Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
Vol. 4, No. 2, Februari 2022
PERUMUSAN NORMA SANKSI SERTA PENEGAKAN HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA
Universitas Jayabaya Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara memiliki empat rumusan norma sanksi dalam pungutan pajak, terdapat dua rumusan sanksi pidana yang bersinggungan dengan sanksi administrasi dengan memberi ruang atau kesempatan penegakan hukum diselesaikan dengan mendahulukan cara administratif hal ini bertentangan dengan asas ultimum remidium mengakibatkan tidak kepastian hukum. Metode Peneitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif yang sumber bahan hukum terutama adalah bahan hukum sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penerapan ultimum remedium disebabkan karena dua alasan yakni Pertama, tidak adanya ukuran atau parameter �untuk kepentingan penerimaan negara� dan kedua, �penghentian penyidikan dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak atau tidak atau kurang dibayar�. Penerapan asas ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap wajib pajak digunkan apabila instrumen hukum lain seperti hukum adsministrasi atau hukum perdata tidak efektif. Tujuan pajak bukan menghukum dan memberi nestapa kepada pelaku tetapi mengakhiri pelanggaran dan memulihkan keadaan demi untuk kepentingan penerimaan negara
Kata Kunci: tenaga kerja; alih daya; perjanjian kerja waktu tertentu
Abstract
Taxes as a source of state revenue have four formulations of sanctions norms in tax collection, there are two formulations of criminal sanctions that intersect with administrative sanctions by providing space or opportunity for law enforcement to be resolved by prioritizing administrative methods. This is contrary to the ultimum remidium principle resulting in legal uncertainty. This normative juridical legal research analyzed secondary legal materials as the main data, consisting of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The primary legal materials strengthened the secondary legal materials. Legal materials were qualitatively analyzed using juridical analysis. The results showed that the implication of the ultimum remedium is due to two reasons, first, there is no measure or parameter "for the benefit of state revenue" and second, "the termination of the investigation is carried out after the taxpayer has paid the tax debt or is not paid or is underpaid. The implication of the ultimum remedium principle in imposing criminal sanctions on taxpayers is used if other legal instruments such as administrative law or civil law are not effective. The purpose of taxes is not to punish and give sorrow to the perpetrators but to end violations and restore the situation for the sake of state revenue.
Keywords: tax; sanction norm; criminal sanctions
Received: 2022-01-22; Accepted: 2022-2-05; Published: 2022-02-20
Pendahuluan
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang secara konstitusional dinyatakan dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Pembentukan undang-undang sebagai dasar pungutan pajak dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum dalam pungutan pajak. Pungutan pajak sudah menjadi keharusan dalam hidup masyarakat dan merupakan suatu hal yang pasti terjadi (Respati, Qurbani, & Syafi�i, 2020) seperti dinyatakan (Bendesa, I K. G.; Wiwin Setyari, 2020) di dunia ini tidak ada yang pasti selain kematian dan pajak).
Pungutan pajak dalam undang-undang dijalankan sesuai sistem self-assessment sebagai sistem yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk melakukan penghitungan, penyetoran dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dilakukan sepenuhnya dengan penilaian atau inisiatif sendiri (Supadmi & Andryani, 2011). Melalui sistem ini undang-undang pajak menganggap Wajib Pajak mampu menghitung sendiri, memahami peraturan pajak, punya kejujuran tinggi serta sadar pentingnya membayar pajak. Keberhasilan sistem self-assessment sangat tergantung tingkat kepatuhan Wajib Pajak melaksanakan pemenuhan kewajiban pajak kepada negara (Eliyah, Ompusungu, & Hidayat, 2016).
Dari sisi hukum, keberlakuan sistem self-assessment memberi hak kepada Wajib Pajak tidak boleh diintervensi oleh pejabat pajak, kecuali hanya memberikan pelayanan dengan cara bagaimana menggunakan hak tersebut (Saidi, 2018). Pejabat pajak hanya bersifat pasif sedangkan Wajib Pajak bersifat aktif. Dalam keberhasilan sistem self-assessment didasarkan empat hal, yaitu (i) kesadaran pajak (tax consciousness), (ii) kejujuran (honesty), (iii) hasrat membayar pajak (tax mindedness), dan (iv) disiplin pajak (tax discipline) (Beti, Made, & Dianawati, 2016). Ketika sistem tidak berjalan sesuai undang-undang dan mengakibatkan jumlah pajak yang dibayar tidak benar, kepada Wajib Pajak dikenakan sanksi.
Namun demikian, apabila terdapat kekeliruan dalam penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajak yang mengakibatkan jumlah pajak dibayar tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, undang-undang memberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan SPT. Terdapat tiga kondisi atau syarat dapat melakukan pembetulan yang didasarkan pada kemauan atau kesadaran sendiri, yaitu, Pertama, belum dilakukan tindakan pemeriksaan, dengan konsekuensi dikenakan sanksi administrasi bunga 2% per bulan dari pajak kurang dibayar.
Rumusan sanksi berkaitan dengan menyampaikan SPT dan tidak menyampaikan SPT, yang terindikasi tindak pidana dalam empat rumusan sanksi, Pertama, tidak dikenakan sanksi pidana apabila kealpaan dilakukan pertama kali dengan konsekuensi melunasi kekurangan pajak ditambah sanksi kenaikan 200% dari pajak kurang dibayar. Pasal 13A UUKUP menyatakan:
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Kedua, tidak dikenakan sanksi pidana apabila ada permintaan Menteri Keuangan untuk menghentikan penyidikan, dengan konsekuensi melunasi sanksi administrasi denda sebesar 4 kali pajak kurang dibayar, sebagaimana dinyatakan Pasal 44B UUKUP:
Ayat (1): Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
Ayat (2): Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Ketiga, dikenakan sanksi pidana karena kealpaan setelah yang pertama, dengan sanksi denda 1 kali, paling banyak 2 kali dari pajak kurang atau tidak dibayar, atau kurungan 3 bulan, paling lama 1 tahun, sebagaimana dinyatakan Pasal 38 UUKUP: �Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
b. �
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
Keempat, dikenakan sanksi pidana karena kesengajaan, dengan sanksi pidana penjara 6 bulan, paling banyak 6 tahun dan denda 2 kali dari pajak kurang atau tidak dibayar, paling banyak 4 kali, sebagaimana dinyatakan Pasal 39 UUKUP: Setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. �dstnya sampai huruf I,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Dari empat rumusan norma sanksi di atas (Pasal 13A, Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 44B) terdapat dua rumusan sanksi pidana yang bersinggungan dengan sanksi administrasi dengan memberi ruang atau kesempatan penegakan hukum diselesaikan dengan mendahulukan cara administratif, yaitu Pasal 13A dan Pasal 44B yang disebabkan dua hal, yakni: (i) kesalahan karena kealpaan pertama kali; dan (ii) adanya kepentingan penerimaan negara. Rumusan dari norma sanksi tersebut menimbulkan ketidakjelasan atau kekaburan norma (vague van normen) dan ketidakpastian dalam penegakan hukumnya. Misalnya frasa �tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan pertama kali dilakukan wajib pajak,� (Pasal 13A) serta frasa �untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan,� (Pasal 44B). Bahkan norma sanksi dalam Pasal 13A menimbulkan pertanyaan �siapa yang dapat menentukan Wajib Pajak telah melakukan tindakan hukum bersifat kealpaan, apakah penyidik dari aparatur pajak atau berdasarkan putusan hakim pengadilan?� Selanjutnya, terdapat dua rumusan norma sanksi pidana pajak yang tidak bersinggungan dengan sanksi administrasi yaitu Pasal 38 dan Pasal 39, yang disebabkan dua hal, yakni: (i) kesalahan bersifat kealpaan setelah yang pertama; dan (ii) kesalahan bersifat kesengajaan.
Ketika penegakan hukum (law enforcement) terhadap norma-norma yang telah disebutkan di atas, yaitu sanksi administrasi yang bersinggungan dengan pidana (Ayem & Listiani, 2019), apabila dikaitkan dengan doktrin ilmu hukum ultimum remedium ataupun primum remedium, persinggungan rumusan-rumusan norma sanksi dimaksud kerap menimbulkan masalah ketidakadilan maupun ketidakpastian (Hasibuan, Ablisar, Marlina, & Barus, 2015). Sekalipun undang-undang pajak telah menegaskan pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, adanya persinggungan rumusan norma sanksi yang tidak jelas, dalam penegakan hukumnya telah menimbulkan ketidakpastian.
Ketidakjelasan atau kekaburan norma (vague van normen) dalam rumusan norma sanksi pajak tampak dalam penegakan hukum terhadap beberapa kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang patut menjadi kajian untuk dilakukan analisis hukum terhadap masalah-masalah di bidang hukum pajak berkaitan dengan norma sanksi pajak. Berakibat pada ketidakpastian dalam penegakan hukumnya. Ketidakjelasan atau kekaburan norma dapat memberi kesewenangan hukum atau diskresi lebih kuat bagi aparatur pajak (fiskus) memberi ketidakadilan bagi wajib pajak dalam penegakan hukumnya. Disisi lain, penyusunan norma hukum dalam undang-undang ditujukan untuk tujuan ketertiban sekaligus pendidikan bagi masyarakat (Pane, 2011).
Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan penelitian hukum normatif atau doktrinal, yaitu penelitian yang mengkaji peraturan perundang-undangan (law in book) dalam suatu tata hukum yang koheren (Barus, 2013) serta nilai-nilai hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat. pertimbangan dan penalaran hukum hakim dalam perkara pidana pajak maupun administrasi pajak, agar dapat memahami persoalan hukum (legal issue) secara lebih holistik digunakan beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang dilakukan terhadap bahan hukum yang ada yang menjadi tema penelitian (Ibrahim, 2013).
Hasil Dan Pembahasan
Hukum pidana dalam arti �ius poenale� yang memuat larangan terhadap perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrech) dan mengenakan suatu penderitaan kepada yang melanggar larangan tersebut, maupun sebagai �ius poenandi� yang merefleksikan hak negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengancam dan mengenakan pidana terhadap perbuatan tertentu, merupakan hukum yang sanksinya lebih berat dibandingkan dengan sanksi bidang hukum lain seperti hukum perdata dan hukum administrasi (Muladi, Diah Sulistyani, & SH, 2021).
Hukum pidana sebagai ultimum remedium atau sebagai alat terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan (Rahmawati, 2013), ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa, demikan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegah kejahatan (Hasibuan et al., 2015). Fungsi hukum pidana yang besifat subsidair tersebut juga sering disebut dengan ultimum remedium atau sebagai obat terakhir, yaitu sebagai obat yang baru akan digunakan manakala obat lain diluar hukum pidana sudah tidak dapat efektif digunakan (Saraswati, 2015).
Pelanggaran atas ketentuan perpajakan yang tergolong perbuatan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak berkaitan dengan SPT beserta sanksinya adalah sebagai berikut:
a. Kealpaan Bagi Wajib Pajak Tindak pidana perpajakan yang termasuk kealpaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 UU KUP, yang menentukan setiap orang yang karena kealpaannya: Tidak menyampaikan SPT; dan Menyampaikan SPT dengan isi yang tidak benar dan tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar. Tindak pidana perpajakan yang terjadi karena kealpaan wajib pajak tidak hanya diatur dalam Pasal 38 tetapi juga diatur dalam Pasal 13A UU KUP menyatakan bahwa: �Wajib pajak yang karena kelapaanya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh wajib pajak dan wajib pajak tersebut melunasi kekurangan pembayaran jumlah administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar.� Dicantumkannya pasal 13 A UU KUP ini menegaskan bahwa hukum pajak lebih mendominasi kepentingan dan kemanfaatan dari sisi penerimaan negara dengan lebih memberikan sanksi mendominasi kepentingan dan kemanfaatan dari sisi penerimaan negara dengan lebih memberikan alternatif pada pemberian sanksi administratif sebagai pengganti sanksi pidana kepada wajib pajak.
b. Kesengajaan Bagi Wajib Pajak
Tindak pidana perpajakan yang termasuk perbuatan disengaja yang dilakukan wajib pajak disebutkan dalam Pasal 39 UU KUP, yang menentukan setiap orang dengan sengaja:
1. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP);
2. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPW atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
3. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT);
4. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
5. Menolak untuk melakukan pemeriksaan oleh Direktur Jenderal Pajak;
6. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak mengambarkan keadaan yang sebenarnya;
7. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
8. Tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia;
9. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
Kemudian perbuatan sengaja dari wajib pajak juga diatur dalam Pasal 39A UU KUP, bahwa setiap orang yang dengan sengaja:
1. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak bukti pemungutan pajak, bukti �pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
2. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Persoalan Pasal 44B UU KUP, dimana mengubah sanksi pidana dengan sanksi administrasi bisa mengusik rasa keadilan di masyarakat. Namun justru dengan mengubah cara menerapkan hukum mengacu pada aturan hukum yang sudah diatur, akan menjadikan rasa keadilan yang diinginkan. Tujuan hukum memang bukan semata-mata untuk kepastian hukum saja tetapi juga untuk memenuhi rasa keadilan dan untuk kemanfaatan. Bila ada wajib pajak yang telah disidik tidak harus dilimpahkan ke pengadilan tapi diberi pengampunan asal mau melunasi utang pajak beserta sanksi administrasinya.
Penegakan hukum pidana di bidang pajak tentunya juga mempunyai tujuan tertentu yaitu agar ketentuan hukum di bidang pajak dapat dijalankan sebagaimana mestinya sehingga dapat mewujudkan keadilan, kepastian, dan keseimbangan antara para pihak yang terlibat didalamnya. Pelaksanaan Self-Assessment System dalam sistem perpajakan di Indonesia menuntut wajib pajak untuk aktif menghitung, melaporkan dan membayar sendiri jumlah pajak yang terhutang kepada negara. Artinya bahwa wajib pajak telah diberikan kepercayaan penuh oleh negara. Namun demikian, kepercayaan tersebut tidak serta merta diberikan begitu saja. Aparat pajak tetap memiliki peran dalam pelaksanaan perpajakan, yaitu peran dengan fungsi pelayanan, pembinaan atau penyuluhan, pengawasan dan penerapan sanksi. Fungsi-fungsi tersebut menjadikan aparat pajak berperan sebagai pelayan publik. Aparat pajak sebagai pelayan publik tentu saja harus mampu melayani wajib pajak dalam melaksanakan serangkaian proses pembayaran pajak.
Self-Assessment System tidak semata-mata hanya menjadi tuntutan bagi wajib pajak untuk meningkatan kepatuhan pajak akan tetapi perlu didorong dengan dukungan tingginya tingkat kualitas aparat pajak dalam melaksanakan tugasnya. Tanpa kualitas aparat pajak yang baik tampaknya cita-cita untuk menjadikan pajak sebagai tumpuan harapan pembiayaan pembangunan dengan sendirinya akan menggangu program pembangunan yang dicanangkan yang pada akhirnya akan menggangu kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Penyelesaian hukum tindak pidana pajak bisa diselesaikan dengan jalur administrasi seperti dimaksud dalam ketentuan Pasal 44B ayat (1) UU KUP menyatakan sebagai berikut: �Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. Penjelasan: Untuk kepentingan negara dan atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.
Kepentingan penerimaan negara merupakan alasan bagi Jaksa Agung untuk dapat menghentikan penyidikan atas permintaan dari Menteri Keuangan (Sofian & Hasibuan, 2020). Adapun yang dimaksud dengan kepentingan penerimaan negara tidak ada ukuran atau parameter yang jelas dalam peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 44B UU KUP hanya menyatakan: �Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan�.
Peluang penyelesaian secara administrasi ini diberikan kepada wajib pajak agar dapat dimanfaatkan untuk menghentikan proses penyidikan yang dilakukan oleh Dirjen pajak (Hasibuan et al., 2015). Wajib pajak harus menunjukan adanya itikad baik untuk menyelesaikan masalah perpajakan yang muaranya berbasis pada tindak pidana perpajakan. Wajib pajak yang tidak menunjukan itikad baik untuk menyelesaikan masalah tindak pidana perpajakan berarti harus dipandang telah mengabaikan peluang proses penyelesaian secara administrasi.
Untuk memperoleh penghentian penyidikan, maka wajib pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri Keuangan dengan memberikan tembusan kepada Dirjen Pajak. Permohonan ini dilampiri dengan pernyataan pengakuan bersalah dan kesanggupan melunasi pajak. Setelah menerima permohonan penghentian penyidikan dari wajib pajak, Menteri Keuangan lalu meminta kepada Dirjen Pajak untuk melakukan penelitian dan memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan apakah permohonan wajib pajak ini bisa diterima atau harus ditolak. Jika Menkeu menyetujui permohonan wajib pajak, Menteri Keuangan akan megajukan surat permintaan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan penyidikan. Namun jika tidak, Menkeu akan menyampaikan surat pemberitahuan kepada wajib pajak.
Kesimpulan
Penerapan ultimum remedium disebabkan karena dua alasan yakni Pertama, tidak adanya ukuran atau parameter �untuk kepentingan penerimaan negara� dan kedua, �penghentian penyidikan dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak atau tidak atau kurang dibayar�. Penerapan asas ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap wajib pajak digunkan apabila instrumen hukum lain seperti hukum adsministrasi atau hukum perdata tidak efektif. Penerapan ultimum remedium dalam ketentuan perpajakan lebih dilihat pada skala prioritas yang akan dituju yaitu lebih ditekankan pada optimalisasi penerimaan negara, bukan pada aspek pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44B UU KUP. Penerapan asas ultimum remedium digunakan agar pendapatan negara lebih meningkat dari pendapatan sektor pajak karena pelaku tindak pidana perpajakan bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya, sehingga dalam penerapan perundang-undangan lebih diutamakan pendapatan negara. Kedudukan asas ultimum remedium dalam Undang-Undang perpajakan yang diatur dalam Pasal 44B UU KUP agar secara efisien dapat diterapakan oleh Dirjen Pajak. Tujuan pajak bukan menghukum dan memberi nestapa kepada pelaku tetapi mengakhiri pelanggaran dan memulihkan keadaan demi untuk kepentingan penerimaan negara. Pemberian ukuran atau parameter yang jelas dalam peraturan perundang-undangan apa yang dimaksud dengan �Untuk kepentingan penerimaan negara� agar dapat diperkirakan jumlah kerugian yang dialami oleh negara pada saat terjadinya tindak pidana perpajakan
BIBLIOGRAFI
Ayem, Sri, & Listiani, Listiani. (2019). Pengaruh Sosialisasi Perpajakan, Penegakan Hukum (Law Enforcement) Dan Sanksi Perpajakan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Penggelapan Pajak (Tax Evasion). Jurnal Riset Akuntansi Terpadu, 12(1).Google Scholar
Barus, Zulfadli. (2013). Analisis filosofis tentang peta konseptual penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis. Jurnal Dinamika Hukum, 13(2), 307�318. Google Scholar
Bendesa, I K. G.; Wiwin Setyari, &. Ni Putu. (2020). Kebijakan Fiskal dalam Trend Pembangunan Ekonomi Jangka Panjang Indonesia. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan, 13(1).
Beti, Agustina, Made, Anwar, & Dianawati, Eris. (2016). Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak (Tax Consciouness), Kejujuran Wajib Pajak (Tax Honesty), Kemauan Membayar Dari Wajib Pajak (Tax Mindedness), Kedisiplinan Wajib Pajak (Tax Disclipne) Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Tax Complience). Jurnal Riset Mahasiswa Akuntansi, 4(1).Google Scholar
Eliyah, Eliyah, Ompusungu, Arles P., & Hidayat, Nur. (2016). Penerapan Self Assessment, Pengetahuan Wajib Pajak, Pemeriksaan Pajak dan pada Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal Riset Akuntansi & Perpajakan (JRAP), 3(01), 95�108. Google Scholar
Hasibuan, Sarah, Ablisar, Madiasa, Marlina, Marlina, & Barus, Utari Maharany. (2015). Asas Ultimum Remedium Dalam Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan oleh Wajib Pajak. USU Law Journal, 3(2), 115�125. Google Scholar
Ibrahim, Johnny. (2013). Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, cet. 7. Malang: Bayumedia Publishing. Google Scholar
Muladi, S. H., Diah Sulistyani, R. S., & SH, C. N. (2021). Kompleksitas Perkembangan Tindak Pidana dan Kebijakan Kriminal. Penerbit Alumni. Google Scholar
Pane, Thorkis. (2011). Kemungkinan Peraturan Perundangan-Undangan Di Bawah Undang-Undang Sebagai Obyek Pengujian Mahkamah Konstitusi. Jurnal Hukum & Pembangunan, 41(3), 398�420. Google Scholar
Rahmawati, Nur Ainiyah. (2013). Hukum Pidana Indonesia: Ultimum Remedium Atau Primum Remedium. Jurnal Hukum Pidana Dan Penanggulangan Kejahatan, 2(1). Google Scholar
Respati, Riskha Indah, Qurbani, Indah Dwi, & Syafi�i, R. Imam Rahmat. (2020). Asas certainty dalam mekanisme pembayaran kewajiban bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Jurnal Cakrawala Hukum, 11(3). Google Scholar
Saraswati, Putu Sekarwangi. (2015). Fungsi Pidana Dalam Menanggulangi Kejahatan. Jurnal Advokasi, 5(2). Google Scholar
Supadmi, Ni Luh, & Andryani, Wiwik. (2011). Analisis Tingkat Pemahaman Wajib Pajak Orang Pribadi Pada Pelaksanaan Self Assesment System Dalam Melaksanakan Kewajiban Perpajakan. Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Google Scholar
Sartono (2022)
|
First publication right:
|
This article is licensed under:
|