Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
Vol. 3, No.10, Oktober 2021
KEWAJIBAN NOTARIS MENGENALI PENGGUNA JASA DALAM UPAYA
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KORPORASI
Ismail,
Ermanto Fahamsyah, I Gede Widhiana Suarda
Fakultas
Hukum Universitas Jember Jawa Timur, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Prinsip mengenali Pengguna Jasa diterapkan dalam jabatan notaris dalam rangka melaksanakan
ketentuan PP No 43 Tahun
2015 dan Permenkumham No 9 Tahun
2017, yang mana Notaris wajib menerapkan
prinsip mengenali pengguna jasa. Prinsip Mengenali Pengguna Jasa bagi Notaris merupakan bagian dari upaya mendeteksi
adanya penggunaan jasa notaris oleh para pelaku TPPU dengan melakukan identifikasi, verifikasi dan pemantauan identitas serta dokumen pada pengguna jasa Notaris. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menemukan
Menemukan kewajiban notaris mengenali pengguna jasa dalam
upaya pencegahan tindak pidana pencucian
uang oleh korporasi tidak bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Jabatan Notaris. Pada penelitian ini digunakan pendekatan
yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini yaitu Kewajiban
notaris mengenali pengguna jasa dalam
upaya pencegahan tindak pidana pencucian
uang oleh korporasi tidak bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Republik Indonesian Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Kata Kunci: prinsip
mengenali pengguna jasa; korposasi; tindak pidana pencucian
uang
Abstract
The principle of recognizing service users is
applied in the position of a notary in order to implement the provisions of PP
No. 43 of 2015 and Permenkumham No. 9 of 2017, in
which the notary is obliged to apply the principle of recognizing service
users. The principle of recognizing service users for notaries is part of the
effort to detect the use of notary services by money laundering offenses
perpetrators by identifying, verifying and monitoring the identity and
documents of notary service users. The purpose of this study is to find out
that the obligation of a notary to recognize service users in an effort to
prevent money laundering by corporations does not conflict with Article 16
paragraph (1) letter f of the Law on Notary Positions. In this study, a
normative juridical approach was used. The results of this study are that the
obligation of a notary to recognize service users in an effort to prevent money
laundering by corporations does not conflict with Article 16 paragraph (1)
letter f of the Law of the Republic of Indonesia Number 2 of 2014 concerning
Amendments to Law Number 30 of 2004 concerning Notary position.
Keywords: �the principle
of recognizing service users; corporations; money laundering
Received:
2021-09-22; Accepted: 2021-10-05; Published: 2021-10-20
Pendahuluan
Pencucian uang adalah
salah satu bentuk dari kejahatan kerah putih (white collar
crimes) yang digunakan oleh pelaku
tindak pidana yang ingin menyembunyikan keuntungan yang diperoleh melalui kegiatan melawan hukum. Pengedar narkoba dan pemasok barang palsu sering melakukan
tindak pidana pencucian uang untuk menyembunyikan sumber pendapatan mereka (Adrian Sutedi, 2008). Money laundering
yang merupakan bagian dari kejahatan terhadap pembangunan dan kesejahtraan sosial yang menjadi pusat perhatian
dan keprihatinan dunia internasional
terhadap kejahatan pencucian uang itu, tentunya sangat beralasan karena ruang lingkup
dan dimensinya begitu luas sehingga kegiatannya
mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate
crime, dan transnational crime bahkan dengan kemajuan teknologi informasi money
laundering dapat menjadi
salah bentuk dari cyber crime (Adjie, 2008).
Dalam mendukung upaya
pencegahan dan pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, pemerintah
Indonesia bersama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat telah
membentuk Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disingkat dengan UU PPTPPU), Lembaran
Negara Tahun 2010 Nomor
122, yang mencabut Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang. Salah satu terobosan hukum baru yang menarik dalam UU PPTPPU adalah� adanya paradigma follow the money (mengikuti
aliran uang). Follow the money merupakan paradigma baru dalam memberantas
kejahatan atau pendekatan baru dalam memberantas TPPU. Pendekatan ini akan mempermudah dalam penegakan hukum bila dibandingkan
dengan pendekatan konvensional yakni follow the
suspect (menelusuri jejak
pelaku) karena pelaku atau saksi
bisa saja berkata bohong. Namun, jika aliran
uang sudah diketahui maka pelaku atau
saksi tidak akan bisa lagi
untuk berbohong. Dengan menggunakan pendekatan follow the money, maka
uang hasil kejahatan (proceed
of crime) yang merupakan life of blood dari kejahatan. Pendekatan follow the money ini
akan berjalan efektif jika didukung
adanya pelaporan transaksi keuangan mencurigakan yang diberikan oleh pihak pelapor ke
lembaga yang berwenang, dalam hal ini
Pusat Pelaporan dan Analisis
ransaksi Keuangan (selanjutnya disingkat dengan PPATK) (Poesoko, 2010).
Pemerintah beranggapan
bahwa korporasi dapat dijadikan sarana baik langsung
maupun tidak langsung oleh pelaku tindak pidana yang merupakan pemilik manfaat dari hasil
tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pemerintah memastikan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana tersebut
telah mengikuti standar internasional. Salah satu bentuk keseriusan
pemerintah dalam menangani tindak pidana pencucian uang adalah dengan membentuk
PPATK. Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
9 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa bagi Notaris (yang selanjutnya disebut Permenkumham No 9 Tahun 2017) dalam Pasal 2 ayat 1 notaris wajib menerapkan
prinsip mengenali pengguna jasa, salah satu cara dalam
penerapan prinsip pengguna jasa bagi
notaris ialah pengumpulan informasi mengenai pengguna jasa orang perseorangan maupun korporasi, pengumpulan informasi mengenai pengguna jasa korporasi diatur didalam Permenkumham No 9 Tahun 2017 pasal 7 ayat (2) yang mana salah satunya mengetahui pemilik manfaat (Beneficial
Owner) dari korporasi tersebut.
Prinsip mengenali
Pengguna Jasa diterapkan dalam jabatan notaris
dalam rangka melaksanakan ketentuan PP No 43 Tahun 2015 dan Permenkumham No 9 Tahun 2017, yang mana Notaris wajib
menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa. Prinsip Mengenali
Pengguna Jasa bagi Notaris merupakan bagian dari upaya mendeteksi
adanya penggunaan jasa notaris oleh para pelaku TPPU dengan melakukan identifikasi, verifikasi dan pemantauan identitas serta dokumen pada pengguna jasa Notaris. akan tetapi Notaris terkendala confidentiality
of client yaitu menjaga
kerahasiaan segala sesuatu mengenai aktanya. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Republik Indonesian Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (yang selanjutnya
disebut dengan UUJN) yang menyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperolah guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi
kepentingan sesama pihak yang terkait dengan akta tersebut.
Berdasarkan beberapa
peraturan perundang-undangan
yang ada mengenai Penerapan prinsip mengenali pengguna jasa bagi notaris
terdapat beberapa ketidakpastian penerapan hukum. Dimana Notaris terkendala confidentiality
of client yaitu menjaga
kerahasiaan segala sesuatu mengenai aktanya. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah apakah kewajiban notaris mengenali pengguna jasa dalam
upaya pencegahan tindak pidana pencucian
uang oleh korporasi tidak bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Jabatan Notaris.
Metode Penelitian
a. Tipe Penelitian
Tipe penelitian
yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah Tipe
penelitian Yuridis Normatif, dimana dalam penelitian ini menitik beratkan
logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya�
yang memiliki sebuah
arti yaitu permasalahan yang
diangkat, dibahas dan diuraikan pada sebuah penelitan yang fokus dengan menerapkan kaidah-kaidah dengan mengkaji aturan-aturan hukum yang sifatnya formal seperti Undang-Undang, yang dalam literatur-literaturnya sifatnya teoritis kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan
(Ibrahim, 2006).
b.
Pendekatan Masalah
Terdapat beberapa
macam dalam pendeketan penelitian hukum. Dengan adanya
pendekatan tersebut penulis mendapatkan suatu informasi dari berbagai aspek
yang berkaitan dengan isu hukum dalam
permasalahan yang akan diangkat dan kemudian dicari jawabannya. Adapun dalam penyusunan tesis ini, penulis
menggunakan 3 (tiga) macam pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Perundang-undangan
(Statute Approach)
Pendekatan Undang-undang
dilakukan dengan cara menelaah semua
undang-undang dan juga regulasi
yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi (Sari et al., 2020).
Penulis melakukan penafsiran
autentik terhadap segala sesuatu yang ada pada permasalahan hukum yang dihadapi. Dalam pendekatan undang-undang ini dapat membuka
kesempatan bagi penulis untuk mempelajari
adakah konsistensiden kesesuaian antara undang-undang satu dengan undang-undang yang lain ataupun antara undang-undang dan Undang-undang
Dasar antara regulasi undang-undang, maka dengan adanyapendekatan ini penulis akan
mengkaji konsistensi undang-undang dan juga regulasi
yang ada hubungannya dengan permasalahan hukum.
Dengan melakukan
pendekatan perundang-undangan,
penulis telah menemukan adanya ketidaksesuaian peraturan yaitu pada Pasal 4 dan Pasal 16 Undang-undang Jabatan Notaris dengan Peraturan Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
9 Tahun 2017. Hasil telaah tersebut merupakan sebuah argument untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi (M A Amrullah & Korporasi, 2018).
2.
Pendekatan Konseptual (conceptual approach)
Pendekatan
konseptual ini beranjak dari pandangan-pandangan maupun doktrin-doktrin yang
berkembang dalam ilmu hukum. Dengan ini penulis memperlajari tentang
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum, yang akan menemukan
ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan
asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi (M Arief Amrullah, 2020). �Pendekatan konsep dalam penelitian ini
digunakan untuk memahami konsep money laundering� dan juga pihak pelapor yang bertujuan agar
dalam penormaan aturan hukum tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang ambigu
dan juga kabur.
3.
Pendekatan Historis (Histories
Approach)
Pendekatan historis
dilakukan dengan meneliti latar belakang yaitu terbentunya Undang-undang PPTPPU
dengan Permenkumham Nomor 9 Tahun 2017� tentang
Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris. Penelitian ini
dilakukan oleh peneliti untuk mengungkap sejarah sebelum lahirnya Penerapan
Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris yang diatur oleh Permenkumham
Nomor 9 Tahun 2017. Pendekatan historis ini diperlukan
jika memang peneliti menganggap bahwa pengungkapan sejarah, filosofis dan pola
pikir menjadi sesuatu yang dipelajari untuk dilahirkan kembali, dan memang
mempunyai relevansi kedepan dengan masa kini.
Hasil dan Pembahasan
1. Sejarah Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di
Indonesia
Indonesia pada tahun
1997 telah meratifikasi
United Nation Convention Against Illucit Traffic in
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1998 (Konvensi
1998). Konsekuensi ratifikasi
tersebut, Indonesia harus segera membuat aturan untuk pelaksanaanya.
Pada tahun 2001 Indonesia bersama
17 negara lainnya diancam sanksi internasional. Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang disahkan pada Tanggal
17 April 2002 yang dimana merupakan
hari yang bersejarah dalam dunia hukum Indonesia. Kenyataannya meskipun sudah ada Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang penerapannya kurang, sehingga akhirnya Indonesia masuk daftar hitam negara yang tidak kooperatif. Bahkan Indonesia dicurigai sebagai surga bagi
pencucian uang, karena menganut sistem devisa bebas, rahasia
bank yang ketat, korupsi
yang merajalela, maraknya kejahatan narkotik, dan tambahan lagi pada saat itu perekonomian
Indonesia dalam keadaan
yang tidak baik, sehingga ada kecenderungan
akan menerima dana dari mana pun untuk keperluan pemulihan ekonomi (Yanuarsari, 2018).
Tanggal 13
Oktober 2003 diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-undang tersebut merupakan desakan internasional terhadap Indonesia
antara lain dari Financial Action Task Force (FATF), badan internasional di
luar PBB. Anggotanya terdiri dari negara donor dan fungsinya sebagai satuan tugas
dalam pemberantasan pencucian uang. Pada 23�
Oktober 2003, Financial Action Task Force (FATF) di Stockholm, Swedia,
menyatakan Indonesia, Cook Islands, Mesir, Guatemala, Myanmar, Nauru, Nigeria,
Filipina dan Ukraina sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan
pencucian uang (Yanuarsari, 2018). Keberadaan
Indonesia berada pada daftar Non Cooperative Countries and Territories sesuai
dengan rekomendasi (NCCT�s) dari Financial Actions Task Force on Money
Laundering. Bahwa setiap transaksi dengan perorangan maupun badan hukum yang
berasal dari negara NCCT‟s harus dilakukan dengan penelitian seksama.
Berbagai upaya selama beberapa tahun, antara Iain dengan mengesahkan UU No. 25
Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, mendirikan PPATK, mengeluarkan ketentuan pelaksanaan dan mengadakan
kerja sama internasional, akhirnya membuahkan hasil. Februari 2006 Indonesia
dikeluarkan dari daftar NCCT‟s setelah dilakukan formal monitoring selama
satu tahun (Yanuarsari, 2018).
Beberapa tahun
kemudian, tepatnya di tahun 2010, DPR bersama Presiden menyepakati
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Adanya Undang-Undang ini, bertujuan agar tindak pidana
pencucian uang dapat dicegah dan diberantas. Secara internasional, Financial
Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar
internasional bagi setiap negara dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU dan
TPPT, salah satunya yaitu transparansi kepemilikan manfaat dari badan usaha.
Dalam mendukung
pelaksanaan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang; pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang. Sehingga Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Peraturan
Pemerinta Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang di Undangkan di Jakarta tanggal 23 Juni 2015. Adapun
substansi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini yakni:
1. Menambah
jenis penyedia jasa keuangan yang terdiri atas perusahaan modal ventura,
perusahaan pembiayaan infrastruktur, lembaga keuangan mikro, dan lembaga
pembiayaan ekspor sebagai Pihak Pelapor;
2. Menyatakan
advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, dan
perencana keuangan sebagai Pihak Pelapor.
Penambahan jenis
penyedia jasa keuangan yang terdiri atas perusahaan modal ventura, perusahaan
pembiayaan infrastruktur, lembaga keuangan mikro, dan lembaga pembiayaan ekspor
sebagai Pihak Pelapor dilatarbelakangi oleh aktivitas bisnis atau usaha yang
dilakukan oleh perusahaan atau lembaga tersebut rentan untuk dijadikan sarana
dan sasaran tindak pidana pencucian uang.
Bagi advokat,
notaris, pejabat pembuat akta tanah,
akuntan, akuntan publik, dan perencana keuangan, berdasarkan hasil riset PPATK rentan dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana
pencucian uang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
yang merupakan hasil dari tindak pidana
dengan cara berlindung dibalik ketentuan kerahasiaan hubungan profesi dengan Pengguna Jasa yang diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh
Financial Action Task Force (FATF) yang menyatakan bahwa terhadap profesi tertentu yang melakukan Transaksi Keuangan Mencurigakan untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna
Jasa wajib melaporkan Transaksi tersebut kepada Financial Intelligence Unit (dalam
hal ini adalah
PPATK) (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2015).
Kewajiban pelaporan
oleh profesi tesebut telah diterapkan di banyak negara dan memiliki dampak positif terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Selain itu, pengaturan Pihak Pelapor dan pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh perusahaan modal ventura, perusahaan pembiayaan infrastruktur, lembaga keuangan mikro, lembaga pembiayaan ekspor, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan,
akuntan publik, dan perencana keuangan dimaksudkan
untuk melindungi Pihak Pelapor tersebut
dari tuntutan hukum, baik secara
perdata maupun pidana.
Bahwa untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor
dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ditetapkan Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris yang diundangkan
pada tanggal 4 Agustus 2017.
Merespon hal
ini, Presiden Indonesia telah mengeluarkan Perpres Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan TPPT. Kemenkumham
dalam kolaborasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengundangkan peraturan turunan dari Perpres Nomor
13 Tahun 2018 tersebut, yakni Permenkumham Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi (Selanjutnya disebut Permenkumham No 15 Tahun 2019)
dan Permenkumham Nomor 21 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi (Selanjutnya disebut Permenkumham No 21 Tahun 2019). Permenkumham Nomor 15 Tahun 2019 menjadi acuan bagi
korporasi untuk mengidentifikasi siapa saja pemilik manfaat
yang terdapat dalam korporasinya, serta bagaimana korporasi tersebut dapat menyampaikan informasi tentang data pemilik manfaat kepada instansi berwenang, dalam hal ini
adalah Kemenkumham. Sementara itu, Permenkumham Nomor 21 Tahun 2019 bertujuan memastikan penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat telah dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.� Transparansi pemilik manfaat korporasi berkaitan erat dengan investasi di Indonesia. Kepercayaan investor luar negeri kepada Indonesia sangat bergantung
pada ketersediaan data yang akurat,
terkini dan transparan terkait pemilik manfaat atas korporasi.
2.
Kewajiban Notaris Mengenali Pengguna
Jasa dalam Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang oleh Korporasi
Munculnya
istilah pencucian uang (money laundering) dikenal sejak tahun 1930 di
Amerika Serikat, erat kaitannya dengan perusahaan pencucian pakaian (laundry)
dan perusahaan ini dibeli olah para mafia dengan dana yang mereka peroleh dari
hasil kejahatannya. Perusahaan ini digunakan dengan sah dan resmi sebagai salah
satu strateginya yang merupakan investasi terbesarnya. Berbagai perolehan uang
hasil kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan
pencucian pakaian ini, seperti uang hasil minuman keras ilegal, hasil
perjudian, dan hasil usaha pelacuran. Perusahaan ini mereka gunakan untuk
menyembunyikan uang yang mereka hasilkan dari hasil kejahatan dan transaksi illegal
sehingga tampak seolah-olah berasal dari sumber yang halal dan sah. Berkembangnya
pelaksanaan kejahatan pencucian uang semakin maju dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi dan zaman membuat kejahatan ini semakin sulit untuk dicegah dan dibuktikan.
Bahkan kejahatan pencucian uang bukan hanya dalam skala nasional tetapi juga
dalam skala regional dan global, dimana kejahatan ini dilakukan oleh berbagai
kelompok, kalangan dan juga organisasi internasional (International
Organitation). Kejatahan pencucian uang dianggap sebagai suatu fenomena
kejahatan yang menyangkut terutama dunia kejahatan yang disebut �Organized
Crime� karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas Negara.
Awalnya
kejahatan pencucian uang ini dianggap sangat erat hubungannya dengan
perdagangan obat bius/narkotika dan kejahatan lainnya, namun dalam
perkembangannya, hasil atau proses dari kejahatan ini sudah dihubungkan dengan
tindak kriminal secara umum dalam jumlah yang besar, seperti korupsi. Hal ini
disebabkan karena hasil harta/kekayaan yang dihasilkan dalam jumlah besar dengan
cara disembunyikan yang disebut dengan uang kotor (dirty money).
Menurut Sarah N.
Welling Uang dapat menjadi kotor dengan dua cara, yaitu:
1.
Pertama melalui pengelakan pajak (tax
evasion), yaitu memperoleh uang secara legal, tetapi jumlah yang dilaporkan
kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang
sebenarnya diperoleh.
2.
Memperoleh uang melalui cara-cara yang
melanggar hukum. Teknik-teknik yang biasa dilakukan untuk hal itu, antara lain
penjualan obat-obatan terlarang atau perdagangan narkoba secara gelap (drug
sales atau drug trafficking), penyuapan (bribery), terorisme (terrorism),
pelacuran (prostitution), perdagangan senjata (arms trafficking),
penyelundupan minuman keras, tembakau, dan pornografi (smuggling of contraband
alcohol, tobacco, pornography), penyelundupan imigran gelap (illegal
immigration rackets atau people smuggling), dan kejahatan kerah putih (white
collar crime).
Modus operandi
tindak pidana pencucian uang secara operasional dilakukan dengan cara jual beli
barang dan jasa (konversi jual beli), pengalihan usaha di negara tertentu seperti
negara yang memiliki prosedur bisnis yang mudah, pajak yang ringan dan longgar
serta ketentuan rahasia bank yang sangat ketat sehingga dapat menyimpan uang di
bank atau lembaga keuangan di daerah (offshore konversi), dan praktek bisnis
yang sah sebagai sarana untuk mentransfer dan memanfaatkan hasil kejahatan yang
dikonversi melalui transfer, cek atau alat pembayaran lainnya yang kemudian
disimpan di rekening bank atau ditarik atau ditransfer kembali ke rekening bank
lain (percakapan bisnis yang sah). Cara ini dapat memungkinkan pelaku tindak
pidana untuk menjalankan usaha atau bekerjasama dengan mitra usahanya dan
menggunakan rekening perusahaan sebagai tempat menyimpan uang hasil tindak pidana
yang dilakukan.
Cara
pemutihan uang atau hasil dari kejahatan pencucian uang (money laundering), yaitu
dilakukan melalui serangkaian transaksi financial yang di buat rumit guna untuk
menyulitkan pembuktian untuk mengetahui asal-usul suatu dana/uang tersebut dari
berbagai pihak. Para pelaku pencucian uang memanfaatkan kerahasiaan bank atau
perusahaan keuangan lainnya yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan untuk
menyimpan harta/kekayaan dari kejahatan tersebut. Adanya globalisasi perbankan,
dana hasil kejahatan mengalir/bergerak melampaui batas yurisdiksi negara.
Melalui mekanisme ini, akan sulit untuk menanggulangi/menggagalkan kehajatan
pencucian uang yang bergerak dari suatu negara ke negara lain bahkan ke negara
yang menerapkan ketentuan kerahasiaan bank secara ketat karena belum mempunyai
sistem hukum yang kuat. UU PPTPPU mengkategorikan sejumlah tindak pidana yang
sejenis dengan pengaturan predicate crime dalam FATF. Sejumlah tindak pidana
yang termasuk predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang diatur dalam
Pasal 2 ayat 1 UU PPTPPU.
Subjek tindak pidana
pencucian uang dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU
PPTPPU, yaitu orang perseorangan dan korporasi. Setiap orang yang berada di dalam
atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan
percobaan, pembantuan untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana
dengan pidana yang sama seperti dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU PPTPPU.
Formulasi setiap orang disini disebutkan dalam Pasal 1 angka 9 UUPPTPPU yang
menyatakan: �Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi�.
Ketentuan di
Pasal 5 ayat (1) UU PPTPPU dikecualikan bagi pihak pelapor yang melaksanakan
kewajiban pelaporan. Untuk delik tindak pidana pencucian uang seperti dalam
Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU PPTPPU dilakukan oleh korporasi, maka pidana
dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendali korporasi. Sementara
itu, mengenai pihak-pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam
hal terjadi kejahatan korporasi (corporate crime) ialah sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU PPTPPU, yaitu:
(2)� Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila
tindak pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh
Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud
dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan
fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
e. dilakukan
dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
Pasal 9 UU PPTPPU dijelaskan tentang
pidana pengganti apabila korporasi yang tidak mampu membayar pidana denda maka
diganti dengan perampasan harta korporasi atau personil pengendali korporasi
yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan. Selain itu,
apabila penjualan harta korporasi yang dirampas tidak mencukupi, pidana kurungan
pengganti denda dijatuhkan terhadap personil pengendali korporasi dengan
memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Korporasi merupakan badan usaha yang
keberadaannya dan status hukumnya disamakan seperti manusia (orang), tanpa
melihat bentuk organisasinya. Korporasi dapat memiliki kekayaan dan utang, mempunyai
kewajiban dan hak dan dapat bertindak menurut hukum, melakukan gugatan dan
dapat dituntut di pengadilan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa korporasi
layaknya seperti manusia yang memiliki fisik dan organ dalam melaksanakan
aktivitasnya. Hal ini juga menegaskan bahwa korporasi dapat dimintai
pertanggungjawabannya bila melakukan tindak pidana (Nasution, 2015). Sulitnya membuktikan dan mengidentifikasi keterlibatan pengurus korporasi yang bertindak atas nama sendiri maupun
bertindak atas nama korporasi menjadi salah satu kendala pemberantasan tindak pidana pencucian
uang yang dilakukan korporasi.
Mengambil pembelajaran dari berbagai kasus
yang terjadi di negeri ini terkait dengan tindak pidana pencucian
uang yang ternyata melibatkan
korporasi sebagai media kejahatan, maka sangat perlu untuk memperjelas
isi dari undang-undang pencucian uang.
Dewasa ini semakin banyaknya Tindak Pidana
Pencucian Uang yang baik yang dilakukan oleh orang ataupun korporasi yang
menyebabkan kerugian bagi negara, oleh sebab itu dibutuhkan Pihak yang memiliki
tanggung jawab untuk melaporkan Tindak Pidana Pencucian Uang. Oleh karena itu
UU PPTPPU telah menetapkan kategori Pihak Pelapor sebagaimana tercantum pada Pasal
17 ayat (1) huruf a dan huruf b yang terdiri dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK)
dan Penyedia Barang dan/atau Jasa Lain (PBJ). Selanjutnya sebagaimana amanat
Pasal 17 ayat (2) UU PPTPPU, Profesi ditetapkan menjadi Pihak Pelapor
sebagaimana terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (Selanjutnya disebut PP Nomor 43 Tahun 2015). Berdasarkan pasal tersebut diatas Notaris termasuk salah
satu profesi yang memiliki kewajiban melaporkan segala Tindak Pidana Pencucian
Uang.� Kewajiban untuk menerapkan program
anti pencucian uang dan pendanaan terorisme yaitu:
1. Penerapan
Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ);
2. Penyampaian
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) kepada PPATK.
Prinsip Mengenali Pengguna Jasa adalah
prinsip yang diterapkan oleh Pihak Pelapor untuk mengetahui latar belakang dan
identitas Pengguna Jasa, memantau transaksi, serta melaporkan transaksi kepada
otoritas berwenang Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan yang
selanjutnya disebut dengan PPATK. Prinsip Mengenali Pengguna Jasa merupakan
salah satu cara memitigasi resiko nasional atas dinamika nasional, regional
maupun global yang diiringi dengan perkembangan produk, aktivitas dan teknologi
informasi, meningkatkan peluang penyalanggunaan fasilitas dan produk dari
industri keuangan dan lembaga yang terkait dengan keuangan, oleh pelaku
kejahatan terutama sebagai sarana pencucian uang (Permatasari, 2017). Habib
Adjie menyatakan bahwa kewenangan umum ini memiliki batasan yaitu (Permatasari, 2017):
1. Tidak dikecualikan
kepada pejabat yang ditetapkan undang-undang.
2. Menyangkut
akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau
dikehendaki oleh yang bersangkutan.
3. Mengenai
subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat
atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.
Terkait dengan kewenangan seorang
notaris dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan ketentuan undang-undang
maka berlaku Pasal 50 KUHP yang memberikan perlindungan bagi notaris yang telah
melaksanakan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan undang-undang, yaitu: �Tidaklah
dapat dihukum, barangsiapa melalukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan suatu
peraturan perundang-undangan.�
Kewenangan khusus Notaris dituangkan
dalam Pasal 15 ayat (2) yang dimana Notaris berwenang mengesahkan tanda tangan
dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus, membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus, membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan, melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya,
memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, membuat akta yang
berkaitan dengan pertanahan dan membuat akta risalah lelang. Pasal 15 ayat
(3)� menjelaskan, selain kewenangan
notaris yang sudah disebutkan, notaris mempunyai kewenangan lainnya yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Kewenangan mensertifikasi transaksi
yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), Membuat Akta ikrar
wakaf, dan Hipotek pesawat terbang.
Kewajiban Notaris dalam menerapkan
prinsip mengenali Pengguna Jasa merupakan bagian terpenting dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang wajib diterapkan
oleh pihak pelapor. Berdasarkan PP Nomor 43 Tahun 2015 termuat dalam ketentuan
Pasal 8 Ayat (1) Pihak pelapor wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan
mencurigakan kepada PPATK untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna
Jasa. Namun, dalam pelaksanan tugas jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum
berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (2) Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf f dari UUJN
dapat disimpulkan rumusan hukum yang bersifat imperatif tentang kewajiban yang
melekat dalam tugas jabatannya sebagai Notaris dalam rangka merahasiakan isi
akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta,
terkecuali Undang-undang menentukan lain.
Dalam ketentuan UUJN dinyatakan Notaris
merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, yang memiliki
fungsi sebagai alat bukti untuk menciptakan kepastian dan perlindungan hukum
bagi masyarakat. Notaris memiliki peran untuk membantu menciptakan kepastian
dan perlindungan hukum bagi masyarakat dengan menerbitkan pembuktian berupa
akta autentik. Notaris dalam melaksanakan kegiatan profesi diatur oleh
Undang-undang Peraturan Jabatan Notaris yang dikenal dengan Undang-Undang
Jabatan Notaris Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Terkait dengan pengaturan isi akta
diatur di dalam Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 16 ayat (1) huruf f yang menyatakan
bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban merahasiakan segala
sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna
pembuatan akta sesuai dengan sumpah atau janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain (Undang-undang Jabatan Notaris No 2 tahun 2014, 2014). ��Hal ini merupakan wujud dari jabatan
kepercayaan dari masyarakat dalam lalu lintas hukum perdata yaitu untuk
merahasiakan mengenai segala sesuatu akta yang dibuatnya (Tarigan, 2021).
Kewajiban seorang notaris diatur di dalam
Pasal 16 dan Pasal 16 A Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 yang
dirubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014. Terkait dengan kewajiban
seorang notaris yang utama adalah merahasiakan aktanya serta seluruh
pembicaraan pada tahap pra pembuatan akta yaitu persiapan pembuatan akta (Kohar, 1983).� Kewajiban notaris diatur didalam Pasal 16
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf n UUJN
Bila kewajiban tersebut dilanggar
seorang notaris dapat dikenakan sanksi seperti yang diatur didalam Pasal 84 dan
Pasal 85 UUJN, yaitu: Tindakan pelanggaran notaris yang mengakibatkan suatu
akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau
suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang
menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga
kepada Notaris dan juga sanksi dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis,
pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan
tidak hormat.
Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris
wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat
yang ditunjuk. Adapun sumpah/janji Kemudian,
setelah Notaris mengucapkan sumpah janji sesuai dengan agama atau kepercayaanya
masing-masing di hadapan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk melaksanakan
jabatan dengan amanah, jujur, saksama, mandiri dan tidak berpihak. Kelima,
sifat ini adalah dasar karakter seorang pejabat Notaris, yaitu (Sinaga, 2019):
1. Amanah
yaitu dapat dipercaya melaksanakan tugasnya yaitu melaksanakan perintah dari
para pihak, orang yang menghendaki Notaris untuk menuangkan maksud dan keinginannya
dalam suatu akta dan para pihak membubuhkan tanda tangannya pada akhir akta.
2. Jujur
yaitu tak berbohong atau menutup nutupi segala sesuatunya.
3. Seksama
yaitu berhati hati dan teliti dalam menyusun redaksi akta agar tak merugikan
para pihak.
4. Mandiri
yaitu ketika Notaris memutuskan sendiri akta yang dibuat itu berstruktur hukum
yang tepat, serta dapat memberikan penyuluhan hukum kepada klien.
5. Tak
berpihak yaitu notaris bersifat netral, tidak memihak pada satu pihak.
Keterkaitan antara sumpah jabatan dan
rahasia jabatan ditulis sangat jelas sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf f tentang rahasia jabatannya. Dalam sumpah jabatannya seorang notaris
menyatakan dengan tegas bersumpah untuk menjaga kerahasiaan aktanya dan seluruh
keterangan yang diperolehanya selama melaksanakan jabatannya. Menjaga sikap,
tingkah laku dan menjalankan kewajiban sesuai dengan kode etik profesi,
kehormatan, martabat dan tanggung jawab sebagai Notaris. Menjalankan kewajiban
sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung-jawab
sebagai Notaris, menjaga kehormatan martabat profesi Notaris, termasuk tidak
menjelekkan sesama kolega Notaris atau perang tarif. Akan merahasiakan isi akta
dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan. Merahasiakan isi akta
dan keterangan yang diperoleh, maksudnya Notaris harus mendengarkan keterangan
dan keinginan klien sebelum menuangkannya dalam bentuk akta. Notaris
berkewajiban untuk merahasiakan seluruh isi akta dan seluruh keterangan yang
didengarnya.
Terkait dengan kewajiban seorang notaris
untuk menjaga kerahasiaan aktanya serta yang mana juga dinyatakan dalam sumpah
jabatan notaris maka:� secara umum seorang
notaris wajib untuk menjaga isi dan keterangan yang diperoleh selama pembuatan
akta notaris kecuali diperintahkan lain oleh undang-undang bahwa notaris tidak
wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan berkaitan
pembuatan akta tersebut. Karena itu notaris mempunyai hak ingkar yang hakiki (Prajitno, 2010).
�Notaris berhak untuk tidak menjawab
pertanyaan hakim bila terjadi masalah atas akta notariil yang dibuatnya. Keterangan/kesaksian
yang diberikan oleh Notaris adalah sesuai dengan yang dituangkannya dalam akta
tersebut. Hak ini gugur apabila berhadapan dengan Undang-Undang tindak pidana
korupsi (Pasal 16 UUJN). Tidak memberikan janji atau menjanjikan sesuatu kepada
siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun
yaitu berkaitan dengan hal pemberian uang untuk pengangkatan di wilayah
tertentu (Sinaga, 2019).
Hak ingkar ini semata-mata bukan
diberikan kepada seseorang pribadi, namun untuk kepentingan umum atau kepentingan
masyarakat. Hak ini mengesampingkan ketentuan dari KUHPerdata Pasal 1909 ayat
(1) yaitu �Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan memberikan
kesaksian di muka Hakim�. Kewajiban pelaporan Notaris sebagaimana dimaksud tersebut
dilakukan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU, juga dimaksudkan
untuk (Anggraeni, 2017):
1. Memberikan
perlindungan hukum kepada Notaris apabila terdapat Transaksi Keuangan
Mencurigakan (TKM) yang mana berdasarkan hasil riset PPATK diketahui bahwa
beberapa profesi rentan digunakan jasanya oleh pelaku TPPU. Para pelaku
kejahatan money laundering untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta
kekayaan yang merupakan hasil kejahatan dengan cara berlindung dibalik
ketentuan kerahasiaan hubungan profesi notaris dengan pengguna jasa.
2. Kewajiban
pelaporan oleh pelaku profesi tersebut telah diterapkan beberapa negara dan
ternyata memliki dampak postitif terhadap pencegahan dan pemberantasan TPPU.
3. Untuk
memberikan perlindungan hukum kepada Pihak Pelapor dalam hal ini para Notaris
dari tuntutan hukum.
Sehingga jika masih ada pelaku TPPU yang
memakai jasa notaris untuk mengaburkan usul asal dana yang berasal Tindak
pidana. Notaris tidak dianggap menjadi fasilitator para pelaku TPPU pada rangka
melakukan penyembunyian atau penyamaran atas usul, asal, lokasi, peruntukkan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya hasil tindak pidana. Perlindungan
hukum bagi profesi dapat disimpulkan sebagai berikut (Anggraeni, 2017):
1. Pelindungan
dari kriminalisasi tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal
5 ayat (2) UU PPTPPU.
2. Pelindungan
atas pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor dikecualikan dari
ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU PPTPPU.
3. Pelindungan
tuntutan pidana dan/atau gugatan perdata, kecuali terhadap unsur penyalahgunaan
wewenang, dalam rangka pelaksanaan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 UU PPTPPU.
4. Kewajiban
merahasiakan Pihak Pelapor oleh pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut
umum, dan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) UU PPTPPU.
Hak ingkar dalam UUJN diatur lebih tegas
dalam menjalankan kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi ataupun
memberikan kesaksian atas akta yang dibuatnya tidak perlu diingkari tetapi harus
melalui proses persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris. Yang artinya
Notaris menjadi salah satu Profesi yang memiliki kewajiban melapor sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 3 PP Nomor 43 Tahun 2015 untuk mencegah terjadinya Tindak
Pidana Pencucian Uang tidaklah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN.
Berdasarkan teori kepastian hukum dan
nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan. Adanya kepastian
hukum merupakan harapan bagi masyarakat luas. Karena dengan adanya kepastian
hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban masing-masing. Tanpa
adanya kepastian hukum maka orang tidak tahu apa yang harus diperbuat dan tidak
mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh
hukum yang berlaku. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penormaan yang
baik dan jelas dalam suatu bentuk undang-undang agar jelas pula arah dan tujuan
penerapanya. Sebagaimana yang menjadi tujuan atau harapan norma hukum yang mengaturnya.
Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian
hukum adalah sebuah jaminan bahwa hukum itu dapat dijalankan dengan baik.
Karena kepastian hukum sudah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan, tentu hal
ini memang lebih diutamakan untuk norma hukum yang tertulis. Pada dasarnya
kepastian sendiri merupakan tujuan utama dari terselenggaranya hukum. Kepastian
hukum ini menjadi keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian itu
sendiri.
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan
diatas dapat dikatakan bahwa kewajiban notaris mengenali prinsip pengguna jasa
dikarenakan Notaris menjadi salah satu Profesi yang memiliki kewajiban melapor
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 3 PP Nomor 43 Tahun 2015 untuk mencegah
terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang oleh korporasi tidaklah melanggar
ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN. Dengan begitu Notaris diberikan
kebebasan melaporkan korporasi yang melakukan tindak pidana pencucian uang
kepada pihak yang berwajib. Kewajiban pelaporan Notaris tersebut dilakukan untuk
memberikan perlindungan hukum kepada Notaris apabila terdapat Transaksi
Keuangan Mencurigakan (TKM), Sehingga jika masih ada pelaku TPPU yang memakai
jasa notaris untuk mengaburkan asal usul dana yang berasal dari Tindak Pidana
Pencucian Uang. Notaris tidak dianggap menjadi fasilitator para pelaku TPPU
pada rangka melakukan penyembunyian atau penyamaran atas usul, asal, lokasi,
peruntukkan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya hasil
tindak pidana. Membuka kerahasiaan akta yang dibuat dalam hal digunakan untuk
pelaporan Tindak Pidana Pencucian Uang yang sebagaimana yang tercantum dalam PP
Nomor 43 Tahun 2015 sudah memenuhi nilai keadilan dan kebahagiaan. Berdasarkan
penjelasan tersebut apabila dikaitkan dengan teori kepastian hukum maka adanya
ketentuan dalam PP Nomor 43 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa Notaris menjadi
salah satu profesi yang wajib melapor tindak pidana pencucian uang merupakan
wujud kepastian hukum yang diberikan terhadap Notaris untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap notaris yang menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna
Jasa.
Kesimpulan
Kewajiban notaris
mengenali pengguna jasa dalam upaya
pencegahan tindak pidana pencucian uang oleh korporasi tidak bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Republik Indonesian Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dengan begitu Notaris diberikan kebebasan melaporkan korporasi yang melakukan tindak pidana pencucian
uang kepada pihak yang berwajib. Kewajiban pelaporan Notaris tersebut dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada Notaris apabila terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM), Sehingga jika masih ada
pelaku TPPU yang memakai jasa notaris untuk
mengaburkan usul asal dana yang berasal Tindak pidana, Notaris tidak dipercaya menjadi fasilitator para pelaku TPPU pada rangka melakukan penyembunyian atau penyamaran atas usul, asal,
lokasi, peruntukkan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya hasil tindak pidana.
Membuka kerahasiaan akta yang dibuat dalam hal digunakan
untuk pelaporan Tindak Pidana Pencucian
Uang yang sebagaimana yang tercantum
dalam PP Nomor 43 Tahun 2015 sudah memenuhi nilai keadilan dan kebahagiaan.
Berdasarkan hasil
kajian tersebut penulis memberikan saran, antara lain:� Saran kepada pemerintah hendaknya melakukan pembaharuan atas Undang-Undang Jabatan Notaris dan
Undang-undang Pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang mengenai kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan.
BIBLIOGRAFI
Adjie, Habib. (2008). Hukum Notaris Indonesia:
Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Refika Aditama. Google Scholar
Adrian Sutedi, Sh. (2008). Tindak pidana
pencucian uang. Citra Aditya Bakti. Google Scholar
Amrullah, M A, & Korporasi,
Perkembangan Kejahatan. (2018). Dampak dan Permasalahan Hukumnya. Jakarta:
Kencana Pernada Media Group. Google Scholar
Amrullah, M Arief. (2020). Tindak pidana
pencucian uang dalam perspektif kejahatan terorganisasi: pencegahan dan
pemberantasannya. Kencana. Google Scholar
Anggraeni, Elisabet Yunaeti. (2017). Pengantar
sistem informasi. Penerbit Andi. Google Scholar
Ibrahim, Johnny. (2006). Teori dan metodologi
penelitian hukum normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 57. Google Scholar
Kohar, Abdul. (1983). Notaris Dalam
Praktek Hukum. Alumni. Google Scholar
Muhammad Ridha Haykal Amal, Arie Kartika.
(2021). Beneficial Ownership Arrangements�
in Saving Loan Cooperative as a Preventive� Attempt to the Crime of Money Laundering.
European Journal of Social Sciences Studies. Vol 6. Issue 2. Google Scholar
Muhtar Hadi Wibowo. (2018). Corporate Responsibility
in Money Laundering Crime (Perspective Criminal Law Policy in Crime of
Corruption in Indonesia), Journal of Indonesian Legal Studies. Vol 3. Issue 02. Google Scholar
Nasution, Eva Syahfitri. (2015). Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Jurnal Mercatoria, 8(2),
132�144. Google Scholar
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
(2015). Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Permatasari, Mudiana. (2017). Penerapan
Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Oleh Notaris Sebagai Pihak Pelapor Terhadap Transaksi
Keuangan Yang Mencurigakan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Universitas
Gadjah Mada. Google Scholar
Poesoko, Herowati. (2010). Diktat Mata
Kuliah Metode Penulisan dan Penelitian Hukum. Jember: Fakultas Hukum
Universitas Jember. Google Scholar
Prajitno, A. A. Andi. (2010). Apa dan Siapa Notaris
di Indonesia. Cet. Pertama, Putra Media Nusantara, Surabaya. Google Scholar
Sari, Anggri Puspita, Pelu, Muhammad Faisal
A. R., Dewi, Idah Kusuma, Ismail, Marthinus, Siregar, Robert Tua, Mistriani,
Nina, Marit, Elisabeth Lenny, Killa, Maklon Felipus, Purba, Bonaraja, &
Lifchatullaillah, Endang. (2020). Ekonomi Kreatif. Yayasan Kita Menulis. Google Scholar
Sinaga, Sahat Hmt. (2019). Notaris dan
badan hukum Indonesia. Jala Permata Aksara. Google Scholar
Tarigan, Yudha Pratama. (2021). Perlindungan
Hukum Terhadap Pihak Pembeli Tanah Berdasarkan Perjanjian Jual Beli Tanah Yang
Penjualnya Wanprestasi (Studi Putusan Nomor: 50/Pdt. G/2018/PN Bnj). Kumpulan
Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Sosial Sains, 2(02). Google Scholar
Undang-undang Jabatan Notaris No 2 tahun 2014.
(2014). Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris.
Yanuarsari, Maya Wira. (2018). Penerapan Doktrin
Diminished Responsibility Terhadap Bank Dalam Melaksanakan Prinsip Know Your
Costumers Terkait Transaksi Keuangan Yang Mencurigakan. Fairness and Justice:
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 16(2).Google Scholar
Ismail, Ermanto Fahamsyah,
I Gede Widhiana Suarda (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |