Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�

Vol. 3, No. 7, Juli 2021

 

IDEOLOGI DAN PARTAI POLITIK: MENAKAR IDEOLOGI POLITIK MARHAENISME PDIP DAN ISLAM MODERAT PKB

�

Hasnu, Firdaus Syam

Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, Indonesia

Email: �[email protected], [email protected]

 

Abstrak

Ideologi dan Partai Politik: Menakar Ideologi Politik Marhenisme PDIP dan Islam Moderat PKB. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui ideologi politik dan platform PDIP yang berideologi Marhaenisme dan PKB yang berideologi Islam Moderat dalam setiap kebijakan politik dan perilaku politik yang dihasilkan. Untuk melihat fakta tersebut, peneliti mengambil dua partai politik sebagai objek penelitian yakni PDIP dan PKB karena kedua partai ini dinilai memiliki ideologi politik yang khas, baik dalam latar belakang berdirinya sampai pada tahapan keputusan politik yang dihasilkan di ruang publik. Metode penelitian ini menggunakan deskriptif-kualitatif di mana menghasilkan PDIP yang memiliki landasan historis politik yang kuat dengan ideologi marhaenisme sebagai manifestasi ajaran Soekarno. Kendati demikian, keputusan politik PDIP di legislatif dan eksekutif nasional acapkali tidak mencerminkan keberpihakan terhadap hajat hidup rakyat kecil. Begitupun fenomena yang terjadi di PKB sebagai parpol yang berideologi Islam Moderat. Platform tersebut, dinilai belum menggawangi substansi persoalan terhadap setiap kebijakan politik yang diperjuangkan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menjelaskan adanya ketidaksesuaian antara ideologi politik Marhaenisme di PDI Perjuangan dan Islam Moderat di PKB terhadap platform politik dan ideologi politik yang dibangun baik di legislatif maupun eksekutif. Hal tersebut karena dipicu akibat gagalnya partai politik dalam menjalankan fungsi sosialisasi politik terhadap kader-kader partainya sehingga berdampak terhadap kurangnya kepercayaan publik terhadap eksistensi serta esensi partai politik. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan terjadi kesenjangan harapan dan kenyataan antara ideologi politik dengan kebijakan politik, karena besarnya derajat pragmatisme politik dan perilaku politik yang cenderung koruptif serta gersangnya keberpihakan partai politik dalam merumuskan kebijakan terhadap rakyat kecil. Permasalahannya, partai politik gagal dalam melakukan sosialisasi politik berupa proses ideologisasi terhadap kader-kader partai politiknya.

 

Kata Kunci: ideologi; partai politik; marhaenisme PDIP; islam moderat PKB

 

Abstract

Ideology and Political Parties: Measuring the Political Ideology of Marhenism PDIP and Moderate Islam PKB. The purpose of this study is to know the political ideology and platform of PDIP with the ideology of Marhaenism and PKB with moderate Islamic ideology in every political and political policy that is good in the legislature and executive. The theory of which in this study is into the language that refers to Gabriel A. Almond on the Study of Political Systems, namely and function. The results obtained from this study are clearly a mismatch between the political ideology of Marhaenism in PDI Perjuangan and Moderate Islam in the PKB against political platforms and political ideologies in both the legislature and the executive. This is because of the lack of political parties in the function of politics against the cadres of his party so as to have an impact on the lack of public to and the absence of political parties. The passage of this research shows the hope and truth between political ideology and political means, for him the degree of political pragmatism and political politics that fileirar corruptive and arid kese Ke mana, political parties fail in conducting political ideological process against cadres of political parties.

 

Keywords: ideology; political party; PDIP marhaenism; moderate islam PKB

 

Pendahuluan

Fenomena anomali politik di tengah konstelasi partai politik pada proses demokrasi yang telah berusia cukup matang adalah kecenderungan krisis ideologi politik di tubuh partai politik. Perbincangan ideologi tentu tidak terlepas dari bagaimana bangunan sebuah ide dan narasi politik yang diserap dari nilai-nilai dan prinsip politik yang visioner dan filosofis, kemudian dikembangkan melalui sistem dan metode yang konsisten serta mampu menginternalisasinya menjadi pola dan tindakan politik dalam kehidupan masyarakat. Secara sederhana, sejauh mana ideologi masih menjadi alat dan tujuan politik yang terbangun secara sistemik, terencana dan konsisten di seluruh elemen struktural dan fungsional partai politik (Heryanto, 2020).

Menurut (Surbakti, 2010) ada tiga teori yang mencoba menjelaskan asal usul partai politik. Pertama, teori kelembagaan yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik. Kedua, teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. Ketiga, teori pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi. Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih mudah dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modern (Budiardjo, 2010).

Partai politik, sebagai instrumen politik yang sangat strategis di dalam lanskap demokrasi patut menjadi subjek pertaruhan relevansi ideologi politik yang secara makro berkontribusi terhadap arah dan tujuan kehidupan politik bangsa dan negara. Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis (Geraldy, 2019).

Problemnya, seiring rendahnya derajat ideologisasi partai, dapat dikatakan bahwa partai politik hari ini tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan nafsu birahikekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir elit politik yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu �at the expense of the general will‟ atau kepentingan umum (Aulia, 2016).

Menurut (Budiardjo, 2010) mengatakan, partai politik di negara demokrasi sekurang-kurangnya memiliki beberapa fungsi diantaranya; sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai sarana rekrutmen politik, dan sebagai sarana pengtur konflik. Kendati demikian, kehampaan ide, nilai dan identitas politik yang hakiki dan substansial mendegradasikan peranan dan fungsi partai politik menjadi komoditas politik kaum oligarki ekonomi maupun politik. Partai politik kehilangan bentuk dari wujud ekspresi ide-ide, nilai dan paradigma politik yang filosofis dan visioner. Hal itu tentu kontradiksi dengan upaya demokrasi dan sejarah kekayaan ideologi perpolitikan di Indonesia sejak zaman demokrasi Indonesia hingga zaman reformasi.

Penelitian ini tentu sangat berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Hal ini ditandai dengan upaya yang dilakukan oleh penulis sendiri dengan memfokuskan objek kajian dan penulis berupaya mencoba melihat secara tajam terkait korelasi empirik dari ideologi marhaenisme PDIP dan ideologi Islam Moderat PKB dalam setiap keputusan politik yang dihasilkan baik di legislatif dan eksekutif nasional (Machmud, 2016).

Tulisan ini bemula dari kegelisahan penulis terhadap kelembagaan suatu partai politik yang semakin hari semakin dipertanyakan keberpihakannya dalam setiap keputusan politik yang dihasilkan di legislatif dan eksekutif nasional. Dalam tulisan ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi objek penelitian penulis karena kedua partai politik ini menawarkan platform politik secara konseptual berpihak terhadap marhaen (kelompok kecil) dan mustad�afin (rakyat kecil). Kajian ini mencoba untuk memotret sejauh mana keberpihakan partai politik dalam hal ini PDIP dan PKB terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan di legislatif dan eksekutif nasional (Jupri, 2019).

Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan dan pengerucutan (convergence) ideologis, yakni dengan memeriksa tujuan ideal Ideologi dan Partai Politik: Menakar Ideologi Politik Marheinisme PDIP dan Islam Moderat PKB untuk mengkaji terkait orientasi perjuangan serta keberpihakannya terhadap kepentingan publik. Hal ini dilakukan oleh penulis berangkat dari pandangan bahwa hari ini ideologi dan partai politik telah kehilangan orientasi perjuangannya dalam rangka mengaktualisasikan ideologi dan tujuan partai politik terhadap output (kebijakan) politik baik di legislatif dan eksekutif nasional. Menurut penulis, ukuran keberhasilan dari ideologi dan partai politik bukan saja diukur dari dominasi kader-kader partai politik tertentu yang duduk di legislatif dan eksekutif, melainkan ukuran keberhasilan dari suatu partai politik yang berkuasa tersebut harus sejalan dengan tujuan berdirinya partai politik serta ideologi yang terkandung di dalamnya. Artinya, partai politik harus bermanfaat bagi kepentingan rakyat banyak. Permasalahannya adalah apakah ideologi partai politik tersebut masih sesuai dalam ranah praktik ataukah telah mengalami degradasi yang luar biasa.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan deskriptif-kualitatif. Penelitian deskriptif-kualitatif merupakan proses penafsiran atau pembahasan dan pewacanaan realitas sebagai sebuah narasi dari konstruksi sosial. Adapun berbagai bentuk dan metode dalam penelitian deskriptif-kualitatif seperti dengan menggunakan melakukan analisis konten (conten analysis). Artinya, peneliti melakukan interpretasi berdasarkan realitas lapangan terhadap konten yang dihasilkan oleh objek yang menjadi sasaran penelitian dan kemudian hasil dari penelitian ini berbentuk narasi ataupun deskripsi (narration and thick deskription) yang menggambarkan dan menjelaskan realita dari sudut pandang yang sesungguhnya ketika peneliti telah mendalami setiap data sekunder baik bersumber dari buku, jurnal, dokumen dan sejenisnya (getting in, getting along, getting out) (Fattahurrosyid, 2017).

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Ideologi dan Partai Politik

Ideologi dalam partai politik merupakan suatu aspek yang sangat fundamental dalam menentukan arah dan tujuan perpolitikan yang dihasilkannya. Hal tersebut dapat dilacak melalui suatu produk kebijakan yang bersifat otoritatif sebagai bentuk pencapaian dari parpol tersebut baik di ruang legislatif dan eksekutif nasional. Secara umum, ideologi partai politik di Indonesia dapat diklaster dalam tiga (3) kelompok berikut; Pertama, Ideologi Nasionalis, ideologi ini merupakan ide-ide politik dan pola gerakan serta pemikiran berdasarkan sudut pandang Soekarno yakitu marhaenisme, sebagaimana narasinya yakni, pertama nasionalisme, ide tersebut tidak ada pengecualian antara suku, etnis, dan agama masyarakat yang terabaikan antara dengan yang lainnya, oleh karena itu ideologi nasionalisme (pancasila) berlaku secara universal untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) dan kesejahteraan masyarakat dan kedua, berbicara tentang ekonomi serta mutu sosial dalam mencapai keadilan yang merata. Kedua, Ideologi Islamisme, setiap gerakan politik yang dipraktekkan berdasarkan konsep tarbiyah. Partai politik Islam, pada dasarnya ideologi tersebut adalah sebuah norma, doktrin dan kepercayaan yang bersumber dari ajaran al-Qur�an dan hadits memiliki tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang madani, makmur, adil, demokratis, sejahterah dan bermartabat. Ketiga, Ideologi Nasionalisme dan Religius, yaitu penggabungan dari ideologi nasionalisme dan ideologi islamisme. Ideologi ini dapat didefinisikan sebagai kerja keras untuk kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama serta memperhatikan aspek nasionalisme, humanism, dan pluralisme dalam rangka mencapai tujuan perdamaian, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat (Iswadi, 2020).

Setiap partai politik memiliki mekanisme dalam menafsirkan ideologi partainya ke dalam agenda-agenda yang harus dijalankan dengan cara menformulasikan dan mengkontekstualisasikan dengan realitas yang ada. Ideologi sebagai konsepsi ide yang disistematiskan, menjadi urgen sebagai tolok ukur (indikator) konsistensi partai (Dacholfany, 2017). Partai politik di Indonesia yang berdiri sejak masa kolonial telah menjalani beberapa fase perkembangan sesuai dengan rezim yang membentuknya. Pada masa kolonial, partai politik lahir sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Kegiatan kepartaian pada masa Jepang mengalami penurunan drastis dengan dibubarkannya partai-partai ini karena penjajah Jepang tidak mentolerir dan melarang semua kegiatan politik. Hanya golongan Islam diperkenankan membentuk suatu organisasi sosial yang dinamakan Masyumi. Setelah mengalami penurunan peran pada masa pendudukan Jepang, peranan partai politik mengalami masa kejayaan pada masa Demokrasi Parlementer. Usaha ke arah pembentukan pemerintahan yang demokratis dengan partai politik sebagai pilar utamanya mengalami kegagalan karena demokrasi berkembang menjadi demokrasi yang tidak terkendali (unbridled democracy). Pada saat itu mulailah rezim otoriter yaitu Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila. Pada dua periode ini beberapa pasal dari UUD 1945 diberi tafsiran khusus sehingga dibuka peluang untuk berkembangnya sistem non-demokrasi. Dalam kedua rezim otoriter ini, partai politik tidak banyak memainkan peran bahkan dapat dikatakan perannya terkooptasi oleh Presiden Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin dan oleh Presiden Soeharto pada masa Demokrasi Pancasila. Keadaan non-demokratis ini berlangsung selama hampir 40 tahun (Budiardjo, 2010).

Ideologi partai politik tercermin dalam berbagai ranah, baik kebijakan dan perilaku kebijakan, maupun dokumen partai. Untuk melacak pemetaan ideologi partai politik dapat dilakukan dengan menelaah AD/ART partai politik. Khusus pada konteks Indonesia, pembilahan dapat dilakukan dengan melihat posisi partai dalam kaitannya dengan hubungan antara agama, masyarakat, dan negara (Mayrudin & Akbar, 2019). Seiring dengan keringnya ideologi shifting di tubuh partai, kita juga menemukan makin hari partai politik yang justru makin bergeser dari ideologi sebagai arah orientasi bergerak dan berjuang. Hal ini ditandai dengan kecenderungan personalisasi partai politik, penyempitan beberapa fungsi partai politik sekedar sebagai kendaraan politik para kandidat pada ajang pemilihan umum (pemilu) baik di pilkada (pemilihan kepala daerah), pileg (pemilihan legislatif), dan pilpres (pemilihan presiden) secara langsung, bermasalah dalam transparansi keuangan, cenderung masih bertahan dalam struktur organisasi yang dinilai oligarkis dimana sirkulasi kepemimpinan partai berputar pada sentral figur tertentu dan gagalnya proses regenerasi kepemimpinan. Harus di akui, partai politik pada hari ini telah dibajak oleh kelompok kuat modal (pengusaha) sebagai sarana untuk mencapai kepentingan pribadinya dan melacurkan tujuan ideal partai yang terpatri dalam ideologinya.

Di titik inilah menjadi penting sekali dalam menegaskan kembali peran vital ideologi bagi pelembagaan partai politik. Ideologi menggarisbawahi ide, bukan segmen (identitas). Ideologi melampaui segmen (identitas). Orang bisa datang darimana saja, etnis apa saja, memeluk agama apapun, menyandang seperangkat perbedaan atribut identitas, tetapi mereka bisa diikat secara bersama dalam ide besar yang sama, yang menjadi tujuan dan kepentingan bersama, yang kita sebut sebagai ideologi.

2.    Ideologi Marhaenisme di PDI Perjuangan

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam proses pendiriannya melewati beberapa peristiwa sejarah penting. Sebagai cita-cita bersama, perwujudan Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil, makmur, beradab, dan ber-Ketuhanan adalah hak sekaligus tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu menuntut keterlibatan semua kekuatan bangsa, baik secara individu maupun yang terorganisir dalam organisasi rakyat yang demokratis serta terbuka bagi semua warga negara, tanpa membedakan suku, agama, gender, keturunan dan kedudukan sosial.

Didorong oleh kesadaran akan tanggung jawab mewujudkan cita-cita luhur tersebut, serta guna memenuhi tuntutan perkembangan zaman yang ada, maka Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik, pada tanggal 9 Maret 1970 membentuk kelompok demokrasi pembangunan, yang kemudian dikukuhkan dengan pernyataan bersama kelima partai politik tersebut pada tanggal 28 Oktober 1971. Dan akhirnya pada tanggal 10 Januari 1973 melakukan langkah strategis memfusikan diri menjadi satu� wadah perjuangan politik rakyat berdasarkan Pancasila dengan nama Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam perkembangan selanjutnya dan didorong oleh tuntutan perkembangan situasi dan kondisi politik nasional yang terjadi, serta berdasarkan hasil keputusan Kongres V Partai Demokrasi Indonesia di Denpasar Bali, maka pada tanggal 1 Februari 1999, PDI telah mengubah namanya menjadi PDI Perjuangan, dengan azaz Pancasila dan bercirikan kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional, PDI Perjuangan menganut prinsip demokrasi yang menempatkan kepemimpinan pusat partai sebagai sentral gerakan, suatu kepemimpinan yang dipimpin ideologi Pancasila 1 Juni 1945, kepemimpinan yang mengandung manajemen satu arah dan satu tujuan yaitu masyarakat adil dan makmur, dan suatu kepemimpinan yang sesuai dengan kepribadian bangsa yaitu gotong royong (lihat AD-ART PDIP 2021-2024).

Ideologi Marhaenisme adalah jati diri dari ide, narasi dan laku politik Soekarno. Konsep marhaenisme sebagai interpretasi terhadap personifikasi rakyat kecil yang memiliki sebidang tanah kemudian menggarap sendiri, alatnya punya dia sendiri dan hasilnya cukup untuk kebutuhan keluarganya. Kedua, marhaenisme di ambil dari teori dialektika yang dikembangkan oleh Hegel dan didukung oleh Karl Marx dan F. Engels. Maka analisa marxisme menjadi pintu masuk untuk membedah lebih dalam marhaenisme Soekarno. PDIP di anggap sebagai partai politik yang memiliki keterikatan dan keterkaitan yang kuat dengan ideologi Marhaenisme (Kurniasih, 2019).

Bagi Soekarno marhaen adalah semua masyarakat dari kalangan yang dimarjinalkan ekonomi, baik memiliki alat produksi atau tidak.� Kemiskinan kaum marhaen diakibatkan oleh operasi ideologi yang mengeksploitasi sumber daya ekonomi dengan masyarakat sebagai sumber tenaga kerja murah dan dilakukan dengan paksaan serta kerelaan supaya mau dikuasi.� Marhaenisme merupakan inti dari ajaran Soekarno, pemikiran tentang marhaenisme merupakan originalitas pemikiran politiknya, marhaenisme diambil dari nama seorang petani di Jawa Barat.� Perjumpaan dengan kang marhaen dikisahkan oleh Soekarno bertemu dengan seorang petani miskin, kemudian dalam pertemuan itu terjadilah dialog diantara keduanya, Soekarno bertanya tentang kepemilikian tanah, bajak, kerbau, dan cangkul, marhaen menjawab bahwa alat-alat produksi tersebut memiliki oleh dirinya sendiri (Cahyaningtyas, 2020).

Sebagai asas perjuangan bagi rakyat Indonesia Marhaenisme menghendaki susunan masyarakat sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme yaitu nasionalisme berdasarkan kemasyarakatan. Nasionalisme sendiri sebagai faham kebangsaan tumbuh karena persamaan nasib dan sejarah serta persamaan kepentingan hidup bersama sebagai sebuah bangsa. Marhaenisme mengandung asas sosio-demokrasi, yaitu demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial. Demokrasi politik mengakui hak setiap warga negara untuk berpartisipasi secara aktif menentukan arah, haluan, dan susunan negara. Marhaenisme juga mengakui asas demokrasi ekonomi, yang menjamin hak sama bagi seluruh warga negara untuk hidup makmur. Sementara demokrasi sosial menjelaskan bahwa tiap-tiap orang mendapatkan penghargaan yang sama sebagai makhluk sosial. Sehingga demokrasi sosial memberikan jaminan kepada setiap warga negara mencapai tingkat kemajuan setinggi-tingginya dalam segala lapangan sesuai dengan bakatnya (Priyatna, 2019).

Untuk mempertegas ajaran-ajaran Soekarno agar menjadi ide dasar politik PDIP, terutama dalam membangun pola kaderisasi telah di atur dalam Anggaran Rumah Tangga Bab IV Pasal 83 13.� Secara tekstual, PDIP memang memiliki garis ideologi yang tegas.� Pancasila sebagai ideologi politik PDIP adalah pidato Soekarno 1 Juni 1945.� Pancasila yang bermatra pada sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan yang berkebudayaan. Marhaenisme sebagai prinsip politik Soekarno pun menjadi materi yang diberikan ke seluruh kader PDIP. Artinya, prinsip-prinsip marhaenisme yang bertitik tolak pada analisa marxist sebagai pandangan kritis terhadap ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat akibat ekonomi politik liberalis-kapitalisme pun seharusnya menjadi pedoman politik PDIP.� Karena sebagai antithesis dari liberalis-kapitalisme maka, kedudukan Marhaenisme adalah inheren dengan sosialisme. Gambaran marhaenisme secara jelas dan tegas di sampaikan dalam tulisan Soekarno (Geraldy, 2019).

Di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada bab II menjelaskan tentang Asas, Jati diri dan Watak. PDI Perjuangan berasaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan jiwa dan semangat kelahirannya pada 1 Juni 1945. Kemudian dijelaskan, Jati diri partai adalah Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Sedangkan watak partai adalah gotong royong, demokratis, merdeka, pantang menyerah dan progresif revolusioner.

Hasil temuan peneliti dalam AD-RT Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tahun 2019-2024 menjelaskan juga tentang tujuan khusus partai yakni:

  1. Membangun gerakan politik yang bersumber pada kekuatan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan berkeadilan sosial;
  2. Membangun semangat, mengkonsolidasi kemauan, mengorganisir tindakan dan kekuatan rakyat, mendidik dan menuntun rakyat untuk membangun kesadaran politik dan mengolah semua tenaga rakyat dalam satu gerakan politik untuk mencapai kemerdekaan politik dan ekonomi;
  3. Memperjuangankan hak rakyat atas politik, ekonomi, sosial dan budaya, terutama demi pemenuhan kebutuhan absolut rakyat, yaitu kebutuhan material berupa sandang, pangan, papan dan kebutuhan spiritual berupa kebudayaan, pendidikan dan kesehatan;
  4. Berjuang mendapatkan kekuasaan politik secara konstitusional sebagai alat untuk mewujudkan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu mewujudkan pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
  5. Menggalang solidaritas dan membangun kerjasama internasional berdasarkan spirit Dasa Sila Bandung dalam upaya mewujudkan cita-cita Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

Secara empirik, PDI Perjuangan sebagai parpol yang bercirikan partai pembela rakyat kecil (Wong Cilik), kini telah bergeser arah orientasinya. Fakta menunjukkan bahwa terpilihnya Jokowi-Jusuf Kalla dalam pilpres 2014 silam, dan terpilihnya pasangan Jokowi-Ma‟ruf pada pilpres 2019 lalu merupakan hasil kerja nyata dan kerja keras PDI Perjuangan sebagai parpol yang mengusung Jokowi- Ma‟ruf. Merujuk kepada (Budiardjo, 2010) mengatakan kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Dalam ranah keputusan (decision) adalah hasil dari membuat pilihan di antara beberapa alternatif, sedangkan istilah Pengambilan Keputusan (decision making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai. Pengambilan keputusan sebagai konsep pokok dari politik menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif mengikat seluruh masyarakat. Keputusan-keputusan itu dapat menyangkut tujuan masyarakat, dapat pula menyangkut kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan itu. Setiap proses membentuk kebijakan umum atau kebijakan pemerintah adalah hasil dari suatu proses mengambil keputusan, yaitu memilih beberapa alternative yang akhirnya ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah. Namun demikian, perlu dilihat juga terkait pembagian (distribution) dan alokasi (allocation) ialah pembagian dan penjatahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat. Menekankan bahwa pembagian dan alokasi beranggapan bahwa politik tidak lain dan tidak bukan adalah membagikan dan mengalokasikan nilai-nilai secara mengikat. Pembagian ini sering tidak merata dan karena itu menyebabkan konflik. Masalah tidak meratanya pembagian nilai-nilai perlu diteliti dalam hubungannya dengan kekuasaan dan kebijakan pemerintah.

Hal di atas menjadi paradoks apabila dikonkritisasi kepada PDI Perjuangan sebagai partai politik penguasa (pemenang pemilu). Mengapa demikian, mestinya kekuasaan itu harus dikelola secara baik oleh PDIP dalam mewujudkan ideologi marhaenisme sebagai ajaran sakti Soekarno yang berpihak terhadap kaum kecil; petani, nelayan, pedagang serta kelompok-kelompok lain yang perlu mendapatkan perhatian serius terkait keberpihakan partai. Masalahnya, PDIP merupakan salah satu parpol yang mendukung pengesahaan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang kini telah menjadi produk Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), diketahui, Undang-undang ini yang isinya berpihak terhadap kepentingan oligarki. Bukan hanya itu, kebuntutan lain dalam tubuh PDIP adalah kasus korupsi terhadap kader-kader partainya. Sebut saja kasus Harun Masiku tersangka kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang melibatkan mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia Wahyu Setiawan, hingga kini belum mendapatkan kepastian hukum. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan khusus partai politik yakni merebut kekuasaan politik dengan cara konstitusional, sebab tindakan suap terhadap eks mantan Ketua KPU RI merupakan tindakan nonkonstitusional dalam berdemokrasi. Kemudian, kasus yang menyeret mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dalam kasus korupsi Bansos Covid-19, diketahui Juliari. Batubara merupakan kader PDIP. Bahkan, kasus korupsi Bansos Covid-19 melibatkan beberapa kader PDIP seperti Ketua DPC PDIP Kendal cs. Artinya bahwa semua partai politik ketika memegang tampuk kekuasaan tidak menunjukkan karakter kebijakan yang berbeda. Padahal, mereka mengklaim berada di spektrum segmen identitas yang meski terdapat irisan, juga sebagian di antaranya berseberangan, dimana PDIP mendeklarasikan dirinya sebagai partainya wong cilik (abangan, marhaen).

3.    Ideologi Islam Moderat di PKB

Pendirian PKB oleh NU sebagai uapaya untuk mengatasi dua kecenderungan besar yang muncul di NU pasca Orde Baru.� Satu kelompok lainnya adalah menginginkan NU tetap menjadi ormas keagamaan. Jalan keluarnya adalah NU membidani pendirian partai, dalam hal ini PKB, untuk fasilitas dan artikulasi kepentingan warga NU tanpa menjadikan NU sebagai partai politik. Dengan demikian, relasi antara NU dengan PKB adalah bersifat historis, kultural, dan aspiratif. Historis artinya pembentukan PKB bertalian erat dengan NU. Kultural berarti perjuangan PKB harus memerhatikan lingkungan kultural khas yang dianut oleh NU, yaitu lingkungan kebudayaan yang dibentuk oleh nilai-nilai keagamaan Islam Ahlussunnah wal Jama�ah. Sedangkan aspiratif artinya PKB berkewajiban untuk memerjuangkan cita-cita politik yang dimiliki warga NU (Mayrudin & Akbar, 2019).

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai politik dengan mengusung ideologi Islam Moderat terpotret secara jelas dalam asas partainya yakni berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Platform Politik PKB tertuang tajuk perjuangan partai dengan jargon �melayani ibu pertiwi�. Di dalamnya ditegaskan tentang politik rahmatan lilalamin yang dimaknai sebagai upaya untuk menyemai dan menyebarkan rahmat serta keselamatan bagi seluruh alam semesta tanpa terkecuali. Politiknya mengedepankan pelayanan total kepada ibu pertiwi, keberpihakan pada kepentingan publik, kaum mustadh‟afin (lemah dan dilemahkan) dan kehidupan semesta. Meskipun PKB merupakan partai berbasis agama yang lahir dari NU, namun PKB harus tampil bukan saja untuk kepentingan NU dan Islam, melainkan untuk kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan dan berkelanjutan.

Secara implisit, Al-Qur�an dan Hadis banyak menyinggung akan pentingnya sikap moderat, serta posisi umat Islam sebagai umat yang moderat dan terbaik. Moderasi adalah nilai inti dalam ajaran Islam. Bahkan karakteristik ini dapat menjadi formula untuk mengatasi beragam persoalan umat terkhusus di era globalisasi saat ini seperti persoalan radikalisme keagamaan, takfir, fanatisme buta (at-ta�ashshub al-a�m�), yang tentunya memerlukan sebuah sikap proporsional dan adil yang teridentifikasikan dalam sebuah konsep yaitu wasathiyyah (Zamimah, 2018).

Platform politik PKB disusun dengan berlandaskan pada nilai-nilai teologis-spiritual dan ideologis-filosofis yang termaktub dalam mabdasiyasi sebagai nilai dasar perjuangan, asas dan prinsip perjuangan, jatidiri, watak serta tujuan dan kerja politik PKB dalam pentas politik nasional. Di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-RT) hasil Muktamar PKB Nusa Dua Bali, 20-22 Agustus 2019 menjelaskan tentang Asas dan Prinsip Perjuangan PKB berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.� Adapun prinsip partai adalah pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlusunnah Waljama‟ah (Aswaja).

�Aswaja sebagai dasar filosofis ini memberikan warna dan karakter pada ideologi kebangsaan (nasionalisme) kaum nahdliyin. Mereka menolak karakter kebangsaan yang ashabiyah, yaitu paham kebangsaan yang sempit. Sebuah paham kebangsaan yang menimbulkan kesombongan bangsa. Paham kebangsaan ini berdasarkan sebuah kebangsaan diri berlebihan sehingga menilai bangsa lain rendah dan hina. Kebangsaan seperti itu akan menimbulkan pertentangan bahkan peperangan antara bangsa-bangsa (Priyatna, 2019).

Nasionalisme Aswaja PKB berkaitan dengan politik dan kenegaraan menegaskan tentang perjuangan bangsa untuk mendirikan negara Indonesia yang berdaulat ke luar dan ke dalam sebagai hasil cita-cita seluruh bangsa. Bagi PKB, kemerdekaan Indonesia menjadi syarat paling pokok bagi berdirinya bangsa Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jadi secara geneologis, konstruksi pemikiran PKB menyebutkan syarat perjuangan kemerdekaan sebagai jembatan untuk kehidupan nasionalisme Indonesia (Priyatna, 2019).

Kemudian pada bab III AD-RT PKB mengatakan secara eksplisit tentang Jati Diri, Watak dan Fungsi. Jati diri partai adalah Nasionalis, Agamis, dan Humanis. Watak partai adalah Moderat, Toleran dan Adil. Sedangkan fungsi partai PKB yakni: a). sebagai wadah berhimpun bagi setiap warga Negara Indonesia tanpa membedakan asal-usul, keturunan, suku, golongan, agama dan profesi; b). sebagai alat perjuangan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur; c). sebagai saluran aspirasi politik warga Negara Indonesia bagi terwujudnya kedaulatan rakyat dan keadilan sosial; d). sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan-kepentingan rakyat di dalam lembaga-lembaga dan proses-proses politik; dan e). sebagai sarana mempersiapkan, memunculkan dan melahirkan kader dan pemimpin politik, bangsa dan Negara.

Kemudian, peneliti menemukan tujuan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di dalam AD- RT partainya mengatakan sebagai berikut:

a.    Mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.    Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara lahir dan batin, material dan spiritual;

c.    Mewujudkan tatanan politik yang demokratis, terbuka, bersih dan berakhlak mulia; dan

d.    Memperoleh kekuasaan politik secara konstitusional sebagai alat memperjuangkan dan mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan, kemakmuran, dan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

PKB sebagai partai politik berideologikan Islam Moderat, tentu bertanggungjawab terhadap komitmen ke-Islaman dan kebangsaan. Artinya, selain memikul narasi-narasi politik kebangsaan, namun PKB juga memikul narasi-narasi ke-Islaman dalam setiap spirit gerakan dan orientasi kebijakan partai yang dibangun baik di parlemen (legislatif) dan di pemerintahan (eksekutif). Maka sudah sepatutnya, identitas ke-Islaman yang terkandung dalam PKB harus sejalan dengan tawaran kebijakan baru yang fundamental dilihat dari kacamata nilai-nilai Islam yang substantif, seperti pro-keadilan (al-adalah), kejujuran (amanah), membela rakyat kecil (mustadz‟afin) dan pemberantasan kesewenang-wenangan dan korupsi (amar makruf nahi mungkar). Menyadari identitas tersebut, maka orientasi perjuangan politik yang harus dibangun oleh PKB pada narasi advokasi ke-Islaman tentu tidak lagi berkutat pada kebijakan yang bercorak formalis: menghasilkan aturan-aturan syariah yang muaranya (lagi-lagi) pada identitas, seperti kewajiban berjilbab, mengaji, tidak berjudi, dan tidak minum-minuman keras dan perjuangan Undang-undang Pesantren. Melainkan harus benar-benar mengakar terhadap ideologi ideal partai seperti nilai-nilai ke-Islaman yang disebutkan di atas.

Krisis ideologisasi partai PKB, terlihat dari sikap yang diambil oleh Wakil Ketua Umum PKB Ida Fauziyah yang juga menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Republik Indonesia menyatakan PKB mendukung pembahasan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja. Menurut Ida Fauziyah, PKB mendukung setiap upaya terobosan untuk mempercepat penciptaan lapangan kerja. Lebih lanjut dikatakan, sebagai partai pendukung pemerintah PKB akan mendorong kadernya di DPR membantu menyempurnakan RUU Cipta Kerja. Kemudian, kasus suap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen-PUPR) dalam proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara pada tahun 2016 yang dilakukan eks politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Musa Zainuddin. Dalam surat permohonan justice collaborator yang dikeluarkan Musa Zainuddin kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut-nyebut adanya keterlibatan sejumlah elite Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Walhasilnya, KPK pada tanggal 29 Januari 2020 melakukan pemeriksaan terhadap Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar sebagai saksi dalam kasus dimaksud.

Beberapa fakta politik di atas, baik yang sedang dihadapi oleh PDIP dan PKB merupakan suatu fenomena nyata akibat dari krisisnya nilai-nilai ideologisasi di dalam tubuh partai politik. Hal tersebut dikarenakan gagalnya partai politik dalam menjalankan fungsi sosialisasi politik terhadap para kadernya. Merujuk (Budiardjo, 2010) menyatakan sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ia adalah bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideology, hak dan kewajiban. Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat menyampaikan �budaya politik� yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik (political culture) suatu bangsa.

 

Kesimpulan

Fenomena nyata yang sedang dihadapi oleh partai politik pada hari ini adalah ketidakjelasan ideologi yang dibangun dalam bentuk program kerja (platform). Selain itu, terjadi kesenjangan harapan dan kenyataan antara ideologi politik dengan kebijakan politik, karena besarnya derajat pragmatisme politik dan perilaku politik yang cenderung korup. Permasalahannya, partai politik gagal dalam melakukan sosialisasi politik berupa proses ideologisasi terhadap kader-kader partai politiknya. Fakta tersebut, sehingga berdampak terhadap kurangnya kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai pengharapannya dalam menyalurkan ide-ide serta gagasan bernas di legislatif dan eksekutif. Belum jelasnya aksi nyata partai politik dalam melahirkan kebijakan politik pro rakyat kecil, kejujuran, keadilan, anti korupsi dan keberpihakan terhadap kepentingan umum sehingga di kemudian melahirkan stigmatisa liar bahwa antara satu partai politik dengan partai politik lainnya tentu sama. Artinya, tidak ada unsur pembeda yang mencerminkan nilai-nilai ideologisasi yang dibangun oleh partai politik baik persoalan yang sedang dihadapi PDIP yang berideologi Marhaenisme dan PKB yang berideologi Islam Moderat. Padahal, titik utama untuk membedakan antara partai yang satu dengan partai yang lainnya terletak pada ideologi dan platform partai politik yang teraktualisasi melalui kerja-kerja nyata lapangan. Karena ideologi dan platform merupakan ciri khas serta identitas suatu partai politik. PDI Perjuangan dan PKB pada dasarnya memiliki karekter ideologi politik yang berbeda. Namun, pada tataran substantif atas ideologi yang diusung berdasarkan temuan peneli yakni sama. Keduanya merupakan partai politik secara wacana benar-benar berpihak terhadap rakyat kecil seperti: petani, nelayan, buruh, dan pedagang. Namun, hasil temuan lapangan menunjukkan suatu fenomena yang tidak mencerminkan keberpihakan terhadap kelompok-kelompok kepentingan sebagai objek atas pembangunan politik. Untuk PDI Perjuangan di dalam AD-RT telah tercantum secara jelas dengan mengusung ideologi politik nasionalisme-marhaenisme. Namun peneliti masih menemukan ketidak-korelasian antara teks nasionalisme-marhaenisme di AD-RT dengan beberapa kebijakan politik dan perilaku politik PDIP. Sedangkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), di dalam AD-RT menerangkan bahwa partai berasaskan Pancasila (disebut menyeluruh 5 butir Pancasila), kemudian dijelaskan prinsip perjuangan partai adalah pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahsunnah Waljama‟ah. Kemudian disebutkan jati diri partai adalah nasionalis, agamis dan humanis, dan watak partai adalah moderat, toleran dan adil. Namun, peneliti menemukan bahwa ideologi partai yang tertuang di dalam AD-RT belum terimplementasikan dalam aksi nyata seperti kebijakan politik pro rakyat dan anti korupsi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Aulia, Dian. (2016). Penguatan Demokrasi: Partai Politik Dan (Sistem) Pemilu Sebagai Pilar Demokrasi. Masyarakat Indonesia, 42(1), 115�126.Google Scholar

 

Budiardjo, Miriam. (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi cetakan keempat). Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Google Scholar

 

Cahyaningtyas, Padma. (2020). Ideologi Marhaenisme Masa Pemerintahan Soekarno Tahun 1950-1965. Google Scholar

 

Dacholfany, M. Ihsan. (2017). Dampak LGBT dan antisipasinya di masyarakat. Nizham Journal of Islamic Studies, 4(1), 106�118. Google Scholar

 

Fattahurrosyid, Fattahurrosyid. (2017). Konstruksi Realitas Sosial Tatto. Jurnal Pendidikan Nonformal, 10(2), 94�107. Google Scholar

 

Geraldy, Galang. (2019). Ideologi dan Partai Politik: Menakar Ideologi Politik Marhaenisme di PDIP, Sosialisme Demokrasi di PSI dan Islam Fundamentalisme di PKS. Ideology and Political Parties: Measuring the Political Ideology of Marhaenism in PDIP, Democratic Socialism in PSI and Islamic Fundamentalism in PKS. Google Scholar

 

Heryanto, Gun Gun. (2020). Realitas komunikasi politik Indonesia kontemporer. IRCiSoD. Google Scholar

 

Iswadi, Iswandi. (2020). Studi Gerakan Ideologi Partai Politik Pada Pemilu 2019. Politica: Jurnal Hukum Tata Negara Dan Politik Islam, 7(1), 3�21. Google Scholar

 

Jupri, Azhari. (2019). Perilaku Pemilih Di Kepulauan Tanakeke Pada Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Takalar Tahun 2017. Universitas Hasanuddin. Google Scholar

 

Kurniasih, Wiwin. (2019). Studi Orientasi Ideologi Marhaenisme Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPD PDI-P) Provinsi Jawa Tengah. Journal Of Politic And Government Studies, 8(01), 261�270. Google Scholar

 

Machmud, Muslimin. (2016). Tuntunan Penulisan Tugas Akhir Berdasarkan Prnsip Dasar Penelitian Ilmiah. Research Report. Google Scholar

 

Mayrudin, Yeby Ma�asan, & Akbar, M. Chairil. (2019). Pergulatan Politik Identitas Partai-partai Politik Islam: Studi tentang PAN, PKB dan PKS. Madani Jurnal Politik Dan Sosial Kemasyarakatan, 11(2), 169�186. Google Scholar

 

Priyatna, Yana. (2019). Titik Temu Politik Kebangsaan Islam Islam Nusantara. Yogyakarta: Aswaja dan Marhaenisme.

 

Surbakti, Ramlan. (2010). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. Undang-Undang Undang-Undang Nomor, 2. Google Scholar

 

Zamimah, Iffati. (2018). Moderatisme islam dalam konteks keindonesiaan. Jurnal Al-Fanar, 1(1), 75�90. Google Scholar

 

Copyright holder :

Hasnu dan Firdaus Syam (2021)

 

First publication right :

Syntax Idea

 

This article is licensed under:

�����������