Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853� e-ISSN : 2684-883X
Vol. 2, No. 2 Februari 2020
DUKUNGAN POLA ASUH KELUARGA DAN KEMAMPUAN PEMENUHAN PERSONAL HYGIENE
ANAK RETARDASI MENTAL BERDASARKAN KARAKTERISTIK DI CIREBON
Dwiyanti Purbasari
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
(STIKes) Mahardika Cirebon
Email: [email protected]
Abstrak
Anak tunagrahita membutuhkan orang terdekat untuk membantu anak dalam hal-hal yang tidak mampu dilakukannya
sendiri. Data Susenas
(2012) juga menerangkan bahwa
prosentase penyandang disabilitas yang diantaranya adalah disabilitas mental yaitu tunagrahita secara keseluruhan adalah 2,22 % di Jawa Barat.
Hasil Riskesdas (2013) menyebutkan
penyandang disabilitas
mental yaitu tunagrahita usia > 15 tahun adalah 12,7% di Jawa Barat (Riskesdas, 2013). Berdasarkan
data tersebut terdapat peningkatan jumlah penyandang disabilitas mental di Jawa Barat. Peserta didik tunagrahita pada tingkat sekolah dasar di salah satu SLB wilayah
Kota Cirebon terdiri dari tingkat Ringan/C sebanyak 77.8% , tingkat Sedang/C1
sebanyak 9,5%,�
dan tingkat Berat/B sebanyak 12,7%. �Sejumlah 22% peserta didik tunagrahita tingkat Ringan masih didampingi membersihkan alat kelamin setelah BAB dan BAK oleh
guru atau orang tuanya, terdapat 7%� peserta didik tunagrahita tingkat Ringan masih harus dibantu
orang tua saat mandi. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi
hubungan dukungan pola asuh keluarga
dan kemampuan pemenuhan
personal hygiene anak tunagrahita di Kota Cirebon. Metode penelitian yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi
penelitian ini adalah orangtua dan anak tunagrahita di salah satu SLB
wilayah Kota Cirebon sebanyak 70 orang. Sampel penelitian yaitu orangtua dan anak tunagrahita� sebanyak 63
orang dengan teknik
proportionate stratified random sampling. Analisis
data univariat menggunakan distribusi frekuensi dan analisis bivariat menggunakan uji pearson
correlation dengan nilai
α = 0,05. Penelitian dilakukan
selama bulan �Juli
2017. Hasil penelitian didapatkan
terdapat hubungan yang keeratannya rendah dan positif antara dukungan pola asuh
keluarga dengan kemampuan pemenuhan personal
hygiene pada anak tunagrahita di Kota Cirebon. Semakin menyeluruh pemberian dukungan pola asuh keluarga
maka kemampuan pemenuhan personal hygine pada
anak tunagrahita akan semakin mandiri� {pvalue
= 0.02; α = 0.05;� r = 0.293}.� Perawat anak dan komunitas diharapkan dapat melakukan trias UKS secara komperhensif di sekolah berkebutuhan khusus serta melakukan home visit dan konseling secara teratur. Perawat diupayakan terlibat secara langsung dalam kegiatan-kegiatan sekolah berupa kegiatan stimulasi tumbuh kembang anak tunagrahita.
Kata kunci: Dukungan Pola Asuh, Kemampuan, Personal Hygiene, Anak
Tunagrahita
Pendahuluan
Anak merupakan individu yang berada pada rentang usia bayi
baru lahir sampai dengan remaja. Anak berada pada masa pertumbuhan dan
perkembangan baik secara biologis, psikologis, sosial maupun spiritual yang
berbeda-beda sesuai dengan tahapan usianya. Hal tersebut dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Salah satu faktor tersebut adalah status
kesehatan anak. Kondisi gangguan kesehatan yang terjadi pada anak adalah
kelainan mental intelektual (mental
retardation)� atau tunagrahita. Upaya
pemeliharaan kesehatan pada anak tunagrahita harus ditujukan untuk menjaga agar
tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis dan bermartabat.
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
memfasilitasi anak tunagrahita untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
secara sosial dan ekonomis (Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009).
Anak tunagrahita membutuhkan orang terdekat untuk membantu
anak dalam hal-hal yang tidak mampu dilakukannya sendiri. Keluarga menjadi
lingkungan sosial pertama untuk anak sehingga memberi pengaruh besar bagi
perkembangannya. Orang tua juga dianggap sebagai mentor terkemuka bagi
anak-anak untuk kehidupan nantinya, dimana orang tua sangat terlibat atau
berpartisipasi dalam setiap bagian dari pendidikan, pelatihan bagi anak-anak
mereka yang kini tidak ada batasnya (Mohsin, Khan, Doger, & Awan, 2011).
Anak tunagrahita memiliki kemampuan yang dapat dioptimalkan
dan dikembangkan selayaknya anak-anak normal pada umumnya. Dalam hal ini, peran
keluarga sebagai stimulus dan dukungan orang-orang terdekat terutama orang tua
sangat penting untuk mengoptimalkan kemampuan anak tunagrahita dalam hal
mengembangkan personal hygiene (Nurmaini, 2014).
Personal hygiene merupakan salah satu kebutuhan dasar� manusia yang dilakukan setiap hari. Kebersihan
diri mencakup kebersihan rambut, gigi dan
mulut, kulit, tangan dan kaki, genitalia dan pakaian. Kebersihan diri yang
terpenuhi dapat meningkatkan rasa percaya diri, mencegah timbulnya penyakit,
tersebut dapat dilakukan secara optimal jika individu berada dalam kondisi sehat
dan praktik sosial. Praktik sosial dapat berupa perilaku orang tua atau orang di
lingkungan sekitar dalam kebiasaan menjaga kebersihan, adanya fasilitas
kebersihan di rumah. keluarga mempunyai praktik sosial dalam bentuk hubungan sosial dengan anggota keluarga,
lingkungan dan masyarakat sekitar (Potter & Perry, 2010).
Sustainable
Development Goals (SDGs) tahun 2016-2030 telah menetapkan target yaitu
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujudnya derajat kesehatan yang optimal, meliputi segala aspek usia
mulai dari bayi sampai pada lansia. (Kemenkes, 2015). Fokus utama pelayanan
kesehatan bagi anak saat ini di dunia yaitu kelompok anak risiko tinggi
mencakup bayi dengan berat badan lahir rendah, anak dalam keluarga miskin, anak
yang tinggal di panti, anak pada keluarga imigran, anak yang memiliki penyakit
kronis, anak yang memiliki penyakit jiwa dan disabilitas (Hockenberry, 2017).
Direktorat Bina Kesehatan Anak Republik Indonesia (2010)
menyebutkan bahwa prevalensi tunagrahita diperkirakan sekitar 6,6 juta jiwa di
Indonesia. Berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011,
terdapat 130.572 anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin, yang terdiri
dari: cacat fisik dan mental (19.438 anak); tunadaksa (32.990 anak); tunanetra
(5.921 anak); tunarungu (3.861 anak); tunawicara (16.335 anak); tunarungu dan
tunawicara (7.632 anak); tunanetra, tunarungu, dan tunawicara (1.207 anak); tunarungu,
tunawicara, dan tunadaksa (4.242 anak); tunarungu, tunawicara, tunanetra, dan
tunadaksa (2.991 anak); retardasi mental (30.460 anak); dan mantan penderita
gangguan jiwa (2.257 anak). Data ini tersebar di seluruh Indonesia dengan
proporsi terbanyak di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012
bahwa populasi penyandang disabilitas adalah sebesar 2,45% (6.515.500 jiwa)
dari 244.919.000 estimasi jumlah penduduk Indonesia tahun 2012. Data
Susenas (2012) juga menerangkan bahwa prosentase penyandang disabilitas yang
diantaranya adalah disabilitas mental yaitu tunagrahita secara keseluruhan
adalah 2,22 % di Jawa Barat. Hasil (Kemenkes, 2013) menyebutkan penyandang
disabilitas mental yaitu tunagrahita usia > 15 tahun adalah 12,7% di Jawa
Barat (Kemenkes, 2013). Berdasarkan data tersebut
terdapat peningkatan jumlah penyandang disabilitas mental di Jawa Barat.
The American
Psychiatric Association�s Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder dalam (Ramawati, Allenidekania, & Besral, 2012) menyatakan bahwa
tunagrahita merupakan disfungsi atau gangguan susunan saraf pusat yang
mengakibatkan kecerdasan intelektual (Intellectual
Quetion) seseorang terukur < 70. Hal ini berdampak pada kemampuan
individu dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti keterampilan berkomunikasi,
sosialisasi, pendidikan atau belajar, kesehatan dan pekerjaan. Selain itu, penderita akan mengalami gangguan psikis dan fisik yang
berdampak pada pemenuhan kebutuhan dasar secara mandiri sehingga memerlukan
bantuan keluarga atau orang lain. Keterbatasan tersebut dapat menghambat
perkembangan anak untuk menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan serta kemandirian.
Dukungan pola asuh memegang peranan penting bagi anak dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Pola asuh orang tua meliputi perlakuan
mendidik, membimbing, serta mengajarkan tingkah laku yang umum dilakukan di
masyarakat pada anak. .Penelitian (Ramawati, 2011) didapatkan bahwa anak dengan
tunagrahita tanpa bantuan orang lain hanya 38,4 % yang memilki tingkat
kemampuan personal hygiene tinggi. Sedangkan sisanya 16,6 % tingkat kemampuan
personal hygiene-nya rendah.
Data yang diperoleh peneliti dari salah
satu sekolah luar biasa di Kota Cirebon bahwa
peserta didik tunagrahita terdiri dari tingkat Ringan/C sebanyak 77.8% , tingkat Sedang/C1 sebanyak 9,5%,� dan tingkat Berat/B sebanyak 12,7%. Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) telah dilakukan
sesuai jadwal oleh petugas
kesehatan puskesmas setempat. Kegiatannya yaitu pemeriksaan kesehatan anak dan
penyuluhan kesehatan bagi anak sekolah dan orang tua. Kegiatan life skill seperti toilet training, hand hygiene,
gosok gigi juga dilatih pada semua peserta didik. Sejumlah 22% peserta didik
tunagrahita tingkat ringan masih didampingi oleh guru atau orang tuanya dalam
membersihkan alat kelamin setelah BAB dan BAK, terdapat 7%� peserta didik tunagrahita tingkat ringan
masih harus dibantu orang tua saat mandi, Hasil wawancara orang tua diketahui
bahwa 17% orangtua selalu membantu membersihkan tubuh anaknya setiap saat.
Hasil observasi pada peserta didik didapatkan 13% pakaian kotor, 22% kuku tangan
kotor dan panjang, 30% peserta didik perempuan memiliki rambut yang berkutu.
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan
dukungan pola asuh keluarga dan kemampuan pemenuhan personal hygiene anak
tunagrahita berdasarkan karakteristiknya di Kota Cirebon.
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah
memberikan arah rencana kegiatan pengembangan trias UKS dan edukasi bagi orang
tua dalam meningkatkan kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar bagi anak
tunagrahita.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah analitik dengan
pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah orangtua dan anak
tunagrahita di salah satu sekolah luar biasa
(SLB) Kota
Cirebon sebanyak 70 orang. Sampel penelitian yaitu orangtua dan anak tunagrahita� sebanyak 63 orang. Sampel diambil dengan teknik proportionate stratified random sampling.
Data-data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan lembar
kuesioner. Hasil ukur yang ditetapkan dalam penelitian ini yaitu 1).
Karakteristik jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Sedangkan
karakteristik tingkat tunagrahita yaitu ringan, sedang dan berat; 2). Dukungan
pola asuh menyeluruh jika > mean score
47.1 dan dukungan pola asuh sebagian jika < mean score 47.1; 3). Kemampuan mandiri dalam pemenuhan personal
hygiene jika > mean score 23.1 dan
kemampuan dibantu dalam pemenuhan personal hygiene jika < mean score 23,1. Lembar kuesioner berisi
data primer dan sekunder. Data primer dalam lembar kuesioner ini diisi oleh
orang tua anak tunagrahita sedangkan data sekunder didapatkan dari dokumen
identitas siswa yang ada di
SLB.
Lembar kuesioner diberikan kepada orang tua saat mengantar atau menunggu
anak-anaknya di sekolah. Tetapi bagi orang tua yang tidak ada di sekolah, maka
peneliti mendatangi rumah sampel. Sebelum pengumpulan data, peneliti memberi informed consent untuk meminta
persetujuan dijadikan responden penelitian. Selama orang tua mengisi lembar
kuesioner, peneliti memberikan penjelasan dan mendampinginya.
Hasil penelitian dianalisis menggunakan univariat dan
bivariat. Analisa univariat menggunakan distribusi frekuensi dan analisis
bivariat menggunakan uji pearson
correlation dengan nilai α = 0,05. Penelitian dilakukan pada tanggal selama bulan Juli 2017.
Hasil
dan Pembahasan
Hasil
penelitian dan pembahasan dijabarkan dalam analisa univariat dan bivariat dengan menggunakan uji pearson correlation.
1. Karakteristik Anak Tunagrahita
Karakteristik anak tunagrahita yang diidentifikasi dalam penelitian ini meliputi 1). Jenis kelamin yaitu laki-laki
dan perempuan; 2). Tingkat tunagrahita
yaitu ringan, sedang dan berat.
Tabel
1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Anak Tunagrahita
Karakteristik |
Frekuensi |
Persentase (%) |
A.
Jenis Kelamin |
|
|
a.
Laki-laki |
17 |
27 |
b.
Perempuan |
46 |
73 |
Jumlah |
63 |
100 |
B.
Tingkat Tunagrahita |
|
|
a.
Ringan |
49 |
77.8 |
b.
Sedang |
6 |
9.5 |
c.
Berat |
8 |
12.7 |
Jumlah |
63 |
100 |
Sumber : Data primer (2017)
Berdasarkan tabel 1 jika
dilihat dari karakteristik jenis kelamin maka diperoleh
sebagian� besar (73%)
anak tunagrahita berjenis kelamin� perempuan dan sebagian kecil (27%) adalah laki-laki. Sedangkan pada karakteristik tingkat tunagrahita diperoleh sebagian besar (77,8%) anak tunagrahita berada pada tingkat ringan/rendah.�
Hasil penelitian yang diperoleh selaras dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Republik Indonesia tahun 2007 maupun 2012. Hasil Riskesdas tersebut menjelaskan
bahwa prevalensi penyandang disabilitas pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan pada laki-laki.
Disabilitas perempuan sebesar 21,5%� dan laki-laki� sebesar 17,4% pada tahun 2007, disabilitas perempuan� sebesar �12,8% dan laki-laki sebesar
9,2% pada tahun 2012. Sedangkan
hasil Riskesdas (2013) didapatkan bahwa Prevalensi
Disabilitas Penduduk Indonesia Usia >15 Tahun pada perempuan yaitu 12,8% dan laki-laki 9,2%.
Pada prevalensi Kecacatan pada Anak Umur 24-59
Bulan Berdasarkan Data Riskesdas Tahun 2010 yaitu 0,14% (RI, 2014).
Anak yang mengalami RM
dapat
diberi pendidikan (educable) dan latihan.
Pada retardasi mental ringan,
anak memiliki pemahaman dan
penggunaan bahasa yang terlambat tetapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan berbicara untuk keperluan sehari-hari. Anak yang mengalami RM ringan mampu dalam hal mengurus
diri sendiri secara mandiri (makan, memakai baju, mencuci, mengontrol buang air
besar dan buang air kecil), walaupun perkembangannya lebih lambat daripada
anak normal dalam usia yang sama. Namun, mengalami
kesulitan dalam bidang akademik di sekolahnya, terutama dalam hal membaca dan
menulis� (Maslim, 2002).
2. Dukungan Pola Asuh
Orangtua Pada Anak Tunagrahita
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Dukungan Pola Asuh Keluarga Pada Anak Tunagrahita
Dukungan Pola Asuh Keluarga |
Frekuensi |
Persentase (%) |
a.
Mendukung sebagian |
29 |
46 |
b.
Mendukung seluruhnya |
34 |
54 |
Jumlah |
63 |
100 |
����� �� Sumber :
data primer (2017)
Berdasarkan tabel 2 diperoleh
sebagian (54%) anak tunagrahita
mendapatkan dukungan pola asuh keluarga
secara menyeluruh dalam aktifitas pemenuhan personal
hygiene dan sebagiannya (46%) anak tunagrahita lainnya mendapatkan dukungan pola asuh keluarga
sebagian dalam aktifitas pemenuhan personal hygiene. Responden
menjelaskan bahwa anaknya yang mengalami tunagrahita cenderung selalu minta bantuan
keluarga terutama pada ibunya dalam memenuhi
personal hygiene saat
di rumah. Dukungan tersebut diberikan terutama dalam membantu mencuci rambut, menyikat gigi, memotong kuku, membersihkan perianal setelah
BAB. Hal tersebut dilakukan
keluarga karena kondisi badan, mulut dan gigi atau perianal cenderung masih kotor setelah anaknya
melakukan sendiri personal hygine-nya. Responden
juga menjelaskan bahwa tidak semua kebutuhan
personal hygiene dilakukan oleh orang tua disesuaikan dengan kondisi anak maupun orangtua.
3. Kemampuan Pemenuhan
Personal Hygiene Anak Tunagrahita
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Kemampuan Pemenuhan Personal Hygiene Pada Anak Tunagrahita
Kemampuan Pemenuhan������ Personal Hygiene |
Frekuensi |
Persentase (%) |
a.
Mandiri |
42 |
66,8 |
b.
Dibantu |
21 |
33.2 |
Jumlah |
63 |
100 |
Sumber : Data primer (2017)
Berdasarkan tabel 3 diperoleh
lebih dari sebagian (66.8 %) anak tunagrahita
telah mandiri dalam memenuhi personal hygiene dan sebagian
kecilnya (33,2%) dibantu dalam memenuhi personal hygiene. Berdasarkan
wawancara responden bahwa anak-anaknya dapat melakukan mandi, mencuci rambut, membersihkan genitalia, membersihkan
kuku namun seringkali badannya masih lengket atau kurang
bersih.
Personal
hygiene termasuk ke dalam tindakan pencegahan
primer yang spesifik. Personal hygiene
menjadi penting karena personal hygiene
yang baik akan meminimalkan pintu masuk (portal
of entry) mikroorganisme yang ada dimana-mana dan pada akhirnya mencegah
seseorang terkena penyakit. Personal
hygiene yang tidak baik akan mempermudah tubuh terserang berbagai penyakit,
seperti penyakit kulit, penyakit infeksi, penyakit mulut dan penyakit saluran
cerna atau bahkan dapat menghilangkan fungsi bagian tubuh tertentu, seperti
halnya kulit� (Potter & Perry, 2010).
Menurut (Potter & Perry, 2010) personal hygiene dipengaruhi
oleh
factor internal dan eksternal. Faktor
internal individu adalah citra tubuh, pengetahuan,
dan kondisi fisik. Sedangkan factor eksternal yaitu kondisi status ekonomi individu maupun keluarga serta praktik sosial
dan budaya yang dianut oleh
individu maupun yang berlaku dalam masyarakat
sekitarnya.
4.
Hubungan karakteristik Anak dan Dukungan
Pola Asuh Orang Tua
Tabel 4
Tabulasi Silang Karakteristik Anak
dan Dukungan Pola Asuh Orangtua Pada Anak Tunagrahita
Karakteristik Anak |
Dukungan Pola Asuh |
|
|
P value |
R |
|||
A. Jenis Kelamin |
Mendukung Sebagian |
Mendukung Seluruhnya |
Total |
|||||
F |
P (%) |
F |
P (%) |
F |
P (%) |
|||
Laki-laki |
7 |
41.2 |
10 |
58.8 |
17 |
100 |
0.645 |
0.059 |
Perempuan |
22 |
47.8 |
24 |
52.2 |
46 |
100 |
||
B. Tingkat Tunagrahita |
|
|
|
|
|
|
|
|
Ringan |
26 |
53.1 |
23 |
46.9 |
49 |
100 |
0.63 |
- 0.235 |
Sedang |
1 |
16.7 |
5 |
83.3 |
6 |
100 |
||
Berat |
2 |
25.0 |
6 |
75.0 |
8 |
100 |
|
|
����� �Sumber : Data primer (2017)
Berdasarkan tabel 4 diperoleh
sebagian (58,8%)� anak laki-laki
penderita tunagrahita telah mendapatkan dukungan pola asuh
orang tua seluruhnya. Hasil
uji pearson correlation diperoleh
nilai p value
>
α, �< 1 dan r bernilai positif artinya H0 diterima maka tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik jenis
kelamin anak tunagrahita dengan dukungan pola asuh keluarga.
Tingkat keeratan
hubungan kedua variabel rendah dan bersifat positif yang berarti jenis kelamin
anak tidak membedakan pemberian dukungan pola asuh orang tua pada anak. {p
value = 0.645; α = 0.05;� �= 0.059}.
Pada
karakteristik tingkat tunagrahita didapatkan sebagian (53.1%) anak tunagrahita
tingkat ringan mendapatkan dukungan pola asuh orangtua
yang sebagian. Berdasarkan
tabel 4 hasil uji pearson correlation
diperoleh nilai p
value > α, �< 1 dan r bernilai negatif artinya H0 diterima maka tidak ada hubungan antara tingkat tunagrahita dengann dukungan pola asuh keluarga.
Tingkat keeratan
hubungan kedua variabel rendah dan bersifat negatif yang berarti tingkat tunagrahita yang semakin berat tidak membedakan
pemberian dukungan pola asuh orang tua pada anak {pvalue
= 0.63;
α = 0.05;� �= - 0.235}.
Responden mengatakan bahwa mereka telah
merawat anaknya yang mengalami tunagrahita sejak lahir. Responden
telah mengenal berbagai macam perilaku, emosi dan kemampuan anaknya yang mengalami retardasi mental. Hal ini menimbulkan responden tidak terlalu sulit lagi
mengasuh, membantu berbagai aktifitas anaknya maupun menasehati anaknya. Terkadang keluarga lain atau tetangga dapat
diminta tolong saat mereka membutuhkan
bantuan.
Anak
tunagrahita tingkat ringan sebagian besar dapat mandiri
penuh dalam merawat diri sendiri
dan mencapai keterampilan praktis walaupun tingkat perkembangannya agak lambat. Sedangkan
anak tunagrahita tingkat berat mengalami gangguan motorik yang berat (Maslim, 2002).
5.
Hubungan Karakteristik Anak dan kemampuan Pemenuhan Personal
Hygiene
Tabel 5
Tabulasi Silang Hubungan Karakteristik Dengan kemampuan Pemenuhan Personal Hygiene Pada Anak Tunagrahita
Karakteristik Anak |
Kemampuan Pemenuhan PH |
|
|
P value |
R |
|||
C. Jenis Kelamin |
Mandiri |
Dibantu |
Total |
|||||
F |
P (%) |
F |
P (%) |
F |
P |
|||
Laki-laki |
11 |
64.7 |
6 |
35.3 |
17 |
100 |
0,844 |
-.025 |
Perempuan |
31 |
67.4 |
15 |
32.6 |
46 |
100 |
|
|
D. Tingkat Tunagrahita |
|
|
|
|
|
|
|
|
Ringan |
34 |
69.4 |
15 |
30.6 |
49 |
100 |
0.529 |
0.081 |
Sedang |
3 |
50.0 |
3 |
50.0 |
6 |
100 |
|
|
Berat |
5 |
62.5 |
3 |
37.5 |
8 |
100 |
|
|
Sumber : Data primer (2017)
Berdasarkan tabel 5 didapatkan lebih dari
setengah responden (67,4%) perempuan telah mandiri dalam melakukan
pemenuhan personal
hygiene. Hasil uji pearson correlation didapatkan p value
>
α, �< 1 dan r bernilai negatif artinya H0 diterima maka tidak ada hubungan jenis kelamin
dengan kemandirian pemenuhan personal
hygiene pada anak tunagrahita. Tingkat keeratan hubungan hubungan kedua variabel
rendah dan bersifat negatif yang berarti jenis kelamin yang berbeda tidak menentukan
kemandirian pemenuhan
personal hygiene pada anak tunagrahita.
Selain itu didapatkan
juga lebih dari setengah
responden (69,7%) tunagrahita
tingkat ringan telah mandiri melakukan
pemenuhan personal
hygiene dan juga 62,5% responden tunagrahita tingkat berat telah mandiri
melakukan pemenuhan personal hygiene. hasil
analisa menggunakan uji pearson correlation
diperoleh nilai p
value > α, �< 1 dan r bernilai positif artinya H0 diterima maka tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat tunagrahita dengan
kemampuan pemenuhan personal
hygiene pada anak tunagrahita. Tingkat keeratan hubungan kedua variable sangat rendah
dan bersifat positif maka dimungkinkan semakin berat tingkat
tunagrahita dapat menambah penurunan kemandirian anak dalam pemenuhan personal hygiene� {p value
= �0.529;
α = 0.05;� �= 0.081}.
Tunagrahita ringan merupakan
anak yang educable, sedangkan tunagrahita berat meruopakan anak yang custodial. Menurut
Befring (2008) bahwa anak tunagrahita diklasifikasikan berdasarkan kemampuan
yang dipunyai atau dimiliki menurut Association
on Mental Retardation dalam Special
Education in Ontario Schools yaitu 1). Educable.
Anak pada kelompok ini masih mempunyai
kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 sekolah dasar. 2). Trainble.
Anak mempunyai
kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan diri, dan penyesuaian sosial.
Anak sangat
terbatas kemampuannya untuk mendapat pendidikan secara akademik. 3). Custodial.
Anak harus diberikan latihan yang terus
menerus dan khusus, dapat melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri
sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif. Hal ini biasanya memerlukan
pengawasan dan dukungan yang terus-menerus.
Menurut (Potter & Perry,
2010) bahwa orang
yang menderita penyakit tertentu seringkali kekurangan energi fisik atau
ketangkasan untuk melakukan kebersihan diri. Kondisi fisik akan
menjamin seseorang dalam melakukan tindakan. Anak retardasi ringan maupun berat
mengalami gangguan intelektual dan perkembangannya. Selama tidak mengalami
penyakit fisik secara akut, anak retardasi mental memiliki energi untuk melakukan
berbagai aktifitas personal hygiene.
Semakin bertambahnya usia, anak tunagrahita memiliki pengalaman yang bertambah juga sehingga ia mampu mengulang-ulang
aktifitas personal
hygiene setiap hari.
Anak-anak
tunagrahita mengalami gangguan perilaku adaptif, tetapi dalam lingkungan sosial yang terlindungi dimana sarana pendukung
cukup tersedia dapat memungkinkan mengubah gangguan tersebut (Maslim, 2002). Tidak adanya
hubungan antara tingkat tunagrahita dengan
kemampuan pemenuhan personal
hygiene pada anak tunagrahita pada hasil penelitian ini dapat terrjadi karena adanya faktor
lain yang tidak diteliti
oleh peneliti.
6.
Hubungan Dukungan Pola Asuh Orang Tua dan Kemampuan Pemenuhan Personal
Hygiene Pada Anak Tunagrahita
Tabel 6
Tabulasi Silang Hubungan Dukungan Pola Asuh Orang Tua dan Kemampuan Pemenuhan Personal
Hygiene Pada Anak Tunagrahita
Dukungan Pola Asuh orang tua |
Kemampuan Pemenuhan PH |
|
|
P value |
r |
|||
Mandiri |
Dibantu |
Total |
||||||
F |
P (%) |
F |
P (%) |
F |
P (%) |
|||
Mendukung Sebagian |
15 |
51.7 |
14 |
48.3 |
29 |
100 |
0.02 |
0.293 |
Mendukung Seluruhnya |
27 |
79.4 |
7 |
20.6 |
34 |
100 |
|
|
��� Sumber : Data primer ( 2017)
Berdasarkan tabel 6 diperoleh sebagian
besar responden (79,4%)
yang mendapat dukungan pola asuh keluarga
seluruhnya memiliki kemampuan mandiri dalam memenuhi personal hygiene. Hasil
analisa menggunakan
uji pearson correlation diperoleh nilai p value < α, �< 1 dan r bernilai positif artinya H0
ditolak maka ada hubungan yang signifikan antara dukungan pola asuh keluarga dengan
kemampuan pemenuhan personal hygiene pada anak tunagrahita.
Tingkat keeratan hubungan kedua variable� rendah dan bersifat positif yang berarti semakin menyeluruh dukungan pola asuh keluarga
diberikan maka kemampuan pemenuhan personal hygine pada anak tunagrahita akan semakin mandiri� {pvalue = 0.02; α = 0.05;� �= 0.293}.
Hasil penelitian ini
berbeda dengan hasil penelitian �Septianti, Rokayah, Mustofa (2016) yang menyatakan bahwa hasil uji chi square hitung 0,764 < Chi square tabel 3,841 maka H0 diterima yang artinya tidak
terdapat hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan perawatan diri pada anak
tunagrahita. Namun, penelitian ini sejalan dengan penelitian (Arfandi, Susilo, & Widodo, 2014) dalam yang menyatakan ada
hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan perawatan diri anak tunagrahita. (Arfandi et al., 2014)mengatakan bahwa
semakin banyak dukungan keluarga
maka semakin baik pula kemampuan perawatan diri anak tunagrahita. Hasil
penelitian ini memperkuat teori
yang dikemukakan oleh Baumrind dalam (Judy, 2012) yang mengatakan bahwa pola
asuh yang baik akan terbukti optimal karena hal ini menyebabkan perilaku
mandiri pada anak tunagrahita dan meningkatkan kemampuan mandiri anak
tunagrahita khususnya personal hygiene.
Keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi anak. Keluarga
menjadi sebuah sistem yang dinamis dan terbuka yang dapat mempengaruhi setiap anggota keluarga untuk tumbuh dan berkembang. Dukungan keluarga mempunyai ciri-ciri yaitu 1). Informasional. Dukungan ini berupa pemberian nasehat, pengarahan, ide-ide atau informasi
lainnya yang dibutuhkan dan disampaikan kepada orang lain dalam menghadapi persoalan
yang sama atau hampir sama; 2). Emosional. Bantuan emosional
atau afeksi berupa dukungan simpatik dan empati, cinta dan
kepercayaan dan penghargaan yang diberikan
pada terus menerus setiap saat sebagai
bentuk kasih sayang; 3). Instrumental. Dukungan dapat dilakukan dengan menyediakan sarana-prasarana, obat-obatan atau benda lainnya
yang dibutuhkan; 4). Penghargaan. Bentuk penghargaan yang diberikan kepada anggota keluarga lain diberikan berdasarkan kondisi
sebenarnya dari penderita (Setiadi, 2007).
�Keterbatasan
kemampuan fungsional menyebabkan anak tunagrahita dapat mengalami ketergantungan memenuhi kebutuhan fungsionalnya pada orang di sekitarnya.
Tetapi bukan berarti bahwa anak-anak
tersebut akan mengalami selamanya. Jika orang-orang di sekitarnya memberikan dukungan, bimbingan dan latihan yang terus menerus, maka anak tunagrahita
akan memiliki kebiasaan mandiri dalam memenuhi kebutuhan fungsionalnya. Pelatihan dan
bimbingan tersebut tidak hanya berasal dari pendidikan informal saja, namun
juga pendidikan formal. Hal ini sesuai dengan pendapat (Delphie, 2012) yang mengatakan bahwa
pendidikan sebagai suatu proses perkembangan seseorang dalam bentuk sikap dan
perilaku, proses dimana seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sekolah sehingga
dapat mengembangkan kepribadiannya.
Anak tunagrahita
sama seperti halnya dengan anak yang normal akan bersenang-senang dalam
kualitas hubungan kasih sayang, penerimaan, dan penegasan yang optimal. Struktur yang cukup, bimbingan yang bijaksana, aturan-aturan
yang dibuat secara jelas, batas-batas yang tegas, konsekuensi-konsekuensi yang
logis, dan arahan akan memberdayakan anak tunagrahita untuk mampu, percaya diri, dan bertanggung jawab
seperti anak normal pada umumya sehingga akan memunculkan adaptasi lingkungan dan pola piker yang baik.
Semuanya akan berdampak pada kemampuan mandiri anak tunagrahita khususnya personal hygiene-nya (Judy, 2012)
Kesimpulan
Peneliti menyimpulkan terdapat hubungan yang keeratannya rendah dan positif antara dukungan pola asuh keluarga
dengan kemampuan pemenuhan personal hygiene pada anak tunagrahita
di salah satu SLB Kota Cirebon. Semakin
menyeluruh pemberian dukungan pola asuh
keluarga maka kemampuan pemenuhan personal hygine pada anak tunagrahita akan semakin mandiri
{pvalue =
0.02; α = 0.05; r = 0.293}.
BIBLIOGRAFI
Arfandi, Zemmy,
Susilo, Eko, & Widodo, Gipta Galih. (2014). Hubungan antara Dukungan Sosial
Keluarga dengan Kemampuan Perawatan Diri pada Anak Retardasi Mental di SLB
Negeri Ungaran. Jurnal Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes Ngudi,
26, 1�6.
Delphie,
B. (2012). Pembelajaran Anak Tuna Grahita. Bandung: Refika Aditama.
Hockenberry,
et al. (2017). Wong�s essential of Pediatric Nursing Elsivier (Tenth edit).
Retrievedfromhttps://books.google.co.id/books?id=PHf2DAAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false
Indonesia,
Kementerian Kesehatan Republik. (2010). Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di
Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan. Retrieved from
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//123456789/1438/1/BK2011-1211-A
Judy.
(2012). Sukses Membesarkan Anak Dengan Pemberdayaan Hubungan.
Tanggerang: Kharisma Publishing Group.
Kemenkes,
R. I. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 25 Juli 2015.
Kemenkes,
R. I. (2015). kesehatan dalam kerangka sustainable development goals (SDGs). Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Maslim,
R. (2002). Buku Saku: Diagnosis gangguan jiwa. Rujukan PPDGJ-III.
Jakarta: FK Atmajaya.
Mohsin,
Mujammad Naeem, Khan, Tariq Mahmood, Doger, Ashiq Hussain, & Awan, Ahmed
Sher. (2011). Role of parents in training of children with intellectual
disability. International Journal of Humanities and Social Science, 1(9),
78�84.
Nurmaini,
Risa Dwi. (2014). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kemampuan Personal
hygiene pada anak retardasi mental di SDLB Kabupaten Jember. Universitas
Muhammadiyah Jember.
Permanik,
Intan. (2017). Peningkatan Kemampuan Menyimak Dan Berbicara Anak Usia Dini
Melalui Model Dialogic Reading. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia,
2(5), 75�84.
Potter,
Perry, & Perry, A. G. (2010). Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and
Practice. Edisi I, 3.
Ramawati,
Dian. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan perawatan diri
anak tuna grahita di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Fakultas Ilmu
Keperawatan: Universitas Indonesia.
Ramawati,
Dian, Allenidekania, Allenidekania, & Besral, Besral. (2012). Kemampuan
Perawatan Diri Anak Tuna Grahita Berdasarkan Faktor Eksternal dan Internal
Anak. Jurnal Keperawatan Indonesia, 15(2), 89�96.
Ranuh,
Soetjiningsih &. (2013). Tumbuh Kembang (2, Ed.). Jakarta: EGC.
RI,
Kementerian Kesehatan. (2014). Situasi Penyandang Disabilitas. Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan.
Setiadi.
(2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.