Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
Vol. 3, No. 7, Juli 2021
IDEOLOGI DAN PARTAI POLITIK: MENAKAR IDEOLOGI POLITIK MARHAENISME PDIP
DAN ISLAM MODERAT PKB
�
Hasnu, Firdaus Syam
Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, Indonesia
Email: �[email protected], [email protected]
Abstrak
Ideologi dan Partai Politik: Menakar Ideologi Politik Marhenisme PDIP dan Islam
Moderat PKB. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui ideologi politik dan platform
PDIP yang berideologi Marhaenisme
dan PKB yang berideologi Islam Moderat
dalam setiap kebijakan politik dan perilaku politik yang dihasilkan. Untuk melihat fakta tersebut,
peneliti mengambil dua partai politik
sebagai objek penelitian yakni PDIP dan PKB karena kedua partai
ini dinilai memiliki ideologi politik yang khas, baik dalam latar
belakang berdirinya sampai pada tahapan keputusan politik yang dihasilkan di ruang publik. Metode penelitian ini menggunakan deskriptif-kualitatif di mana menghasilkan
PDIP yang memiliki landasan
historis politik yang kuat dengan ideologi
marhaenisme sebagai manifestasi ajaran Soekarno. Kendati demikian, keputusan politik PDIP di legislatif dan eksekutif nasional acapkali tidak mencerminkan keberpihakan terhadap hajat hidup rakyat
kecil. Begitupun fenomena yang terjadi di PKB sebagai parpol yang berideologi Islam Moderat.
Platform tersebut, dinilai belum menggawangi substansi persoalan terhadap setiap kebijakan politik yang diperjuangkan. Hasil yang diperoleh
dari penelitian ini menjelaskan adanya ketidaksesuaian antara ideologi politik Marhaenisme di PDI Perjuangan dan Islam Moderat di
PKB terhadap platform politik
dan ideologi politik yang dibangun baik di legislatif maupun eksekutif. Hal tersebut karena dipicu akibat
gagalnya partai politik dalam menjalankan
fungsi sosialisasi politik terhadap kader-kader partainya sehingga berdampak terhadap kurangnya kepercayaan publik terhadap eksistensi serta esensi partai
politik. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan terjadi kesenjangan harapan dan kenyataan antara ideologi politik dengan kebijakan politik, karena besarnya derajat pragmatisme politik dan perilaku politik yang cenderung koruptif serta gersangnya keberpihakan partai politik dalam merumuskan
kebijakan terhadap rakyat kecil. Permasalahannya,
partai politik gagal dalam melakukan
sosialisasi politik berupa proses ideologisasi terhadap kader-kader partai politiknya.
Kata Kunci: ideologi; partai
politik; marhaenisme PDIP;
islam moderat PKB
Abstract
Ideology and Political Parties: Measuring the Political Ideology of Marhenism PDIP and Moderate Islam PKB. The purpose of this
study is to know the political ideology and platform of PDIP with the ideology
of Marhaenism and PKB with moderate Islamic ideology
in every political and political policy that is good in the legislature and
executive. The theory of which in this study is into the language that refers
to Gabriel A. Almond on the Study of Political Systems, namely and function.
The results obtained from this study are clearly a mismatch between the political
ideology of Marhaenism in PDI Perjuangan
and Moderate Islam in the PKB against political platforms and political
ideologies in both the legislature and the executive. This is because of the
lack of political parties in the function of politics against the cadres of his
party so as to have an impact on the lack of public to and the absence of
political parties. The passage of this research shows the hope and truth
between political ideology and political means, for him the degree of political
pragmatism and political politics that fileirar
corruptive and arid kese Ke
mana, political parties fail in conducting political ideological process
against cadres of political parties.
Keywords: ideology; political
party; PDIP marhaenism; moderate islam
PKB
Pendahuluan
Fenomena anomali politik di tengah konstelasi partai politik pada proses demokrasi yang telah berusia cukup matang
adalah kecenderungan krisis ideologi politik di tubuh partai politik. Perbincangan ideologi tentu tidak terlepas
dari bagaimana bangunan sebuah ide dan narasi politik yang diserap dari nilai-nilai
dan prinsip politik yang
visioner dan filosofis, kemudian
dikembangkan melalui sistem dan metode yang konsisten serta mampu menginternalisasinya menjadi pola dan tindakan politik dalam kehidupan masyarakat. Secara sederhana, sejauh mana ideologi masih menjadi alat dan tujuan politik yang terbangun secara sistemik, terencana dan konsisten di seluruh elemen struktural dan fungsional partai politik (Heryanto, 2020).
Menurut (Surbakti, 2010)
ada tiga teori yang mencoba menjelaskan asal usul partai politik.
Pertama, teori kelembagaan yang melihat ada hubungan antara
parlemen awal dan timbulnya partai politik. Kedua, teori situasi historik
yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu
sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. Ketiga, teori
pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi. Partai politik merupakan sarana bagi warga
negara untuk turut serta atau berpartisipasi
dalam proses pengelolaan negara.
Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab
di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih
mudah dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada
di negara modern (Budiardjo, 2010).
Partai politik, sebagai instrumen politik yang sangat strategis di dalam lanskap demokrasi
patut menjadi subjek pertaruhan relevansi ideologi politik yang secara makro berkontribusi terhadap arah dan tujuan kehidupan politik bangsa dan negara. Partai politik mempunyai posisi (status)
dan peranan (role) yang sangat
penting dalam setiap sistem demokrasi.
Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan
dengan warga negara. Karena
itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat
derajat pelembagaannya (the
degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik
yang demokratis (Geraldy, 2019).
Problemnya, seiring rendahnya derajat ideologisasi partai, dapat dikatakan
bahwa partai politik hari ini
tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok
elite yang berkuasa atau berniat memuaskan nafsu birahi‟ kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi
segelintir elit politik yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu �at the expense of the general will‟ atau kepentingan umum (Aulia, 2016).
Menurut (Budiardjo, 2010)
mengatakan, partai politik di negara demokrasi sekurang-kurangnya memiliki beberapa fungsi diantaranya; sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai sarana rekrutmen politik, dan sebagai sarana pengtur konflik. Kendati demikian, kehampaan ide, nilai dan identitas politik yang hakiki dan substansial mendegradasikan peranan dan fungsi partai politik menjadi komoditas politik kaum oligarki
ekonomi maupun politik. Partai politik kehilangan bentuk dari wujud
ekspresi ide-ide, nilai dan
paradigma politik yang filosofis dan visioner. Hal itu tentu kontradiksi dengan upaya demokrasi
dan sejarah kekayaan ideologi perpolitikan di
Indonesia sejak zaman demokrasi
Indonesia hingga zaman reformasi.
Penelitian ini tentu sangat berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Hal ini ditandai dengan
upaya yang dilakukan oleh penulis sendiri dengan memfokuskan objek kajian dan penulis berupaya mencoba melihat secara tajam terkait
korelasi empirik dari ideologi marhaenisme
PDIP dan ideologi Islam Moderat
PKB dalam setiap keputusan politik yang dihasilkan baik di legislatif dan eksekutif nasional (Machmud, 2016).
Tulisan ini bemula dari kegelisahan
penulis terhadap kelembagaan suatu partai politik yang semakin hari semakin
dipertanyakan keberpihakannya
dalam setiap keputusan politik yang dihasilkan di legislatif dan eksekutif nasional. Dalam tulisan
ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi objek penelitian penulis karena kedua partai politik
ini menawarkan platform politik secara konseptual berpihak terhadap marhaen (kelompok kecil) dan mustad�afin (rakyat kecil). Kajian ini mencoba untuk memotret
sejauh mana keberpihakan partai politik dalam hal ini
PDIP dan PKB terhadap kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan di legislatif
dan eksekutif nasional (Jupri, 2019).
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan dan pengerucutan (convergence) ideologis,
yakni dengan memeriksa tujuan ideal Ideologi dan Partai Politik: Menakar Ideologi Politik Marheinisme PDIP dan Islam Moderat
PKB untuk mengkaji terkait orientasi perjuangan serta keberpihakannya terhadap kepentingan publik. Hal ini dilakukan oleh penulis berangkat dari pandangan bahwa hari ini
ideologi dan partai politik telah kehilangan
orientasi perjuangannya dalam rangka mengaktualisasikan
ideologi dan tujuan partai politik terhadap output (kebijakan) politik baik di legislatif dan eksekutif nasional. Menurut penulis, ukuran keberhasilan dari ideologi dan partai politik bukan saja
diukur dari dominasi kader-kader partai politik tertentu yang duduk di legislatif
dan eksekutif, melainkan ukuran keberhasilan dari suatu partai
politik yang berkuasa tersebut harus sejalan dengan tujuan berdirinya partai politik serta ideologi yang terkandung di dalamnya. Artinya, partai politik harus bermanfaat
bagi kepentingan rakyat banyak. Permasalahannya adalah apakah ideologi partai politik tersebut masih sesuai dalam ranah
praktik ataukah telah mengalami degradasi yang luar biasa.
Metode
Penelitian
Metode penelitian
ini menggunakan deskriptif-kualitatif. Penelitian
deskriptif-kualitatif merupakan
proses penafsiran atau pembahasan dan pewacanaan realitas sebagai sebuah narasi dari
konstruksi sosial. Adapun berbagai bentuk dan metode dalam penelitian
deskriptif-kualitatif seperti
dengan menggunakan melakukan analisis konten (conten analysis). Artinya, peneliti melakukan interpretasi berdasarkan realitas lapangan terhadap konten yang dihasilkan oleh objek yang menjadi sasaran penelitian dan kemudian hasil dari penelitian ini berbentuk narasi
ataupun deskripsi (narration and thick deskription)
yang menggambarkan dan menjelaskan
realita dari sudut pandang yang sesungguhnya ketika peneliti telah mendalami setiap data sekunder baik bersumber
dari buku, jurnal, dokumen dan sejenisnya (getting
in, getting along, getting out) (Fattahurrosyid, 2017).
Hasil dan Pembahasan
1.
Ideologi dan Partai Politik
Ideologi dalam partai politik merupakan suatu aspek yang sangat fundamental dalam menentukan arah dan tujuan perpolitikan yang dihasilkannya.
Hal tersebut dapat dilacak melalui suatu produk kebijakan
yang bersifat otoritatif sebagai bentuk pencapaian dari parpol tersebut baik di ruang legislatif
dan eksekutif nasional. Secara umum, ideologi
partai politik di Indonesia
dapat diklaster dalam tiga (3) kelompok berikut; Pertama, Ideologi Nasionalis, ideologi ini merupakan ide-ide politik dan pola gerakan serta pemikiran
berdasarkan sudut pandang Soekarno yakitu marhaenisme, sebagaimana narasinya yakni, pertama nasionalisme, ide tersebut tidak ada pengecualian antara suku, etnis,
dan agama masyarakat yang terabaikan
antara dengan yang lainnya, oleh karena itu ideologi nasionalisme
(pancasila) berlaku secara universal untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) dan kesejahteraan masyarakat dan kedua, berbicara tentang ekonomi serta mutu
sosial dalam mencapai keadilan yang merata. Kedua, Ideologi Islamisme, setiap gerakan politik yang dipraktekkan berdasarkan konsep tarbiyah. Partai politik Islam, pada dasarnya ideologi tersebut adalah sebuah norma,
doktrin dan kepercayaan
yang bersumber dari ajaran al-Qur�an dan hadits memiliki tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang madani, makmur, adil, demokratis,
sejahterah dan bermartabat.
Ketiga, Ideologi Nasionalisme dan Religius, yaitu penggabungan dari ideologi nasionalisme
dan ideologi islamisme. Ideologi ini dapat
didefinisikan sebagai kerja keras untuk
kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama serta memperhatikan aspek nasionalisme, humanism, dan
pluralisme dalam rangka mencapai tujuan perdamaian, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat (Iswadi, 2020).
Setiap partai politik memiliki mekanisme dalam menafsirkan ideologi partainya ke dalam
agenda-agenda yang harus dijalankan
dengan cara menformulasikan dan mengkontekstualisasikan
dengan realitas yang ada. Ideologi sebagai
konsepsi ide yang disistematiskan,
menjadi urgen sebagai tolok ukur
(indikator) konsistensi partai (Dacholfany, 2017). Partai politik di Indonesia yang berdiri sejak masa kolonial telah menjalani beberapa fase perkembangan sesuai dengan rezim
yang membentuknya. Pada masa kolonial,
partai politik lahir sebagai manifestasi
bangkitnya kesadaran nasional. Kegiatan kepartaian pada masa Jepang mengalami penurunan drastis dengan dibubarkannya partai-partai ini karena penjajah
Jepang tidak mentolerir dan melarang semua kegiatan politik. Hanya golongan Islam diperkenankan membentuk suatu organisasi sosial yang dinamakan Masyumi. Setelah mengalami penurunan peran pada masa pendudukan Jepang, peranan partai politik mengalami masa kejayaan pada masa Demokrasi Parlementer. Usaha ke arah pembentukan pemerintahan yang demokratis dengan partai politik
sebagai pilar utamanya mengalami kegagalan karena demokrasi berkembang menjadi demokrasi yang tidak terkendali (unbridled democracy). Pada saat itu mulailah
rezim otoriter yaitu Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi
Pancasila. Pada dua periode
ini beberapa pasal dari UUD 1945 diberi tafsiran khusus sehingga dibuka peluang untuk berkembangnya sistem non-demokrasi. Dalam kedua rezim otoriter
ini, partai politik tidak banyak
memainkan peran bahkan dapat dikatakan
perannya terkooptasi oleh Presiden Soekarno pada masa Demokrasi
Terpimpin dan oleh Presiden
Soeharto pada masa Demokrasi
Pancasila. Keadaan non-demokratis
ini berlangsung selama hampir 40 tahun (Budiardjo, 2010).
Ideologi partai politik tercermin dalam berbagai ranah, baik kebijakan
dan perilaku kebijakan, maupun dokumen partai. Untuk melacak
pemetaan ideologi partai politik dapat dilakukan dengan menelaah AD/ART partai politik. Khusus pada konteks Indonesia, pembilahan dapat dilakukan dengan melihat posisi partai dalam kaitannya
dengan hubungan antara agama, masyarakat, dan
negara (Mayrudin & Akbar, 2019). Seiring dengan keringnya ideologi shifting di tubuh partai, kita juga menemukan makin hari partai politik
yang justru makin bergeser dari ideologi
sebagai arah orientasi bergerak dan berjuang. Hal ini ditandai dengan kecenderungan personalisasi partai politik, penyempitan beberapa fungsi partai politik
sekedar sebagai kendaraan politik para kandidat pada ajang pemilihan umum (pemilu) baik di pilkada (pemilihan kepala daerah), pileg (pemilihan legislatif), dan pilpres (pemilihan presiden) secara langsung, bermasalah dalam transparansi keuangan, cenderung masih bertahan dalam struktur organisasi yang dinilai oligarkis dimana sirkulasi kepemimpinan partai berputar pada sentral figur tertentu dan gagalnya proses regenerasi kepemimpinan. Harus di akui, partai politik pada hari ini telah
dibajak oleh kelompok kuat modal (pengusaha) sebagai sarana untuk mencapai kepentingan pribadinya dan melacurkan tujuan ideal partai yang terpatri dalam ideologinya.
Di titik inilah menjadi
penting sekali dalam menegaskan kembali peran vital ideologi bagi pelembagaan
partai politik. Ideologi menggarisbawahi ide, bukan segmen (identitas).
Ideologi melampaui segmen (identitas). Orang bisa datang darimana
saja, etnis apa saja, memeluk
agama apapun, menyandang seperangkat perbedaan atribut identitas, tetapi mereka bisa
diikat secara bersama dalam ide besar yang sama, yang menjadi tujuan dan kepentingan bersama, yang kita sebut sebagai
ideologi.
2.
Ideologi Marhaenisme di PDI Perjuangan
Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam
proses pendiriannya melewati
beberapa peristiwa sejarah penting. Sebagai cita-cita bersama, perwujudan Indonesia
yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil, makmur, beradab,
dan ber-Ketuhanan adalah hak sekaligus tanggung
jawab seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu menuntut keterlibatan
semua kekuatan bangsa, baik secara
individu maupun yang terorganisir dalam organisasi rakyat yang demokratis serta terbuka bagi semua
warga negara, tanpa membedakan suku, agama, gender, keturunan dan kedudukan sosial.
Didorong oleh kesadaran
akan tanggung jawab mewujudkan cita-cita luhur tersebut, serta guna memenuhi tuntutan
perkembangan zaman yang ada,
maka Partai Nasional
Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Musyawarah
Rakyat Banyak (Murba), Partai
Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai
Katolik, pada tanggal 9
Maret 1970 membentuk kelompok
demokrasi pembangunan, yang
kemudian dikukuhkan dengan pernyataan bersama kelima partai politik tersebut pada tanggal 28 Oktober
1971. Dan akhirnya pada tanggal
10 Januari 1973 melakukan langkah
strategis memfusikan diri menjadi satu� wadah perjuangan politik rakyat berdasarkan Pancasila dengan nama Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam perkembangan
selanjutnya dan didorong
oleh tuntutan perkembangan situasi dan kondisi politik nasional yang terjadi, serta berdasarkan hasil keputusan Kongres V Partai Demokrasi Indonesia di
Denpasar Bali, maka pada tanggal
1 Februari 1999, PDI telah mengubah namanya menjadi PDI Perjuangan, dengan azaz Pancasila dan bercirikan kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional, PDI Perjuangan menganut prinsip demokrasi yang menempatkan kepemimpinan pusat partai sebagai sentral gerakan, suatu kepemimpinan yang dipimpin ideologi Pancasila 1
Juni 1945, kepemimpinan yang mengandung
manajemen satu arah dan satu tujuan
yaitu masyarakat adil dan makmur, dan suatu kepemimpinan yang sesuai dengan kepribadian
bangsa yaitu gotong royong
(lihat AD-ART PDIP 2021-2024).
Ideologi Marhaenisme
adalah jati diri dari ide, narasi dan laku politik Soekarno. Konsep marhaenisme sebagai interpretasi terhadap personifikasi rakyat kecil yang memiliki sebidang tanah kemudian menggarap sendiri, alatnya punya dia sendiri dan hasilnya cukup untuk kebutuhan keluarganya. Kedua, marhaenisme di ambil dari teori dialektika
yang dikembangkan oleh Hegel dan didukung
oleh Karl Marx dan F. Engels. Maka analisa marxisme menjadi pintu masuk untuk
membedah lebih dalam marhaenisme Soekarno. PDIP
di anggap sebagai partai politik yang memiliki keterikatan dan keterkaitan yang kuat dengan ideologi Marhaenisme (Kurniasih, 2019).
Bagi
Soekarno marhaen adalah semua masyarakat dari kalangan yang dimarjinalkan ekonomi, baik memiliki alat
produksi atau tidak.� Kemiskinan kaum marhaen diakibatkan oleh operasi ideologi yang mengeksploitasi sumber daya ekonomi dengan
masyarakat sebagai sumber tenaga kerja
murah dan dilakukan dengan paksaan serta kerelaan supaya mau dikuasi.� Marhaenisme merupakan inti dari ajaran Soekarno, pemikiran tentang marhaenisme merupakan originalitas pemikiran politiknya, marhaenisme diambil dari nama seorang
petani di Jawa Barat.�
Perjumpaan dengan kang marhaen dikisahkan
oleh Soekarno bertemu dengan
seorang petani miskin, kemudian dalam pertemuan itu terjadilah
dialog diantara keduanya, Soekarno
bertanya tentang kepemilikian tanah, bajak, kerbau, dan cangkul, marhaen menjawab bahwa alat-alat produksi tersebut memiliki oleh dirinya sendiri (Cahyaningtyas, 2020).
Sebagai asas perjuangan bagi rakyat Indonesia Marhaenisme menghendaki susunan masyarakat sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme
yaitu nasionalisme berdasarkan kemasyarakatan. Nasionalisme sendiri sebagai faham kebangsaan tumbuh karena persamaan
nasib dan sejarah serta persamaan kepentingan hidup bersama sebagai sebuah bangsa. Marhaenisme mengandung asas sosio-demokrasi, yaitu demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial. Demokrasi politik mengakui hak setiap warga
negara untuk berpartisipasi
secara aktif menentukan arah, haluan, dan susunan negara. Marhaenisme juga mengakui asas demokrasi ekonomi, yang menjamin hak sama bagi
seluruh warga negara untuk hidup makmur.
Sementara demokrasi sosial menjelaskan bahwa tiap-tiap orang mendapatkan penghargaan yang sama sebagai makhluk
sosial. Sehingga demokrasi sosial memberikan jaminan kepada setiap warga
negara mencapai tingkat kemajuan setinggi-tingginya dalam segala lapangan
sesuai dengan bakatnya (Priyatna, 2019).
Untuk mempertegas
ajaran-ajaran Soekarno agar menjadi
ide dasar politik PDIP, terutama dalam membangun pola kaderisasi telah di atur dalam Anggaran
Rumah Tangga Bab IV Pasal
83 13.� Secara tekstual, PDIP memang memiliki garis ideologi yang tegas.� Pancasila sebagai ideologi politik PDIP adalah pidato Soekarno 1 Juni 1945.� Pancasila yang bermatra
pada sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi
dan ketuhanan yang berkebudayaan.
Marhaenisme sebagai prinsip politik Soekarno pun menjadi materi yang diberikan ke seluruh
kader PDIP. Artinya, prinsip-prinsip marhaenisme yang bertitik tolak pada analisa marxist sebagai pandangan kritis terhadap ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat akibat ekonomi politik liberalis-kapitalisme pun seharusnya
menjadi pedoman politik PDIP.� Karena
sebagai antithesis dari liberalis-kapitalisme maka, kedudukan Marhaenisme adalah inheren dengan sosialisme. Gambaran marhaenisme secara jelas dan tegas di sampaikan dalam tulisan Soekarno (Geraldy, 2019).
Di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada bab II menjelaskan tentang Asas, Jati diri dan Watak. PDI Perjuangan berasaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dengan
jiwa dan semangat kelahirannya pada 1 Juni 1945. Kemudian
dijelaskan, Jati diri partai adalah Kebangsaan,
Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Sedangkan watak partai adalah
gotong royong, demokratis, merdeka,
pantang menyerah dan progresif revolusioner.
Hasil
temuan peneliti dalam AD-RT Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
tahun 2019-2024 menjelaskan
juga tentang tujuan khusus partai yakni:
Secara empirik,
PDI Perjuangan sebagai parpol yang bercirikan partai pembela rakyat kecil (Wong Cilik), kini telah
bergeser arah orientasinya. Fakta menunjukkan bahwa terpilihnya Jokowi-Jusuf
Kalla dalam pilpres 2014 silam, dan terpilihnya pasangan Jokowi-Ma‟ruf pada
pilpres 2019 lalu merupakan hasil kerja nyata dan kerja keras PDI Perjuangan sebagai parpol yang mengusung Jokowi- Ma‟ruf. Merujuk kepada (Budiardjo, 2010)
mengatakan kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain,
sesuai dengan keinginan para pelaku. Dalam ranah keputusan (decision)
adalah hasil dari membuat pilihan
di antara beberapa alternatif, sedangkan istilah Pengambilan Keputusan (decision
making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai.
Pengambilan keputusan sebagai konsep pokok dari politik
menyangkut keputusan-keputusan
yang diambil secara kolektif mengikat seluruh masyarakat. Keputusan-keputusan itu dapat
menyangkut tujuan masyarakat, dapat pula menyangkut kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan itu. Setiap
proses membentuk kebijakan umum atau kebijakan
pemerintah adalah hasil dari suatu
proses mengambil keputusan,
yaitu memilih beberapa alternative yang akhirnya
ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah. Namun demikian, perlu dilihat juga terkait pembagian (distribution)
dan alokasi (allocation) ialah
pembagian dan penjatahan nilai-nilai (values) dalam
masyarakat. Menekankan bahwa pembagian dan alokasi beranggapan bahwa politik tidak
lain dan tidak bukan adalah membagikan dan mengalokasikan nilai-nilai secara mengikat. Pembagian ini sering
tidak merata dan karena itu menyebabkan
konflik. Masalah tidak meratanya pembagian nilai-nilai perlu diteliti dalam hubungannya dengan kekuasaan dan kebijakan pemerintah.
Hal
di atas menjadi paradoks apabila dikonkritisasi kepada PDI Perjuangan sebagai partai politik penguasa (pemenang pemilu). Mengapa demikian, mestinya kekuasaan itu harus
dikelola secara baik oleh PDIP dalam mewujudkan ideologi marhaenisme sebagai ajaran sakti Soekarno yang berpihak terhadap kaum kecil; petani,
nelayan, pedagang serta kelompok-kelompok lain yang
perlu mendapatkan perhatian serius terkait keberpihakan partai. Masalahnya, PDIP merupakan salah satu parpol yang mendukung pengesahaan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang kini
telah menjadi produk Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), diketahui, Undang-undang ini yang isinya berpihak terhadap kepentingan oligarki. Bukan hanya itu,
kebuntutan lain dalam tubuh PDIP adalah kasus korupsi terhadap
kader-kader partainya. Sebut saja kasus
Harun Masiku tersangka kasus suap pergantian
antarwaktu (PAW) anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) yang melibatkan mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia Wahyu Setiawan, hingga
kini belum mendapatkan kepastian hukum. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan khusus
partai politik yakni merebut kekuasaan
politik dengan cara konstitusional, sebab tindakan suap terhadap eks
mantan Ketua KPU RI merupakan tindakan nonkonstitusional dalam berdemokrasi. Kemudian, kasus yang menyeret mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dalam kasus korupsi Bansos
Covid-19, diketahui Juliari.
Batubara merupakan kader
PDIP. Bahkan, kasus korupsi Bansos Covid-19 melibatkan beberapa kader PDIP seperti Ketua DPC PDIP Kendal cs. Artinya
bahwa semua partai politik ketika memegang tampuk kekuasaan tidak menunjukkan karakter kebijakan yang berbeda. Padahal, mereka mengklaim berada di spektrum segmen identitas yang meski terdapat irisan, juga sebagian di antaranya berseberangan, dimana PDIP mendeklarasikan dirinya sebagai partainya wong cilik (abangan, marhaen).
3.
Ideologi Islam Moderat di PKB
Pendirian PKB oleh NU sebagai
uapaya untuk mengatasi dua kecenderungan
besar yang muncul di NU pasca Orde Baru.� Satu kelompok lainnya adalah menginginkan NU tetap menjadi ormas keagamaan.
Jalan keluarnya adalah NU membidani pendirian partai, dalam hal
ini PKB, untuk fasilitas dan artikulasi kepentingan warga NU tanpa menjadikan NU sebagai partai politik. Dengan demikian, relasi antara NU dengan PKB adalah bersifat historis, kultural, dan aspiratif. Historis artinya pembentukan PKB bertalian erat dengan NU. Kultural berarti perjuangan PKB harus memerhatikan lingkungan kultural khas yang dianut oleh NU, yaitu lingkungan kebudayaan yang dibentuk oleh nilai-nilai keagamaan Islam Ahlussunnah wal Jama�ah. Sedangkan aspiratif artinya PKB berkewajiban untuk memerjuangkan cita-cita politik yang dimiliki warga NU (Mayrudin & Akbar, 2019).
Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) sebagai partai politik dengan mengusung ideologi Islam Moderat terpotret secara jelas dalam asas
partainya yakni berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dalam Platform Politik
PKB tertuang tajuk perjuangan partai dengan jargon �melayani ibu pertiwi�. Di dalamnya ditegaskan tentang politik rahmatan lil ‟alamin yang dimaknai sebagai upaya untuk
menyemai dan menyebarkan rahmat serta keselamatan
bagi seluruh alam semesta tanpa
terkecuali. Politiknya mengedepankan pelayanan total kepada ibu pertiwi,
keberpihakan pada kepentingan
publik, kaum mustadh‟afin (lemah dan dilemahkan) dan kehidupan semesta. Meskipun PKB merupakan partai berbasis agama yang lahir dari NU, namun PKB harus tampil bukan
saja untuk kepentingan NU dan Islam, melainkan
untuk kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan dan berkelanjutan.
Secara implisit, Al-Qur�an
dan Hadis banyak menyinggung akan pentingnya sikap moderat, serta posisi umat
Islam sebagai umat yang moderat dan terbaik. Moderasi adalah nilai inti dalam
ajaran Islam. Bahkan karakteristik ini dapat menjadi formula untuk mengatasi
beragam persoalan umat terkhusus di era globalisasi saat ini seperti persoalan
radikalisme keagamaan, takfir, fanatisme buta (at-ta�ashshub al-a�m�), yang
tentunya memerlukan sebuah sikap proporsional dan adil yang teridentifikasikan
dalam sebuah konsep yaitu wasathiyyah (Zamimah, 2018).
Platform
politik PKB disusun dengan berlandaskan pada nilai-nilai teologis-spiritual
dan ideologis-filosofis yang termaktub
dalam mabda‟ siyasi sebagai nilai dasar perjuangan,
asas dan prinsip perjuangan, jatidiri, watak serta tujuan
dan kerja politik PKB dalam pentas politik
nasional. Di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga (AD-RT) hasil Muktamar PKB Nusa Dua Bali, 20-22 Agustus 2019 menjelaskan tentang Asas dan Prinsip Perjuangan PKB berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.�
Adapun prinsip partai
adalah pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlusunnah Waljama‟ah (Aswaja).
�Aswaja sebagai dasar filosofis
ini memberikan warna dan karakter pada ideologi kebangsaan (nasionalisme) kaum nahdliyin. Mereka menolak karakter kebangsaan yang ashabiyah, yaitu paham kebangsaan
yang sempit. Sebuah paham kebangsaan yang menimbulkan kesombongan bangsa. Paham kebangsaan
ini berdasarkan sebuah kebangsaan diri berlebihan sehingga menilai bangsa lain rendah dan hina. Kebangsaan seperti itu akan
menimbulkan pertentangan bahkan peperangan antara bangsa-bangsa (Priyatna, 2019).
Nasionalisme Aswaja
PKB berkaitan dengan politik dan kenegaraan menegaskan tentang perjuangan bangsa untuk mendirikan negara Indonesia
yang berdaulat ke luar dan ke dalam
sebagai hasil cita-cita seluruh bangsa. Bagi PKB, kemerdekaan
Indonesia menjadi syarat
paling pokok bagi berdirinya bangsa Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jadi secara geneologis, konstruksi pemikiran PKB menyebutkan syarat perjuangan kemerdekaan sebagai jembatan untuk kehidupan nasionalisme Indonesia (Priyatna, 2019).
Kemudian pada bab
III AD-RT PKB mengatakan secara
eksplisit tentang Jati
Diri, Watak dan Fungsi.
Jati diri partai adalah Nasionalis, Agamis, dan Humanis. Watak partai adalah Moderat,
Toleran dan Adil. Sedangkan
fungsi partai PKB yakni: a). sebagai wadah berhimpun bagi setiap warga
Negara Indonesia tanpa membedakan
asal-usul, keturunan, suku, golongan, agama dan profesi; b). sebagai alat perjuangan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan
kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur; c). sebagai saluran aspirasi politik warga Negara Indonesia bagi terwujudnya kedaulatan rakyat dan keadilan sosial; d). sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan-kepentingan rakyat di
dalam lembaga-lembaga dan
proses-proses politik; dan e). sebagai
sarana mempersiapkan, memunculkan dan melahirkan kader dan pemimpin politik, bangsa dan Negara.
Kemudian, peneliti menemukan tujuan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di dalam AD- RT partainya mengatakan sebagai berikut:
a.
Mewujudkan cita-cita kemerdekaan
Republik Indonesia sebagaimana
dituangkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b.
Mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur secara lahir dan batin, material dan
spiritual;
c.
Mewujudkan tatanan politik
yang demokratis, terbuka, bersih dan berakhlak mulia; dan
d.
Memperoleh kekuasaan politik secara konstitusional sebagai alat memperjuangkan
dan mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan, kemakmuran, dan kesejahteraan lahir batin bagi
seluruh rakyat Indonesia.
PKB sebagai partai politik berideologikan Islam Moderat, tentu bertanggungjawab terhadap komitmen ke-Islaman dan kebangsaan. Artinya, selain memikul narasi-narasi politik kebangsaan, namun PKB juga memikul narasi-narasi ke-Islaman dalam setiap spirit gerakan dan orientasi kebijakan partai yang dibangun baik di parlemen (legislatif) dan di pemerintahan (eksekutif). Maka sudah sepatutnya, identitas ke-Islaman yang terkandung dalam PKB harus sejalan dengan tawaran kebijakan baru yang fundamental dilihat dari kacamata nilai-nilai
Islam yang substantif, seperti
pro-keadilan (al-adalah), kejujuran (amanah), membela rakyat kecil (mustadz‟afin) dan pemberantasan kesewenang-wenangan
dan korupsi (amar makruf nahi mungkar).
Menyadari identitas tersebut, maka orientasi perjuangan politik yang harus dibangun oleh PKB pada narasi advokasi ke-Islaman tentu tidak lagi
berkutat pada kebijakan
yang bercorak formalis: menghasilkan aturan-aturan syariah yang muaranya (lagi-lagi) pada identitas, seperti kewajiban berjilbab, mengaji, tidak berjudi, dan tidak minum-minuman keras dan perjuangan Undang-undang Pesantren. Melainkan harus benar-benar mengakar terhadap ideologi ideal partai seperti nilai-nilai ke-Islaman yang disebutkan di atas.
Krisis ideologisasi
partai PKB, terlihat dari sikap yang diambil oleh Wakil Ketua Umum PKB
Ida Fauziyah yang juga menjabat
sebagai Menteri Tenaga Kerja
(Menaker) Republik Indonesia menyatakan
PKB mendukung pembahasan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja. Menurut Ida Fauziyah, PKB mendukung setiap upaya terobosan
untuk mempercepat penciptaan lapangan kerja. Lebih lanjut
dikatakan, sebagai partai pendukung pemerintah PKB akan mendorong kadernya di DPR membantu menyempurnakan RUU Cipta
Kerja. Kemudian, kasus suap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (Kemen-PUPR) dalam proyek
infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara pada tahun 2016 yang dilakukan eks politisi Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB)
Musa Zainuddin. Dalam surat permohonan
justice collaborator yang dikeluarkan Musa Zainuddin kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut-nyebut adanya keterlibatan sejumlah elite Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Walhasilnya, KPK pada tanggal 29
Januari 2020 melakukan pemeriksaan
terhadap Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar sebagai saksi dalam kasus
dimaksud.
Beberapa fakta politik di atas, baik yang sedang dihadapi oleh PDIP dan PKB merupakan
suatu fenomena nyata akibat dari
krisisnya nilai-nilai ideologisasi di dalam tubuh partai politik.
Hal tersebut dikarenakan gagalnya partai politik dalam menjalankan
fungsi sosialisasi politik terhadap para kadernya. Merujuk (Budiardjo, 2010)
menyatakan sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ia
adalah bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang,
misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa,
ideology, hak dan kewajiban.
Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat menyampaikan �budaya politik� yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik (political
culture) suatu bangsa.
Kesimpulan
Fenomena nyata yang sedang dihadapi oleh partai politik pada hari ini adalah ketidakjelasan
ideologi yang dibangun dalam bentuk program kerja (platform). Selain itu, terjadi kesenjangan harapan dan kenyataan antara ideologi politik dengan kebijakan politik, karena besarnya derajat pragmatisme politik dan perilaku politik yang cenderung korup. Permasalahannya, partai politik gagal dalam melakukan
sosialisasi politik berupa proses ideologisasi terhadap kader-kader partai politiknya. Fakta tersebut, sehingga berdampak terhadap kurangnya kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai pengharapannya dalam menyalurkan ide-ide serta gagasan bernas
di legislatif dan eksekutif.
Belum jelasnya aksi nyata partai politik
dalam melahirkan kebijakan politik pro rakyat kecil, kejujuran,
keadilan, anti korupsi dan keberpihakan terhadap kepentingan umum sehingga di kemudian melahirkan stigmatisa liar bahwa antara satu
partai politik dengan partai politik
lainnya tentu sama. Artinya, tidak ada unsur
pembeda yang mencerminkan nilai-nilai ideologisasi yang dibangun oleh partai politik baik persoalan
yang sedang dihadapi PDIP
yang berideologi Marhaenisme
dan PKB yang berideologi Islam Moderat.
Padahal, titik utama untuk membedakan
antara partai yang satu dengan partai
yang lainnya terletak pada ideologi dan platform partai politik yang teraktualisasi melalui kerja-kerja nyata lapangan. Karena ideologi dan platform merupakan ciri khas serta
identitas suatu partai politik. PDI Perjuangan dan PKB pada dasarnya memiliki karekter ideologi politik yang berbeda. Namun, pada tataran substantif atas ideologi yang diusung berdasarkan temuan peneli yakni
sama. Keduanya merupakan partai politik secara wacana benar-benar berpihak terhadap rakyat kecil seperti:
petani, nelayan, buruh, dan pedagang. Namun, hasil temuan
lapangan menunjukkan suatu fenomena yang tidak mencerminkan keberpihakan terhadap kelompok-kelompok kepentingan sebagai objek atas
pembangunan politik. Untuk PDI Perjuangan di dalam AD-RT telah tercantum secara jelas dengan mengusung
ideologi politik nasionalisme-marhaenisme. Namun peneliti masih menemukan ketidak-korelasian antara teks nasionalisme-marhaenisme
di AD-RT dengan beberapa kebijakan politik dan perilaku politik PDIP. Sedangkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), di dalam AD-RT menerangkan bahwa partai berasaskan
Pancasila (disebut menyeluruh
5 butir Pancasila), kemudian
dijelaskan prinsip perjuangan partai adalah pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahsunnah Waljama‟ah. Kemudian disebutkan jati diri partai
adalah nasionalis, agamis
dan humanis, dan watak partai adalah moderat,
toleran dan adil. Namun, peneliti menemukan bahwa ideologi partai yang tertuang di dalam AD-RT belum terimplementasikan dalam aksi nyata
seperti kebijakan politik pro rakyat dan anti korupsi.
Aulia, Dian. (2016).
Penguatan Demokrasi: Partai Politik Dan (Sistem) Pemilu Sebagai Pilar
Demokrasi. Masyarakat Indonesia, 42(1), 115�126.Google Scholar
Budiardjo, Miriam. (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi
revisi cetakan keempat). Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Google Scholar
Cahyaningtyas, Padma. (2020). Ideologi Marhaenisme Masa
Pemerintahan Soekarno Tahun 1950-1965. Google Scholar
Dacholfany, M. Ihsan. (2017). Dampak LGBT dan antisipasinya
di masyarakat. Nizham Journal of Islamic Studies, 4(1), 106�118. Google Scholar
Fattahurrosyid, Fattahurrosyid. (2017). Konstruksi Realitas
Sosial Tatto. Jurnal Pendidikan Nonformal, 10(2), 94�107. Google Scholar
Geraldy, Galang. (2019). Ideologi dan Partai Politik:
Menakar Ideologi Politik Marhaenisme di PDIP, Sosialisme Demokrasi di PSI dan
Islam Fundamentalisme di PKS. Ideology and Political Parties: Measuring the
Political Ideology of Marhaenism in PDIP, Democratic Socialism in PSI and
Islamic Fundamentalism in PKS. Google Scholar
Heryanto, Gun Gun. (2020). Realitas komunikasi politik
Indonesia kontemporer. IRCiSoD. Google Scholar
Iswadi, Iswandi. (2020). Studi Gerakan Ideologi Partai
Politik Pada Pemilu 2019. Politica: Jurnal Hukum Tata Negara Dan Politik
Islam, 7(1), 3�21. Google Scholar
Jupri, Azhari. (2019). Perilaku Pemilih Di Kepulauan
Tanakeke Pada Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Takalar Tahun 2017.
Universitas Hasanuddin. Google Scholar
Kurniasih, Wiwin. (2019). Studi Orientasi Ideologi
Marhaenisme Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPD
PDI-P) Provinsi Jawa Tengah. Journal Of Politic And Government Studies, 8(01),
261�270. Google Scholar
Machmud, Muslimin. (2016). Tuntunan Penulisan Tugas Akhir
Berdasarkan Prnsip Dasar Penelitian Ilmiah. Research Report. Google Scholar
Mayrudin, Yeby Ma�asan, & Akbar, M. Chairil. (2019).
Pergulatan Politik Identitas Partai-partai Politik Islam: Studi tentang PAN,
PKB dan PKS. Madani Jurnal Politik Dan Sosial Kemasyarakatan, 11(2),
169�186. Google Scholar
Priyatna, Yana. (2019). Titik Temu Politik Kebangsaan
Islam Islam Nusantara. Yogyakarta: Aswaja dan Marhaenisme.
Surbakti, Ramlan. (2010). Memahami Ilmu Politik. Jakarta:
Grasindo. Undang-Undang Undang-Undang Nomor, 2. Google Scholar
Zamimah, Iffati. (2018). Moderatisme islam dalam konteks
keindonesiaan. Jurnal Al-Fanar, 1(1), 75�90.
Google Scholar
Hasnu dan Firdaus
Syam (2021) |
First publication right : |
This article is licensed under: |
�����������