Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
Vol. 3, No.10, Oktober 2021
TATANGAN DAN ISU STRATEGIS GERAKAN ANTIKORUPSI TERKINI
Maman
Budiman
Fakultas Hukum
Universitas Pasundan Bandung Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia
terhadap gerakan anti korupsi adalah adanya pelemahan kepada lembaga penegak
hukum khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan pencegahan dan
penindakan perkara tindak pidana korupsi seperti komposisi komisi penyelidik,
penyidik dan penuntut umum, yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya perbuatan korupsi, mengkaji tantangan dan isu strategis
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam gerakan anti korupsi serta mengkaji upaya
yang harus dilakukan oleh pemerintah agar tantangan dan isu gerakan antikorupsi
dapat teratasi. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan mengkaji dan meneliti peraturan
perundang-undangan. Hasil analisis menyimpulkan tindakan korupsi yang dilakukan disebabkan oleh
beberapa faktor. Ada berasal dari faktor internal seperti sifat rakus atau
tamak, faktor yang lainnya adalah gaya hidup yang konsumtif, faktor moral yang
kurang kuat. Sedangkan faktor yang kedua adalah faktor eksternal seperti
politik, faktor hukum, faktor ekonomi. Persoalan-persoalan tersebut menjadi
tantangan dan isu yang strategis yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam
gerakan anti korupsi. Adanya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk
pada saat reformasi dirasa kurang optimal dalam hal pencegahan. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk karena lembaga hukum konvensional kurang
optimal dalam hal pencegahan dan penindakan korupsi. Upaya yang harus dilakukan
oleh pemerintah agar tantangan dan isu gerakan antikorupsi dapat teratasi
adalah dengan mendeklarasikan bahwa korupsi merupakan musuh bangsa Indonesia.
Kata Kunci: tantangan; gerakan anti korupsi; KPK
Abstract
The challenge faced by the Indonesian nation against the anti-corruption
movement is the weakening of law enforcement agencies, especially the
Corruption Eradication Commission in preventing and cracking down on corruption
crimes such as the composition of the commission of investigators,
investigators and public prosecutors, which comes from the police and
prosecutors. The purpose of this study is to examine the factors that cause
corruption, examine the challenges and strategic issues faced by the Indonesian
nation in the anti-corruption movement and review the efforts that must be made
by the government so that the challenges and issues of the anti-corruption
movement can be resolved. The research method used is normative legal research
by reviewing and researching laws and regulations. The results of the analysis
concluded that the acts of corruption committed were caused by several factors.
There are derived from internal factors such as greedy or greedy nature, other
factors are consumptive lifestyle, less powerful moral factors. While the
second factor is external factors such as politics, legal factors, economic
factors. These issues are a challenge and a strategic issue faced by the
Indonesian nation in the anti-corruption movement. The existence of a
Corruption Eradication Commission institution formed at the time of reform is
considered less than optimal in terms of prevention. The Corruption Eradication
Commission (KPK) was formed because conventional legal institutions are less
than optimal in terms of prevention and enforcement of corruption. Efforts that
must be made by the government so that the challenges and issues of the
anti-corruption movement can be resolved is to declare that corruption is an
enemy of the Indonesian nation.
Keywords: challenges; anti-corruption movement; KPK
Received:
2021-09-22; Accepted: 2021-10-05; Published: 2021-10-20
Pendahuluan
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan kerah
putih yang sering kali meresahkan masyarakat. Korupsi dalam segala bentuknya
tentu saja membuat kesengsaraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hilangnya uang
Negara dikarenakan korupsi tentu saja membuat hak-hak rakyat yang diatur oleh
konstitusi dasar Indonesia yaitu Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD 1945) menjadi terabaikan. Hak-hak masyarakat untuk kesejahteraan
seperti pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, papan, sarana transportasi,
akses terhadap teknologi menjadi sulit. Intinya adalah bahwa korupsi
menghadirkan banyak kekecewaan bagi rakyat banyak. Korupsi pada dasarnya adalah
menghabiskan anggaran negara yang awalnya ditujukan untuk kepentingan rakyat
untuk kemudian diambil menjadi keuntungan pribadi atau sekelompok orang (Rambey, 2017).
Di Indonesia korupsi merupakan musuh bangsa yang harus
diberantas. Korupsi adalah perbuatan jahat, busuk, tidak jujur, dan melawan
hukum. Negara harus bertanggungjwab dalam hal pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi. Masalah korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia,
karena telah ada sejak era tahun 1950-an. Bahkan berbagai kalangan menilai
bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan (Arifin, 2015).
Berbagai cara telah dilakukan oleh negara untuk mencegah dan
menindak pelaku-pelaku tindak pidana korupsi, termasuk membuat aturan atau
regulasi. Perbuatan korupsi dari hari ke hari terus saja dapat terlihat dengan
jelas, karena hampir setiap hari media baik cetak maupun elektronik
memberitakan soal orang yang melakukan korupsi, baik itu pejabat, pegawai
negeri sipil, kalangan swasta, pendidik, aparat penegak hukum (Sosiawan & Indonesia, 2019).
Kondisi ini sesungguhnya telah disadari oleh bangsa
Indonesia. Karena itu sejak reformasi bergulir, pemberantasan korupsi menjadi
salah satu agenda prioritas. Bahkan hampir semua agenda reformasi, baik
langsung ataupun tidak langsung ditujukan untuk meminimalisasi potensi korupsi,
misalnya agenda perubahan UUD 1945 untuk membangun cheks and balancing
system (system saling mengawasi dan mengendalikan) agar kekuasaan tidak
terkonsentrasi pada satu cabang kekuasaan sehingga menimbulkan potensi korupsi (Fahrojih, 2016).
Dari segi regulasi pemerintah sudah beberapa kali melakukan
perubahan Undang-undang, dari mulai Undang-undang Nomor 3 tahun 1971, berubah
menjadi Undang-undang Nomor 31 tahun 1999, kemudian berubah lagi menjadi Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001, belum lagi ada Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme
serta ada Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi. Dalam beberapa ketentuan Undang-undang tersebut diatas sangat jelas
bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
sangat merugikan bangsa dan negara dan merusak sendi sendi kehidupan
perekonomian. Perbuatan korupsi akan mengakibatkan dampak yang luar biasa
sehingga penanganannyapun harus dilakukan secara luar biasa dan dengan cara khusus.
Cara penanganannya antara lain dengan memasukan sanksi yang berat
dalam peraturan perundang-undangan seperti memberikan hukuman mati atau seumur
hidup, mencabut hak-hak politik, merampas asset atau jika perlu memberikan
sangsi sosial seperti mempekerjakan terpidana korupsi di lembaga-lembaga
sosial.
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak
boleh berhenti dan harus terus dilakukan, Negara dan masyarakat tidak boleh
kalah oleh orang-orang yang ingin mmemperkaya diri sendiri, memperkaya keluarganya
dan memperkaya golongannya. Persoalan korupsi tidak akan berhenti untuk didiskusikan,
dari mulai sebab sebab terjadinya perbutan korupsi, faktor-faktor yang
menyebabkan perbuatan korupsi, serta upaya penanggulangannya.
Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan
penguatan system, tata kelola yang baik, transfaran dan akuntabel. Selain itu
dapat dilakukan sosialisasi atau penyuluhan yang terus menerus kepada
penyelenggara negara, aparat penegak hukum serta masyarakat dan kalangan
swasta. Negara tidak boleh menyerah, karena barangkali hasil penguatan system
bisa terpakai 10 atau 20 tahun kemudian. Aspek penindakanpun harus terus dialkukan,
hal itu semata-mata untuk memberikan efek jera kepada siapaun yang melakukan
perbuatan korupsi agar memberikan penjeraan kepada pelaku dan menjadikan contoh
bagi pelaku-pelaku lain yang akan melakukan perbuatan korupsi.
� Penindakan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum dari mulai proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Aparat penegak hukum dari mulai
kepolisisan, kejaksaan, KPK dan Hakim harus profesional dan benar benar
menjungjung tinggi independensi artinya harus benar benar menjaga kebebasan
ketika memproses tindak pidana korupsi. Independensi terdapat dalam kehakiman
di Indonesia diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945, mengatur mengenai
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Kemandirian peradilan adalah bebas dari segala
bentuk intervensi. Hal tersebut agar kekuasaan kehakiman dapat menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD RI
1945 (Sutatiek, 2013).
Penindakan yang�
dilakukan oleh aparat penegak hukum baik itu oleh kepolisian, kejaksaan
dan KPK terkadang menemui hambatan seperti contohnya ada oknum-oknum yang
menghalangi proses penyidikan perkara tipikor (obstruction of justice),
melakukan kriminalisasi terhadp aparat penegak hukum, menghilangkan alat bukti,
serta melemahkan lembaga penegak hukum supaya kewenangannya dibatasi dengan
cara melakukan judicial riview Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo
Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
serta undang-undang nomor 30 tahun 2002 sebagaimana telah dirubah oleh
Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dengan melihat kondisi diatas sudah seharusnya ada
gerakan-gerakan yang dapat meminimalisir kejahatan korupsi. Masyarakat tidak
boleh mengandalkan kepada aparat penegak hukum dan lembaga-lembaga swadaya
masyarakat anti korupsi untuk melakukan perubahan agar bangsa Indonesia
terlepas dari perbuatan-perbuatan koruptif. Gerakan-gerakan tersebut harus
dimulai dari lingkunagn keluarga, Sekolah, Universtas, Instansi-instansi
pemerintah, kalangan swasta, kalangan professional, seniman, dan olahragawan. penelitian
ini dilakukan untuk mencari solusi terhadap tantangan dan isu strategis gerakan antikorupsi agar isu isu tentang pencegahan
dan penindakan korupsi terus menerus di informasikan kepada semua lapisan
masyarakat, hal ini sangat perlu dilakukan mengingat budaya korupsi di
Indonesia sudah begitu mengakar dan sudah masuk ke sendi sendi kehidupan dari
mulai bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, kesehatan serta pendidikan. Selama ini penanganan korupsi cenderung tambal sulam sehingga satu
kasus korupsi belum selesai ditangani sudah ada kasus korupsi yang lain lagi.
Oleh karena itu, dalam penanganan masalah korupsi, diperlukan penanganan secara
holistik atau menyeluruh, yaitu melalui kontrol preventif. Kontrol preventif
tersebut dilakukan dengan cara membangun sistem hukum yang kuat yaitu sistem
hukum yang berlandaskan kepada nilai-nilai moral dan budaya bangsa Indonesia,
yakni Pancasila. Dengan membentuk suatu sistem hukum yang berdasarkan pada
Pancasila diharapkan dapat menimalisir terjadinya korupsi (Teguh Prasetyo, 2014). Penanganan
persoalan korupsi di Indonesia saat ini, selain dilakukan pencegahan dan
penindakan oleh aparat penegak hukum diperlukan gerakan-gerakan yang masif
mengenai isu-isu anti korupsi, sehingga dapat membantu memecahkan persoalah
persoalan korupsi di Indonesia. Penelitian ini difokuskan kepada bagaimana upaya
yang dilakukan oleh masyarakat, lembaga-lembaga masyarkat yang peduli terhadap
persoalan korupsi di Indonesia agar budaya korup dimasyarakat, lembaga
pemerintahan dapat diminimalisir sehingga kedepannya Indonesia dapat terbebas dari
perilaku-perilaku korup. Dengan melihat latar belakang di atas, tulisan ini akan mengkaji
mengenai tantangan dan isu strategis gerakan antikorupsi terkini.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah
yuridis empiris yaitu penelitian atas kondisi gerakan anti korupsi di lapangan
dikaitkan dengan isu isu politik yang terjadi di negara Indonesia. Kemudian
menginventarisasi, mengkaji, dan meneliti data sekunder berupa peraturan
perundang-undangan, asas-asas hukum, pengertian-pengertian hukum.
Pengayaan data yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan
yuridis-dogmatis yaitu dengan pendekatan konseptual, pendekatan peraturan
perundang-undangan, pendekatan perbandingan, dan pendekatan filosofis serta
mengkaji gerakan antikorupsi pada saat ini. Beberapa pendekatan ini digunakan
secara bersama-sama dalam rangka membahas setiap permasalahan.
Hasil dan Pembahasan
1. Faktor-Faktor yang Menyebabkan
Terjadinya Perbuatan Korupsi
Perbuatan korupsi adalah perbuatan
yang bertentangan dengan norma-norma yang terjadi dimasyarakat seperti norma
hukum, norma agama dan norma adat. Tindakan korupsi harus dianggap sebagai
kejahatan luar biasa karena dampak yang timbulnya adalah luar biasa. Orang yang
melakukan perbuatan korupsi tidak memikirkan kepentingan masyarakat, mereka
hanya mementingkan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya serta untuk
mencari kepuasan tersendiri yaitu mengumpulkan harta kekayaaan dari jalan yang
tidak benar. Perilaku korupsi, selain melanggar berbagai aturan hukum juga
melanggar nilai dan norma yang terkandung dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 yang menentukan bahwa "Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia" (Dessy Rochman Prasetyo, 2016). Dampak dari
tindak pidana korupsi selama ini, selain merugikan keuangan dan perekonomian negara,
juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut
efesiensi tinggi.
Tindak pidana korupsi bisa dilakukan
oleh siapa saja, baik perorangan perusahaan berbadan hukum maupun tidak ber
badan hukum, organisasi masyarakat, koperasi, yayasan dan anggota partai
politik (Butarbutar, 2016). Pelaku korupsi tersebut
tidak hanya dilakukan oleh para pejabat, birokrat, legislator, penegak hukum,
kalangan swasta, dewasa ini menjamur sampai kepada masyarakat, contoh kecil
pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk, pelayanan pembuatan Ijin Mendirikan
Bangunan, pelayanan asuransi kesehatan. Masyarakat Indonesia sedang sakit
karena menganggap semua bisa didapat dan dilakukan dengan uang untuk
mendapatkan sesuatu. Pola pemikiran ini yang harus dirubah, walaupun tidak
mudah, karena korupsi yang ada di Indonesia bukan lagi sudah membudaya akan
tetapi sudah masuk kedalam aliran darah masyarakat Indonesia.�
Perbuatan korupsi yang terjadi di
Indonesia sudah berlangsung lama dan masif. Kalau melihat sejarah, perbuatan
memberikan upeti pada masa jaman kerajaan dan pada zaman penjajahan baik pada
saat di jajah Inggris, Perancis maupun oleh Belanda perbuatan perbuatan
tersebut sudah ada. Perbuatan tersebut bertujuan untuk memudahkan suatu urusan
sehingga masyarakat memberikan sesuatu kepada pemimpin.
Semangat untuk memberantas korupsi
terkesan hanya menyalahkan system yang ada, tetapi kurang berorientasi kepada
peningkatan dan pengawasan kinerja dan profesionalitas aparat penegak hukum,
sehingga tidak jarang dalam proses pencegahan dan penindakan tindak pidana
korupsi itu sendiri, terhalang oleh perilaku para penegak hukum yang
menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) (Chaerudin dkk, 2007).
Tindakan korupsi yang dilakukan disebabkan
oleh beberapa faktor. Ada berasal dari faktor internal seperti sifat rakus atau
tamak, artinya manusia tidak mudah puas dengan apa yang dimilikinya saat ini.
Mereka cenderung merasa kurang dengan apa yang mereka miliki dan hal tersebut
akan mendorong manusia tersebut untuk melakukan korupsi. Faktor yang lainnya
adalah gaya hidup yang konsumif, yaitu dalam segi kehidupan sehari-hari
berlebihan, atau dapat disebut juga dengan gaya hidup yang boros. Gaya hidup
yang semacam ini akan mendorong untuk melakukan korupsi karena apabila dari
penghasilan tidak mencukupi untuk memenuhi gaya hidupnya dan terakhir faktor
moral yang kurang kuat, artinya moral yang dimiliki sangat kurang tidak tahan
akan godaan duniawi, lebih mementingkan kepentingan pribadi, keluarga dan
golongannya tidak memikirkan orang-orang disekelilingnya.
Sedangkan faktor yang kedua adalah
faktor eksternal seperti politik, karena politik mempengaruhi terjadinya
perbuatan korupsi. pada dasarnya politik berhubungan dengan kekuasaan yang
artinya orang berpolitik akan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan
kekuasaan, bahkan melakukan perbuatan-perbuatan jahat seperti melakukan korupsi
demi mendapatkan kekuasaan tersebut. Faktor politik terbagi menjadi dua yaitu
faktor kekuasaan dan faktor stabilitas politik yang sedang berlaku. Faktor
selanjutnya adalah faktor hukum, seperti kita ketahui sistem penegakan hukum
yang hanya pro pada pihak-pihak tertentu saja yang memiliki kepentingan untuk
dirinya sendiri, keluarga dan golongan tertentu akan menyebabkan hukum tumpul
keatas dan tajam ke bawah. Faktor hukum dapat dibagi menjadi dua yaitu
konsistensi penegakan hukum dan kepastian hukum.
Faktor yang lainnya adalah Faktor
ekonomi yang menjadi salah satu faktor yang meyebabkan terjadinya korupsi. Hal
tersebut dapat dilihat dari apabila gaji atau pendapatan seseorang tersebut
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari akan timbul
niat melakukan perbuatan korupsi. Faktor ekonomi terbagi menjadi dua yaitu faktor
pendapatan atau gaji dan faktor sistem ekonomi, kemudian faktor organisasi dalam
sebuah institusi baik pemerintahan, BUMN, BUMD, serta perusahaan swasta terkait
dengan kultur atau budaya bekerja, faktor kepemipinan seorang pimpinan, faktor
akuntabilitas dan faktor manajemen atau sistem. Faktor yang paling penting
dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual para pemimpin
masyarakat. Keadaan moral dan intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi
yang lain (Hartanti, 2005). Faktor-faktor
diatas menjadikan Indonesia sebagai negara yang tingkat korupsinya tinggi karena
sudah sistemik merusak sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat. Perlu langkah
strategis dan berani para pemimpin di negeri ini. Aparat penegak hukum harus
berani memproses dan menjatuhkan hukuman yang berat kepada pelaku-pelaku
korupsi agar menjadi efek jera bagi pelaku lain. Hukum pidana memberikan sanksi
atau pidana dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Ada tiga
teori dan tujuan pemidanaan, yaitu: (1) Tujuan pembalasan (teori absolut),
tujuan pemidanaan yaitu untuk membalas perbuatan pidana yang dilakukan oleh
pelaku kejahatan; (2) Teori tujuan (teori relatif): a) untuk mencegah
terjadinya kejahatan; b) untuk memberikan rasa takut, sehingga orang tidak
melakukan kejahatan; c) memperbaiki orang yang melakukan kejahatan; d) memberikan
perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan (Muladi, 2005). Dengan melihat
teori diatas tidak ada pilihan lain bagi para penegak hukum untuk tidak
menjatuhkan hukuman maksimal bagi para pelaku tindak pidana korupsi agar
minimal menjadi pengingat bagi pelaku-pelaku lain bahwa penindakan terhadap
perilaku koruptif dapat dilakukan dengan maksimal dan terkadang kejam.
2. Tantangan dan isu
strategis yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam gerakan anti korupsi
Persoalan tindak pidana korupsi,
tidak saja menuntut pembaharuan metode pembuktiannya, tetapi telah menuntut
dibentuknya suatu lembaga di dalam upaya pemberantasannya. Pemerintah Indonesia
telah berupaya melakukan usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi baik yang bersifat preventif maupun refresif. Salah satu upaya tersebut
membentuk lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi, diluar kepolisian dan
kejaksaan.
Dengan kerangka serupa, Ross McLeod
menyatakan, gagalnya pemberantasan korupsi di Indonesia karena managemen sector
public tidak dibenahi (Setiyono & McLeod, 2010).
Renumerasi pegawai tidak pernah diperbaiki tetapi pada saaat yang sama pegawai
negeri diijinkan untuk melakukan korupsi berada dalam lingkungan yang tidak
kompetitif). Mekanisme reward and punishment tidak berjalan.
Penanganan tindak pidana korupsi
dalam sistem hukum di Indonesia memberikan kewenagan kepada tiga lembaga yaitu
kepolisian, kejaksaan, dan KPK ketiga lemabaga ini punya kewenagan dalam
melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi. Jika terdapat kasus
korupsi maka ketiga lembaga ini punya kewenagan untuk melakukan penyelidikan
dan penyidikan khusus KPK salah satu kewenangannya adalah hanya akan menangani
perkara yang melibatkan kerugian keuangan negara diatas 1 milyar, Pejabat
Negara, dan aparat penegak hukum.
Keberhasilan lembaga penegak hukum
dalam mencegah dan menindak perilaku koruptif sangat dirasakan oleh masyarakat.
Lembaga Kepolisiaan, Kejaksaan, KPK sudah bekerja keras mencegah dan menindak
pelaku-pelaku kejahatan korupsi akan tetapi perlu ditingkat lagi untuk
meningkatkan kepercayaan publik tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi
yang tersebar luas di Indonesia. KPK dibentuk untuk melaksanakan tugas dan
kewenangannya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia yang bersifat independen
dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam hal ini, KPK bebas dari
kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara
individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak- pihak lain yang
terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan
alasan apapun (Rizal & Farid, 2017).
Penilaian masyarakat tentang kemajuan
yang baik dalam memerangi korupsi, terkadang masih menghadapi masalah yang tidak
bisa dianggap gampang. Masalah tersebut terdiri dari masalah internal dan
masalah eksternal. Masalah internal seperti budaya ketidakenakan, budaya
senioritas, budaya saling melindungi dan budaya melayani pimpinan. Masalah eksternal
seperti sistem hukum, intervensi dari penguasa dan kepentingan politik dari
penguasa.
Beberapa faktor yang dapat mencegah
terjadinya tindak pidana korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya adalah:
1. Keterikatan positif pada
pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta tugas kemajuan nasional dan
public maupun birokrasi.
2. Administrasi yang efisien
serta penyesuaian structural yang layak dari mesin dan aturan pemerintah
sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber korupsi.
3. Kondisi sejarah dan
sosiologis yang menguntungkan
4. Berfungsinya suatu system
yang antikorupsi
5. Kepemimpinan kelompok yang
berpengaruh dengan standar moral dan intelektual yang tinggi (Hartanti, 2005).
Persoalan-persoalan tersebut menjadi
tantangan dan isu yang strategis yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam
gerakan anti korupsi. Adanya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk
pada saat reformasi dirasa kurang optimal dalam hal pencegahan. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk karena lembaga hukum konvensional kurang
optimal dalam hal pencegahan dan penindakan korupsi. Sudah 15 tahun KPK berdiri
kejahatan luar biasa ini terus saja menjadi masalah besar bangsa ini,
perlahan-lahan perilaku koruptif, penyelenggara negara, dari mulai menteri,
gubernur, bupati dan walikota, anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten,
Kalangan swasta, dan aparat penegak hukum seperti Hakim, Jaksa, Polisi dan
Advokat tertangkap karena melakukan perbuatan korupsi.
�Dengan melihat peroalan tersebut diatas,
Indonesia perlu membangun sebuah sistem pencegahan dan penindakan yang terpadu.
Akan tetapi hal itu tidak mudah karena dilapangan terkadang koruptor melakukan
penyerangan balik, seperti mengkriminalisasi, mengancam atau percobaan
pembunuhan. fenomena tersebut tidak heran karena pasti koruptor-koruptor yang
dituduh telah merugikan keuangan Negara melakukan berbagai macam cara agar
mereka tidak diproses hukum. Upaya meminimalisir korupsi antara lain dilakukan dengan
menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik. Tata kelola pemerintahan yang
baik merujuk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), yakni sebagai
prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunan Wewenang bagi Pejabat
Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan apabila merujuk pada Pasal 1 angka 17
Undang-Undang Nomor30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.� Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (UU Anti KKN) menyatakan Asas�� Umum��
Pemerintahan�� Negara�� yang��
Baik�� adalah�� asas��
yang menjunjung tinggi��
norma�� kesusilaan, kepatutan�� dan��
norma�� hukum, untuk mewujudkan
Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
kedua undang-undang tersebut menjelaskan asas-asas apa saja guna mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik, yakni asas kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan,
kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum,
dan pelayanan yang baik (Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014). Sedangkan dalam Pasal
3 UU Anti KKN, menyebutkan asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi asas kepastian
hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas�� kepentingan��
umum, asas��� keterbukaan, asas proporsionalitas,
asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas (Manurung, Sembiring, & Sulistyani, 2019).
Tantangan yang dihadapi oleh aparat
penegak hukum khususnya Komisi Pemberantasan korupsi dalam melakukan pencegahan
dan penindakan perkara tindak pidana korupsi adalah masalah yang tidak bisa
dianggap gampang adalah komposisi komisi penyelidik, penyidik dan penuntut umum,
yang berasalal dari kepolisian dan kejaksaan walaupun dalam pasal 11 UU No 30
2002 mandat komisi meliputi memproses petugas penegak hukum. Melihat hal
tersebut menjadai tantangan tersendiri bagi KPK untuk merekrut penyelidik,
penyidik dan penuntut umum sendiri. Hal itu tidak mudah karena bertabrakan
dengan ketentuan undang-undang yang lain yaitu undang-undang kepolisian dan
undang-undang kejaksaaan.
Tantangan yang lain adalah melemahnya
dukungan dari beberapa kalangan, terutama dari elit politik. Secara politis,
pemberantasan korupsi belum menerima banyak dukungan. Sejauh ini hanya
kelompok-kelompok masyarakat sipil dan media massa telah serius mempromosikan
pemberantasan korupsi. Alasannya adalah bahwa agenda komisi telah menjadi
ancaman serius bagi pejabat publik yang korup dan korup para elite partai
politik. Parlemen tidak lagi kebal dari proses hukum untuk korupsi yang dimulai
dan berkembang di sana. Tokoh politik terancam dan sekutu mereka telah
digunakan atau telah merenungkan menggunakan metode berikut untuk mencoba dan
melemahkan KPK.
Tantangan selanjutnya adalah budaya
dimasyarakat yang menganggap bahwa perilaku koruptif sudah menjadi hal yang
biasa dan itu diturunkan turun menurun dari orang tua kepada anaknya, hal ini
yang menyebabkan tantangan tersendiri karena Negara yang diwakili oleh aparat
penegak hukum selain melakukan penindakan harus juga diimbangi dengan proses
pencegahan. Aparat penegak hukum harus memberikan contoh kapada masyarakat
mengenai bahanya perilaku koruptif jangan sampai menjadi bagian dari system
yang korup, karena untuk membersihkan Negara harus oleh orang-orang yang
bersih, jujur, bermoral dan tentunya berintegritas.
Dengan melihat regulasi untuk
pemberantasan korupsi sebenarnya sudah ada baik ditingkat internasioanal maupun
nasional, hanya ketika diterapkan dilapangan banyak terkendala. Kendala-kendala
dimaksud seperti budaya/culture, perilaku masyarakat, pola pikir, karakter
serta system yang dibangun oleh Negara. Gerakan anti korupsi harus terus
dilakukan dan di sosialisasikan, pemerintah harus menjadi garda terdepan dalam
gerakan anti korupsi, dengan memberikan contoh perilaku yang tidak koruptif.� masyarakat sipil (civil socity) tidak
boleh lelah mengaspirasikan kegiatan-kegiatan anti korupsi.
3. Upaya yang harus dilakukan
oleh pemerintah agar tantangan dan isu gerakan antikorupsi dapat teratasi
Definisi yang cukup dominan dalam
pemberantasan korupsi adalah penyalahgunaan wewenang publik untuk kepentingan
pribadi. Definisi ini menjadi arus utama dalam pemahaman tentang korupsi dan
strategi pemberantasannya yang dipergunakan oleh bank dunia dan lembaga donor
lainnya. Implikasi dari definisi dan strategi tersebut adalah fokus dalam
pemberantasan korupsi di sektor publik. Praktis hampir semua program
pemberantasan korupsi berpusat bagaimana mencegah penyalahgunaan wewenang
public. Berbagai program kemudian difokuskan untuk mencegah penyalahgunaan
wewenang di lembaga-lembaga pemerintahan (Setiyono & McLeod, 2010). Dalam ilmu
politik, gagasan arus utama pemberantasan korupsi dikembangkan dari teori
Principal-agent (Hamilton-Hart, 2001).
Senada dengan kerangka
principal-agent, Robert Klitgaard membuat rumusan korupsi yang sangat terkenal:
C= M+D-A (Corruption = Monopoli + Discretion- Accountability), (Klitgaard, 1988).
Korupsi sama dengan monopoli ditambah dengan kewenangan tetapi minus
akuntabilitas. Berdasarkan rumusan ini, maka program pemberantasan korupsi
dirancang untuk mengurangi monopoli kekuasaan dan kewenangan serta meningkatkan
akuntabilitas. Berdasarkan rumusan klitgaard itu, untuk mengurangi korupsi maka
principal harus memastikan bahwa agen dibatasi kekuasaan dan kewenangannya
serta menyiapkan mekanisme akuntabilitas. Dengan pegawasan yang ketat, maka
korupsi atau penghianatan oleh agen bisa dikurangi (Setiyono & McLeod, 2010).
Agenda pemberantasan korupsi kemudian
diterjemahkan ke dalam sejumlah program seperti reformasi birokrasi berupa
perbaikan sistem penggajian, recruitment, promosi dan mutasi. Program ini
mendorong perubahan kearah merit system berdasarkan penilaian yang objektif.,
sedangkan praktik yang selama ini berkembang justru berdasar pada kedekatan
pribadi dan penilaian subjektif (Setiyono & McLeod, 2010).
Berbicara mengenai cara menangani
kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia, tersedia ratusan bahkan
ribuan solusi yang telah disalurkan melalui produk hukum, akademis ataupun
wacana-wacana strategis (Setiawan, 2016). Pemerintah sudah
bekerja keras membenahi budaya, sistem, perilaku, para penyelenggara Negara,
pengusaha, aparat penegak hukum dan masyarakat. Hal itu bertujuan ingin
melakukan pembenahan terhadap perilaku-perolaku korup.� Upaya-upaya sudah dilakukan oleh Pemerintah
dengan membentuk system ekatalog dalam pengadaan barang dan jasa, memberikan
punishment dan reward, melakukan perbaikan-perbaikan system birokrasi dan
melakukan pengawasan melekat.
Permasalahan korupsi di negara
Indonesia bukanlah sesuatu yang baru, sejak zaman kolonial sudah kita kenal
budaya korupsi, dari mulai zaman Presiden Soekarno sampai Presiden Joko Widodo
budaya ini tetaplah menjadi ciri khas dari Indonesia. Sebagai warga negara
Indonesia menjadi kewajiban untuk mengurangi laju lahirnya generasi korupsi.
Masyarakat Indonesia sudah seharusnya menjadi penghambat laju lahirnya koruptor
di Indonesia. Upaya pemberantasan korupsi harus terus dilakukan di Indonesia.
Masih banyak pekerjaan rumah yang mesti dilakukan agar upaya pemberantasan
korupsi tetap fokus dan tidak menyimpang dari arahnya, sekaligus menjaga profesionalitas
aparat penegak hukum agar pemberantasan korupsi tidak semena-mena.
Pendekatan yang dapat dilakukan
terhadap masalah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai walaupun
kita mendekati masalah itu, dari berbagai aspek. Pendekatan sosiologis
misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya
kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik maupun
ekonomi (Saragih, Prasetyo, & Hafidz, 2018).
Korupsi adalah salah satu faktor yang
paling berpengaruh dalam konteks kemajuan suatu bangsa, tantangan yang perlu
dihindari agar pemberantasan korupsi bisa berjalan dengan baik adalah
pembenahan sistem hukum kita, yang paling utama adalah jangan sampai terjadi
diskriminasi dalam penegakan hukum di Indonesia, dimana sering kita lihat kasus
rakyat miskin yang mencuri buah cokelat untuk memenuhi kehidupan keluarganya
bisa dihukum oleh pengadilan, sedangkan koruptor yang telah mencuri hak-hak rakyat
miskin hanya dihukum dengan hukuman ringan. Ketimpangan-ketimpangan ini yang
harus segera dihapuskan, hukum di Indonesia tidak boleh �Tumpul ke atas dan
tajam ke bawah�, asas semua sama di mata hukum perlu kita junjung tinggi.
Selain dari masalah sistem hukum kita
yang masih lemah, permasalahan moral bangsa menjadi suatu hal yang penting
juga, setidaknya yang harus dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat adalah menanamkan
nilai kejujuran, keadilan, mengedepankan kepentingan masyarakat dan tanggung jawab
atas tugas dan kewajiban masing-masing serta adanya tanggung jawab atas
keberhasilan dan kesejahteraan bangsa Indonesia yang bergantung pada tangan dan
kontribusi besar masing-masing rakyat Indonesia. Jika dilakukan sesuai dengan
tanggung jawab maksimal, kemungkinan terjadinya tindakan penyelewengan uang
untuk kepentingan pribadi bisa kita kurangi.
Korupsi bisa merusak moral bangsa
jika tidak diselesaikan sampai ke akar-akarnya. Budaya rakyat Indonesia yang
sering menganggap korupsi sebagai hal biasa bisa menjadi penghambat dalam
pemberantasan korupsi, harus ada sikap yang berani untuk melaporkan kegiatan
korupsi sekecil apapun ke penegak hukum agar terciptanya suasana aman dan
harmonis di tengah masyarakat. Agar tercapainya Indonesia yang sejahtera korupsi
harus diberantas. Ada beberapa peluang yang bisa dijadikan cara untuk
memberantas korupsi, dimulai yang sifatnya preventif dengan cara mengajak
masyarakat untuk bersama-sama mengawal pemerintah di daerahnya agar bisa
mendorong sistem keterbukaan informasi publik yang bisa diakses kapan saja dan
dimana saja. Dalam hal ini, peran masyarakat sebagai kontrol kebijakan
pemerintah sangat diperlukan untuk mencegah kebocoran yang disebabkan oleh
korupsi. Pendidikan karakter sejak dini juga bisa dikategorikan sebagai upaya
preventif dalam peluang pemberantasan korupsi, di antaranya pendekatan secara
agama, pendidikan moral di sekolah, dan yang paling penting adalah pendidikan
di lingkungan keluarga. Pendidikan di lingkungan keluarga memiliki peranan yang
sangat penting dalam hal tindakan preventif pemberantasan korupsi, karena tanpa
kita sadari, keluarga menjadi salah satu pemicu seseorang untuk melakukan
tindakan korupsi yang disebabkan pola hidup boros dan konsumtif yang dibina
dari keluarga. Oleh karena itu, pendidikan anti korupsi dan penanaman pola
hidup sederhana dalam keluarga menjadi hal yang paling utama dalam upaya
pemberantasan korupsi.
Tindakan represif juga diperlukan
dalam upaya pemberantasan korupsi, diantaranya dengan memperkuat sistem hukum
di Indonesia dan juga bersama-sama memperkuat lembaga penegak hukum yang ada di
Indonesia, seperti komisi pemberantasan korupsi (KPK), kejaksaan, dan
Kepolisian Republik Indonesia. Jangan ada lagi upaya pelemahan KPK yang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, seperti contoh kasus
Abraham Samad dan Bambang Widjajanto, terlihat jelas bahwa ada unsur
kriminalisasi yang dilakukan oleh institusi POLRI terhadap KPK. Dalam hal ini
lembaga peradilan juga harus benar-benar objektif dalam menilai suatu kasus
korupsi, praperadilan yang sudah memenangkan Budi Gunawan, Ilham Arief
Sirajuddin, dan Hadi Poernomo menjadi bukti bahwa penegakan hukum di Indonesia
masih sangat lemah dan ada upaya-upaya untuk melemahkan institusi pemberantasan
korupsi.
Upaya yang harus dilakukan oleh
pemerintah agar tantangan dan isu gerakan antikorupsi dapat teratasi adalah dengan
mendeklarasikan bahwa korupsi merupakan musuh bangsa Indonesia, korupsi adalah
perbuatan kejahatan luar biasa, korupsi merusak tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara, Korupsi menghancurkan sistem perekonomian. Pemerintah tidak bisa
berjalan sendiri dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, perlu adanya
kerja sama yang baik antara masyarakat dengan pemerintah agar terciptanya
Indonesia yang terbebas dari korupsi di masa depan. Dalam rangka membangun
strategi baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka perlu dikaji
secara komprehensif mengenai berbagai langkah dan capaian pemerintah dalam
pemberantasan korupsi dari masa ke masa. Secara legal formil, arah dan
kebijakan pemerintah dalam penanganan tindak pidana korupsi didasarkan pada politik
hukum yang dibangun pada masa atau periode tertentu. (Alfarisi, 2019).
Program reformasi birokrasi pada unit
kerja melalui upaya pembangunan Zona Integritas merupakan langkah kongkrit
dalam melayani publik. Integritas harus diciptakan dalam lingkungan instansi
pemerintah. Dalam rangka memberikan apresiasi kepada top manajemen yang
memiliki komitmen terhadap pencegahan korupsi, Menteri PAN dan RB menerbitkan
Permenpan dan RB Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Umum Pembangunan Zona Integritas
Menuju Wilayah Bebas Dari Korupsi. Peraturan tersebut sebagai pedoman umum yang
merupakan acuan bagi pejabat di lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah (K/L/Pemda) dalam rangka Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah
Bebas dari Korupsi. K/L/Pemda yang telah mencanangkan kesiapan/ kesanggupan
menjadi K/L/ Pemda yang berpredikat ZI mewujudkan komitmen pencegahan korupsi
melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan pencegahan korupsi dalam bentuk yang
lebih nyata secara terpadu dan disesuaikan dengan kebutuhan K/L/Pemda yang
bersangkutan.
Di masyarakat sebenarnya telah ada
lembaga-lembaga swadaya yang fokus terhadap pemantauan perilaku koruptif akan
tetapi terkadang keberadaannya dianggap sebelah mata karena di tuduh sebagai
alat luar negeri untuk memech belah bangsa Indonesia, pemerintah mesti
berkolaborasi karena pemerintah akan mendapatkan masukan dari masyarakat
khususnya dari LSM.
Pemerintah mesti memperkuat
lembaga-lembaga penegak hukum, KPK tidak boleh dilemahkan, Kepolisian dan
kejaksaan harus diperkuat dengan cara menunjuk para pemimpin di kedua lembaga
tersebut yang diisi oleh orang-orang yang berintegrtas, berani, jujur, tidak
pandang bulu, berorientasi kepada perubahan dan dan mempunyai rekam jejak yang
baik yaitu tersandera kepada perbuatan masa lalu. Selain itu pemerintah mesti
menganggarkan yang besar kjepada lembaga penegak hukum konvensuonal kepolisian
dan kejaksaan, seperti KPK, karena dengan anggaran yang besar dapat menciptakan
system pekerjaan yang baik dan menutup celah terjadinya penyalahgunaan
kewenangan.
Kesimpulan
Kesimpulan dalam tulisan ini adalah bahwa ada 2 faktor yang
menyebabkan tindakan korupsi yaitu faktor internal seperti sifat rakus atau
tamak, gaya hidup yang konsumif, moralitas sedangkan faktor external meliputi faktor
politik, hukum, ekonomi serta faktor organisasi dalam sebuah institusi baik
pemerintahan, BUMN, BUMD, serta perusahaan swasta terkait dengan kultur atau
budaya bekerja. Tantangan gerakan anti korupsi yang dihadapi adalah adanya
pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan pencegahan dan
penindakan perkara tindak pidana korupsi, melemahnya dukungan dari beberapa
kalangan, terutama dari elit politik serta budaya dimasyarakat yang menganggap
bahwa perilaku koruptif sudah menjadi hal yang biasa dan itu diturunkan turun
menurun dari orang tua kepada anaknya. Upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah
agar tantangan dan isu gerakan antikorupsi dapat teratasi adalah dengan
mendeklarasikan bahwa korupsi merupakan musuh bangsa Indonesia, korupsi adalah
perbuatan kejahatan luar biasa, korupsi merusak tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara, korupsi menghancurkan sistem perekonomian serta perlu adanya kerja
sama yang baik antara masyarakat dengan pemerintah agar terciptanya Indonesia
yang terbebas dari korupsi di masa depan.
BIBLIOGRAFI
Alfarisi, Fadli. (2019). Pembaharuan
Strategi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia. Fairness and Justice: Jurnal
Ilmiah Ilmu Hukum, 17(2), 120�132.Google Scholar
Arifin, Siful. (2015). Model Implementasi
Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi Islam. Jurnal Kariman, 3(1),
1�6. Google Scholar
Butarbutar, Russel. (2016).
Pertanggungjawaban Pidana Partai Poli k dalam Tindak Pidana Korupsi dan
Pencucian Uang. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Unviersitas Padjadjaran,
Bandung, 3. Google Scholar
Chaerudin dkk. (2007). Strategi
Pencegahan dan Penegakan hukum. Jakarta: Refika aditama.
Fahrojih, Ikhwan. (2016). Hukum Acara
Pidana Korupsi. Malang. Setara Press. Google Scholar
Hamilton-Hart, Natasha. (2001).
Anti-corruption strategies in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic
Studies, 37(1), 65�82. Google Scholar
Hartanti, Evi. (2005). Tindak pidana
korupsi. Jakarta. Sinar Grafika. Google Scholar
Klitgaard, Robert. (1988). Controlling
corruption. University of California press. Google Scholar
Manurung, Elsa Debora, Sembiring, Shafira
Nadya Rahmayani, & Sulistyani, Wanodyo. (2019). Pelayanan Publik Berbasis
Elektronik dan Perilaku Anti Korupsi. Veritas et Justitia, 5(2),
399�420. Google Scholar
Muladi, Hak. (2005). Hak Asasi Manusia:
Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Google Scholar
Prasetyo, Dessy Rochman. (2016). Penyitaan
dan Perampasan Aset Hasil Korupsi sebagai Upaya Pemiskinan Koruptor. DiH:
Jurnal Ilmu Hukum, 12(24), 149�163. Google Scholar
Prasetyo, Teguh. (2014). Membangun Sistem
Hukum Pancasila Yang Merdeka Dari Korupsi dan Menjunjung Ham. Refleksi
Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 8(1), 19�26. Google Scholar
Rambey, Guntur. (2017). Pengembalian
Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Melalui Pembayaran Uang Pengganti
dan Denda. De Lega Lata: Jurnal Ilmu Hukum, 1(1), 137�161. Google Scholar
Rizal, Moch Choirul, & Farid, M. Lutfi Rizal.
(2017). Pitutur Luhur Untuk Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif
Kebijakan Hukum Pidana. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 2(1),
33�50. Google Scholar
Saragih, Yasmirah Mandasari, Prasetyo, Teguh,
& Hafidz, Jawade. (2018). Analisis Yuridis Kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sebagai Penuntut Pelaku Tindak Pidana Korupsi. UNIFIKASI:
Jurnal Ilmu Hukum, 5(1), 33�44. Google Scholar
Setiawan, Azhari. (2016). ASEAN ‘
Political-Security�TM Community: Mekanisme Kerjasama Multilateral
dan Mutual Legal Assistance dalam Menangani Kasus Money Laundering di Asia
Tenggara. Integritas: Jurnal Antikorupsi, 2(1), 69�89. Google Scholar
Setiyono, Budi, & McLeod, Ross H.
(2010). Civil society organisations� contribution to the anti-corruption
movement in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 46(3),
347�370. Google Scholar
Sosiawan, Ulang Mangun, & Indonesia,
HAMR. (2019). Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 19(4),
517�538. Google Scholar
Sutatiek, Sri. (2013). Akuntabilitas Moral
Hakim dalam Memeriksa, Mengadili, dan Memutus Perkara Agar Putusannya
Berkualitas. Arena Hukum, 6(1), 1�21. Google Scholar
Maman Budiman (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |