Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853� e-ISSN : 2684-883X

Vol. 2, No. 2 Februari 2020

 


DUKUNGAN POLA ASUH KELUARGA DAN KEMAMPUAN PEMENUHAN PERSONAL HYGIENE ANAK RETARDASI MENTAL BERDASARKAN KARAKTERISTIK DI CIREBON

 

Dwiyanti Purbasari

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Mahardika Cirebon

Email: [email protected]

 

Abstrak

Anak tunagrahita membutuhkan orang terdekat untuk membantu anak dalam hal-hal yang tidak mampu dilakukannya sendiri. Data Susenas (2012) juga menerangkan bahwa prosentase penyandang disabilitas yang diantaranya adalah disabilitas mental yaitu tunagrahita secara keseluruhan adalah 2,22 % di Jawa Barat. Hasil Riskesdas (2013) menyebutkan penyandang disabilitas mental yaitu tunagrahita usia > 15 tahun adalah 12,7% di Jawa Barat (Riskesdas, 2013). Berdasarkan data tersebut terdapat peningkatan jumlah penyandang disabilitas mental di Jawa Barat. Peserta didik tunagrahita pada tingkat sekolah dasar di salah satu SLB wilayah Kota Cirebon terdiri dari tingkat Ringan/C sebanyak 77.8% , tingkat Sedang/C1 sebanyak 9,5%,� dan tingkat Berat/B sebanyak 12,7%. �Sejumlah 22% peserta didik tunagrahita tingkat Ringan masih didampingi membersihkan alat kelamin setelah BAB dan BAK oleh guru atau orang tuanya, terdapat 7%� peserta didik tunagrahita tingkat Ringan masih harus dibantu orang tua saat mandi. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan dukungan pola asuh keluarga dan kemampuan pemenuhan personal hygiene anak tunagrahita di Kota Cirebon. Metode penelitian yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah orangtua dan anak tunagrahita di salah satu SLB wilayah Kota Cirebon sebanyak 70 orang. Sampel penelitian yaitu orangtua dan anak tunagrahita� sebanyak 63 orang dengan teknik proportionate stratified random sampling. Analisis data univariat menggunakan distribusi frekuensi dan analisis bivariat menggunakan uji pearson correlation dengan nilai α = 0,05. Penelitian dilakukan selama bulan �Juli 2017. Hasil penelitian didapatkan terdapat hubungan yang keeratannya rendah dan positif antara dukungan pola asuh keluarga dengan kemampuan pemenuhan personal hygiene pada anak tunagrahita di Kota Cirebon. Semakin menyeluruh pemberian dukungan pola asuh keluarga maka kemampuan pemenuhan personal hygine pada anak tunagrahita akan semakin mandiri� {pvalue = 0.02; α = 0.05;� r = 0.293}.� Perawat anak dan komunitas diharapkan dapat melakukan trias UKS secara komperhensif di sekolah berkebutuhan khusus serta melakukan home visit dan konseling secara teratur. Perawat diupayakan terlibat secara langsung dalam kegiatan-kegiatan sekolah berupa kegiatan stimulasi tumbuh kembang anak tunagrahita.

 

Kata kunci: Dukungan Pola Asuh, Kemampuan, Personal Hygiene, Anak Tunagrahita

 

 

Pendahuluan

Anak merupakan individu yang berada pada rentang usia bayi baru lahir sampai dengan remaja. Anak berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan baik secara biologis, psikologis, sosial maupun spiritual yang berbeda-beda sesuai dengan tahapan usianya. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor tersebut adalah status kesehatan anak. Kondisi gangguan kesehatan yang terjadi pada anak adalah kelainan mental intelektual (mental retardation)� atau tunagrahita. Upaya pemeliharaan kesehatan pada anak tunagrahita harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis dan bermartabat. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi anak tunagrahita untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis (Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009).

Anak tunagrahita membutuhkan orang terdekat untuk membantu anak dalam hal-hal yang tidak mampu dilakukannya sendiri. Keluarga menjadi lingkungan sosial pertama untuk anak sehingga memberi pengaruh besar bagi perkembangannya. Orang tua juga dianggap sebagai mentor terkemuka bagi anak-anak untuk kehidupan nantinya, dimana orang tua sangat terlibat atau berpartisipasi dalam setiap bagian dari pendidikan, pelatihan bagi anak-anak mereka yang kini tidak ada batasnya (Mohsin, Khan, Doger, & Awan, 2011).

Anak tunagrahita memiliki kemampuan yang dapat dioptimalkan dan dikembangkan selayaknya anak-anak normal pada umumnya. Dalam hal ini, peran keluarga sebagai stimulus dan dukungan orang-orang terdekat terutama orang tua sangat penting untuk mengoptimalkan kemampuan anak tunagrahita dalam hal mengembangkan personal hygiene (Nurmaini, 2014).

Personal hygiene merupakan salah satu kebutuhan dasar� manusia yang dilakukan setiap hari. Kebersihan diri mencakup kebersihan rambut, gigi dan mulut, kulit, tangan dan kaki, genitalia dan pakaian. Kebersihan diri yang terpenuhi dapat meningkatkan rasa percaya diri, mencegah timbulnya penyakit, tersebut dapat dilakukan secara optimal jika individu berada dalam kondisi sehat dan praktik sosial. Praktik sosial dapat berupa perilaku orang tua atau orang di lingkungan sekitar dalam kebiasaan menjaga kebersihan, adanya fasilitas kebersihan di rumah. keluarga mempunyai praktik sosial dalam bentuk hubungan sosial dengan anggota keluarga, lingkungan dan masyarakat sekitar (Potter & Perry, 2010).

Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2016-2030 telah menetapkan target yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujudnya derajat kesehatan yang optimal, meliputi segala aspek usia mulai dari bayi sampai pada lansia. (Kemenkes, 2015). Fokus utama pelayanan kesehatan bagi anak saat ini di dunia yaitu kelompok anak risiko tinggi mencakup bayi dengan berat badan lahir rendah, anak dalam keluarga miskin, anak yang tinggal di panti, anak pada keluarga imigran, anak yang memiliki penyakit kronis, anak yang memiliki penyakit jiwa dan disabilitas (Hockenberry, 2017).

Direktorat Bina Kesehatan Anak Republik Indonesia (2010) menyebutkan bahwa prevalensi tunagrahita diperkirakan sekitar 6,6 juta jiwa di Indonesia. Berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011, terdapat 130.572 anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin, yang terdiri dari: cacat fisik dan mental (19.438 anak); tunadaksa (32.990 anak); tunanetra (5.921 anak); tunarungu (3.861 anak); tunawicara (16.335 anak); tunarungu dan tunawicara (7.632 anak); tunanetra, tunarungu, dan tunawicara (1.207 anak); tunarungu, tunawicara, dan tunadaksa (4.242 anak); tunarungu, tunawicara, tunanetra, dan tunadaksa (2.991 anak); retardasi mental (30.460 anak); dan mantan penderita gangguan jiwa (2.257 anak). Data ini tersebar di seluruh Indonesia dengan proporsi terbanyak di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 bahwa populasi penyandang disabilitas adalah sebesar 2,45% (6.515.500 jiwa) dari 244.919.000 estimasi jumlah penduduk Indonesia tahun 2012. Data Susenas (2012) juga menerangkan bahwa prosentase penyandang disabilitas yang diantaranya adalah disabilitas mental yaitu tunagrahita secara keseluruhan adalah 2,22 % di Jawa Barat. Hasil (Kemenkes, 2013) menyebutkan penyandang disabilitas mental yaitu tunagrahita usia > 15 tahun adalah 12,7% di Jawa Barat (Kemenkes, 2013). Berdasarkan data tersebut terdapat peningkatan jumlah penyandang disabilitas mental di Jawa Barat.

The American Psychiatric Association�s Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder dalam (Ramawati, Allenidekania, & Besral, 2012) menyatakan bahwa tunagrahita merupakan disfungsi atau gangguan susunan saraf pusat yang mengakibatkan kecerdasan intelektual (Intellectual Quetion) seseorang terukur < 70. Hal ini berdampak pada kemampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti keterampilan berkomunikasi, sosialisasi, pendidikan atau belajar, kesehatan dan pekerjaan. Selain itu, penderita akan mengalami gangguan psikis dan fisik yang berdampak pada pemenuhan kebutuhan dasar secara mandiri sehingga memerlukan bantuan keluarga atau orang lain. Keterbatasan tersebut dapat menghambat perkembangan anak untuk menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan serta kemandirian.

Dukungan pola asuh memegang peranan penting bagi anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Pola asuh orang tua meliputi perlakuan mendidik, membimbing, serta mengajarkan tingkah laku yang umum dilakukan di masyarakat pada anak. .Penelitian (Ramawati, 2011) didapatkan bahwa anak dengan tunagrahita tanpa bantuan orang lain hanya 38,4 % yang memilki tingkat kemampuan personal hygiene tinggi. Sedangkan sisanya 16,6 % tingkat kemampuan personal hygiene-nya rendah.

Data yang diperoleh peneliti dari salah satu sekolah luar biasa di Kota Cirebon bahwa peserta didik tunagrahita terdiri dari tingkat Ringan/C sebanyak 77.8% , tingkat Sedang/C1 sebanyak 9,5%,� dan tingkat Berat/B sebanyak 12,7%. Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) telah dilakukan sesuai jadwal oleh petugas kesehatan puskesmas setempat. Kegiatannya yaitu pemeriksaan kesehatan anak dan penyuluhan kesehatan bagi anak sekolah dan orang tua. Kegiatan life skill seperti toilet training, hand hygiene, gosok gigi juga dilatih pada semua peserta didik. Sejumlah 22% peserta didik tunagrahita tingkat ringan masih didampingi oleh guru atau orang tuanya dalam membersihkan alat kelamin setelah BAB dan BAK, terdapat 7%� peserta didik tunagrahita tingkat ringan masih harus dibantu orang tua saat mandi, Hasil wawancara orang tua diketahui bahwa 17% orangtua selalu membantu membersihkan tubuh anaknya setiap saat. Hasil observasi pada peserta didik didapatkan 13% pakaian kotor, 22% kuku tangan kotor dan panjang, 30% peserta didik perempuan memiliki rambut yang berkutu.

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan dukungan pola asuh keluarga dan kemampuan pemenuhan personal hygiene anak tunagrahita berdasarkan karakteristiknya di Kota Cirebon.

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan arah rencana kegiatan pengembangan trias UKS dan edukasi bagi orang tua dalam meningkatkan kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar bagi anak tunagrahita.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah orangtua dan anak tunagrahita di salah satu sekolah luar biasa (SLB) Kota Cirebon sebanyak 70 orang. Sampel penelitian yaitu orangtua dan anak tunagrahita� sebanyak 63 orang. Sampel diambil dengan teknik proportionate stratified random sampling.

Data-data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan lembar kuesioner. Hasil ukur yang ditetapkan dalam penelitian ini yaitu 1). Karakteristik jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Sedangkan karakteristik tingkat tunagrahita yaitu ringan, sedang dan berat; 2). Dukungan pola asuh menyeluruh jika > mean score 47.1 dan dukungan pola asuh sebagian jika < mean score 47.1; 3). Kemampuan mandiri dalam pemenuhan personal hygiene jika > mean score 23.1 dan kemampuan dibantu dalam pemenuhan personal hygiene jika < mean score 23,1. Lembar kuesioner berisi data primer dan sekunder. Data primer dalam lembar kuesioner ini diisi oleh orang tua anak tunagrahita sedangkan data sekunder didapatkan dari dokumen identitas siswa yang ada di SLB. Lembar kuesioner diberikan kepada orang tua saat mengantar atau menunggu anak-anaknya di sekolah. Tetapi bagi orang tua yang tidak ada di sekolah, maka peneliti mendatangi rumah sampel. Sebelum pengumpulan data, peneliti memberi informed consent untuk meminta persetujuan dijadikan responden penelitian. Selama orang tua mengisi lembar kuesioner, peneliti memberikan penjelasan dan mendampinginya.

Hasil penelitian dianalisis menggunakan univariat dan bivariat. Analisa univariat menggunakan distribusi frekuensi dan analisis bivariat menggunakan uji pearson correlation dengan nilai α = 0,05. Penelitian dilakukan pada tanggal selama bulan Juli 2017.

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian dan pembahasan dijabarkan dalam analisa univariat dan bivariat dengan menggunakan uji pearson correlation.

1.      Karakteristik Anak Tunagrahita

Karakteristik anak tunagrahita yang diidentifikasi dalam penelitian ini meliputi 1). Jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan; 2). Tingkat tunagrahita yaitu ringan, sedang dan berat.

Tabel 1

Distribusi Frekuensi Karakteristik Anak Tunagrahita

Karakteristik

Frekuensi

Persentase (%)

A.    Jenis Kelamin

 

 

a.       Laki-laki

17

27

b.      Perempuan

46

73

Jumlah

63

100

B.     Tingkat Tunagrahita

 

 

a.       Ringan

49

77.8

b.      Sedang

6

9.5

c.       Berat

8

12.7

Jumlah

63

100

Sumber : Data primer (2017)

Berdasarkan tabel 1 jika dilihat dari karakteristik jenis kelamin maka diperoleh sebagian� besar (73%) anak tunagrahita berjenis kelamin� perempuan dan sebagian kecil (27%) adalah laki-laki. Sedangkan pada karakteristik tingkat tunagrahita diperoleh sebagian besar (77,8%) anak tunagrahita berada pada tingkat ringan/rendah.�

Hasil penelitian yang diperoleh selaras dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Republik Indonesia tahun 2007 maupun 2012. Hasil Riskesdas tersebut menjelaskan bahwa prevalensi penyandang disabilitas pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Disabilitas perempuan sebesar 21,5%� dan laki-laki� sebesar 17,4% pada tahun 2007, disabilitas perempuan� sebesar �12,8% dan laki-laki sebesar 9,2% pada tahun 2012. Sedangkan hasil Riskesdas (2013) didapatkan bahwa Prevalensi Disabilitas Penduduk Indonesia Usia >15 Tahun pada perempuan yaitu 12,8% dan laki-laki 9,2%. Pada prevalensi Kecacatan pada Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Data Riskesdas Tahun 2010 yaitu 0,14% (RI, 2014).

Anak yang mengalami RM dapat diberi pendidikan (educable) dan latihan. Pada retardasi mental ringan, anak memiliki pemahaman dan penggunaan bahasa yang terlambat tetapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan berbicara untuk keperluan sehari-hari. Anak yang mengalami RM ringan mampu dalam hal mengurus diri sendiri secara mandiri (makan, memakai baju, mencuci, mengontrol buang air besar dan buang air kecil), walaupun perkembangannya lebih lambat daripada anak normal dalam usia yang sama. Namun, mengalami kesulitan dalam bidang akademik di sekolahnya, terutama dalam hal membaca dan menulis� (Maslim, 2002).

2.      Dukungan Pola Asuh Orangtua Pada Anak Tunagrahita

Tabel 2

Distribusi Frekuensi Dukungan Pola Asuh Keluarga Pada Anak Tunagrahita

Dukungan Pola Asuh Keluarga

Frekuensi

Persentase (%)

a.                      Mendukung sebagian

29

46

b.                      Mendukung seluruhnya

34

54

Jumlah

63

100

����� �� Sumber : data primer (2017)

Berdasarkan tabel 2 diperoleh sebagian (54%) anak tunagrahita mendapatkan dukungan pola asuh keluarga secara menyeluruh dalam aktifitas pemenuhan personal hygiene dan sebagiannya (46%) anak tunagrahita lainnya mendapatkan dukungan pola asuh keluarga sebagian dalam aktifitas pemenuhan personal hygiene. Responden menjelaskan bahwa anaknya yang mengalami tunagrahita cenderung selalu minta bantuan keluarga terutama pada ibunya dalam memenuhi personal hygiene saat di rumah. Dukungan tersebut diberikan terutama dalam membantu mencuci rambut, menyikat gigi, memotong kuku, membersihkan perianal setelah BAB. Hal tersebut dilakukan keluarga karena kondisi badan, mulut dan gigi atau perianal cenderung masih kotor setelah anaknya melakukan sendiri personal hygine-nya. Responden juga menjelaskan bahwa tidak semua kebutuhan personal hygiene dilakukan oleh orang tua disesuaikan dengan kondisi anak maupun orangtua.

3.      Kemampuan Pemenuhan Personal Hygiene Anak Tunagrahita

Tabel 3

Distribusi Frekuensi Kemampuan Pemenuhan Personal Hygiene Pada Anak Tunagrahita

Kemampuan Pemenuhan������ Personal Hygiene

Frekuensi

Persentase (%)

a.                      Mandiri

42

66,8

b.                     Dibantu

21

33.2

Jumlah

63

100

Sumber : Data primer (2017)

Berdasarkan tabel 3 diperoleh lebih dari sebagian (66.8 %) anak tunagrahita telah mandiri dalam memenuhi personal hygiene dan sebagian kecilnya (33,2%) dibantu dalam memenuhi personal hygiene. Berdasarkan wawancara responden bahwa anak-anaknya dapat melakukan mandi, mencuci rambut, membersihkan genitalia, membersihkan kuku namun seringkali badannya masih lengket atau kurang bersih.

Personal hygiene termasuk ke dalam tindakan pencegahan primer yang spesifik. Personal hygiene menjadi penting karena personal hygiene yang baik akan meminimalkan pintu masuk (portal of entry) mikroorganisme yang ada dimana-mana dan pada akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit. Personal hygiene yang tidak baik akan mempermudah tubuh terserang berbagai penyakit, seperti penyakit kulit, penyakit infeksi, penyakit mulut dan penyakit saluran cerna atau bahkan dapat menghilangkan fungsi bagian tubuh tertentu, seperti halnya kulit� (Potter & Perry, 2010).

Menurut (Potter & Perry, 2010) personal hygiene dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal. Faktor internal individu adalah citra tubuh, pengetahuan, dan kondisi fisik. Sedangkan factor eksternal yaitu kondisi status ekonomi individu maupun keluarga serta praktik sosial dan budaya yang dianut oleh individu maupun yang berlaku dalam masyarakat sekitarnya.

4.      Hubungan karakteristik Anak dan Dukungan Pola Asuh Orang Tua

Tabel 4

Tabulasi Silang Karakteristik Anak dan Dukungan Pola Asuh Orangtua Pada Anak Tunagrahita

Karakteristik Anak

Dukungan Pola Asuh

 

 

P value

R

A.    Jenis Kelamin

Mendukung Sebagian

Mendukung Seluruhnya

Total

F

P (%)

F

P (%)

F

P (%)

Laki-laki

7

41.2

10

58.8

17

100

0.645

0.059

Perempuan

22

47.8

24

52.2

46

100

B.     Tingkat Tunagrahita

 

 

 

 

 

 

 

 

Ringan

26

53.1

23

46.9

49

100

0.63

- 0.235

Sedang

1

16.7

5

83.3

6

100

Berat

2

25.0

6

75.0

8

100

 

 

����� �Sumber : Data primer (2017)

Berdasarkan tabel 4 diperoleh sebagian (58,8%)� anak laki-laki penderita tunagrahita telah mendapatkan dukungan pola asuh orang tua seluruhnya. Hasil uji pearson correlation diperoleh nilai p value > α, �< 1 dan r bernilai positif artinya H0 diterima maka tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik jenis kelamin anak tunagrahita dengan dukungan pola asuh keluarga. Tingkat keeratan hubungan kedua variabel rendah dan bersifat positif yang berarti jenis kelamin anak tidak membedakan pemberian dukungan pola asuh orang tua pada anak. {p value = 0.645; α = 0.05;� �= 0.059}.

Pada karakteristik tingkat tunagrahita didapatkan sebagian (53.1%) anak tunagrahita tingkat ringan mendapatkan dukungan pola asuh orangtua yang sebagian. Berdasarkan tabel 4 hasil uji pearson correlation diperoleh nilai p value > α, �< 1 dan r bernilai negatif artinya H0 diterima maka tidak ada hubungan antara tingkat tunagrahita dengann dukungan pola asuh keluarga. Tingkat keeratan hubungan kedua variabel rendah dan bersifat negatif yang berarti tingkat tunagrahita yang semakin berat tidak membedakan pemberian dukungan pola asuh orang tua pada anak {pvalue = 0.63; α = 0.05;� �= - 0.235}.

Responden mengatakan bahwa mereka telah merawat anaknya yang mengalami tunagrahita sejak lahir. Responden telah mengenal berbagai macam perilaku, emosi dan kemampuan anaknya yang mengalami retardasi mental. Hal ini menimbulkan responden tidak terlalu sulit lagi mengasuh, membantu berbagai aktifitas anaknya maupun menasehati anaknya. Terkadang keluarga lain atau tetangga dapat diminta tolong saat mereka membutuhkan bantuan.

Anak tunagrahita tingkat ringan sebagian besar dapat mandiri penuh dalam merawat diri sendiri dan mencapai keterampilan praktis walaupun tingkat perkembangannya agak lambat. Sedangkan anak tunagrahita tingkat berat mengalami gangguan motorik yang berat (Maslim, 2002).

5.      Hubungan Karakteristik Anak dan kemampuan Pemenuhan Personal Hygiene

Tabel 5

Tabulasi Silang Hubungan Karakteristik Dengan kemampuan Pemenuhan Personal Hygiene Pada Anak Tunagrahita

Karakteristik Anak

Kemampuan Pemenuhan PH

 

 

P value

R

C.    Jenis Kelamin

Mandiri

Dibantu

Total

F

P (%)

F

P (%)

F

P

Laki-laki

11

64.7

6

35.3

17

100

0,844

-.025

Perempuan

31

67.4

15

32.6

46

100

 

 

D.    Tingkat Tunagrahita

 

 

 

 

 

 

 

 

Ringan

34

69.4

15

30.6

49

100

0.529

0.081

Sedang

3

50.0

3

50.0

6

100

 

 

Berat

5

62.5

3

37.5

8

100

 

 

Sumber : Data primer (2017)

Berdasarkan tabel 5 didapatkan lebih dari setengah responden (67,4%) perempuan telah mandiri dalam melakukan pemenuhan personal hygiene. Hasil uji pearson correlation didapatkan p value > α, �< 1 dan r bernilai negatif artinya H0 diterima maka tidak ada hubungan jenis kelamin dengan kemandirian pemenuhan personal hygiene pada anak tunagrahita. Tingkat keeratan hubungan hubungan kedua variabel rendah dan bersifat negatif yang berarti jenis kelamin yang berbeda tidak menentukan kemandirian pemenuhan personal hygiene pada anak tunagrahita.

Selain itu didapatkan juga lebih dari setengah responden (69,7%) tunagrahita tingkat ringan telah mandiri melakukan pemenuhan personal hygiene dan juga 62,5% responden tunagrahita tingkat berat telah mandiri melakukan pemenuhan personal hygiene. hasil analisa menggunakan uji pearson correlation diperoleh nilai p value > α, �< 1 dan r bernilai positif artinya H0 diterima maka tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat tunagrahita dengan kemampuan pemenuhan personal hygiene pada anak tunagrahita. Tingkat keeratan hubungan kedua variable sangat rendah dan bersifat positif maka dimungkinkan semakin berat tingkat tunagrahita dapat menambah penurunan kemandirian anak dalam pemenuhan personal hygiene� {p value = �0.529; α = 0.05;� �= 0.081}.

Tunagrahita ringan merupakan anak yang educable, sedangkan tunagrahita berat meruopakan anak yang custodial. Menurut Befring (2008) bahwa anak tunagrahita diklasifikasikan berdasarkan kemampuan yang dipunyai atau dimiliki menurut Association on Mental Retardation dalam Special Education in Ontario Schools yaitu 1). Educable. Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 sekolah dasar. 2). Trainble. Anak mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan diri, dan penyesuaian sosial. Anak sangat terbatas kemampuannya untuk mendapat pendidikan secara akademik. 3). Custodial. Anak harus diberikan latihan yang terus menerus dan khusus, dapat melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif. Hal ini biasanya memerlukan pengawasan dan dukungan yang terus-menerus.

Menurut (Potter & Perry, 2010) bahwa orang yang menderita penyakit tertentu seringkali kekurangan energi fisik atau ketangkasan untuk melakukan kebersihan diri. Kondisi fisik akan menjamin seseorang dalam melakukan tindakan. Anak retardasi ringan maupun berat mengalami gangguan intelektual dan perkembangannya. Selama tidak mengalami penyakit fisik secara akut, anak retardasi mental memiliki energi untuk melakukan berbagai aktifitas personal hygiene. Semakin bertambahnya usia, anak tunagrahita memiliki pengalaman yang bertambah juga sehingga ia mampu mengulang-ulang aktifitas personal hygiene setiap hari.

Anak-anak tunagrahita mengalami gangguan perilaku adaptif, tetapi dalam lingkungan sosial yang terlindungi dimana sarana pendukung cukup tersedia dapat memungkinkan mengubah gangguan tersebut (Maslim, 2002). Tidak adanya hubungan antara tingkat tunagrahita dengan kemampuan pemenuhan personal hygiene pada anak tunagrahita pada hasil penelitian ini dapat terrjadi karena adanya faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti.

 

6.      Hubungan Dukungan Pola Asuh Orang Tua dan Kemampuan Pemenuhan Personal Hygiene Pada Anak Tunagrahita

Tabel 6

Tabulasi Silang Hubungan Dukungan Pola Asuh Orang Tua dan Kemampuan Pemenuhan Personal Hygiene Pada Anak Tunagrahita

Dukungan Pola Asuh orang tua

Kemampuan Pemenuhan PH

 

 

P value

r

Mandiri

Dibantu

Total

F

P (%)

F

P (%)

F

P (%)

Mendukung Sebagian

15

51.7

14

48.3

29

100

0.02

0.293

Mendukung Seluruhnya

27

79.4

7

20.6

34

100

 

 

��� Sumber : Data primer ( 2017)

Berdasarkan tabel 6 diperoleh sebagian besar responden (79,4%) yang mendapat dukungan pola asuh keluarga seluruhnya memiliki kemampuan mandiri dalam memenuhi personal hygiene. Hasil analisa menggunakan uji pearson correlation diperoleh nilai p value < α, �< 1 dan r bernilai positif artinya H0 ditolak maka ada hubungan yang signifikan antara dukungan pola asuh keluarga dengan kemampuan pemenuhan personal hygiene pada anak tunagrahita. Tingkat keeratan hubungan kedua variable� rendah dan bersifat positif yang berarti semakin menyeluruh dukungan pola asuh keluarga diberikan maka kemampuan pemenuhan personal hygine pada anak tunagrahita akan semakin mandiri� {pvalue = 0.02; α = 0.05;� �= 0.293}.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian �Septianti, Rokayah, Mustofa (2016) yang menyatakan bahwa hasil uji chi square hitung 0,764 < Chi square tabel 3,841 maka H0 diterima yang artinya tidak terdapat hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan perawatan diri pada anak tunagrahita. Namun, penelitian ini sejalan dengan penelitian (Arfandi, Susilo, & Widodo, 2014) dalam yang menyatakan ada hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan perawatan diri anak tunagrahita. (Arfandi et al., 2014)mengatakan bahwa semakin banyak dukungan keluarga maka semakin baik pula kemampuan perawatan diri anak tunagrahita. Hasil penelitian ini memperkuat teori yang dikemukakan oleh Baumrind dalam (Judy, 2012) yang mengatakan bahwa pola asuh yang baik akan terbukti optimal karena hal ini menyebabkan perilaku mandiri pada anak tunagrahita dan meningkatkan kemampuan mandiri anak tunagrahita khususnya personal hygiene.

Keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi anak. Keluarga menjadi sebuah sistem yang dinamis dan terbuka yang dapat mempengaruhi setiap anggota keluarga untuk tumbuh dan berkembang. Dukungan keluarga mempunyai ciri-ciri yaitu 1). Informasional. Dukungan ini berupa pemberian nasehat, pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan disampaikan kepada orang lain dalam menghadapi persoalan yang sama atau hampir sama; 2). Emosional. Bantuan emosional atau afeksi berupa dukungan simpatik dan empati, cinta dan kepercayaan dan penghargaan yang diberikan pada terus menerus setiap saat sebagai bentuk kasih sayang; 3). Instrumental. Dukungan dapat dilakukan dengan menyediakan sarana-prasarana, obat-obatan atau benda lainnya yang dibutuhkan; 4). Penghargaan. Bentuk penghargaan yang diberikan kepada anggota keluarga lain diberikan berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita (Setiadi, 2007).

�Keterbatasan kemampuan fungsional menyebabkan anak tunagrahita dapat mengalami ketergantungan memenuhi kebutuhan fungsionalnya pada orang di sekitarnya. Tetapi bukan berarti bahwa anak-anak tersebut akan mengalami selamanya. Jika orang-orang di sekitarnya memberikan dukungan, bimbingan dan latihan yang terus menerus, maka anak tunagrahita akan memiliki kebiasaan mandiri dalam memenuhi kebutuhan fungsionalnya. Pelatihan dan bimbingan tersebut tidak hanya berasal dari pendidikan informal saja, namun juga pendidikan formal. Hal ini sesuai dengan pendapat (Delphie, 2012) yang mengatakan bahwa pendidikan sebagai suatu proses perkembangan seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku, proses dimana seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sekolah sehingga dapat mengembangkan kepribadiannya.

Anak tunagrahita sama seperti halnya dengan anak yang normal akan bersenang-senang dalam kualitas hubungan kasih sayang, penerimaan, dan penegasan yang optimal. Struktur yang cukup, bimbingan yang bijaksana, aturan-aturan yang dibuat secara jelas, batas-batas yang tegas, konsekuensi-konsekuensi yang logis, dan arahan akan memberdayakan anak tunagrahita untuk mampu, percaya diri, dan bertanggung jawab seperti anak normal pada umumya sehingga akan memunculkan adaptasi lingkungan dan pola piker yang baik. Semuanya akan berdampak pada kemampuan mandiri anak tunagrahita khususnya personal hygiene-nya (Judy, 2012)

 

Kesimpulan

Peneliti menyimpulkan terdapat hubungan yang keeratannya rendah dan positif antara dukungan pola asuh keluarga dengan kemampuan pemenuhan personal hygiene pada anak tunagrahita di salah satu SLB Kota Cirebon. Semakin menyeluruh pemberian dukungan pola asuh keluarga maka kemampuan pemenuhan personal hygine pada anak tunagrahita akan semakin mandiri {pvalue = 0.02; α = 0.05; r = 0.293}.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Arfandi, Zemmy, Susilo, Eko, & Widodo, Gipta Galih. (2014). Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Kemampuan Perawatan Diri pada Anak Retardasi Mental di SLB Negeri Ungaran. Jurnal Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes Ngudi, 26, 1�6.

 

Delphie, B. (2012). Pembelajaran Anak Tuna Grahita. Bandung: Refika Aditama.

 

Hockenberry, et al. (2017). Wong�s essential of Pediatric Nursing Elsivier (Tenth edit). Retrievedfromhttps://books.google.co.id/books?id=PHf2DAAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false

 

Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik. (2010). Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan. Retrieved from http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//123456789/1438/1/BK2011-1211-A

 

Judy. (2012). Sukses Membesarkan Anak Dengan Pemberdayaan Hubungan. Tanggerang: Kharisma Publishing Group.

 

Kemenkes, R. I. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 25 Juli 2015.

 

Kemenkes, R. I. (2015). kesehatan dalam kerangka sustainable development goals (SDGs). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

 

Maslim, R. (2002). Buku Saku: Diagnosis gangguan jiwa. Rujukan PPDGJ-III. Jakarta: FK Atmajaya.

 

Mohsin, Mujammad Naeem, Khan, Tariq Mahmood, Doger, Ashiq Hussain, & Awan, Ahmed Sher. (2011). Role of parents in training of children with intellectual disability. International Journal of Humanities and Social Science, 1(9), 78�84.

 

Nurmaini, Risa Dwi. (2014). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kemampuan Personal hygiene pada anak retardasi mental di SDLB Kabupaten Jember. Universitas Muhammadiyah Jember.

 

Permanik, Intan. (2017). Peningkatan Kemampuan Menyimak Dan Berbicara Anak Usia Dini Melalui Model Dialogic Reading. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(5), 75�84.

 

Potter, Perry, & Perry, A. G. (2010). Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and Practice. Edisi I, 3.

 

Ramawati, Dian. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan perawatan diri anak tuna grahita di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Fakultas Ilmu Keperawatan: Universitas Indonesia.

 

Ramawati, Dian, Allenidekania, Allenidekania, & Besral, Besral. (2012). Kemampuan Perawatan Diri Anak Tuna Grahita Berdasarkan Faktor Eksternal dan Internal Anak. Jurnal Keperawatan Indonesia, 15(2), 89�96.

 

Ranuh, Soetjiningsih &. (2013). Tumbuh Kembang (2, Ed.). Jakarta: EGC.

 

RI, Kementerian Kesehatan. (2014). Situasi Penyandang Disabilitas. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan.

 

Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

 

Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.