Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
Vol. 3, No. 7, Juli 2021
KONSEP KEADILAN RESTORATIF DALAM
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI MASA PANDEMI COVID 19
Muhammad Rafi Urrutab
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penegakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat memiliki arti yang sangat penting dalam upaya membangun
peradaban bangsa yang tinggi dan bermartabat. Hal ini berkaitan erat
dengan kondisi pandemi covid 19 yang masih terus meningkat dan menimbulkan banyak korban. Tidak hanya korban jiwa, tetapi juga berpengaruh pada aspek lainnya seperti
kehidupan ekonomi, sosial masyarkat, pendidikan, sampai pada aspek keagamaan. Sejalan dengan hal itu, melalui
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, instansi kejaksaan berupaya untuk mengedapankan nilai-nilai keadilan dalam uapaya menghasilkan
produk hukum yang lebih berkeadilan dengan memerhatikan kondisi dari para pihak terutama korban dan pelaku kejahatan sehingga jalur pidana bukan satu-satunya
jalan utama yang ditempuh. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji
beberapa rumusan permasalahan diantaranya adalah bagaimana konsep keadilan restoratif dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif serta urgensinya dalam penegakan hukum pidana di masa pandemi Covid 19. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis-normatif dengan metode pengumpulan
data yaitu studi pustaka dan analisis secara deskriptif-kualitatif dengan pendekatan filosofis yuridis. Kesimpulan penelitian ini yaitu secara muatan
hukum, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sudah cukup memenuhi
aspek keadilan serta memenuhi prinsip-prinsip umum keadilan restoratif. Namun demikian, perlu adanya beberapa
perbaikan seperti penjelasan terkait konteks kasuistik dalam Pasal 5 dan impelementasi peraturan bagi aparat penegak
hukum agar senantiasa mengedepankan hati nurani sehingga penegakan hukum di Indonesia kedepan semakin baik serta mampu
mengembalikan kepercayaan publik dalam upaya
penegakan hukum dan keadilan. Selain itu, di tengah masa pandemi, konsep ini sejalan
dengan aturan pemerintah dalam upaya menanggulangi pandemi covid 19 sehingga tidak semua kejahatan
harus diselesaikan secara pidana sebagaimana
kondisi lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang sudah
melebihi kapasitas.
Kata Kunci: keadilan restoratif; peraturan; kejaksaan; urgensi; Covid 19
Abstract
The enforcement of justice in social life has a
very important meaning in an effort to build a high and dignified nation's
civilization. This is closely related to the condition of the COVID-19 pandemic
which is still increasing and causing many victims. Not only casualties, but
also affects other aspects such as economic life, social life, education, to
the religious aspect. In line with this, through the Regulation of the Attorney
General of the Republic of Indonesia Number 15 of 2020 concerning Termination
of Prosecution Based on Restorative Justice, the prosecutor's office seeks to
promote the values of justice in an effort to produce legal
products that are more just by taking into account the conditions of the
parties, especially victims and perpetrators of crime so that the criminal
route is not the only way to go. Therefore, this study will examine several
formulations of the problem including how the concept of restorative justice in
the Republic of Indonesia Prosecutor's Regulation Number 15 of 2020 concerning
Termination of Prosecution Based on Restorative Justice and its urgency in
criminal law enforcement during the Covid 19 pandemic. This research is a
juridical law research. -normative data collection method, namely literature
study and descriptive-qualitative analysis with a juridical philosophical
approach. The conclusion of this study is that in terms of legal content, the
Regulation of the Attorney General of the Republic of Indonesia Number 15 of
2020 concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice is
sufficient to meet the aspects of justice and meet the general principles of
restorative justice. However, some improvements are needed, such as an
explanation related to the casuistic context in Article 5 and the implementation
of regulations for law enforcement officers to always prioritize conscience so
that law enforcement in Indonesia will be better in the future and able to
restore public trust in law enforcement and justice. In addition, in the midst
of a pandemic, this concept is in line with government regulations in an effort
to overcome the covid 19 pandemic so that not all crimes must be resolved
criminally as the conditions of prisons in Indonesia have exceeded their
capacity.
Keywords: restorative justice; regulations;
attorney; urgency; Covid 19
Pendahuluan
Gejala dari pandemi Covid 19 menimbulkan masalah di
berbagai sektor seperti pengangguran akibat lonjakan pemutusan hubungan kerja
(PHK), kelangkaan pangan dan naiknya harga pangan, serta diferensiasi distribusi
bantuan pangan tidak merata. Hal ini memicu rantai endemik
kriminalitas atau impresi kriminal dari dan untuk manusia. Salah satu kejahatan
yang muncul di masa pandemi
Covid 19 ini adalah meningkatnya tindak kejahatan yang pada dasarnya hanya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari (Burhanuddin, Massi, Thahir, Razak, & Surungan, 2020).
Pandemi Covid 19 mengakibatkan
ekonomi kian tergerus. Hal ini memengaruhi kehidupan masyarakat terutama keluarga yang secara ekonomi kurang mampu dan pekerjaannya terganggu dengan adanya pandemi Covid 19. Selain itu, secara psikologis
massa, kondisi yang semakin buruk ini
memberi dampak timbulnya gejolak feeling the
heat yaitu perasaan atau situasi yang tidak nyaman dari
kondisi ekstrim tersebut sehingga seseorang bisa melakukan tindakan kekerasan pada siapapun terutama pada orang terdekatnya
dan dianggap lemah. Hal ini sejalan dengan
pendapat Filsuf Plato yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki jiwa tripartit. yaitu, Pikiran (logistikon), perasaan dan nafsu (epitlzumetikon),
rasa baik dan jahat (thumoeides) (Gani et al., 2020).
Dikutip dari laman (vivanews.com, 2020),
Mabes Polri memperbarui data angka kriminalitas di seluruh
wilayah Tanah Air pada periode Minggu ke-23 dan 24 pandemi Covid-19.
Disampaikan bahwa angka kriminalitas di Indonesia pada
Minggu ke-24 dibandingkan dengan pekan ke-23 mengalami kenaikan yang signifikan. Berdasarkan data
statistik yang dicatat kepolisian bahwa Minggu ke-23 dan ke-24 terjadi kenaikan
gangguan Kamtibmas sebesar 38,45 persen atau mengalami kenaikan sebanyak 1.632
kasus. Selain itu, mengutip dari
laman (jawapos.com, 2020), Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes
Pol. Yusri Yunus menyatakan terjadi
peningkatan kejahatan IT seperti hoax, penebar kebencian, menyebarkan berita bohong tentang
Covid-19. Melihat dari data
dan informasi ini, perlu adanya upaya
penanggulangan kejahatan yang
memerhatikan aspek kemanusiaan terutama ketika masa pandemi Covid 19. �
Dengan diberlakukannya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada tanggal 22 Juli 2020 sejatinya menjadi suatu terobosan
hukum dalam upaya mewujudkan keadilan substantif terutama menghadapi tingkat kriminalitas yang meningkat di masa pandemi.� Maka dari itu, dalam penelitian
ini akan dikaji terkait bagaimanakah konsep keadilan restoratif dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif ini serta urgensinya
dalam penegakan hukum pidana di masa pandemi Covid 19.
Metode
Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis-normatif dengan metode pengumpulan
data yaitu studi pustaka dan analisis secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan filosofis yuridis. Bahan
hukum dalam penelitian ini bahan hukum primer yang terdiri dari bahan-bahan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai
dalam rangka penelitian ini, yang terdiri dari: Undang�Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Bahan hukum sekunder
yang terdiri dari jurnal, buku, dan penelitian yang relevan. Bahan hukum
tersier berupa kamus hukum. Untuk menguatkan bahan hukum tersebut. Metode
analisis yang digunakan deskriptif-kualitatif untuk menjawab rumusan masalah.
Hasil dan Pembahasan
1.
Penegakan Hukum dan Konsep Keadilan Restoratif
Sistem hukum merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang
saling berinteraksi dan bekerja sama satu dengan yang lain untuk mewujudkan suatu
tujuan. Sebagai suatu sistem, di dalam hukum tentunya memiliki komponen/ sub
sistem yang saling berkaitan sehingga terbentuk suatu sistem. Hukum pidana
Indonesia mengenal sub sistem hukum pidana materiil, sub sistem hukum pidana
formil dan sub sistem hukum pelaksanaan pidana (Bakhri, 2014). Lebih khusus, dalam sub sistem hukum pidana
formil dan sub sistem hukum pelaksanaan pidana dikenal sistem peradilan pidana (criminal
justice system) sebagai pelaksanaan penegakan hukum pidana di Indonesia.
Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang sangat penting dalam aspek
penegakan hukum dimana perlindungan hukum secara sederhana diartikan sebagai
perlindungan yang diberikan oleh hukum, meliputi adanya hak dan kewajiban (Sumirat, 2017), dalam hal ini yang
dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama
manusia serta lingkungannya sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan
kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum. Jadi, setiap perbuatan manusia
tanpa terkecuali diatur oleh hukum (Rochaety, 2016).
Dalam buku John Rawls yang berjudul �A Theory Of Justice� atau yang
lebih dikenal dengan �Teori Keadilan� ia mencoba menganalisa kembali permasalahan
mendasar dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan antara prinsip
kebebasan dan prinsip persamaan. John
Rawls mengakui bahwa karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak
sosial (social contract) yang pada awalnya diusung oleh berbagai pemikir
kenamaan, seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. John Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari
hadirnya institusi-institusi
sosial (social institutions). Akan tetapi, menurutnya, kebaikan bagi
seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau mengganggu rasa keadilan
dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat
lemah. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai cara pandang Rawls sebagai perspektif �liberal-egalitarian
of social justice�.
Teori keadilan Rawls yang
disebut prinsip-prinsip pertama keadilan itu bertolak dari suatu konsep keadilan
yang lebih umum yang dirumuskannya sebagai berikut: �All social values
liberty and opportunity, income and wealth, and the bases of self-respect are
to be distributed equally unless and unequal distribution of any, or all, of
these values is to everyone�s advantage�. (Semua nilai sosial kebebasan dan
peluang, pendapatan dan kekayaan, dan landasan harga diri harus
dibagikan secara merata kecuali jika distribusi yang tidak merata dari
semua atau semua nilai ini adalah untuk keuntungan semua orang (Anshori, 2018).
Terdapat dua hal
yang penting yang dapat dicatat sehubungan dengan konsep keadilan umum
tersebut. Pertama, kebebasan ditempatkan sejajar dengan nilai-nilai
lainnya, dan dengan itu juga konsep umum keadilan tidak memberi tempat istimewa
terhadap kebebasan. Hal ini berbeda dengan konsep keadilan Rawls yang berakar
pada prinsip hak dan bukan pada prinsip manfaat. Kedua, keadilan tidak
selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang
sama; keadilan tidak selalu berarti semua orang harus diperlakukan secara sama
tanpa meperhatikan perbedaan-perbedaan penting yang secara objektif ada pada
setiap individu. Maka dari itu, dari hal ini perdamaian manjadi tujuan utama.
Menurut Ganjar L. Bondan, Keadilan Restoratif secara teoritis
dan praktis dapat dipakai dalam penyelesaian suatu tindak pidana dengan
penjelasan sebagai berikut :
�Dalam kerangka filosofis,
hadirnya pendekatan keadilan restoratif dalam hukum pidana bukan bertujuan
untuk mengabolisi hukum pidana, atau melebur hukum pidana dan perdata, karena
pendekatan keadilan restoratif mengutamakan jalur mediasi antara korban dan
pelaku. Pendekatan keadilan restoratif justru mengembalikan fungsi hukum pidana
pada jalurnya semula yaitu pada fungsi ultimum
remedium, �suatu senjata pamungkas
bilamana upaya hukum lain sudah tidak dapat lagi digunakan dalam menghadapi
suatu tindak pidana dalam masyarakat. Dalam tataran praktis penanganan dan
penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif
menawarkan alternatif jawaban atas sejumlah masalah yang dihadapi dalam sistem
peradilan pidana, misalnya proses administrasi peradilan yang sulit, lama, dan
mahal, penumpukan perkara atau putusan pengadilan yang tidak menampung
kepentingan korban� (Zulfa, 2011).
Moh. Hatta, mendefinisikan keadilan restoratif sebagai sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan
pidana dengan menitikberatkan pada ketertiban masyarakat dan korban yang merasa
terpinggirkan oleh mekanisme kerja sistem peradilan pidana saat ini (Hatta, 2016). Keadilan restoratif dibentuk untuk menciptakan rekonsiliasi konflik antara korban dan pelaku dengan melibatkan pemerintah sebagai penegak hukum (Yulia, 2012). Menurut,
Andri mediasi yang ada dalam konsep keadilan
restoratif adalah gabungan dari victim offender
mediation dan reparation negotiation program dimana peradilan tetap dilaksanakan sebagaimana sistem peradilan pidana, namun penegak
hukum secara aktif mengambil posisi untuk mendamaikan
para pihak (Laksana,
2017). Konsep keadilan
restoratif (restorative justice) adalah alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan perbuatan melawan hukum (melawan hukum dalam
arti formal) karena menawarkan
solusi yang komprehensif
dan efektif (Tanuwijaya, 2017).
Dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 6 Yang dimaksud dengan keadilan restoratif
adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula,
dan bukan pembalasan. Menurut
analisa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum
dan HAM Keadilan restoratif merupakan bentuk keadilan yang berpusat pada
kebutuhan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. Dengan penerapan keadilan
restoratif diharapkan mampu memberikan ruang pada masyarakat untuk menangani
permasalahan hukum yang dirasakan lebih adil; mengurangi beban negara, misalnya
untuk mengurusi tindak pidana yang masih dapat diselesaikan secara mandiri oleh
masyarakat, aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dapat lebih
memfokuskan diri untuk memberantas tindak pidana yang kualifikasinya lebih
berbahaya.
Konsep keadilan
restoratif mendapat pandangan dari para praktisi hukum, salah satunya wawancara
yang dilakukan dengan Bapak Moelyadi, S.H., M.H., C.L.A selaku Ketua DPD IKADIN
(Ikatan Advokat Indonesia) D.I. Yogyakarta pada tanggal 19 Mei 2018. Beliau
memberikan pendapatnya tentang keadilan restoratif yang dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Keadilan Restoratif menurutnya tidak bisa
diterapkan dalam semua kasus hukum, melainkan pada kasus-kasus tertentu yang
bisa direstorasi atau dipulihkan dan diketahui secara jelas pihak-pihak yang berkaitan
dengan tindak pidana yang dilakukan seperti korban, pelaku kejahatan, maupun
masyarakat.
2. Bila semua kasus hukum direstorasi, maka pengadilan
sebagai institusi yang menjalankan penegakan hukum akan kehilangan
kewibawaannya dalam upaya memberikan efek jera melalui sanksi hukuman penjara
dan sanksi lainnya yang telah diatur.
3. Konsep keadilan resoratif sebenarnya telah ada
dalam beberapa penanganan kasus kasus hukum seperti kasus pengguna narkoba yang
diberi sanksi rehabilitasi dan kasus pidana anak. Namun saat ini belum ada
undang-undang yang secara khusus mengatur tentang keadilan restoratif dan
selama ini masih ada pada kewenangan dan pendapat dari hakim.
2.
Prinsip-prinsip Keadilan Restoratif
Yoachim Agus Tridiatno mengemukakan prinsip-prinsip keadilan restoratif
sebagai berikut :
a.
Keadilan restoratif mengutamakan pemulihan atau restorasi
bagi semua pihak yang terkena dampak dari tindak kejahatan, yaitu korban, pelaku,
dan masyarakat. Korban adalah pihak pertama yang paling dirugikan oleh karena
kejahatan. Korban secara langsung menderita oleh karena kejahatan. Ia menderita
secara fisik dan mental bahkan kerugian moril maupun materil. Pelaku kejahatan
juga menderita kerugian (Tridiatno, 2015).
b.
Keadilan restoratif fokus pada kebutuhan tiga pihak, yaitu
korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat, yang tidak dipenuhi oleh proses
peradilan. Dalam proses peradilan korban tindak kejahatan diabaikan, karena
tindak kejahatan dimengerti sebagai tindakan yang melawan atau merugikan
negara. Peranan korban diambil oleh negara sehingga negaralah yang mempunyai
tanggungjawab menghukum pelaku tindak kejahatan, sementara korban tidak
mendapatkan hak apapun. Hukuman yang diberikan pada pelaku tindak kejahatan
seringkali sama sekali tidak berkaitan dengan penderitaan korban, Oleh karena
itu, keadilan restoratif akan fokus pada kebutuhan korban.
c.
Keadilan restorarif memperhatikan kewajiban dan tanggungjawab
yang muncul karena tindak kejahatan. Pelaku kejahatan wajib memulihkan
kerusakan yang diderita korban, dan masyarakat. Kewajiban pertama dilakukan
dengan mengakui kesalahan pada korban. Pengakuan ini menjadi penting, karena
merupakan bukti pengakuan atas penderitaan yang dialami korban. Hal ini merupakan
proses yang penting dalam menyembuhkan luka-luka batin dan penderitaan mental
korban. Setelah itu, pelaku kejahatan mempunyai kewajiban untuk memulihkan
penderitaan fisik dan kerugian material lainnya. Pelaku kejahatan
juga harus meminta maaf pada masyarakat atau orang yang dipercaya untuk
mewakilinya. Serta mengganti kerugian material yang terjadi di masyarakat
akibat tindakan kejahatan yang dilakukakan. Kewajiban korban untuk menerima
pengakuan dari pelaku kejahatan dan memafkannya. Begitu pula masyarakat
diwajibkan untuk menerima pengakuan dari pelaku kejahatan dan memaafkannya.
Dengan demikian akan terjadi rekonsiliasi dan perdamaian kembali.
Sementara itu, Rufinus Hotmaulana Hutauruk (Hutauruk, 2013)
mengemukakan terdapat
beberapa prinsip yang berlaku secara universal yang melekat dalam konsep
pendekatan restoratif dalam menyelesaikan tindak pidana, antara lain: Prinsip
Penyelesaian yang Adil, Prinsip Perlindungan yang
Setara, Prinsip Hak-Hak Korban, Prinsip Proporsionalitas, Prinsip Praduga Tak Bersalah, Prinsip Hak Bantuan
Konsultasi atau Penasihat Hukum.
3.
Analisa Konsep
Keadilan Restoratif dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling
mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan
pidana pada saat ini. PBB melalui Basic Principles yang telah
digariskannya menilai bahwa pendekatan keadilan restoratif adalah pendekatan
yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan
dengan pandangan G.P. Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminal harus
rasional (a rational total of the responses to crime) (Zulfa, 2011).
Dalam menjawab
permasalahan berkaitan penyelesaian perkara pidana yang selalu berujung pada penghukuman pidana penjara, maka alternatif penyelesaian muncul berkaitan dengan kewenangan penuntut umum menghentikan penuntutan berdasarkan konsep keadilan restoratif yaitu Peraturan Kejaksaan RI No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang selanjutnya disebut dengan Perja No. 15 tahun 2020, perlu diberikan apresiasi karena dalam konsep ini
melibatkan pelaku, korban,
dan masyarakat dalam proses
penyelesaian perkara pidana tersebut. �Pendekatan keadilan restoratif� yang dimaksud ini lebih dititikberatkan
pada kesepakatan perdamaian
antara pelaku dan korban
dan bagaimana kemudian hukum acara mengakui keberadaan kesepakatan perdamaian tersebut sebagai kesepakatan yang memiliki kekuatan hukum. Namun demikian
apa yang perlu mendapatkan perhatian adalah jangan sampai
penerapan pendekatan keadilan restoratif ini diartikan sebagai
sebatas sebuah kesepakatan perdamaian karena jika demikian
proses yang berjalan justru
akan terjebak pada sebatas menjalankan fungsi secara prosedur
saja sehingga kebenaran (khususnya kebenaran materil) dan keadilan tidak dapat tercapai (Widjayanti, 2021).
Dalam Pasal
2 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan berasaskan:
a.
keadilan;
b.
kepentingan umum;
b.
proporsionalitas;
c.
pidana sebagai jalan terakhir; dan
d.
cepat, sederhana, dan biaya
ringan.
Dari ketentuan
asas diatas, dapat dicermati bahwa Peraturan Kejaksaan terkait penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang dimaksud sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif secara umum serta menempatkan
proses pidana sebagai jalan terakhir dengan mengedapankan aspek keadilan dan kepentingan umum. Selain itu, proses ini juga mendukung perbaikan sistem peradilan pidana yang mengedapankan asas cepat, sederhana,
dan biaya ringan. Sementara itu, terkait syarat dan ketentuan terkait penghentian penuntutan ini terdapat dalam
pasal 4 dan pasal 5 yang menyebutkan:
Pasa1 4
1.
Penghentian penuntutan berdasarkan
Keadilan Restoratif dilakukan dengan memperhatikan:
a.
kepentingan Korban dan kepentingan hukum
lain yang dilindungi;
b.
penghindaran stigma negatif;
b.
penghindaran pembalasan;
c.
respon dan keharmonisan masyarakat;
dan
d.
kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban
umum.
2.
Penghentian penuntutan berdasarkan
Keadilan Restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a.
subjek, objek, kategori,
dan ancaman tindak pidana;
b.
latar belakang dilakukannya
tindak pidana;
c.
tingkat ketercelaan;
e.
kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana;
f.
cost and benefit penanganan
perkara;
g.
pemulihan kembali pada keadaan
semula; dan
h.
adanya perdamaian antara
Korban dan Tersangka.
Pasal 5
1.
Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi
syarat sebagai berikut:
a.
tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b.
tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau
diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari
5 (lima) tahun; dan
c.
tindak pidana dilakukan dengan nilai barang
bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana
tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
2.
Untuk tindak pidana terkait harta benda,
dalam hal terdapat kriteria atau keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan tetap memperhatikan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disertai dengan salah satu huruf b atau huruf
c.
3.
Untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikecualikan.
4.
Dalam hal tindak pidana dilakukan
karena kelalaian, ketentuan pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat dikecualikan.
5.
Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam
hal terdapat kriteria/keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri tidak dapat dihentikan
penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
6.
Selain memenuhi
syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat:
a.
telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:
1)
mengembalikan barang yang diperoleh
dari tindak pidana kepada Korban;
2)
mengganti kerugian Korban;
3)
mengganti biaya yang ditimbulkan
dari akibat tindak pidana; dan/atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak
pidana;
b.
Telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan
c.
Masyarakat merespon
positif.
7.
Dalam hal disepakati Korban dan Tersangka, syarat pemulihan kembali pada keadaan semula sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dapat dikecualikan.
8.
Penghentian penuntutan berdasarkan
Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:
a.
Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden,
negara sahabat, kepala
negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;
b.
Tindak pidana yang diancam
dengan ancaman pidana minimal;
c.
Tindak pidana narkotika;
d.
Tindak pidana lingkungan hidup; dan
e.
Tindak pidana yang dilakukan
oleh korporasi
Dalam menerapkan kebijakan ini, instansi kejaksaan juga harus
berhati-hati agar kepastian hukum tetap menjadi pilar utama. Kebijakan kriminalisasi atau dekriminalisasi yang
terjadi dalam perkembangan hukum justru jangan sampai menghambat tujuan mulia
dari Peraturan Kejaksaan ini. Begitu juga kebijakan dekriminalisasi
dengan menghilangkan suatu tindak pidana
menjadi bukan suatu tindak pidana
lagi harus menjadi perhatian dari proses penghentian penuntutan.
Kepastian hukum mengenai keadilan dalam penangan suatu perkara menjadi salah satu hal yang utama.
Pemenuhan asas kepastian dalam Perja Nomor 15 Tahun 2020, berdasarkan teori cita hukum
oleh Gustav Rudbruch, �keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan tidak mungkin terpenuhi
dalam satu waktu. Maka dari itu, Kejaksaan mengeluarkan Perja dilihat dari segi
muatan hukumnya lebih untuk menjunjung
tinggi keadilan. Sedangkan untuk kepastian hukumnya, Perja ini harus
disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam KUHAP agar tidak jauh menyimpangi atau melanggar sehingga memliki kepastian hukum yang kuat.
Salah satu
yang menjadi kelemahan dalam Perja ini
adalah kepastian hukum yang terdapat dalam Pasal 5 ayat
(5), yang menyebutkan untuk
tindak pidana ayat (3) dan (4) tidak berlaku dalam hal
terdapat keadaan kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan
Negeri tidak dapat dihentikan penuntutan. Sedangkan dalam Perja ini sendiri
tidak ada informasi terkait apa parameter yang digunakan Penuntut Umum dalam memutuskan suatu kasus perkara pidana
terdapat kasuistik atau tidak, sehingga
jika merujuk pada pasal ini ukuran
kasus seperti apa yang bisa atau
tidak bisa dihentikan berdasarkan Keadilan Restoratif masih belum pasti.
Maka dari itu, Pasal 5 ayat (5) ini bisa menjadi
celah untuk masalah dan juga multitafsir dalam pengaplikasian tindak pidana ayat
(3) dan (4).
4. Urgensi Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Penegakan
Hukum di Masa Pandemi Covid 19
Menurut data terakhir jumlah penghuni lapas per kantor wilayah (Kanwil),
dikutip dari http://smslap.ditjenpas.go.id/ bulan September 2020, hanya
ada 8 provinsi yang jumlah penghuni lapasnya tidak melebihi kapasitas, yaitu
D.I. Yogyakarta, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi
Barat, dan Sulawesi Utara. Sisanya atau sekitar 25 Provinsi lainnya melebihi
kapasitas. Dari data tersebut maka perlu adanya alternatif pemidanaan serta
tata kelola Lembaga Pemasyarakatan yang lebih baik selain dari program
asimilasi sehingga narapidana mendapatkan hak asasinya dengan baik, terutama di
masa pandemi Covid 19 yang belum juga berakhir.
Kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan
pidana pada hakikatnya merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai fungsi di
bidang penuntutan dan fungsi lain yang secara tegas disebutkan dalam Pasal 2
ayat (1) UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Enn
en ondeelbaar yang berarti kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan,
merupakan satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang
penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan
sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku,
dan tata kerja Kejaksaan. Keberadaan Kejaksaan sebagai
institusi penegak hukum pidana mempunyai kedudukan sentral dan peran yang
strategis sebagai pengendali perkara (dominus litis), dan sebagai filter
antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, serta sebagai
eksekutor terhadap sebuah putusan peradilan pidana yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Di masa Pandemi Covid 19, semua orang dapat berbicara
tentang penegakan hukum tetapi tidak semua dapat mendudukkannya dalam keadaan
yang objektif, karena sebagian besar melihat dari sudut subyektifitas
masing-masing tergantung dari mana perspektif orang tersebut memandangnya.
Keadaan semacam ini berpotensi membahayakan eksistensi hukum dan penegakannya
itu sendiri. Penegakan hukum seolah tersandera dan dipaksa untuk memperhatikan
dan bertitik tolak dari sudut pandang masing-masing orang yang berkepentingan.
Setiap langkah aparat penegak hukum diminta memperhatikan dan berdiri di atas
kepentingan individu atau pun kelompok golongan satu persatu.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan, khususnya pasal 93 memang sudah mengatur tentang aturan bagi pelanggar
pembatasan sosial berskala besar (PSBB) memberikan ancaman sanksi pidana paling lama 1
(satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Selain Pasal 218 KUHP dinyatakan
adanya ancaman pidana
penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah bagi
siapa saja pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah
diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang. Hal ini kemudian
ditindaklanjuti pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020
tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karenanya, saat Peraturan Pemerintah telah
resmi dikeluarkan, maka pihak kepolisian sebagaimana amanat Presiden secara tegas
melakukan tindakan upaya penegakan hukum bagi pelanggarnya. Artinya, pencegahan wabah
pandemi Covid-19 ini harus dilakukan dengan memberikan sanksi pidana bagi masyarakat yang
melakukan pelanggaran.
Melalui Maklumat Kapolri Nomor Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam
Penanganan Penyebaran
Virus Corona, kemudian pihak kepolisian melakukan tindakan mengamankan masyarakat yang tidak
menaati aturan mengenai PSBB tersebut (Yunus, 2020).
Adanya krisis kepercayaan terhadap penegakan
hukum di Indonesia ini tentunya harus segera dipulihkan. Masyarakat tampaknya
sudah terdoktrin dengan kata-kata �hukum hanya tajam ke bawah�, sehingga
masyarakat cenderung jenuh dan putus asa terhadap proses penegakan hukum yang
dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan. Hal tersebut memunculkan fenomena
�hukum masyarakat� yang sebenarnya lebih mencerminkan sikap arogansi namun
justru dianggap lebih adil dan obyektif bagi masyarakat. Para pelaku kejahatan terutama tindak pidana ringan oleh masyarakat diadili sendiri tanpa melalui prosedur hukum, baik
melalui peradilan fisik atau pun peradilan opini. Selain itu sikap protes yang
menunjukkan keberanian berlebihan terhadap aparat penegak hukum tidak jarang
menimbulkan gesekan dan kejadian anarkis yang akhirnya terkesan merendahkan
wibawa penegakan hukum itu sendiri. Kejadian semacam ini tidak lepas dari adanya
dua benturan kepentingan, yaitu kepentingan penegakan hukum untuk kepastian
hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan kepentingan penegakan hukum
untuk kepentingan keadilan dalam masyarakat. Terutama di masa pandemi Covid 19 yang menunjukan kriminalitas meningkat, maka tidak dapat
dipungkiri aksi main hakim sendiri bisa terus
terjadi.
Keadilan Restoratif menjadi salah satu jalan dalam
menyelesaikan persoalan hukum dengan memerhatikan kewajiban dan tanggungjawab
yang muncul karena tindak kejahatan yang dilakukan. Hal ini menjadi prinsip
dari keadilan restoratif yang menekankan pada aspek pemulihan bagi semua pihak
yang terkena dampak dari tindak kejahatan. Maka dari itu, konsep ini sudah
selayaknya dikembangkan di tanah air sebagai negara hukum yang berlandaskan
Pancasila sehingga sesuai dengan kondisi masyarakat dan budaya yang ada. Bagir Manan
menguraikan tentang substansi �restorative justice� yang berisi
prinsip-prinsip, antara lain: �Membangun partisipasi bersama antara pelaku,
korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak
pidana; Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai �stakeholders� yang
bekerja bersama; dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang
adil bagi semua pihak (win-win solutions) (Makarao, 2013). Antara keadilan
dan ketidakadilan adalah dua kategori yang saling berkaitan satu dengan lainnya,
seperti ungkapan Roxanne Varzi, �there is no justce without crime�
(tidak pernah ada keadilan tanpa didahului oleh suatu tindak kejahatan) yang
dipresepsikan sebagai suatu bentuk ketidakadilan.� Maka dalam mewujudkan suatu perdamaian,
konsekuensi logisnya ialah bagaimana menjadikan keadilan yang bersifat filosofis
dan subjektif pada setiap orang mampu diejawantahkan dalam sebuah peraturan
hukum sehingga mampu menciptakan perdamaian abadi (Bakir, 2015).
Saat ini publik menginginkan penegakan hukum
yang tidak selalu kaku dan saklek dengan bunyi peraturan perundang-undangan,
tetapi lebih kepada hukum yang mengalir. Adanya reorientasi cara pandang publik
terhadap penegakan hukum seperti ini tentunya harus dibarengi dengan aparat
penegak hukum yang responsif untuk mewujudkan penegakan hukum yang tidak hanya
menggunakan teori formal-positivistis. Aparat penegak hukum dituntut untuk tidak sekedar melaksanakan tugasnya
dengan hanya bertumpu pada satu kaki melalui pendekatan undang-undang saja,
dengan asal sekedar memenuhi unsur ketentuan bunyi pasal maka dikatakan sudah
terpenuhi semua syaratnya. Aparat penegak hukum sekarang harus juga menggunakan
pendekatan kasus dengan menelaah beberapa kasus untuk bahan referensi, serta
pendekatan konseptual dengan beranjak dari pandangan dan doktrin yang
berkembang yang nantinya dapat melahirkan ide dan konsep hukum yang relevan.
Sejatinya aparat penegak hukum diminta untuk
tidak hanya terpaku pada norma hukum apa yang dilarang atau dianjurkan, tetapi
diminta berpikir lebih jauh lagi sampai ke batas akibat apa yang dapat ditimbulkan
dari penegakan hukum terhadap larangan atau pun anjuran norma hukum tersebut.
Para aparat penegak hukum diharapkan bisa mendobrak paham positivisme yang kaku
dengan lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan dan hati nurani namun tetap
dalam koridor hukum yang berlaku.
Sebagai manifestasi konkrit dari sebuah
paradigma pemidanaan bukan untuk pembalasan melainkan sebagai pemulihan,
Kejaksaan melakukan langkah strategis dengan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan RI
Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan
Restoratif yang diundangkan tepat pada Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) tanggal 22
Juli 2020. Peraturan ini sebagai substansi hukum (legal substance)
diformulasikan untuk mengeliminasi paham rigid positivistik dengan lebih mengedepankan
hukum progresif berlabel keadilan restoratif (restorative justice).
Adapun keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Di dalam ketentuan kitab induk hukum pidana
formil (KUHAP), tidak semua penegakan hukum harus berakhir di pengadilan.
Kriteria dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut ternyata
bukan merupakan tindak pidana, atau pun perkara ditutup demi hukum, maka
Penuntut Umum menghentikan penuntutan dengan menuangkan dalam Surat Ketetapan.
Perkara ditutup demi hukum dapat disebabkan karena terdakwa meninggal dunia,
perkara daluwarsa, nebis in idem�atau pun delik aduan yang ditarik kembali
dalam batas waktu yang ditentukan.
Secara normatif memang tidak ada alasan
penghentian penuntutan karena keadilan restoratif dalam peraturan setara
undang-undang, namun demikian secara faktual ungkapan ubi societes ibi ius yang
berarti dimana ada masyarakat disitu ada hukum membawa konsekuensi bahwa hukum
harus terus berkembang sebagaimana perkembangan masyarakat. Tidak terkecuali
dengan ketentuan peraturan proses penegakan hukum pidana yang menjadi dasar
aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas hukum formilnya tentunya dituntut
untuk terus relevan dengan perkembangan masyarakat sehingga klausul-klausulnya
pun harus terus disesuaikan.
Pengaturan penghentian penuntutan karena
keadilan restoratif secara tegas dalam sebuah Peraturan Kejaksaan menjadi
pijakan bagi komponen sistem hukum berikutnya yaitu struktur hukum (legal
structure) dalam melaksanakan tugasnya. Terutama di masa pandemi Covid 19,
Jaksa sebagai aparat penegak hukum diminta untuk
bisa mengedepankan nilai-nilai keadilan dan hati nurani namun tetap dalam jalur
hukum yang berlaku. Hasil kerja dari struktur hukum itulah yang nantinya
diharapkan membentuk pola pikir (mindset) hukum progresif yang dipercaya
dalam masyarakat sebagai budaya hukum secara kausalitas dan berkesinambungan. Sebagaiamana dikemukakan oleh
Dignan bahwa keadilan restoratif menjadi sebuah sikap dan nilai dasar yang digunakan dalam merespons perkara pidana. Diharuskan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan dampak penyelesaian perkara pidana tersebut terhadap masyarakat (Mahendra, 2020).
Dalam melakukan kebijakan hukum di masa pandemi Covid 19 ini, pemerintah harus bisa meminimalkan kematian dari penyakit
coronavirus 2019 (Covid-19) dan dampak ekonomi dari penyebaran virus. Meminimalisir kematian serendah mungkin akan
menjadi prioritas tertinggi bagi individu, karenanya pemerintah harus menerapkan
langkah-langkah untuk memperbaiki krisis ekonomi yang tak terhindarkan serta kebijakan hukum yang bijaksana sehingga sejatinya sanksi pidana baik
penjara maupun denda bukanlah kebijakan yang bijak ditengah krisis ekonomi dan situasi yang tak menentu di masyarakat sekarang (Firdaus, 2020). Maka dari itu, dengan
adanya Perja Nomor 15 Tahun 2020 ini selayaknya diterapkan secara baik demi mewujudkan keadilan di masyarakat ditengah kondisi pandemi dan diupayakan tetap melaksanakan protokol kesehatan sehingga upaya-upaya perdamaian sebagaimana yang telah diatur dapat
dilaksanakan secara baik.
Sejalan dengan pandangan David Easton ketika pemerintah membuat kebijakan
publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasi nilai-nilai kepada masyarakat,
karena setiap kebijakan mengadung seperangkat nilai di dalamnya. Sebagai
contoh, ketika pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, nilai
yang akan dikejar adalah penghormatan terhadap nilai demokrasi dan pemberdayaan
terhadap masyarakat dan pemerintah daerah (Taufiqurokhman, 2014). Dalam hal ini, Peraturan Kejaksaan harus diterapkan dengan mekanisme dan fasilitas yang memadai sehingga masyarakat dapat menerimanaya. Terutama ketika Perja ini sah
diberlakukan di masa pandemi
Covid 19. Semua ketentuan
dan mekanisme harus dijalankan aparat penegak hukum dengan
adil dikala meningkatnya kriminalitas di masa
pandemi Covid 19.
Dalam konteks
penerapan Peraturan Kejaksaan ini, keadilan restoratif harus ditujukan pada suatu solusi penyelasaian
hukum terutama pada tindak pidana ringan
sebagaimana dalam ketentuan Perja tersebut. Sehingga ketika pelaku dan korban sepakat untuk berdamai,
masyarakat juga ikut terlibat dalam hal penyelsaian perdamaian sehingga tercipta kembali kondisi ketertiban dan kemanan seperti semula. Sebagaimana peneltian yang telah dilakukan oleh Chalida Hanum dalam VERITAS: Jurnal
Program Pascasarjana Ilmu
Hukum Vol. 7 No. 1 Maret 2021 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif diakui keberadaannya dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain
itu ketegori/jenis peraturan tersebut tergolong dalam peraturan yang bersifat khusus yang mana tunduk pada prinsip lex specialis derogat legi generalis. Maka dengan demikian sejatinya Perja ini harus lebih
ditingkatkan lagi kedudukan hukumnya sehingga bisa menjadi
Undang-Undang tersendiri kedepan (Hanum, 2021).
Perlu diperhatikan bahwa implementasi
kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur
kebijakan, karena melalui prosedur ini proses kebijakan secara keseluruhan
dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan. Hal ini
dipertegas oleh Chief J.O. Udoji (1981) yang mengatakan bahwa pelaksanaan
kebijakan adalah sesuatu yang sangat penting daripada pembuatan kebijakan. Dalam hal implementasi Peraturan Kejaksaan ini sejatinya
kepentingan korban adalah
yang utama sehingga korban harus benar-benar menyepakati upaya penghentian penuntutan ini tanpa ada
paksaan sehingga prosesnya dilakukan secara transparan dan berkeadilan. Dengan adanya Peraturan Kejaksaan ini, kasus-kasus pidana ringan di masa pandemi Covid 19 serta kasus-kasus yang menyayat hati dan menciderai rasa keadilan seperti kasus mbok
minah yang mencuri 3 biji kakao tidak
selayaknya lagi masuk ke meja
hakim dipersidangan.
Kesimpulan
Penegakan keadilan dalam
kehidupan bermasyarakat memiliki arti yang sangat penting dalam upaya membangun peradaban bangsa yang tinggi dan bermartabat.
Hukum positf terkadang tidak sepenuhnya menjamin rasa keadilan, dan sebaliknya
rasa keadilan seringkali tidak memiliki kepastian hukum, sehingga jalan
tengahnya adalah bagaimana agar hukum positif yang ada selalu merupakan
cerminan dari rasa keadilan itu. Sejalan dengan hal itu, melalui
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, instansi kejaksaan berupaya untuk mengedapankan nilai-nilai keadilan memerhatikan kondisi dari para pihak terutama korban dan pelaku kejahatan sehingga jalur pidana menjadi
jalan terkahir.� Hal ini berkaitan dengan kondisi pandemi Covid 19 dimana angka kriminalitas
meningkat terutama pidana ringan hanya
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan belajar anak-anak yang memerlukan perangkat gadget untuk belajar dimana
di beberapa daerah hal tersebut cukup
sulit didapatkan. Oleh karena itu, setelah
dilakukan analisa, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif secara muatan hukum sudah
memenuhi aspek keadilan dan prinsip-prinsip umum keadilan restoratif
dengan mengedepankan upaya pengembalian kembali kepada kondisi semula dengan melibatkan para pihak terutama korban dan pelaku. Selain itu, peraturan ini pun sesuai apabila dilakukan diluar kondisi pandemi atau dalam kondisi
normal karena pada dasarnya
keadilan merupakan hal terpenting setiap warga negara. Namun demikian, perbaikan terhadap muatan hukum Peraturan
Kejaksaan ini harus terus dilakukan
salah satunya pada konteks kasusistik yang harus diperjelas dan kesesuaian dengan peraturan yang terdapat dalam KUHAP.
Implementasi dari Peraturan ini merupakan
bagian terpenting sehingga aspek keadilan bisa tercapai.
Maka dari itu, praktik dari keadilan
restoratif ini seyogyanya harus dilandasi dengan peran serta aparat
penegak hukum yang mengedepankan hati nurani dan nilai-nilai moral sehingga diharapkan penegakan hukum di Indonesia kedepan semakin baik serta mampu
mengembalikan kepercayaan publik dalam upaya
penegakan hukum dan keadilan. Selain itu, dalam menerapkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, penegak hukum harus memahami
mekanisme dan teknisnya sehingga instansi kejaksaan harus melakukan bimbingan teknis atau pendidikan
pelatihan yang berkelanjutan
sehingga peraturan ini dapat diterapkan
dengan baik.
Anshori, Abdul
Ghofur. (2018). Filsafat hukum. Ugm Press.Google Scholar
Bakhri, Syaiful.
(2014). Sistem peradilan pidana Indonesia dalam perspektif pembaruan, teori,
dan praktik peradilan. Pustaka Pelajar.Google Scholar
Bakir, Herman.
(2015). Filsafat Hukum: Tema-tema Fundamental Keadilan dari Sisi Ajaran Fiat
Justitia Ruat Caelum. Google Scholar
Burhanuddin, Andi
Iqbal, Massi, Muh Nasrum, Thahir, Hasanuddin, Razak, Amran, & Surungan,
Tasrief. (2020). Merajut Asa Di Tengah Pandemi Covid-19 (Pandangan Akademisi
UNHAS). Deepublish. Google Scholar
Gani, Nur Salwiyani,
Fitriana, A. Dian, Sila, Anugrahwati M., Fitriani, R., Yuliarti, Astinana,
Thalib, Fajar, Hermansyah, Bambang, Aslam, Muhammad, Sahid, Muhammad, &
Umar, Nugrah Juniar. (2020). Covid 19 Dalam Bingkai Komunikasi. IAIN
Parepare Nusantara Press. Google Scholar
Hatta, Mohammad Hatta.
(2016). Kapita selekta pembaharuan hukum pidana dan sistem pemidanaan.
Liberty. Google Scholar
jawapos.com
September 23). (2020). https://www.jawapos.com/nasional/hukum-kriminal/10/04/2020/selama-pandemi-covid-19-tren-penyebaran-hoax-meningkat/.
Mahendra, Adam
Prima. (2020). Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan Berlandaskan Keadilan
Restoratif. Jurist-Diction, 3(4), 1153�1178.
Google Scholar
Makarao, M. Taufik.
(2013). Pengkajian hukum tentang penerapan restorative justice dalam
penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Jakarta. Google Scholar
Rochaety, Nur.
(2016). Menegakkan HAM Melalui Perlindungan Hukum bagi Perempuan Korban
Kekerasan di Indonesia. PALASTREN Jurnal Studi Gender, 7(1),
1�24. Google Scholar
Sumirat, Iin Ratna.
(2017). Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Korban Kejahatan
Perdagangan Manusia. Jurnal Studi Gender Dan Anak, 3(01), 19�30. Google Scholar
Taufiqurokhman.
(2014). Kebijakan Publik Pendelegasian Tanggungjawab Negara Kepada Presiden
Selaku Penyelenggara Pemerintahan. Jakarta: FISIP Universitas Moestopo
Beragama (Pers).
Tridiatno, Yoachim
Agus. (2015). Keadilan Restoratif. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. Google Scholar
vivanews.com. (2020).
Zulfa, Eva Achjani.
(2011). Reparasi dan Kompensasi Korban Dalam Restorative Justice. Lembaga
Perlindungan Saksi Dan Korban Dan Departemen Kriminologi FISIP UI, Jakarta. Google Scholar
Muhammad Rafi Urrutab (2021) |
First publication right : |
This article is licensed under: |