Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853� e-ISSN : 2684-883X�����

Vol. 2, No. 3 Maret 2020

 


PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (STUDI PADA PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA)

 

Sundawa Bachtiar

Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Tasikmalaya

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penyelenggaraan Pemerintahan Indonesia memasuki paradigma baru yang lebih terdesentralisasi ditandai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999� Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004.

 

Kata kunci: Pemerintah dan perimbangan keuangan

 

Pendahuluan

Indonesia sejak tahun 1998 memasuki era reformasi dengan perubahan pada segala bidang khususnya reformasi penyelenggaraan pemerintahan termasuk reformasi birokrasi, yaitu pemerintah dituntut untuk lebih transparan, akuntabel dan menciptakan ketatapemerintahan yang baik. Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan, seiring dengan harapan dan tuntutan masyarakat daerah dapat melaksanakan otonomi seluas-luasnya namun tetap dalam konteks bertanggung jawab dan pemerintah daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat, �tujuan otonomi adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat�(Suwaryo, 2012).

Sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, juga melahirkan kewenangan daerah untuk mengelola keuangan daerah sendiri yang implementasinya diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sehingga otonomi daerah telah ikut mempengaruhi perubahan paradigma pengelolaan keuangan daerah, yaitu pemerintah daerah mendapat keleluasaan mengelola dan menggali potensi daerah sekaligus diharuskan mengelola dana publik dengan tujuan melayani masyarakat yang bermuara kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga tidak terlalu tergantung pada pemerintahan pusat.

Pemerintah daerah diharapkan dapat mengelola dana publik secara baik dan juga patuh terhadap semua aturan serta mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah secara tepat waktu dan akuntabel. Transparansi penyelenggaraan pemerintahan sangat ditentukan dengan sistem pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan (Siti Farida, 2015).

Berikut ini beberapa laporan media massa yang menunjukkan dugaan masih rendahnya pengelolaan keuangan daerah di beberapa daerah, kenyataan tersebut secara gamblang bisa kita ketahui dari makin sedikitnya laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tahun ini jumlahnya hanya 8 (delapan) daerah dari 164 LKPD yang dilaporkan, padahal pada 2004 lalu jumlah laporan keuangan daerah yang mendapatkan opini terbaik berjumlah 21 buah, pada 2005 turun menjadi 17 daerah, bahkan sejak 2006 merosot tajam menjadi kurang dari 10 daerah. Semua itu menunjukkan dengan sangat terang benderang, betapa rendahnya kompetensi daerah dalam mengelola keuangan negara, padahal� jumlah dana yang digulirkan ke daerah terus meningkat. Dalam lima tahun terakhir, transfer dana APBN ke daerah meningkat lebih dari dua kali lipat, dari Rp 150,5 triliun pada 2005 menjadi Rp 309,8 triliun pada RAPBN 2010.

Ada kontradiksi antara peningkatan jumlah aliran dana ke daerah dan akuntabilitas penggunaan keuangan daerah yang dinilai terus merosot. APBN perubahan 2009 menetapkan, jumlah dana APBN Rp 1.005,7 triliun dan ada sekitar 60 persen diserahkan ke daerah. Di sisi lain, laporan keuangan pemerintah daerah yang mendapat opini dengan penilaian tidak wajar meningkat tajam dari 10 daerah (2004) menjadi 59 daerah (2007). Menteri Keuangan beberapa waktu lalu dengan merujuk laporan BPK mengemukakan semakin merosotnya akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Penjelasan menteri dan laporan itu menyatakan, pertama, ada 21 daerah yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian tahun 2004 dan merosot menjadi hanya 8 (delapan) daerah tahun 2008. Kedua, ada 249 daerah mendapatkan opini wajar dengan pengecualian tahun 2004 merosot menjadi 137 daerah (2008). Ketiga, ada 7 (tujuh) daerah tahun 2004 yang diberikan opini tidak memberikan pendapat menjadi 120 daerah (2008). Uraian tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama, ada kecenderungan kian merosotnya kemampuan daerah dalam mengelola keuangan. Kedua, ada 157 daerah yang pengelolaan keuangannya dinilai membahayakan dan 249 daerah potensial membahayakan karena dapat merugikan keuangan negara. Ketiga, ketidakmampuan mengelola keuangan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan yang dapat dikualifikasi sebagai korupsi. Keempat, potensi kerugian negara cenderung meningkat sesuai dengan kian memburuknya kualitas pengelolaan keuangan negara.

Terlambatnya pengesahan anggaran sering kali menghambat penyelesaian rencana kerja pada akhir tahun anggaran karena sebuah rencana kerja membutuhkan perencanaan yang matang dan mobilisasi sumber daya. Pada akhirnya, walaupun penganggaran yang berbasiskan kas lebih sederhana, seringkali ini berarti pengguna anggaran harus menunggu sampai uang kas tersedia untuk dapat melaksanakan pekerjaan mereka. Dana perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat seringkali terlambat pencairannya, akibatnya pekerjaan menjadi tertunda dan terpaksa dilakukan pemadatan kegiatan menjadi hanya beberapa bulan di akhir tahun. Bukti dari terjadinya jeda pendanaan ini tercermin dari adanya surplus kas yang dimiliki pemerintah daerah pada akhir tahun.

Selain itu sejumlah pelanggaran juga mencuat dalam pemeriksaan oleh BPK terhadap pengelolaan keuangan daerah. Bahkan dibeberapa daerah telah terindikasi adanya praktik korupsi dengan berbagai modus. Dari hasil pemeriksaan BPK bisa disimpulkan bahwa banyak daerah dalam pengelolaan keuangan daerahnya masih buruk karena tidak mematuhi aturan dan standar pelaporan keuangan. Masih banyak kasus pengeluaran uang yang belum ada anggarannya dalam APBD dan proses pengadaan barang atau tender. Hingga saat ini betapa sulitnya pemerintah daerah menyusun anggaran dengan baik, padahal perkembangan teknologi telematika telah menyajikan solusi yang berhubungan dengan hal itu (Nuryanto, 2007).

Dari fenomena yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan daerah seperti yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa beragamnya tantangan yang dihadapi pemerintah daerah selaku organisasi pelaksana kebijakan dalam reformasi anggaran dan keuangan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Selain berupa peraturan yang saling bertentangan yang dikeluarkan oleh departemen di tingkat nasional, kesulitan muncul dalam keseluruhan siklus keuangan pemerintah daerah, karena adanya ketidakjelasan dalam menginterpretasikan program. Mulai dari pengesahan anggaran sampai ke penyusunan laporan keuangan, yang disebabkan oleh kompleksitas peraturan, kurangnya sumber daya manusia, buruknya koordinasi dan tidak memadainya teknologi yang digunakan, sehingga pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah masih carut marut. Berdasarkan hasil pemeriksaan laporan keuangan daerah semester II-2008, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan, transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah masih rendah.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 166 temuan senilai Rp2,619 triliun pada laporan keuangan 7 (tujuh) pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2008. Kepala BPK Perwakilan Provinsi Jabar Gunawan Sidaruk, mengatakan berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan (LK) 7 (tujuh) pemerintah kabupaten/kota di Jabar, BPK menyatakan pendapat wajar dengan pengecualian (WDP) untuk 6 (enam) kabupaten/kota yaitu Kota Bandung, Kota Tasikmalaya, Kota Bekasi, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang dan 1 (satu) pendapat disclaimer (tidak memberikan pendapat) untuk Kabupaten Bandung Barat.

Dengan banyaknya kasus dan pelanggaran-pelanggaran dalam pengelolaan keuangan daerah yang terjadi di banyak daerah menunjukkan bahwa setiap daerah belum mampu melaksanakan pengelolaan keuangan daerah dengan efektif dan efisien. Berbagai upaya telah diusahakan setiap daerah untuk memperlancar kegiatan pengelolaan keuangan daerah, namun masih banyak kendala-kendala yang perlu terus menerus diatasi, agar pengelolaan keuangan daerah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Karena menurut pengamatan, dalam pengelolaan keuangan daerah dirasakan oleh masyarakat masih banyak memiliki kelemahan yang diduga dapat menciptakan berbagai peluang penyimpangan seperti adanya praktik korupsi dengan berbagai modus.

Metode Penelitian

Penelitian� ini� merupakan� studi� kasus,� sebagaimana� yang� diungkapkan� oleh (Mulyana, 2002) yaitu�� �Studi�� kasus�� merupakan�� uraian�� dan�� penjelasan komprehensif� mengenai� berbagai� aspek� seorang� individu,� suatu� kelompok,� suatu organisasi� (komunitas),� suatu� program� atau� suatu� situasi� sosial�. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan wawancara, studi literatur dan observasi lapangan.

 

Hasil dan Pembahasan

Kota Tasikmalaya sebagai salah satu daerah otonom juga telah melaksanakan kegiatan pengelolaan keuangan daerah, namun dalam pelaksanaannya ditemukan berbagai permasalahan, berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan dari segi perencanaan Pemerintah Kota Tasikmalaya melakukan penyusunan APBD memiliki mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat melalui kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Partisipatif /MP3 atau Musrenbang tetapi pada pelaksaannya belum optimal karena kegiatan yang diakomodir dari MP3 tersebut hanya memprioritaskan kegiatan yang bersifat fisik sedangkan yang non fisik� sangat kecil yang diakomodir. Selain itu, apa yang diusulkan tidak selalu padu padan dengan grand design� ataupun visi misi Pemerintah Kota Tasikmalaya yang menjadi prioritas utama. Di sisi lain terjadi pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas dan kurang mencerminkan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, karena kualitas perencanaan anggaran daerah relatif lemah. Lemahnya perencanaan anggaran juga diikuti dengan ketidakmampuan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan. Sementara itu pengeluaran daerah terus meningkat, sehingga hal tersebut meningkatkan fiscal gap. Keadaan ini pada akhirnya akan menimbulkan underfinancing atau overfinancing yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat ekonomi, efisiensi dan efektivitas Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Selanjutnya permasalahan yang terjadi dalam kegiatan perencanaan APBD setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah mengusulkan anggaran sebesar-besarnya, namun kurang memperhatikan kemampuan anggaran Pemerintah Kota Tasikmalaya serta kurang memperhatikan keluaran/output, keuntungan/ outcome dan dampak / benefit dari kegiatan yang diusulkan. Dan dapat terlihat dalam struktur APBD Kota Tasikmalaya tahun anggaran 2009-2010 yang memiliki PAD sekitar kurang lebih 90 miliar, sebagian besar dialokasikan untuk belanja pegawai yang mencapai 56 miliar.�

Beberapa permasalahan juga terjadi dalam kegiatan pelaksanaan, banyak kegiatan yang direalisasikan dengan tidak memperhatikan anggaran kas dalam artian pencairan anggaran lebih banyak direalisasikan di akhir tahun anggaran. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) pada Pemerintah Kota Tasikmalaya dijabat oleh Kepala Bagian Keuangan Setda (Eselon III a), walaupun tidak bertentangan dengan peraturan namun dalam sistem pengelolaan keuangan daerah PPKD membawahi para Pengguna Anggaran (PA) yaitu� pimpinan OPD yang� di dalamnya termasuk Kepala Dinas dan� Kepala Bappeda� yang jabatan eselonnya lebih tinggi (Eselon II b). Sehingga PPKD akan sulit secara tegas dan objektif dalam mengkoordinasikan PA di dalam pengelolaan keuangan daerah. Dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan pelaksanaan APBD terdapat kesenjangan antara harapan (das Sein) dengan kenyataan (das Sollen). Harapannya seluruh kegiatan yang direncanakan seharusnya dapat dilaksanakan dengan efisien dan efektif, namun kenyataan yang terjadi masih tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Dari sisi kegiatan penatausahaan, yaitu berkaitan dengan keterbatasan kemampuan SDM, dimana tingkat pemahaman pegawai yang terlibat dalam pengelolaan keuangan belum memadai dikarenakan peraturan perundang-undangan mengenai keuangan daerah yang selalu berubah dan ketidakseuaian latar belakang pendidikan dengan jabatan yang diembannya dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Selain itu, sering terjadi rotasi atau mutasi pegawai, dimana pegawai yang sudah paham dan menguasai permasalahan pengelolaan keuangan di suatu instansi dipindahkan dan diganti dengan pegawai yang baru yang harus menyesuaikan diri lagi. Keterbatasan kemampuan SDM ini sangat terlihat pada kantor kelurahan yang pemahaman dalam pengelolaan keuangan sangat terbatas penyebabnya selain latar belakang pendidikan yang kurang memadai juga aparatur Kelurahan belum memiliki pengalaman yang cukup dimana Kantor Kelurahan baru dipercaya mengelola anggaran sendiri pada Tahun Anggaran 2008 dan Pengguna Anggarannya masih oleh Kecamatan (belum menjadi Kuasa Pengguna Anggaran). Dan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah pegawai diharuskan memenuhi standar tertentu, diantaranya adalah Pejabat Pengadaan Barang/Jasa harus memiliki sertifikasi ahli� pengadaan barang/jasa pemerintah. Pada lingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya pegawai yang bersertifikasi tersebut hanya berjumlah 22 orang pada tahun 2009 dan 14 orang pada tahun 2010. Adanya keterbatasan kemampuan pegawai atau tidak memenuhi standar yang melakukan pengelolaan keuangan daerah di Kota Tasikmalaya tersebut menyebabkan belum dilakukannya penatausahaan dan akuntansi keuangan daerah yang sesuai dengan aturan atau standar pada setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Dalam penyusunan laporan keuangan baik Laporan Capaian Kinerja dan Ikhtisar Realisasi Kinerja SKPD; Laporan Semesteran; dan Laporan Keuangan Akhir Tahun terlambat diselesaikan. Begitu pula Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus kas, dan Catatan atas laporan keuangan yang terlambat diselesaikan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah. Keterlambatan penyampaian GU nihil dari Satuan Kerja Perangkat Daerah kepada Bagian Keuangan sering tidak sesuai dengan jadual yang ditentukan, hal ini menyebabkan keterlambatan Pemerintah Kota Tasikmalaya menyampaikan laporan keuangannya. Kurangnya pemanfaatan Teknologi Informasi dalam pengelolaan keuangan daerah dimana dari mulai perencanaan berupa pelaksanaan asistensi RKA � DPA dilakukan secara manual tidak menggunakan komputerisasi yang terintegral.

Pengelolaan keuangan daerah harus transparansi yang mulai dari proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan anggaran daerah. Selain itu, Akuntabilitas dalam pertanggungjawaban publik juga diperlukan, dalam artii  bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan  masyarakat. Kemudian, Value for money yang berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas.

Masing-masing prinsip pengukuran pengelolaan keuangan daerah tersebut didefinisikan sebagai berikut; economy merupakan perolehan sumber daya pada kuantitas yang dibutuhkan dengan harga yang lebih murah; efficiency merupakan output yang maksimun dengan sejumlah input tertentu atau input yang minimal untuk mendapatkan output yang dibutuhkan. efisiensi merupakan perbandingan output dan input berhubungan dengan tercapainya output maksimum dengan sejumlah input (Susantun, 2000); sedangkan effectiveness merupakan tugas yang telah tercapai.

�� Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka akan menghasilkan  pengelolaan keuangan daerah (yang tertuang dalam APBD)  yang benar-benar mencerminkan  kepentingan  dan pengharapan masyarakat daerah setempat secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga nantinya akan melahirkan kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.

Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa: kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip uang mengikuti fungsi.

Di dalam Undang-Undang yang mengatur Keuangan Negara, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa Kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaannya, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah. Dengan demikian pengaturan pengeloslaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah.

Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama. Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan ksssssepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.

Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah. Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

 

Kesimpulan

Kota Tasikmalaya adalah salah satu daerah� otonom yang telah melaksanakan kegiatan pengelolaan keuangan daerah. Disisi lain terjadi pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas dan kurang mencerminkan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, karena kualitas perencanaan anggaran daerah relatif lemah. Namun berbagai permasalahan muncul mulai dari kegiatan perencanaan� hingga pelaksanaan.

 

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Mulyana, Deddy. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

 

Nuryanto, Hemat Dwi. (2007). Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah.

 

Siti Farida, Ai. (2015). Akuntabilitas Pelaporan Keuangan Daerah.

 

Susantun, Indah. (2000). Fungsi keuntungan Cobb-Douglas dalam pendugaan efisiensi ekonomi relatif. Economic Journal of Emerging Markets, 5(2), 149�161.

 

Suwaryo, M. (2012). Kajian Implikasi Hutang Pada Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Purbalingga.