Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
Vol. 3, No. 8, Agustus 2021
URGENSI PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DEMI MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM
Nurmalasari
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Indonesia
Email: n[email protected]
Abstrak
Pengumpulan dan
penyebarluasan data pribadi merupakan pelanggaran terhadap privasi. Seseorang
karena hak privasi mencakup hak menentukan memberikan atau tidak memberikan
data pribadi. Namun demikian kurangnya pengaturan mengenai perlindungan data
pribadi menyebabkan rentan terjadinya penyalahgunaan didunia maya. Tujuan dari
penelitian ini guna melihat urgensi perlunya RUU Perlindungan Data Pribadi
disahkan, serta menganalisis tawaran konsep RUU Perlindungan Data Pribadi guna
untuk menjadikan landasan bagi penegak hukum. Metode penelitian ini yuridis
normatif dengan metode pengumpulan data yaitu studi pustaka dan analisis secara
deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RUU Perlindungan Data
Pribadi memang perlu untuk segerah disahkan mengingat banyak hal yang mendorong
RUU tersebut, diantaranya mengenai peningkatan kasus pembobolan data pribadi,
melindungi dan menjamin hak dasar warga negara, serta agar memberikan kepastian
hukum kepada warga negara. Sehingga dengan adanya RUU Perlindungan Data Pribadi
ini dapat mengakomodir beberapa asas-asas hukum nasional, mulai dari keadilan,
kepastian dan kemanfaatan hukum. Selanjutnya mengenai konsep RUU Perlindungan
Data Pribadi merupakan upaya pemerintahan untuk membangun landasan atau aturan
yang khusus dan komprehensif demi menjaga data pribadi khususnya mengenai hak
privasi masyarakat Indonesia, terlebih lagi tuntutan di era kemajuan teknilogi
membuat kejahatan semakin komplek dan tak terbatas.
Kata
Kunci: urgensi
pengesahan; �RUU perlindungan
data pribadi; �kepastian hukum
Abstract
The collection and
dissemination of personal data is a violation of privacy. A person's right to
privacy includes the right to determine whether or not to provide personal
data. However, the lack of regulation regarding the protection of personal data
makes it vulnerable to misuse in cyberspace. The purpose of this study is to
see the urgency of the need for the Personal Data Protection Bill to be passed,
as well as to analyze the draft offer of the Personal Data Protection Bill in
order to form the basis for law enforcement. This research method is normative
juridical with data collection methods, namely library research and descriptive
analysis. The results of the study indicate that the Personal Data Protection
Bill does need to be ratified immediately considering that there are many
things that encourage the bill, including increasing cases of personal data
breaches, protecting and guaranteeing the basic rights of citizens, as well as
providing legal certainty to citizens. So with the existence of the Personal
Data Protection Bill, it can accommodate several national legal principles,
ranging from justice, certainty and legal benefits. Furthermore, regarding the
concept of the Personal Data Protection Bill, it is the government's effort to
build a special and comprehensive basis or rules in order to protect personal
data, especially regarding the privacy rights of the Indonesian people, moreover,
demands in the era of technological advances make crime more complex and
unlimited.
Keywords: the
urgency of endorsement; �personal data protection bill; legal certainty
Pendahuluan
Saat
ini teknologi informasi telah berkembang dengan cepat dan pesat, sehingga hal
tersebut memberikan sinyal kemudahan yang memungkinkan setiap orang dapat
berkomunikasi kesegala penjuru dunia tanpa lagi dibatasi ruang dan waktu. Perkembangan
tersebut berupa internet, yang muncul
dan memberikan gaya baru bagi masyarakat untuk dijadikan sebagai sarana
berkomunikasi. Oleh karena itu dengan kemunculan media elektronik merupakan
konsekuensi logis dari revolusi industri 4.0 yang mana cara kerja berpindah
dari konvensional menjadi modern (Sinaga 2020).
Ketika
hal tersebut terjadi maka tak dapat di pungkiri lagi kemunculan revolusi industri
4.0 yang mengusulkan banyak manfaat, akan tetapi memiliki rintangan yang harus
dihadapi oleh suatu negara, yakni dalam bidang hukum, dimana memunculkan
persoalan-persoalan seperti internet telah
menciptakan dunia bisnis seakan-akan tanpa batas, memberikan banyak manfaat dan
kemudahan. Atas dasar kemudahan tersebut tentu mempunya dampak yang begitu
besar bagi perlindungan data pribadi. Maka demikian atas permasalahan yang
berkaitan dengan penyalahgunaan data dan informasi tersebut mempunyai hubungan
dengan hak privasi. Hak privasi sendiri� menurut
(Kominfo 2015)
sebuah perlindungan data juga sebagai elemen kunci bagi kebebasan dan harga
diri individu. Perlindungan data menjadi pendorong bagi terwujudnya kebebasan
politik, spiritual, keagamaan bahkan kegiatan seksual. Hak untuk menentukan
nasib sendiri, kebebasan berekspresi dan privasi adalah hak-hak yang penting
untuk menjadikan kita sebagai manusia.
Hak
privasi merupakan hak yang melekat pada seseorang untuk tidak atau menentukan,
memberikan data pribadinya. Oleh karenanya ketika seseorang dapat mengakses,
mengumpulkan ataupun menyebarluaskan data pribadi seseorang maka hal ini
menjadi bentuk kejahatan terhadap privasi. Namun demikian di Indonesia sendiri
regulasi terhadap perlindungan data pribadi masih dapat dikatakan belum mampu
memberikan perlindungan yang secara utuh terhadap data pribadi, khususnya
korban. Hal ini dapat dibuktikan pada regulasi-regulasi yang masih bersifat
sektoral dan masih bertebaran dan juga masih mencerminkan secara umum, yakni sebagaimana
dalam peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1998 tentang Dokumen Perusahaan, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
yang kemudian diamanatkan lagi dalam peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012
tentang Penyalahgunaan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Dengan
demikian secara filosofis, yuridis dan sosiologis dijelaskan diatas, masih
minimnya dalam penyediaan pengaturan tentang perlindungan data pribadi, serta
masih bersifat persial dan sektoral menyebabkan beberapa kasus yang tak terduga
di dalam dunia siber belum bisa memberikan perlindungan yang optimal dan
efektif terhadap data pribadi.
Berkaitan
dengan penelusuran di lapangan dalam rentan waktu tiga tahun terakhir diketahui
terdapat kebocoran data pribadi dari BPJS Kesehatan mencapai angka 279 juta,
Bukalapak pada tahun 2020, dan juga Tokopedia. Hal inilah kemudian menjadikan sangat
penting untuk menyusun dan segerah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data
Pribadi, guna menjamin keamaan data pribadi masyarakat. Dengan demikian
perlindungan data pribadi memang menjadi isu yang harus diperhatikan. Mengapa
demikian, karena data pribadi menjadi hal yang sensitif karena aktivitas pengelolaan
data yang akan memudahkan identifikasi kelompok atau individu yang justru
berpotensi membahayakan pribadi orang tersebut.
Atas
dasar uraian penelusuran tersebut, banyak ditemukan kasus dan permasalahan yang
berkaitan dengan penyalahgunaan data dan informasi (Sautunnida, Jurnal, and Hukum 2012).
Sehingga mempunyai implikasi pada eksistensi hukum yang mengaturnya. Oleh
karena itu perlu diberikan sentuhan hukum, agar eksistensi negara hukum dapat
terus dipertahankan.
Selain
dari pada itu, pengaturan mengenai perlindungan data pribadi akan meminimalisirkan
ancaman penyalahgunaan data pribadi di sektor industri perbankan, situs pertemanan
online seperti (Facebook, My Space, Twitter, Path, Google Plus), program KTP
elektronik, e-health. Potensi terjadinya kejahatan yang berawal dari pencarian
data pribadi seseorang, penghilangan identitas atas data dari pelaku kejahtan,
search mesin pencarian, misanya google.com dan bing.com, dan juga cloud
computing. Oleh karena itulah atas dasar pertimbangan semua ancaman dan potensi
pelanggaran diatas, maka pengaturan perlindungan data pribadi dimakudkan untuk
melindungi kepentingan konsumen dan memberikan manfaat bagi Indonesia (Kominfo 2015).
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum memiliki aturan perundang-undangan
secara khusus mengatur mengenai perlindungan data pribadi, sehingga untuk melindungi
masyarakat dan mengatur masalah perlindungan atas data pribadi dan menyiapkan berbagai
bentuk perlindungan hukum merupakan sebuah konsekuensi logis dari Indonesia negara
hukum, artinya tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum, serta melihat pada Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 juga
telah ditentukan bahwa untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing harus
meningkatkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, salah satunya yakni
melalui peraturan yang terkait dengan privasi (Kominfo 2015).
Oleh
karena itulah penulis tertarik untuk dikaji serta dianalisis terhadap urgensi
pengesahan RUU Perlindungan Data tesebut. Terlepas dari pada itu perlu diketahui
bahwa penelitian penulis ini mempunyai nilai kebaruan yang terletak pada konsep
RUU Perlindungan Data Pribadi yang diantaranya mengenai konsep, jangkauan, arah
pengaturan dan juga ruang lingkupnya, mengapa demikian menjadi nilai
kebaruannya. Agar ketika RUU Perlindungan Data Pribadi ketika diterapkan dan di
sahkan tidak lagi menjadi kebijakan hukum pidana yang saling kontradiktif atau
ketidakjelasan rumusan. Oleh sebab itu perlu kiranya untuk menganalisis atau
mengkaji RUU Perlindungan Data tersebut.
Metode
Penelitian
Dalam
hal penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Adapun
langkah langkah yang dilakukan adalah melalui studi kepustakaan yang menelaah
data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum
primer meliputi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan perjanjian
internasional yang telah disahkan serta berbagai peraturan perundang-undangan
terkait lainnya. Sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh melalui pengkajian
hasil-hasil penelitian, buku-buku, jurnal ilmiah, dan yurisprudensi, serta
bahan pustaka lainnya yang membahas mengenai perlindungan atas data pribadi.
Adapun untuk menganalisis data sekunder digunakan metode kualitatif sedangkan
metode penelitiannya menggunakan deskriptif analitis.
Hasil dan Pembahasan
1.
Urgensi
Perlunya RUU Perlindungan Data Pribadi Disahkan
a.
Meningkatnya
Kasus Pembobolan Data Pribadi
Dalam masa
pandemi covid-19 ini tentu membuat banyak kegiatan beralih ke ruang digital,
sehingga mengubah gaya hidup mulai dari belajar, bekerja hingga berbelanja. Maka
tak heran jika masyarakat memiliki ketergantungan pada teknologi digital. Namun
demikian hal tersebut tentu mempunyai potensi ancaman serangan siber. Dapat dilihat
sejumlah platform belanja online paling banyak menghadapi serangan siber
sepanjang tahun 2020. Bahkan juga lembaga negara� menjadi potensi ancaman para pelaku kejahatan
siber dengan modus operandi mengincar data pribadi para pengguna platfrom dengan
meretas. Berikut rangkuman kasus kebocoran data yang terjadi sepanjang tahun
2020:
1)
Tokopedia
Di awal bulan
Mei 2020 terdapat 91 juta data pengguna dan lebih dari 7 juta data merchant Tokopedia
dikabarkan dijual gelap. Penjualan data Tokopedia mencakup gender, lokasi,
username, nama lengkap, alamat email, nomor ponsel, dan password.
2)
Bhineka.com
Kelompok
peretas yang bernama ShinyHunters mengklaim bahwa telah membobol sepuluh
perusahaan, salah satunya e-commerce b to b asal Indonesia, kelompok
peretas tersebut yang kabarnya juga dalang Tokopedia, dilaporkan membobol 1,2
juta data pengguna. Kelompok peretas tersebut menjual di pasar web gelap atau
dark web.
3)
KPU
Peretas
telah membobol 2,3 juta data warga Indonesia dari Komisi Pemilihan Umum, serta
pertas tersebut telah membocorkan informasi.
4)
Data
Pasien Cocovid-19
Keamanan
data diri pasien Covid-19 dipertaruhkan. Pasalnya data yang selama ini selalu
dirahasiakan oleh pemerintahan, kini telah diperjualbelikan oleh peretas atau
hacker. Mucul kabar yang menyebutkan peretasan basis data Covid-19. Pelaku
peretasan atas nama database Shopping di dark web rainforums telah menjual data
pasien Covid-19 di Indonesia, fitur spoiler di situs gelap menunjukkan data
yang diambil antara berupa ID pengguna, jenis kelamin, usia, nomor telepon,
alamat tinggal hingga status pasien.
b.
Melindungi
dan Menjamin Hak Dasar Warga Negara Terkait Dengan Perlindungan Data Pribadi
Sebelum mengerucut pada titik pembahasan
terlebih dahulu kita akan mengenal apa sebenarnya data pribadi itu. Pengertian data
pribadi merupakan identitas seseorang untuk dapat dikenali, seperti nama, umur,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dll. Sehingga data pribadi tidak dapat
dipisahkan oleh konsep privasi. Konsep privasi sendiri menurut Charles Fried
mendefinisikan sebagai �Kontrol atas pengetahuan diri sendiri� yang diperlukan
untuk melindungi hubungan mendasar dari rasa homat, cinta, persahabatan dan
kepercayaan (Wahyudi Djafar 2019)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data pribadi yang merupakan hak privasi
seseorang yang tidak dapat diganggu dan dirampas oleh siapapun termasuk negara.
Oleh karenannya seseorang dapat membatasi ruang lingkup informasi pribadi hanya
untuk berhubungan dengan individu. Sehingga mengumpul dan penyebarluasan data
pribadi merupakan pelanggaran terhadap privasi seseorang, karena hak privasi mencakup
hak menentukan memberikan atau tidak memberikan data pribadi.
Perlindungan terhadap data pribadi
merupakan hak asasi manusia sebagai bagian dari privasi yang telah mendapatkan
legitimasi jaminan perlindungan baik instrumen hukum internasional dan juga konstitusi
yang diatur dalam amandemen keempat UUD 1945, dan di implementasikan dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang diantaranya
menjamin perlindungan hak atas privasi warga negara (Sinaga 2020),
sebagai berikut:
1) Pasal
14 ayat 2 menyatakan bahwa, setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengelolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis sarana yang tersedia.
2) Pasal
29 ayat 1 menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.
3) Pasal
31 menyatakan bahwa, (1) tempat kejadian siapapun tidak boleh diganggu, (2)
menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu
rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan
dalam hal-hal ditetapkan oleh Undang-Undang.
Menurut (Wahyudi Djafar 2019)
Sedangkan dalam hukum internasional dalam hal ini hak atas privasi diatur
secara khusus dalam Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang
menegaskan bahwa:
�Tidak
seorangpun boleh diganggu secara sewenang-wenang dalam urusan pribadi,
keluarga, rumah tangga atau hubungan surat menyurat, juga tidak boleh dilakukan
serangan terhadap kehormatan dan reputasinya. Setiap orang berhak mendapatkan
perlindungan hukum terhadap gangguan atau penyerangan seperti itu.�
Kemudian
juga diatur dalam Pasal 17 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
yang menjadi instrumen hukum mengikat bagi negara peserta perjanjian, yang mana
menegaskan bahwa: (Wahyudi Djafar 2019)
1) Tidak
boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah
dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat
menyurat, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.
2) Setiap
orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan
seperti tersebut diatas.
Senada dengan pandangan John Locke
menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh
Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karena itu, tidak ada
kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini merupakan sifat yang
paling mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan
hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dalam kehidupan manusia (Upik Mutiara 2020).
Pada dasarnya pijakan negara Indonesia
sebagai negara hukum yakni dapat dilihat pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 Perubahan
ketiga yang berbunyi �Negara Indonesia adalah negara hukum. Diadobsinya ketentuan
ini kedalam bagian Pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum serta
menjadi amanat negara, bahwa Indonesia adalah negara hukum (Winarno 2007).
Menurut pandangan Wirjono Prodjojodikoro,
negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjadi keadilan
kepada warga negaranya. Keadilan yang merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagiaan hidup untuk warga negaranya. Demikian juga pada halnya peraturan
hukum yang harus mencerminkan rasa keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya
(Jumiati 2006).
Sedangkan hukum memiliki ciri-ciri yang berbeda
dengan kaidah-kaidah sosial lainnya maupun dengan kaidah agama, yang ciri hukum
tersebut menurut Pandangan Soerjono Soekanto dikutip oleh (Gunakaya 2017)
sebagai berikut:
1) Hukum
bertujuan untuk menciptakan keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan yang
terdapat dalam masyarakat.
2) Mengatur
perbuatan manusia secara lahiriah.
3) Dijalankan
oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat sebagai badan pelaksana hukum.
Dalam masyarakat sederhana badan serupa ini dapat berupa kepala adat, dewan
para sesepuh atau lainnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hukum
suatu kumpulan peraturan atau kaidah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan
normatif. Bersifat umum karena berlaku bagi setiap orang, sedangkan bersifat
normatif karena menentukan apa yang seyogyanya atau seharusnya dilakukan (Gunakaya 2017). Artinya, hukum
itu mengayomi atau melindungi manusia dalam masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dalam sebuah teori yang membahas tentang hukum kita kenal dengan a tool of social enginering, yakni hukum
sebagai alat mengubah masyarakat. Oleh karena itu hukum sebagai insturmen
kontrol sosial di dalam masyarakat, serta menetapkan tingkah laku mana yang
dianggap sebagai penyimpangan terhadap aturan hukum dan bagaiamana ketika
aturan tersebut di langgar apa sanksi atau tindakan yang dilakukan manakala
terjadi penyimpangan (Gunakaya 2017).
Dengan demikian yang dijelaskan diatas
bahwa secara filosofis perlindungan data pribadi menjadi manifestasi terhadap
pengakuan dan perlindungan atas hak-hak dasar manusia sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila (Gunakaya 2017). Lalu bagaimanakah
pengaturan terkait hak privasi di Indonesia?. Hingga saat ini pengaturan terkait
hak privasi masih dalam bentuk bersifat persial dan sektoral menyebabkan
beberapa kasus yang tak terduga di dalam dunia siber belum bisa memberikan
perlindungan yang optimal dan efektif terhadap data pribadi. Dapat dilihat beberapa
Undang-Undang yang dimaksud yakni: (1)Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, (4)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (5) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, (6) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (7) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, (9) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, (10) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan masih banyak yang bertebaran di luar
lainnya.
Dari beberapa Undang-Undang dijelaskan diatas
dapat dipahami bahwa perlindungan data pribadi yang merupakan sebuah konsep hak
privasi masih dalam tataran sektoral, artinya Undang-Undang yang disebutkan
diatas masih belum memuat aturan perlindungan data pribadi secara tegas dan
komprehensif, serta dalam Undang-Undang itupun hanya mengatur ketentuan umum
dan tidak menjelaskan berbagai isu masalah yang banyak dibicarakan di level
Internasional (Syarpani 2014).
Hingga saat ini Indonesia yang telah memiliki beberapa regulasi sektoral berkaitan dengan
perlindungan data pribadi. Regulasi sektoral pada dasarnya memiliki
karakteristik tersendiri, oleh karena itu tentu dalam cakupan nasional diperlukan
suatu peraturan yang komprehensif. Di satu sisi hal tersebut sangat relevan
juga dalam membangun sistem perlindungan data pribadi (Komin 2021).
Oleh karena itulah salah satu dari
perlunya RUU Perlindungan Data Pribadi disahkan yakni secara filosofisnya negara
Indonesia negara hukum, maka sudah barang tentu penegak hukum dalam hal ini
sebagai alat negara untuk mempertahankan kemerdekaan, tata tertib, hukum dan
sebagainya. Berkaitan dengan hal tersebut, Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa
hukum berfungsi sebagai alat untuk memberikan perlindungan kepentingan manusia,
sedangkan menurut Philpus M. Hadjon berpendapat bahwa tujuan utama dari negara
hukum adalah memberikan perlindungan hukum bagi rakyatnya. Perlindungan hukum bagi
rakyat atas tindakan pemerintah dilandasi oleh dua prinsip yaitu prinsip hak
asasi manusia dan prinsip negara hukum (Setiadi 2017).
Lebih lanjut mengenai pemerintah, dalam
hal ini peran dan fungsi pemerintahan yang dikemukakan oleh P.Siagian berpendapat
bahwa ada 3 bentuk negara yaitu political state (semua kekuasaan
dipegang oleh raja sebagai pemerintah), bentuk legal state (pemerintah
hanya sebagai pelaksana peraturan) dan bentuk welfare state (tugas
pemerintah diperluas untuk menjamin kesejahteraan umum), dengan directionary
power dan freies emessen (Marbun 2006). Oleh karena itu
kekuasaan diartikan secara yuridis, maka kekuasaan disebut sebagai suatu
pembatasan Undang-Undang (Bakhri 2018).
Selanjutnya menurut Solly Lubis, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membentuk sebuah peraturan perundang-undangan
harus terpenuhi syarat peraturan perundangan-undangan yang ideal antara lain:
1) Peraturan
itu memberikan keadilan bagi yang berkepentingan, dalam hal ini warga negara
tanpa terkecuali.
2) Peraturan
hukum itu memberikan kepastian hukum, artinya bahwa dengan berlakunya peraturan
itu akan jelas batas-batas hak (recht, right) dan kewajiban (plicht,
duty) semua pihak yang terkait dalam suatu hubungan hukum.
3) Peraturan
itu memberikan manfaat yang jelas bagi yang berkepentingan dengan kehadiran
peraturan itu. Umumnya, jika dua syarat terdahulu sudah dipenuhi maka syarat
yang ketiga ini akan dipenuhi juga (Lubis 2009).
c.
Memberikan
Kepastian Hukum Kepada Masyarakat
Hukum dan
masyarakat mempunyai korelasi yang sangat erat, artinya, bahwa hukum dan masyarakat
tidak dapat dipisahkan, mengacu pada ungkapan ubi societas ibi ius. Dari
ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa kehidupan bersama tentu tidak cukup
diberikan pada i�tikad baik maupun kesadaran moral pribadi, melainkan perlu
melahirkan suatu norma untuk mengatur hidup bersama agar mewujudkan ketertiban
dan keadilan. Hal ini memang perlu untuk diwujudkan, karena didalam suatu masyarakat
tentu juga tak terlepas dari sebuah konflik yang kemudian sulit untuk dihindarkan,
maka dengan demikian adanya norma hukum konflik tersebut dapat diharapkan sebagai
katub penyelamat dan dapat memecahkan secara berkeadilan dengan parameter yang
lebih objektif (Suliantoro 2017).
Masyarakat
Indonesia pada saat sekarang ini telah mengalami proses perubahan akibat dari
pengaruh eksternal dalam bentuk globalisasi serta gejolak dinamika internal
berupa pencarian jati diri. Masa transisi bersifat simultan akbiat dari adanya
proses transformasi sosial budaya yang berlangsung secara cepat memunculkan
persoalan yang bersifat kompleks (Suliantoro 2017). Masa transisi
tersebut kemudian diikuti berbagai perubahan fundamental, baik menyangkut
perilaku/sikap, pola pikir bahkan cara pandang masyarakat terhadap dunianya,
akibatnya menimbulkan problematika yang kompleks, seperti dalam bidang hukum,
khususnya menyangkut aspek kepastian hukum (Suliantoro 2017) kepastian hukum dalam suatu peraturan hukum terdapat
asas-asas hukum yang menjadi dasar atau titik anjak pembentukannya. Menurut
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa asas hukum dapadiartikan sebagai
�jantungnya� peraturan hukum (Rahardjo 2012). Oleh karena itu
untuk memahami suatu peraturan hukum diperlukan adanya asas hukum. Dengan kata
lain, Karl Larenz menyampaikan bahwa asas hukum merupakan parameter hukum ethis
yang memberikan arah kepada pembentuk hukum. Sehingga asas hukum mengandung
tuntutan etis yang dapat dikatan sebagai jembatan antara peraturan hukum dengan
cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat (Mario Julyano 2019).
Menurut Gustaf
Radbruch dalam konsep ajaran �Prioritas Baku�, mengemukakan ada tiga ide dasar
hukum atau tiga tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Keadilan yang merupakan hal paling utama dari ketiga hal itu, namun demikian
tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Mengingat
akan hal bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga
unsur tersebut demi kesejateraan dan kemakmuran masyarakat (Prayogo 2016).
Sedangkan
menurut Utrech, �Kepastian hukum merupakan aturan yang bersifat umum sehingga
individu mengetahaui perbuat apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan
juga merupakan keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah� (Syahrani 1999). Dengan demikian
dapat dipahami bahwa kepastian hukum merupakan sebuah jaminan atas perlindungan
yang yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang. Oleh karena itulah
kepastian hukum memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan
yang secara operasional maupun mendukung pelaksanaannya (Prayogo 2016).
Bertitik tolak
pada asas-asas hukum tersebut Gustaf Radbruch lebih jauh memberikan pemaknaan tentang
kepastian hukum yakni kondisi dimana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan
yang harus ditaati (Huijbers 1982).
Oleh karenanya, menurut Fance M. Wantu, �Hukum tanpa nilai kepastian hukum akan
kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang�
(M.Wantu 2007).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kepastian hukum merupakan aturan hukum
yang jelas dan tegas dan kemudian mendapatkan legalitas agar dapat digunakan
sebagaimana mestisnya.
Ketiadaan hukum
mengenai perlindungan data pribadi yang masih bersifat umum di Indonesia dapat
dikatakan sebagai suatu kelemahan yang menyebabkan beberapa perusahaan tidak
memilih Indonesia sebagai lokasi untuk pusat penyimpanan datanya. Padahal
perkembangan pengaturan perlindungan data pribadi akan mendukung pembangunan
masa depan Indonesia sebagai pusta data global (Kominfo 2015). Oleh karenanya
pengaturan tentang data pribadi sangat diperlukan, mengingat mengatur mengenai
pengumpulan, penggunaan, pengungkapan, pengiriman dan keamanan data pribadi dan
secara umum pengaturan adalah untuk mencari keseimbangan antara kebutuhan akan
perlindungan data pribadi individu dengan kebutuhan pemerintah dan pelaku
bisnis untuk memperoleh dan memproses data pribadi untuk keperluan yang wajar
dan sah (Kominfo 2015).
Dalam konteks
ini yang dijelaskan diatas tentu mempunyai korelasai terhadap perlindungan data
pribadi, dimana ketika peraturan perundang-undangan yang menyangkut perlindungan
data pribadi masih bersifat sektoral dan masih bertebaran di luar, artinya
bahwa peraturan perundangan-undangan yang menyangkut hal tersebut masih dalam
pembahasan umum yang substansinya belum dapat dikatakan sepenuhnya mengatur secara
khusus tentang perlindungan data pribadi dalam hal ini hak privasi. Kendatipun
demikian tentu sangat mempengaruhi penegakan hukum dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia.
Oleh karena itu
kepastian hukum sangat menentukan dalam penyelesaian perkara hukum, agar dalam
proses hukum tidak terjadi kesewenangan dan tetap dalam koridor peraturan yang
ada di Indonesia. Tanpa adanya kepastian hukum masyarakat tidak pernah mengerti
apakah perbuatan yang akan masyarakat perbuat benar ataukah salah dan tanpa adanya
suatu kepastian hukum akan menimbulkan berbagai permasalahan yaitu timbulnya
suatu keadaan yang meresahkan masyarakat. Oleh karena itu kepastian hukum
sangat dibuthkan dalam masyarakat untuk memperoleh perlindungan dari tindakan
yang sewenang-wenang dari berbagai aparat penegak hukum dalam menjalankan
tugasnya ada dalam masyarakat (Kania Dewi Andhika Putri 2018).
Bertitik tolak
pada memberikan kepastian hukum, perlu diketahui bahwa data dan informasi memiliki
peran yang sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat di abad ke-21
terutama dala bidang penyelenggara pemerintahan, kegiatan bisnis maupun
perdagangan berkenaan dengan data pribadi, mulai dari tingkat nasional, regional
hingga internasional. Kemunculan RUU Perlindungan Data Pribadi ini akan
mengantarkan pada suatu sistem administrasi pemerintahan yang efisien dan
efektif dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat. Kondisi peraturan perundang-undangan
tersebut telah menjadikan adanya kebutuhan suatu Undang-Undang yang mampu
menjamin perlindungan bagi seseorang atas data an informasinya. Kebutuhan akan
regulasi terhadap berbagai aktivitas yang melibatkan pemanfaatan teknologi informasi
dan komunikasi dirasakan samikin urgent. Mengingat akan hal aktivitas-aktivitas
tersebut telah mempengaruhi dan bahkan merubah paradigma di barbagai bidang,
khususnya pada bidang informasi dan teknologi.
Dengan demikian
penjelasan diatas tersebut menunjukkan betapa pentingnya RUU Perlindungan Data Pribadi
disahkan, sehingga dengan adanya regulasi tersebut dapat mengakomodir hak asasi
manusia, khususnya hak privasi dan juga regulasi RUU Perlindungan Data Pribadi.
d. Konsep
RUU Perlindungan Data Pribadi Mengenai Jangkauan, Arah Pengaturan, Dan Ruang
Lingkup
Kehadiran
RUU Perlindungan Data Pribadi merupakan upaya pemerintahan untuk membangun
landasan atau aturan yang khusus dan komprehensif demi menjaga data pribadi
khususnya mengenai hak privasi masyarakat Indonesia, terlebih lagi tuntutan di
era kemajuan teknilogi membuat kejahatan semakin komplek dan tak terbatas. RUU
Perlindungan Data Pribadi ini disamping mengenai aturan yang khusus dan komprehensif
juga dapat mengharmonisasikan kehadiran undang-undang dari masing-masing sektor
kerja seperti yang terdapat pada undang-undang ITE dan turunannya. Mengapa
demikian, karena undang-undang yang membahas tentang perlindungan data pribadi
disebutkan diatas belum dapat menghadirkan asas/prinsip yang terkait perumusan
norma. Hal demikian perlu diperhatikan karena merupakan prasyarat terjadinya
keadilan, ketidakberpihakan dan dimensi moralitas lainnya. Di samping itu
menurut pandangan (Rahardjo 2000)
�Asas hukum dapat dikatakan sebagai alasan bagi pembentukan/lahirnya sebuah
peraturan hukum, atau biasa disebut dengan ratio legis dari peraturan
hukum�.
Dalam
membentuk suatu peraturan perundang-undangan tentu harus berdasarkan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan agar semaksimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu dan juga
sebagai sarana untuk memperoleh keadilan. Dengan demikian ada beberapa asas
yang harus diperhatikan ketika ingin membentuk sebuah peraturan
perundang-undangan yakni:
1) Asas
Kejelasan Tujuan
2) Asas
Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk Yang Tepat
3) Asas
Kesesuaian Antara Jenis, Hirerarki dan Materi Muatan
4) Asas
Dapat Dilaksanakan
5) Asas
Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
6) Asas
Kejelasan Rumusan
7) Asas
Keterbukaan.
Dengan demikian yang telah disebutkan
diatas mempunyai hubungan dengan RUU Perlindungan Data Pribadi. Mengapa demikian
dikatakan, RUU Perlindungan Data Pribadi sebuah jawaban tentang persoalan dari
ketidaksinkronaan Undang-Undang sebelumnya yang masih bersifat sektoral dan
juga masih tumpang tindihnya tentang perlindungan data pribadi. Dari persoalan
diatas dapat dikatakan bahwa regulas-regulasi yang mengatur tentang
perlindungan data pribadi tersebut tidak memberikan sebuah kepastian hukum.
Sedangkan berkaca pada Undang-Undang No 10 Tahun 2004 yang pada intinya
menyatakan bahwa dari segi kepastian hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
yang mana dalam setiap ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun
2004, menyatakan bahwa dengan terbitnya Undang-Undang tersebut terasa bahwa
pembentukan peraturan semakin seragam baik dari sisi substansi maupun
sistematika penuangannya. Oleh karena itu kehadiran RUU Perlindungan Data
Pribadi merupakan penyempurnaan regulasi pada Undang-Undang yang sudah ada
sebelumnya. Maka tak heran jika masyarakat mendorong agar RUU Perlindungan Data
Pribadi segera disahkan.
�Berbicara
mengenai regulasi tentu akan berbicara mengenai Undang-Undang, maka dalam pokok
pembahasan pada rumusan kedua ini mengenai konsep perlindungan data pribadi,
mengenai jangkauan, arah pengaturan dan juga ruang lingkup.
1) Konsep
Perlindungan Data Pribadi Di Dalam RUU Perlindungan Data Pribadi Serta
Asas-Asas Bidang Hukum Perlindungan Data Pribadi
Konsep perlindungan data
pribadi mengisyaratkan bahwa individu memiliki hak untuk menentukan apakah ia
akan bergabung dengan masyarakat kemudian akan membagi atau bertukar data
pribadi diantara mereka serta hak untuk menentukan syarat-syarat apakah yang
harus dipenuhi untuk melakukan hal tersebut. Hukum perlindungan data pribadi
secara umum juga mencakup langkah-langkah pengamanan perlindungan dari keamanan
data pribadi dan memperbolehkan penggunaannya oleh orang lain sepanjang sesuai
dengan ketentuan atau syarat (Dewi 2016).
Dengan adanya konsep
perlindungan data pribadi ini tentu dapat melindungi data pribadi individu
terhadap penyalahgunaan pengumpulan, khususnya bagi konsumen yang sangat membutuhkan
perlindungan hukum terutama di era dimana data pribadi menjadi lebih sangat
berharga bagi kepentingan bisnis, menimbulkan kekhawatiran bahwa data pribadi
konsumen dijual atau digunakan tanpa adanya persetujuan mereka.
Namun demikian, di Indonesia pengaturan privasi
dan perlindungan data pribadi. tidak
dapat ditemukan dalam satu peraturan, akan tetapi para sarjana selalu merujuk
pada Pasal 28 G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai
titik anjak untuk membuat peraturan khusus tentang perlindungan data pribadi,
sebagaimana bunyi Pasal 28 G UUD 1945 menyatakan.
�Setiap orang berhak atas
perlindungan atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan
hak asasi manusia�.
Berdasarkan tersebut tidak
secara eksplisit menyebutkan mengenai privasi dan perlindungan data pribadi,
melainkan ketentuan tersebut hanya menjelaskan tentang perlindungan hak asasi
manusia.
Bertitik tolak pada penjelesan diatas,
maka sudah searah dan sejalan apa yang menjadi konsep perlindungan data pribadi
di dalam Naskah Akademik RUU Perlindungan Data Pribadi (Kominfo 2015)
menjelaskan bahwa:
�Pengaturan yang
akan disusun diharapkan dapat melindungi data pribadi individu terhadap
penyalahgunaan pengumpulan serta pengolahannya dipermudah dengan teknologi informasi
dan komunikasi saat ini. Perkembangan pengaturan data pribadi secara umum akan
menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara dengan tingkat perekonomian
yang maju, yang telah menerapkan hukum mengenai perlindungan data pribadi.
Dengan demikian akan lebih mendorong dan memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat
bisnis terpercaya, yang merupakan suatu strategi kunci dalam ekonomi nasional
Indonesia. Pengaturan tentang data pribadi sangat diperlukan karena mengatur
mengenai pengumpulan, penggunaan, pengungkapan, pengiriman dan keamanaan data
pribadi dan secara umum pengaturan data pribadi adalah untuk mencari
keseimbangan antara kebutuhan akan perlindungan data pribadi individu dengan
kebutuhan Pemerintahan dan Pelaku Bisnis untuk memperoleh dan memproses data
pribadi untuk keperluan yang sewajarnya�.
Sedangkan
mengenai asas-asas dalam pembentukan RUU Perlindungan Data Pribadi perlu diperhatikan,
mengingat asas-asas tersebut sebagai dasar dari perumusan norma dalam RUU
Perlindungan Data Pribadi yakni:
a. Asas
Perlindungan
Dalam RUU Perlindungan
Data Pribadi telah memuat asas perlindungan. Mengapa demikian, asas
perlindungan Menurut Philipus M. Hadjon dalam (sinta.unud.ac.id n.d.)
�Perlindungan hukum merupakan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak
asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu
peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya
sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya�. Maka demikian RUU
Perlindungan Data Pribadi menjadi kelak dimaksudkan untuk memberi perlindungan
kepada pemilik data mengenai privasinya, mengenai data pribadi, mengenai hak-hak
atas dasar agar data tersebut tidak disalhgunakan.
b. Asas
Kepentingan Umum
Kepentingan umum menurut
Jazim Hamidi (Pratiwi et al. 2016)
memberikan indikator atau unsur-unsur yang termuat di dalam asas kepentingan
umum yaitu: untuk kepentingan nasional, bangsa, dan negara, kepentingan pembangunan,
kepentingan masyarakat, dan ada dasar peraturan perundang-undangannya.
Merujuk pada pandangan
tersebut, maka dalam RUU Perlindungan Data Pribadi menjelaskan bahwa asas
kepentingan umum sangat penting untuk menjadi salah satu asas dari RUU tentang
Perlindungan Data Pribadi, karena kepentingan umumlah yang dapat dijadikan
alasan yang sah, sesuai dengan rumusan Undang-Undang, sebagai alasan untuk
menerobos atau alasan pengecualian terhadap perlindungan privasi atas data
pribadi. Kepentingan umum tersebut meliputi, keamanan negara, kedaulatn negara,
pemberantasan korupsi dan tindak pidana lainnya (Kominfo 2015).
c. Asas
Pertanggungjawaban
Asas pertanggungjawaban
memberi landasan bagi semua pihak yang terkait dengan pemrosesan,
penyebarluasan, pengelolahan, dan pengawasan data pribadi untuk bertindak
secara bertanggung jawab sehingga mampu menjamin keseimbangan hak dan kewajiban
para pihak yang terkait, termasuk pemilik data (Kominfo 2015).
Asas yang terdapat di dalam
RUU Perlindungan Data Pribadi yang telah disebutkan diatas sejalan dengan teori
pertanggungjawaban yang dimotori oleh Hans Kelsen menyatakan bahwa �Seseorang
bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia
memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas
suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan� (Area 1997).
2) Jangkauan
RUU Perlindungan Data Pribadi
Maksud dari pada jangkauan RUU
Perlindungan Data Pribadi ini adalah untuk memberikan batasan hak dan kewajiban
terhadap setiap tindakan perolehan dan pemanfaatan (pengelolaan) semua jenis
data pribadi baik yang dilakukan di Indonesia maupun data pribadi warga
Indonesia di luar negeri, baik dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum
(badan publik, swasta, dan organisasi kemasyarakatan (Kominfo 2015).
3) Arah
Pengaturan dan Ruang Lingkup RUU Perlindungan Data Pribadi �
a. Ketentuan
Umum
Hal-hal yang terdapat
dalam ketentuan umum ini yakni asas, maksud dan tujuan dimuat dalam ketentuan Undang-Undang
serta batasan pengertian yang digunakan, seperti: Data Pribadi, Informasi, Data
Pribadi Sensitif, Proses Data Pribadi, File Data Pribadi, Pengelola Data
Pribadi, Pemroses Data Pribadi, Pemilik Data Pribadi, Pengelolaan Data Pribadi,
Kepentingan Umum, Privasi Data Pribadi, Pemasaran Langsung, Komisi, Transfer Data
Pribadi, Pihak Ketiga, Transaksi Bisnis, Badan Publik, Badan Hukum Publik,
Badan Hukum Swasta, Badan Usaha Perorangan, Organisasi kemasyarakatan, Setiap
Orang, Alat Pemroses/Pengolah Data Visual/CCTV. Dengan demikian ketentuan umum
dalam RUU Perlindungan Data Pribadi telah mengatur lebih spesifik dibanding
beberapa Undang-Undang yang telah ada.
b. Materi
Yang Akan Diatur
Dalam RUU Perlindungan
Data Pribadi pengelolaan data pribadi sensitif merupakan agenda yang substansial
di dalam RUU tersebut, karena data pribadi sensitif dalam Naskah Akademik (Kominfo 2015)
�Merupakan data dan informasi yang berkaitan dengan agama/keyakinan, kesehatan,
kondisi fisik dan kondisi mental, kehidupan seksual, data keuangan pribadi,
data pendidikan, serta data dan informasi pribadi lainnya yang mungkin dapat
membahayakan dan merugikan privasi pemilik data�.
Selain dari pada itu, RUU
Perlindungan Data Pribadi juga mengatur hak-hak pemilik data pribadi antara
lain:
i.
Hak untuk mengajukan permintaan akses yang
memadai dan salinan atas data pribadi miliknya kepada pengelola data pribadi
yang mengelola data pribadi miliknya.
ii.
Hak untuk meminta pengelola data memperbaiki
kesalahan dan ketidakakuratan, dan memperbaharui data pribadi yang berada di
dalam pengelolaan pengelola data pribadi.
iii.
Hak untuk melengkapi data dan pribadi
sebelum data dan pribadi tersebut dikelola oleh pengelola data pribadi.
iv.
Hak untuk meminta kepada pengelola data pribadi
untuk memusnahkan data pribadi.
v.
Hak untuk menuntut dan menerima ganti rugi
atas pelanggaran terhadap hak-haknya.
vi.
Hak untuk dapat setiap saat menarik
kembali persetujuan pengelolaan data yang telah diberikan pada pengelola data
dengan pemberitahuan.
Namun demikian dalam RUU Perlindungan Data
Pribadi mengatur mengenai pengecualian, akan tetapi hal tersebut dalam keadaan-keadaan
tertentu� serta dengan alasan yang sah
diatur oleh Undang-Undang, antara lain: Keamanan nasional, kepentingan proses
penegakan hukum, kepentingan pers sepanjang data pribadi diperoleh dari informasi
yang sudah dipublikasikan, kepentingan penelitian ilmiah dan statistik.
Selanjutnya mengenai kewajiban pengelola
data pribadi yang mencakup beberapa kewajiban yakni:
i.
Kewajiban untuk memperoleh persetujuan dari
pemilik data, artinya� pengelola data pribadi
harus mendapatkan persetujuan, guna memberikan informasi kepada pemilik data
pribadi mengenai legalitas dari pengelola data pribadi, tujuan pengelolaan data
pribadi, jenis-jenis data pribadi yang akan dikelola, periode retensi dokumen
yang memuat data pribadi, rincian mengenai informasi apa saja yang dikumpulkan,
jangka waktu pengelolaan dan pemusnahan data pribadi, dan juga pemilik data
pribadi mempunyai hak untu menolak memberikan persetujuaan.
ii.
Kewajiban untuk tidak mencegah atau
melarang pemilik data menarik kembali persetujuan pengelolaan data pribadi
iii.
Kewajiban menghentikan pengelolaan data
pribadi segera setelah pemilik data menarik persetujuan pengelolaan data pribadi.
iv.
Kewajiban menunda proses pengelolaan data
pribadi sebagian atau seluruhnya apaila pemilik data pribadi meminta penundaan..
v.
Kewajiban untuk mengumumkan kebijakan
perlindungan privasi mengenai data pribadi.
vi.
Kewajiban melindungi dan memastikan keamanan
data pribadi.
vii.
Kewajiban untuk memberikan akses kepada
pemilik data pribadi apabila terdapat permintaan akses dari pemilik data.
viii.
Kewajiban untuk memperbaiki kesalahan dan
atau ketidakakuratan data pribadi pengelola data pribadi dengan alasan yang wajar
mengemukakan pada pemilik data pribadi.
ix.
Kewajiban untuk melakukan pengawasan yang
tepat terhadap orang yang terlibat dalam proses pengelolaan data pribadi di
bawah perintah dan pengawasan pengelola data pribadi.
x.
Kewajiban untuk melakukan usaha yang wajar
untuk memastikan data pribadi yang dikelolah akurat dan lepangkap apabila data
pribadi akan digunakan untuk membuat suatu keputusan yang mempengaruhi pemilik
data pribadi, dan data pribadi akan diungkapkan kepada pihak lain berdasarkan
persetujuan pemilik data pribadi.
xi.
Kewajiban untuk memastikan perlindungan
data pribadi dari permintaan, pengumpulan, penggunaan, pengelolahan dan
pengungkapan yang tidak sah.
xii.
Kewajiban untuk melindungi data pribadi
yang dikelolanya dengan membuat sistem keamanan yang dapat mencegah akses yang
tidak sah, pengumpulan, penggunaan, pengelolahan, pengungkapan, modifikasi,
penghapusan yang tidak sah atau tindakan lainnya.
xiii.
Kewajiban untuk melakukan pemberitahuan
pada pemilik data yang dirugikan tanpa pendaan fakta bahwa data pribadi miliknya
terungkap.Kewajiban untuk menginformasikan pemasangan alat pemroses data visual
ke masyarakat dan menjamin keamanan data pribadi yang diperolehnya dari alat
pemroses data visual.
Di dalam RUU Perlindungan Data Pribadi
juga telah mengatur mengenai penyelesaian sengketa yakni melalui penyelesaian
di luar pengadilan dan melalui pengadilan. Namun demikian, penyelesaian di luar
pengadilan harus dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa
tanpa adanya paksaan. Jika penyelesaian diluar pengadilan tidak mendapatkan
hasil para pihak dapat menyelesaikan perkara tersebut ke pengadilan. Sedangkn
untuk ketentuan sanksi di dalam RUU Perlindungan Data Pribadi ditetapkan sanksi
yang proporsional dengan perbuatan/pelanggaran yang dilakukan, selain dari pada
itu juga penerapan sanksi untuk memberikan efek jera sera diterapkan untuk
memberikan edukasi untuk merubah perilaku publik untuk lebih memahami perlunya
menghargai hak privasi atas data pribadi. Terlepas dari pada itu sanksi
tersebut berupa sanksi pidana dan sanksi perdata ganti rugi. Hal ini dapat juga
melihat pada Undang-Undang Perlindungan Data di setiap negara yang menerapkan
sanksi pidana, hal ini dilakukan karena kasus pencurian data pribadi yang mengarah
kepada tindak kriminal. Disamping itu penetapan besaran sanksi dapat dirumuskan
dengan kesesuaian kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena
itu penetapan sanksi perlu dilengkapi dengan mekanisme penegakan hukumnya yang
disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesimpulan
Dari
hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa RUU Perlindungan Data
Pribadi memang perlu untuk segerah disahkan mengingat banyak hal yang mendorong
RUU tersebut, diantaranya mengenai peningkatan kasus pembobolan data pribadi,
melindungi dan menjamin hak dasar warga negara, serta agar memberikan kepastian
hukum kepada warga negara. Sehingga dengan adanya RUU Perlindungan Data Pribadi
ini dapat mengakomodir beberapa asas-asas hukum nasional, mulai dari keadilan, kepastian
dan kemanfaatan hukum. Selanjutnya mengenai konsep RUU Perlindungan Data
Pribadi merupakan upaya pemerintahan untuk membangun landasan atau aturan yang
khusus dan komprehensif demi menjaga data pribadi khususnya mengenai hak
privasi masyarakat Indonesia, terlebih lagi tuntutan di era kemajuan teknilogi
membuat kejahatan semakin komplek dan tak terbatas. RUU Perlindungan Data
Pribadi ini disamping mengenai aturan yang khusus dan komprehensif juga dapat
mengharmonisasikan kehadiran undang-undang dari masing-masing sektor kerja
seperti yang terdapat pada undang-undang ITE dan turunannya. Dengan adanya
konsep perlindungan data pribadi ini tentu dapat melindungi data pribadi
individu terhadap penyalahgunaan pengumpulan, khususnya bagi konsumen yang sangat
membutuhkan perlindungan hukum terutama di era dimana data pribadi menjadi
lebih sangat berharga bagi kepentingan bisnis, menimbulkan kekhawatiran bahwa
data pribadi konsumen dijual atau digunakan tanpa adanya persetujuan mereka.
Maka demikian untuk memprioritaskan RUU Perlindungan Data Pribadi segera disahkan.
BIBLIOGRAFI
Area, Universitas Medan. (1997). �Xxvii Universitas Medan Area.�:9�32.
file:///C:/Users/ASUS/Documents/teori kebijakan.pdf.
Bakhri, Syaiful. (2018). Ilmu Negara Dalam
Dalam Pergumulutan Filsafat, Sejarah Dan Negara Hukum. Depok: Raja
Grafindo.
Dewi, Sinta. (2016). Konsep Perlindungan
Hukum Atas Privasi Dan Data Pribadi Dikaitkan Dengan Penggunaan Cloud Computing
Di Indonesia. Yustisia Jurnal
Hukum 5(1): 22�30. Google Scholar
Djafar, Wahyudi, and Asep Komarudin. (2014). Perlindungan Hak
Atas Privasi Di Internet-Beberapa Penjelasan Kunci. Elsam: 2.
https://elsam.or.id/perlindungan-hak-atas-privasi-di-internet-beberapa-penjelasan-kunci/. Google Scholar
Gunakaya, A. Widiada. (2017). Hukum Hak
Asasi Manusia. Yogyakarta: Andi. Google Scholar
Huijbers, Theo. (1982). Filsafat
Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Kanisius. Google Scholar
Jumiati. (2006). Negara Hukum Dan
Hak Asasi Manusia. Jurnal Demokrasi
Vol.V(No.2): 178. Google Scholar
Kania Dewi Andhika Putri, Ridwan
Arifin. (2018). Tinjauan Teoritis Keadilan Dan Kepastian Dalam Hukum Indonesia.
Jurnal Mimbar Yustitia 2(2): 148�49. Google Scholar
Komin. (2021). �Kominfo.�
https://kominfo.go.id/content/detail/35104/ruu-pdp-jamin-perlindungan-data-pribadi-yang-progresif-dan-komprehensif/0/berita_satker.
Kominfo. (2015). Naskah Akademik
RUU Perlindungan Data Pribadi. 116. Google Scholar
Lubis, M. Solly. (2009). Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan. Bandung: Mandar Maju. Google Scholar
M.Wantu, Fence. (2007). Antinomi Dalam
Penegakan Hukum Oleh Hakim. Jurnal Berkala Mimbar Hukum. 19(3): 388. Google Scholar
Marbun, S.F dan Mahfud M.D. (2006). Pokok-Pokok
Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty.
Mario Julyano, Aditya Yuli Setiawan. (2019). Pemahaman
Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum.Jurnal
Crepido 1(1): 13. Google Scholar
Pratiwi, Cekli Setya, Cristina
Yulita, Fauzi, and Shinta Ayu Purnamawati. (2016). Penjelasam
Hukum: Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) Hukum Administrasi. Judicial Sector Support Program: 1�132.
Prayogo, R Tony. (2016). Penerapan Asas
Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak
Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang. Jurnal Legislasi Indonesia
13(2): 194. Google Scholar
Rahardjo, Satjipto. (2000). Ilmu Hukum.
Bandung: Citra Aditya Bhakti.
Rahardjo. (2012). Ilmu Hukum. Bandung: Aditya Bakti. Google Scholar
Sautunnida, Lia, Kanun Jurnal, and
Ilmu Hukum. (2012). Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Yang Mengalami Kerugian
Dalam Transaksi Perbankan Melalui Internet. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum
14(1): 37�52. Google Scholar
Setiadi, H.E. (2017). Sistem
Peradilan Pidana Terpadu Dan Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia,. Jakarta:
Prenada Media. Google Scholar
Sinaga, Erlina Maria Christin. (2020). Formulasi Legislasi
Perlindungan Data Pribadi. Jurnal RechtVinding 9(2): 237�56. Google Scholar
sinta.unud.ac.id. Tinjauan Umum
Tentang Perlindungan Hukum Data Pribadi Dan Gojek. Sinta Unud.
https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1203005305-3-BAB II.pdf.
Suliantoro, Oleh B Wibowo. (2017). Dinamika Arah
Kepastian Hukum Di Tengah Transformasi Sosial-Budaya Dalam Perspektif Pemikiran
Mazhab Sociological Jurisprudence. Jurnal Filsafat 17(1): 15�31. Google Scholar
Syahrani, Riduan. (1999). Rangkuman Intisari
Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Google Scholar
Syarpani. (2014). Tinjauan Yuridis
Terhadap Perlindungan Data Pribadi Di Media Elektronik (Berdasarkan Pasal 25
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Beraja Niti Vol.3(No.6): 7. Google Scholar
Tekno.tempo.co. Pencurian Data Pribadi
Nyata Ini Heboh 11 Serangan Siber Sepanjang 2020. tekno.tempo.co.
https://tekno.tempo.co/read/1417180/pencurian-data-pribadi-nyata-ini-heboh-11-serangan-siber-sepanjang-2020.
Upik Mutiara, Romi Maulana. (2020). Perlindungan
Data Pribadi Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia Atas Perlindungan Diri
Pribadi. Journal of Law and Policy Studies Vol.1(No.1): 47. Google Scholar
Wahyudi Djafar, M. Jodi Santoso. (2019). Perlindungan
Data Pribadi: Konsep, Instrumen, Dan Prinsipnya, Lembaga Studi Dan Advoksi
Masyarakat (ELSAM. Jakarta: ELSAM.
Winarno. (2007). Paradigma
Baru Pendidikan Kewarganegaraan: Panduan Kuliah Di Perguruan Tinggi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Nurmalasari (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |