Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�

Vol. 3, No.11, November 2021

 

HUBUNGAN ANTARA STRESS KERJA DAN KUALITAS TIDUR DENGAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA DOSEN UHAMKA SELAMA PANDEMI COVID-19

 

Anissa Rizky Andriany, Mahesti Pertiwi

Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta, Indonesia

Email: [email protected], �[email protected]

 

Abstrak

Pandemi Covid-19 telah membawa dampak perubahan dalam bidang pendidikan terlihat jelas pada proses kegiatan belajar mengajar, yang semula dilakukan di lingkungan kampus berubah menjadi perkuliahan jarak jauh (PJJ). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara stres kerja dan kualitas tidur dengan subjective well- being pada dosen di UHAMKA. Penelitian ini melibatkan 85 dosen yang bekerja di UHAMKA. Instrumen penelitian yang digunakan adalah Kuesioner Stres Kerja, Pittsburgh Sleep Quality Index, dan Subjective well-being. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara stress kerja dengan subjective well-being pada dosen UHAMKA selama pandemi covid-19, hubungan bersifat negatif. Artinya, semakin tinggi stress kerja yang dialami dosen, maka akan semakin rendah subjective well-being, begitu juga sebaliknya. Lebih lanjut, terdapat hubungan antara kualitas tidur dan subjective well-being pada dosen UHAMKA, dengan arah hubungan positif, menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas tidur yang dimiliki dosen, maka semakin tinggi subjective well-being, begitu juga sebaliknya. Kesimpulan dari penelitian ini, terdapat hubungan antara stress kerja dan kualitas tidur dengan subjective well-being pada dosen UHAMKA selama covid-19. Hal tersebut menunjukkan bahwa stress kerja dan kualitas tidur secara bersamaan keduanya berhubungan dengan subjective well-being pada dosen UHAMKA selama covid-19, dengan kata lain Ha diterima dan Ho ditolak.

 

Kata kunci: Stress Kerja; Kualitas Tidur; Subjective Well-Being; Dosen; Uhamka

 

Abstract

The Covid-19 pandemic has brought about changes in education that are evident in the process of teaching and learning activities, which were originally carried out in the campus environment turned into distance lectures (PJJ). This study aims to find out whether or not there is a relationship between work stress and sleep quality with subjective well-being in lecturers at UHAMKA. This study involved 85 lecturers who worked at UHAMKA. The research instruments used are the Work Stress Questionnaire, the Pittsburgh Sleep Quality Index,and thewell-being bjectiveSu.� The results showed that there was a relationship between work stress and subjective well-being in UHAMKA lecturers during the covid-19 pandemic, a negative relationship. That is, the higher the work stress experienced by lecturers, the lower subjective well-being,and vice versa. Furthermore, there is a relationship between sleep quality and subjective well-being in UHAMKA lecturers, with the direction of positive relationships, showing that the higher the quality of sleep that lecturers have, the higher subjective well-being,and vice versa. The conclusion of this study, there is a relationship between work stress and sleep quality with subjective well-being in UHAMKA lecturers during covid-19. This shows that work stress and sleep quality simultaneously are both associated with subjective well-being in UHAMKA lecturers during covid-19, inother words Ha was accepted and Ho wasrejected.

 

Keywords: Work Stress; Sleep Quality; Subjective Well-Being; Lecturer; Uhamka

 

Received: 2021-10-22; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20

 

Pendahuluan

Wabah Corona Virus Diseases-19 (Covid-19) sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia dalam waktu satu tahun belakangan ini. Di Indonesia sendiri, tantangan terhadap penanganan masalah Covid-19 membuat pemerintah menerapkan beberapa kebijakan seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro yang bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. Pilihan tersebut bukanlah sebuah keputusan yang mudah dan tidak berdampak pada aspek kehidupan manusia. Pembatasan interaksi sosial masyarakat tentu saja dapat menghambat laju pertumbuhan dan kemajuan dalam berbagai sektor kehidupan manusia, seperti segi sosial, ekonomi maupun dunia kerja. Karantina dan gangguan terhadap dunia usaha, larangan bepergian, penutupan sekolah dan langkah penutupan lainnya membawa dampak yang bersifat mendadak dan drastis terhadap pekerja dan perusahaan (Novitz, 2020). Tindakan karantina penuh atau parsial saat ini sudah berdampak pada hampir 2,7 miliar pekerja, yang sudah mewakili sekitar 81 persen tenaga kerja dunia (Novitz, 2020). Situasi saat ini, membuat usaha di berbagai sektor ekonomi sedang menghadapi krisis ekonomi yang dapat mengancam operasi dan kesehatan mereka, terutama di antara perusahaan kecil, sementara jutaan pekerja lain rentan kehilangan pekerjaan dan pendapatan���� serta���� mengalami���� PHK (Setiawan et al., 2021).

Pada bidang Pendidikan, perubahan terlihat pada proses kegiatan belajar mengajar. Proses belajar mengajar dalam lingkup Pendidikan Tinggi di perguruan tingi, yang semula dilakukan di lingkungan kampus berubah menjadi perkuliahan daring atau jarak jauh. Dampak perubahan yang terjadi karena pembelajaran daring, diantaranya membuat proses belajar mengajar menjadi kurang maksimal. Berbagai tuntutan adaptasi terhadap metode dalam pembelajaran, tumpukan pekerjaan administratif sebagai dosen, berkurangnya kualitas tidur, hingga berbagai tekanaan atau stressor yang dialami menjadi permasalahan yang dialami pengajar atau dosen selama perkuliahan daring.

Stres karena pekerjaan juga dapat berpengaruh pada fisik yang mengakibatkan gangguan-gangguan tertentu pada organ tubuh manusia. Seperti yang dikemukakan oleh (Robbins, 2001) bahwa hal yang memengaruhi ada tidaknya stressor yang menyebabkan stres kerja meliputi tekanan dan tuntutan yang dilakukan untuk menghindari error dan menyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang terbatas, pekerjaan yang berlebihan, tuntutan yang berlebihan pada pekerjaan, pimpinan yang tidak perhatian,dan rekan kerja yang tidak nyaman. Stres kerja akan memengaruhi secara negatif kinerja seorang pekerja karena dengan gejalanya yang meliputi gejala fisik, gejala psikologis, dan gejala perilaku akan dapat mengganggu pola kerja pekerja tersebut.

Stress merupakan respon individu terhadap keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mengancam dan menekan individu serta mengurangi kemampuan-kemampuan mereka menghadapinya (Santrock, 2002). Menurut (Ngurah & Baskoro, 2003) berpendapat bahwa stres merupakan gejala yang terjadi di dalam proses penyesuaian antara individu dengan lingkungannya, selanjutnya stress akan terjadi bila ada tuntutan-tuntutan terhadap individu melebihi kemampuan penyesuaiannya. Hal ini dapat dikatakan bahwa stress sebagai bentuk hubungan antara individu dengan lingkungannya yang dinilai sebagai sesuatu yang mengancam atau sesuatu yang menekan.

Masalah seberapa besar pengaruh stres kerja yang dialami individu tersebut semua itu tergantung terhadap bagaimana individu itu menanganinya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rousseau dan Prince (Rahayu, 2000) mengatakan bahwa stres kerja juga dipandang sebagai kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang timbul karena pekerja merasa terancam dalam bekerja. Perasaan terancam ini disebabkan hasil persepsi dan penilaian pekerja yang menunjukkan ada ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian antara karakteristik tuntutan-tuntutan pekerjaan dengan kemampuan dan kepribadian pekerja. Itu artinya bahwa stres kerja tidak hanya timbul dari tuntutan kerja yang diberikan oleh perusahaan saja, akan tetapi juga dapat muncul karena adanya ketidaksesuaian kepribadian antara individu dengan lingkungannya.

Di sisi lain, berdasarkan hasil survei National Sleep Foundation mengatakan bahwa orang berusia 13-64 tahun sebanyak 43% terbangun di malam hari akibat stress setidaknya satu kali dalam satu bulan. Tidur merupakan suatu kebutuhan dasar biologis makhluk hidup. Kebutuhan tidur seseorang�� dapat��� dikatakan��� baik��� apabila�� cukup secara��� kuantitas��� maupun kualitasnya. Kebutuhan tidur yang�� cukup�� tidak�� hanya ditentukan�� oleh��� faktor��� jam��� tidur (kuantitas tidur), tetapi juga oleh kedalaman tidur (kualitas tidur). Kualitas�� tidur�� meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk� bisa� tertidur,� frekuensi� terbangun� dan aspek�� subjektif�� seperti�� kedalaman�� dan�� kepulasan�� tidur.

Terdapat survei terhadap pasien insomnia dan tidak insomnia. Insomnia yang kemudian dapat diartikan kualitas tidur yang kurang yaitu seringnya terbangun saat tidur di malam hari sehingga merasakan kelelahan pada saat bangun tidur dan sepanjang hari. Kualitas tidur sangatlah penting karena dua alasan, yaitu keluhan mengenai kualitas tidur cukup banyak, di antaranya survei epidemiologi melaporkan bahwa 15%-35% populasi dewasa mengeluh frekuensi gangguan kualitas tidur berupa kesulitan untuk masuk tidur atau adanya kesulitan untuk mempertahankan tidur. Kurangnya kualitas tidur dapat diartikan merupakan gejala gangguan tidur maupun gangguan medis. Salah satu komponen kualitas tidur yang sering yaitu durasi tidur dapat dihubungkan langsung dengan mortalitas.

Kualitas� �tidur�� dikatakan�� baik��� jika��� tidak menunjukkan�� tanda-tanda kekurangan�� tidur�� dan�� tidak�� mengalami��� masalah��� dalam tidur, kualitas�� tidur�� yang buruk�� merupakan�� faktor� �resiko�� terjadinya�� masalah�� fisik dan psikologis.� Masalah fisik yang dapat� ditimbulkan� antara�� lain�� kelelahan,�� nyeri�� kepala primer, dan penurunan sistem imun (Pitaloka & Utami, 2015). Berdasarkan data tersebut, dapat terlihat bahwa berkurangnya kualitas tidur, hingga berbagai tekanan atau stressor yang dialami para dosen, lebih lanjut disinyalir membuat kesejahteraan atau well-being mereka menjadi terganggu. Sementara itu, kualitas tidur yang baik dihubungkan dengan hal-hal positif yaitu kesehatan yang baik, kurangnya mengantuk di siang hari dan fungsi psikologis lebih baik, juga memengaruhi kualitas hidup termasuk kesehatan mental, energi vitalitas pisik, produktivitas, kreativitas dan bahkan berat badan. Juga memengaruhi alam perasaan, keseimbangan emosional dan kemampuan dalam mengatasi stress.

Kesejahteraan atau well-being sendiri menurut (Bogdan Ilić �ivojinović, Backović, Soldatović, & Belojević, 2019) menjadi hal yang penting untuk diteliti. Diener (2005) menyatakan bahwa subjective well-being merupakan evaluasi kognitif seperti kepuasan hidup dan reaksi afektif yang terdiri dari positive affect dan negative affect. Subjective well-being merupakan suatu keadaan ketika individu mempersepsi dan mengevaluasi tentang segala hal yang terjadi di dalam kehidupan mereka, yaitu evaluasi kognitif dan afektif. Cara seseorang memandang kehidupannya dapat dilakukan secara kognitif yaitu dalam bentuk kepuasan hidup, maupun secara afektif yakni dalam bentuk suasana hati dan reaksi emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan (Diener, 2000).

Beberapa penelitian sudah membuktikan bahwa terdapat pengaruh antara stres kerja dengan kualitas tidur, stres kerja dengan subjective well-being, namun belum ada penelitian yang belum membahas secara spesifik terkait pengaruh stress kerja dan kualitas tidur terhadap subjective well-being pada dosen, khususnya dosen UHAMKA selama pandemi covid-19. Sehingga dari hasil penelitian ini kelak dapat dilakukan sebuah langkah aplikatif yang dapat menjaga kesehatan mental para dosen agar dapat mengupayakan tetap memberikan performa terbaik dalam proses pembelajaran di masa kondisi pandemi saat ini. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin melihat Hubungan antara Stres Kerja dan Kualitas Tidur dengan Subjective Well-Being pada Dosen UHAMKA selama pandemi Covid-19.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode non-eksperimental dalam menganalisis data-data yang telah dikumpulkan melalui alat ukur untuk mengukur variabel stress kerja, kualitas tidur dan subjective well-being. Selain itu, untuk menjawab pertanyaan penelitian digunakan teknik korelasional. Pendekatan yang dilakukan adalah cross-sectional dengan satu kali pengambilan data tanpa memanipulasi variabel penelitian.

Penelitian ini melibatkan 85 dosen yang bekerja di UHAMKA. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Adapun kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah dosen aktif yang mengajar di UHAMKA pada setiap fakultas dan program studi. Data demografis partisipan telah diperiksa dan dipastikan validitasnya, sehingga tidak ada partisipan yang mengisi kuesioner lebih dari satu kali serta menjawab seluruh item kuesioner yang diberikan.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Hasil Penelitian

Karakteristik seluruh responden pada penelitian ini dilihat dari kategori usia, jumlah sks mengajar, dan durasi tidur dipaparkan pada tabel 1.

 

Tabel 1

Karakteristik Responden

Kriteria

Jumlah

Persentase (%)

Usia (dalam tahun)

20 � 29

30 � 39

40 � 49

50 � 59

60 � 69

Total

 

11

45

24

2

3

85

 

13

53

28

2

4

100

Beban SKS per semester

< 12 sks

12 � 16 sks

> 16 sks

Total

 

12

33

40

85

 

14

39

47

100

Durasi tidur

> 7 jam

6 � 7 jam

4 � 5 jam

< 4 jam

Total

 

0

20

32

33

85

 

0

23

38

39

100

 

����������� Tabel 1 menunjukkan bahwa subjek penelitian ini sebagian besar berusia 30 � 39 tahun (53%), beban SKS per semester sebanyak lebih dari 16 sks (40%), dan durasi tidur malam kurang dari 4 jam (33%). Berdasarkan hasil uji korelasi, ditemukan hasil seperti yang tertera di tabel 2.

Tabel 2

Hasil Uji Korelasi Berganda

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t

Sig.

B

Std. Error

Beta

1

(Constant)

139.694

8.960

 

15.590

.000

STRES KERJA DOSEN

-.147

.156

-.105

-.942

.000

KUALITAS TIDUR DOSEN

.159

.106

.167

1.494

.000

a. Dependent Variable: SWB DOSEN

Berdasarkan data pada tabel 2, hasil uji menunjukkan bahwa nilai koefisien f=2,059 dengan p=0,000, p<0,01. yang berarti terdapat hubungan antara stress kerja dan kualitas tidur dengan subjective well-being pada dosen selama pandemi covid-19.

 

B.  Pembahasan

Kehidupan manusia tidak akan pernah terlepas dari berbagai tantangan baik yang berasal dari dalam diri maupun lingkungan. Kondisi tantangan yang lebih besar dari daya tahan tubuh seringkali menimbulkan perasaan yang tidak nyaman pada individu. Kondisi ketidaknyamanan tersebut seringkali kita sebut dengan istilah stres. Stres oleh ahli didefinisikan sebagai sistem interaksi yang melibatkan aspek fisik, psikologi, dan sosial yang menimbulkan ketegangan, kecemasan, dan kebutuhan pada aspek psikologi maupun fisiologis (Pottie & Ingram, 2008).

Sebenarnya stres tidak selalu bermakna negatif. Menurut (Kwon et al., 2010) bahwa stress dapat menjadi suatu hal yang positif karena dapat menjadi pemicu untuk membantu seseorang mencapai tujuan tertentu. Pada konteks umum, stres memang lebih cenderung berkaitan dengan sesuatu yang negatif. Kondisi stres yang berlebihan menimbulkan berbagai efek kepada setiap orang (Huang, Xia, & Zhu, 2014). Studi (Goswami, 2015) dan (Mabiza, Mahlalela, & Mbohwa, 2017) membuktikan bahwa stres kerja dapat menurunkan dan justru juga meningkatkan kinerja karyawan. Stres kerja sendiri diyakini akan mengakibatkan meningkatnya kemungkinan kerja (absenteein), keterlambatan, rendahnya produktivitas, dan menurunnya kemampuan melakukan tugas-tugas (Yuwono, 2020).

Stres kerja dihasilkan dari ketidakcocokan antara tuntutan dan tekanan tinggi pada individu (Ismail & Teck-Hong, 2011). Ini tidak hanya mencakup situasi di mana tekanan kerja melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya, tetapi juga di mana pengetahuan dan kemampuan individu tidak dimanfaatkan secara optimal (Bytyqi, Reshani, & Hasani, 2010). peran karyawan dalam organisasi, hubungan kerja, keamanan pekerjaan, dan kurangnya otonomi kerja (Dafinci, Meiliani, & Kananlua, 2020). Stres menyebabkan ketidakseimbangan dalam kehidupan karena mengarah pada merusak kesehatan, mengganggu kualitas tidur, memengaruhi sikap dan perilaku kerja (Khuong & Yen, 2016). Karyawan yang mengalami stres kerja umumnya mempengaruhi tingkat kinerja mereka (Wafula & Nyaboga, 2019).

Berdasarkan analisis data hasil penelitian ini diperoleh nilai korelasi antara stress kerja dengan subjective well-being sebesar -0,942 dengan p=0,00 (p<0,01). Hal ini menandakan bahwa terdapat hubungan antara stress kerja dengan subjective well-being pada dosen UHAMKA selama pandemi covid-19, di mana hubungan bersifat negatif. Dengan kata lain, semakin tinggi stress kerja yang dialami dosen, maka akan semakin rendah subjective well-being. Sebaliknya, semakin rendah stress kerja yang dialami dosen, maka akan semakin tinggi subjective well-being.

Stres yang dirasakan seseorang tidak dapat diprediksi (unpredictable), tidak terkendali (uncontrollable), atau melebihi kapasitas seseorang (overloading). Seseorang yang tidak mampu mengelola stress dengan tepat, maka akan berdampak buruk pada perilaku, kesehatan fisik maupun psikologisnya (Mental Health Fondations, 2012). Stres terkait dengan pekerjaan yang terjadi ketika tuntutan pekerjaan (tugas dan tanggung jawab pekerjaan) dan sumber daya dan kemampuan pekerja individu (spesifikasi pekerjaan) berbeda (Harshana, 2018).

Stres dapat menjadi positif dan berdampak secara positif di tempat kerja dengan membuat karyawan memanfaatkan sepenuhnya kemampuan karyawan dan dengan meningkatkan kewaspadaan karyawan (Renukamurthy, 2017). Lebih lanjut, jika ada tingkat stres tertentu maka dapat menambah potensi keuntungan dalam efisiensi organisasi. Akan tetapi, begitu stres menjadi berlebihan maka akan berdampak pada kinerja karyawan. Stres kerja dikonseptualisasi dari titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respons dan stres sebagai stimulus-respons. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respons individu (Mabiza et al., 2017). Stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang (Bytyqi et al., 2010). Stress juga akan berdampak pada kesejahteraan individu. (Nezlek, Krejtz, Rusanowska, & Holas, 2019) menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan individu lebih tinggi ketika individu merasakan lebih sedikit stress dibandingkan ketika individu merasakan lebih banyak stress.

Tingkat stress kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ketidakjelasan peran, konflik peran, beban tugas yang berlebih secara kuantitatif, pengembangan karir, dan tanggung jawab terhadap orang lain. Beban kerja yang dimiliki oleh dosen UHAMKA yang menjadi partisipan penelitian ini memiliki beban kerja secara kuantitatif yang tinggi. Sebanyak 47% dari dosen yang menjadi partisipan peneltian memiliki beban sks yang cukup besar dalam satu semester, sehingga melebihi batas maksimal ketentuan Kemenristekdikti mengenai beban total maksimum dosen tetap adalah setara dengan 12 sampai dengan 16 sks per semester.

Hasil penelitian mengenai hubungan kualitas tidur dan subjective well-being pada dosen UHAMKA, diperoleh nilai korelasi antara kualitas tidur dengan subjective well-being sebesar 1,494 dengan p=0,000 (p<0,01). Dengan kata lain, semakin tinggi kualitas tidur yang dimiliki dosen, maka semakin tinggi subjective well-being. Sebaliknya, semakin rendah kualitas tidur yang dimiliki dosen, maka akan semakin rendah pula subjective well-beingnya. Terlihat bahwa kualitas tidur berhubungan dengan subjective well-being yang dimiliki oleh setiap dosen, dan arah hubungan bersifat positif.

Sebanyak 39% dosen UHAMKA memiliki waktu tidur kurang dari 4 jam setiap harinya. Berdasarkan analisis kajian teori, setiap orang memiliki jam biologis yang berbeda-beda. Untuk mereka yang memasuki usia 20 tahun, umumnya akan sulit untuk bisa tidur jam 10 malam. Karena pada usia remaja sampai dewasa muda, mempunyai jam biologis yang sangat khas. Remaja dan dewasa muda ketika jam 10 malam, otak justru dalam keadaan segar dan penuh kreativitas. Inilah waktu yang tepat sebenarnya untuk mereka bekarya dan belajar. Karena sebenarnya dewasa muda akan mengantuk setelah lewat tengah malam. Artinya jika seorang dewasa muda tidur lewat jam tengah malam hal ini adalah normal (Prasad, 2009).

Kualitas tidur yang baik juga dapat meningkatkan kualitas hidup individuKualitas tidur itu sendiri dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu latensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur subjektif, efisiensi tidur sehari-hari, gangguan tidur, penggunaan obat tidur dan disfungsi di siang hari (Dhamayanti, Faisal, & Maghfirah, 2019). Tidur tidak hanya sekedar beristirahat dan menutup mata di malam hari. Tidur yang berkualitas memiliki tiga elemen yaitu durasi, kontinuitas dan kedalaman. Durasi tidur artinya lamanya tidur berlangsung. Kontinuitas adalah tidur yang terus menerus berlangsung tanpa terbangun dan terkena gangguan hingga bangun di pagi hari. Kedalaman tidur yaitu berkaitan dengan tidur yang nyenyak di mana saat terbangun badan tidak terasa lelah namun terasa lebih segar. Rata-rata jam tidur yang ideal bagi individu dewasa ialah selama 7-9 jam per malam, di mana hal ini bervariasi pada setiap individu (Dhamayanti et al., 2019). Meskipun para dosen memiliki waktu tidur yang pendek, bukan berarti kualitas tidur yang dimiliki mereka selalu tidak baik. Meskipun demikian, tingginya kualitas tidur ini sangatlah bermanfaat bagi dosen, karena tidur mampu menjaga kesehatan fisik, kognitif, dan emosional seseorang (Abraham, Pu, Schleiden, & Albert, 2017).

Selanjutnya, hasil uji analisis korelasi berganda menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara stress kerja dan kualitas tidur dengan subjective well-being pada dosen UHAMKA selama covid-19. Hal tersebut menunjukkan bahwa stress kerja dan kualitas tidur secara bersamaan keduanya berhubungan dengan subjective well-being. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya oleh (Nezlek et al., 2019) yang menemukan bahwa kesejahteraan secara signifikan berhubungan dengan stress harian (daily stress). Hal ini sejalan dengan penelitianyang dilakukan oleh (Zhou et al., 2020), yang menunjukkan hasil bahwa adanya hubungan negatif yang signifikan antara stres kerja dengan kesejahteraan di lingkungan kerja karyawan di masa pandemic COVID-19 pada PT, yang berarti semakin rendah stress kerja maka semakin tinggi kesejahteraan di lingkungan kerja karyawan, begitu pula sebaliknya. Lebih lanjut, hasil penelitian ini pun sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Khairunnisa�Md Yusof, Abdullah, Avery-Kiejda, & Rosli, 2021) yang mendapatkan hasil bahwa kesejahteraan psikologis memiliki pengaruh negatif terhadap stres kerja pada Pegawai Negeri Sipil Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Aceh Timur, yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan psikologis pegawai maka akan semakin rendah tingkat stres kerja, begitu pula sebaliknya. Selain itu, penelitian lain dari (Susanti, Kusuma, & Rosdiana, 2017) mengenai tingkat stress kerja dengan kualitas tidur perawat menemukan bahwa terdapat hubungan searah antara tingkat stress kerja dengan kualitas tidur, artinya apabila seseorang mengalami stress kerja dapat menyebabkan kualitas tidur yang buruk. Penelitian yang dilakukan oleh (Daima, Nurhayati, & Fitriyana, 2020), didapatkan hasil sebanyak 49 responden (64,5%) mengalami stres kerja sedang, sebanyak 58 responden (76,3%) memiliki kualitas tidur kategori buruk. Hasil menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara dua variabel sebesar 6,674 nilai P 0,036 (CI=0,05). Saat kondisi stres tubuh mengalami peningkatan hormon glukokortikoid yang memengaruhi siklus sirkadian dan jaras tidur sehingga stres menyebabkan buruknya kualitas tidur. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh (Hilmawan & Clark, 2021) juga menunjukkan hasil yang sejalan dengan penelitian ini, bahwa kualitas tidur berpengaruh secara signifikan terhadap kebahagiaan pada mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik kualitas tidur pada mahasiswa, maka semakin tinggi tingkat kebahagiaan pada mahasiswa.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara stress kerja dengan subjective well-being pada dosen UHAMKA selama pandemi covid-19, di mana hubungan bersifat negatif. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi stress kerja yang dialami dosen, maka akan semakin rendah subjective well-being. Semakin rendah stress kerja yang dialami dosen, maka akan semakin tinggi subjective well-being. Lebih lanjut, terdapat hubungan antara kualitas tidur dan subjective well-being pada dosen UHAMKA, dengan arah hubungan positif, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas tidur yang dimiliki dosen, maka semakin tinggi subjective well-being. Sebaliknya, semakin rendah kualitas tidur yang dimiliki dosen, maka akan semakin rendah pula subjective well-beingnya. Selanjutnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara stress kerja dan kualitas tidur dengan subjective well-being pada dosen UHAMKA selama covid-19. Hal tersebut menunjukkan bahwa stress kerja dan kualitas tidur secara bersamaan keduanya berhubungan dengan subjective well-being pada dosen UHAMKA selama covid-19.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abraham, Olufunmilola, Pu, Jia, Schleiden, Loren J., & Albert, Steven M. (2017). Factors contributing to poor satisfaction with sleep and healthcare seeking behavior in older adults. Sleep Health, 3(1), 43�48.Google Scholar

 

Bogdan Ilić �ivojinović, Jelena, Backović, Du�an, Soldatović, Ivan, & Belojević, Goran. (2019). Korelati sindroma izgaranja među beogradskim studentima medicine-studija presjeka. Croatian Journal of Education: Hrvatski Časopis Za Odgoj i Obrazovanje, 21(4), 1213�1230. Google Scholar

 

Bytyqi, Fisnik, Reshani, Vllaznim, & Hasani, Vyrtyt. (2010). Work stress, job satisfaction and organizational commitment among public employees before privatization. European Journal of Social Sciences, 18(1), 156�162. Google Scholar

 

Dafinci, Wina Oktafiana, Meiliani, Meiliani, & Kananlua, Paulus Suluk. (2020). Studi Tentang Stres Kerja yang Berdampak Pada Kinerja Karyawan. The Manager Review, 2(2), 32�51. Google Scholar

 

Daima, Ai Nazly Nur, Nurhayati, Eka, & Fitriyana, Susan. (2020). Hubungan Tingkat Stres Kerja dengan Kualitas Tidur pada Satuan Pengamanan Universitas Islam Bandung. Google Scholar

 

Dhamayanti, Meita, Faisal, Faisal, & Maghfirah, Elma Citra. (2019). Hubungan Kualitas Tidur Dan Masalah Mental Emosional Pada Remaja Sekolah Menengah. Sari Pediatri. Https://Doi. Org/10.14238/Sp20, 5, 283�288. Google Scholar

 

Diener, Ed. (2000). Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist, 55(1), 34. Google Scholar

 

Goswami, Tulsee Giri. (2015). Job stress and its effect on employee performance in banking sector. Indian Journal of Commerce and Management Studies, 6(2), 51. Google Scholar

 

Harshana, P. V. S. (2018). Work related stress: A literature review. Annals of Social Sciences Management Studies, 2(3). Google Scholar

 

Hilmawan, Rian, & Clark, Jeremy. (2021). Resource dependence and the causes of local economic growth: An empirical investigation. Australian Journal of Agricultural and Resource Economics. Google Scholar

 

Huang, Lin Lin, Xia, Harry Hua Xiang, & Zhu, Sen Lin. (2014). Ascitic fluid analysis in the differential diagnosis of ascites: focus on cirrhotic ascites. Journal of Clinical and Translational Hepatology, 2(1), 58. Google Scholar

 

Ismail, Mohamed Irfann, & Teck-Hong, Tan. (2011). Identifying work-related stress among employees in the Malaysian financial sector. World Journal of Management, 3(2), 229�243. Google Scholar

 

Khairunnisa�Md Yusof, Rozi Mahmud, Abdullah, Maha, Avery-Kiejda, Kelly A., & Rosli, Rozita. (2021). Cross-Cultural Adaptation of the Functional Assessment of Cancer Therapy-Breast (FACT-B) in Malaysian Breast Cancer Survivors. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention: APJCP, 22(4), 1055. Google Scholar

 

Khuong, Mai Ngoc, & Yen, Vu Hai. (2016). Investigate the effects of job stress on employee job performance--a case study at Dong Xuyen industrial zone, Vietnam. International Journal of Trade, Economics and Finance, 7(2), 31. Google Scholar

 

Kwon, Heenam, Kim, Hyeon Joo, Rice, William L., Subramanian, Balajikarthick, Park, Sang‐Hyug, Georgakoudi, Irene, & Kaplan, David L. (2010). Development of an in vitro model to study the impact of BMP‐2 on metastasis to bone. Journal of Tissue Engineering and Regenerative Medicine, 4(8), 590�599. Google Scholar

 

Mabiza, Junior, Mahlalela, Pathiswa, & Mbohwa, Charles. (2017). Reducing unemployment rate in south africa through establishment of graduate internship programmes (GIP). Proceedings of the International MultiConference of Engineers and Computer Scientists, 2, 15�17. Google Scholar

 

Mental Health Fondations. (2012). Mental health statistics: stress.

 

Nezlek, John B., Krejtz, Izabela, Rusanowska, Marzena, & Holas, Paweł. (2019). Within-person relationships among daily gratitude, well-being, stress, and positive experiences. Journal of Happiness Studies, 20(3), 883�898. Google Scholar

 

Ngurah, Anak Agung Gede, & Baskoro, Edy Tri. (2003). On magic and antimagic total labeling of generalized Petersen graph. Utilitas Mathematica, 97�108. Google Scholar

 

Novitz, Tonia. (2020). Engagement with sustainability at the International Labour Organization and wider implications for collective worker voice. International Labour Review, 159(4), 463�482. Google Scholar

 

Pitaloka, Rika Diah, & Utami, Gamya Tri. (2015). Hubungan kualitas tidur dengan tekanan darah dan kemampuan konsentrasi belajar mahasiswa program studi ilmu keperawatan universitas riau. Riau University. Google Scholar

 

Pottie, Colin G., & Ingram, Kathleen M. (2008). Daily stress, coping, and well-being in parents of children with autism: a multilevel modeling approach. Journal of Family Psychology, 22(6), 855. Google Scholar

 

Prasad, Jaishree Akhilesh. (2009). Convective heat transfer in herb and spices during open sundrying. International Journal of Food Science & Technology, 44(4), 657�665. Google Scholar

 

Rahayu, Winiati Pudji. (2000). Aktivitas antimikroba bumbu masakan tradisional hasil olahan industri terhadap bakteri patogen dan perusak. Google Scholar

 

Renukamurthy, T. P. (2017). Stress among banking employee-A literature review. International Journal of Research-Granthaalayah, 5(1), 206�213. Google Scholar

 

Robbins, Stephen P. (2001). Perilaku Organisasi: konsep, konrtoversi, aplikasi. Google Scholar

 

Santrock, John W. (2002). Life-span development. Jakarta: Erlangga. Google Scholar

 

Setiawan, Eko, Tristanti, Afif, Oktifia, Aminatul Rizqa, Sary, Dea Monica, Anggraini, Dia, Nurjihananingrum, Lutfi Indah, Husna, Mazidatul, Effendy, M. Ibnu Ma�ruf, Maulidiyah, Rina, & Maulana, Septi Rahayu. (2021). Pemberdayaan Santri Tangguh dan Masyarakat Sekitar dalam Pencegahan Covid-19. Jurnal Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (JP2M), 2(1), 29�34. Google Scholar

 

Susanti, Eva, Kusuma, Farida Halis Dyah, & Rosdiana, Yanti. (2017). Hubungan tingkat stres kerja dengan kualitas tidur pada perawat di Puskesmas Dau Malang. Nursing News: Jurnal Ilmiah Keperawatan, 2(3). Google Scholar

 

Wafula, Milka, & Nyaboga, Esther. (2019). Stress management and employee performance: use of psychotherapy as mitigation in selected schools (School of business and economics and Health sciences) in Kisii University, Kenya. Merit Research Journal of Business and Management, 7(3), 19�27. Google Scholar

 

Yuwono, Sudharno Dwi. (2020). Profil Kondisi Stres Di Masa Pandemi Covid-19 Sebagai Dasar Intervensi Dalam Praktek Mikrokonseling. Ristekdik: Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 5(1), 132�138. Google Scholar

 

Zhou, Yadi, Hou, Yuan, Shen, Jiayu, Mehra, Reena, Kallianpur, Asha, Culver, Daniel A., Gack, Michaela U., Farha, Samar, Zein, Joe, & Comhair, Suzy. (2020). A network medicine approach to investigation and population-based validation of disease manifestations and drug repurposing for COVID-19. PLoS Biology, 18(11), e3000970. Google Scholar

 

Copyright holder:

Anissa Rizky Andriany, Mahesti Pertiwi (2021)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under: