Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
Vol. 3, No. 7, Juli 2021
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DIBIDANG LINGKUNGAN HIDUP: PEMIDANAAN BERBASIS
KONSERVASI LINGKUNGAN HIDUP
�
Ryan Akbar Fitriadi
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Indonesia
Email: a[email protected]
Abstrak
Peraturan
perundang-undang berfungsi untuk mengatur kehidupan warga negara dalam
menciptakan keamanan dan ketertiban dan juga memiliki hubungan dengan penegakan
hukum terutama dalam penegakan hukum pidana. Permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini, pertama, Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan Hidup Dalam
Perspektif Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kedua,
Bagaimana Sistem Pemidanaan Dalam Tindak Pidana Bidang Lingkungan Hidup Berbasis
Konservasi Lingkungan Hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahaui
pertanggungjawaban dan sistem pemidanaan dalam tindak pidana di bidang
lingkungan hidup berbasis konservasi lingkungan hidup. Penelitian ini merupakan
penelitian hukum yuridis-normatif dengan metode pengumpulan data studi pustaka
dan analisis secara deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian ini yakni, Terdapat
kelemahan norma dan sanksi dalam peraturan lingkungan hidup sebagaimana dalam
UUPPLH Nomor 32 Tahun 2009, yang mana tidak menggambarkan secara jelas mengenai
tujuan pemidanaan yang dapat dijadikan patokan dalam menetapkan sanksi pidana
yang dilandasi dengan ide-ide dasar.
Pengaturan jenis sanksi demikian tanpa pengaturan secara alternative akan
berdampak dalam praktek pemidanaan berupa tuntutan dan penjatuhan pidana umum
sebagaimana diatur dalam KUHP, belum menyentuh tujuan hukum lingkungan itu
sendiri yang mana berfungsi sebagai acuan pemanfaatan dan pencadangan sumber
daya alam serta pelestarian lingkungan hidup.
Kata Kunci: penegakan hukum pidana lingkungan; berbasis konservasi lingkungan hidup
Abstract
The laws and regulations are based on creating the lives of citizens in
the creation of security and order and also the relationship with the law. The
house that was optimized in this study, first, Per deviation of Environmental
Criminal In Perspective of Environmental Protection
and Management Law, Second, How The Criminal System In The Field of
Environmental Crime Conservation of Environment Conservation. This research is ind as an idea to investigate the perkol
and criminalization system in the field of environmental conservation-based
environment. This research is a juridical-normative research with the method of
collecting library study data and descriptive-qualitative analysis. The result
of this study is, elements of norms and in environmental regulations so that in
uupplh No. 32 of 2009, which is not so flat which is
good about the purpose of being a place to live in self-determined criminal
which is with basic ideas. The regulation of what kind of regulation is likely
to have an impact in the practice of criminalization and general criminal
prosecution where in the Criminal Code, not yet the purpose of environmental
law itself which threatens as a reference and backup of natural resources and
the environment.
Keywords: criminal law
enforcement; based on environmental conservation
Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
PPLH) masih belum dikatakan sempurna seperti yang masyarakat ataupun civitas akademisi harapkan, akan tetapi Undang-Undang tersebut merupakan hukum lingkungan yang cukup baik yang dimiliki Indonesia saat ini dikarenakan cukup komprehensif muatannya yang mana mengatur berbagai hal yang mana terkait dengan mengatur berbagai macam upaya-upaya�� berbagai bentuk urusan terkait
lingkungan hidup termasuk perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan sampai dengan penegakan hukum lintas sektor,
yang mana upaya salah satu upaya penegakan hukum tersebut adalah pada upaya penegakan hukum pidana berupa perlindungan
dan kepastian hukum pada lingkungan hidup dengan diaturnya sanksi tambahan berupa pemulihan fungsi lingkungan dan dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 ini juga telah memuat pertanggungjawaban
pidana korporasi (Daniel, Hawari, and Handayani 2020).
Dalam memahami konsep hukum pidana
lingkungan adalah memahami konsep hukum pidana itu
sendiri. Hal ini karena hukum pidana
lingkungan merupakan bagian dari hukum
pidana, sekalipun aspek hukum lingkungan
juga dikaji didalamnnya, Moeljatno dalam (Ali 2020)
mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan
yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi
pidana tertentu bagi siapa saja
yang melanggarnya;
2. Menentukan kapan dan
dalam hal apa kepada mereka
yang telah melakukan larangan- larangan itu dapat dikenakan
atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut.
Penegakan hukum pidana lingkungan
bertujuan untuk mewujudkan undang-undang 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup (UUPLH), maka demikian agar terealisasinya undang-undang
tersebut dapat mengatur berbagai bentuk yang terkait dengan lingkungan hidup
seperti, perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan dan juga terdapat
penegakan hukum lintas, dan tidak kalah penting penggunaan sistem pemidanaan lingkungan
hidup mengacu pada penerapan asas ultimum remedium, pembuktianya pun
tidak perlu lagi memasukkan unsur melawan hukumnya, dan pidana tambahan berupa
penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup (penutupan usaha dan/ atau
kegiatan), serta penerapan sanksi minimum maksimum untuk bertujuan menghindari
adanya disparitas (Raynaldo Sembiring, Marsya M.Handayani 2019).
Kebijakan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara lingkungan
yang mana merupakan penentuan
wewenang yang rasional oleh masyarakat untuk mengcontrol suatu kejahatan,
maka demikian untuk memformulasi suatu kebijakan hukum pidana
tentu mempunyai korelasi terhadap kebijakan sosial, artinya forumulasi kebijakan
hukum pidana tidak terlepas dari kebijakan sosial yang mana harus memadukan
antara penggunaan sarana hukum pidana dan sarana diluar hukum pidana, serta
mempertimbangkan efektivitas dan proporsionalitas terhadap tujuan akhir yang
hendak dicapai. ana lingkungan hidup di Indonesia (Daniel, Hawari, and Handayani 2019).
Jika melihat bentuk sistem pertanggungjawaban
pidana di dalam UUPPLH berdasarkan atas asas kesalahan, disamping itu bentuk
pertanggungjawaban tersebut juga diadobli oleh sistem pertanggungjawaban pidana
korporasi. Beranjak dari sistem pertanggungjawaban pidana yang berdasarkan asas
kesalahan, dimana undang-undang telah merumuskan frasa, seperti �dengan sengaja�, �karena kelalaian�, �melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar�,
�melepaskan dan/atau mengedarkan� dan �melakukan
dumping�. Unsur objektif
yang dirumuskan dengan menggunakan kalimat aktif biasanya mengarah kepada kesengajaan meskipun frasa �dengan sengaja�
tidak dirumuskan secara eksplisit dalam rumusan pasal.
Sementara itu, untuk sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi, bisa dilihat dari
rumusan Pasal 116 (1) UU
PPLH yang menyatakan bahwa �apabila tindak pidana lingkungan
hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas
nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan
kepada (1) badan usaha;
dan/atau (2) orang yang memberi
perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut�(Ali 2020).
Metode
Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach). Bahan hukum dalam
penelitian ini bahan hukum primer yang terdiri dari bahan-bahan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian
ini, yang terdiri dari: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Bahan hukum sekunder yang terdiri dari jurnal,
buku, dan penelitian yang relevan. Bahan hukum tersier berupa kamus hukum. Untuk
menguatkan bahan hukum tersebut. Metode analisis yang digunakan
deskriptif-kualitatif untuk
menjawab rumusan masalah.
Hasil
dan Pembahasan
1.
Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan
Hidup dalam Perspektif Undang � Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Arah dari sistem pemidanaan pada
kejahatan lingkungan tertuju pada upaya untuk menuntun masyarakat, pengusaha,
dan pemerintah agar dapat memelihara lingkungan hidup. Selain dari pada itu,
sistem pemidanaan yang dimiliki UUPPLH tentu mencegah dan menghalangi pelaku yang
melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup (Muhammad Erwin 2015).
Adapun norma baru yang
sangat penting tentang perlindungan hukum atas tiap orang yang memperjuangka
hak atas lingkungan hidup, kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
dan penciptaan delik-delik materiil baru. Pertama, UUPPLH yang secara tegas dan
jelas mengadopsi asas-asas yang terkandung dalam deklarasi Rio 1982, yaitu asas-asas
tanggungjawab negara, keterpaduan, kehati-hatian, keadilan, pencemar membayar,
partisipatif dan kearifan lokal. Kedua, UUPPLH, khususnya dengan
Pasal 66 UUPPLH sangat maju dalam memberikan
perlindungan hukum kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan
hidup dari kemungkinan tuntutan pidana dan perdata. Ketiga, UUPPLH memberikan perubahan dalam bidang kewenangan
penyidikan dalam perkara-perkara lingkungan. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) b Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), penyidik
adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
dan pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu diberikan wewenang khusus oleh Undang-Undang. UUPPLH
merupakan salah satu Undang-Undang sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) yang menjadi dasar bagi keberadaan
PPNS sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal kewenangan Polri selain sebagaimana dirumuskan dalam Pasal kewenangan Polri selain sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP (Joni 2020).
a.
Delik Dalam Tindak Pidana
Lingkungan Hidup.
Pertanggungjawaban pidana
dalam Undang-Undang Lingkungan hidup berupa tanggung jawab mutlat (strick
liability), hal ini dapat ditemukan dalam rumusan redaksional Pasal 88
berbunyi: �Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan
B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggungjawan mutlak atas kerugian yang terjadi
tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan� (Amrani 2019).
Namun demikian, delik
lingkungan yang fleksibel ini ternyata menambrak prinsip asas hukum pidana itu
sendiri
Rumusan delik lingkungan yang fleksibel ternyata melanggar prinsip nullum crime, nulla poena sine lege certa (lex certa) yang menghendaki agar delik dirumuskan secara jelas dan tidak bersifat multitafsir. Rumusan delik yang jelas juga berhubungan dengan
fungsi perlindungan dari asas legalitas
yang bermakna bahwa Undang-Undang pidana melindungi rakyat dari kekuasaan pemerintah tanpa batas. Rumusan delik lingkungan yang jelas (lex certa) selain sebagai perlindungan hukum.
Delik-delik dalam
UUPPLH yang dikategorikan sebagai
administrative dependent of environmental criminal law administrative
dependent crimes awalnya merupakan
pelanggaran administrasi.
Tujuan pecantuman ancaman sanksi pidana dalam
pelanggaran administrasi adalah untuk memperkuat
sanksi adminstratif. Keterlibatan hukum pidana ke dalam
pelanggaran administratif hanya bersifat komplementer karena eksistensinya hanya sebagai penunjang penegakan norma yang ada dibidang hukum
administrasi. Oleh karena itu, hukum pidana
ditempatkan sebagai sarana terakhir (ultimum remidium) dalam upaya menanggulangi
pelanggaran-pelanggaran administratif
tersebut. Hukum pidana baru ditempatkan sebagai primum remedium jika delik yang dilanggar terkait administrative
independent crimes.
Secara normatif, fungsionalisasi hukum pidana sebagai ultimum remedium dalam UUPPLH diatur dalam Pasal 78 dan Pasal 100 ayat (2). Pasal 78 menegaskan bahwa bentuk-bentuk sanksi administratif, seperti terguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan tidak membebaskan penanggungjawan usaha dan/atau kegiatan dari tanggungjawab
pemulihan dan pidana. Dalam konteks delik
lingkungan, penerapan hukum pidana sebagai ultimum remedium diatur dalam Pasal
100 ayat (2) dan hanya berlaku terhadap pelanggaran Pasal 100 ayat (1) yang
menyataka bahwa, �Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu
emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah)�.
Tindak pidana dalam Pasal 100 ayat (1) tersebut hanya dapat dikenakan
apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran
dilakukan lebih dari satu kali. Berdasarkan ketentuan pasal ini, fungsionalisasi
hukum pidana sebagai ultimum remedium dalam UU PPLH hanya dapat diberlakukan
apabila memenuhi tiga syarat, yaitu;
1) hanya berlaku terhadap pelanggaran delik dalam Pasal
100 ayat (1); 2) hanya berlaku apabila sanksi administrartif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi; dan 3) pelaku delik telah
melakukan pelanggaran terhadap delik dalam Pasal 100 ayat (1) lebih dari satu kali. Apabila pelaku baru satu kali melakukan delik tersebut, penyelesaiannya menggunakan mekanisme hukum administrasi (Ali 2020).
secara singkat teori yang mendasari penggunaan primum remedium
pada sebagian besar pasal, dan bagaimana ultimum remedium diakomodir. Sebagaimana dijelaskan bahwa tujuan pemidanaan dalam UU No. 32 Tahun 2009 adalah untuk menimbulkan
efek jera, baik bagi pelaku
maupun masyarakat umum; dan penggunaan ultimum remedium haruslah sesuai dengan tujuan tersebut. Efek jera hanya dapat
ditimbulkan apabila sanksi yang dikenakan pada pelanggar diperberat sehingga sanksi harus lebih besar
daripada kerusakan yang timbul. Dalam hal ini, Naskah Akademis
mengutip Faure dengan rumusan sebagai berikut: (Raynaldo Sembiring, S.H., Yustisia Rahman, S.H., Elizabeth Napitupulu,
S.H., Margaretha Quina, S.H. 2014)
Sanksi = B (Potensi
Bahaya yang Ditimbulkan
� D (Probalitas
dilakukan Deteksi)
Semakin kecil kemungkinan dilakukannya deteksi, maka dibutuhkan
sanksi yang besar. Lebih lanjut, dinyatakan
bahwa sanksi hukum perdata dan administratif tidak cukup memberikan efek jera, terlebih
lagi ditambah dengan kesulitan Indonesia dalam melakukan deteksi terhadap pelanggaran ketentuan lingkungan hidup, baik karena kelemahan
kelembagaan, kekurangan SDM
serta sarana dan prasana lainnya maupun karena masih
dianutnya paradigma pro-pembangunan. Oleh karena
itu, dalam hal potensi bahaya yang besar, maka diperlukan penegakan hukum pidana yang tidak terbelenggu asas ultimum remedium (Raynaldo Sembiring, S.H., Yustisia Rahman, S.H., Elizabeth Napitupulu,
S.H., Margaretha Quina, S.H. 2014).
Namun penting untuk dilihat keterkaitannya,
diaman Pasal 100 terkait sangat erat dengan baku
mutu effluent yang merupakan
instrument pencegahan pencemaran
lingkungan. Baku mutu air limbah, baku mutu
emisi, dan baku mutu gangguan secara
tegas diatur secara kuantitatif dalam perundang-undangan turunan, dan pelanggarannya terlebih dahulu merupakan rezim penegakan hukum administrasi. Sementara itu, Pasal-Pasal pidana yang berdasarkan asas premum remedium
tidak perlu menempuh penegakan hukum administrasi dulu agar dapat ditindaklanjuti (Raynaldo Sembiring, S.H., Yustisia Rahman, S.H., Elizabeth Napitupulu,
S.H., Margaretha Quina, S.H. 2014).
UUPPLH
telah menganut vicarious
liability, yaitu sebuah
bentuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana
dalam sistem hukum anglo saxon
yang tidak mensyaratkan adanya unsur mensrea
atau kesalahan dalam sebuah tindak
pidana. Kalau interpretasi ini yang dianut, maka terjadi penyimpangan
dari asas tiada hukuman tanpa
kesalahan yang dianut hukum pidana di Indonesia. Interpretasi lainnya adalah meski rumusan-rumusan
delik formil dalam UUPPLH mencantumkan secara
tegas unsur mensrea atau kesalahan,
secara tersirat dianggap ada karena
delik-delik itu umumnya terkait dengan perbuatan aktif manusia yang pasti didorong oleh kesadaran alam pikiran si
pelaku, misalkan �memasukan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia�,
�Menyusun Amdal tanpa memiliki
sertifikat kompeten�, �menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi Amdal, RKL-RPL.� (Rahmadi 2019).
Kebijakan peraturan perundang-undangan yang sengaja didesain atau mungkin
juga karena �kelalaian� untuk tidak dapat
efektif mencegah atau menyelesaikan masalah lingkungan. Kelemahan ini dapat
dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang cenderung bersifat pragmatis, rekatif, sectoral, parsial, dan berjangka pendek (Bram 2014).
b.
Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan
Hidup.
UUPPLH
mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana yang berbuat dan bertanggungjawab pidana. Pasal 116 UU PPLH mengatur sistem pemidanaan korporasi yang menyatakan jika tindak pidana lingkungan
hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas
nama badan usaha, tuntutan, pidana dan sanksi pidana dapat
ditujukan kepada:
1.
Badan usaha,
2.
Orang perorangan
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut,
3.
Badan usaha
dan orang perorangan sama-sama
dipidana.
Pasal 117 UU PPLH mengatur
pemberatan pidana terhadap kasus pidana lingkungan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi,
jika tuntutan pidananya diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin
tindak pidana (manusia alamiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b UU PPLH. Jadi, ketika seseorang melakukan tindak pidana lingkungan dan pelaku melakukan tindak pidana tersebut
untuk dan atas nama korporasi, maka pidananya diperberat sepertiga dari ancaman pasal
yang dilanggar.
Menarik dalam pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UUPPLH adaah pengaturan Pasal 118 UUPPLH. Pasal tersebut mengatur bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan kepada badan usaha diwakilkan kepada pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan (pelaku fungsional). Hal itu berarti dalam tindak
pidana lingkungan selalu berakhir pada pemidanaan manusia alamiah saja, walaupun
UU PPLH mengatur tentang pelaku korporasi. Sanksi yang memungkinkan bagi korporasi hanya pidana tambahan
sebagaimana diatur dalam Pasal 119 UUPPLH (Wibisana, 2019).
Rumusan ketentuan pasal 118
UUPPLH mirip dengan
vicarious liability dalam sistem
hukum anglo saxon (Joni 2020)
Dalam
perihal pelaksanaan eksekusi dari putusan
hakim tersebut diserahkan kepada jaksa dengan
berkoordinasi kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 120 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009). Terhadap badan usaha/korporasi yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka
kewenangan pengelolaanya diserahkan kepada pemerintah (Pasal 120 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009) (Muhammad Erwin 2015).
Oleh karena itu, adalah
tepat, apabila jaksa berkoordinasi sebelum melaksanakan eksekusi agar tidak
terjadi tumpang tindih dalam penegakan hukum atau diatuhkan sanksi dua kali untuk
pelanggaran yang sama (Zairin Harahap 2020). Menurut Muladi dalam (Muhammad Erwin 2015), bentuk pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana
lingkungan ini hendaknya memerhatikan pula kecenderungan internasional dengan memerhatikan
hal-hal sebagai berikut :
�
Korporasi mencakup, baik badan
hukum (legal entity) maupun
nonbadan hukum seperti organisasi dan sebagainya;
�
Korporasi dapat bersifat privat (private juridicial
entity) dan dapat pula bersifat
publik (public entity);
�
Apabila diindentifikasikan, bahwa
tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasi,
maka orang alamiah (managers,
agents, employess) dan korporasi
dapat dipidana, baik sendiri � sendiri maupun bersama � sama (bi �
punishment provision);
�
Terdapat kesalahan manajemen
dalam korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of a statutory or regulatory provision;
�
Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan
terlepas dari apakah orang � orang yang bertanggungjawab
di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasi, dituntut dan dipidana;
�
Segala sanksi
pidana dan tindakan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara;
�
Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan peorangan; serta
�
Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memerhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate
executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima oleh korporasi tersebut.
Ketentuan di atas memberikan beberapa implikasi hukum. Pertama, badan usaha tidak bisa lagi
lepas dari tanggungjawab pidana jika melakukan perbuatan atau akibat dari perbuatan
yang memenuhi kualifikasi tindak pidana lingkungan.
Persoalannya adalah apa bentuk tanggungjawan
pidana yang utama terhadap badan hukum. Bukankah sanksi pidana dalam Pasal
119 UUPPLH � 2009 adalah pidana
tambahan, bukan pidana pokok kedua,
sanksi pidana terhadap para pengurus, terutama yang memberi perintah atau pemimpin
tindak pidana dikenakan sanksi pidana yang diperberat dengan sepertiga. Ketentuan ini berimlikasi
bahwa para pengurus bertindak hati � hati agar perusahaan tidak melakukan tindak pidana lingkungan.
Ketiga, pejabat administrasi negara, terutama pemberi izin dan pejabat berwenang di bidang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup wajib melakukan
tugas dan wewenangnya sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini penting, karena pejabat yang bersangkutan selain dapat dikenakan
sanksi administrasi, juga diancam dengan sanksi pidana. Keempat, semua ketentuan tersebut berimplikasi terhadap penguatan penegakan hukum pidana (Akib 2014). Dengan berlakunya UUPLH memungkinkan penjatuhan sanksi hukum pidana terhadap
korporasi termasuk pimpinan perusahaan (factual
leader) atau pemberi perintah lainnya (instruction
giver) dalam lingkungan
korporasi bila terjadi tindak pidana lingkungan (Husin 2014).
c.
Sistem Pemidanaan Dalam Tindak
Pidana Bidang Lingkungan Hidup Berbasis Konservasi Lingkungan Hidup
Untuk merefleksikan peranan pembaruan hukum lingkungan Indonesia dalam mewujudkan tata kelola lingkungan yang baik dalam demokrasi ini, perlu merunut
kembali peristiwa-peristiwa
sejarah yang memperngaruhi perkembangan hukum lingkungan, baik dalam skala global muapun nasional atau domestik. Setidaknya, terdapat empat kelompok besar dari peristiwa
ini, yaitu: 1) Peristiwa internasional dan perjanjian internasional; 2) kebijakan, peraturan perundang � undangan dan peraturan lainnya di level nasional; 3) Landmark cases atau yurisprudensi; serta 4) inisiatif masyarakat sipil atau donor (Margaretha 2014).
Kriminalisasi terhadap
kerusakan/pencemaran lingkungan perlu didasarkan pada model kriminalisasi
berbasis kepentingan dan kerugian lingkungan, yaitu bahaya abstrak
(abstract endangerment), bahaya nyata (concrete endangerment) dan kerusakan/pencemaran lingkungan yang serius (serios
environmental pollution). Model abstract endangerment mengkriminalisasi kerusakan/pencemaran lingkungan secara tidak langsung
yang hanya ditujukan kepada pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban administrasi yang tidak melibatkan kontak langsung antara bahan tercemar dengan lingkungan.
Model
serious environmental pollution sudah melepaskan diri sepenuhnya dari ketergantungan administrasi hukum pidana. Seseorang
sekalipun telah memiliki izin dari
pejabat administrasi, tapi jika perbuatannya
menimbulkan kerugian serius terhadap lingkungan, maka perbuatan tersebut tetap dikategorikan sebagai tindak pidana. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Perkara Lingkungan
Hidup Belum Berorientasi Pada Pemulihan
(Ali 2019).
Sepanjang tahun 2010
sampai 2019 ditemukan setidaknya 8 kasus yang telah berkuatan hukum tetap maupun
belum. Putusan-putusan tersebut dirangkum dalam tabel berikut
ini: (Daniel, Hawari, and Handayani 2020)
Tabel 1
Ringkasan Perkara Pidana
Lingkungan Hidup Korporasi Tahun� 2010 -
2019
No |
Nama
Perkara |
Tindak
Pidana |
Tuntutan
JPU |
Putusan
Hakim |
Durasi |
1 |
PT Adei Plantation 1. 228/Pid. Sus/2013/ PN. Plw tanggal 9 September
2014 2. 286/Pid.Sus/2014/PT. PBR tanggal 9 Januari
2015 2042K/Pid.Sus/2015
tanggal 14 maret 2016 |
Pasal
99 UU 32/2009 |
Pidana denda
Sebesar Rp. 5.000.000.000.00 |
Pidana denda
sebesar Rp. 1.500.000.000.00 subsider 5 bulan kurugan kepada Tan Kei Yoong |
Perkara telah
didaftarkan sejak 24 desmber 2013 dengan durasi 812 hari. |
|
|
|
Pidana Tambahan : Perbaikan akibat
tindak pidana untik memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran lahan seluas
40ha melalui pemberian kompos, dengan biaya sebesar Rp. 15. 794.238. 630.00 |
Pidana
tambahan : Perbaikan
akibat tindak pidana untuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran lahan
seluas 40 ha melalui pemberian kompos, dengan biaya sebesar Rp. 15.141. 826.
779. 325. |
|
2 |
PT.
Albasi Priangan Lestari : 1.
155/Pid.
Sus/2013/ PN. CMS tanggal 4 September 2013 2.
344/Pid/2013/PT
BDG tangga 18 November 2013 3.
814K/Pid.
Sus/2014 tanggal 22 Oktober 2014 |
Pasal
100 UU 32/2009 |
Pidana
denda sebesar Rp. 350.000.000.00 |
Pidana
denda Rp. 1. 000.000.000.00 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak
dibayarmaka sebagian asset/harta PT. Albasi Priangan Lestari, disita dan
dijual lelang untuk sekedar cukup untuk membayar jumlah denda dimaksud |
Perkara
telah didaftar sejak 11 juni 2013 dengan durasi 591 hari. |
|
|
|
Pidana
Tambahan : Perbaikan
akibat tindakan pidana yaitu memperbaiki instalasi Pengelohan Air Limbah
(IPAL) dan pencabutan izin lingkungan |
Pidana
Tambahan : Memperbaiki
kinerja instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sehingga air limbah yang
dibuang ke media lingkungan sudah memenuhi ketentuan baku mutu. Memeriksa
kadar parameter baku mutu air limbah cair secara periodic, sekurangnya sekali
dalam sebulan atas biaya perusahaan pada laboratorium rujukan; Menyampaikan
laporan tentang debit harian kadar parameter baku mutu limbah cair, produkti
dan atau bahan baku bulanan senyatanya sekurang � kurangnya tiga bulan sekali
kepada walikota banjar dengan tembusan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup. |
|
3 |
PT
Kalesta Alam : 1.
131/Pid.B/2013/PN.MBO
tanggal 15 juli 2014 2.
201/PID/2014/PT
BNA tanggal 19 november 2014 3.
155K/Pid.Sus/2015
tanggal 5 April 2016 |
Pasal
108 UU 32/2009 |
Pidana
denda sebesar Rp. 3.000.000.000.00 |
Pidana
denda sebesar Rp. 3.000.000.000.00 |
Perkara
telah didaftarkan sejak 27 september 2013 dengan durasi 922 hari. |
4 |
PT
Koyama Casting Indonesia : 1.
89/Pid.Sus/2014/PN.Krw
tanggal 15 Desember 2014 2.
112/Pid.Sus/2015/PT.bdg
tanggal 20 mei 2015 3.
2560K/Pid.Sus.LH/2015
tanggal 12 mei 2016 |
Pasal
103 UU 32/2009 |
Menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa shigemi koyama dengan pidana penjara selama 2 tahun
penjara dengan perintah agar terdakwa ditahan dan membayar denda sebesar Rp.
1.000.000.000.00 subsidair 6 bulan kurungan |
Pidana
denda sebesar Rp. 1.000.000.000.00 dengan ketentuan tersebut tidak dibayar
diganti dengan perampasan aset PT KCI oleh Penuntut Umum untuk dijual lelang
menutupi denda sejumlah tersebut |
Perkara
telah didaftarkan sejak 4 april 2014 dengan durasi 770 hari. |
|
|
|
|
Pidana
tambahan : Memerintahkan
kepada terdakwa PT KCI melakukan pengelolaan limbah dengan badan usaha yang
mempunyai izin dalam pengelolaan limbah |
|
5 |
PT
Karawang Prima Sejahtera Steel 1. 434/Pid.B/2011/ P.Krw.� tanggal 09 Februari 2012 2. 170/Pid.Sus/2012/PT.bdg tanggal 28 mei 2012 3. 1405K/Pid.Sus/2013 tanggal 20 januari 2014 |
Pasal
99 ayat (1) UU 32/2009 |
Pidana
penjara selama 5 bulan dan pidana denda Rp. 1.000.000.000.000.00 subsidair 6
bulan kurungan |
Pidana
denda sebesar Rp. 5.00.000.000.00 |
Perkra
didadftarkan sejak 9 fenruari 2012 dengan durasi 713 hari (dari putusan
tingkat pertama) |
|
|
|
Pidana
tambahan : Menjatuhkan
pidana tambahan beruoa perbaikan akibat tindak pidana yang dalam
pelaksanaannya dalam pengawasan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Karawang |
|
|
6
|
PT
Platindo Agro Subur : 1/Pid.Sus
� LH/2016/PN Rta tanggal 26 juli 2016 |
Pasal
99 ayat (1) UU 32/2009 |
Pidana
denda sebesar Rp. 2.000.000.000.00 apabila pidana dengan tidak dibayar maka
harta kekayaan/aset korporasi dirampas sesuai peraturan perundang � undangan
yang berlaku |
Pidana
denda Rp. 1.500.000.000.00 |
Perkara
telah didaftarkan sejak 28 maret 2016 dengan durasi 120 hari |
|
|
|
Pidana
tambahan: Pewajiban
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak yaitu melengkapi sarana dan
prasarana pencegahan kebaran hutan dan/atau lahan yang memadai serat memperbaiki
managemen sumber daya manusia terkait pencegahan kebakaran lahan/hutan dan
membuat dan merevisi laporan terkait lingkungan hidup yang menjadi kewajiban
terdakwa |
Pidana
tambahan : Menjatuhkan
pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa pewajiban mengerjakan apa
yang di lalaikan tanpa hak |
|
7 |
PT
National Sago Prima: 1.
547/Pid.Sus/2014/PN.Bls
tanggal 19 januari 2015 2.
27/Pid.Susu/2015/PT
PBR tanggal 1 juni 2015 |
Pasal
99 ayat (1) UU 32/2009 |
Pidana
denda sebesar Rp. 5.000.000.000.00 |
Pidana
denda sebesar Rp. 2.000.000.000.00 |
Perkara
telah didaftarkan sejak 26 november 2014 dengan durasi 186 hari |
|
|
|
Pidana
tambahan : Perbaikan
akibat tindak pidana untuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran lahan
dengan biaya sebesar Rp. 1.046.018.923.000.00 |
Pidana
tambahan : Kewajiban
melengkapi sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran sesuai dengan
petunjuk standarisasi sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan
dengan pengawasan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kepualauan Meranti jangka
waktu 1 tahun |
|
8 |
PT.
Surya Panen Subur : 1.
54/Pid.Sus/2014/PN
MBO tanggal 25 januari 2016 2.
61/Pid.Sus/2016/PT
BNA tanggal 12 juli 2016 3.
267K/Pid.Sus/2016
tanggal 9 oktober 2017 |
Pasal
108 UU 32/2009 |
Pidana
denda sebesar Rp. 3.000.000.000.00 |
Perkara
telah didaftarkan sejak 7 mei 2014 dengan durasi 631 hari |
|
Data tabel 1 menunjukan
bahwa penegakan hukum lingkungan hidup khususnya pertanggungjawaban korporasi
memakan waktu yang lama dan belum berorientasi pada pemulihan. Selain itu,
hanya 1 dari 8 perkara yang dijatuhkan sanksi pidana tambahan pemulihan kepada
terpidana, 1 perkara sudah dijatuhkan pemulihan dalam perkara perdatanya ( PT
Kalista Alam), dan 4 perkara dijatuhkan sanksi pidana tambahan pemberian
kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak. Sanksi denda yang
dijatuhkan pada terpidana lingkungan hidup memang sangat besar, rata-rata dari
kedelapan kasus tersebut adalah Rp. 1.500.000.000.00, hal ini mengingat ancaman
pidana yang tinggi dalam undang-undang karena dampak pencemaran atau kerusakan
lingkungan hidup yang ditimbulkan juga besar. Namun perlu digarisbawahi bahwa sanksi
pidana tidak dapat digunakan untuk pemulihan lingkungan hidup yang tercemar
atau rusak, melainkan hanyalah penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada
kejaksaan. Pengelolaan nya pun dilakukan oleh menteri. Pencemaran atau
kerusakan lingkungan hidup yang berlangsung terus pun dapat menyebabkan
kerugian ekologis dan ekonomi (interim loss) yang tidak sedikit.
Singkatnya, penegakan hukum pidana korporasi dalam perkara lingkungan hidup
belum berorientasi pada pemulihan (Daniel, Hawari, and Handayani
2019).
1)
Teori Pemidanaan Berbasis Konservasi Lingkungan Hidup
Secara teoritik penentuan
jenis pidana (straf sort), berat/bobot/lamanya pidana (straf maat)
serta aturan pelaksanaan pidana (straf modus) harus didasarkan pada
teori pemidanaan yang digunakan. Artinya, penggunaan teori tertentu berimplikasi
pada penentuan ketiga hal tersebut. Teori pemidanaan yang sesuai sistem
pemidanaan dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup adalah teori
pencegahan/penangkalan (deterrence).
Berdasarkan uraian diatas,
teori pencegahan digunakan sebagai basis teoritis sistem pemidanaan berbasis
konservasi lingkungan hidup didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, dampak
dan kerugian akibat tindak pidana lingkungan hidup sangat besar. Lingkungan
hidup yang tercemar dan/atau rusak dapat mengakibatan terganggunya keseimbangan
alam. Hal ini karena salah satu premis teori pencegahan adalah ancaman pidana
lebih berat dari seriusitas tindak pidana.
Kedua, tindak pidana bidang
lingkungan hidup dapat menimbulkan kerugian materiil tidak hanya bagi negara
namun juga bagi masyarakat baik yang secara langsung atau tidak langsung
terkena dampak. Lingkungan hidup yang tercemar dan/atau rusak harus diperbaiki
dan diperbaharui sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya seperti sebelum
terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Upaya pemulihan dan
pelestarian lingkungan hidup tersebut membutuhkan biaya. Jadi, ketika terjadi
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
Ketiga, motivasi pelaku
tindak pidana bidang lingkungan hidup yang didasarkan pada kalkulasi untung rugi.
Dengan kata lian, orientasi pelaku ketika ketika melakukan suatu perbuatan yang
dilarang semata-mata didasarkan pada upaya
untuk mendapatkan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya. Tiap-tiap
individu memilih apakah melakukan tindak pidana ataukah tidak melakukan tindak
pidana.
Keempat, tindak pidana
bidang lingkungan hidup seringkali dilakukan oleh orang yang bertindak untuk
atau atas nama korporasi. Pada kasus- kasus tindak pidana lingkungan yang
dilakukan oleh korporasi, pertanyaan yang timbul adalah apakah perusahaan,
pekerja atau keduanya yang harus dikenakan pidana? Sebuah pertanyaan penting
dalam doktrin hukum pidana menyatakan bahwa sanksi pidana dalam praktiknya seharusnya
dijatuhkan kepada korporasi.
Tindak pidana lingkungan
yang dilakukan oleh badan usaha bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Jadi, pidana
harus menjadikan tindak pidana lingkungan menjadi lebih mahal (dari segi biaya)
sehingga dapat mengurangi jumlah tindak pidana lingkungan. Hal ini disebabkan
karena ketika pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana dapat menghambat
diperolehnya keuntungan dari hasil tindak pidana tersebut oleh pelaku, pelaku
tidak jadi melakukan tindak pidana (pidana berfungsi sebagai pencegah
dilakukannya suatu tindak pidana) �(Ali and Elvany 2014).
2)
Bentuk dan Jenis Pemidanaan Berbasis Konservasi Lingkungan
Hidup
Bagian penting dalam sistem
pemidanaan adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaannya akan memberikan arah
dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu
tindak pidana untuk menegakkan berlakunya norma. Penentuan jenis pidana,
penjatuhan dan pelaksanaan pidana berhubungan erat dengan tujuan pemidanaan.
Masalah penetapan penetapan sanksi dalam hukum pidana, apapun jenis dan bentuk
sanksi apa yang paling tepat bagi pelaku kejahatan. Selain itu, sanksi yang
diajtuhkan harus berorientasi sama dengan orientasi tindak pidana yang
dilakukannya sehingga tujuan pemidanaan dapat tercapai. Peranan pidana dalam
hukum lingkungan adalah sebagai daya paksa berupa injunction (untuk
pemulihan lingkungan hidup) dan remedy (ganti rugi).
Peraturan perundang-undangan
di bidang lingkungan hidup dibentuk dengan tujuan membela kepentingan
lingkungan hidup, dan konsekuensinya, penegakannya juga seharusnya bertujuan
untuk melindungi lingkungan hidup. Sanksi pidana sebagai salah satu sanksi yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan bidang lingkungan
hidup harus ditetapkan dengan tujuan melindungi lingkungan hidup.
Sekalipun penjatuhan pidana
penjara dimungkinkan bagi pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup,
namum pidana denda lebih diutamakan karena memiliki karakter yang ekonomis.
Selain itu, kedudukan sanksi keuangan lebih tinggi dari sanksi non keuangan
sehingga sanksi non keuangan seharusnya tidak digunakan kecuali sanksi keuangan
tidak dapat melakukan pencegahan dengan baik. Sanksi non keuangan baru dibutuhkan
untuk mencegah terjadinya tindak pidana ketika sanksi keuangan tidak cukup
untuk tugas tersebut.
Masalahnya adalah denda
dalam Undang � Undang bidang lingkungan hidup dibayarkan kepada negara tanpa
ada kejelasan dan jaminan penggunaan denda yang dibayarkan oleh pelaku tindak
pidana digunakan untuk konservasi lingkungan hidup atau tidak. Oleh karena itu,
seharusnya ada klausul yang dapat menjamin penggunaan denda untuk membiayai
konservasi lingkungan hidup, misalnya diatur dalam peraturan pemerintah sebagai
aturan pelaksana dari Undang-Undang di bidang lingkungan
hidup.
Dalam beberapa Undang-Undang
dibidang lingkungan hidup, hakim dapat menjatuhkan tindakan langsug kepada
pencemar yang dihukum, seperti kewajiban memperbaiki kerusakan yang telah dilakukannya.
Pelaku tindak pidana pencemar air sungai jika dijatuhi pidana berupa memulihkan
air sungai ke kondisi semula sebelum terjadinya pencemaran, ia dapat mengetahui
betapa sulitnya mengembalikan kondisi air sungai ke keadaan semula. Ia juga dapat
mengetahui rusaknya ekosistem air sungai secara langsung, seperti banyak ikan
yang merupakan sumber penghasilan warga mati (Ali and Elvany 2014).
UU Konservasi-90 ditegaskan
bahwa keberhasilan konsep ini ditentukan oleh tiga sasaran utama, yaitu:1)
Apabila dapat menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem
penyangga kehidupan; 2) apabila dapat menjamin terpeliharanya keanekaragaman
sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya; dan 3) Apabila dapat mengendalikan
cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya (Silalahi 2014).
3)
Aturan Pelaksanaan Pemidanaan Berbasis Konservasi Lingkungan
Hidup
Dalam hal mekanisme
pengaturan pidana denda. Pidana denda atau sanksi tindakan yang diatur dalam
Undang � Undang di bidang lingkungan hidup membutuhkan suatu aturan pelaksanaan
sanksi agar tetap menjamin pelaksanaan konservasi lingkungan hidup oleh pelaku tindak
pidana meskipun pidana denda atau sanksi tindakan tidak dapat dibayar. Aturan
pelaksanaan pidana dapat berupa perampasan aset bagi pelaku tindak pidana
berupa badan usaha yang berbadan hukum, perampasan kekayaan dan dipailitkan
bagi pelaku berupa badan usaha yang tidak berbadan hukum, serta pidana penjara
bagi pelaku orang perorangan.
Pertama, aturan pelaksanaan
pidana berupa perampasan aset berlaku bagi pelaku tindak pidana berupa badan
usaha berbadan hukum, seperti perseroan terbatas dan yayasan yang tidak dapat
membayar pidana denda. Aset di sini adalah kekayaan perusahaan baik berupa
benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Aset tersebut berasal dari modal
yang di setor, dana cadangan, dan yang berasal dari hasil usaha perusahaan (keuntungan)
yang bukan dividen (keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada para pemegang
saham).
Modal yang disetor merupakan
modal perseroan berupa sejumlah uang tunai atau bentuk lainnya yang diserahkan
para pendiri kepada kas perseroan pada saat perseroan didirikan. Dana cadangan
merupakan sisa saham yang belum diambil dan menjadi saham simpanan atau saham
tambahan modal, sehingga dapat dikeluarkan saham simpanan. Badan usaha
melakukan kegiatannya demi mendapatkan keuntungan, tapi tidak semua keuntungan
perusahaan dibagikan kepada para pemegang saham. Pembagian keuntungan tersbut
dibahas dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Keuntungan perusahaan yang
disetujui oleh RUPS untuk dibagikan kepada para pemegang saham disebut dengan
dividen. Keuntungan yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham menjadi
aset perusahaan. Jadi, aset perusahaan yang dapat dirampas, baik berupa benda
bergerak maupun benda tidak bergerak, berasal dari dana yang disetor, dana
cadangan dan keuntungan non-dividen.
Kedua, aturan pelaksanaan pidana
berupa perampasan kekayaan berlaku bagi pelaku tindak pidana berupa badan usaha
yang tidak berbadan hukum, seperti persekutuan firma dan persekutuan
komanditer. Ketika badan usaha tersebut dijatuhi pidana denda, sedangkan
hartanya tidak cukup untuk membayar denda tersebut, para pemilik (sekutu) badan
usaha bertanggungjawan untuk membayar sisa denda yang belum dibayar dengan
harta kekayaan pribadi masing-masing secara tanggung renteng.
Aturan ini berlaku bagi badan usaha berbentuk firma. Jika badan usaha berbentuk
persekutuan komanditer, maka sekutu pasif hanya bertanggungjawab sebatas modal
yang disetornya, sedangkan sekutu aktif bertanggungjawab secara pribadi secara
keseluruhan. Jadi dalam persekutuan komanditer pihak yang bertanggungjawab
untuk melunasi denda tersebut adalah sekutu aktif. Sedangkan sekutu pasif
beratnggungjawab sebatas modal yang disetor.
Ketiga, pailit. Ia merupakan
keadaan dimana suatu perusahaan sudah berada dalam keadaan berhenti membayar
atau sudah tidak mampu lagi membayar utang-utangnya sehingga
dijatuhi putusan pernyataan pailit dan penundaan pembayaran oleh pengadilan
niaga baik atas permohonan kreditor maupun debitor atau pihak lainnya yang ditentukan
oleh Undang -Undang No.37 Tahun 2004
tentang Kepailitan. Kepailitan adalah suatu sita umum yang bersifat
konservatoir atas semua kekayaan debitor yang dinyatakan pailit. Pihak yang
dinyatakan pailit kehilangan penguasaan terhadap harta benda yang ia miliki.
Suatu badan usaha, baik
badan usaha berbadan hukum maupun badan usaha tidak berbadan hukum, yang tidak
dapat membayar pidana denda yang dikenakan terhadapnya dapat dimohonkan untuk
dipailitkan ke Pengadilan Niaga. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang
Kepailitan, salah satu pihak yang dapat mengajukan permohonan kepailitan
tersebut adalah kejaksaan negeri. Apabila permohonan kepailitan tersebut
dikabulkan, badan usaha tersebut demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai
dan mengurus harta kekayaan yang ia miliki. Kekayaan tersebut menjadi harta
pailit (boedel pailit).
Keempat, aturan pelaksanaan
pidana denda berupa pidana penjara diberlakukan kepada orang perorangan yang
tidak dapat membayar denda keseluruhan. Pidana penjara ini dijatuhkan kepada pengurus
perusahaan dalam hal tindak pidana dilakukan oleh badan usaha berbadan hukum
atau tidak berbadan hukum atau pihak lain yang menurut anggarasan
dasar/anggaran rumah tangga perusahaan bertanggungjawab mewaikili perusahaan
dalam perkara pidana. Pidana penjara juga dijatuhkan kepada orang perorangan
yang melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup �(Ali and Elvany 2014).
Dengan demikian, dalam UUPPLH perlu diatur secara khusus
dan tegas mengenai tujuan pemidanaan yang secara subtitutif mengintegrasikan tujuan pemidanaan perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dengan tujuan spesifik
hukum lingkungan yang kesemuanya memberi landasan bagi pnetuan
dan penerapan sanksi pidana alternative untuk tujuan pelestarian fungsi lingkungan guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan sejalan dengan precautionary principle, pertanggungjawaban korporasi secara tersendiri, serta vicarious liability
yang pada akhirnya tujuan pemidanaan guna mempertahankan pelestarian lingkungan hidup. Mekanisme dan jenis sanksi pidana perlu diatur
dalam UUPPLH Nomor 32 Tahun 2009 sebaiknya tidak lagi hanya satu jenis yang
bersifat imperatif kumulatif yaitu pidana penjara dikumulasikan dengan denda
untuk semua jenis tindak lingkungan hidup dan dapat dikenakan pidana
tambahan� atau tindakan tata tertib,
namun perlu diatur pidana alternatif yang lebih menekankan pada aspek ganti
kerugian dan denda, dalam melakukan perbuatan yang sifatnya mengembalikan atau
pemulihan kelestarian fungsi lingkungan serta tata tertib dalam tindak pidana
lingkungan hidup dimasa yang akan datang sesuai dengan perkembangan pidana
modern generasi ke empat, serta sesuai dengan sanksi denda dan ganti rugi yang
lebih ditonjolkan dalam penindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dalam
kearifan lokal (hukum adat) yang masih berlaku di Indonesia. Untuk mengisi kekosongan hukum harapannya Mahkamah Agung RI dengan kewenangan rule power yang dimilikinya
perlu membuat pedoman pemidanaan yang jelas sebagai kompas
barometer, katalisator bagi
hakim dalam menerapkan peraturan pidana lingkungan sehingga dapat emnjatuhkan pidana tersebut agar lebih adil, manusiawi,
relative sesuai dengan keslahan pelaku tindak pidana, serta sekaligus guna menghindari putusan yang sangat mencolok. Serta tidak kalah penting perlu
meningkatkan integritas
moral dan pemahaman konfrehensif
bagi aparatur penegak hukum khsusnya
yang mengenai hakikat hukum lingkungan dengan tujuan pemidaan
dan pedoman pemidanaan. Pelaksanaan
eksekusi perkara lingkungan perlu melibatkan berbagai instansi terkait dan ahli, terutama dalam pencarian aset dan tindak pemulihan lingkungan. Dalam tindakan pemulihan perlu dibuat rencana
pemulihan secara konkret dan valid serta ketika pembayaran denda ganti rugi dan
biaya pemulihan lingkungan tidak dimasukkan dalam rekening kas negara, akan
tetapi dibuat rekening khusus dan dipakai untuk penyelamatan kelestarian
kepentingan lingkungan. Apabila uang ganti rugi pemulihan dimasukan ke dalam
kas negara hal tersebut tidak memihak pada kelestarian lingkungan hidup karena yang terdampak dan rugi secara langsung itu bukan keuangan
negara akan tetapi lingkungan hidup. Setiap langkah penegakan hukum dalam perkara
lingkungan hidup wajib dilakukan terobosan hukum dengan cara melakukan
Judicial Activism.
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan
diatas dapat disimpulkan bahwa, terdapat kelemahan
norma dan sanksi dalam peraturan lingkungan hidup sebagaimana dalam UUPPLH Nomor 32 Tahun 2009, yang mana tidak menggambarkan secara jelas mengenai
tujuan pemidanaan yang dapat dijadikan patokan dalam menetapkan
sanksi pidana yang dilandasi dengan ide � ide dasar. Dalam hal ini, sangat sulit
melihat koherensi tujuan pemidanaan dengan tujuan pelestarian
fungsi lingkungan hidup. Selanjutnya
sanksi pidana yang diatur dalam UUPPLH Nomor 32 tahun 2009, hanya satu jenis yaitu
pidana penjara dikumulasikan dengan denda diterapkan terhadap semua jenis
tindak pidana lingkungan hidup dan dapat dikenakan pidana tambahan atau
tindakan tata tertib apabila tindak pidana dilakukan oleh badan usaha
(korporasi). Pengaturan
jenis sanksi demikian tanpa pengaturan secara alternative akan berdampak dalam praktek pemidanaan
berupa tuntutan dan penjatuhan pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP, belum menyentuh tujuan hukum lingkungan
itu sendiri yang mana berfungsi sebagai acuan pemanfaatan dan pencadangan sumber daya alam serta
pelestarian lingkungan hidup sehinga pemanfaatan
sumber daya alam dapat berjalan
secara berkelanjutan.
BIBLIOGRAFI
Akib, Muhammad.
2014. Hukum Lingkungan Persfektif Global Dan Nasional. Jakarta: Rajawali
Pers.Google Scholar
Ali, Mahrus. 2019. Overcriminalization,
Teori, Dampak & Pencegahan. Yogyakarta: FH UII Press. Google Scholar
Ali, Mahrus.
2020. Hukum Pidana Lingkungan. Depok: Penerbit Rajawali Pers.
Ali, Mahrus, and Ayu
Izzan Elvany. 2014. Hukum Pidana Lingkungan: Sistem Pemidanaan Berbasis
Konservasi Lingkungan Hidup. UII Press. Google Scholar
Amrani, H. 2019. Politik
Hukum Pembaharuan Hukum Pidana. Yogyakarta: UII Press.
Bram, Deni. 2014. Politik
Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup. Malang: Setara Press. Google Scholar
Daniel, Deni, Azam
Hawari, and Marsya Mutmainah Handayani. 2019. �Reorientasi Penegakan Hukum
Pidana Lingkungan Hidup Melalui Perjanjian Penangguhan Penuntutan.� Jurnal
Hukum Lingkungan Indonesia 6(1): 72�96. Google Scholar
Daniel, Deni, Azam
Hawari, and Marsya Mutmainah Handayani.. 2020. �Reorientasi Penegakan Hukum
Pidana Lingkungan Hidup Melalui Perjanjian Penangguhan Penuntutan.� Jurnal
Hukum Lingkungan Indonesia 6(1): 72�96. Google Scholar
Husin, Sukanda.
2014. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Google Scholar
Joni. 2020. Aspek
Pidana Dan Ganti Rugi Pencemaran Lingkungan Lintas Negara. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Google Scholar
Margaretha, Mas
Achamad Santosa &. 2014. �Hukum Lingkungan.� Quina,Jurnal Vol(Issue
1).
Muhammad Erwin.
2015. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Di Indonesia. Bandung: Rafika Aditama. Google Scholar
Rahmadi, Takdir.
2019. Hukum Lingkungan Di Indonesia. Depok: Rajawali Pers. Google Scholar
Raynaldo Sembiring,
Marsya M.Handayani, Boy Even Sembiring. 2019. �Rkuhp : Melemahkan Gakkum
Pidana Lingkungan.� In Icel.
Raynaldo Sembiring,
S.H., Yustisia Rahman, S.H., Elizabeth Napitupulu, S.H., Margaretha Quina,
S.H., Rika Fajrian. 2014. Anotasi Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: ICEL.
Silalahi, M. Daud. 2014. Hukum
Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: PT
Alumni. Google Scholar
Wibisana, Laode M.Sayrif
& Andri G. Hukum Lingkungan, Teori, Legislasi Dan Studi Kasus.
Zairin Harahap. 2020. Penegakan
Hukum Lingkungan. Yogyakarta: UII Press.
Ryan Akbar
Fitriadi (2021) |
First publication right : |
This article is licensed under: |