Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853� e-ISSN : 2684-883X�����

Vol. 2, No. 3 Maret 2020

 


MENGGAGAS KEMAJEMUKAN HUKUM DI INDONESIA (KOMPETISI LEGALITAS HUKUM AGAMA, HUKUM ADAT, DAN HUKUM NEGARA)

 

Muhammadun

Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon (IAI BBC)

Email: �[email protected]

 

Abstrak

Keragaman hukum di Indonesia khususnya hukum keluarga, tidak terlepas dari sikap keterbukaan masyarakat nusantara terhadap penyebaran kebudayaan asing di kepulauan nusantara. Sikap keterbukaan masyarakat ini dalam meresapi penyebaran kebudayaan asingi berimplikasi terhadap perubahan-perubahan kebudayaan masyarakat pribumi itu sendiri, yani dalam kebudayaan terdapat beberapa norma hukum. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui tentang pluralisme hukum di Indonesia, yang meliputi hukum Agama (Islam), hukum Adat, serta hukum Negara. Ketiga hukum inilah yang dijadikan sebagai hukum positif masyarakat Indonesia belakangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris yakni penelitian hukum tentang pemberlakuan maupun pelaksanaan ketetapan hukum normatif dengan cara in action. Hasil penelitian menunjukan bahwa perseteruan-perseteruan yang ada, pada dasarnya bukanlah dipicu oleh masyarakat pribumi, namun lebih disebabkan oleh kebudayaan-kebudayaan asing yang masuk di barisan kepulauan ini.

 

Kata kunci: Hukum, Keragaman hukum, pluralisme hukum

 

Pendahuluan

Di awal pembentukan negara, Indonesia didaulat sebagai negara yang berkeadilan serta berkemanusiaan sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Dengan merujuk dari penjalasan di atas, dapat diartikan bahwa di zaman dulu Indonesia ialah negara yang dibentuk untuk menjadi negara hukum (Gunawan, 2018). Dalam tulisannya tentang Tradisi Hukum Indonesia, Ratno Lukito mencatat bahwa jauh hari sebelum berbagai hukum diadopsi atau diserap oleh masyarakat Nusantara, masyarakat yang mendiami butiran-butiran kepulauan ini dipercaya sudah memiliki aturan hukum yang berasal dari nilai-nilai kebiasaan lokal atau adat-istiadat masyarakat Nusantara (Hukum Adat) (Lukito & Adnan, 2008). Kedatangan para pedagang bangsa India, pedagang bangsa Arab, dan pedagang bangsa Eropa ke beberapa titik nusantara, memberikan wajah baru terhadap perilaku sehari-hari masyarakat pribumi, tidak terkecuali tentang permasalahan hukum. Disamping misi perdagangan, bangsa India membawa dan memperkenalkan ajaran Hinduisme kepada masyarakat pribumi, bangsa Arab membawa dan memperkenalkan ajaran Islamisme (Karim, Fahsin, & Maya, 2007) dan bangsa Eropa melalui VOC (Veerenidge Ostindische Compagnie) dan para kolonialnya membawa dan memperlihatkan sistem hukum civil law kepada masyarakat nusantara (Sedryawati, 2007). Menariknya, dari ketiga peradaban besar dunia di atas, hanya ajaran Islam yang mampu berelektika atau berdialog dengan norma masyarakat pribumi, sehingga hukum Islam dan hukum adat dipraktikkan secara bersamaan oleh masyarakat nusantara. Setelah ratusan tahun Islam dan adat istiadat masyarakat nusantara berelektika, masyarakatpun menjadikan Islam dan adat istiadat menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain, yang kemudian menjadi karakteristik dari masyarakat nusantara (masyarakat yang beragama dan berbudaya). Fakta tentang kesatuan tentang Islam dan adat dalam masyarakat nusantara ini misalnya bisa dilihat pada masyarakat Minangkabau, yang oleh Taufik Abdullah dibahasakan sebagai intraksionis adat dan Islam dalam masyarakat Minangkabau, ungkapan yang sangat populer dalam masyarakat Minangkabau adalah jargon, �Adat besandi syarak, syarak besandi adat� atau dengan ungkapan lain� adat didasari oleh syariah dan syariah didasari oleh adat (Abdullah, 1966).

Kedatangan bangsa Eropa ke beberapa titik nusantara melalui misi perdagangan dan kolonialisasinya, dengan orientasi awal adalah untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya terhadap alam nusantara. Setelah bangsa Eropa khususnya Belanda berhasil menguasai sepenuhnya beberapa kawasan nusantara, pemerintahan kolonial memperkenalkan sistem civil law, yang bertujuan untuk mensentralisasikan hukum di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial, �tentu tujuannya adalah untuk memperlancar dan mempertahankan hegomoni politik kolonial, sehingga segala kepentingan para kolonialis dapat berjalan dengan baik. Melalui sistem sentralisasi hukum yang diperkenalkan dari pemerintahan kolonial Belanda yang terkadang berbenturan dengan keinginan dan norma masyarakat nusantara, menyebabkan kebijakan pemerintahan Hindia Belanda terkadang dianggap sebagai musuh bagi masyarakat pribumi dan harus ditentang. Semakin hari, penetangan dan perlawanan masyarakat nusantara terhadap pemerintahan kolonial semakin kencang, yang secara langsung mengantarkan masyarakat Indonesia menuju bangsa yang merdeka dan berdaulat (Karim et al., 2007). Setelah bangsa Indonesia merdeka, pemerintahan Indonesia banyak mengadopsi hukum yang ditinggalkan oleh pemerintahan Hindia Belanda sebagai basis dari sentralisasi hukum (hukum negara), yang digunakan untuk menjalankan regulasi sementara negara sebelum terciptanya peraturan atau hukum baru. Disamping itu, masyarakat Indonesia terus mempraktikkan ajaran agama dan adat istiadat dalam kehidupannya sehari-hari, yang secara langsung memicu terjadinya pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia, yakni hukum adat, agama serta negara.

 

Metode Penelitian

Metode yang dipakai adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris. �Pendekatan ini dalam konteks penelitian hukum ialah tentang pemberlakuan maupun pelaksanaan ketetapan hukum normatif, dengan cara in action atas tiap-tiap kejadian hukum khusus yang berlangsung di warga setempat. Jenis Penelitiannya ialah bersifat deskriptif analisis yaitu menggambarkan tentang keadaan yang tepat dan berkenaan dengan menjelaskan alasan kenapa hal itu terjadi.

 


Hasil dan Pembahasan

Keberagaman hukum di Indonesia khususnya hukum keluarga, tidak terlepas dari sikap keterbukaan masyarakat Nusantara terhadap penyebaran (Karim et al., 2007) kebudayaan asing di kepulauan Nusantara. Sikap keterbukaan masyarakat Nusantara dalam meresapi penyebaran kebudayaan asing ini berimplikasi terhadap perubahan-perubahan kebudayaan masyarakat pribumi itu sendiri, yang di dalam kebudayaan itu terdapat berbagai norma hukum. Penerimaan kebudayaan asing ini kemudian secara otomatis akan mendorong hidupnya norma lokal serta norma asing di masyarakat Nusantara. Dipraktikkannya lebih dari satu hukum oleh masyarakat Indonesia (hukum adat, agama serta Barat), inilah yang para ahli hukum sebut sebagai pluralisme hukum (Nurtjahjo & Fuad, 2010).

Pluralisme hukum di Indonesia dimulai pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Fakta masyarakat pribumi yang mempraktikkan berbagai hukum, menuntut pemerintahan Hindia Belanda guna memberlakukan hukum yang sepadan untuk seluruh masyarakat Pribumi. Isu mengenai kebijakan pemerintahan Hindia Belanda dalam memberlakukan satu hukum yang tepat untuk masyarakat pribumi, mendorong beberapa Ahli untuk mencari formulasi hukum yang tepat untuk masyarakat pribumi. Dengan ini, muncul berbagai diskusi mengenai hukum adat serta Islam, baik diskusi verbal ataupun berupa tulisan. Diskusi para ahli ini diakui merajuk pada pertanyaan mengenai apakah hukum adat atau hukum Islam yang diberlakukan untuk masyarakat Pribumi. Dalam diskusi ini muncul berbagai pendapat ahli hukum, baik secara ahli hukum Belanda ataupun Indonesia, diantara mereka ada yang memotret dengan kacamata konflik (hukum Adat serta hukum Islam terus bertarung), serta tidak sedikit juga yang memandang dengan lensa fungsional (hukum Adat serta hukum Islam saling berkaitan).

1.    Hukum adat versus hukum Islam (pendekatan konflik)

Hangatnya posisi hukum adat serta hukum Islam pada masyarakat nusantara menghasilkan perselisihan yang cukup menarik dunia akademis di tanah air. Tidak hanya itu yang dapat dirasakan, namun yang urgen ialah mampu terbukanya ruang diskusi-diskusi yang berkelanjutan bagi generasi-generasi bangsa ini. Ratno mengatakan kajian mengenai hukum adat di mulai sejak pemerintahan VOC (1602-1800) yang diawali oleh Marooned (1754-1836), Raffles (1781-1826), Crawford (1783-1868), dan Muntinghe (1773-1827)(Lukito, 2003). Seiring dengan derasnya desas-desus modernisasi hukum yang semakin kencang terhembus oleh pemerintahan Hindia Belanda, mendorong munculnya berbagai diskusi serta spekulasi para ahli hukum mengenai �hukum apa yang tepat untuk diberlakukan untuk masyarakat pribumi�, yang dipercaya diskusi para ahli ini berkisar pada dominasi antara hukum Adat serta hukum Islam. Diskusi pertama dimulai dengan teori receptie in complexu yang dicetuskan oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845-1927). Ia seorang ahli hukum Islam yang pernah tinggal di Indonesia di tahun 1870-1887. Teori ini mengatakan bahwa untuk orang Islam berlaku seluruhnya hukum Islam, sekalipun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Ungkapan Van den Berg ini berdasar dari pernyataan yang menyatakan hukum Islam sudah berlaku di masyarakat asli Indonesia sejak 1883 yang diperkuat dengan adanya regeering reglement, serta compendium freijer tahun 1706 perihal hukum perkawinan serta kewarisan Islam (Habiburrahman, 2011). Teori ini menghendaki bahwa untuk masyarakat pribumi yang beragama Islam diberlakukan hukum Islam.

Teori ini dicetuskan oleh Van den Berg berdasarkan pengamatan pribadinya terhadap masyarakat di berbagai kerajaan Islam nusantara, serta hasil pengamatannya yakni semua hukum Islam sudah diterima secara menyeluruh oleh umat Islam. Sehingga, teori ini menyatakan hukum Islam berlaku seutuhnya untuk umat Islam, karena hukum adat telah menyesuaikan diri dengan hukum Islam (Adil, 2011). Sehingga, teori ini menghendaki yakni untuk orang Islam berlaku seutuhnya hukum Islam, walaupun dalam pelaksanaannya masih ada penyimpangan-penyimpangan, hal ini dikarenakan hukum Islam telah berlaku di masyarakat asli Indonesia sejak 1883 yang diperkuat dengan adanya regeering reglement, serta hukum perkawinan dan kewarisan Islam dalam Compendium freijer tahun 1706 (Habiburrahman, 2011).

Pendapat dari Van den Berg di atas mengenai hukum Islam dari pada hukum adat, ternyata terdapat kritikan dari seorang sarjana asal Belanda yang bernama C. Snouck Hurgronje (1857-1936). Ketika Hurgronje menetap serta mengamati perilaku masyarakat nusantara, ternyata bukan hukum Islam yang lebih dominan, akan tetapi hukum adatlah yang lebih dominan daripada hukum Islam. Sehingga Hurgronje menarik kesimpulan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan apabila telah diterima oleh masyarakat hukum adat, pendapatnya kini kemudian dia jadikan sebagai teori, dan teori ini dia namakan sebagai receptie (Habiburrahman, 2011). Munculnya teori receptie yang diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936)(Hasan, 2014). Kemudian dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven serta Ter Haar di atas, dengan tujuan agar mengkritisi atas teori receptie in complexu-nya Vab den Berg. Snouck Hurgronje dikenal sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda� mengenai soal-soal hukum Islam serta anak negeri tahun 1898. Ia pernah belajar ke Mekkah sehingga berganti namanya menjadi Abdul Ghaffur (1884-1885). Keahliannya dalam hukum Islam dan hukum adat terepleksi dalam karyanya De Atjehers dan De Gojoad. Inti dari teori Snouck ini bahwa bagi masyarakat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat, serta hukum Islam akan berlaku apabila norma-norma hukum Islam telah diterima atau diserap oleh masyarakat hukum adat.

Setelah kemerdekaan Indonesia, teori receptie-nya Snouck ini ditelaah kembali kebenarannya oleh Hazairin. Hazairin menyimpulkan bahwa tidak benar hukum Islam itu bergantung kepada hukum Adat, karena hukum Islam itu adalah mandiri. Sehubungan dengan ini, Hazairin memperkenalkan teori receptie exit, teori ini bertujuan untuk membantah teori receptie Snouck di atas. Menurut Hazairin, Hukum Islam adalah hukum yang mandiri dan lepas dari pengaruh hukum lainnya. Berdasarkan pandangannya, Hazairin memiliki kesamaan pandangan dengan Van den Berg yang menginginkan hukum Islam diberlakukan sepenuhnya bagi masyarakat Islam (pribumi). Beberapa tahun kemudian, teori Hazairin ini deikembangkan oleh muridnya yang bernama Sayuti Thalib, dan menghasilkan teori receptie a contrario. Teori ini mengklaim bahwa teori receptie yang diperkenalkan oleh Snouck merupakan atau sebagai teori iblis. Inti dari teori Sayuti adalah bagi orang Islam berlaku hukum Islam; hukum Islam berlaku sesuai dengan cita hukum, cita moral dan batin umat Islam; dan hukum adat berlaku jika sesuai dengan hukum Islam (Hasan, 2014).

2.    Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum Islam (Pendekatan Fungsional)

Pada dasarnya teori fungsional budaya ini muncul dari metode penelitian yang menitik beratkan fokus kajiannya terhadap proses-proses kebudayaan, yang sifat ketergantungan antara satu unsur dengan unsur yang lain saling mempengaruhi dalam suatu budaya (Kaplan & Robert, 2012). Kemudian aktifitas akademis ini diperkuat oleh Malinowki dalam kajiannya terhadap proses kebudayaan dalam masyarakat Trobriand. Ketika masyarakat Trobriand melakukan aktifitas ritual tertentu, yang secara fungsional adalah untuk mengurangi kecemasan mereka terhadap hal-hal yang tidak difahami dalam menjalani kehidupannya (Kaplan & Robert, 2012). Sehingga, analisis fungsional membangun asumsi yang bertumpu pada analogi organisme, dalam arti bahwa memahami sistem budaya sebagai organisme yang bagian-bagiannya tidak saja sebatas saling berhubungan antara satu sama lain, namun saling memelihara, menjaga stabilitas dan melestarikan kehidupan unsur-unsur atau organisme yang ada dalam kebudayaan itu. Dalam melestarikan stabilitas sistemnya, kebudayaan harus memiliki syarat-syarat fungsional yang berfungsi untuk menjaga eksistensinya, atau dalam bahasa Malinowski adalah kebutuhan biologis individual (Coulson, 1959).

Dalam konteks kajian adat dan Islam, salah satu tulisan yang menggunakan teori fungsional ini dalam melihat dialektika antara Islam dan budaya lokal adalah Noel James Coulson. Dalam tulisannya berjudul Muslim Custom and Case Law, Coulson berpendapat bahwa Islam dan budaya lokal berkolaborasi dalam memutuskan kasus hukum di beberapa kawasan yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Kolaborasi ini dicontohkan oleh Coulson seperti beberapa masyarakat yang mayoritas anggotanya adalah beragama Islam, di antaranya adalah masyarakat muslim Maroko, India, Tunisia, masyarakat Kabylie di Algeria, masyarakat Youruba di Nigeria, Yaman dan masyarakat Jawa (Coulson, 1959). Di Indonesia, ada beberapa pakar hukum Islam dan hukum adat yang mengkaji ulang mengenai desas-desus antara hukum adat dan Islam. Namun, kajian belakangan ini lebih condong melihat kedua budaya hukum itu dari sisi kompromitas atau harmonitas antara ketiga sistem hukum itu. Misalnya, Taufik Abdullah melihat bahwa masyarakat Minangkabau mempraktikkan hukum Adat dan hukum Islam secara bersamaan sehingga lebih membahasakannya sebagai intraksionis antara hukum adat dan hukum Islam atau dua menara hukum (mimbar hukum) (Abdullah, 1966) John R. Bowen melihat bahwa masyarakat Gayo yang ada di Aceh mempraktikkan ketiga hukum itu secara bersamaan dengan basis pluralisme hukum, namun yang menarik dari tulisannya adalah negara harus berangkat dari wilayah regional Indonesia, kemudian diberlakukan dalam kancah negara. Seiring dengan ini, Bowen lebih membahasakan sebagai pilar-pilar hukum yang di dalamnya terdapat hukum adat, Islam dan negara (Salim, 2005). Ratno Lukito melihat secara umum masyarakat Muslim Indonesia mempraktikkan ketiga hukum itu secara bergumulan, sehingga dalam pembuatan hukum, negara harus mampu mengkanter hukum adat dan hukum Islam (Lukito, Stokhof, & Meij, 1998). Beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Hasby melalui konsep Fiqih Indonesia-nya telah berusaha untuk melibatkan hukum Adat sebagai bagian dalam mengambil istinbat dalam hukum Islam yang berbasis masyarakat muslim Indonesia, sehingga dalam pembuatan hukum negara, negarapun harus mengakomodir kedua hukum itu (Lukito, 2003).

Wujud kajian fungsional John R. Bowen ini diungkapkan dalam tulisannya yng berjudul Islam, Law and Equality in Indonesia an Anthropology of Public Reasoning. Bowen melihat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang sangat pluralistic yang selalu hidup bersama-sama meskipun beragama budaya, suku dan agama. Ada beberapa ciri khas masyarakat Indonesia menurut Bowen di antaranya adalah bangsanya yang memiliki berbagai macam perbedaan, mempunyai kekuatan dalam beragama, bersuku dan berbudaya yang sangat signifikan dalam perdebatan manusia, masyarakat yang selalu menjunjung tinggi toleransi dan selalu menerima perbedaan, setia terhadap kondisi politik dan bangsanya selalu menjaga kelangsungan hidup bermasyarakat yang pluralistik tinggi (Salim, 2005).

Bowen sempat kebingungan melihat realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang begitu pluralistik dan sangat sulit untuk dibayangkan bagaimana beragamnya budaya hukum yang dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia, baik dari segi agama, politik maupun kesenian yang selalu saling menerima dengan yang lainnya. Dalam perjalanan politik Indonesia terutama ketika masa pemerintahan kolonial Belanda, adat dikategorikan sebagai budaya hukum dalam kehidupan masyarakat� untuk menyelesaikan atau mencari jalan keluar terhadap� perkara-perkara tradisional atau tingkah laku sehari-hari yang dianggap melanggar ketentuan kelompok atau dipergunakan berkisar pada permasalahan mengenai substansi hukum. Sedangkan hal yang menarik dari budaya hukum ini adalah tercounternya hukum adat tersebut oleh hukum Islam atau hukum Negara, yang kemudian pada akhir-akhir ini kata-kata lokal dianggap tidak pas untuk dikategorikan sebagai nasional, namun lebih bersifat masyarakat adat yang meliputi orang-orang yang tinggal di kawasan norma-norma� tertentu (Salim, 2005).

Pluralisme masyarakat Indonesia yang dibuktikan melalui jiwa kepedulian terhadap kebudayaannya yang selalu menjaga keseragaman dalam bermasyarakat, setiap kelompok sangat bertanggung jawab dalam menjaga kestabilan kelompoknya, dan bagi masyarakat laki-laki dan perempuan akan berkolaborasi dalam satu kelompok apabila mereka sudah melakukan pernikahan. Semua kalangan selalu mengindahkan budaya-budaya yang ada baik yang datang dari kalangan Islam, Kristen maupun individu-individu yang mengatasnamakan dirinya modernis. Mereka memiliki daya tarik yang tajam untuk mempraktikkan dan melestarikan kearifan budaya lokal yang ada. Sehingga dengan realita inilah Bowen mengatakan bahwa Indonesia datang untuk memberikan saran kepada semua kalangan untuk memahami kembali budaya-budaya masyarakat Islam secara komprehensif, Islam tidak cukup hanya dibaca sebatas pada masyarakat Arab, Persia dan Turki, namun Islam harus dibaca juga melalui Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam dan masyarakatnya pemeluk terbesar Islam (Salim, 2005)

Jika Bowen lebih suka menunjukkan persatuan dan ada hubungan yang harmonis antara hukum adat dan hukum Islam, maka Taufik Abdullah lebih suka menunjukkan segi kerancauan makna hukum adat masyarakat Minangkabau, meskipun masyarakat memandang hukum adat dengan hukum Islam terjadi pembauran satu-sama lain. Masyarakat Minangkabau memandang hukum adat dengan dua dimensi, yakni ; pertama, adat diartikan sebatas pada kebiasaan-kebiasaan lokal ; kedua, adat diartikan sebagai keseluruhan struktur dalam sistem kemasyarakatan atau semua sistem nilai yang dijadikan sumber etika dan norma lokal. Walaupun ada juga masyarakat yang menggabungkan kedua makna itu (Abdullah, 1966)

Posisi adat dan Islam pada masyarakat Minangkabau mampu menempati tempat yang sangat penting, sehingga kedua budaya hukum ini dipandang oleh masyarakat setempat sebagai suatu konsep yang terintegrasi satu sama lain. Dalam adat masyarakat Minangkabau dikenal beberapa tempat aktifitas sosial, diantaranya adalah masajik (masjid) yang difungsikan sebagai tempat unutk melakukan aktifitas peribadatan bagi masyarakat Minangkabau, balai dipergunakan sebagai tempat berlangsungkan aktifitas duniawi dan dijadikan juga tempat musyawwarah serta tempat pengurusan keadministrasian sosial bagi masyarakat. Dalam realitas masyarakat Minangkabau, balai adat ini merepresentasikan atau menyimbolkan bahwa prinsip-prinsip adat terintegrasi dengan ajaran-ajaran agama atau hukum agama. Bentuk mengenai kesatuan adat dan agama dalam pandangan masyarakat Minangkabau ini bisa dilihat pada beberapa ajaran yang diresapi oleh masyarakat setempat, misalnya: adat dilandasi agama, dan agama dilandasi adat (adaik basandi sjarak, sjarak basandi adaik), ungkapan lain yakni agama yang mengkonsepkan dan adat yang mempraktikkan (agamo mangato, adat mamakai). Ungkapan ini menunjukkan bahwa adat dan agama pada masyarakat Minangkabau sudah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dicerai beraikan. Hubungan timbal balik antara hukum adat dan hukum Islam di Minangkabau inilah yang disimpulkan sebagai hubungan intraksionisme (Abdullah, 1966).

Ratno menyimpulkan bahwa sehubungan dengan harmonisasi hukum ini, Hasbi sempat membangun argumentasi melalui wacana besarnya yakni �Fiqih Indonesia�, inti dari wacana besarnya ini adalah mereformasi fikih Syafi�i yang bercorak Hijazi atau Misri dan berkarakter masyarakat Mesir menjadi fikih Indonesia yang bercorak ke-Indonesiaan dan berkarakter masyarakat Indonesia itu sendiri. Tentu saja reformasi hukum Hasbi harus berdasarkan penggalian dan pengembangan dari empat mazhab terkemuka (mazhab Hanafi, Maliki, Syafi�i dan Hambali). Sedangkan Hazairin dalam wacana besarnya yakni �Madzhab Nasional Indonesia�, berkeinginan membangun mazhab nasional berdasarkan pembaharuan dari mazhab Syafi�i berdasarkan kondisi lokal masyarakat Indonesia. Ratno Lukito menyimpulkan, baik Hasbi maupun Hazairin sepakat bahwa adat istiadat masyarakat Indonesia harus menjadi pertimbangan dalam pembuatan Hukum Islam Indonesia, kedua ide ini membuka jalan baru bagi� bersatu padunya antara nilai-nilai yang berasal dari adat istiadat dengan hukum Islam untuk menciptakan atmosfer harmoni dalam satu entitas hukum (Wahyudi, 2007).

Dalam rangka mengupayakan untuk mengharmonisasikan antara hukum adat dengan hukum Islam atau Negara, dibutuhkan kedewasaan para penafsir dan pihak-pihak yang berwenang. Seperti yang ditegaskan oleh Ratno bahwa, selama ini para sarjana selalu memandang hukum adat dengan hukum Islam dengan pendekatan konflik, sehingga ini berimplikasi terhadap hasil dari sudut pandang yang mereka gunakan. Tidak benar bahwa hukum Islam �cuek� atau tidak mau tahu tentang hukum adat, dalam kenyataannya bahwa Islam selalu melestarikan adat-adat dan budaya-budaya sebelumnya yang dipandang baik. Misalnya budaya khitanan (sunatan) yang hingga saat ini masih dirasakan oleh umat Islam, penting untuk diketahui bahwa tradisi sunatan ini bukanlah diperkenalkan pertama kali oleh nabi Muhammad. Namun, budaya ini diperkenalkan oleh nabi Ibrahim yang kemudian diwariskan kepada umat Nabi Muhammad. Tentu bukan perkara ini saja yang merupakan budaya lama yang dipertahankan olehnya, tetapi masih banyak budaya-budaya lain yang bisa dianalisa sendiri oleh pembaca yang budiman (Lukito et al., 1998).

Jika dikaji secara komprehensif kolaborasi antara sumber hukum Islam dan adat istiadat setempat, sungguh akan menghasilkan kebudayaan yang lebih sempurna. Beberapa abad yang lalu, Rasulullah telah membuktikan hal ini melalui hadis taqriri, secara singkat teori ini menjelakan bahwa segala perbuatan sahabat yang disetujui dan tidak ditegur oleh Rasulullah maka hal itu disahkan. Sehingga, melalui praktek ini sangat relevan apa yang diungkapkan oleh M.B. Hooker, seorang guru besar di Australian National University, Canberra Australia, mengatakan bahwa hukum itu bukanlah sekedar yang eksis di dalam teks, tetapi juga termasuk fakta-fakta hukum yang secara terus menerus atau tekun dipraktekkan oleh masyarakat. Melihat argumentasi di atas, hal ini mengajarkan kepada kita bagaimana pentingnya teks hukum untuk dikolaborasikan dengan budaya hukum yang dipraktekkan yang berasal dari adat istiadat lokal untuk mencapai target yang maksimal dalam mempraktekkan budaya hukum baru yang dibawa oleh teks.

Islam dan budaya masyarakat nusantara merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan, meskipun dalam proses akulturasi kebudayaan yang sangat kompleks pada masyarakat nusantara. Tidak sekedar budaya Islam yang berakulturasi dengan masyarakat nusantara, namun terdapat juga beberapa kebudayaan-kebudayaan lain, seperti China, India, Arab dan barat. Namun, dari semua kebudayaan-kebudayaan yang ada, sepertinya hanya budaya Islam yang diterima secara utuh oleh masyarakat nusantara. Dalam proses akulturasinya, Islam masuk ke nusantara secara alami tanpa paksaan yang di awali melalui perdagangan, hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan lintas atau jalur perdagangan di kawasan Asia. Islam telah berkontribusi besar dalam pembinaan moral bangsa Indonesia baik dalam bentuk teologis, antropologis maupun kosmologis. Bentuk teologis Islam telah membentuk masyarakat Indonesia yang berke-Tuhan-an, hal ini tertuang dalam sila pertama kenegaraan bangsa Indonesia. Dalam antropologisnya, Islam berhasil mencerdaskan masyarakat Indonesia dalam bercocok tanam dan sebagainya. Dalam kosmologis, Islam menanamkan tingkat kepedulian bangsa Indonesia terhadap flora dan fauna yang ada (Karim et al., 2007).

 

Kesimpulan

Keberadaan hukum adat, agama, dan negara merupakan realitas yang sangat penting dalam pendewasaan masyarakat Indonesia. Keterbukaan masyarakat nusantara terhadap berbagai kebudayaan asing yang melakukan penyebaran kebudayaan tidak pernah dilawan oleh masyarakat Nusantara, ini menunjukkan begitu dewasanya nenek moyang bangsa Indonesia. Perseteruan-perseteruan yang ada, pada dasarnya bukanlah dipicu oleh masyarakat pribumi, namun lebih disebabkan oleh kebudayaan-kebudayaan asing yang masuk di barisan kepulauan ini. Misalnya perseteruan antara hukum adat dan hukum Islam, bukan disebabkan oleh keinginan masyarakat pribumi untuk melegalkan hukum adat yang ada, namun lebih disebabkan oleh keinginan pemerintahan Hindia Belanda untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi tidak pernah menetapkan bahwa hukum adat bertentangan dengan hukum Islam, lebih khusus bagi masyarakat adat Indonesia yang memeluk agama Islam. Namun mereka lebih bahagia mengatakan bahwa hukum adat adalah selalu sejalan dengan hukum Islam, hal ini bisa dilihat dari ungkapan beberapa masyarakat adat yang mengatakan bahwa hukum Islam sebagai petunjuk dan hukum adat adalah sebagai pelaksana dari petunjuk hukum Islam itu. Demikian yang dapat disampaikan, tentu dalam tulisan yang sederhana ini terdapat banyak kekurangan, oleh karenanya mohon dimaklumi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdullah, Taufik. (1966). Adat and Islam: An examination of conflict in Minangkabau. Indonesia, (2), 1�24.

 

Adil. (2011). Simboer Tjahaya. https://lektur.kemenag.go.id/web/koleksi-252-simboer-tjahaya.

 

Coulson, Noel James. (1959). Muslim custom and case-law. Die Welt Des Islams, 6(1/2), 13�24.

 

Gunawan, Mohammad Sigit. (2018). Rekonstruksi Negara Hukum Pancasila Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Rekonstruksi Negara Hukum Pancasila Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Di Indonesia Berdasarkan Uud 1945. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(2), 58�69.

 

Habiburrahman. (2011). Rekonstruksi hukum kewarisan Islam di Indonesia. Kementerian Agama RI.

 

Hasan, Yunani. (2014). Politik Christian Snouck Hurgronje Terhadap Perjuangan Rakyat Aceh. Jurnal Pendidikan Dan Kajian Sejarah, 3(4), 48�50.

 

Kaplan, David, & Robert, A. (2012). Manner. Teori Budaya, Terj. Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Karim, M. Abdul, Fahsin, Faal, & Maya, Artika. (2007). Islam Nusantara. Pustaka Book.

 

Lukito, Ratno. (2003). Pergumulan Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Yogyakarta: Manyar Media.

 

Lukito, Ratno, & Adnan, Ainur Rofiq. (2008). Tradisi Hukum Indonesia. Teras.

 

Nurtjahjo, Hendra, & Fuad, Fokky. (2010). Legal standing kesatuan masyarakat hukum adat dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi. Salemba Humanika.

 

Salim, Arskal. (2005). John Bowen, Islam, law and equality in Indonesia: an anthropology of public reasoning. The Australian Journal of Asian Law, 7(2), 187�197.

 

Sedryawati, Edi. (2007). Budaya Indonesia �Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.� Jakarta: Raja Grafindo.

 

Wahyudi, Yudian. (2007). Ushul fikih versus hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika. Pesantren Nawasea Press.