Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�

Vol. 4, No. 5, Mei 2022

 

KETAHANAN LUNTUR KAIN BATIK DENGAN PEWARNA ALAMI SECANG MENGGUNAKAN METODE PENCOLETAN

 

Rama Eka Yulpando1, Andi Sudiarso2

Departemen Teknik Mesin dan Industri Universitas Gadjah Mada

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Indonesia memiliki banyak sumber daya alam yang memiliki potensi sebagai pewarna tekstil alami. Satu di antara sumber daya alam tersebut adalah kayu secang yang menghasilkan warna merah. Dalam pewarnaan ada dua metode yang digunakan yaitu metode pencelupan dan pencoletan. Dalam perkembangannya ada beberapa pencelupan warna yang hasilnya kurang stabil dan sifatnya yang mudah luntur. Untuk mengetahui kelayakan teknik pencoletan dari bahan kayu secang maka akan dilakukan penelitian dengan metode eksperimen dan uji tahan luntur warna kain. Hasilnya untuk teknik pencoletan warna merah dari kayu secang mendapatkan warna yang stabil. Untuk uji pencucian dan gosokan mendapatkan nilai 4-5 (kering dan basah) atau baik, dan untuk uji keringat juga mendapatkan nilai baik yaitu 4-5 (asam) dan 4 (basa). Namun, untuk hasil uji pencucian sabun dan uji penodaan bernilai 3 (cukup) tetapi dibawah syarat minimum yaitu 4 (pencucian) dan 3-4 (penodaan).

 

Kata Kunci: batik; bahan pewarna alami; kayu secang; uji tahan luntur.

 

Abstract

Indonesia has many natural resources that have potential as natural textile dyes. One of these natural resources is sappan wood which produces a red color. In coloring there are two methods used, namely the method of dyeing and dipping. In its development there are several color dyeing which results are less stable and are easily faded. To determine the feasibility of the technique of picking up the sappan wood material, research will be carried out using experimental methods and testing the color fastness of the fabric. The result for the technique of picking red color from sappan wood gets a stable color. The washing and rubbing test got a score of 4-5 (dry and wet) or good, and for the sweat test it also got a good score of 4-5 (acidic) and 4 (alkaline). However, the results of the soap washing and staining tests were worth 3 (enough) but below the minimum requirements, namely 4 (washing) and 3-4 (staining).

 

Keywords: batik; natural dyes; sappan wood; fastness test.

 

Pendahuluan

Salah satu kebanggaan bangsa Indonesia yang diakui oleh dunia dalam warisan budaya adalah batik. Batik memiliki berbagai macam motif yang beragam yang masih berupa binatang ataupun tumbuhan. Namun seiring berkembangnya jaman, motif batik sudah merambah ke motif abstrak berupa awan, relief candi, wayang dan lainnya. Batik memang sangat istemewa, karena pada setiap corak maupun motifnya mempunyai makna filosofi yang memiliki nilai sejarah yang Panjang. Corak maupun batik tersebut tidak bisa lepas dari unsur-unsur yang melekat dari wilayah asal pembuatannya. Itulah alasannya mengapa batik Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009 ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan Non- Bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) (Susanto & Budiman, 2015).

Pada awalnya, batik pertama kali diproduksi dengan menggunakan bahan-bahan tradisional sebagai pewarnanya (Pradipta, 2017). Bahan pewarna alami tersebut juga lazim digunakan untuk karya-karya seni lain di kepulauan Nusantara. Bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari pohon mengkudu, tinggi, soga, nila dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur (Rukiah, 2014). Di awal abad ke-20 warna sintetis mulai digunakan luas oleh pengrajin-pengrajin batik di Pekalongan, sehingga secara tidak langsung pewarna sintetis/kimia menggeser teknik pewarnaan alami karena proses pengerjaannya jauh lebih mudah dan warna yang dihasilkan lebih beragam. Tetapi dibalik mudahnya menggunakan warna sintetis, ada banyak dampak negatif yang dihasilkannya. Menurut (Pujilestari, 2015), zat warna sintetis dapat berdampak bagi kesehatan. Berbagai penyakit dapat diakibatkan Ketika menggunakan zat warna sintetis ini seperti dermatitis, alergi dan gangguan pernapasan (Farida, Atika, & Haerudin, 2015). Jika digunakan terus- menerus, pewarna sintetis ini juga akan memberikan dampak yang berbahaya pada lingkungan. Khusunya limbah cair yang dihasilkan dari produksi batik mengandung logam berat seperti Cr, Sn, Cu, dan Zn akan mencemari lingkungan ketika langsung dibuang tanpa adanya penanganan atau pengolahan (Masnesia & Purnama, 2017). Media kain yang digunakan pada awalnya adalah kain katun, karna warna- warna alami hanya dapat terserap sempurna pada bahan baku serat alami. Seiring bergesernya waktu, kebutuhan kain batik semakin meningkat dan produksi kain batik yang menggunakan bahan pewarna sintetis kimia juga meningkat (Handayani & Maulana, 2014).

Penggunaan warna alam memiliki banyak kelemahan antara lain proses pembuatannya memerlukan waktu yang Panjang, tidak tahan lama jika disimpan sebelum proses pewarnaan, cenderung mudah pudar, dan proses pewarnaan memerlukan waktu yang panjang. Namun banyak hal yang menjadi keraguan bila terus menggunakan pewarna sintetis, karena limbah pewarna sintetis membahayakan kesehatan manusia dan secara tidak langsung meracuni lingkungan (Tocharman, 2009). Zat warna alam dapat menjadi suatu alternative untuk mengurangi pemakiaan zat warna sintetis dan menjadi solusi tentang issue global yang dicanangkan pemerintah tahun 1995 tentang �Back To Nature�. Zat warna alam merupakan pewarna yang diperoleh dari tanaman baik dari daun, batang, kulit batang, biji, bunga maupun akar pohon (Alamsyah, 2018). Penggunaan zat warna alam sebagai pewarna tekstil semakin diminati oleh pembeli dikarenakan warna yang dihasilkan sangat unik jika dibandingkan dengan pewarna tekstil menggunakan zat warna sintetis.

Pada perkembangannya, masih terdapat beberapa kekurangan dari pewarna batik dengan bahan alami, salah satunya adalah warna yang tidak stabil dan mudah luntur. �Beberapa penelitian terdahulu melakukan pengujian tahan luntur kain ingin menggunakan warna merah sebagai salah satu pewarna yang dipakai.

 

Metode Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah pewarnaan untuk satu jenis kain, yaitu mori sanforis. Pewarnaan yang dilakukan untuk mendapatkan warna merah dari ekstraksi kayu secang. Metode pewarnaan menggunakan pencoletan (Seperti Mewarnai Menggunakan Kuas).

Alat dan bahan yang digunakan adalah:

1.    Kain

Jenis kain yang digunakan yaitu kain mori sanforis.

2.    Bahan Pewarna Alami

Bahan yang digunakan adalah kulit kayu secang.

3.    Air

Air yang digunakan adalah air bersih dengan suhu ruangan (20-25oC), untuk membantu membuat larutan pra-mordan dan fiksasi serta perebusan bahan pewarna alami dan proses pelorodan.

4.    Tawas (KAI (SO) 12H O) dan Soda Abu���

Pada penelitian ini akan dilakukan eksperimen pencoletan dari bahan kayu secang. Setelah hasilnya terlihat, maka akan menjadi rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yang Tawas dan Soda Abu digunakan untuk proses mordan awal/pra-mordan pada kain yang sudah doberi malam. Soda abu juga dapat digunakan pada proses lorod sebanyak 5 gram/liter. Soda abu membantu menghilangkan malam pada kain lebih cepat dibanding menggunakan kanji dengan melakukan uji pencucian (Haerudin, Lestari, & Atika, 2017), (Rosyida & Zulfiya, 2013), cahaya terang hari, gosokan (Farida et al., 2015), keringat asam dan basa (Failisnur, Sofyan, & Kumar, 2017) dan penodaan (Amalia & Akhtamimi, 2016) dari beberapa bahan alami yang berbeda. Berdasarkan (Ilmi & Sudiarso, 2020), terdapat pengujian tahan luntur warna terhadap pencucian, gosokan, keringat, dan sinar. Pengujian tahan luntur warna untuk pencucian dan keringat terdapat dua cara pengujian, yaitu adanya perubahan warna dan penodaan warna. Sedangkan untuk gosokan, terdapat kering dan basah. Syarat minimum mutu batik tulis adalah 4 untuk masing-masing jenis uji, kecuali pencucian, penodaan warna, yaitu dengan nilai 3 � 4.

5.    Turkish Red Oil (TRO)

Digunakan untuk larutan perendaman sebagai pembersih kain setelah pra-mordan dilakukan.

6.    Malam

Malam digunakan untuk menembok atau menutup kain yang sudah atau belum akan diberi warna. Malam dipanaskan hingga cair, lalu digunakan pada saat masih panas.

7.    Bahan Fiksasi

Fiksasi bertujuan untuk mengunci warna sehingga ketika dilakukan pelorodan warna tidak luntur. Fiksasi yang digunakan adalah tawas (KAI(SO ) .12H O).

8.    Alat-Alat Percobaan

Alat-alat percobaan yang akan digunakan pada percobaan ini adalah canting digunakan sebagai alat bantu dalam pemberian motif, panci stainless steel digunakan untuk meminimalisir kontaminasi pada proses perebusan, ember digunakan sebagai wadah dalam proses pencelupan, gelas ukur digunakan untuk mengukur banyak larutan, capit masak digunakan untuk menjepit/mengambil kain dari panci, jemuran digunakan untuk menjemur kain, sarung tangan digunakan untuk menghindari kontaminasi , timbangan digital digunakan sebagai alat pengukur bahan.

Berikut tahapan-tahapan yang akan dilakukan pada penelitian ini:

1.    Eksperimen

Eksperimen ini akan dilakukan didalam ruangan. Pertama sampel kain yang sudah diberi malam akan melewati proses pra-mordan dengan menggunakan bahan tawas dan soda abu, masing-masing sebanyak 8 dan 2 gr/liter yang kemudia direndam selama 24 jam lalu dikeringkan. Setelahnya, kain direndam lagi dengan larutan TRO selama 10 menit dengan takaran 5 gr/liter. Setelah itu, bahan disiapkan untuk pengekstrakan mendapatkan larutan pewarna. Langkah awal dalam ekstraksi bahan pewarna alami merah adalah menghasilkan kayu secang serut dengan menggunakan blender yang berfungsi untuk memperkecil permukaan dari kayu secang serut sehingga penyusutan air saat proses perebusan tidak terlalu banyak. Bahan kayu� secang� yang� digunakan �adalah 100 gr/liter air selama 75 menit. Kemudian larutan disaring dan didinginkan sesuai dengan suhu ruang. Setelahnya, larutan tersebut dicampurkan dengan bahan manotek dengan takaran 20 gr/L sampai larutan pewarna mengental. Selanjutnya, larutan ditunggu selama kurang lebih 1 jam agar manotek tercampur dengan rata dan siap digunakan. Tahap selanjutnya adalah fiksasi dengan bahan tawas. Setelah dilakukan fiksasi, ditunggu hingga kering dan dilakukan pelorodan.

2.    Uji Tahan Luntur Kain

Proses pengujian ketahanan luntur warna merupakan metode yang dilakukan untuk melihat apakah perubahan warna yang terjadi termasuk tidak ada perubahan, ada sedikit perubahan, cukup berubah atau berubah sama sekali terhadap suatu standar perubahan warna. Dalam uji tahan luntur ini akan dilakukan beberapa pengujian kain, seperti pengujian ketahanan luntur terhadap pencucian gosokan kain, keringat, terhadap pencucian sabun dan uji penodaan.

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Setelah dilakukan tahapan-tahapan pewarnaan dengan metode pencoletan dari pra-mordan sampai ke pelorodan, maka didapatkan hasil dari eksperimen pewarnaan dengan menggunakan kayu secang. Gambar 1 merupakan hasil eksperimen pewarnaan dengan menggunakan kayu secang.

Gambar 1 Hasil Eksperimen Warna Merah

 

Kelayakan penggunaan kayu secang juga harus diketahui dengan dilakukannya uji tahan luntur warna terhadap beberapa pengujian, yaitu pencucian gosokan kain, keringat, terhadap pencucian sabun dan uji penodaan. Tabel 1 adalah rekapitulasi hasil dari uji tahan luntur warna yang telah dilakukan pada kain batik dengan pewarna alami kayu secang.

Tabel 1

Rekapitulasi Nilai Uji Tahan Luntur Warna

Kode Sampel

Uji Ke

Terhadap Pencucian Sabun dan Uji Penoda

Terhadap Pencucian Gosokan

Terhadap Keringat

Kelunturan (Grey Schale)

Penoda (Staining Schale)

Gosok Kering (Staining Schale)

Gosok Basah (Staining Schale)

Nilai Basah (Grey Schale)

Nilai Asam

(Grey Schale)

TM

1

2-3 (Kurang)

2-3 (Kurang)

4-5 (Baik)

4-5 (Baik)

4 (Baik)

4 (Baik)

2

3 (Cukup)

2-3 (Kurang)

4-5 (Baik)

4-5 (Baik)

4 (Baik)

4-5 (Baik)

3

2-3 (Kurang)

2-3 (Kurang)

4-5 (Baik)

4 (Baik)

4 (Baik)

4-5 (Baik)

 

Pengujian pertama yaitu uji pencucian sabun dan uji penodaan. Pada pengujian ini, bahan yang digunakan berupa larutan sabun Batangan B29 yang mengandung 5 g/L air suling. Bahan uji yang digunakan adalah dua helai kain yang berukuran 10 cm x 4 cm. kedua bahan tersebut dilapisi dengan kain putih multiserat yang dijahit pada 3 bagian dan akan melalui proses pengadukan selama 30 menit dalam larutan sabun pada suhu 40oC � 50oC dan dilanjutkan dengan proses pembilasan sebanyak 2 kali dengan air suling dingin dan dibilas Kembali dengan air dingin mengalir selama 10 menit. Bahan uji pertama akan dinilai dengan grey scale dan bahan uji kedua menggunakan staining scale. Bahan uji pertama didapatkan nilai yang berkisar antara 2-3 (kurang) dan 3 (cukup), sedangkan pada bahan uji kedua didapatkan nilai 2-3 (kurang). Apabila mengacu pada syarat mutu SNI 8302:2016 (Setyawan & Tua, 2017), uji perubahan warna akibat pencucian memiliki syarat nilai minimum sebesar 4 dan penodaan warna memiliki syarat minimum 3-4. Maka dapat disimpulkan sampel belum sesuai dengan syarat mutu. Hal ini dapat disebabkan karena teknik pencoletan lebih sensitive dengan pencucian sabun Batangan B29 dan juga dapat disebabkan oleh faktor keahlian peneliti yang belum dapat melakukan teknik pencoletan dengan baik dan benar. Untuk meminimalisir kelunturan terhadap pencucian dengan sabun, dapat dilakukan pencucian tanpa menggunakan sabun B29, merendam kain batik pada air suhu normal atau hangat untuk menghilangkan noda, tidak melakukan pengadukan terlalu lama atau cukup melakukan� kucek� lembut,� dan� memperhatikan durasi keseluruhan pencucian tidak lebih dari 30 menit.

Pengujian kedua yaitu terhadap pencucian gosokan kain. Pengujian ini dikelompokkan kedalam dua jenis yaitu cara basah dan cara kering. Kedua pengujian sama-sama menggunakan staining scale dan menggunakan mesin crockmeter untuk melakukan penggosokan pada kain. Pengujian pencucian gosokan dengan cara kering dilakukan dengan membentangkan kain sampel uji dan menjepitkan pada mesin crockmeter kemudian memasangkan kain putih pada pada selubung penggosok tanpa dibasahi. Sedangkan pada uji pencucian gosokan basah, kain putih harus dibasahi sebelum dipasang pada selubung penggosok. Kemudian crockmeter dinyalakan dan dilakukan proses penggosokan selama 10 kali. Setelah itu dilanjutkan dengan pengujian tahan luntur warna dan dilakukan penilaian penodaan warna pada kain putih yang dinilai menggunakan alat ukur staining scale. Didapatkan gosokan kering pada 3 kali pencucian memiliki nilai 4-5 (baik), dan terhadap gosokan basah terhadap 2 kali pengujian memiliki nilai 4- 5 (baik), dan 1 kali pengujian memiliki nilai 4 (baik). Apabila ditinjau dengan syarat mutu batik tulis, maka syarat mutu memnuhi syarat dan memiliki kualitas yang baik.

Pengujian ketiga yaitu terhadap keringat. Kedua pengujian baik basa dan asam sama-sama dilakukan menggunakan alat ukur yang sama yaitu grey scale dan menggunakan mesin atau alat perspirometer. Pengujian ini menggunakan bahan uji berupa kain yang bersentuhan atau dilapisi dengan kain multiserat yang dilarutkan dalam larutan berbeda yaitu larutan asam dan basa. Bahan uji ini dikeringkan dan ditempatkan dibawah beban tertentu dan diletakkan diantara pelat pemisah kemudian ditempatkan dalam oven dengan suhu 370oC selama jangka waktu tertentu yang sudah ditetapkan. Setelah dikeluarkan dari oven dan dikeluarkan dari pelat pemisah yang kemudian dilanjutkan dengan penilaian menggunakan grey scale. Didapatkan pengujian keringat dengan basa memiliki nilai 4 (baik) dan pengujian keringat dengan asam memiliki nilai 4-5 (baik). Syarat mutu SNI pada pengujian keringat memiliki minimal nilai 4. Sehingga dapat disimpulkan telah memenuhi syarat mutu serta layak digunakan.

 

 

 

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pewarnaan warna merah yang didapat dengan menggunakan metode pencoletan lebih baik dibandingkan dengan metode pencelupan, hal itu terlihat pada gambar 1 hasil eksperimen warna merah. Untuk nilai uji TLW terhadap pencucian dengan gosokan kain dan uji terhadap keringan dari hasil pembuatan batik dengan metode pencoletan warna merah dengan kayu secang mendapatkan nilai yang baik. Namun, untuk uji terhadap pencucian sabun dan uji penodaan, hasilnya dibawah nilai minimal syarat mutu SNI. Sehingga perlu diperhatikan penggunaan sabun B29, disarankan merendam kain batik pada air suhu normal atau hangat untuk menghilangkan noda dan memperhatikan durasi keseluruhan pencucian.

Saran yang dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya adalah dengan melakukan pengujian lain seperti uji terhadap pencucian sabun dan uji penodaan. Dapat juga dilakukan penelitian bagaimana cara agar uji terhadap pencucian dan penodaan agar lebih baik lagi.

 

 

Bibliografi

 

Alamsyah, Alamsyah. (2018). Kerajinan Batik dan Pewarnaan Alami. Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, 1(2), 136�148. https://doi.org/https://doi.org/10.14710/endogami.1.2.13 6-148

Amalia, Rizka, & Akhtamimi, Iqbal. (2016). Studi pengaruh jenis dan konsentrasi zat fiksasi terhadap kualitas warna kain batik dengan pewarna alam limbah kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum). Dinamika Kerajinan Dan Batik, 33(2), 85�92. https://doi.org/https://doi.org/10.22322/dkb.v33i2.1474

Failisnur, F., Sofyan, S., & Kumar, Robby. (2017). Efek pemordanan terhadap pewarnaan menggunakan kombinasi limbah cair gambir dan ekstrak kayu secang pada kain rayon dan katun. J. Litbang Indsutri, 7, 93�100.

Farida, Farida, Atika, Vivin, & Haerudin, Agus. (2015). Pengaruh Variasi bahan pra mordan pada pewarnaan batik menggunakan akar mengkudu (Morinda citrifolia). Dinamika Kerajinan Dan Batik, 32(1), 1�8.

Haerudin, Agus, Lestari, Titik Puji, & Atika, Vivin. (2017). Pengaruh Jenis Pelarut Terhadap Hasil Ekstraksi Rumput Laut Gracilaria sp. Sebagai Zat Warna Alam Pada Kain Batik Katun Dan Sutera. Dinamika Kerajinan Dan Batik, 34(2), 83�92. https://doi.org/https://doi.org/10.22322/dkb.v34i2.3301

Handayani, Prima Astuti, & Maulana, Ivon. (2014). Pewarna alami batik dari kulit soga tingi (Ceriops tagal) dengan metode ekstraksi. Jurnal Bahan Alam Terbarukan, 2(2). https://doi.org/10.15294/jbat.v2i2.2793

Ilmi, Azizah Nur, & Sudiarso, Andi. (2020). Ketahanan Luntur Kain Batik Dengan Pewarna Alami Daun Suji. Semnas Ristek (Seminar Nasional Riset Dan Inovasi Teknologi), 4(1). https://doi.org/10.30998/semnasristek.v4i1.2451

Masnesia, Andana, & Purnama, Ir Herry. (2017). Pengolahan Limbah Cair Batik Menggunakan Metode Presipitasi Dan Fitoremidiasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pradipta, Ardhananeswari. (2017). Industri Batik Tulungagung 1970-2003. Universitas Airlangga.

Pujilestari, Titiek. (2015). Sumber dan pemanfaatan zat warna alam untuk keperluan industri. Dinamika Kerajinan Dan Batik, 32(2), 93�106. https://doi.org/10.22322/dkb.v32i2.1365

Rosyida, Ainur, & Zulfiya, Anik. (2013). Pewarnaan bahan tekstil dengan menggunakan ekstrak kayu nangka dan teknik pewarnaannya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Jurnal Rekayasa Proses, 7(2), 52�58. https://doi.org/10.22146/jrekpros.4952

Rukiah, Yayah. (2014). Aplikasi Motif Mega Mendung dari Kain Batik ke Mural. Jurnal Desain, 2(01), 55�60. http://dx.doi.org/10.30998/jurnaldesain.v2i01.571

Setyawan, Budhiman Adi, & Tua, Lomo Mula. (2017). Analisa Kekuatan dan Ketahanan Luntur Kain Loreng �Indian army� berbasis Standar Nasional Indonesia. Bina Teknika, 12(1), 69�78. http://dx.doi.org/10.54378/bt.v12i1.92

Susanto, Ajib, & Budiman, Fikri. (2015). Rekayasa Model Internet Marketing Pada E-Supermuseum Batik Untuk Meningkatkan Pemasaran Batik Produk Unggulan Ukm Batik Di Jawa Tengah. Seminar Nasional Informatika (SEMNASIF), 1(1).

Tocharman, Maman. (2009). Eksperimen zat pewarna alami dari bahan tumbuhan yang ramah lingkungan sebagai alternatif untuk pewarnaan kain batik. Bandung, UPI.

 

������������������������������������������������

Copyright holder:

Rama Eka Yulpando, Andi Sudiarso (2022)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under: