Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
�Vol. 3, No.11, November 2021
MEKANISME KEJADIAN DERMATITIS KONTAK IRITAN AKIBAT PAPARAN
BUAH NANAS (ANANAS COMOSUS)
Enjelina, Dea Alnisrina, Lulu� Farida
Universitas Lampung, Sumatera, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Dermatitis kontak iritan merupakan respon kulit terhadap
kontak dengan berbagai paparan zat seperti biologi, kimia maupun fisik.
Terjadinya DKI dapat dipengaruhi oleh faktor endogen maupun eksogen. Faktor
eksogen seperti paparan zat dari lingkungan sekitar dan faktor endogen seperti
fungsi pertahanan kulit dan adanya riwayat dermatitis sebelumnya seperti
dermatitis atopik. Literature review
ini bertujuan untuk memahami mekanisme terjadinya dermatitis kontak iritan akibat
paparan nanas (Ananas comosus) terutama pada pekerja serta
pencegahannya. Studi ini dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah buku, artikel
penelitian dan jurnal ilmiah yang berhubungan dengan mekanisme terjadinya
dermatitis kontak iritan akibat paparan nanas (Ananas comosus). Literature review telah dilakukan pada Jul�
2019. Nanas atau Ananas comosus
adalah anggota dari famili bromeliad dan dikenal sebagai penyebab dermatitis
iritan dan stomatitis. Ekstraksi nanas mengandung sejumlah enzim proteolitik
yang dikenal sebagai bromelain, yang juga merupakan iritan kimiawi dan fisika
termasuk asam sitrat dan kalsium oksalat. Oleh karena itu, buah nanas dapat menjadi
salah satu penyebab dermatitis kontak iritan. Mekanisme ini
berawal dari paparan ringan hingga terus-menerus menyebabkan distrubsi barier
yang menyebabkna aktivasi sitokin serta limfosit T yang memunculkan gejala
berupa inflamasi dan lesi pada kulit.
Kata Kunci:
dermatitis kontak iritan; mekanisme; nanas; Bromelain
Abstract
Irritant contact dermatitis is the skin's response to contact with various
exposures to substances such as biological, chemical and physical. The
occurrence of DKI can be influenced by endogenous and exogenous factors.
Exogenous factors such as exposure to substances from the surrounding
environment and endogenous factors such as skin defense function and the
presence of a previous history of dermatitis such as atopic dermatitis. This
literature review �aims to understand the
mechanism of the occurrence of irritant
contact dermatitis due to exposure to pineapple(Ananas comosus)especially in
workers and prevention. The study was conducted by collecting a number of
books, research articles and scientific journals that deal with the mechanism
of the occurrence of irritant contact dermatitis due to exposure to pineapple(Ananas
comosus). �Literature review �has been conducted in Jul� 2019. Pineapple
or �Ananas comosus �is a member of the bromeliad family and is
known to be the cause of irritant dermatitis and stomatitis. Pineapple
extraction contains a number of proteolytic enzymes known as bromelain, which
are also chemical and physical irritants including citric acid and calcium
oxalate. Therefore, pineapple fruit can be one of the causes of irritant
contact dermatitis. This mechanism
starts from mild exposure to continuously causing barrier distrubsi which
causes the activation of cytokines and T lymphocytes that cause symptoms in the
form of inflammation and lesions on the skin.
Keywords:
irritant contact dermatitis; mechanism; pineapple;
Bromelain
Received:
2021-10-22; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Indonesia merupakan wilayah yang beriklim tropis dan
berada di daerah khatulistiwa. Indonesia memungkinkan tumbuhnya berbagai macam
tumbuh-tumbuhan dengan subur seperti buah-buahan. Buah-buahan mengandung
berbagai macam vitamin yang diperlukan oleh tubuh, salah satunya adalah vitamin
C. Vitamin C berperan sebagai antioksidan dan efektif �mengatasi radikal bebas yang merusak sel atau
jaringan (Tayeb Et Al., 2013).
Nanas merupakan salah satu jenis buah
yang banyak diminati oleh masyarakat. Bentuknya bulat panjang, kulit buahnya
bersisik. Kebutuhan vitamin C yang dianjurkan adalah sebesar 30-60 mg per hari,
sedangkan rata-rata kecukupan vitamin C untuk keluarga adalah sebesar
(53,7�2,2) mg (Nanas merupakan salah satu jenis buah yang banyak diminati oleh
masyarakat. Bentuknya bulat panjang, kulit buahnya bersisik. Kebutuhan vitamin
C yang dianjurkan adalah sebesar 30-60 mg per hari, sedangkan rata-rata
kecukupan vitamin C untuk keluarga adalah sebesar (53,7�2,2) mg (Karinda et al., 2013).
Dermatitis
atau eksim merupakan pola inflamasi kutaneus yang muncul dengan efloresensi
eritema, vesikel, dan gatal pada fase akutnya. Pada fase kronisnya ditandai
dengan kekeringan, kulit mengelupas, dan terdapat fisura. Dermatitis kontak
iritan (DKI) adalah respon kulit terhadap kontak dengan bahan kimia, fisik,
atau biologi. Terjadinya DKI dapat dipengaruhi oleh faktor endogen seperti
fungsi pertahanan kulit dan adanya riwayat dermatitis sebelumnya seperti
dermatitis atopik. Hampir 80% dari kasus dermatitis merupakan dermatitis kontak
iritan dan DKI sering berhubungan dengan pekerjaan (Brasch et al., 2014).
Selama
abad keenam belas dan ketujuh belas, tanaman nanas diperkenalkan ke Asia
Pasifik dan menjadi tanaman komersial pertama. Bromelain adalah campuran alami
kompleks enzim proteolitik yang berasal dari nanas (Ananas cosmosus) dan
memiliki sifat terapeutik yang penting. Bromelain telah digunakan selama
bertahun-tahun dalam pengobatan tradisional untuk berbagai masalah kesehatan.
Bromelain berpotensial digunakan sebagai zat terapi karena sifat biokimia dan
farmakologinya, dan bahan utama dalam bromelain adalah enzim proteolitik yang
disebut glikoprotein, yang merupakan tambahan untuk bahan yang tidak larut,
seperti mineral, pigmen berwarna, protease inhibitor, asam organik dan pelarut
organik. Sampai saat ini, delapan komponen aktif proteolitik telah diisolasi
dari bromelain. Proteinase dianggap sebagai fraksi yang paling aktif, yang
terdiri dari ~ 2% dari total protein. Bromelain memberikan aktivitasnya selama
rentang pH 4,5 hingga 9,5. Adalah mungkin untuk mengisolasi dan memurnikan
bromelain menggunakan berbagai metode (Rathnavelu et al., 2016). Di balik
manfaatnya sebagai zat terapi, kandungan bromelain pada nanas (Ananas
comosus) juga dapat menimbulkan dampak negatif seperti dermatitis kontak iritan.
Telah
banyak studi kasus yang berhubungan dengan dermatitis kontak iritan pada zat
kimia salahsatunya bromelain dan sitrat y�ng terkandung dalam nanas. Durasi
paparan zat kimia yang cukup lama dan terus-menerus menimbulkan keluhan berupa
rasa perih dan gatal-gatal pada daerah yang terpapar walaupun telah dilakukan
pencegahan berupa penggunaan sarung tangan keluhan tidak berkurang. Banyaknya
kasus yang terjadi terutama pada pekerja pabrik pengolahan nanas dan petani
nanas dapat menurunkan kinerja dan produksi.
Penelitian
ini dibuat dengan tujuan untuk memahami
mekanisme terjadinya dermatitis kontak iritan akibat paparan nanas (Ananas
comosus) terutama pada pekerja serta pencegahannya.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan berupa studi literatur (literature
review). Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah buku, artikel penelitian
dan jurnal ilmiah. Pemilihan referensi didapatkan dengan dermatitis kontak
iritan, mekanisme, zat kimia , dan bromelain. Referensi yang digunakan
berhubungan dengan mekanisme terjadinya dermatitis kontak iritan akibat paparan
nanas (Ananas comosus) (Wasitaatmadja, 2018).
Hasil dan Pembahasan
A.
Definisi
Dermatitis
kontak iritan merupakan reaksi kulit terhadap bahan asing eksternal berupa
gesekan atau paparan yang menyebabkan iritasi pada kulit. Manifestasi berupa
warna kulit kemerahan atau coklat dan dapat disertai papula maupun pustula serta
terasa panas. Jika bahan iritan yang terpapar terus menerus dapat menyebabkan
kulit kering dan pecah-pecah serta infeksi (Frosch & John, 2011).
B.
Patofisiologi
dan Manifestasi Klinis Dermatitis Kontak Iritan
DKI terjadi setelah paparan tunggal
pada substansi yang berbahaya bagi kulit dan pada beberapa kasus berat dapat
menimbulkan nekrosis. Hal ini dapat terjadi bergantung pada konsentrasi
substansi dan dapat terjadi pada semua orang, bergantung pada kemampuan
penetrasi dan ketebalan stratum korneum. Terdapat batas konsentrasi dari
substansi-substansi tersebut yang dapat menyebabkan dermatitis akut. Pembeda
antara dermatitis kontak iritan dengan dermatitis kontak alergi (DKA), dimana
DKA bergantung pada sensivitas dan hanya dapat terjadi pada orang-orang yang
sensitif. Karena DKI merupakan efek toksik, gejala yang muncul hanya terbatas
pada area tubuh yang terpapar sehingga selalu berbatas tegas dan tidak menyebar (Brasch et al., 2014).
Manifestasi klinis klasik yang muncul
pada DKI berupa lesi yang terbatas pada area yang terpapar toksin, berbatas
tegas pada fase akut, efloresensi bervariasi dimulai dari eritema sampai
nekrosis, munculnya gejala bergantung pada keakutan dan toksin, dan wtidak
menyebar (Goldsmith et al., 2012).
Secara umum
patogenesis terjadinya dermatitis kontak iritan dapat dijelaskan sebagai
berikut, sistem imun berperan dalam menyebabkan terjadinya dermatitis kontak
iritan melalui berbagai jalur. Meskipun begitu, iritan menyebabkan perubahan
patofisiologi kulit berupa disrupsi barier, kerusakan epidermis seluler, dan
pelepasan mediator proinflamasi yang semuanya saling berkaitan. Keratinosit
berperan penting dalam produksi respon imunologis terhadap iritan (Suryani, 2011). �Keratinosit melepaskan sitokin pada disrupsi
barier kulit, dan mengatur antigen major histocompatibility class II (MHC II)
dan molekul adhesi sel. Pelepasan sitokin proinflamasi interleukin-1α,
interleukin-1β dan TNF-α oleh keratinosit juga berperan dalam reaksi
terhadap iritan. Kemokin, CCL21, yang dihasilkan oleh sel endotel limfatik,
mendorong terajdinya migrasi limfosit T, yang menyebabkan respon inflamasi
kulit. Limfosit T yang memasuki daerah yang mengalami iritasi melepaskan
antigen CLA. Antigen tersebut berperan langsung pada migrasi transendotel
limfosit T. Ligan untuk antigen CLA adalah E-selectin. Pasangan ligan reseptor
lainnya, seperti LFA1/ICAM1 dan VLA4/VCAM1, juga terlibat dalam proses ini.
Antigen CLA menyebabkan agregasi limfosit T ke daerah inflamasi lokal. Tidak
ada sitokin spesifik yang membedakan antara reaksi alergi dengan iritan (Slowdownik D, Lee A, 2008).
C. Mekanisme Dermatitis Kontak Iritan Akibat
Paparan Buah Nanas
Salah satu etiologi tersering dari
dermatitis kontak iritan adalah paparan zat atau senyawa dalam tumbuhan. Reaksi
kulit akibat tumbuhan sering terjadi karena tumbuhan melepaskan berbagai bahan
kimiawi dan fisik yang dapat membahayakan. Empat tipe reaksi pada kulit akibat
paparan tumbuhan atau produk yang berasal dari tumbuhan antara lain adalah
dermatitis kontak iritan, urtikaria kontak, dermatitis kontak alergi, dan
fitofotodermatitis. Reaksi dermatitis kontak iritan disebabkan oleh salah satu
dari tujuh kelompok iritan dasar: kalsium oksalat, protoanemonin,
isothiocyanate, diterpene ester, bromelain, dan alkaloid (Modi et al., 2009). Bromelain dan protease sistein adalah enzim yang terdapat
pada nanas
(Ketnawa et al., 2012).
Nanas atau Ananas
comosus adalah anggota dari famili bromeliad dan dikenal sebagai penyebab
dermatitis iritan dan stomatitis. Ekstraksi nanas mengandung sejumlah enzim
proteolitik yang dikenal sebagai bromelain, yang juga merupakan iritan kimiawi
dan fisika termasuk asam sitrat dan kalsium oksalat (Belcher et al., 2016).
Aktivitas proteolitik bromelain
merupakan sumber iritasi kulit. Hal ini diakibatkan kalsium oksalat pada
tumbuhan nanas yang menyebabkan mikroabrasi sehingga bromelain memberikan efek
proteolitik pada pembuluh darah dermis. Oleh karena itu, hal ini tidak
mengejutkan bahwa pekerja pada pengolahan nanas sering memiliki fisura dan
kehilangan sidik jari pada tangan mereka (Modi et al., 2009).
D. Pencegahan Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan akibat paparan
zat atau senyawa dalam nanas, khususnya bagi para pekerja pada pengolahan nanas
dapat dicegah dan ditangani melalui beberapa langkah pencegahan (level of prevention).
Pertama, pencegahan
tingkat dasar (primordial prevention) dimulai dengan usaha mencegah
terjadinya risiko atau mempertahankan keadaan risiko rendah dalam lingkungan
kerja yang memungkinkan timbulnya suatu penyakit. Pencegahan bisa dilakukan dengan
mempertahankan pola makan dan aktivitas para pekerja. Upaya ini juga bisa
dilakukan dengan seleksi awal pada pekerja yang memiliki alergi terhadap nanas atau
reaksi iritasi terhadap nanas maupun bahan-bahan lain di tempat pekerjaan (Al-Otaibi & Alqahtani, 2015).
Kedua, pencegahan
tingkat pertama (primary prevention) yang dapat dilakukan dengan
beberapa teknik,antara lain:
a. Teknik
pengontrolan
Teknik
pengontrolan ini meliputi eliminasi, substitusi, dan pemisahan bahan-bahan yang
bersifat iritan atau allergen. Langkah subtitusi yaitu mengganti zat yang
menjadi alergen dan iritan dengan zat lain yang lebih rendah potensi untuk
menimbulkan reaksi hipersensitivitasnya. Pencegahan primer juga dapat dilakukan
dengan mendesain tempat kerja sehingga para pekerja dapat bekerja dengan posisi
ergonomis (Jeyaratnam & Koh, 2009).
b. �Perlindungan Pribadi
Alat pelindung
diri yang dapat menurunkan angka kesakitan dermatitis kontak adalah dengan
menggunakan sarung tangan. Penggunaan APD sarung tangan secara benar sangat
efektif untuk mencegah penyakit kulit akibat kerja. Jenis sarung tangan yang
digunakan sebaiknya disesuaikan jenis iritan yang ditangani dan jenis proses
kerja yang dilakukan. Sarung tangan harus menutupi sepertiga lengan baw ah agar
efektif penggunaannya (Jeyaratnam & Koh, 2009). Selain sarung tangan, alat pelindung diri lainnya adalah
sepatu bot dan pakaian pekerja yang sesuai dengan mempertimbangkan sifat fisik
dan resistensi dari senyaw a yang dihubungi serta kemampuan beradaptasi
pekerjanya (Schnuch et al., 2012).
c. Promosi
kesehatan
Usaha
peningkatan derajat kesehatan (promotion) bertujuan untuk meningkatkan
derajat kesehatan perorangan dan kelompok pekerja secara optimal, mengurangi
peranan penyebab dan derajat risiko serta meningkatkan lingkungan yang sehat
secara optimal.Promosi kesehatan diberikan kepada pekerja baru maupun pekerja
lama. Lewat promosi ini dilakukan pengenalan postur tubuh yang baik, cara
bekerja yang baik, pengenalan allergen dan bahan iritan. Pekerja juga mendapat
informasi tentang gejala dan tanda-tanda dermatitis kontak, metode yang tepat untuk
menggunakan alat pelindung diri, penggunaan krim khusus penghalang reaksi
hipersensitivitas, serta edukasi kebersihan individu dan lingkungan kerja.
Promosi kesehatan ini harus dilakukan secara berulangkali (Adisesh et al., 2013).
d. Dukungan motivasi
Motivasi juga
penting dalam program pencegahan, namun sering diabaikan. Meskipun sudah
diberikan pendidikan kesehatan, beberapa pekerja tidak memperhatikan masih
mengganggap hal itu tidak penting karena mereka tidak memandang diri mereka
berharga dan penting untuk dilindungi. Upaya memotivasi pekerja dilakukan untuk
meyakinkan pekerja, bahwa diri mereka lahyang paling beresiko ketika tidak
melakukan pekerjaan tanpa mengikuti prosedur yang ditetapkan. Dalam hal ini
peran mandor atau orang yang bertugas mengawasi mereka dalam bekerja sangat
besar (Saary et al., 2005).
e. Peraturan yang
Jelas
Peraturan
tentang kelengkapan penggunaan APD dan label peringatan harus ditempatkan pada
semua wadah atau produk di mana bahan kimia berbahaya atau zat lain mungkin
ditemui. Bahaya kesehatan harus dijelaskan dengan jelas pada lembar data
keselamatan bahan. Tidak hanya itu, harus ada label yang jelas bagaimana
tatalaksaana awal apabila terkena bahan kimia tersebut (Johansen et al., 2011).
Ketiga, pencegahan
tingkat kedua (secondary prevention) berupa diagnosis awal dan
pengobatan tepat (early diagnosis and prompt treatment) untuk mengetahui
reaksi kulit pekerja terhadap nanas dan bahan-bahan lainnya. Diagnosis dapat
dilakukan dengan pemeriksaan tes patch dan pengujian tambahan dengan alergen
yang spesifik untuk mengkonfirmasi alergen yang dapat menyebabkan dermatitis
kontak. Screening pra-kerja juga bisa dilakukan untuk menghindari mempekerjakan
karyawan baru pada bahaya untuk dermatitis kontak terhadap nanas dan bahan lain
yang ada pada proses produksi (Johansen et al., 2011).
Terakhir, pencegahan
tingkat ketiga (tertiary prevention) berupa perawatan dermatitis kontak
bervariasi berdasarkan stadiumnya. Dalam kasus dermatitis kontak, pencegahan
iritasi dan alergen harus diterapkan. Penilaian kerusakan kulit dan kecacatan
akibat kerja harus dilakukan. Upaya rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan dan
memaksimalkan produktivitas pekerja.
Kesimpulan
Dermatitis
atau eksim merupakan pola inflamasi kutaneus yang muncul dengan efloresensi
eritema, vesikel, dan gatal pada fase akutnya. Pada fase kronisnya ditandai
dengan kekeringan, kulit mengelupas, dan terdapat fisura. Dermatitis kontak
iritan (DKI) adalah respon kulit terhadap kontak dengan bahan kimia, fisik,
atau biologi. DKI terjadi setelah paparan tunggal pada substansi yang berbahaya
bagi kulit dan pada beberapa kasus berat dapat menimbulkan nekrosis. Hal ini
dapat terjadi bergantung pada konsentrasi substansi dan dapat terjadi pada
semua orang, bergantung pada kemampuan penetrasi dan ketebalan stratum korneum.
Terdapat batas konsentrasi dari substansi-substansi tersebut yang dapat
menyebabkan dermatitis. Etiologi tersering dari dermatitis kontak iritan adalah
paparan zat atau senyawa dalam tumbuhan. Reaksi kulit akibat tumbuhan sering
terjadi karena tumbuhan melepaskan berbagai bahan kimiawi dan fisik yang dapat
membahayakan. Empat tipe reaksi pada kulit akibat paparan tumbuhan atau produk
yang berasal dari tumbuhan antara lain adalah dermatitis kontak iritan,
urtikaria kontak, dermatitis kontak alergi, dan fitofotodermatitis. Reaksi
dermatitis kontak iritan disebabkan oleh salah satu dari tujuh kelompok iritan
dasar: kalsium oksalat, protoanemonin, isothiocyanate, diterpene ester,
bromelain, dan alkaloid. Bromelain dan protease sistein adalah enzim yang
terdapat pada nanas. Oleh karena itu, terdapat hubungan antara paparan buah
nanas (Ananas comosus) dengan kejadian dermatitis kontak iritan.
BIBLIOGRAFI
Adisesh, A., Robinson, E., Nicholson, P. J., Sen, D.,
Wilkinson, M., & Group, S. of C. W. (2013). UK standards of care for
occupational contact dermatitis and occupational contact urticaria. British
Journal of Dermatology, 168(6), 1167�1175.Google Scholar
Al-Otaibi,
S. T., & Alqahtani, H. A. M. (2015). Management of contact dermatitis. Journal
of Dermatology & Dermatologic Surgery, 19(2), 86�91. Google Scholar
Belcher,
M. D., Kaddour-Djebbar, I., Bollag, W. B., & Davis, L. S. (2016). The
proteolytic effect of bromelain on bullous pemphigoid antigen-2. Journal of
the American Academy of Dermatology, 75(4), 838�840. Google Scholar
Brasch,
J., Becker, D., Aberer, W., Bircher, A., Kr�nke, B., Jung, K., Przybilla, B.,
Biedermann, T., Werfel, T., & John, S. M. (2014). Guideline contact dermatitis.
Allergo Journal International, 23(4), 126�138. Google Scholar
Frosch,
P. J., & John, S. M. (2011). Clinical aspects of irritant contact
dermatitis. In Contact Dermatitis (pp. 305�345). Springer. Google Scholar
Goldsmith,
L., Katz, S., Gilchrest, B. A., Paller, A. S., Leffell, D. J., & Wolff, K.
(2012). Fitzpatrick�s Dermatology in General Medicine, Ed. McGrawHill
Medical, 2421�2429. Google Scholar
Jeyaratnam,
J., & Koh, D. (2009). Buku ajar praktik kedokteran kerja. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 237�260. Google Scholar
Johansen, J. D., Hald, M., Andersen,
B. L., Laurberg, G., Danielsen, A., Avnstorp, C., Kristensen, B., Kristensen,
O., Kaaber, K., & Thormann, J. (2011). Classification of hand eczema:
clinical and aetiological types. Based on the guideline of the Danish Contact
Dermatitis Group. Contact Dermatitis, 65(1), 13�21. Google Scholar
Karinda,
M., Fatimawali, F., & Citraningtyas, G. (2013). Perbandingan Hasil
Penetapan Kadar Vitamin C Mangga Dodol Dengan Menggunakan Metode Spektrofotometri
Uv-Vis Dan Iodometri. Pharmacon, 2(1). Google Scholar
Ketnawa,
S., Chaiwut, P., & Rawdkuen, S. (2012). Pineapple wastes: A potential
source for bromelain extraction. Food and Bioproducts Processing, 90(3),
385�391. Google Scholar
Modi,
G. M., Doherty, C. B., Katta, R., & Orengo, I. F. (2009). Irritant contact
dermatitis from plants. Dermatitis, 20(2), 63�78. Google Scholar
Rathnavelu,
V., Alitheen, N. B., Sohila, S., Kanagesan, S., & Ramesh, R. (2016). Potential
role of bromelain in clinical and therapeutic applications. Biomedical
Reports, 5(3), 283�288. Google Scholar
Saary,
J., Qureshi, R., Palda, V., DeKoven, J., Pratt, M., Skotnicki-Grant, S., &
Holness, L. (2005). A systematic review of contact dermatitis treatment and
prevention. Journal of the American Academy of Dermatology, 53(5),
845-e1. Google Scholar
Schnuch,
A., Geier, J., Lessmann, H., Arnold, R., & Uter, W. (2012). Surveillance of
contact allergies: methods and results of the I nformation N etwork of D
epartments of D ermatology (IVDK). Allergy, 67(7), 847�857. Google Scholar
Slowdownik
D, Lee A,� dan N. R. (2008). Irritant
contact dermatitis: A review. Australasian Journal of Dermatology, 49,
1�11.
Suryani,
F. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan dermatitis kontak paa
pekerja bagian prosessing dan filling Pt. cosmar Indonesia Tangerang Selatan tahun
2011. Google Scholar
Tayeb,
R. H., Moradi, P., & Soltani, F. (2013). The effect of nitrogen fixation
and phosphorus solvent bacteria on growth physiology and vitamin C content of
Capsicum annum L. Google Scholar
Wasitaatmadja, S. M. (2018). Akne.
Universitas Indonesia Publishing.Jakarta: Nonmencen Journal Of Medicine.
Enjelina, Dea
Alnisrina, Lulu� Farida (2021) |
First publication
right: |
This
article is licensed under: |