calon tersebut. Hal ini terlihat jelas dalam beberapa
kasus yang terjadi di Indonesia.
Dinasti politik
hingga sekarang masih menimbulkan pro dan kontra di ruang publik soal adanya
potensi abuse of power (Giroux, 2002). Dinasti
politik merupakan sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan
darah dan keturunan hanya dari beberapa orang atau kelompok tertentu untuk
mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan (Purwanti & Alfirdaus, 2020).
Namun di sisi
lain dinasti politik dinilai dengan melarang individu untuk terlibat dalam
kompetisi pilkada adalah melanggar Hak Asasi Manusia dan hak konstitusionalnya
sebagai warga negara sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Suharto, Nurhaeni, Hapsari, & Wicaksana, 2017). Melihat
realitas yang demikian, maka publik was-was jika dinasti politik terus
dibiarkan di Indonesia tentunya akan berdampak buruk bagi tatanan negara
Indonesia itu sendiri, terutama demi terwujudnya Indonesia yang sejahtera. Di
mana yang seharusnya proses politik berjalan demokratis yakni transparan tapi
tertekan oleh dinasti politik.
Menurut (Kartika, 2015) Mahkamah Konstitusi Pasal 7 huruf r, penjelasan
Pasal 7 huruf r dan Pasal 7 huruf s tersebut bermuatan diskriminatif dan tidak
sesuai bunyi Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28I ayat 2, yang berbunyi: �Setiap orang
berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu�.
Mahkamah
Konstitusi menilai bahwa seharusnya yang harus dibatasi adalah dari petahana,
bukan kepada keluarga, kerabat atau kelompok lain, karena penyalahgunaan kekuasaan
lebih besar ada pada petahana (Suharto et al., 2017). Dengan
dihapuskannya norma pasal 7 huruf r oleh Mahkamah Konstitusi dengan Nomor
33/PUU-XIII/2015 maka keluarga petahana diperbolehkan untuk terlibat mengikuti
atau mencalonkan diri dalam proses politik yakni pilkada. Dengan demikian norma
pasal 7 huruf r ini dimasukkan dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Namun perlu diketahui bahwa dalam
Pasal 28 J ayat
(1), (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ayat (1)
menyatakan setiap orang wajib menghormati Hak Asasi orang lain (Gandryani & Hadi, 2021). Wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Ayat (2) dalam menjalankan hak
dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Terkait beberapa
perkembangan dinasti politik yang terjadi di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa
tidak semua praktik dinasti politik berujung tidak baik. Pada sebelumnya
pemilihan kepala daerah melalui DPRD, namun sekarang ini pemilihan kepala
daerah langsung oleh rakyat sendiri. Dengan adanya pemilihan langsung seperti
ini tentunya rakyat harus lebih cerdas menggunakan hak politiknya dalam memilih
calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, baik yang berasal dari
keluarga dinasti politik atau yang bukan dari keluarga dinasti politik. Pada
dasarnya bahwa output dari pemilihan adalah untuk mendapatkan pemimpin yang
berkualitas yang bisa membawa perubahan dan memberikan kemakmuran kepada
masyarakat secara keseluruhan, bukan untuk membuat kesejahteraan keluarganya (Sagala & Sos, 2018). Di beberapa
negara demokrasi mapan seperti Amerika Serikat, Jepang dan Singapura, dinasti
politik tidak dipermasalahkan karena proses politiknya berjalan dengan
transparan dan akuntabel
yang bertujuan untuk mendapatkan figur pemimpin yang kompeten berdasarkan
kejujuran dan keteladanan (Rohmah,
2014). Perlu
diketahui juga dalam penelitian ini, penulis lebih meneliti mengenai dinasti
politik dalam keluarga besar sebagaimana termuat dalam bunyi pasal 7 huruf r
yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yakni
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015. Berangkat dari
penelitian di atas maka penulis memberi judul Tesis ini dengan judul �Dinasti Politik dalam Kontestasi Politik
Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 33/PUU-XIII 2015)�.
Metode Penelitian
Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa penelitian hukum adalah sebuah proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. Metode penelitian hukum juga adalah sebuah cara
kerja ilmuwan yang ditandai dengan penggunaan metode. Pada awalnya istilah metode diartikan sebagai sebuah jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian akan rencana tertentu. Menurut (Ibrahim, 2006) Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penelitian hukum adalah suatu
kerja ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, dengan bertujuan untuk mempelajari beberapa gejala hukum tertentu
dengan jalan menganalisisnya. Berdasarkan pengertian-pengertian metode penelitian hukum sebelumnya, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif dengan berpatokan pada literatur kepustakaan (library
approach). Penelitian ini
merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang fokus kajiannya yaitu penelitian perpustakaan atau studi mengenai
dokumen karena penelitian ini dilakukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis,
beserta bahan-bahan hukum yang lain. Menurut (Hasanuddin, 2018) Penelitian ini juga menelaah tentang politik dinasti yakni mengkaji
Undang-undang tentang pemilihan kepala daerah serta putusan
Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan politik dinasti. Pada dasarnya ilmu hukum
itu memiliki karakter khas yang sifatnya normatif, praktis dan preskriptif. Dikatakan preskriptif karena ilmu hukum
mempelajari hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum serta ilmu
hukum menetapkan standar prosedur ketentuan-ketentuan dalam melaksanakan aktivitas hukum (Marzuki, 2009). Jadi penelitian
yang mau dikaji penulis dalam penelitian
ini adalah penelitian yang bersifat normatif dengan patokan pada bahan perpustakaan dalam melengkapi Analisa hukum Dinasti Politik dalam kompetisi Pemilihan Kepala Daerah di
Indonesia berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-2015. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier
dan bahan non hukum penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
A.
Alasan
Pokok Permohonan Pemohon
Pada dasarnya
dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjelaskan bahwa
pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis, yang mana masyarakat
diberi hak untuk ikut serta dalam proses politik baik sebagai pemilih (vote) maupun sebagai kandidat (candidate) (Respationo, 2013). Namun dalam prosesnya ada Undang-Undang yang mengatur
salah satu persyaratan untuk dapat berpartisipasi dalam pemerintahan/menjadi
kepala daerah dan wakil kepala daerah haruslah �tidak mempunyai konflik
kepentingan dengan petahana� sebagaimana tertuang dalam norma pasal 7 huruf r
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Artinya tidak memiliki hubungan darah, ikatan
perkawinan atau garis keturunan satu (1) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke
samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik,
ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda satu (1) kali masa jabatan.
Alasan pemohon melayangkan permohonan karena pemohon menilai bahwa rumusan
pasal yang diuji a quo hanya diperuntukkan bagi orang yang mempunyai hubungan
keluarga, baik karena keturunan maupun karena perkawinan, secara merata, tanpa
ada mempertimbangkan faktor kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi
unsur akseptabilitas warga negara yang bersangkutan secara objektif.
Pemohon juga
menilai Pasal 7 huruf r memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, dan
menimbulkan multi tafsir, karena menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang
tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan
diskriminatif. Padahal dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan, seharusnya
mendasarkan pada asas pembentukkan peraturan perundang-undangan yang baik, yang
meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat,
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan,
pendayagunaan, dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan seperti yang
tertuang dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.
B.
Pertimbangan
Hukum Mahkamah Konstitusi
Pada dasarnya
bahwa, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan diubah dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 serta ketentuan pasal 29 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), menjelaskan bahwa salah satu kewenangan konstitusional
Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar.
Dalam kasus a
quo, norma dalam batang tubuh Pasal 7 huruf r UU 8/2015 berbunyi, �Warga negara
Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon
Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: r tidak memiliki konflik
kepentingan dengan petahana�. Norma yang hendak dijelaskan dari ketentuan dalam
batang tubuh ini adalah frasa pada huruf r, yaitu frasa �tidak memiliki konflik
kepentingan dengan petahana�. Namun dalam penjelasan dikatakan, �yang dimaksud
dengan �tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana� adalah tidak
memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu)
tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu,
mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati
jeda 1 (satu) kali masa jabatan�. Artinya dengan rumusan demikian, penjelasan a
quo bukan saja telah menimbulkan persoalan diskriminasi (serta persoalan
inkonstitusionalitas lain) tatkala dihubungkan dengan norma yang hendak
dijelaskan, tetapi juga telah membuat rumusan norma baru, yaitu dengan
menambahkan frasa �kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan�.
Masalah ikutan dari pemuatan norma baru ini ialah bahwa ia (norma baru dalam
penjelasan itu) tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum pembuatan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015.
Oleh karena itu,
pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana, bukan
kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok tertentu. Hal ini karena
keuntungan-keuntungan itu lebih melekat pada kepala daerah petahana sehingga
kemungkinan penyalahgunaannya kekuasaan lebih melekat pada kepala daerah
petahana. Terkait Keluarga kepala daerah petahana atau kelompok-kelompok hanya
bisa diuntungkan jika ada peran atau keterlibatan si kepala daerah petahana,
terlepas dari persoalan apakah peran atau keterlibatan si kepala daerah
petahana itu dilakukan secara langsung dan terang-terangan atau secara tidak
langsung dan terselubung. Terhadap kemungkinan-kemungkinan yang demikian,
seharusnya pembatasan-pembatasan terhadap kepala daerah petahana dirumuskan
dalam norma Undang-Undang.
C.
Analisa
Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015
Dalam rangka
untuk mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam
alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
maka penyelenggaraan Pemerintahan harus didasarkan pada konstitusi dan
demokrasi. Prinsip-prinsip demokrasi yang terkandung dalam konstitusi Indonesia
dijiwai oleh sila keempat pancasila yaitu �kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan�. Artinya bahwa setiap upaya
penyelenggaraan pemerintahan harus bergerak dalam kerangka demokrasi Pancasila
yang menjamin 3 (tiga) hal yaitu: tegaknya kedaulatan rakyat (daulat rakyat),
berjalannya prinsip permusyawaratan (kekeluargaan) dan mengedepankan hikmat
kebijaksanaan. Oleh karena itu, pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara
demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta menjaga kesesuaiannya dengan
Pancasila maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Dalam pandangan
politiknya mengenai keadilan John Rawls, setidaknya ada tiga sendi utama yakni,
pertama, hak atas partisipasi politik yang sama, kedua, hak warga untuk tidak
patuh, dan ketiga, hak warga untuk menolak berdasarkan hati nurani. John Rawls
memandang hak atas partisipasi politik yang sama tersebut bisa terakomodasi
dalam sebuah sistem politik yang tidak saja bersifat demokratis, tapi juga
konstitusional. Sistem politik demokrasi konstitusional di sini dicirikan oleh
dua hal utama: pertama, adanya suatu badan perwakilan yang dipilih melalui
suatu pemilihan yang fair dan bertanggung jawab kepada pemilihnya, yang
berfungsi sebagai badan legislatif untuk merumuskan peraturan-peraturan dan
kebijakan-kebijakan sosial, dan kedua, adanya perlindungan konstitusional
terhadap kebebasan-kebebasan sipil dan politik, seperti kebebasan berpikir dan
berbicara, kebebasan berkumpul dan membentuk organisasi politik. Sistem politik
demokrasi konstitusional harus memberikan ruang bagi hak untuk tidak patuh
(pada Negara), karena hal ini adalah konsekuensi logis dari demokrasi. John Rawls
memaksudkan hak untuk tidak patuh ini sebagai suatu tindakan publik tanpa
kekerasan, berdasarkan suara hati tetapi bersifat politis, bertentangan dengan
hukum karena biasanya dilakukan dengan tujuan menghasilkan perubahan hukum atau
kebijakan pemerintah. John Rawls memandang bahwa ada ruang di mana hukum yang
ditetapkan tidak bersifat adil sehingga warga Negara boleh melakukan tindakan
politik untuk menentang dan mengubahnya melalui cara-cara yang tidak
menggunakan kekerasan. Jika hak untuk tidak patuh dimaksudkan sebagai tindakan
politik untuk memperbaiki hukum yang tidak adil, maka hak untuk menolak
berdasarkan hati nurani lebih dimaksudkan sebagai ruang yang diberikan kepada
seseorang untuk tidak mematuhi hukum jika hal itu dipandang bertentangan dengan
hati nuraninya sendiri. Misalnya jika dalam proses pemilihan kepala daerah yang
berasal dari dinasti politik dan calon tersebut tidak memiliki kualitas atau
integritas sebagai pemimpin maka warga negara bebas untuk tidak memilih
tersebut. Oleh karena itu berdasarkan analisis atas putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 33/PUU-XIII/2015 dapat disimpulkan bahwa: pertama, tidak ada regulasi
yang dapat melarang hak orang lain untuk berpartisipasi dalam sistem
pemerintahan karena hal ini jika dilakukan pelarangan terhadapnya maka dianggap
melanggar hak asasi menurut konstitusi, kedua, larangan keluarga petahana bukan
solusi mencegah nepotisme dalam Pilkada, dan ketiga, Perlunya pengawasan yang
lebih efektif dan efisien dari lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu, agar
terciptanya pilkada yang demokratis.
D. Daerah Di Indonesia
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menegaskan bahwa partai politik
adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok Warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Partai politik adalah pilar demokrasi. Sebagai pilar demokrasi, keberadaan partai politik sangat penting dalam suatu negara. Partai politik juga merupakan sebuah badan hukum publik yang memiliki fungsi menyeleksi pemimpin politik, membuat kebijakan publik, melakukan pendidikan politik, mengartikulasikan dan kepentingan publik, serta menjalankan komunikasi dan partisipasi politik, baik di tingkat daerah maupun nasional. Fungsi rekrutmen yang dimiliki oleh partai-partai politik dan dijalankan dengan benar (secara
ideal) dapat menjadi pintu masuk dan menjadi pendorong bagi praktik demokrasi
yang baik dalam suatu negara.
Berdasarkan amanat konstitusi hasil amandemen mengatakan bahwa partai politik
merupakan organisasi dan sumber dari rekrutmen
politik di Indonesia. Namun,
khusus untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, calon dapat
diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik dan melalui jalur perseorangan
atau independen dan ini harus dilaksanakan
secara demokratis. Hal ini juga berlaku untuk Undang-Undang Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah serta Undang-Undang Pemilihan Presiden secara langsung mendorong agar proses pencalonan dilakukan secara demokratis dan transparan.
Kesimpulan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
33/PUU-XIII/2015 adalah sebuah terobosan cemerlang dalam dunia hukum di
Indonesia. Ini merupakan bentuk untuk mewujudkan keadilan ditengah-tengah
masyarakat dan merupakan cerminan dari adanya jaminan terhadap hak
konstitusional warga negara dalam partisipasi politik terutama dalam pilkada,
setidaknya dengan putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah mengembalikan hak
konstitusional warga negara Indonesia.
Menurut Mahkamah Konstitusi bahwa dalam
pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah hendaknya harus sesuai dengan ketentuan
undang-undang yang berlaku berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Pilkada.
Pemilihan harus dilakukan secara
demokratis dan transparan. Artinya bahwa setiap pribadi atau golongan tertentu
memiliki hak yang sama untuk terlibat aktif dalam proses pemilihan kepala
daerah baik sebagai sebagai calon (candidate) maupun sebagai pemilih (voter)
untuk dipilih secara demokratis baik yang berasal dari keluarga dinasti politik
maupun di luar dari keluarga dinasti politik. Hak Asasi Manusia merupakan hak
yang melekat pada individu yang dimiliki sejak lahir tentunya wajib dihargai
dan dihormati sebagai harkat dan martabat manusia dalam negara hukum. Oleh karena
itu tidak dapat benarkan untuk menghalangi pribadi atau orang tertentu untuk
terlibat dalam proses pemilihan kepala daerah baik sebagai pemilih atau yang
dipilih.
BIBLIOGRAFI
Bimantara,
Novendra, & Harsasto, Priyatno. (2018). Analisis
politik dinasti di kabupaten kediri. Journal of Politic and
Government Studies, 7(04), 201�210.
Davis, Diane E. (2011). Irregular armed forces, shifting
patterns of commitment, and fragmented sovereignty in the developing world. In Contention
and trust in cities and states (pp. 249�265).
https://doi.org/10.1007/978-94-007-0756-6_17
Effendi, Winda Roselina. (2018). Dinasti Politik Dalam
Pemerintahan Lokal Studi Kasus Dinasti Kota Banten. Jurnal Trias Politika,
2(2), 233�247. https://doi.org/10.33373/jtp.v2i2.1471
Gandryani, Farina, & Hadi, Fikri. (2021). Pelaksanaan
vaksinasi COVID-19 di Indonesia: hak atau kewajiban warga negara. Jurnal
Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 10(1), 23.
Giroux, Henry. (2002). Neoliberalism, corporate culture, and
the promise of higher education: The university as a democratic public sphere. Harvard
Educational Review, 72(4), 425�464. https://doi.org/10.17763/haer.72.4.0515nr62324n71p1
Hasanuddin, Iqbal. (2018). Keadilan
sosial: Telaah atas filsafat politik John Rawls. Refleksi, 17(2),
193�204.
Ibrahim, Johnny. (2006). Teori dan metodologi
penelitian hukum normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 57.
Kartika, Shanti Dwi. (2015). Putusan MK
Melegalkan Politik Dinasti dalam UU Pilkada. Jurnal Info Singkat
Hukum, 7(14).
Margiansyah, Defbry. (2019). Populisme di Indonesia Kontemporer:
Transformasi Persaingan Populisme dan Konsekuensinya dalam Dinamika Kontestasi
Politik Menjelang Pemilu 2019. Jurnal Penelitian Politik, 16(1),
47�68. https://doi.org/10.14203/jpp.v16i1.783
Marzuki, Peter Mahmud. (2009). Penelitian
Hukum Empiris. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Purwanti, Uci Dewi, & Alfirdaus, Laila Kholid. (2020). Dinasti
Politik dalam Pemerintahan Lokal di Kota Bontang, Kalimantan Timur. Journal
of Politic and Government Studies, 9(04), 309�323.
Respationo, H. M. Soerya. (2013). Pemilihan Kepala Daerah Dalam
Demokrasi Electoral. Masalah-Masalah Hukum, 42(3), 356�361. https://doi.org/10.14710/mmh.42.3.2013.356-361
Rohmah, Lailatur. (2014). Persepsi
Mahasiswa Akuntansi UNESA Tentang Pengaruh Transparansi Dan Akuntabilitas
Keuangan Partai Politik Terhadap Kinerja Partai Dan Upaya Pemberantasan
Kejahatan Kerah Putih. Jurnal Akuntansi AKUNESA, 2(2),
1�23.
Sagala, H. Syaiful, & Sos, S. (2018). Pendekatan
& Model Kepemimpinan. Prenada Media.
Suharto, Didik Gunawan, Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti, Hapsari, Mantrini Indri, &
Wicaksana, Lungid. (2017). Pilkada,
politik dinasti, dan korupsi. Pertemuan Forum Dekan Ilmu-Ilmu
Sosial PTN Se-Indonesia.
Susanti, Martien Herna. (2017). Dinasti Politik dalam Pilkada
di Indonesia. Journal of Government and Civil Society, 1(2), 111�119.
http://dx.doi.org/10.31000/jgcs.v1i2.440
������������������������������������������������
Yohanes Lado
Jera, Achmad Edi Subiyanto,
Markoni (2022) |
First
publication right: |
This
article is licensed under: |