Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�

Vol. 4, No.1, Januari 2022

 

PENGAMPUAN SEBAGAI DASAR PEMBERHENTIAN SEMENTARA DARI JABATAN NOTARIS

 

Chairil Lailia Maharani, Dyah Ochtorina Susanti, Moh. Ali

Fakultas Hukum Universitas Jember Jawa Timur, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]�

 

Abstrak

Seorang Notaris yang diberi kewenangan haruslah telah cakap agar dapat dibebani dengan kewenangan, tidak mungkin seseorang berwenang apabila ia tidak cakap. Konsep tersebut muncul dalam Pasal 9 Ayat 1 Huruf b juncto Pasal 12 Huruf b Undang-Undang Jabatan Notaris. Pasal tersebut memberi penjelasan bahwa Notaris dapat diberhentikan sementara apabila Notaris tersebut berada dibawah pengampuan. Tujuan dari penelitian ini yaitu Menemukan makna kriteria pengampuan yang dapat digunakan sebagai batasan ukuran pemberhentian sementara. Pada penelitian ini digunakan pendekatan yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini yaitu Notaris berada dalam masa pengampuan maka notaris tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang tidak cakap dan tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Hal ini dapat di buktikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pemberhentian sementara Notaris diatur dalam ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

 

Kata Kunci: notaris; pengampuan; pemberhentian sementara

 

Abstract

A Notary who is given the authority must be competent so that he can be burdened with authority, it is impossible for someone to be authorized if he is not competent. The concept appears in Article 9 Paragraph 1 Letter b in conjunction with Article 12 Letter b of the Law on Notary Positions. The article provides an explanation that a Notary can be temporarily dismissed if the Notary is under custody. The purpose of this study is to find the meaning of the forgiveness criteria that can be used as a limit on the size of the temporary dismissal. In this study, a normative juridical approach was used. The result of this research is that the notary is in the custodial period, so the notary can be said to be an incompetent person and cannot take legal action. This can be proven based on Law Number 30 of 2004 concerning the Position of a Notary. The temporary dismissal of a Notary is regulated in the provisions of Article 9 of Law Number 30 of 2004 concerning Notary Positions as amended by Law Number 2 of 2014 concerning Amendments to Law Number 30 of 2004 concerning Notary Positions.

 

Keywords: notary; forgiveness; temporary dismissal

 

Received: 2021-12-22; Accepted: 2022-01-05; Published: 2022-01-20

 

Pendahuluan

Notaris merupakan jabatan kepercayaan, hal ini mengandung makna bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dapat dipercaya sehingga Notaris mempunyai kewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuat dan segala keterangan yang diperolehnya guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah atau janji jabatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain, seperti yang disebutkan dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut dengan UUJN). Seorang Notaris yang tidak dapat membatasi dirinya akan mengalami akibatnya didalam praktek, ia akan segera kehilangan kepercayaan publik dan ia tidak lagi dianggap sebagai seorang kepercayaan (vertrouwens persoon) (Sjaifurrachman & Adjie, 2011).

Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik dianggap penting seiring dengan berkembangnya dunia di bidang hukum. Kewenangan Notaris ditur dalam Pasal 15 Ayat (1) UUJN. Notaris sebagai pejabat publik, produk akhirnya yaitu akta otentik yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian (Adjie, 2013). Saat melaksanakan tugas jabatannya Notaris harus sangat berhati-hati dan teliti saat membuat akta, agar akta yang dibuatnya tidak cacat hukum dan dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya kepada masyarakat umum serta tidak merugikan orang lain. Sebagai individu yang diberi kepercayaan oleh Undang-Undang untuk melaksanakan tugas jabatannya tersebut, Notaris harus memiliki kompetensi dan keahlian.

Notaris haruslah cakap dalam melakukan kewenangannya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal Pasal 9 Ayat 1 Huruf b juncto Pasal 12 Huruf b UUJN. Pasal tersebut memberi penjelasan bahwa Notaris dapat diberhentikan sementara apabila Notaris tersebut berada dibawah pengampuan. Sebagaimana dalam Pasal 433 KUHPerdata seseorang dinyatakan berada dibawah pengampuan yaitu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, mata gelap atau karena keborosannya.

Kecakapan bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum dengan akibat hukum yang sempurna. Berkaitan dengan kecakapan bertindak, hukum tidak mengaturnya secara tegas. Undang-undang hanya mengatur tentang siapa saja yang dinyatakan tidak cakap dalam Pasal 1330 KUHPerdata (Sharfina & Sukananda, 2019). Kecakapan bertindak maupun kewenangan bertindak, keduanya berkaitan dengan peristiwa melakukan perbuatan hukum. Hukum mengatur bahwa seseorang yang tidak cakap hukum atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh orang yang ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan sebagaimana diatur dalam Pasal 434 KUHPerdata.

Sebagaimana dalam Pasal 8 sampai Pasal 14 UUJN, Seorang Notaris dapat diberhentikan dari jabatannya dikarenakan beberapa hal. Salah satunya adalah apabila �Notaris berada dibawah pengampuan. Terkait seseorang untuk ditaruh dibawah pengampuan haruslah melewati proses yang meliputi permintaan dari pihak yang berhak, dilanjuti dengan pemeriksaan berupa pembelaan diri di hadapan Majelis Pengawas secara berjenjang, hingga penetapan pengampuan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat 2 dan 3 UUJN. Seorang Notaris untuk dapat ditetapkan sebagai orang yang berada dibawah pengampuan haruslah melalui proses dan dilakukan oleh yang berhak, dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.

Penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini mengungkapkan mengenai bahwa notaris yang melanggar peraturan Dewan kehormatan pusat nomor 1 tahun 2017 dikenakan dengan sanksi internal dan eksternal �(Kartikosari & Sesung, 2017).

Berdasarkan uraian sebagaimana diatas perlu kiranya dilakukan penelitian, sebab terdapat kekaburan makna dan ketidakjelasan mengenai pemberhentian sementara bagi Notaris akibat berada dibawah pengampuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat 1 Huruf b UUJN. UUJN tidak mengatur bentuk pemisahan dan pertimbangan dasar pengampuan bagi Notaris dan tidak membedakan pengampuan bagi Notaris dan masyarakat. Hal ini menyebabkan rumusan Pasal tersebut mengalami kekaburan norma atau vaguenorm. Sebagaimana diketahui bahwa pengangkatan seorang calon Notaris oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah melewati berbagai macam prosedur dan ujian untuk menilai skill, kualitas diri dan moralitas dari calon Notaris yang akan diangkat.

 

Metode Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif (legal research), yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.� Tipe penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang bersifat formil seperti undang-undang, peraturan-peraturan serta literatur yang berisi konsep-konsep teoretis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini yaitu mengenai prinsip kepastian hukum bagi pihak ketiga atas perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan. Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan historis (histories Approach).

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Sejarah Dasar Hukum Notaris di Indonesia

Pada tahun 1617-1629 Jan Pieterzoon Coen yang menduduki jabatan sebagai gubernur jenderal Batavia (sekarang dikenal dengan Jakarta) menganggap perlu membuat sebuah lembaga demi keperluan perputaran roda ekonomi dalam bidang perdagangan, hingga diangkatlah seorang Notaris yang disebut Notarium Publicum, pada tanggal 27 Agustus 1620 diangkatlah seorang Notaris yang bernama Melchior Kerchem (Adjie, 2004). Melchion Kerchem dalam jabatannya sebagai seorang Notaris dalam surat pengangkatannya memiliki tugas yaitu (Adjie, 2004) melayani dan melakukan semua surat libel (smaadschrift), surat wasiat dibawah tangan (codicil), persiapan penerangan, akta perjanjian perdagangan, perjanjian kawin, surat wasiat (testament), dan akta-akta lainnya dan ketentuan-ketentuan yang perlu dari kotapraja.

Pada tahun 1625 jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan sekretaris Collage Van Schepenen, yaitu dengan dikeluarkan instruksi untuk para Notaris pada tanggal 16 Juni 1625. Instruksi tersebut hanya terdiri dari 10 pasal, antara lain menetapkan bahwa Notaris wajiib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan (Adjie, 2004).

Tahun 1860 pemerintahan Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai jabatan Notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang mengatur mengenai jabatan Notaris di Belanda, sebagai pengganti Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie, kemudian pada tanggal 1 juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3) dan mulai berlaku pada tanggal 1 juli 1860, dengan diundangkannya Stbl 1860 tersebut maka diletakkanlah dasar yang kuat bagi lembaga Notariat di Indonesia (Soegondo, 1993). Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman, berdasarkan peraturan pemerintah Tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948 tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman (Soegondo, 1993).

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan Notaris yang berlaku, sebagian besar masih di dasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Belanda, yaitu peraturan jabatan Notaris yang termuat dalam Stbl. 1860 Nomor 3 yang sudah beberapa kali diubah. Terakhir diubah dalam UndangUndang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara yang diundangkan pada tanggal 13 Nopember 1954 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1954 Nomor 101 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 700. Selama hampir 144 tahun menjadi dasar yang kuat bagi pelembagaan Notariat di Indonesia, pada tanggal 6 Oktober 2004 Peraturan Jabatan Notaris telah dinyatakan tidak berlaku, pada tanggal tersebut telah diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Soegondo, 1993).

Tahun 2014 tepatnya pada tanggal 15 Januari 2014 diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 (Undang-undang Jabatan Notaris No 2 tahun 2014, 2014). Dengan adanya Undang-Undang Jabatan Notaris yang baru tersebut, telah terjadi perubahan dan pengaturan kembali secara komprehensif mengenai lembaga Kenotariatan dalam satu undang-undang yang mengatur mengenai jabatan Notaris sehingga tercipta suatu unifikasi hukum dalam pengaturan Notaris di Indonesia dan UUJN merupakan hukum tertulis sebagai alat ukur bagi keabsahan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.

Selain itu terdapat aturan lain yang menjadi acuan dalam menjalankan jabatannya, yaitu Kode Etik Profesi Notaris yang dibuat oleh Ikatan Notaris Indonesia (selanjutnya disebut dengan INI), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUHPerdata) serta peraturan perundang-undangan lainnya yang ada keterkaitan dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum (Adjie, 2004).

 

2.    Makna Pengampuan Menurut Hukum

Istilah pengampuan berasal dari bahasa Belanda yakni Curatele, yang dalam bahasa Inggris disebut Custody atau Interdiction (Perancis). Seseorang yang ditaruh dibawah pengampuan disebut Curandus dan orang yang mengampu disebut Curator. Sementara proses pengampuan disebut Curatele. Pengampuan dikenal dengan istilah Curatele dalam hukum positif yaitu keadaan dimana seseorang karena sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak pandai untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum (Vollmar & Adiwimarta, 1983).

Pengampuan dalam bahasa Indonesia merupakan kata yang terbentuk dari kata dasar �ampu� yang mendapat tambahan� awalan �pe� dan akhiran �an�. Kata dasar �ampu� mempunyai arti �menyokong dari bawah, �menahan dari bawah�. Sedangkan pengampuan adalah perwalian terhadap seseorang yang telah dewasa yang disebabkan karena gila, terlalu boros, dungu.

Menurut P.N.H Simanjuntak Pengampuan adalah: �Suatu daya upaya hukum untu menempatkan seorang yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum dewasa. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan disebut curandus, pengampunya disebut curator dan pengampuannya disebut curatele (P.N.H. Simanjuntak, 2007).

Pengaturan pengampuan sendiri di Indonesia terdapat pada kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada pasal yang mengatur tentang pengertian pengampuan ini. Hukum perdata materiil menurut ilmu pengetahuan dibagi menjadi 4 (empat) bagian yang salah satu diantaranya terdapat pengaturan mengenai pengampuan. Keempat bagian tersebut adalah (Usman, 2006):

1.    Hukum Perorangan (Personenrecht).

2.    Hukum Keluarga(Familierecht).

3.    Hukum harta Kekayaan (vermogensrecht).

4.    Hukum Waris (Erfrecht)

Ketentuan tentang pengampuan dimasukkan kedalam bagian hukum keluarga yang terletak di buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlij Wetboek). Ketentuan hukum mengenai pengampuan terdapat dalam Pasal 433 � 462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun perlu diketahui bahwa definisi pengampuan tidak secara langung dijelaskan dalam KUHPerdata, sehingga definisi pengampuan hanya diperoleh dari pendapat para ahli hukum atau doktrin hukum. KUHPerdata hanya menjelaskan hal-hal inti dari suatu peristiwa hukum yang dinamakan dengan pengampuan, sehingga dari penjelasan Pasal 433-462 KUHPerdata inilah dapat diketahui makna dan hal-hal yang berkaitan dengan proses pengampuan.

Pasal 433 KUH Perdata menyatakan bahwa:

�Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan�.

 

3.    Makna Pengampuan Sebagai Dasar Pemberhentian Sementara dari Jabatan Notaris

Pada prinsipnya pengampuan adalah merupakan suatu perbuatan hukum yang terikat kepada hubungan keperdataan bila subjek hukum pengampuannya adalah orang. Pengampuan terletak pada Pasal 433 buku Ke I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek. Pengaturan tentang pengampuan tidak secara jelas dirunutkan karena bercampur dengan pengaturan tentang perwalian. Pada kehidupan masyarakat pengampuan ini bisa saja terjadi kepada siapapun, baik itu pejabat atau orang biasa pada umumnya.

Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Pengampuan terdapat dalam Buku I (Kesatu) tentang Orang, dan oleh Undang- Undang ditetapkan ke dalam salah satu orang- orang yang tidak cakap bertindak seperti:

1.    Orang- orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (pasal 1330 BW jo Pasal 47 UU no 1 Tahun 1974)

2.    Orang- orang yang ditaruh dibawah pengampuan, yaitu orang- orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan pemboros (pasal 1330 BW jo pasal 433 BW)

3.    Orang- orang yang dilarang undang- undang untuk melakukan perbuatanperbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang dinyatakan pailit (pasal 1330 BW jo Undang- Undang Kepailitan.

Menurut Pasal 433 KUHPerdata, orang-orang yang diletakkan dibawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Dengan tidak cakapnya seseorang yang berada dibawah pengampuan untuk menyadari tanggung jawabnya, dapat disimpulkan bahwa ia juga tidak dapat diberikan suatu kewenangan yang memuat tanggung jawab yang begitu besar terhadap negara dan masyarakat yang diemban oleh seorang Notaris.

Berbeda dengan KUHPerdata, meskipun dalam pasal 433 KUHPerdata telah disebutkan penyebab-penyebab orang berada dalam pengampuan, namun demikian tidak mudah memvonis seseorang diletakkan dibawa pengampuan. Seorang Notaris dapat dikatakan dibawah pengampuan apabila Pengampuan berdasarkan adanya permohonan penetapan pengampuan. UUJN tidak mensyaratkan Putusan pengampuan harus didahului dengan Putusan Pengadilan kecuali Notaris yang diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri karena dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 22 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014, 2014), serta Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 22 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014, 2014). Serta hal yang berkaitan dengan pemeriksaan fakta hukum terhadap dugaan pelanggaran pelaksanaan jabatan dan perilaku Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan/atau fakta hukum lainnya (Pasal 22 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014, 2014).

Pada jabatan seorang Notaris, dapat juga kemungkinan seorang Notaris dalam keadaan dibawah pengampuan, misalnya Notaris tersebut mengalami Kelemahan kekuatan akal terletak diantara �dungu� dan �waras�, sedangkan pada keborosan, haruslah dilihat bahwa orang tersebut tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri dalam mempergunakan uang dengan melampaui batas, dan mempergunakan uangnya untuk pengeluaran yang bersifat menghambur-hamburkan.

Saat Notaris berada dibawah pengampuan tentunya akan menimbulkan suatu akibat hukum. Notaris merupakan seseorang yang dipandang memiliki peranan penting di masyarakat karena kewenangannya dalam membuat akta autentik. Terkait karena itu, seorang Notaris harus menjaga perilaku, kehormatan dan Martabatnya agar terhindar dari Sanksi. Sanksi merupakan alat hukum agar terciptanya penegakan hukum dan agar menjadikan seseorang atau masyarakat agar tertib akan aturan hukum yang dibuat. Berdasar ketentuan Pasal 434 KUHPerdata tidak semua dapat di tunjuk dan di tetapkan sebagai pemegang hak pengampuan. Hukum mensyaratkan hanya orang yang memiliki hubungan darah saja yang dapat mengajukan dan ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan. Bahkan terhadap saudara semenda (hubungan persaudaraan karena tali perkawinan) pun, hukum tetap mengutamakan orang yang memiliki hubungan darah sebagai pemegang hak pengampuan.

Pada ruang lingkup pengampuan yang berhak meminta dan dapat di tetapkan sebagai pemegang hak pengampuan, Pasal 434 KUHPerdata menyatakan (Subekti & Tjitrosudibio, 1999):

�Setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan seorang keluarga sedarahnya, berdasar atas keadaannya dungu, sakit otak, atau mata gelap. Berdasar atas keborosannya, pengampuan hanya boleh diminta oleh para keluarga sedarahnya dalam garis lurus dan oleh para keluarga semendanya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat ke empat. Dalam hal yang satu dan yang lain, seorang suami atau istri boleh meminta pengampuan akan istri atau suaminya. Barangsiapa, karena kelemahan kekuatan akalnya, merasa tak cakap mengurus kepentingan-kepentingan diri sendiri sebaik-baiknya, diperbolehkan meminta pengampuan bagi diri sendiri�

Notaris dapat mengajukan penetapan pengampuan� di wakili oleh keluarga sedarah, jaksa ataaupun dirinya sendiri apabila Notaris telah terindikasi tidak cakap hukum seperti mengidap sakit pada ingatannya, dementia, alzheimer, amnesia, keborosan ataupun terganggu kondisi kesehatannya sehingga tidak dapat mengurus kepentingan-kepentingan diri sendiri dengan sebaik-baiknya dan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat 1 UUJN (Pasal 434 KUHPerdata).

Semua permintaan untuk pengampuan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan (perdata). Sehingga penetapan pengampuan adalah Putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang bersifat menerangkan bahwa telah ditetapkan status seseorang dimata hukum dari orang yang cakap bertindak menjadi tidak cakap bertindak dalam melakukan perbuatan hukum atau orang yang diletakkan di bawah pengampuan dan segala akibat hukum di dalamnya. Penetapan pengampuan oleh pengadilan ini bertujuan untuk menetapkan hak atau hukum baru terhadap sesuatu peristiwa hukum. Penetapan ini dibuat berkaitan dengan adanya suatu permohonan, yang tidak berdasarkan pemeriksaan para pihak (Muhammad Nasir, 2005).

Secara umum, Penetapan pengampuan adalah Putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang bersifat menerangkan bahwa telah ditetapkan status seseorang dimata hukum dari orang yang cakap bertindak menjadi tidak cakap bertindak dalam melakukan perbuatan hukum atau orang yang diletakkan di bawah pengampuan dan segala akibat hukum di dalamnya.� Dalam pengampuan, ditempuh dengan cara mengajukan permohonan dan bukan dengan menggugat si orang yang akan diampu tersebut. Maka, dalam penetapan pengampuan ditegaskan oleh hakim bahwa orang yang dimohonkan untuk ditaruh dibawah pengampuan tersebut telah terbukti wajar untuk berada di bawah pengampuan, setelah memeriksa segala bukti yang diajukan dan setelah mendengar si pemohon dan yang dimohonkan tersebut. Penetapan pengampuan oleh pengadilan ini bertujuan untuk menetapkan hak atau hukum baru terhadap sesuatu peristiwa hukum. Penetapan ini dibuat berkaitan dengan adanya suatu permohonan, yang tidak berdasarkan pemeriksaan para pihak (Muhammad Nasir, 2005).

Dalam menjalankan jabatannya Notaris mempunyai tanggung jawab moral terhadap profesinya. Sebagai pengemban profesi, Notaris adalah orang yang memiliki keilmuan, keahlian serta kemampuan dalam bidang ilmu hukum dan kenotariatan sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanan, oleh sebab itu Notaris bertanggungjawab secara pribadi atas mutu jasa yang diberikan. Pasal 9 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bahwa seorang Notaris yang dalam keadaan pengampuan dapat di berhentikan sementara. Adapun alasan seorang Notaris di berhentikan sementara adalah sebagai berikut:

  1. Dalam proses Pailit dan PKPU;
  2. Dalam Pengampuan;
  3. Melakukan perbuatan tercela;
  4. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan notaris;
  5. Dalam masa penahanan;

Penjelasan atas alasan pemberhentian sementara Notaris dari jabatannya adalah sebagai berikut:

1.    Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang.

Salah satu sanksi yang diberikan kepada Notaris ialah diberhentikan dari jabatannya, dimana salah satu penyebabnya ialah karena pernyataan pailit. Seorang Notaris yang dinyatakan pailit dapat diberhentikan secara sementara dari jabatannya seperti yang terdapat didalam Pasal 9 UUJN dan apabila pernyataan pailit tersebut memiliki kekuatan hukum tetap hukum maka ia dapat diberhentikan secara tidak hormat seperti yang terdapat didalam Pasal 12 huruf a UUJN.

Akibat hukum dari Notaris yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan seperti yang telah diatur dalam Pasal 12 huruf a UUJN berbeda dengan ketentuan kepailitan yang dialami debitur ini telah diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Akibat hukum kepailitan di dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tersebut tidaklah seperti yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, dimana dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, kepailitan yang dapat berakibat seseorang diberhentian dari jabatannya. Berada di bawah pengampuan.

Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak sanggup untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum. Karena dianggap tidak sanggup, maka untuk menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenankan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan. Hal ini juga menjadi unsur seorang Notaris yang dalam pengampuan. Berdasarkan ketentuan Pasal 433 dan KBBI di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan di bawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foya pun dapat dimintakan pengampuan (Amrullah & Tanuwijaya, 2018).

 

 

2.    Melakukan perbuatan tercela.

Menurut Pasal 9 huruf c UUJN, Notaris dapat diberhentikan sementara dari jabatannya karena melakukan perbuatan tercela. Pasal 12 huruf c UUJN pun menyatakan bahwa seorang Notaris dari jabatannya dapat diberhentikan dengan tidak hormat jika ia melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Secara gramatical frasa melakukan perbuatan tercela dan melakukan perbuatan yang merendahakan kehormatan dan martabat jabatan Notaris dapat memiliki arti yang sama atau saling tumpang tindih (overlapping):

3.    Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta kode etik notaris.

Berkaitan dengan pasal 4 Kode Etik Notaris, Notaris telah melakukan pelanggaran dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yaitu melakukan pembuatan akta yang tidak mengkonstatir keinginan para pihak dalam isi akta yang mana ini berarti melanggar kewenangan Notaris dalam pasal 16 ayat (1) huruf a sehingga jelas ternyata bahwa Notaris telah melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Amrullah & Tanuwijaya,2018)

4.    Sedang menjalani masa penahanan.

Berdasar Pasal 13 UUJN menyatakan �Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.� Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa apabila seorang notaris telah dinyatakan bersalah dan dihukum pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah inkracht, maka tanpa perlu diusulkan oleh Majelis Pengawas, Menteri dapat langsung memberhentikan dengan tidak hormat terhadap notaris yang telah di vonis pidana, dengan ancaman paling lama 5 (lima) tahun atau lebih, walaupun vonisnya dibawah 5 (lima).

Berdasarkan pada UUJN, Notaris yag berada dibawah pengampuan diberhentikan sementara dari jabatannya, namun sebelum diberhentikan sementara Notaris diberikan kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Pengawas secara berjenjang. Pemberhentian sementara tersebut dilakukan oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat yang berlaku paling lama 6 bulan (Pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014). Notaris yang diberhentikan sementara sebab pengampuan dapat dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah dipulihkan haknya� (UUNJ)

Berdasarkan pada Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Terhadap Notaris, dalam hal pemeriksaan Notaris, dilakukan secara berjenjang dari Majelis Pegawas Daerah, Majelis Pengawas Daerah dan putusan final ditetapkan oleh Majelis Pengawas Pusat. Mengenai Pemberhentian Sementara ini sebelum di tetapkannya putusan oleh Majelis Pengawas Pusat terlebih dahulu terlapor mengajukan laporan permohonan secara tertulis kepada Majelis Pegawas Daerah sesuai domisili dalam bahasa Indonesia disertai bukti yang dapat dipertanggung jawabkan hal ini tertuang dalam Pasal 7 UUJN.

Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Daerah bersifat tertutup untuk umum. Pemeriksaan dimulai paling lama 7 (tujuh) hari sejak Majelis Pemeriksa ditetapkan. Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Daerah meliputi (Pasal 18 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, 2020):

1.      Laporan pengaduan masyarakat;

2.      pemeriksaan Protokol Notaris; dan/atau

3.      fakta hukum terhadap dugaan pelanggaran pelaksanaan jabatan dan perilaku Notaris dengan memanggil pelapor dan terlapor.

Pada saat pemeriksaan inilah Notaris terlapor dapat melakukan pembelaan diri dan tanggapan atas usulan permberhentian sementara. Selain itu dilakukan pula pemeriksaan terhadap protokol Notaris sebagai bahan pertimbangan bagi Majelis Pengawas Wilayah dan Pusat untuk sidang putusan. Namun pemeriksaan fakta hukum terhadap dugaan pelanggaran pelaksanaan jabatan dan perilaku Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan/atau fakta hukum lainnya (Pasal 22 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, 2020).

Kemudian hasil pemeriksaan terhadap Notaris terlapor dituangkan dalam berita acara pemeriksaan dan rekomendasi hasil pemeriksaan. Sekretaris Majelis Pengawas Wilayah Notaris melakukan pengadministrasian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang dicatat pada buku register perkara (Pasal 11) dan disampaikan oleh sekretaris Majelis Pengawas kepada Majelis Pemeriksa. Sebelum sidang pemeriksaan dilakukan, Ketua Majelis Pengawas Notaris menyelenggarakan rapat gelar perkara yang dihadiri oleh Majelis Pengawas untuk mendengar duduk perkara dan penyampaian pendapat hukum yang dilakukan secara musyawarah. Penyampaian pendapat hukum sebagai bahan masukan bagi Majelis Pemeriksa dalam memutus perkara yang berada dalam kewenangan pemeriksaannya. Majelis Pengawas Pusat memiliki kewenangan untuk memutus dan memeriksa usulan dari Majelis Pengawas Wilayah. Putusan Majelis Pengawas Pusat bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan tentang pengusulan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri (Pasal 32 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, 2020).

Namun tidak serta merta Notaris yang diajukan pengampuan menerima keputusan pengampuan dari MPP. Tetap dilakukannya pemeriksaan terhadap Notaris oleh Majelis Pemeriksa dan diberikan kesempatan bagi Notaris untuk membela diri dihadapan Majelis Pengawas secara berjenjang. Hal tersebut guna menyakinkan Majelis Pengawas untuk dapat memberikan putusan pemberhentian sementara secara adil bagi Notaris sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 77 huruf (c) dan (d) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Pusat berwenang:

1.    menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;

2.    memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

3.    menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan

4.    mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.

Dengan batas waktu yang hanya 7 hari sejak permohonan pengampuan diajukan kepada MPD dan memasuki tahap pemeriksaan, hal ini dilakukan dengan tujuan agar Notaris tidak melaksanakan jabatannya sementara waktu sebelum sanksi pemberhentian dikenakan kepada Notaris oleh Majelis Pengawas Pusat. Pemberhentian sementara ini akan menimbulkan hilangnya kewenangan notaris untuk sementara waktu dan Notaris yang bersangkutan tidak dapat membuat akta apapun dalam waktu tertentu yaitu antara 3(tiga) hingga 6 (enam) bulan dalam masa pemberhentian sementara. Sanksi ini dapat berakhir dalam bentuk pemulihan kepada notaris untuk menjalankan tugas jabatannya kembali atau ditindaklanjuti dengan sanksi pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak hormat. Notaris dapat diberhentikan tidak hormat oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat jika Notaris yang berada dibawah pengampuan secara terus menerus selama tiga tahun (Pasal 89 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019, 2019).

Selama 3 (tiga) hingga 6 (enam) bulan Notaris masih berada dalam pengampuan secara terus menerus selama tiga (tahun) dapat diberhentikan tidak hormat hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 12 huruf b UUJN

Berdasarkan Pasal 90 Permenkumham Nomor 19 TAHUN 2019 dikatakan bahwa dalam hal Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya sebagaimana dalam ketentuan Pasal 12 huruf b UUJN, Majleis Pengawas Pusat menyampaikan secara manual atau elektronik permintaan Notaris Pemegang Protokol kepada Majelis Pengawas Daerah dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak putusan diucapkan. Setelah permintaan Notaris Pemegang Protokol tersebut diterima, MPP menyampaikan kepada Menteri untuk diterbitkan surat keputusan pemberhentian dengan tidak hormat dalam jangka waktu paling lambat 30 Hari sejak usulan diterima secara manual atau elektronik. Notaris yang diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya wajib melakukan serah terima protokol di hadapan MPD dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak keputusan diterima. Dalam hal serah terima protokol tidak dilaksanakan, MPD dapat mengambil Protokol Notaris yang berada dalam penguasaan Notaris yang diberhentikan dengan tidak hormat untuk diserahkan kepada Notaris pemegang protokol (Pasal 91 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019, 2019).

Pada dasarnya yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dalam pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Peranan Majelis Pengawas Notaris adalah melaksanakan pengawasan terhadap perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris, agar dalam menjalankan tugas jabatannya tidak menyimpang dari kewenangannya dan tidak melanggar peraturan perundang � undangan yang berlaku, disamping itu juga melakukan pengawasan, pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, sedangkan fungsi Majelis Pengawas Notaris adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, senantiasa dilakukan diatas jalur yang telah ditentukan, bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika demi terjaminnya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pihak yang membutuhkannya. Tidak kalah penting juga peranan masyarakat untuk mengawasi dan senantiasa melaporkan tindakan Notaris yang dalam melaksanakan tugas jabatannya tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku kepada Majelis Pengawas Notaris setempat. Dengan adanya laporan seperti ini dapat meminimalisir dan memberantas tindakan Notaris yang tidak sesuai dengan aturan hukum dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris.

Menteri sebagai kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang hukum dan hak asasi manusia. Dengan demikian kewenangan pengawasan terhadap Notaris ada pada pemerintah, sehingga berkaitan dengan cara pemerintah memperoleh wewenang pengawasan tersebut ada 2 (dua) cara utama untuk memperoleh wewenang pemerintah, yaitu Atribusi dan Delegasi. Mandat juga ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang, namun apabila dikaitkan dengan gugatan ke pengadilan tata usaha negara, Mandat tidak ditempatkan secara tersendiri karena penerima Mandat tidak bisa menjadi tergugat di pengadilan tata usaha negara (Sujamto, 1983).

Saat melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi Majelis Pengawas harus berdasarkan kewenangan yang telah ditentukan UUJN sebagai acuan untuk mengambil keputusan, hal ini perlu dipahami karena anggota Majelis Pengawas tidak semua berasal dari Notaris, sehingga tindakan atau keputusan dari Majelis Pengawas harus mencerminkan tindakan suatu Majelis Pengawas sebagai suatu badan, bukan tindakan anggota Majelis Pengawas yang dianggap sebagai tindakan Majelis Pengawas. Pasal 67 Undang-undang Jabatan Notaris ditentukan bahwa yang melakukan pengawasan terhadap Notaris adalah Menteri, Dalam melaksanakan tugas pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris yang mana masing-masing Majelis Pengawas Notaris tersebut terdiri dari 9 (sembilan) orang, terdiri dari unsur (Sujamto, 1983):

a.     Pemerintah sebanyak tiga (3) orang:

b.    Organisasi Notaris sebanyak tiga (3) orang;dan

c.     Ahli/Akademik sebanyak tiga (3) orang.

Sedangkan dalam Pasal 68 Undang-undang Jabatan Notaris menyebutkan, bahwa Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) terdiri atas:

1.    Majelis Pengawas Daerah;

2.    Majelis Pengawas Wilayah;

3.    Majelis Pengawas Pusat.

Dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri ditentukan pengusulan Anggota Majelis Pengawas. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) menentukan pengusulan Anggota Majelis Pengawas Daerah (MPD) terdiri atas:

a.     Unsur pemerintah oleh Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kantor Wilayah;

b.    Unsur organisasi Notaris oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia

c.     Unsur ahli/akademis oleh dosen/staf pengajar fakultas hukum atau perguruan tinggi setempat.

Majelis Pengawas Daerah (MPD) dibentuk dan berkedudukan di kabupaten atau di kota (Pasal 69 ayat [1] Undang-undang Jabatan Notaris). Ketentuan Pasal 4 ayat (1) menentukan pengusulan Anggota Majelis Pengawas Wilayah (MPW) terdiri atas:

a.    Unsur pemerintah oleh Kepala Kantor Wilayah;

b.    Unsur organisasi Notaris oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia;

c.    Unsur ahli/akademis oleh dosen/staf pengajar fakultas hokum atau perguruan tinggi setempat. Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dibentuk dan berkedudukan di ibukota propinsi (Pasal 72 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris).

Meskipun MPD mempunyai wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari notaris lainnya dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris, tapi tidak diberi kewenangan untuk menjatuhakan sanksi apapun. Dalam hal ini, MPD hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan pemeriksaannya kepada MPW dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan organisasi Notaris. Pada hal ini Pelaksanaan Tugas Pengawasan Terhadap Notaris Majelis Pengawas Daerah merupakan amanat Undang-undang Jabatan Notaris, khususnya Pasal 67 Ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa menteri berwenang dalam mengawasi Notaris dan dalam melaksanakan pengawasannya menteri membentuk majelis pengawas. Notaris adalah pejabat urnum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan penjelasan tersebut Seorang Notaris yang diberhentikan sementara sebagai Notaris dikatakan �tidak cakap� yaitu meliputi seluruh kemampuan bertindak sebagai Notaris, sedangkan seorang Notaris yang tidak berwenang hanya dalam beberapa hal atau keadaannya, misal Notaris tidak berwenang membuat akta diluar wilayah kedudukannya. Sehingga Notaris haruslah cakap agar dapat bertindak sesuai kewenangannya, sebab kecakapan meliputi seluruh kemampuan dan kewenangan bertindaknya sebagai Notaris.

Pada prinsipnya jika dikaitkan dengan profesi Notaris, apabila seorang Notaris berada dalam masa pengampuan maka notaris tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang tidak cakap dan tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Hal ini dapat di buktikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pemberhentian sementara Notaris diatur dalam ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Adanya Peraturan tersebut mengenai pemberhentian sementara terhadap Notaris yang dibawah pengampuan merupakan kepastian hukum sebagaimana yang disampaikan oleh Lon Fuller.

 

Kesimpulan

Notaris berada dalam masa pengampuan maka notaris tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang tidak cakap dan tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Hal ini dapat di buktikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pemberhentian sementara Notaris diatur dalam ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Adanya Peraturan tersebut mengenai pemberhentian sementara terhadap Notaris yang dibawah pengampuan merupakan kepastian hukum sebagaimana yang disampaikan oleh Lon Fuller.

Saran kepada Pemerintah hendaknya melakukan pembaharuan atas Undang-Undang Jabatan Notaris dengan menambahkan diberhentikannya Notaris dengan alasan berada dibawah pengampuan sehingga tidak ada lagi kekaburan norma terhadap peraturan tersebut. Serta penambahan mengenai kekuatan pembuktian akta yang dibuat Notaris yang dibawah pengampuan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adjie, Habib. (2004). Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No 30. Tahun.Google Scholar

 

Adjie, Habib. (2013). Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cet. 1. Ketiga, Bandung: PT Refika Aditama. Google Scholar

 

Amrullah, M. Arief, & Tanuwijaya, Fanny. (2018.). Keabsahan Akta Notaris Apabila Notaris Diberhentikan Sementara Akibat Dijatuhi Pidana (p. 47). p. 47. Google Scholar

 

Kartikosari, Heni, & Sesung, Rusdianto. (2017). Pembatasan Jumlah Pembuatan Akta Notaris Oleh Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia. Legality: Jurnal Ilmiah Hukum, 25(2), 158�171. Google Scholar

 

Muhammad Nasir. (2005). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Djambatan.

 

P.N.H. Simanjuntak. (2007). Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Cetakan ke-3. Jakarta: Djambatan.

 

Pasal 18 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020. (2020). Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Terhadap Notaris.

 

Pasal 22 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020. (2020). Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Terhadap Notaris.

 

Pasal 22 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014. (2014). Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

 

Pasal 32 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020. (2020). Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Terhadap Notaris.

 

Pasal 89 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019. (2019). Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan, Cuti, Perpindahan, Pemberhentian, dan Perpanjangan Masa Jabatan Notari.

 

Pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014. (2014). Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

 

Pasal 91 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019. (2019). Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan, Cuti, Perpindahan, Pemberhentian, dan Perpanjangan Masa Jabatan Notari.

 

Sharfina, Vitra Hana, & Sukananda, Satria. (2019). Perlindungan Hukum Atas Hak Keperdataan Bagi Orang Yang Berada Dalam Pengampuan (Studi Kasus Penetapan Nomor 0020/PDT. P/2015/PA. BTL). Justitia Jurnal Hukum, 3(2). Google Scholar

 

Sjaifurrachman, & Adjie, Habib. (2011). Aspek pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta. Mandar Maju. Google Scholar

 

Soegondo, Notodisoerjo. (1993). Hukum Notariat di Indonesia (p. 46). p. 46. PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta. Google Scholar

 

Soenandar, Taryana, Djamli, H. Fathurrahman, Badrulzaman, Mariam Darus, Sjahdeini, Sutan Remy, & Soepraptomo, H. Heru. (2016). Kompilasi Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti, Bandung. Google Scholar

 

Subekti, Raden, & Tjitrosudibio, Raden. (1999). Kitab undang-undang hukum perdata. Google Scholar

 

Sujamto. (1983). Beberapa Pengertian dibidang Pengawasan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

 

Undang-undang Jabatan Notaris No 2 tahun 2014. (2014). Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

 

Usman, Rachmadi. (2006). Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Google Scholar

 

V�llmar, Henry Fr�d�ric Arnold, & Adiwimarta, I. S. (1983). Pengantar Studi Hukum Perdata. CV Rajawali. Google Scholar

 

Copyright holder:

Chairil Lailia Maharani, Dyah Ochtorina Susanti, Moh. Ali (2022)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under: