Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X

Vol. 3, No. 12, Desember 2021

 

TRANSFORMASI TAREKAT QADIRIYAH ARAKIYAH DI INDONESIA

 

Nur Istiqomah

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Tarekat Qadiriyah Arakiyah merupakan tarekat yang belum lama tersebar di Indonesia. Tarekat ini masuk ke Indonesia pada 2006 dibawa oleh Syekh Muhammad Hilmi Ash-Shiddiqi al-Araki, seorang Kiai yang merupakan salah satu anggota keluarga besar Pondok Pesantren al-Husaini Bandung. Kedatangan Tarekat Qadiriyah Arakiyah dari Sudan ke Indonesia dengan adanya perbedaan sosio-kultural di anatara masyarakat Sudan dengan Indonesia mengharuskan terjadinya transformasi di dalam menyebarkan tarekat ini di Indonesia. Transformasi ini dilakukan agar Tarekat Qadiriyah Arakiyah mampu membumi dan memasyarakat sehingga mampu lebih diterima oleh masyarakat Indonesia. Artikel ini bertujuan untuk memaparkan beberapa transformasi yang menjadikan perbedaan di antara Tarekat Qadiriyah Arakiyah yang eksis di Indonesia dengan Tarekat Qadiriyah Arakiyah yang eksis di Sudan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Data di dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan metode analisis deskriptif-analisis. Tarekat Qadiriyah Arakiyah mengalami beberapa transformasi setelah masuk di Indonesia. Di antaranya adalah cara berzikir, bahasa, dan pakaian. Meskipun terdapat beberapa transformasi tersebut, tidak mengubah substansi ajaran Tarekat Qadiriyah Arakiyah.

 

Kata Kunci: Tasawuf; Tarekat; Qadiriyah Arakiyah; Akulturasi; Transformasi

 

Abstract

Qadiriyah Arakiyah order is an order that has not long spread in Indonesia. This order entered Indonesia in 2006 brought by Sheikh Muhammad Hilmi Ash-Shiddiqi al-Araki, a Kiai who is one of the members of the large family of Pondok Pesantren al-Husaini Bandung. The arrival of The Qadiriyah Arakiyah Order from Sudan to Indonesia with socio-cultural differences between Sudanese society and Indonesia necessitated a transformation in spreading this order in Indonesia. This transformation is done so that the Qadiriyah Arakiyah Order is able to ground and civilize so that it can be more accepted by the people of Indonesia. This article aims to explain some of the transformations that make the difference between the Qadiriyah Arakiyah Order that exists in Indonesia and the Qadiriyah Arakiyah Order that exists in Sudan. The research method used is qualitative research with a phenomenological approach. The data in the study was obtained through interviews, observations, and documentation. Data analysis techniques use descriptive-analysis methods. Qadiriyah Arakiyah Order underwent several transformations after entering Indonesia. Among them are dhikr, language, and clothing. Although there have been some such transformations, they do not change the substance of the teachings of the Qadiriyah Arakiyah Order.

 

Keywords: Sufism; Order; Qadiriyah Arakiyah; Acculturation; Transformation

 

Received: 2021-11-22; Accepted: 2021-12-05; Published: 2021-12-20

 

Pendahuluan

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keberadaan Tarekat Qadiriyah Arakiyah di Pesantren Al-Hikam Depok, yang merupakan pesantren khusus bagi mahasiwa hufadz dan mahasiswa yang menempuh pendidikan di universitas sekitar pesantren, seperti Univesitas Indonesia, Politeknik Negeri Jakarta, Universitas Gunadarma, Universitas Pancasila, dan lain-lain. Pesantren ini didirikan oleh Kiai H.A.Hasyim Muzadi (Billahi & Thaha, 2018) pada 2007. Di dalamnya terdapat beberapa lembaga, di antaranya adalah Madrasah Diniyah (TPQ) yang berdiri pada 2007 bersamaan dengan didirikannya Masjid Al-Hikam Depok, Sekolah Tinggi Kulliyatul aquran (STKQ) pada 2010, Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) pada 2011, Pesantren Mahasiswa (PESMA) pada 2012, dan Pesantren Mahasiswi pada 2017.Pesantren ini dinamakan Al-Hikam disebabkan Kiai Hasyim Muzadi mengagumi seorang tokoh sufi sekaligus pengarang kitab tasawuf al- Hikam, yang bernama Syekh Ibnu Atho�illah as-Sakandari. Oleh karena itu, dia menjadikan nama kitab itu sebagai nama pesantrennya. Kata al-Hikam merupakan bentuk jamak dari kata Hikmah, yang berarti hikmah-hikmah. Dari nama itu Kiai Hasyim Muzadi berharap para santrinya menjadi manusia yang memiliki hikmah dan bermanfaat (tanggal 1 Maret 2017 di Pesantren Al-Hikam Depok Wawancara dengan Syekh Hilmi, 2017).

Pesantren Al-Hikam Depok ini didirikan di belakang Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, tepatnya di Jalan H.Amat nomor 29 Kukusan Beji Depok oleh Kiai Hasyim Muzadi. Pendirian pesantren mahasiswa di dekat pusat peradaban intelektual berdasarkan� cita-cita� Kiai� Hasyim� Muzadi� agar� dapat� mendampingi� para� santrinya untuk menjadi sumber daya manusia yang bermoral serta berilmu. Kiai Hasyim Muzadi menginginkan para santrinya mampu mengoptimalkan kemampuan intelektual dan spiritual. Kemampuan intelektual dilatih dengan berfikir sedangkan kemampuan spiritual dilatih dengan berzikir. Kiai Hasyim Muzadi mengatakan bahwa akal yang kosong hendaknya diisi dengan pemikiran atau berfikir sedangkan hati yang kosong hendaknya diisi dengan berzikir. Kemudian, Kiai Hasyim Muzadi meminta Syekh Hilmi untuk membina para santrinya agar dapat mencapai keseimbangan di antara berpikir dan berzikir. Syekh Hilmi merupakan seorang aktivis Nahdhatul Ulama (NU). Kedekatan Syekh Hilmi dengan Kiai Hasyim Muzadi bermula dari pelantikan pengurus PCINU di Sudan. Pada saat itu, Kiai Hasyim Muzadi, yang menjabat sebagai ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) di Indonesia, melantik Syekh Hilmi beserta teman-temannya sebagai pengurus Pengurus Cabang Istimewa Nahdhatul Ulama (PCINU) di Sudan. Di dalam membina para santri, Syekh Hilmi memberikan sentuhan tarekat di dalamnya (tanggal 1 Maret 2017 di Pesantren Al-Hikam Depok Wawancara dengan Syekh Hilmi, 2017).

Tarekat berasal� dari� bahasa� Arab,� yaitu� dari� kata� ṭarīqah,� yang� berarti� jalan. Zamakhsyari Dhofier mendefinisikan tarekat sebagai sebuah jalan yang ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia (Lombard, 1984). Tarekat juga disebut dengan sulūk, yang berarti perjalanan spiritual. Sementara orang yang menempuh jalan spiritual dinamakan sālik. Di dalam menempuh perjalanan spiritual, seorang sālik dibimbing seorang guru, yang dinamakan mursyid, setelah besumpah untuk mengamalkan formula-formula yang telah ditentukan. Seorang mursyid membimbing seorang sālik menuju Allah swt. melalui riyāḍah dan mujāhadah dengan melakukan amalan-amalan zikir menggunakan ayat-ayat Alquran dan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw (Tohir, 2012).

Zamakhsyari Dhofier mengemukakan bahwa tarekat merupakan tradisi tasawuf yang berkembang di pesantren. Istilah tarekat berkaitan dengan istilah tasawuf. Di dalam tradisi pesantren, istilah tasawuf digunakan sebagai teori dari ajaran tarekat (Dani, 2019).

Sementara praktik dari teori tersebut digunakan istilah tarekat. Di kalangan pesantren, praktik dianggap lebih utama daripada teori. Oleh karena itu, tarekat dikalangan pesantren berupa kepatuhan secara penuh terhadap ketentuan-ketentuan syariat yang bersifat ritual maupun sosial, seperti menjalankan amalan-amalan wajib maupun sunah serta menghindarkan diri dari hal-hal yang makruh dan haram, dan melakukan riyāḍah dengan sebaik-baiknya. Amalan tarekat tidak dapat dipisahkan di dalam tradisi pesantren tanpa terbentuk ke dalam sebuah organisasi tarekat. Dengan demikian, terdapat praktik tarekat yang berdasarkan ketentuan organisasi tarekat dan praktik tarekat yang tidak berdasarkan ketentuan organisasi tarekat (Anwar, 2016).

Di Indonesia, organisasi-organisasi tarekat berada di bawah naungan sebuah federasi bernama Jam�iyyah Ahli Thariqah Mu�tabarah Nahḍiyyah (JATMAN). Organisasi ini didirikan oleh para kyai Nahdhatul Ulama (NU) pada 10 Oktober 1957. Awalnya, organisasi ini bernama Jam�iyyah Ahli Thariqah Mu�tabarah. Berdasarkan keputusan Muktamar NU 1979 di Semarang, nama organisasi tarekat ini berubah dengan adanya tambahan kata Nahḍiyyah, yang bertujuan untuk menegaskan bahwa organisasi ini berafiliasi kepada Nahdhatul Ulama (NU). Organisasi ini ditujukan untuk membimbing organisasi-organisai tarekat yang dinilai belum mengajarkan amalan- amalan Islam yang sesuai dengan Alquran dan hadis. Selain itu, organisasi ini juga ditujukan untuk mengawasi organisasi-organisasi tarekat agar tidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak dibenarkan oleh agama Islam (Khamidah, 2018). Terdapat 45 nama tarekat yang diakui keautentikannya oleh Jam�iyyah Ahli Thariqah Mu�tabarah Nahḍiyyah (JATMAN), di antaranya adalah Tarekat Qadiriyah. Keautentikan suatu tarekat dilihat dari sanad keilmuan mursyid tarekat. Tarekat yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung kepada Nabi Muhammad saw. disebut tarekat mu�tabarah. Sementara tarekat yang sanad keilmuannya tidak bersambung kepada Nabi Muhammad saw. disebut tarekat gairu mu�tabarah (Khamidah, 2018).

Di dalam membina para santri di pesantren Al-Hikam Depok, Syekh Hilmi menggunakan aurād Tarekat Qadiriyah Arakiyah. Tarekat Qadiriyah Arakiyah adalah cabang Tarekat Qadiriyah di Sudan. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Abdullah al-Araki di Sudan pada 1007 H/1559 M. Saat ini, Tarekat Qadiriyah Arakiyah berpusat di Pesantren Thariqah Madani Syekh Abdullah al-Araki di Thayyibah Abdul Baqi, Sudan. Tarekat ini tersebar di wilayah Afrika, Eropa, dan Asia, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, tarekat ini dibawa oleh Syekh Hilmi pada 2006. Salah satu tempat persebaran tarekat ini adalah Pesantren Al-Hikam Depok (Wawancara dengan Syekh Muhammad Hilmi ssh-Shidiqi al-Araki, Khalīfah Tarekat Qadiriyah Arakiyah di Pesantren Al-Hikam Depok pada 1 Maret 2017).

Berdasarkan pemaparan latar belakang yang telah disebutkan, penulis tertarik untuk meneliti Tarekat Qadiriyah Arakiyah di pesantren Al-Hikam Depok sebagai skripsi.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah metode kualitatif melalui pendekatan sejarah. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang hasil penemuan-penemuannya tidak diperoleh melalui prosedur-prosedur statistic (Sugiarto, 2017). Sugiyono mengatakan bahwa metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik. Hal ini disebabkan penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi yang masih alamiah (natural setting) (Sugiyono, 2014). Penelitian kualitatif menghasilkan data primer dan sekunder. Di dalam menghasilkan data primer, penulis melakukan observasi dan wawancara. Pertama, peneliti melakukan observasi di Pesantren Al-Hikam Depok, yang berlokasi di Jalan H.Amat Nomor 21, Kukusan, Beji, Depok, Jawa Barat, untuk mengamati aktivitas dan kondisi di lokasi penelitian dengan menggunakan kamera untuk dokumentasi. Di samping itu, penulisjuga melakukan wawancara kepada beberapa nara sumber untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Kedua, peneliti melakukan wawancara yang dilakukan secara tatap muka (face to face interview) dan wawancara secara online. Wawancara secara tatap muka (face to face interview) dilakukan terhadap beberapa nara sumber, yang terdiri atas khalīfah tarekat, para pengikut tarekat (sālik), dan pihak-pihak yang berhubungan dengan Tarekat Qadiriyah Arakiyah di Pesantren Al-Hikam Depok. Penulis menggunakan alat perekam dan alat tulis untuk merekam dan menulis hasil wawancara. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara secara online dengan seorang penulis sufisme di Sudan, yang salah satu objek penelitiannya mengenai Tarekat Qadiriyah Arakiyah untuk memperoleh data yang dibutuhkan.

Sementara di dalam menghasilkan data sekunder, penulis menemukan, menyelidiki, dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah sebagai data yang berkaitan dengan topik penelitian (heuristik). Sementara di dalam memperoleh sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan, penulis mengumpulkan dokumen-dokumen berupa buku- buku teks dan kitab-kitab mengenai tasawuf dan tarekat, khususnya mengenai Tarekat Qadiriyah. Setelah memperoleh semua data yang dibutuhkan, penulis melakukan kritik dengan memeriksa kembali mengenai kebenaran data yang diperoleh (verifikasi). Kemudian, penulis melakukan penafsiran terhadap data yang telah didapatkan (interpretasi). Pada tahap ini, penulis memberikan penafsiran terhadap data yang telah diperoleh selama penelitian, mengaitkankan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, dan menyusunnya hingga menjadi sebuah urutan peristiwa yang kronologis. Setelah itu, penulis melakukan tahap historiografi dengan menulis apa yang dipahami dalam bentuk tulisan yang sistematis di dalam bentuk laporan penelitian dengan menggunakan bahasa penulis (Septiana, 2019).

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Ajaran Tarekat Qadiriyah Arakiyah

Di dalam membimbing seorang sālik menempuh jalan menuju Allah swt., Syekh Hilmi selaku khalīfah Tarekat Qadiriyah Arakiyah di Indonesia, selalu menekankan ikhwān tarekatnya untuk selalu menyucikan diri dari nafsu dunia agar mampu mencapai kedekatan dengan Allah swt. Ajaran ini berdasarkan ajaran yang diajarkan oleh Syekh Abdullah, khalīfah Tarekat Qadiriyah Arakiyah di Sudan, yang selaras dengan ajaran induk tarekat ini yakni ajaran Syekh Abdul Qadir al-Jilani selaku penyebar ajaran Tarekat Qadiriyah. Oleh karena itu, seorang sālik harus kuat di dalam akidah, syariat, dan akhlak tarekat untuk mencapainya. Dengan akidah dan syariat yang kuat, maka yang sālik dekati hanya Allah swt. Kemudian, akhlak akan menuntun seorang sālik secara batin dekat dengan Allah swt. yakni berupa ketaatan kepada Allah swt. dengan tidak mengikuti hawa nafsu (mukhālifatu al-hawā). Dasar dari ketaatan lazimnya adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh nasfu. Hal ini disebabkan tabiat nafsu adalah melanggar perintah Allah swt. Oleh karena itu, di dalam kajian tasawuf dan tarekat para mursyid lebih menekankan pada pengendalian nafsu (mujāhadah an-nafsi). Hal ini juga di ajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Upaya mengendalikan hawa nafsu ada berbagai macam, seperti berupa riyāḍah, mujāhadah, puasa, sedekah, khidmat terhadap fakir miskin, dan tidak mencintai dunia (hubbu ad-dunya) (tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok. Wawancara dengan Syekh Hilmi, 2018).

Syekh Hilmi mengatakaan bahwa proses untuk sampai pada penyucian diri, seorang sālik harus melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu di dalam dunia tarekat disebut dengan maqām, yang maknanya terdapat pada setiap huruf yang tersusun membentuk rangkaian kata tasawuf. Hal yang pertama kali diajarkan oleh Syekh Hilmi kepada ikhwān tarekatnya, yang baru saja masuk ke dalam Tarekat Qadiriyah Arakiyah dalam rangka menyucikan diri adalah menekankan untuk meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah swt. dengan bertaubat secara lahir dan batin. Ikhwān secara lahir meninggalkan hal-hal yang dilarang dan secara batin membenci hal-hal itu. Taubat dilakukan dengan memperbanyak membaca istighfar, yang tidak hanya dilafalkan dengan lisan, tetapi juga diresapkan ke dalam jiwa sehingga hati ikut serta beristighfar. Di antara lisan dan hati secara bersamaan beristighfar (sinkron). Kemudian, ikhwān tarekat harus berusaha dan berjanji untuk tidak mengulangi melakukanhal-hal yang dilarang oleh syariat Islam. Ketika ikhwān telah mampu melakukan hal itu, berarti dia telah mencapai maqām ta� dari kata tasawuf, yaitu taubat (tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok. Wawancara dengan Syekh Hilmi, 2018).

Kedua, Syekh Hilmi menganjurkan ikhwān tarekatnya untuk menjernihkan hati dari kotoran-kotoran (ṣafā al-qalb) yang ditimbulkan oleh sikap melampaui batas (isrāf), seperti berlebihan di dalam makan, minum, dan mencintai sesuatu. Cara yang dilakukan untuk menjernihkan hati agar terhindar dari sikap israf adalah dengan membiasakan diri membaca lafẓ al-jalālah (lā ilāha illallah) secara jahr dengan suara yang keras (ṣautun �aliy) dan tekad yang kuat (niyah qawiy). Selain itu, Syekh Hilmi juga menganjurkan ikhwāntarekatnya untuk mentauhidkan Allah swt. dengan membersihkan hatinya dari selain-Nya dan mengisinya hanya dengan Allah swt. Cara yang dilakukan adalah dengan membaca lafẓ al-jalālah secara sirri atau rahasia, yang hanya dapat didengar oleh diri sendiri dan Allah swt. Ketika hal itu telah mampu dilakukan secara kontinu, hati akan mampu mengikuti lafẓ al-jalālah yang diucapkan oleh lisan. Imam Syafii mengistilahkannya dengan talaffuẓ an-niyāh. Ketika ikhwān tarekat telah mampu melakukan kedua hal itu, dia telah mencapai maqām ṣa� dari kata tasawuf, yaitu ṣafā al-qalb (tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok. Wawancara dengan Syekh Hilmi, 2018).

Ketiga, Syekh Hilmi mengajarkan ikhwān tarekatnya agar menjaga diri dari segala sesuatu yang meragukan (syubhāt), kehalalan dan keharamannya, secara lahir dan batin. Secara lahir ikhwān menjaga segala anugerah yang diberikan oleh Allah swt., seperti anggota tubuh, dengan semestinya, yaitu tidak menggunakannya untuk hal-hal yang diharamkan dan yang dapat melalaikan dari mengingat Allah swt. serta mendatangkan kemurkaan-Nya. Sementara secara batin, ikhwān menjauhkan diri dari segala pikiran yang dapat menghalanginya untuk dekat dan sampai kepada Allah swt., tidak berharap dan meminta sesuatu kebutuhan dunia kepada makhluk secara terang-terangan maupun dengan isyarat-isyarat. Ketika ikhwān telah mampu melakukan hal itu, berarti dia telah mencapai maqām wa� dari kata tasawuf, yaitu wara�, yang tercermin pada perilakunya sehari-hari (Wawancara dengan Syekh Hilmi & Indonesia, 2018).

Keempat, Syekh Hilmi mengatakan bahwa puncak perjalanan seorang sālik atau ikhwān tarekat adalah merasa sangat dekat dekat dengan Allah swt. Ketika seorang ikhwān mengalami kondisi sebenar-benarnya berserah diri dan taat kepada Allah swt. Tidak ada sesuatu yang dipandang bernilai di dalam dirinya kecuali hanya karunia Allah swt. Tidak ada keakuan di dalam dirinya disebabkan segala daya dan upaya atas pertolongan Allah swt. Ketika ikhwān telah mampu melakukan hal itu, berarti dia telah mencapai maqāmfa� dari kata tasawuf, yaitu fana. Menurut Syekh Hilmi, seseorang yang telah mencapai fana ialah seseorang yang khauf atau rasa takutnya terhadap Allah swt. telah mencapai khasyyah atau rasa takut dengan rasa mengagumkan Allah swt. serta terkesima dengan keagungan-Nya sehingga dia hanya melihat kekuasaan-Nya. Dengan tahapan-tahapan penyucian ini, batas-batas yang menghalangi manusia dengan Allah swt. akan tersingkap dan membuat seorang ikhwān tersadar bahwa manusia tidak ada apa-apanya di hadapan Allah swt. Selain itu, sejatinya manusia tidak ada, yang menjadikan adanya manusia hanyalah rahmat Allah swt. Semua yang terjadi pada diri manusia berasal dari rahmat Allah swt (tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok. Wawancara dengan Syekh Hilmi, 2018).

Kemudian, Syekh Hilmi menganalogikannya dengan peristiwa isra� mi�raj. Ketika isra� mi�rāj, Nabi Muhammad saw. berhadapan dengan Allah swt. Namun, posisi Nabi Muhammad saw. yang sejajar dengan Allah swt. tidak membuatnya menjadi sombong dengan mengaku dirinya sebagai Tuhan. Hal ini berkaitan denganperkataan Hasyim Muzadi bahwa tidak ada sifat ketuhanan di dalam diri makhluk dan tidak ada sifat kemakhlukan di dalam diri Tuhan. Posisi di antara keduanya harus sesuai, yaitu Allah swt. sebagai pencipta yang harus di sembah dan manusia sebagai yang diciptakan harus menyembah-Nya. Terdapat tiga unsur yang diperhatikan di dalam Tarekat Qadiriyah Arakiyah, yaitu ruh, akal, dan nafsu. Syekh Hilmi menceritakan bahwa di kalangan tarekat ini terdapat sebuah hikayat. Pertama, ketika Allah swt. menciptakan ruh, Allah bertanya, �man ana wa man anta?�. Kemudian, ruh menjawab, �anta Allah wa ana �abduk�. Kedua, ketika Allah swt. menciptakan akal, Allah swt. bertanya, �man ana wa man anta?�. Kemudian, akal berbalik tanya, �man anta wa man ana?�. Namun, setelah Allah swt. memberikan pengetahuan kepada akal untuk mencari jawaban itu, akhirnya akal menjawab, �anta rabbī wa ana �abduk�. Sebagaimana jawaban ruh, akal juga mengakui posisinya sebagai hamba dan ciptaan Allah swt. Akan tetapi, di dalam proses pencarian terdapat akal yang mengetahui posisinya sebagai hamba dan terdapat juga akal yang tidak mengetahuinya. Kemudian, ketika nafsu ditanya oleh Allah swt., �man ana wa man anta?�, nafsu menjawab, �ana ana, anta anta�. Jawaban nafsu menunjukan bahwa posisinya dengan Allah swt. sama. Tarekat ini memposisikan Allah swt. di atas semua makhluk-Nya. Cara yang dilakukan adalah dengan riyāḍah secara lahir dan batin supaya seorang ikhwān mampu mencapai ihsan. Menurut Syekh Hilmi, substansi ihsan adalah kesadaran diri manusia terhadap posisinya sebagai hamba dan posisi Allah swt. sebagai Tuhan yang wajib disembah sehingga menjadi hamba Allah swt. yang bertakwa(muttaqīn) dan berakhlak baik (muḥsinīn) (tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok. Wawancara dengan Syekh Hilmi, 2018).

Syekh Hilmi menyatakan bahwa tahapan-tahapan maqām tasawuf di atas merupakan proses untuk mengendalikan hawa nafsu. Pengendalian hawa nasfu bertujuan untuk menghilangkan kesombongan dihadapan Allah swt. Seseorang tidak mungkin mampu bertaubat serta melewati tahapan-tahapan tersebut jika tidak didahului dengan mengendalikan hawa nafsu. Dengan mengendalikan nafsu, akan memunculkan kesadaran bahwa manusia diciptakan agar beribadah dan bertakwa kepada Allah swt. serta tidak membangkang kepada-Nya. Nafsu tidak dapat dihilangkan melainkan hanya dapat dikendalikan, yaitu dengan mengendalikan nafs amārah menjadi nafs amāmah, yang kemudian� menjadi� nafs� muṭmainnah.� Ketika telah� mencapai� nafs� muṭmainnah, segala hal yang dilakukan bukan mengikuti hawa nafsu melainkan mengikuti syariat atau wahyu (tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok. Wawancara dengan Syekh Hilmi, 2018).

Di dalam tahapan-tahapan tersebut seorang sālik akan menuju ke sebuah kondisi atau aḥwāl. Jika telah memasuki aḥwāl, semua istilah-istilah tersebut melebur dan saling berkaitan satu sama lainnya. Penamaan-penamaan itu hanya digunakan agar mudah untuk dipelajari melalui panca indera. Syekh Hilmi menambahkan bahwa maqāmat seorang sālik di dalam menuju Allah swt. berbeda-beda, tergantung pengalaman spiritual yang di dalami sehingga memunculkan beberapa versi maqāmat. Akan tetapi, di dalam menuju Allah pasti melalui pembersihan jiwa terlebih dahulu dengan bertaubat (tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok Wawancara dengan Syekh Hilmi, 2018).

Syekh Hilmi juga mengajarkan zuhud kepada ikhwān tarekatnya. Menurut Syekh Hilmi, zuhud yakni menghilangkan kecintaan terhapat dunia di dalam hati sehingga tidak melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kehidupan akhirat. Zuhud itu terdapat di dalam hati. Akan tetapi, di dalam proses untuk mampu zuhud terdapat para sālik yang mengawali zuhud secara lahir, di mulai dengan berusaha hidup sederhana dan menyederhanakan dirinya, menjauhkan diri dari keramaian, sampai memakai pakaian compang-camping, bertambal, atau kasar yang terbuat dari wol, seperti yang dilakukan oleh darwisy di Sudan. Banyak di antara mereka yang memakai pakaian compang-camping dan bertambal. Semua cara yang dilakukan para sālik itu bertujuaan agar mereka tidak merasa nyaman dengan segala sesuatu yang ada di dunia sehingga para sālik cenderung ke akhirat, dengan berbuat baik kepada Allah swt. maupun manusia dengann sebaik-baiknya.Namun, Hal ini berbeda dengan ikhwān Tarekat Qadiriyah Arakinyah di Pesantren Al-Hikam Depok khususnya dan di Indonesia umumnya, yangmengenakan pakaian yang layak. Di Indonesia, para ikhwān Tarekat Qadiriyah Arakinyah melatih diri untuk berzuhud melalui hati. Hal ini bertujuan agar Tarekat Qadiriyah Arakiyah tidak menimbulkan stereotip yang buruk sehingga tarekat ini diterima oleh masyarakat Indonesia. Dengan mengajarkan sikap zuhud, bukan berarti Syekh Hilmi menghalangi ikhwān tarekatnya untuk kaya harta. Syekh Hilmi membolehkan ikhwān tarekatnya hidup dengan bergelimangan harta. Akan tetapi, dia menganjurkan agar hartanya digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat di kehidupan akhirat (tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok. Wawancara dengan Syekh Hilmi, 2018).

Syekh Hilmi juga menganjurkan ikhwān tarekatnya untuk bekerja. Akan tetapi, dengan syarat bahwa pekerjaan itu tidak menyebabkan mereka meninggalkan beribadah. Kehidupan dunia adalah ladang untuk kehidupan akhirat. Manusia tidak akan mencapai kebahagiaan di akhirat tanpa melalui kehidupan di dunia. Maka dari itu, segala aktivitas di dunia hendaknya diniatkan untuk beribadah. Meskipun segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia telah ditentukan oleh Allah swt., manusia wajib berusaha. Di samping itu, meskipun manusia dianjurkan untuk bertawakal terhadap ketentuan Allah swt., hal itu tidak berarti manusia tidak berbuat maupun berusaha apapun. Tawakal adalah menyerahkan hasil kepada Allah swt. dari usaha yang telah dilakukan. Bahwa di setiap usaha yang telah dilakukan terdapat campur tangan Allah swt. Takdir Allah swt. bentuknya abstrak. Oleh karena itu, sebagai manusia sebaiknya tetap berusaha untuk menuju takdir Allah swt. Ketika hasilnya baik, bersyukur. Sementara ketika hasilnya tidak baik, bersabar. Dengan demikian, kewajiban busaha dan takdir memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini disebabkan kewajiban berusaha adalah perintah Allah swt. sedangkan takdir adalah keputusan Allah swt. Meskipun usaha yang kita lakukan tidak dapat mempengaruhi keputusan Allah swt., kita wajib berusaha sebagai wujud kepasrahan terhadap takdir-Nya (tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok. Wawancara dengan Syekh Hilmi, 2018).

Oleh karena itu, Syekh Hilmi mengajarkan ikhwān tarekatnya agar bersyukur kepada Allah swt. atas segala nikmat di segala kondisi. Ungkapan syukur diwujudkan dengan menggunakan segala pemberian yang telah dianugerahkan oleh Allah swt. di jalan yang ridhai oleh-Nya, seperti lisan digunakan untuk mengucapkan hamdalah dan kata-kata yang baik, anggota badan digunakan untuk melakukan ibadah, dan harta benda digunakan untuk bersedekah. Nikmat Allah swt. dapat berupa nikmat atau musibah. Ketika mendapatkan nikmat berupa musibah, Syekh Hilmi mengajarkan ikhwān tarekatnya supaya ridhā dan menerima segala sesuatu yang telah menjadi ketentuan Allah swt. Jika seorang sālik telah mampu ridhā terhadap segala ketentuan- Nya, hati akan selalu merasa senang terhadap pemberian Allah swt. baik berupa nikmat maupun musibah serta mempercayai bahwa baik dan buruknya segala sesuatu adalah pemberian Allah swt. Selain itu, seorang sālik akan sampai pada tingkatan tertinggi yakni mahabbah, mencintai Allah swt. Mahabbah dapat dicapai ketika nafsu amārah telah berubah menjadi nafsu muṭmainnah (tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok. Wawancara dengan Syekh Hilmi, 2018).

Terdapat juga beberapa ajaran yang termuat di dalam ijazah irsyād Syekh Hilmi di dalam Tarekat Qadiriyah Arakiyah. Ajaran-ajaran tersebut merupakan perwujudan dari definisi ihsan yakni habl minallah dan habl minannās. Habl minallah adalah menjaga hubungan baik dengan Allah swt, dengan menekankan takwa kepada Allah, yakni menjalankan perintah dan meninggalkkan larangan-Nya. Adapun habl minannās adalah menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, baik dengan sesama ikhwān tarekat maupun dengan mursyidnya. Secara rinci, ajaran dan anjuran Tarekat Qadiriyah Arakiyah yang tertuang di dalam ijazah irsyād Syekh Hilmi adalah sebagai berikut.

a)    Anjuran

1)   Qiyāmullail (salat malam) pada pertengahan sepertiga malam, dengan alasan waktu ini adalah waktu yang paling utama, atau pada sepertiga malam terakhir sebanyak 11 rakaat atau 13 rakaat dengan witir.

2)   Melaksanakan salat sunah rawatib, yakni qabliyah zuhur empat rakaat dan ba�diyah empat rakaat, qabliyah asar empat rakaat, dan ba�diyah maghrib enam rakaat.

3)   Salat dhuha sedikitnya dua rakaat dan paling banyak delapan rakaat.

4)   Dianjurkan agar duduk setelah salat subuh sampai matahari terbit dan meninggi. Kemudian, dilanjutkan dengan salat dua rakaat.

5)   Membiasakan zikir sesuadah salat asar sampai matahari terbenam kecuali dalam keadaan darurat.

6)   Bersabar ketika terasa amat berat di dalam menjalankan ibadah.

7)   Menahan amarah.

8)   Berperilaku dengan akhlak terpuji.

b)   Ajaran

1)   Membantu orang-orang fakir dan miskin dengan nikmat yang telah Allah swt. berikan.

2)   Menghormati kedua orangtua dengan baik, semasa hidup dan sepeninggalnya, menghormati kerabat dan tetangga, tidak boleh tamak, meninggikan cita-cita, dan zuhud di dalam segala hal. Di antaranya adalah zuhud di dalam berpakaian, makanan, dan minuman.

3)   Murid tidak boleh melupakan mursyid. Murid harus selalu mengingat mursyid di pembukaan atau di awal doa-doanya dan di tempat munajatnya.

4)   Murid wajib mendoakan mursyid di dalam doa-doa di waktu mustajab. Sebab waktu mustajab adalah waktu yang tepat untuk berdoa dan meminta atau memohon kepada Allah swt.

5)   Bergantung pada pembagian Allah swt. agar mengetahui bahwa segala sesuatu ditentukan dari Allah swt.

6)   Membebaskan diri dari sikap riya�, sum�ah, ujub, hasad, menipu, dan mempergauli makhluk dengan nasehat. (ad-dīn nasīhah)

7)   Takut berdusta dan berkesaksian palsu.

8)   Menghabiskan seluruh waktunya dengan ketaatan kepada Allah swt. dan menyiapkan diri dengan ahwāl sālikīn, seperti zuhud dan wara.

9)   Memperbanyak diam.

10)  Bertawadhu kepada Allah swt. dan memperbaiki ketaatan.

11)  Menjadi seorang yang pemaaf terhadap orang-orang yang menjahati.

12)  Bersahabat dengan orang-orang yang baik dan benar

13)  Menyucikan batin dengan zuhud dan istighfar.

14)  Membiasakan diri berkomunikasi dengan syekh walaupun melalui sms atau whatsApp, meminta agar didoakan, dan memberikan hadiah kepadanya.

15)  Mengutamakan syekhnya di dalam hatinya setelah Allah swt.

16)  Menerangi dan menyinari hatinya dengan salawat kepada Rasulullah saw

 

 

 

Kesimpulan

Setelah penulis mengkaji mengenai Tarekat Qadiriyah Arakiyah di Pesantren Al- Hikam Depok, dapat disimpulkan beberapa hal. Tarekat Qadiriyah Arakiyah merupakan tarekat baru di Indonesia, sehingga belum dikenal oleh masyarakat Indonesia secara luas. TarekatQadiriyah Arakiyah merupakan cabang dari Tarekat Qadiriyah di Sudan. Tarekat ini disebarkan melalui Pesantren Al-Hikam Depok oleh Syekh Hilmi, sehingga Pesantren Al-Hikam Depok adalah salah satu tempat pengamalan bagian dari Tarekat Qadiriyah Arakiyah sehingga Pesantren Al-Hikam Depok ikut andil di dalam penyebaran Tarekat Qadiriyah Arakiyah di Indonesia.PersebaranTarekat Qadiriyah Arakiyah di Pesantren Al-Hikam Depok oleh Syekh Hilmi belum dilakukan secara masif, sehingga jumlah pengikutnya sedikit. Selain itu, tarekat ini belum berbentuk sebuah organisasi, seperti tarekat lain pada umumnya, dan masih berada pada tahap pengenalan sehingga belum memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekitar di bidang ekonomi maupun sosial.

Masuknya Tarekat Qadiriyah Arakiyah dari Sudan ke Indonesia menyebabkan adanya transmisi ilmu tarekat dari Sudan ke Indonesia. Banyak dari pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Sudan. Setelah selesai, mereka membawa ilmu yang diperoleh dari Sudan dan menyebarkannya di Indonesia melalui profesi mereka masing-masing, seperti dosen, ulama, dan lain-lain. Kemudian, seperti halnya yang dilakukan oleh Syekh Hilmi, dia pergi ke Sudan untuk menuntut ilmu. Kemudian, di Sudan dia mempelajari ilmu tasawuf dan mengikuti sebuah tarekat. Setelah kembali ke Indonesia, dia menyebarkan ilmu tasawuf dan tarekat yang diperoleh olehnya selama di Sudan, yaitu sebuah metode zikir bernama metode jardalan, yang sebelumnya belum ada di Indonesia, sehingga menyebabkan adanya transmisi Ilmu dari Sudan ke Indonesia.

Tarekat Qadiriyah Arakiyah berbeda dengan Tarekat Qadiriyah maupun tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia. Perbedaan Tarekat Qadiriyah Arakiyah dengan Tarekat Qadiriyah di Indonesia terdapat pada sanad atau silsilah tarekat, cara berzikir, dan aurād tambahan setelah aurād asas. Pada sanad Tarekat Qadiriyah, Syekh Abdul Qadir al-Jilani menempati urutan ke-17. Sementara pada sanad Tarekat

Qadiriyah Arakiyah, Syekh Abdul Qadir al-Jilani menempati urutan ke-19. Kemudian, metode zikir yang digunakan Tarekat Qadiriyah di Indonesia menggunakan tasbih dengan menarik satu per satu butir tasbih sedangkan metode zikir yang digunakan Tarekat Qadiriyah Arakiyah menggunakan tasbih dengan satu kali tarikan dapat melewati duapuluh butir tasbih. Selanjutnya, aurād tambahan Tarekat Qadiriyah Arakiyah jelas berbeda dengan Tarekat Qadiriyah di Indonesia. Di samping terdapat perbedaan, terdapat juga persamaan antara Tarekat Qadiriyah di Indonesia dengan Tarekat Qadiriyah Arakiyah, yaitu baiat yang ditujukan untuk menjadi murid Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan ajaran yang sesuai dengan ajarannya. Perbedaan Tarekat Qadiriyah Arakiyah dengan Tarekat Naqsyabandiyah juga terdapat pada sanad atau silsilah tarekat, metode zikir, dan aurād tambahan setelah aurād asas.

 

 

BIBLIOGRAFI

Anwar, Abu. (2016). Karakteristik pendidikan Dan Unsur-unsur Kelembagaan di pesantren. POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, 2(2), 165�182.Google Scholar

 

Billahi, Savran, & Thaha, Idris. (2018). Bangkitnya Kelas Menengah Santri Modernisasi Pesantren di Indonesia. Prenada Media. Google Scholar

 

Dani, Asep Saeful. (2019). Penerapan konsep tasawuf dalam kegiatan agribisnis di tarekat sayuriah: Studi penelitian di Pondok Pesantren Al-Ittifaq Kampung Ciburial Desa Alamendah Kecamatan Rancabali. Uin Sunan Gunung Djati Bandung. Google Scholar

 

Khamidah, Nurul. (2018). Implementasi actuating dakwah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah al-Usmaniyah Pemalang. UIN Walisongo Semarang. Google Scholar

 

Lombard, Denys. (1984). Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Archipel, 28(1), 220. Google Scholar

 

Septiana, E. L. I. (2019). Peranan Gatot Mangkupraja Dalam Pembentukan Peta (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air) Pada Tahun 1943. Universitas Siliwangi. Google Scholar

 

Sugiarto, Eko. (2017). Menyusun proposal penelitian kualitatif: Skripsi dan tesis: Suaka media. Diandra Kreatif. Google Scholar

 

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta. Google Scholar

 

Tohir, Moenir Nahrowi. (2012). Menjelajahi Eksistensi Tasawuf: Meniti Jalan Menuju Tuhan. Jakarta: PT As-Salam Sejahtera. Google Scholar

 

Wawancara dengan Syekh Hilmi, tanggal 1 Maret 2017 di Pesantren Al-Hikam Depok. (2017). Wawancara dengan Syekh Hilmi, tanggal 1 Maret 2017 di Pesantren Al-Hikam Depok.

 

Wawancara dengan Syekh Hilmi, tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok. (2018). Wawancara dengan Syekh Hilmi, tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok.

 

Wawancara dengan Syekh Hilmi, tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok. (2018). Wawancara dengan Syekh Hilmi, tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok.

 

Wawancara dengan Syekh Muhammad Hilmi ssh-Shidiqi al-Araki, Khalīfah Tarekat Qadiriyah Arakiyah di Pesantren Al-Hikam Depok pada 1 Maret 2017, pukul 20. 3. WIB di Depok. (2017). Wawancara dengan Syekh Muhammad Hilmi ssh-Shidiqi al-Araki, Khalīfah Tarekat Qadiriyah Arakiyah di Pesantren Al-Hikam Depok pada 1 Maret 2017, pukul 20.30 WIB di Depok.

 

Wawancara dengan Syekh Hilmi, tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al Hikam Depok., & Indonesia, Universitas. (2018). Wawancara dengan Syekh Hilmi, tanggal 17 Mei 2018 di Pesantren Al-Hikam Depok. Universitas Indonesia.

 

 

Copyright holder:

Nur Istiqomah (2021)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under: