�� Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853 �e-ISSN : 2684-883X
���� ��������Vol. 1, No. 2 Juni 2019
KONSEP
PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ISMAIL RAJI AL-FARUQI
Muhamad Ihsan Hasanudin
Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI) PERSIS Bandung
Email: [email protected]
Abstrak
Dualisme, atau yang disebut juga dengan
dikotomisme dalam pendidikan Islam adalah kondisi paradoksal yang terjadi dalam
pendidikan yang berakhir pada pemisahan subjek kajian yang Islami, dan yang
tidak Islami terhadap disiplin keilmuan dalam pendidikan. Kenyataan dikotomi
dalam pendidikan Islam tidak lebih merupakan akibat distorsi dari konsep
pendidikan luar (Barat) yang dianggap bukan berasal dari konsep Islam. Penelitian
ini mengkaji konsep pendidikan Islam dalam perspektif Ismail Raji� al-Faruqi.
Studi ini berfokus pada : 1) bagaimana fitrah sebagai makluk serta dampaknya pada pendidikan
Islam; 2) bagaimana dasar dan tujuan pendidikan Islam; 3) bagaimana isi/materi
pendidikan Islam; 4) bagaimana lembaga pendidikan Islam. Penelitian
ini menggunakan cara pandang teoritik, bahwa konsep pendidikan Islam yang
diusahakan adalah ingin meninggalkan metode asal tiru dari Barat yang
melahirkan sekularisme yang membahayakan itu, kemudian menggantikannya dengan
konsep pendidikan baru yang mereka wujudkan dalam reformasi pendidikan Islam
dalam satu wacana Islamisasi pengetahuan. Dalam hal ini, menurut usulan
al-Faruqi, semua disiplin ilmu modern diberikan tujuan-tujuan dan visi baru
yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus ditempa kembali sehingga
memberikan relevansi Islam sepanjang sumbu Tauhid. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kepustakaan melalui metode dokumenter untuk mengumpulkan data
penelitian. Data�data yang telah terkumpul tersebut kemudian
dianalisis dengan� menggunakan metode analisis isi. Berdasarkan
hasil pembahasan, 1) bahwa teori ilmu
pendidikan Islam mesti disandarkan pada konsep dasar mengenai Fitrah manusia. pembicaraan yang berkaitan dengan hal
ini dirasa sangat mendasar dan perlu dijadikan pijakan dalam melakukan
aktivitas pendidikan; 2) al-Faruqi meletakan tauhid sebagai dasar pendidikan,
dan pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia dapat melaksanakan tugasnya
sebagai khalifah, dan menjadika Tuhan sebagai tujuan akhir pendidikan Islam; 3)
al-Faruqi menawarkan tiga prinsip isi/materi pendidikan Islam, yaitu : khazanah
modern, khazanah Islam klasik, dan integrasi isi kurikulum pendidikan Islam; 4)
menurut al-Faruqi lembaga pendidikan terbagi menjadi dua, yaitu ; lembaga
formal dan lembaga informal. Konsep pendidikan yang
ditawarkan oleh al-Faruqi berifat humanisme-teosentris. Karena konsep
pendidikan tersebut dijiwai oleh norma-norma Ilahiyah dan nilai-nilai
fundamental universal yang merupakan kebutuhan makluk yang selaras dengan
fitrahnya.
Kata kunci: Dualisme, sekularisme, Kenyataan dikotomi
Pendahuluan
Dalam
konteks perjalanan umat Islam, sejak pertama kali agama Islam disampaikan oleh
Nabi Muhammad saw �kepada umat manusia, Islam adalah agama yang menitik beratkan
pada seberapa pentingnya ilmu pengetahuan, baik �itu
teoritis� atau aplikatif. Secara normatif, Al-Quran dan hadis tidak �sekedar memerintahkan urgensi pencarian ilmu
pengetahuan sebagai salah satu cara untuk memperoleh� prestasi di kehidupan dunia dan akherat, namun
pula memberikan apresiasi dan reward yang luhur pada �orang-orang yang mengamalkan ilmu
pengetahuannya untuk kemaslahatan manusia. Pesan moral keagamaan ini nampak
dengan jelas pada surat pertama Al-Quran yang diberikan �kepada utusan Allah Nabi Muhammad saw. yang
memerintahkan kepada manusia untuk mencari ilmu seluas mungkin dengan salah
satu caranya yakni membaca. Mudahnya� umat muslim telah
mengaplikasikan perintah iqra� �dengan konteksnya pendidikan Islam dari zaman �Rasulullah saw hingga saat ini.
Namun faktanya pendidikan Islam senantiasa melalui proses naik turun. Teori
perkembangan sejarah
yang mengatakan� hubungan antara masa lalu, sekarang, dan akan datang mempunyai �siklus yang saling berkaitan. Julian
Marias mengungkapkan
bahwasanya
saat ini memiliki pengaruh factor unsur masa lalu, termasuk di dalamnya masa depan. Unsur-unsur saat ini mempengaruhi
perjalanan arah masa depan. Ibn Khaldun menyatakan �mengenai teori perkembangan sejarah yang
berdasar pada hasil pengamatannya pada kekuasaan raja-raja Arab seiring dengan
perkembangan manusia yang melewati masa kelahiran, pertumbuhan, dan kematian.
Arnold Toynbee mengatakan
setiap peradaban akan melewati masa pertumbuhan (rise), puncak
kejayaan (peak), dan kemunduran (decline).
Oleh karena itu, maka penulis menganggat
Judul � Konsep Pendidikan Islam Menurut Isma�il Raji al-Faruqi�. Melalui kajian
ini diharapkan menjadi bahan evaluasi bagi pengembangan pendidikan Islam
menghadapi supremasi ilmu pengetahuan Barat.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode kepustakaan (Library
Research). Yang mana penelitian berdasarkan data kepustakaan yang telah
dilakukan sebeumnya� dan tidak
menggunakan uji empirik. Jadi, dalam studi pustaka ini ialah analisis �teks secara keseluruhan substansinya diolah
secara filosofis dan teoritis.
Oleh karena itu penelitian ini secara
keselutuhan berpacu pada kajian pustaka atau literatur yang ada, dan pendekatan
yang digunakan ialah penelitian kepustakaan (Library Research), penelitian ini secara khusus bertujuan untuk
mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan bermacam�macam material yang
terdapat dalam ruang perpustakaan, majalah sejarah serta kisah�kisah (
Mardialis: 1995).
Hasil dan Pembahasan
A.
Biografi
Ismail Raji al-Faruqi
1.
Riwayat Hidup Ismail Raji� al-Faruqi
Isma'il Raji' al-Faruqi dilahirkan di Jaffa,
Palestina, pada tahun 1921, tepatnya tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya adalah
Abdul Huda al-Faruqi, seorang qadi terpandang
di Palestina. Perjalanan intelektual atau pengalaman awal pendidikannya dimulai
dengan belajar di College Des Freres (St. Joseph) sejak tahun 1926 sampai mendapatkan sertifikat pada tahun
1936. Pada tahun 1941, al-Faruqi melanjutkan studinya di American University of
Beirut, dengan fokus studi kajian filsafat hingga memperoleh title �sarjana muda. Dengan gelar B.A (Bachelor of Art) yang sudah
dipegangnya, beliau sempat menjadi karyawan negara Palestina di bawah mandat
Inggris. Jabatannya �sebagai pegawai
negeri dilalui empat tahun lamanya, untuk kemudian ia diangkat sebagai Gubernur
Galilea. Posisi sebagai Gubernur ini ternyata merupakan jabatan gubernur
terakhir dalam sejarah pemerintahan negara Palestina pada waktu itu, karena
sejak tahun 1947, provinsi yang pernah dipimpin al-Faruqi, harus jatuh ke
tangan kekuasaan Israel. Hal ini yang menyebabkan al-Faruqi harus Hijrah dan
pindah ke Amerika serikat pada tahun 1948. (Lois: 1997)
Ketika melaksanakan studi di Harvard inilah, seperti yang
dituturkan Lamya, al-Faruqi mengalami problem finansial. Dengan modal uang
sebesar US $ 1000,-, yang diterimanya dari American
Council of Learned Sociefy, sebagai upah menterjemahkan dua buah buku
berbahasa Arab, al- Faruqi kemudian memulai bisnis konstruksi. Namun kesempatan
itu nampaknya tidak terlalu menarik perhatian dan minat seorang al-Faruqi.
Karir akademik Al-Faruqi sempat pula menjadi salah satu tenaga penngajar dalam acara pengkajian
islam di Universitas Syracuse, New York. Lima tahun
kemudian, yakni tahun 1968, al-Faruqi pindah ke Temple University,
Philadelphia. Dalam
lembaga ini beliau menjabat sebagai Profesor agama dan pada saat itu pula ia membangung sebuah lembaga pusat pengkajian Islam. Selain berprofesi sebagai guru besar di Universitas Temple, beliau pula diamanahkakn untuk menjadi
seoarang guru besar jurusan ke-Islaman di Central
Institute of Islamic research, Karachi. ( Lamya
al-Faruqi:
1997)
Sebelum wafatnya al-Faruqi masih tercatat sebagai dosen luar biasa
di berbagai perguruan tingi, sperti Mindanao State University, Miriawi City,
Philipina; dan universitas di Qorn, Iran. Al-Faruqi juga dikenang sebagai perancang�� kurikulum
di� The American college, Chicago, yang mana beliau bertindak sebagai perancang utama kurikulum tersebut. (Ismail Raji�
al-Faruqi: 1995). Hinga saat ini kematian beliau masih membuat misteri dunia, karena
tidak ditemukannya pembunuh dan bahkan apa yang menjadi motif pembunuhan yang
menewaskan keluarga Al-Faruqi ini belumterungkap.
Karya-karya Intelektual Al-Faruqi sempat menulis kurang lebih
seratus artikel dan dua puluh lima buku. Di antara buku-buku yang pernah
ditulisnya, seperti Christian Ethics; An Historical Atlas of the Religions of the
World; Trialogue of Abrahamic Faiths; The Cultural
Atlas of Islam yang dikarang bersama istrinya, Lamya� Al-Faruqi, dan
terbit beberapa saat setelah mereka wafat; Atlas of Islamic Culture and
Civilization; Islam and Culture, Islamization of Knowledge, Al-Tawhid: Its
Implications for Thought and Life, The Essence of Religious Experience in
Islam, Sistematic and Historical Analysis of its Domonan Idea, Essays in Islam
and Comparative Studies. (
Muhammaf Shafiq:
2000) terdapat beberapa judul buku yang digunakan dalam penelitian
ini. Khusus untuk karyanya yang berjudul The
Culture Atlas of Islam Merupakan bukunya yang terakhir, diterbitkan oleh
McMillan Company, tiak lama setelah al-Faruqi meninggal.
Karya penting lainya yang dihasilkan al-Faruqi dan mungkin yang
paling banyak menimbulkan tanggapan dan respon adalah bukunya yang berjudul lslamization of Knowledge: General Principles
and Workplan.
Karya al-Faruqi yang berjudul al-Tauhid: Its for Thought and
Life ini memuat tiga belas chapter, yang terasa sangat mencerahkan,
karena di dalamnya al-Faruqi telah berupaya menunjukan eksistensi nilai tauhid
sebagai pilar pengalaman agama dan juga pilar pandangan dunia. (Ismail Raji
al-Faruqi:
1995)
2.
Metodelogi
Al-Faruqi
Untuk memahami wawasan pemikiran seorang tokoh pemikir, termasuk
al-Faruqi, tidak mungkin apabila mengabaikan kehidupan perencsnssn sosial dan kondisi
budaya seorang tokoh tersebut berkecimpung, serta mengapresiasikan
gagasan-gagasannya. Ini dimungkinkan karena pemikiran seorang tokoh tidak
muncul begitu saja, melainkan selalu berkaitan dan berhubungan dengan
factor-faktor luar tertentu yang mempengaruhinya.
B.
Konsep
Pendidikan Islam Menurut Ismail Raji� Al-Faruqi
1.
Fitrah
Manusia dan dampaknya pada
Pendidikan
Menurut
al-Faruqi, fitrah adalah potensi manusia untuk beragama (Tauhid). Kesadaran
dan eksistensi adanya Tuhan pasti dimiliki oleh setiap manusia, yang menjadi
bagian pokok dalam perjalanan keagmaannyadalam diri manusia adda ditemukan
keimanan dan keyakina serta nilai-nilai kebenaran akan Tuhan.
Namun
dalam konteks ini Tauhid tidak hanya menegaskan secara verbal bahwasannya �Tidak
ada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya.� Lebih dari itu, makna
tauhid mengajarkan kepada manusia akan eksistensi manusia yang sebenarnya. Dengan
menjadi �khalifatullah fi al-ardli manusia
akan menunjukan esistensi yang sebenarnya dan akan mampu menjalankan tugasnya .
(Ismail Raji al-Faruqi: 1995)
2.
Dasar
dan Tujuan Pendidikan Islam
Sangat banyak
gagasan dan pemikiran yang telah dikemukakakn oleh Al-Faruqi khusnya yang
berkaitan dengan permasalah yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. �Gagasan yang di
kemukakan oleh beliau saling berkaitan antar satu dnganyang lainya semua
berpacu pada permasalahan Tauhid. Lebih dari
itu, makna tauhid salah satunya mengajarkan kepada manusia akan eksistensi
manusia yang sebenarnya. Manusia menunjukkan eksistensi sebenarnya jika mampu
menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah fi al-ardli. (Ismail Raji
al-Faruqi: 1995).
Pendidikan
Islam bertujuan mengarahkan manusia untuk menjadi �abd Allah dan khalifatu
Allah, sebagai wakil �Allah
�di
�bumi� dan
�pemimpin �atas
�manusia lain.196 Agar bisa memenuhi
kodrat ini, maka manusia harus mengembangkan aspek-aspek pokoknya sehingga tugasnya sebagai
�abd Allah dan khalifatu Allah
dapat terlaksana. Al Faruqi mendorong umat Muslim untuk memainkan peranan
yang sudah ditakdirkan Allah kepadanya, yakni sebagai pemimpin dunia yang
bertanggung jawab.
3.
Isi/Materi
Kurikulum Pendidikan Islam
Pemikiran al-Faruqi mengenai Isi/ Materi kurikulum pendidikan
Islam akan dilihat dalam konteks tawaran pemikiran mendasar, yang lebih
bersifat filosofis, sebagai upaya menata sebuah paradigma pendidikan Islam yang
dicakup pada lima tujuan kerja Islamisasi pengetahuan yang digagas al-Faruqi.
Berdasarkan pemikiran tersebut, setidaknya ada beberapa prinsip pengembangan
yang perlu dicermati dalam menata Isi/ Materi kurikulum Islam. Pertama,
menguasai sains modern. kedua, menguasai warisan Islam. Ketiga,memiliki
konsep persatuan yang mencakup kajian dalam kurikulum secara menyeluruh.
a.
Prinsip
Penguasaan Khazanah Modern
Dalam hubungan ini,
al-Faruqi mengatakan bahwa disiplin ilmu saat ini di Barat dengan tingkat
kemajuannya� itu bibagi menjadi beberapa
kategori, prinsip, metodelogi, permasalahan serta tema. Penguaraian tersebut
harus mencerminkan �(Ismail Raji al-Faruqi : 1995) �daftar isi� dalam
sebuah buku pelajaran bidang metodelogi kajian ilmu tersebut harus difahaaami
penuh oleh seorang mahasiswa tingkat sarjana.
Dalam terminologi yang
kongkrit, tulis al-Faruqi, Islamisasi pengetahuan adalah to Islamize the
diciplines atau menghasilkan buku-buku teks tingkat perguruan tinggi.
Al-Faruqi mengingatkan para sarjana muslim, bahwa mereka harus menyadari telah
banyak terjadi pertentangan dalam ilmu modern dengan apa yang menjadi visi
nilai keislaman, sehingga semua warisan ilmu pengetahuan umat manusia harus
dikaji dari sudut pandangan Islam ( Al-Faruqi: ) Perancangan Isi/Materi kurikulum
Pendidikan muslim dengan mengakomodasi prinsip-prinsip modern dalam perspektif
Islam, tegas al-Faruqi, adalah tugas yang paling mulia dari semua tugas dan
merupakan pengejewantahan kehendak Tuhan yang paling tinggi.
b.
Khazanah
Islam Klasik
Didalam karya monumental al-Faruqi yakni The Cultural Atlas of
Islam, agaknya kita akan diingatkan oleh bentuk klasifikasi ilmu yang
pernah dibuat
oleh orang-orang filosifis mulim di masa lalu. Betapa
tidak, didalam buku ini al-Faruqi sepertinya ingin memberikan semacam arah
untuk melacak beberapa khazanah Islam masa lalu yang pernah unggul untuk
kemudian diakses kembali oleh kalangan muslim dalam bentuk formulasi isi
kurikulum dalam pelaksanaan pendidikan muslim. Bahkan hampir terkesan
emosional, dalam memandang urgensitas kebudayaan masa lampau ini, al-Faruqi
memandang perlu untuk mengatakan bahwa �satu-satunya obat penangkal melawan
proses pada de-Islamisasi ini, maka di tingkat universitas adalah suatu
kewajiban mempelajari kebudayaan Islam selama empat tahun�.( Ismail Raji al-Faruqi: 1995).
Kebudayaan Islam dimaksud al-Faruqi adalah seluruh kahazanah
intelektual dan budaya Islam yang mencakup kajian al-Qur�an, as-Sunnah,hukum serta undang-undang, ilmu Kalam
(Ilmu Ketuhanan) hellenistik, falsafah, tasawuf, epistimologi, institusi Islam, kesenian, metafisika,� aksiologi dan etika, termasuk juga aspek seni
dan estetika Islam. (Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi : 2000)
Terhadap khazanah Islam itu al-Faruqi selanjutnya mengomentari bahwa analisis
sumbangan khazanah ilmiah Islam itu tentu saja tidakat dilakukan dengan cara
yang sembarangan. �Perlu dibuat urut prioritas dan para ilmuawan muslim sangat dianjurkan untuk mengikuti prosesnya dengat
tepat. Di atas segalanya, prinsip-prinsip pokok, masalah-masalah pokok
dan tema-tema abadi seperti tajuk-tajuk yang memiliki
kemungkinan relevansi pada probkematika saat ini mesti menjadi titik focus peneliian dan edukasi
dalam Islam. (
Ismail Raji al-Faruqi: 1995).
Al-Faruqi juga menetapkan kajian atas al-Qur�an dan Sunnah sebagai
subject matter primer yang penting diperhatikan. Al-Qur�an kata
al-Faruqi adalah untuk menyediakan kesinambungan dan identitas. Secara lebih
terperinci al-Faruqi sekurang-kurangnya mengemukakan empat kandungan qur�ani
yang terdapat dari pengkajian al-Qur�an. Nuansa qur�ani dari khazanah suci
Islam itu mampu mengilhami konsep pengembangan kemanusiaan melalui perumusanya
dalam bentuk konsep pendidikan yang jelas. Paradigma pendidikan Islam inilah
yang selanjutnya harus dapat dicermati oleh kaum muslim dalam pola pengajaran
Islam di komunitas muslim.
c.
Isi/Materi
Kurikulum Integral
Dari uraian sebelumnya dapat dilihat benang merah pemikiran
al-Faruqi untuk membangun sebuah konsep keilmuwan Islam integral, terpadu dan
saling melengkapi antara disiplin keIslaman dengan disiplin modern.
Khazanah Barat, bagi al-Faruqi, tidak seluruhnya buruk sehingga
harus dibuang semuanya. Dan sebaliknya khazanah Islam tidak semua menawarkan
sebuah paradigma yang utuh. Dengan demikian, kata al-Faruqi kaum muslim harus
segera membuat sebuah konsep baru yang merupakan sebuah sintesa antara kedua khazanah
itu (Barat dan Islam).
Prinsip kesatuan Tuhan al-Faruqi pada saat membuat ide mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan, filosofisnya adalah salah satu metode
untuk mengikatkan sains ke dalam nuansa Islami. Upaya pengembangan
wacana Islamisasi ini, bukan hanya terbatas pada lapangan social sience
tetapi pada semua lapangan sains, seperti teknik, nutrisi, hidrologi,
embriologi, teknologi, matematika, dan seterusnya (M.A.K.
Lodhi:
1987) Disinilah, agaknya posisi urgen Islamisasi sains yang berupaya
menghubungkan kedua dimensi kajian, dengan jalan memberikan landasan dan warna
Islami kepada sains, yakni memberikan pondasi falsafi dan sikap Islami kepada
sains dan mengembangkan sikap para ilmuan untuk setuju bahwa dalam sumber utama
keIslaman terkandung asas-asas ilmiah yang patut menjadi sorotan pedoman dan
rujukan.( Hasna Djumhana Bastaman: 1992).
4.
Lembaga
Pendidikan
Menurut
al-Faruqi, Lembaga pendidikan Islam ada dua yaitu lembaga formal, dari sekolah
dasar sampai ke universitas. lembaga Formal, adalah menyatukan dua sistem
pendidikan, yaitu
antara �pendidikan Islam (agama)
dan sekuler (umum). Maksudnya
membuat lembaga pendidikan Islam dan Islamisasi pendidikan sekuler menjadi modernisasi. Adanya lembaga pendidikan modern (Barat sekuler), dianggap sebagai
kamuflase yang mengatasnamakan Islam, yang membuat islam hanya symbol. Untuk
mengantisipasinya maka harus dibuatkan Lembaga pendidikan-pendidikan
Islam yang baru untuk
kemudian dijadikan sebagai tandingan.
C.
Pembahasan
1.
Fitrah
Manusia dan dampaknya
pada �Pendidikan
Manusia
adalah sasaran pendidikan. Menurut Islam pendidikan adalah sesuatu yang memberi
warna hitam atau putih kehidupan seseorang, karena itu� Islam mengsyariatkan bahwasannya berpendidikan� itu hukumnya wajib untuk seluruh umat manusia
dan tidak ada Batasan waktu kecuali manusia itu menutup matanya untuk
selamanya..
Dalam sebuah hadits dikatakan fitrah (hakikat
manusia) sebagai berikut :
Artinya : Tidak seorangpun dilahirkan
kecuali dalam keadaan fitrah/suci, maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya yahudi, nasrani, dan majusi
Tetapi bila di kaji
dari konteks pendidikan, yang suci dalam hadis ini dimaksudkan pada sucinya
jasmani tetapi mengenyampingkan kesucian jiwa, namun sebenarnya� makna fitrah itu sendiri lebih dominan pada
sucinya jiwa. Seperti yang diungkapkan Al-Faruqi bahwa manusia dilahirkan dengan
kondisi yang suci, bersih serta mampu membuat scenario kehidupan, tanpa
memperdulikan lingkungan masyarakat, bahkan latar belakang keluarga. Islam
menyangkal setiap gagasan mengenai dosa asal, dosa tanggung jawab dan dosa
penebusan, serta keterlibatan dalam rasial.
Bagi
al-Faruqi, bahwa teori ilmu
pendidikan Islam harus berlandaskan pada konsep mengenai hakekat� manusia. pembicaraan yang berkaitan dengan
hal ini dirasa sangat mendasar dan perlu dijadikan pijakan dalam melakukan
aktivitas pendidikan. Tanpa adanya kejelasan mengenai konsep fitrah manusia,
pendidikan Islam akan berjalan tanpa arah yang jelas.
2.
Dasar
dan Tujuan Pendidikan Islam
a.
Dasar
Pendidikan Islam
Menurut al-Faruqi akibat dari pendidikan yang sekuler yang tidak
berlandaskan atas dasar tauhid akan menghasilkan siswa yang bersikap skeptis serta
pada Tuhannya ia tidak mampu mengenalinya. Al-Faruqi meletakkan pondasi
epistemologinya pada prinsip Tauhid yakni sebuah prinsip global yang meliputi lima
kesatuan, yaitu :Pertama, Keesaan (kesatuan Tuhan), bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah, yang membuat serta memelihara alam raya. Implikasinya, berhubungan
erat dengan pengetahuan adalah bahwa sebuah pengetahuan bukan untuk menerangkan
dan memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dari realitas absolut
(Tuhan), namun menjadi bagian� yang
integral dari eksistensi Tuhan. Karena itu, Islamisasi ilmu menyeting pengetahuan pada keadaan analisis
mengenai keterkaitan realitas yang dikaji dengan hukum Tuhan.
Kedua, Kesatuan
cipataan (kesatuan alam), bahwa semesta yang ada ini baik yang materialis, sikologi,biologi,estetis, dan spasial (ruang) merupakan sebuah
satu kesatuan. Masing-masing saling berkaitan dan
saling menyempurnakan yang telah diatur dalam hukum alam (sunnatullah) guna menuju titk tertinggi yakni, Tuhan. Kaitannya dengan Islamisasi ilmu, yaitu
diharapkan agar semua pengembangan ilmu pengetahuan yang baru dijuruskan pada
nilai-nilai keimanan serta dapat direalisasikannya mmelalui ibadah kepada-Nya.
Ketiga, perpaduan �kebenaran dan pengetahuan. Sumber kebenaran itu yang ada bukti empirisnya atau sesuiai dengan
realita, dan �apabila seluruh realita yang ada
sumbernya sama, pastinya kebenaran tersebut tidak maka kebenaran tidak
mungkin lebih dari satu. Faruqi membuat rumusan kesatuan kebenaran berkut ini:
1) berdasarkan wahyu, artinya manusia tidak boleh membuat steatment atau
paradigma dengan keadaan empirik; 2) dengan tidak adanya kontradiksi antara
nalar dan wahyu, maknanya tiadak ada hal apapun yang membuat kontradiksi antara
realitas dan wahyu yang tidak terpecahkan; 3) peneltian pada jagat ray serta
bagian lainnya tdak aka nada ujungnya, sebab kuasa Tuhan tak terbayang.
Keempat, Kesatuan
hidup. Menurut Faruqi, ketetapan Tuhan itu
ada dua macam: 1) hukum
alam (sunnatullah) dengan segala bentuk regularitasnya yang sangat mungkin
dijadikan bahan penelitian . 2) hukum moral �yang tidak boleh dilanggar, agama. Keduanya
berjalan beriringan, maka tidak ada pemisahan antara yang bersifat spiritual
dan material, antara jasmani dan rohani.
Kelima, Kesatuan umat manusia. Tata sosial Islam, menurut Faruqi sifatnya umum, meliputi semua umat muslim tanpa
dikecualikan. Konsep ini memberikan pengetahuan bahwasanya dalam mengembangkan
ilmu harus memiliki dasar dan tujuan untuk manusia, bukan �kepentingan golongan, ras,
dan etnis tertentu.
b.
Tujuan Pendidikan Islam
Al-Faruqi telah
banyak menyumbangkan pemikirannya yang berkaitan dengan problematika keislaman
yang dihadapi saat ini. Semua pemikirannya tersebut saling berhubungan dan
semuanya mengacu pada satu pkpk bahasan yakni Tauhid. Lebih dari itu, makna tauhid salah satunya mengajarkan kepada
manusia akan eksistensi manusia yang sebenarnya. Dan manusia akan menjadi eksis
apabia telah mampu mengemban tugasnya sebagai khalifatullah fi al-ardli.
(Ismail raji� al-Faruqi: 1995).
Al Faruqi mendorong umat Muslim untuk
memainkan peranan yang sudah ditakdirkan Allah kepadanya, yakni sebagai
pemimpin dunia yang bertanggung jawab.
Maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam yang digagas
oleh al-Faruqi dan Achmadi adalah membentuk peserta didik menjadi khalifatullah
fil ardh sebagaimana tujuan Allah menciptakan manusia yang dapat mengelola
segala hal yang berhubungan dengan kehidupan di bumi, dan output dari pendidikan
Islam terletak ialah
mengaplikasikannya dalam kehidupan bahwa hidup harus sepenuhnya diserahkan
kepada-Nya. Baik� pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.
Disamping itu agar memperoleh kesuksesan di dunia, pendidikan Islam menyiapkan
peserta didik dari segi sosiologis untuk dapat hidup dalam masyarakat sosial
dengan baik. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat
hidup seorang diri, di sinilah fungsi pendidikan yang selain menciptakan
lingkungan pembelajaran pula berperan sangat besan pada cara mengasah sikap sosial
dan keterampilan dari peserta didik.
3.
Isi/Materi
Kurikulum Pendidikan Islam
Dalam buku Ilmu Pendidikan
Islam Bab IV tentang Materi/Isi Pendidikan Islam, Achmadi mengutip hasil
Konferensi Konferensi pertama pendidikan Islam internasional tahun 1977 di
Makkah, bahwa ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua, yaitu ; Pertama,
pengetahuan abadi (perennial knowledge) yang
bersumber pada wahyu Allah melaui Al-Qur�an
dan Sunnah. Kedua, pengetahuan
yang diusahakan
(acquired
knowledge) merupakan
bagian dari� keilmuan alam, social dan
terapan yang�
bersifat� rentan perumbuhannya
pada pertumbuhan kuantitatif dan penggandaan. Corak terbatas dan pinjaman lintas budaya diperbolehan selagi masih sejlan dengan syari�ah sebagai sumber nilai. (Achmadi:1977 ).
Sedangkan menurut al-Faruqi,
kurikulum pendidikan Islam akan dilihat dalam konteks tawaran pemikiran
mendasar, yang lebih bersifat filosofis, sebagai upaya menata sebuah paradigma
pendidikan Islam yang dicakup pada lima tujuan kerja Islamisasi pengetahuan
yang digagas al-Faruqi. Berdasarkan pemikiran tersebut, setidaknya ada beberapa
prinsip pengembangan yang perlu dicermati dalam menata Isi/ Materi kurikulum
Islam. 1),
penguasaan sains,� 2 penguasaan secara
penuh perihal warisan Islam (khazanah Islam klasik), 3) penyaatuan �isi
kurikulum Pendidikan Islam.
c.
Prinsip
Penguasaan Khazanah Modern
Tawaran al-Faruqi agar isi
kurikulum pendidikan Islam mengakomodasi disiplin modern secara filosofis telah
mengarahkan pemahaman kaum muslim agar tidak ada dualisme dalam melihat dan memahami
konsep keilmuan dalam Islam. Hal ini, setidaknya dibenarkan oleh Abdurrahman
al-Nahlawi, bahwa salah satu karakteristik yang menjadi prinsip kurikulum
pendidikan Islam adalah harus realistik melihat perkembangan dunia modern, yang
pada akhirnyaa bisa diaplikasikan dengan sanggup atau tdaknya suatu negara yang
akan menggunakannya, dan sejalan dengan keadaan dan kebutuhan dalam negara
tersebut. (Abdurrahman al-Nahlawi: 1996).
Dalam hubungan ini,
al-Faruqi mengatakan bahwa disiplin ilmu dalam tingkatanpesatnya perkembangan
ilmu di Barat harus di bagi menjadi beberapa kriteria, prinsip man cara
pemecahannya dengan masalah-masalah yang ada. Penguaraian tersebut harus
mencerminkan �daftar isi� buku mengenai ilmu meodelogi harus benar-benar
dikuasai oleh mahasiswa. (Ismail Raji�
al-Faruqi: 1995).
Dalam terminologi yang
kongkrit, tulis al-Faruqi, Islamisasi pengetahuan adalah to Islamize the
diciplines atau menghasilkan buku-buku teks tingkat perguruan tinggi.
Al-Faruqi mengingatkan para sarjana muslim, bahwa mereka harus menyadari telah
banyak terjadi pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan visi Islam,
sehingga semua warisan ilmu pengetahuan umat manusia harus dikaji dari sudut
pandangan Islam.( Al-Faruqi: ) Perancangan Isi kurikulum Pendidikan muslim
dengan mengakomodasi prinsip-prinsip modern dalam perspektif Islam, tegas
al-Faruqi, adalah tugas yang paling mulia dari semua tugas dan merupakan
pengejewantahan kehendak Tuhan yang paling tinggi.
d.
Khazanah
Islam Klasik
Kebudayaan Islam dimaksud al-Faruqi adalah seluruh khazanah
intelektual dan budaya Islam yang mencakup kajian al-Qur�an, as-Sunnah, �teplogi, kesenian, hokum, institusi Islam, falsafah,
hellenistik, metafisika, epistimologi,�
aksiologi dan etika, termasuk juga aspek seni dan estetika Islam (Ismail
Raji al-Faruqi dan Lois Lamya : 2000) Terhadap khazanah Islam itu al-Faruqi
selanjutnya mengomentari bahwa analisis sumbangan khazanah ilmiah Islam itu
tentunya tidak dapat dibuat dengan sembarangan. Sebuah daftar konsep hal yang
hatrus diutamakan harus dibuat oleh para cendikiawan muslim serta perlu
mengikuti prosedurnya dengan baik dan benar. Prioritas utamanya baik prinsip-prinsip pokok, masalah-masalah pokok dan tema-tema abadi
seperti tajuk-tajuk yang memiliki kemungkinan yang berhubungan pada persoalan-persoalan saat ini, semestinya sudah menjadi focus staregi Pendidikan islam dan
penelitian. (Ismail Raji al-Faruqi,:1995).
Dalam konteks keunggulan peradaban dan khazanah intelektual Islam,
Mehdi Nakosteen mempunyai pandangan yang senada dengan al-Faruqi bahwa, �karya
karya ilmuwan klasik muslim dapat kiranya dijadikan sumber bacaan bagi
mahasiswa sejarah pendidikan. (Mehdi
Nakotseen: 1996).
Bahkan Nakosteen berhasil menunjukkan beberapa karya klasik yang
layak dicermati, antara lain: Adabul Muridin: on the responsibility of
student ditulis oleh al-Utsmani (1050-1640 M), Muhsinin karya Husein al
Kashifi (900 H/1491 M), Risalah fi Siyasah : Discourse of statecraft
karya Ibn Sina (428 H/1405 M), Muqaddimah karya Ibn Khaldun (808 H/1405 M), dan
seterusnya. (Mehdi Nakotseen: 1996) Jika diperhatikan secara cermat, hampir seluruh khazanah klasik
Islam cenderung lebin bernuansa metafisika, seperti yang dikomentari Nasr,
bahwa Lebih dari sebelumnya, metafisika yang benar seperti yang telah ada dalam
peradaban Islam, dalam simbol teosofi tradisional (hikmat) dan irfan, telah
menghasilkan hasil ilmiah yang signifikan dan telah menjadi ibu dari sains
tradisional. Karena metafisika sebagai induk pengetahuan tradisional, kata
Nasr, maka ia secara kuat dapat dinilai menjadi atau sebagai petunjuk arah
dunia modern saat ini. (Mehdi
Nakotseen: 1996)
Dengan demikian, sesungguhnya dari yang dikemukakan tiga proses
kritis terhadap khazanah klasik Islam, al-Faruqi sebenarnya lebih memperjelas
prinsip pengembangan isi kurikulum Islam, sehingga dapat menjadi energi yang
lebih efektif untuk membangun dasar-dasar kurikulum Islam.
Al-Faruqi juga menetapkan kajian atas al-Qur�an dan Sunnah sebagai
subject matter primer yang penting diperhatikan. Al-Qur�an kata
al-Faruqi menyediakan kesinambungan dan identitas. Secara lebih terperinci
al-Faruqi sekurang-kurangnya mengemukakan empat kandungan qur�ani yang terdapat
dari pengkajian al-Qur�an. Pertama, ada kandungan rasionalisme atau
ketertaklukan segala ilmu, termasuk ilmu agama terhadap pemikiran, mitos
paradoks, dan kesediaan untuk mengubah pengetahuan dan sikap seseorang
mengikuti keperluan bukti-bukti yang baru. Kedua, terdapat doktrin humanisme,
bahwa manusia sejak awal terlahir bersih dan bebas menentukan nasibnya sendiri.
Ketiga, ditemukannya penegasan dunia dan kehidupan, atau doktrin bahwa Allah
menciptakan kehidupan itu supaya dinikmati. Keempat, al-Qur�an mengandung
doktrin bahwa nilai kosmik manusia bergantung kontribusinya kepada umat
manusia. Keempat kandungan qur�ani itu, jika dipahami secara mendasar
dimungkinkan dapat memunculkan energi kemanusiaan dan kerohanian yang
bermanfaat untuk membangun sebuah peradaban Islam. Karena, lanjut al-Faruqi,
intisari al-Qur�an meliputi institusi-institusi Islam, termasuk semua bidang aktivitas
manusia, agama dan etika, politik dan ekonom, budaya dan pendidikan, kehakiman
dan ketentraman.
Kajian teologi (kalam) idealnya harus juga diperkenalkan sedari
dini kepada anak-anak muslim sehingga pemahaman keagamaannya lebih menyentuh
sisi terdalam dari ajaran Islam. Dimensi kalam inilah yang sesungguhnya
digencarkan oleh al-Faruqi melalui konsep dasar tauhid yang olehnya disarankan
agar menjadi ruh dan spirit semua kajian apapun. Sebab pandangan yang cenderung
menganggap Islam hanya sebagai idiologi kemasyarakatan itu, menurut al-Faruqi,
hanya akan menjadikan umat Islam berada pada anak tangga terbawah dibandingkan
dengan bangsa bangsa lainya. Dan juga pemuda-pemuda Islam selalu berada dalam �the
lack of vision� (kekurangan visi), serta tidak memiliki gambaran yang jelas
dan utuh mengenai sesuatu yang harus mereka perjuangkan. (Ismail Raji
al-Faruqi,:1995)
e.
Isi/Materi
Kurikulum Integral
Konsep
integritas kurikulum pendidikan Islam agaknya menjadi orientasi semua pemikiran
pendidikan muslim sejak beberapa kurun waktu. Tidak kurang beberapa tokoh
muslim dunia selain al-Faruqi seperti Fazlur Rahman, Ziauddin Sardar, Syed
Muhammad Naquib al-Attas, dan seterusnya, telah membuka wacana pemikiran Islam
untuk membangun sebuah konsep peradaban Islam yang ditata atas prinsi-prinsip
Islam. Namun yang menarik dari tawaran al-Faruqi sesungguhnya adalah upayanya
untuk melakukan sintesis kreatif antara khazanah intelektual Islam dan khazanah
pendidikan modern yang dianggap milik Barat.
Dengan
demikian, seperti yang dikemukakan Hamid Hasan Bilgrami dan Ali Ashraf dalam
sebuah bukunya, Lembaga Islam di manapun berada tidak boleh mengabaikan konsep
isi kurikulum seperti yang berkembang di Barat. (Hamid Hasan Bilgrami dan Syed
Ali Ashraf : 1989) Artinya, isi kurikulum pendidikan Islam harus selalu
mengarah kepada kepentingan mengembangkan sains modern dengan tetap diwarnai
oleh semangat dan nuansa Islami dengan nilai tauhid sebagai dasar konsep dan
aplikasi ilmiah. Tawaran ini juga sesungguhnya menghendaki konswekuensi agar
terjadinya integrasi ilmu naqliyyah dan aqliyyah, yang
membutuhkan evolusi panjang yang peningkatan kualitasnya merupakan pengaruh
timbal balik dengan keberhasilan rekontruksi konsep ilmu dalam Islam dan
rekontruksi organisasi dan isi kurikulum.
4.
Lembaga
Pendidikan
Dalam hal ini nampaknya
al-Faruqi sepaham dengan konsep lembaga pendidikan yang dipraktekan oleh
ikhwanul muslimin yang awalnya dipelopori oleh Hasan al-Bana. Konsep lembaga
ini dinamakan Ushrah, yang mengambil kata dari bahasa Arab yang diartikan
keluarga.
Konsep lembaga seperti ini
akan lebih berhasil dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Sistem pendidikan
ini seperti merupakan sistem kerja yang sekarang digunakan sangat populer di
kalangan kelompok usaha untuk menarik pasar yang dinamakan sistem kerja Multi
Level Maretting (MLM). Yaitu sistem pendidikan yang dilaksanakan dengan
bentuk transmisi pengetahuan kepada orang Islam lainnya, sesama muslim dengan
cara bergerilya dari satu oarang menjadi dua orang kemudian berkembang menjadi
empat orang, dan terus berkembang lebih banyak lagi sesuai jumlah akar
transmisi ilmu tersebut. Sistem pendidikan Islam yang dilaksanakan dengan cara
kerja demikian dapat berkembang efektif, tinggal bagaimana untuk
memaksimalkannya dengan memberikan kajian-kajian keilmuan, atau pendidikan
Islam yang lebih ilmiah, aktual, dan terbuka dengan cara diskusi-diskusi atau
seminar-seminar, tidak seperti yang dilakukan oleh sistem usrah yang
terkesan dilaksanakan secara sembunyi dan hanya memberikan materi-materi
tentang dasar-dasar ajaran Islam yang ditafsirkan secara sempit atau yang
bersifat doktrinasi.
Sedangkan lembaga Formal,
adalah menyatukan dua sistem pendidikan, yaitu antara Islam
(agama) dan sekuler (umum). Artinya membuat perubahan kea rah modern bagi
Lembaga Islam dan Islamisasi Lembaga sekuler namun dengan diadakanya lembaga
pendidikan modern (Barat sekuler), dinilai sebagai cara melindungi dari dan
pembohongan secara umun dengan membawa label Islam. Untuk
mengatasinya maka kondisi seperti ini harus dibiatkannya Lembaga Pendidikan
Islam sebagai acuan dan tandingan.
Al-Faruqi menawarkan
penyatuan dua sistem pendidikan tersebut. Hal ini tercapai dengan jalan mislamisasi Lembaga Pendidikan sekuler dan
modernisasi Lembaga Pendidikan islam. Dan yang
paling penting siswa dari sekolah dasar hingga lanjutan harus diajar oleh
pendidik muslim dan tidak oleh misisonaris atau non-muslim. (Ismail
Raji� al-Faruqi:
1995)
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut� mengenai konsep
pendidikan Islam menurut Ismail Raji al-Faruqi, maka dapat disimpulkan :
1.
Bagi
al-Faruqi, Fitrah dan implikasinya dalam pendidikan merupakan pembinaan dan
pengembangan seluruh peluang, yang berupa peluang dari bidang jasmani, rohani,
serta dengan mudah dapat dilakkan oleh Lembaga Pendidikan. Dalam prosesnya
manusia akan membuat kepribadiannya, pertukaran buadaya antar komunitas, mengetahui
nilai akan
segala hal, serta yang lainnya. Implikasi-implikasi
kehendak bebas manusia telah melibatkan proses pendidikan. Pendidikan menjadi focus perhatian para pelajar unntuk
evaluasi dan menganalisis baik dan buruknya. Serta tidak menilai Pendidikan
sebagai cara untuk memaksa seseorang untuk
menentukan tujuan
hidup setiap anak didiknya secara individu.
2.
Tauhid
sebagai dasar pendidikan, dan pendidikan bertujuan untuk melaksanakan
pengembangan individu, baik jasmani, akal, dan rohani dalam menunjang tugasnya
sebagai khalifatullah di bumi yang berorientasi dunia dan akhirat.
3.
Pemikiran
al-Faruqi mengenai isi kurikulum ini dilihat dalam konteks tawaran pemikiran
mendasar, yang lebih bersifat filosofis, sebagai upaya menata sebuah paradigma
pendidikan Islam yang dicakup pada lima tujuan kerja Islamisasi pengetahuan
yang digagas al-Faruqi. Berdasarkan pemikiran tersebut, setidaknya ada beberapa
prinsip pengembangan yang peru dicermati dalam menata isi kurikulum Islam. Pertama,
menguasai Khazanah modern/sains modern. kedua, menguasai warisan Islam
klasik. Ketiga, prinsip kesatuan yang harus melingkupi seluruh kajian
dalam Isi kurikulum.
4.
Lembaga
pendidikan bagi al-Faruqi terbagi menjadi dua, pertama : lembaga informal
seperti dilaksanakan di rumah-rumah, masjid-mesjid, organisasi atau tempat
lainnya. Al-Faruqi beranggapan lembaga ini efektif digunakan untuk transmisi
ilmu pengetahuan, tinggal bagaimana untuk memaksimalkannya dengan memberikan
kajian-kajian keilmuan, atau pendidikan Islam yang lebih ilmiah, aktual, dan
terbuka dengan cara diskusi-diskusi atau seminar-seminar. Sedangkan lembaga
formal, menurutnya harus dilakukan penyatuan antara sistem pendidikan Barat dan
Islam, baik dari segi integrasi keilmuan hingga manajemen lembaga formal.
BIBLIOGRAFI
Abd. Rachman Assegaf. (2011). Filsafat
Pendidikan Islam. Jakararta: PT Raja Grafindo Persada.
Abdurrahman al-Nahlawi. (1996). Pendidikan
Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. terj. Shihabuddin. Jakarta: Gema
Insani Press.
Djumhana Bastaman, Hasna. (1992). Islamisasi
Sains dengan Psikologi Sebagai Ilustrasi, dalam Jurnal Ulumul Qur�an,
Edisi Nomor 4, Vol. III, hlm. 17.
Hasan Bilgrami, Hamid dan Syed Ali Ashraf.
(1989). Konsep Universitas Islam. terj. Machnun Husien. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Ismail Raij� al-Faruqi dan Lamya
al-Faruqi. (2000). Atlas Budaya Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung:
Mizan.
Ismail Raji
al-faruqi. (1995).Seni
Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, Terj.
Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka.
_______. (1992). Islam dan
kebudayaan. Terj. Yustiona. Bandung, Mizan.
Lathiful Khuluq. (1997) Sarikat Islam:
Its Rise, Peak and Fall. Al-Jamiah; Journal of Islamic Studies. Yogyakarta;
IAIN Sunan Kalijaga.
Lodhi, M.A.K. (1987). Islamization of
Attitudes and Practices ain sciences and technology, (Herndon-VirginiaK The
Intrenational Institute of Islamic Thouht,).
Lois Lamya al-Faruqi. (1997). Ailah
Masa Depan Kaum Wanita. Terj. Masyhur Abadi. Surabaya: Penerbit al-Fikr.
Mardialis. (1995). Metode
Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara.
Mehdi Nakotseen.
(1996). Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam, terj. Joko S Kahara dan Supriyanto Abdullah, Surabaya:
Risalah Gusti.
Muhammaf Shafiq. (2000). Mendidik
Generasi Baru Muslim. Terj. Suhandi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Noeng Muhadjir. (1996). Metode Kualitatif. Yogyakarta : Rake
Sarasin.