How to cite:
Akbar, Muhammad Ilham (2021) Political Will Terhadap Kelembagaan Kpk Era Presiden Jokowi,
3(6). https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1273
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
Syntax Idea: pISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X
Vol. 3, No. 6, Juni 2021
POLITICAL WILL TERHADAP KELEMBAGAAN KPK ERA PRESIDEN
JOKOWI
Muhammad Ilham Akbar
Universitas Islam Indonesia (UII) Sleman Yogyakarta, Indonesia
Abstract
President Joko Widodo's political will will greatly determine the slowness and
speed of the Corruption eradication commission. The problems raised in this
research are, first, how Is The political will towards the KPK Institution during the
era of President Jokowi. Second, how should President Joko Widodo's political will
towards the KPK institutions be? This study aims to find and formulate the
necessity of President Joko Widodo's political will for the sustainability of the KPK
institutions. The legal research method used in this study is a normative juridical
research method, based on primary and secondary legal materials. This study
concludes that the political will of President Joko Widodo towards the KPK
institutions is still far from what is aspired to. President Joko Widodo's political
will should be realized in the form of policies that support the strengthening of the
KPK Institution.
Keywords: political will; KPK institution; president jokowi
Abstrak
Political will Presiden Jokowi akan sangat menentukan lambat dan lajunya komisi
pemberantasan korupsi. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, pertama,
Bagaimanakah political will terhadap Kelembagaan KPK era Presiden Jokowi.
Kedua, bagaimanakah seharusnya political will Presiden Jokowi terhadap
kelembagaan KPK? Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan
memformulasikan keharusan politicall will Presiden Jokowi terhadap
keberlangsungan kelembagaan KPK. Metode penelitian hukum yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis-normative, didasarkan pada
bahan hukum primer dan sekunder. Penelitian ini menyimpulkan bahwa political
will Presiden Jokowi terhadap kelembagaan KPK masih jauh dari yang dicita-
citakan. Harusnya political will Presiden Jokowi diwujudkan dalam bentuk
kebijakan-kebijakan yang mendukung penguatan terhadap kelembagaan KPK.
Kata Kunci: political will; kelembagaan KPK; Presiden Jokowi
Pendahuluan
Banyak sekali komentar negatif bahkan umpatan-umpatan terhadap perilaku dan
pelaku tindak pidana korupsi. Muak, jengkel, gregetan, putus asa, marah, dan hal-hal
negatif lain atas langgeng dan menjamurnya perilaku korupsi. Terlebih dalam tayangan
televisi, tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana seakan-akan menunjukkan show of
Muhammad Ilham Akbar
1390 Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021
force ataupun berperilaku sebagai celebrity (Waluyo, 2017). Ini merupakan fenomena
dimana korupsi seakan menjadi hal yang biasa.
Perilaku korupsi merupakan perbuatan negatif, perlu diberantas pemerintah
sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi. Dukungan politik pemerintah (presiden),
menjadi suatu catatan pasti dalam pemberantasan korupsi (Yuwanto, 2016). Cerita kisah
sukses negara yang mampu bangkit dari keterpurukan akibat korupsi umumnya dimulai
dari sebuah komitmen (Damanik et al., 2010). pemimpinnya yang kemudian diturunkan
dalam berbagai kebijakan politik (Fariz, 2019). Lazimnya dukungan tersebut diberikan
terhadap kelembagaan yang melaksanakan pemberantasan korupsi. Berbicara dalam
potret Indonesia, maka dukungan tersebut dilihat dari bagaimana seorang Presiden
mendukung segala upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, sebagai
anak kandung reformasi. Komitmen politik Presiden tersebut jamak dipahami menjadi
parameter untuk melihat kehendak baik Presiden (political will) di wilayah
pemberantasan korupsi. Kebijakan mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi
merupakan wujud nyata political will seorang Presiden.
Salah satu political will yang menarik untuk kita bicarakan dalam konteks
mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi, adalah era Presiden Jokowi. Di awal
pemerintahannya Presiden Jokowi dengan tegas secara eksplisit dalam nawa-citanya
(Nomenklatur visi-misi Jokowi-JK ditahun 2014) menyebutkan bahwa pemerintahannya
kelak menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum
yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Namun itu merupakan visi-misi,
bukan tahapan implementasi. Untuk melihat sejauh mana implementasi visi-misi
tersebut maka perlu dilihat, konsistenkah kebijakan pemerintah dibawah komando
Presiden Jokowi untuk mendukung KPK, sebagai symbol pemberantasan nasional.
Secara konseptual strategi pemberantasan korupsi harus dibangun dan didahului
oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam kemauan dan kesungguhan (willingness)
dari kekuasaan Presiden tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku
korupsi. Oleh karena itu, dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif memberantas
korupsi, dibutuhkan pemenuhan prasyarat yakni didorong oleh political will yang kuat
(Badjuri, 2011). Hal tersebut dilakukan dengan memberikan dukungan politik yang
jelas dan tegas, diberikan oleh Presiden terhadap lembaga KPK. Sikap politik Presiden
yang demikian, sesungguhnya menjadi kunci keberhasilan strategi pemberantasan
korupsi. Sebaliknya sikap politik yang tidak berpihak pada kelembagaan KPK dapat
merusak cita-cita pemberantasan korupsi. Maka sangat penting untuk melihat sejauh
mana kebijakan Presiden Jokowi yang mendukung kelembagaan KPK, dalam arti
sudahkah terlaksana dengan baik political will presiden jokowi terhadap KPK.
Kita ketahui bersama Sejak tahun 2018 hingga 2021 political will Presiden
Jokowi terhadap kelembagaan KPK kerap dipertanyakan. Ada tiga persoalan konkrit
yang penulis ambil sebagai bahan kajian untuk menilai sejauh mana political will
Presiden Jokowi terhadap kelembagaan KPK. Tiga persoalan ini juga menimbulkan
pertanyaan ditengah publik, perihal seriuskah Presiden Jokowi mendukung kiprah KPK.
Pertama, Lambannya penemuan fakta dibalik penyiraman air keras terhadap mata
Political Will Terhadap Kelembagaan KPK Era Presiden Jokowi
Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021 1391
Novel Baswedan penyidik senior KPK. Kedua, Surat Presiden yang dikirim ke DPR
menandakan pembahasan revisi Undang-Undang 30/2002. Ketiga, Arahan Presiden soal
pertimbangan ulang penon-aktifan 51 pegawai KPK di abaikan oleh pimpinan KPK.
Tiga persoalan ini menjadi pilihan penulis untuk melihat sejauh mana political will
Presiden Jokowi terhadap kelembagaan KPK.
Perjalanan kelembagaan KPK dalam treck recordnya, selalu diwarnai integritas.
sulit untuk membantah bahwa KPK dianggap sebagai lembaga pemberantaskorupsi
paling berhasil sepanjang republik berdiri (Ramadhana, 2019).
Metode Penelitian
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian yuridis-normatif. Yakni hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah
atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas
(Badjuri, 2011). Penelitian hukum normatif ini didasarkan kepada bahan hukum primer
dan sekunder, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan. Metode penelitian yuridis normatif ini akan mengkaji
tentang political will terhadap kelembagaan KPK era Presiden Jokowi. Kemudian
Menemukan dan memformulasikan keharusan politicall will Presiden Jokowi terhadap
keberlangsungan kelembagaan KPK.
Hasil dan Pembahasan
1. Politicall Will Terhadap Kelembagaan KPK Era Presiden Jokowi
Dalam ilmu politik, gagasan arus utama pemberantasan korupsi dikembangkan
dari teori principal-agent. Teori ini melihat korupsi sebagai pengkhianatan agen
terhadap mandat yang telah diberikan oleh principal. Dalam korupsi politik, korupsi
oleh politisi atau agenmerupakan pengkhianatan politisi terhadap rakyat sebagai
principal yang telah memberikan mandat dalam Pemilu. Dalam korupsi birokrasi,
korupsi oleh pegawai negeri merupakan pengkhianatan terhadap mandat yang telah
diberikan oleh pemimpin instansi pemerintah Presiden (Johanes Danang Widoyoko,
2016). Sehingga presiden sudah sewajarnya dan sepatutnya berperan memperbaiki
masa depan pemberantasan korupsi.
Sahre J. Kpudeh mengartikan kemauan politik sebagai “niatan kredibel
langsung dari aktor politik untuk memerangi penyebab dan akibat dari korupsi di
level sistemik” (Quah, 2003). Korupsi yang sistemik tidak saja terjadi pada aktivitas
mengambil uang negara. Lebih dari itu menyerang kelembagaan dan personal
anggota kelembagaan pemberantasan korupsi juga merupakan rangkaian melakukan
korupsi (Kurniawan, 2019). nilah yang terjadi di Indonesia, serangan koruptor tidak
saja di alamatkan terhadap lembaga seperti KPK, namun juga personil lembaganya.
Upaya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, dilakukan mulai
dari menyerang kelembagaan melalui upaya legislasi dengan melemahkan KPK,
sampai dengan menyerang penyidik senior KPK novel baswedan.
Muhammad Ilham Akbar
1392 Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021
Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan
meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menyelesaikan kasus penyerangan
air keras terhadapnya. Novel meminta Jokowi merealisasikan janjinya untuk
mengungkap siapa pelaku utama dibalik penyiraman air keras yang menyebabkan
matanya menjadi tidak normal.
Permintaan novel terhadap Presiden Jokowi sangatlah berdasar. Sebab jika
melihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia Pasal 8 menyebutkan:
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden;
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam
pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Maka mekanisme atasan dan bawahan sangat dimungkinkan antara Presiden dan
Kepolisian. Berpijak pada teori pembagian kekuasaan dan sistem pemerintahan
presidensil, fungsi pemerintahan diselenggarakan oleh lembaga eksekutif yang dipimpin
oleh Presiden, sehingga Presiden bertanggungjawab atas penyelenggaraan
pemerintahan. Oleh karena itu mengkaji tentang kedudukan kepolisian yang didasarkan
pada fungsi utamanya, tidak dapat dipisahkan dengan fungsi utama pemerintah yang
dipimpin oleh Presiden (Danendra, 2013). Tidak aneh jika Novel meminta Presiden
untuk menyelesaikan kasusnya, karena Presiden membawahi Polri yang bertugas
menuntaskan persoalan kasus kriminal.
Selain persoalan novel diatas, persoalan lain perihal political will Presiden Jokowi
adalah saat masyarakat ramai-ramai menolak revisi Undang-Undang 30/2002 yang
sekarang telah menjadi Undang-Undang 19/2019 tentang KPK. Presiden Jokowi tidak
tampil sebagai kepala negara yang berpihak terhadap rakyat. Malahan yang terjadi
Presiden Joko Widodo menandatangani dan mengirimkan Surat Presiden (SurPres)
terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Dengan terbitnya surpres ini, pemerintah setuju untuk membahas
revisi Undang-Undang KPK bersama DPR. Surpres berisi penjelasan dari Presiden,
bahwa presiden telah menugaskan menteri untuk membahas revisi Undang-Undang
KPK bersama DPR. Sebelumnya, semua fraksi di DPR setuju revisi Undang-Undang
KPK yang diusulkan Badan Legislasi DPR. Persetujuan seluruh fraksi disampaikan
dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis 5 September 2019. Draf revisi
langsung dikirim kepada Presiden Jokowi.
Sikap presiden jokowi mengirimkan surpres menimbulkan pertanyaan mendasar,
mengapa bisa presiden menyetujui revisi Undang-Undang yang ditolak oleh masyarakat
luas. Apakah presiden jokowi tunduk terhadap rakyat ataukah kekuasaan oligarki di
DPR. Sebab dengan mengirimkan surpres maka Undang-Undang No. 19 Tahun 2019
Tentang Perubahan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang pemberantasan
korupsi menjadi disahkan, yang dampaknya hingga saat ini sangat dirasakan jauh dari
konsep hukum kelembagaan pemberantasan korupsi yang di idealkan (Wahyuningrum,
Disemadi, & Jaya, 2020).
Political Will Terhadap Kelembagaan KPK Era Presiden Jokowi
Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021 1393
Padahal presiden punya waktu yang banyak untuk menolak pengesahan Undang-
Undang No 19 Tahun 2019 tersebut. Sebab dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, memberikan kekuasaan legislatif begitu
besar kepada Presiden. Selain mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang
bersama DPR, dalam kondisi kegentingan yang memaksa Presiden juga mempunyai
kekuasaan membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), serta
berhak menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang (Ghoffar,
2019).
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas kekuasaan legislasi Presiden pasca
reformasi begitu besar dan kuat. Presiden bukan saja sebagai pihak terkait atau
pembahas, lebih dari itu Presiden menentukan sah atau tidaknya suatu Undang-Undang.
Bahkan dalam hal Presiden ingin melakukan veto terhadap suatu Undang-Undang yang
sudah berlaku dan sementara dijalankan. Presiden dapat menerbitkan Perppu yang
membatalkan suatu Undang-Undang, dimana hak tersebut merupakan hak
konstitusional seorang Presiden. Maka sudah sangat wajar jika masyarakat
mempertanyakan political will Presiden Jokowi terhadap kelembagaan KPK. Pembelaan
yang selama ini terjadi dalam beberapa era presiden, adalah dalam pengambilan
keputusan presiden tidak sendiri ada DPR yang kepentingannya juga harus
diakomodasi.
Secara politik, Indonesia memang merupakan negara yang menempatkan koalisi
sebagai bagian kekuatan Partai Politik (Parpol) dalam pertarungan merebut kekuasaan
pada pemilihan Presiden. Koalisi yang diciptakan diantara partai politik di Indonesia
tidak kaku dan cenderung liquid/cair, dikarenakan koalisi lebih mengutamakan pada
kesamaan kepentingan bersama dalam memperoleh kekuasaan. Kekuatan koalisi yang
dibangun partai politik pada pemilihan Presiden berasal dari pada kekuatan penguasaan
parlemen. Hal ini dilakukan oleh koalisi-koalisi dari masing-masing pendukung
sehingga bukan hanya koalisi di ranah eksekutif namun legislatif juga diperkuat
(Wospakrik, 2016).
Memang menjadi dilema, sebab system pemerintahan kita menjadikan siapapun
menjadi Presiden akan cenderung bermuka dua. Disatu sisi harus menjaga suara
masyarakat sebagai pemegang suara demokrasi yang sebenarnya. Namun disatu sisi
Presiden juga harus mendengarkan suara politik di DPR. Karena jika engan
mendengarkan maka Presiden dapat dijebak dalam pengambilan keputusan. Dalam kata
lain Presiden dapat dipenjara dalam suatu pengambilan keputusan dengan kekuatan
parlemen (DPR). Hanya saja jika seorang Presiden bersikap negarawan maka tentu dia
tidak akan tunduk pada kepentingan oligarki di DPR.
Kemudian untuk melihat konsistensi political will presiden Jokowi dalam ranah
dukungan terhadap personil kelembagaan KPK, dapat kita lihat dalam alih status
pegawai KPK menjadi ASN. Presiden Jokowi telah memberikan pernyataan terkait
tindak lanjut bagi 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus dalam tes wawasan
kebangsaan (TWK) sebagai proses pengalihan status menjadi Aparatur Sipil Negara
(ASN). Dalam pernyataannya, Presiden memandang bahwa hasil TWK terhadap
Muhammad Ilham Akbar
1394 Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021
pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK,
baik terhadap individu maupun institusi. Presiden Jokowi juga sependapat dengan
pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Pengujian Undang-Undang
(Undang-Undang) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
KPK. Selain itu, menurutnya, proses pengalihan status pegawai KPK menjadi Aparatur
Sipil Negara (ASN) tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi
ASN. Jokowi meminta kepada para pihak yang terkait, khususnya pimpinan KPK,
Menteri PANRB, dan Kepala BKN untuk merancang tindak lanjut bagi 75 pegawai
KPK yang dinyatakan tidak lulus tes, dengan prinsip-prinsip sebagaimana saya
sampaikan tadi.
Instruksi Presiden Jokowi ini sama sekali tidak di indahkan, baik oleh KPK
maupun kemenPAN-RB dan BKN sebagai pejabat yang melaksanakan proses seleksi.
Padahal Presiden selain berfungsi sebagai kepala negara juga berfungsi sebagai kepala
pemerintahan. Maka fungsi kepala pemerintahan sebenarnya sudah cukup memberikan
jawaban, bahwa arahan Presiden Jokowi harus didengarkan dan tidak boleh jadi angin
lalu. Padahal secara hierarki jabatan Presiden tentu merupakan kepala pemerintahan
yang membawahi Menteri PANRB, BKN dan KPK. Presiden Jokowi harus mengambil
alih, proses peralihan status ASN bagi pegawai KPK dengan membatalkan TWK yang
diadakan tersebut.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2020 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Manajemen
Pegawai Negeri Sipil pada pasal 3 ayat (7) menyebutkan: Pendelegasian kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditarik kembali oleh Presiden dalam hal:
a. Pelanggaran prinsip sistem merit yang dilakukan oleh PPK; atau
b. Untuk meningftatkan efektifitas penyelengaraan pemerintahan.
Artinya Presiden dapat mengambil alih mandat yang telah diberikan kepada
Menteri PANRB, dan Kepala BKN sebagai pelaksana seleksi terhadap 51 pegawai KPK
yang dinon-aktifkan. Presiden memegang peranan yang begitu penting dalam
menyelamatkan 51 pegawai KPK yang diberhentikan dengan alasan tidak rasional.
Mengapa tidak rasional? Sebab Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 Tentang KPK,
maupun PP nomor 41 tahun 2020 Tentang pengalihan pegawai komisi pemberantasan
tindak pidana korupsi menjadi aparatur sipil negara sama sekali tidak mempersyaratkan
pegawai KPK harus diseleksi untuk dapat dinyatakan bisa menjadi ASN atau tidak.
Sehingga jelas sekali Presiden Jokowi memiliki peluang yang besar untuk membatalkan
TWK yang diselenggarakan oleh KemenPANRB, BKN dan KPK.
Abdul Latif dan Hasbi Ali mengemukakan bahwa sesunggunya politik sebagai
sumberdaya hukum. Menurutnya, ada tiga titik temu antara politik dan hukum di dalam
kehidupan masyarakat. Pertama, pada waktu pengangkatan pejabat hukum, walaupun
tidak semua proses pengangkatan pejabat hukum melibatkan politik, namun proses itu
terbuka bagi keterlibatan politik; Kedua, proses pembuatan hukum itu sendiri, setiap
proses pembuatan kebijaksanaan formal yang hasilnya tertuang dalam hukum pada
dasarnya produk politik; dan Ketiga, proses pelaksanaan atau penegakan hukum (law
Political Will Terhadap Kelembagaan KPK Era Presiden Jokowi
Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021 1395
enforcement), di mana pihak-pihak yang berkepetingan berusaha mempengaruhi
pelaksanaan kebijaksanaan yang sudah berbentuk hukum, sejalan dengan kepentingan
dan kekuatannya (Sahid, 2016).
Pendapat Abdul Latif dan Hasbi Ali diatas, memberikan penegasan bahwa
penegakan hukum sebagai bagian dari proses hukum tidak dapat merdeka dari pengaruh
politik. Sangat sulit bagi KPK berdiri diatas perjuangan pemberantasan korupsi yang
dukungan politiknya krisis dan memprihatinkan. Harusnya KPK bukan lagi berada pada
level mempersoalkan kewenangannya yang terseok-seok, bukan lagi pada fase mencari
dukungan politik. Harusnya KPK sudah berada pada level membangun system
pengelolaan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, yang lazimnya dikenal dengan
istilah zona integritas. Political will Presiden Jokowi sangat dibutuhkan, sebab sejarah
dapat mencatat di era siapa KPK mengalami masa krisis dan kehancuran. Presiden
Jokowi perlu mengingat dan merenungi, bahwa Kekuasaan politik yang dijalankan
dengan tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi akan menghasilkan
pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik (Setiadi,
2018).
2. Keharusan Political Will Presiden Jokowi terhadap Kelembagaan KPK
Setiap kepemimpinan pasti menempatkan pembangunan ekonomi sebagai pilar
utama dalam pembangunan nasional. Disaat bersamaan penghambat pembangunan
ekonomi juga terjadi, yakni korupsi. Korupsi menjadi kendala dalam menciptakan
kesejahteraaan pembangunan. Korupsi menjadi kendala untuk bangsa ini
mewujudkan tujuan Negara kita “memajukan kesejahteraan”. Maka setiap rezim
kekuasaan tidak pernah absen untuk selalu menaruh perhatian pembangunan
hukumnya dalam ranah pemberantasan korupsi. Sehingga setiap rezim sebenarnya
sangat membutuhkan kehadiran lembaga pemberantasan korupsi yang mampu
memberantas korupsi secara cepat dan berintegritas. Begitupun sebaliknya, masa
depan pemberantasan korupsi pula sangat ditentukan oleh komitmen, dorongan
politik atau political will Presiden (Umam, 2019).
Mayoritas peneliti kajian antikorupsi kontemporer bersepakat bahwa korupsi
merupakan penghambat laju pembangunan ekonomi. Karena itu, agar arus investasi
asing bisa masuk ke pasar dalam negeri, maka kepastian hukum dan stabilitas sosial,
politik dan keamanan menjadi syarat mutlak untuk dihadirkan. Sehingga konsistensi
political will dalam melawan korupsi sangat dibutuhkan dalam rangka memerangi
korupsi dan menciptakan efisiensi pelaksanaan pembangunan ekonomi yang menjadi
agenda wajib dan utama setiap periodesasi kepemimpinan Presiden.
Untuk menghadirkan kepastian hukum dan pemberantasan korupsi yang efektif
tersebut, lembaga-lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF),
United States of America International Development (USAID) hingga World Bank
yang bermazhab neo-liberalisme acapkali menawarkan paket kebijakan struktural
kepada Negara-Negara berkembang berupa resep demokratisasi, liberalisasi pasar
dan juga reformasi kelembagaan. Secara teoritik, terdapat dua prinsip dasar
Muhammad Ilham Akbar
1396 Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021
demokrasi yang diyakini ampuh menjadi instrumen pemberantasan korupsi, dimana
sistem demokrasi memberikan mekanisme dan prosedur yang jelas kepada rakyat
untuk menuntut pertanggungjawaban (accountability) dan transparansi
(transparency) dalam pemerintahan.
Masalah yang sangat serius terjadi di Indonesia saat ini adalah masalah
korupsi. Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai
momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara (I Wayan
Yuda SatriaI Wayan SuardanaIda Bagus Surya Darmajaya, 2013). Ekonomi yang
rapuh akan berdampak pada perjalanan demokrasi. Sebab stabilitas ekonomi akan
sangat mempengaruhi stabilitas pertahanan dan keamanan. Tidak mungkin
membangun demokrasi tanpa kenyamanan internal negara.
Demokrasi sejatinya mensyaratkan sistem check and balance dalam kekuasaan
dan supremasi hukum. Selanjutnya, agar tidak terjadi ‘perselingkuhan’ antara
kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi yang berakibat pada anomali pasar dan
sistem demokrasi, maka mazhab neo-liberal ini menekankan pentingnya liberalisasi
pasar untuk menghilangkan praktik-praktik monopoli. Kemudian, setelah
demokratisasi dan liberalisasi pasar dapat menyehatkan sistem politik dan ekonomi
suatu Negara, upaya pemberantasan korupsi dapat dipercepat dengan reformasi
kelembagaan dengan menghadirkan Undang-Undang Antikorupsi dan pembentukan
lembaga-lembaga khusus antikorupsi seperti KPK. Dengan demikian, secara teoritik,
semakin tinggi kualitas demokrasi dan pasar suatu Negara yang ditopang dengan
mesin antikorupsi yang agresif, maka akan semakin efektif upaya pemberantasan
korupsi. Berbeda dengan di Indoonesia yang komitmen politik terhadap kelembagaan
KPK-nya lambat laun bergerak secara lambat dan tidak tentu arahnya. Utamanya saat
memasuki kepemimpinan Presiden Jokowi, KPK harus menerima kenyataan untuk
dilemahkan kewenangannya melalui pengesahan Undang-Undang 19/2019.
Political will dari pemimpin politik tertinggi dalam suatu Negara merupakan
kunci kesuksesan sekaligus kegagalan dari lembaga pemberantasan korupsi.
Misalnya Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, KPK menghadapi roller
coaster agenda pemberantasan korupsi. Berbagai ancaman yang menghadirkan
ketidakpastian masa depan KPK, telah dilakukan oleh kekuatan eksternal maupun
internal KPK. Hal itu berdampak signifikan pada efektivitas mesin antikorupsi KPK.
Hanya saja entah mengapa kemudian justru Presiden Jokowi sendiri mendukung
pembentukan Undang-Undang 19/2019 yang hari ini menjadikan KPK tidak efektif
dalam memberantas korupsi. KPK dibuat berjuang sendiri tanpa adanya political will
dari Presiden. Sebuah fakta yang menunjukan bahwa Presiden seakan tunduk pada
kekuasaan koalisi yang dibentuknya sendiri.
Indonesia telah mendeklarasikan hukum sebagai panglima dalam denyut
kehidupan ketatanegaraannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Yulianto, 2020). Sebagai suatu hukum
tertinggi, tentu presiden harus meletakkan hukum diatas kepentingan politik. Sebab
refleksi ketaatan seorang presiden terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menunjukan
Political Will Terhadap Kelembagaan KPK Era Presiden Jokowi
Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021 1397
presiden sedang membangun peradaban ketaatan terhadap dunia hukum. Mendukung
KPK untuk penegakan hukum adalah bentuk peradaban anti korupsi sedang di
bangun oleh presiden Jokowi.
Presiden Jokowi dapat belajar dari filiphina yang pernah mengalami hal serupa
seputar lemahnya kepemimpinan politik dalam mendukung lembaga pemberantasan
korupsi. Di Filipina pada paruh 1983 mengalami krisis pemberantasan korupsi. Para
pelaku korupsi ironisnya yang dapat dibawa ke Pengadilan sangat sedikit dari
banyaknya pelaku korupsi. Proses hukum pemberantasan korupsi tidak menyentuh
pimpinan tertinggi. Kendala lemahnya pemberantasan korupsi di Filipina tersebut
terjadi pada proses penyidikan dan penuntutan, bukan pada ranah pengadilan.
Kepolisian dan Kejaksaan di filphina tidak adil dalam melaksanan tugas
pemberantasan korupsi. Hanya kalangan kecil yang tidak memiliki kekuasaan kuat
yang biasanya dituntut. Pengadilan di Filipina sebenarnya bisa saja menghukum
pelaku dari hulu hingga hilir yang melakukan korupsi secara sistemik sebagaimana
yang menjadi keinginan publik Filipina untuk penegakan hukum yang adil. Hanya
saja proses hukum sebelum masuk ketingkat pengadilan kerap kali penegak hukum
pada tingkat Kepolisian dan Kejaksaan membiarkan pejabat elit yang memiliki
kekuasaan besar tidak tersentuh untuk diproses hukum.
Pasca jatuhnya Kekuasaan Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos Sr, dalam
revolusi Filipina 1986. Kekuasaan transisi melakukan upaya pemberantasan korupsi
secara sistemik dan universal. Langkah pertama, pemerintahan Filipina melakukan
beberapa upaya yang dilakukan untuk menangulangi korupsi antara lain adalah
melakukan apolitisasi secara positif terhadap biroktasi sejalan dengan perubahan
pemerintahan di Fhilipina dan perubahan lainnya di dalam masyarakat. Kedua
langkah yang dilakukan ialah memenuhi aspirasi desakan masyarakat yang direspon
positif kekuasaan pemerintah Filipina dalam rangka membangun komitment yang
tinggi dari pemimpin Negara Filipina untuk memerangi korupsi.
Langkah konkrit yang menunjukan pemerintah Filipina memiliki konsistensi
political will ialah tingginya kemauan politik untuk melakukan perbaikan terhadap
Undang-Undang lembaga pemberantasan korupsi, yang tujuannya memperkuat
kewenangan dan independensi kelembagaan pemberantasan korupsi di filipina.
Diantaranya membentuk secara lengkap undang-undang lembaga pemberantasan
korupsi Filipina yang merupakan salah satu undang-undang yang paling
komprehensif di mana pun di dunia. Political will tersebut tercermin secara
berjamaah oleh semua pejabat tinggi Negara, terlebih kepala Negara di Filipina
mendukung penuh undang-undang lembaga pemberantasan korupsi Filipina.
Konsistensi political will pemerintahan Filipina hingga saat ini masih membekas
dan diamalkan oleh segenap elite pemerintahan di filipina. Konsistensi political will
menjadi kian penting ditengah hukum yang selalu digerogoti oleh keputusan-
keputusan politik yang terkadang tanpa pertimbangan argumentasi hukum memadai
utamanya pada wilayah perubahan legislasi.
Muhammad Ilham Akbar
1398 Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021
Sejatinya Konsistensi political will terhadap kelembagaan KPK dapat
membantu penyelenggaraan pemerintahan yang menjunjung tinggi asas good
governence dan sekaligus juga menunjukan political will pemerintah hadir dalam
membangun zona integritas. Secara konseptual kebijakan harus sesuai dengan
norma serta ideologi sebuah bangsa yang telah disepakati bersama. Ideology tidak
saja soal Pancasila, namun juga rasa keadilan dimasyarakat. Tidak ada satupun hasil
survey ataupun penelitian yang menolak pendapat bahwa korupsi tidak mendapat
tempat dihati masyarkat Indonesia, dalam arti semua bersepakat korupsi merupakan
musuh bersama. Sehingga sangat relevan jika kita menyimpulkan KPK adalah
wujud kebijaksaan pelaksanaan ideology bangsa Indonesia yang anti terhadap
korupsi.
Kebijaksanaan legislasi kita terhadap kelembaagaan KPK seharusnya berpihak
pada penguatan kewenangan pemberantasan korupsi. Menurut van Der Blies seperti
dikutip Krisnayuda. Terdapat beberapa asas yang dapat digunakan sebagai tolok
ukur apakah sebuah kebijakan atau aturan yang diterbitkan merupakan aturan atau
kebijakan yang baik atau tidak: a) Asas tujuan yang jelas, bahwa sebuah kebijakan
dalam berbagai bentuknya yang dikeluarkan pemerintah sebagai pembentuk
regulasi, harus memiliki tujuan yang jelas harus tampak juga penjelasannya. Setiap
pernyataan dan diksi yang digunakan harus diutarakan dan diungkapkan secara
eksplisit. b) Asas urgensi adalah asas untuk menghindari kemungkinan
dikeluarkannya suatu kebijkan dalam bentuk apapun yang sebenarnya tidak
memiliki kegunaan atau tidak diperlukan. c) Asas kemungkinan pelaksanaan, asas
ini berkaitan dengan kemungkinan untuk mengimplementasikan dan menegakkan
aturan di dalam praktiknya (Krisnayuda, 2016).
Olehnya itu sudah seharusnya Presiden Jokowi hadir dalam menyelesaikan
persoalan yang sedang menimpa KPK. Tidak hanya cukup dengan menyapaikan
pidato kenegaraan, lebih dari itu Presiden harus tampil dengan tindakan hukum.
Yakni mengenai kasus novel, Presiden dapat mengintervensi Kapolri untuk
bertindak secara cepat mengungkap fakta sebenarnya dibalik penyiraman air keras
yang menyebabkan mata penyidik senior KPK novel baswedan menjadi tidak
normal.
Mengenai Undang-Undang KPK Presiden dapat menerbitkan perppu KPK,
membangun komunikasi dengan koalisi di DPR untuk menerima perppu yang isinya
adalah mengembalikan marwah KPK seperti dalam Undang-Undang 30 Tahun
2002. Kemudian untuk TWK Presiden harus membatalkan TWK yang
diselenggarakan KemenPANRB, BKN dan KPK.
Presiden harus mendukung KPK dari segala upaya politisasi yang bertujuan
melemahkan KPK. Sebab KPK merupakan satu-satunya lembaga penegakan
hukum yang dapat berfungsi secara optimal, intensif, efektif, profesional, dan
berkesinambungan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi para koruptor
khususnya di Indonesia. Sebagaimana telah diputuskan oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) melalui suatu konvensi yang disebut The UN Convention Against
Political Will Terhadap Kelembagaan KPK Era Presiden Jokowi
Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021 1399
Corruption tahun 2003, dimana Indonesia menjadi negara ke-48 yang
meratifikasi konvensi ini pada Maret tahun 2006 (Ridho, 2019).
Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia
dalam mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat dan bangsa Indonesia
harus mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus
jujur mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai
lokomotif pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia, yang didukung
oleh masyarakat dan LSM, walaupun dampaknya masih terlalu kecil, tapi tetap kita
harus berterima kasih dan bersyukur (Rahmanul & Adianto, 2020).
Beban KPK dari waktu ke waktu semakin berat, berbagai tantangan internal
danexsternal bersiap untuk mengadang kerja pemberantasan korupsi15, tantangan
tersebut diantaranya: (Wawan Fransisco, 2020) a. Konsolidasi oligarkhi,
desentralisasi actor & wilayah korupsi;b. Tebang pilih dalam penanganan kasus
korupsi. Revisi Undang-Undang KPK;d. Presiden yang tidak berpihak keapda KPK
dan upaya pemberantasan korupsi;e. Korupsi politik oleh oligarki nasional dan
local; f. Aparat penegak hukum yangmasih korup; g. Pembentukan hak angket yang
bertujuan untuk menghambat kinerjaKPK;f. Memasukkan orang-orang bermasalah
kedalam instansi KPK
Kesimpulan
Setelah menganalisis dan menguraikan dua rumusan masalah pada pembahasan
diatas, maka dapat kita simpulkan, Political will Presiden Jokowi terhadap kelembagaan
KPK masih menyimpan berbagai persoalan. Presiden belum tampil sebagaimana
seharusnya seorang Presiden yang mencita-citakan pemberantasan korupsi. Seharusnya
sikap political will yang baik dari Presiden Jokowi terhadap kelembagaan KPK tidak
hanya dengan stagment semata. Sebab seorang kepala pemerintahan tindakan
konkritnya adalah dalam bentuk suatu regeling (pengaturan) dan beshikking
(keputusan). Dua hal inilah yang dapat mengukur apakah Presiden Jokowi memiliki
political will terhadap kelembagaan KPK. Ataukah political will tersebut masih jauh
dari yang dicita-citakan.
Muhammad Ilham Akbar
1400 Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021
BIBLIOGRAFI
Badjuri, Achmad. (2011). Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai
lembaga anti korupsi di indonesia. Jurnal Bisnis Dan Ekonomi, 18(1).Google
Scholar
Damanik, Khairul Ikhwan, Lubis, Elfian, Siregar, Tikwan Raya, Nilasari, Ivo,
Khairuddin, Ahmad, Mufti, Norpan, Siswoyo, Gudo, & Ningsih, Sutra. (2010).
Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia: Berapa Persen
Lagi Tanah dan Air Nusantara Milik Rakyat. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Google Scholar
Danendra, Ida Bagus Kade. (2013). Kedudukan dan Fungsi Kepolisian dalam Struktur
Organisasi Negara Republik Indonesia. Lex Crimen, 1(4). Google Scholar
Fariz, Donal. (2019). Pemerintahan Joko Widodo dan Serangan Politik Terhadap KPK.
Integritas: Jurnal Antikorupsi, 5(2), 1933. Google Scholar
Ghoffar, Abdul. (2019). Perbandingan kekuasaan presiden Indonesia setelah
perubahan UUD 1945 dengan delapan negara maju.Kencana:Jakarta. Google
Scholar
https:// www. merdeka. com/ peristiwa/ jelang- pilpres- 2019 - novel- baswedan tagih
- janji- jokowi-selesaikan-kasusnya.html, dikutip 7 Juni 2021
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/11/19372191/setujui-pembahasan-revisi-uu-
kpk-jokowi-sudah-kirim-surpres-ke-dpr, dikutip 7 Juni 2021.
https://www.kompas.tv/article/174758/sikap-75-pegawai-kpk-terhadap-pernyataan-
presiden-jokowi-soal-status-penonaktifan-dan-twk, dikutip 7 juni 2021.
I Wayan Yuda SatriaI Wayan SuardanaIda Bagus Surya Darmajaya. (2013).
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsidi Indonesia. Journal Ilmu Hukum Kertha Semaya, 1(1), 1.
Johanes Danang Widoyoko. (2016). Menimbang Peluang Jokowi Memberantas
Korupsi: Catatan untuk Gerakan Anti Korupsi. Jurnal Integritas, 2(1), 4. Google
Scholar
Krisnayuda, Backy. (2016). Pancasila & Undang-Undang" Relasi dan Transformasi
Keduanya Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Kencana. Google
Scholar
Kurniawan, Kukuh Dwi. (2019). Gagasan Advokat Menjadi Whistleblower dalam
Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi. Justtia Jurnal Hukum, 3(1), 100115.
Google Scholar
Political Will Terhadap Kelembagaan KPK Era Presiden Jokowi
Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021 1401
Nomenklatur visi-misi Jokowi-JK ditahun 2014. (2014)
Quah, Jon S. T. (2003). Singapores anti-corruption strategy: is this form of governance
transferable to other Asian countries? In Corruption and governance in Asia (pp.
180197). Springer. Google Scholar
Rahmanul, Rahmanul, & Adianto, Adianto. (2020). Peran KPK dalam Menangani
Kasus Korupsi di Indonesia. FisiPublik: Jurnal Ilmu Sosial Dan Politik, 5(1), 28
38. Google Scholar
Ramadhana, Kurnia. (2019). Menyoal Kinerja KPK: Antara Harapan dan Pencapaian.
Integritas: Jurnal Antikorupsi, 5(2), 151163. Google Scholar
Ridho, M. Zainor. (2019). Kpk Dan Kekuasaan. Al Qisthas: Jurnal Hukum Dan Politik
Ketatanegaraan, 8(1), 1959. Google Scholar
Sahid, Asep Abdul. (2016). Konflik Kpk Vs Polri Jilid Iii: Kontestasi Kuasa Dalam
Penegakan Hukum Di Indonesia. Asy-Syariah, 18(1), 139148. Google Scholar
Setiadi, Wicipto. (2018). Korupsi Di Indonesia Penyebab, Hambatan, Solusi dan
Regulasi. Jurnal Legislasi Indonesia, 15(3), 249262. Google Scholar
Umam, Ahmad Khoirul. (2019). Lemahnya Komitmen Antikorupsi Presiden di tengah
Ekspektasi Pembangunan Ekonomi dan Tekanan Oligarki. Integritas: Jurnal
Antikorupsi, 5(2), 117. Google Scholar
Wahyuningrum, Kartika Sasi, Disemadi, Hari Sutra, & Jaya, Nyoman Serikat Putra.
(2020). Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi: Benarkah Ada? Refleksi
Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 4(2), 239258. Google Scholar
Waluyo, Bambang. (2017). Optimalisasi pemberantasan korupsi di indonesia. Jurnal
Yuridis, 1(2), 162169. Google Scholar
Wawan Fransisco. (2020). Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi,Kebijakan Dan
Tantangan Penanggulangan Korupsi Di Era 4.0. Jurnal Hukum Samudra Keadilan,
15(1), 41.
Wospakrik, Decky. (2016). Koalisi Partai Politik Dalam Sistem Presidensil Di
Indonesia. Papua Law Journal, 1(1), 142161. Google Scholar
Yulianto, Yulianto. (2020). Politik hukum revisi undang-undang KPK yang
melemahkan pemberantasan korupsi. Jurnal Cakrawala Hukum, 11(1), 111124.
Google Scholar
Muhammad Ilham Akbar
1402 Syntax Idea, Vol. 3, No. 6, Juni 2021
Yuwanto, Listyo. (2016). Kinerja Penanganan Tindak Pidana Korupsi Sumber Daya
Alam dan Kepercayaan Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Integritas:
Jurnal Antikorupsi, 2(1), 2541. Google Scholar