Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
Vol. 3, No. 6, Juni 2021
EFEKTIVITAS PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM MENYELESAIKAN KASUS
TINDAK PIDANA DI WILAYAH HUKUM POLRES PUNCAK JAYA
Dedy Syahputra Bintang
Universitas Tarumanagara (UNTAR) Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Restorative justice has been used by the Puncak
Jaya Resort Police (Polres) in a number of criminal
cases that happened within the Puncak Jaya Police's
jurisdiction. This is because if a case is not settled by customary law, the Puncak Jaya community is often dissatisfied. Positive
legislation is thought to be less sensitive to the needs of the society when it
comes to criminal proceedings. The Puncak Jaya Police
Department uses a restorative justice approach to mitigate the occurrence of
new issues that could arise as a result of aggrieved parties' frustration. This
study is a normative legal study that was performed using qualitative
approaches and secondary data sources. The data is gathered from reliable
sources based on literature reviews. In an inductive method, where research is
conducted from general to more specific topics, conclusions are drawn from the
research. The restorative justice strategy can be considered a viable option
for resolving criminal cases in Puncak Jaya. This is
because, in some circumstances, the restorative justice approach is a form of
settlement that can satisfy the wishes of the parties concerned. In order for
the matter to be settled according to the desires of the parties concerned. The
Puncak Jaya community's customary law includes the
payment of customary fines as one form of punishment. Customary fines are
intended to compensate the victim for the harm caused by the perpetrator's
criminal act. As a result, any customary fines that all parties have settled
upon must be charged. he customary law payment is made at the police department
in front of prosecutors and other interested parties.
Keywords: customary
law; restorative justice; Puncak Jaya
Abstrak
Restorative justice telah digunakan oleh Kepolisian Resor (Polres) Puncak
Jaya dalam sejumlah kasus kriminal yang terjadi di wilayah hukum Polres Puncak
Jaya. Hal ini dikarenakan jika sebuah kasus tidak diselesaikan oleh hukum adat,
masyarakat Puncak Jaya seringkali tidak puas. Undang-undang positif dianggap
kurang sensitif terhadap kebutuhan masyarakat dalam hal proses pidana. Polres
Puncak Jaya menggunakan pendekatan restorative justice untuk memitigasi
terjadinya isu-isu baru yang dapat muncul sebagai akibat dari frustrasi
pihak-pihak yang tergugah. Penelitian ini merupakan kajian hukum normatif yang
dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan sumber data sekunder.
Data dikumpulkan dari sumber terpercaya berdasarkan tinjauan literatur. Dalam
metode induktif, di mana penelitian dilakukan dari umum ke topik yang lebih
spesifik, kesimpulan diambil dari penelitian. Strategi restorative justice dapat
dianggap sebagai pilihan yang layak untuk menyelesaikan kasus pidana di Puncak
Jaya. Hal ini dikarenakan, dalam beberapa keadaan, pendekatan restorative
justice merupakan bentuk penyelesaian yang dapat memuaskan keinginan para pihak
yang bersangkutan. Agar persoalan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan
keinginan pihak-pihak yang bersangkutan. Hukum adat masyarakat Puncak Jaya
meliputi pembayaran denda adat sebagai salah satu bentuk hukuman. Denda adat
dimaksudkan untuk memberikan kompensasi kepada korban atas kerugian yang
ditimbulkan akibat tindak pidana pelaku. Akibatnya, setiap denda adat yang telah
diselesaikan semua pihak harus dibebankan. pembayaran hukum adat dilakukan di
kepolisian di depan kejaksaan dan pihak lain yang berkepentingan.
Kata Kunci: hukum adat; keadilan restoratif; Puncak Jaya
Pendahuluan
Undang-undang Republik Indonesia menggunakan istilah tindak pidana untuk menggambarkan kegiatan atau perbuatan yang melanggar hukum. Istilah tindak pidana berasal dari suatu istilah dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah tersebut terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda maupun berdasarkan asas konkordasi, istilah tersebut juga berlaku pada WvS Hindia Belanda (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) (Purba, 2016).
Hukum pidana,
yaitu pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata,
Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintah, yang oleh pembentuk
Undang-Undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana. Maka sifat-sifat yang ada
dalam suatu tindak pidana adalah sifat melanggar hukum, karena tidak ada suatu
tindak pidana tanpa melanggar hukum (Jaelani, 2020).
Pada prinsipnya, hukum pidana tidak mengenal adanya mekanisme
penyelesaian tindak pidana di luar dari pada pengadilan. Berbeda dengan hukum
perdata yang mengenal adanya penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non
litigasi) yang disebut juga dengan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS). Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, dijelaskan
bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli. APS hanya bisa diberlakukan untuk kasus
perdata, bukan untuk pidana
(Ariani, 2012)
Saat ini satu-satunya Undang-Undang di Indonesia yang mengatur terkait tindak pidana yang penyelesaiannya dapat dilakukan di luar pengadilan adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Indonesia, 2012), dimana bentuk penyelesaiannya dikenal dengan istilah diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari peradilan pidana berdasarkan keadilan restoratif.
Penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula
dan bukan pembalasan (Wahyudi, 2015).
Walau diatur dalam Undang-Undang Pidana Anak untuk lebih dianjurkan diaplikasikan dalam kasus pemidanaan pada anak, namun restorative justice juga dilakukan dalam kasus pemidanaan umum. Hal tersebut juga disarankan untuk dilakukan sesuai dengan Surat Edaran Kapolri No: SE/8/VII/2018 Tanggal 27 Juli 2018. Surat edaran tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa restorative justice dapat menjawab perkembangan kebutuhan hukum masyarakat serta memenuhi rasa keadilan semua pihak.
Kepolisian
Resor (Polres) Puncak Jaya sudah menerapkan restorative
justice dalam menangani beberapa kasus pidana yang terjadi di wilayah hukum
Polres Puncak Jaya. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Puncak Jaya sering
merasa tidak puas jika suatu kasus tidak diselesaikan dengan hukum adat.
Penyelesaian kasus tindak pidana dengan hukum positif dirasa kurang mengakomodir
keinginan masyarakat.
Maka
dari itu, menyelesaikan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice dianggap lebih cocok untuk diselesaikan di
wilayah hukum Puncak Jaya. Peradilan dengan menggunakan pendekatan restorative justice yang dilakukan di
wilayah hukum Polres Puncak Jaya dilakukan demi meminimalisir timbulnya masalah
baru yang bisa saja terjadi akibat ketidakpuasan dari pihak-pihak yang merasa
dirugikan.
Metode
Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian hukum normatif
yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan sumber data sekunder. Data dikumpulkan dari sumber terpercaya
berdasarkan tinjauan literatur. Dalam metode induktif, di mana penelitian dilakukan dari umum ke topik
yang lebih spesifik, kesimpulan diambil dari penelitian. Strategi
restorative justice dapat dianggap
sebagai pilihan yang layak untuk menyelesaikan
kasus pidana di Puncak Jaya. Hal ini dikarenakan, dalam beberapa keadaan, pendekatan restorative justice merupakan
bentuk penyelesaian yang dapat memuaskan keinginan para pihak yang bersangkutan. Agar persoalan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang bersangkutan.
Hasil dan Pembahasan
Penerapan pendekatan restorative
justice sudah lama dilakukan di Polres Puncak Jaya. Bahkan sejak pertama
kali Polres Puncak Jaya terbentuk di pertengahan 2008, pendekatan restorative
justice adalah metode yang digunakan untuk menyelesaikan kasus tindak
pidana. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Puncak Jaya yang cenderung lebih
memilih untuk menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan kasus tindak pidana.
Oleh karena itu, maka pendekatan retosrative justice dalam menyelesaikan
kasus tindak pidana dianggap lebih efektif (Umam, 2016).
Efektivitas merupakan
kemampuan dalam melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi)
dari suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak ada tekanan atau ketegangan
diantara pelaksanaannya (Maharani, Yuniningsih, & Djumiarti, 2016).
Penerapan
pendekatan restorative justice dilaksanakan oleh Polri sebagai aparat
hukum yang bertugas untuk melaksanakan penegakan hukum.
Penerapan restorative
justice dilaksanakan oleh Polres Puncak Jaya sebagai upaya dalam penegakan
hukum di tengah-tengah masyarakat. Dimana penegakan hukum dilaksanakan agar
terciptanya kondisi yang aman dan damai, serta mendamaikan pihak-pihak yang
terlibat perkara. Efektivitas hukum menurut Romli Atmasasmita yaitu
faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum, tidak hanya terletak
pada sikap mental aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dna penasihat
hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering
diabaikan (Tarigan, 2017).
Untuk melihat atau mengukur
keberhasilan dari efektif tidaknya suatu hukum, dapat dilakukan dengan
melakukan pengukuran pada 5 (lima) faktor yaitu (Pohan, 2019) :
a.
Faktor hukumnya itu sendiri (undang-undang)
b.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum
c.
Faktor sarana dan fasilitas hukum yang mendukung penegakan
hukum
d.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan
e.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa.
Jika dilakukan analisa untuk
melihat ukuran efektivitas penerapan restorative justice di Polres Puncak
Jaya berdasarkan pada faktor-faktor yang disebutkan oleh Soerjono Soekanto,
maka bisa digambarka n pada tabel dibawah ini:
Tabel 1
No |
Faktor |
Penerapan Restorative
Justice di Polres Puncak
Jaya |
1 |
Hukumnya |
Landasan restorative justice,
Surat Edaran Kapolri
No.8/VII/2018 dan Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 |
2 |
Penegak Hukum |
Kepolisian Resor Puncak
Jaya |
3 |
Sarana
dan fasilitas yang mendukung |
Kantor
Kepolisian Resor Puncak Jaya |
4 |
Masyarakat |
Masyarakat
Puncak Jaya sebagai masyarkat yang memegang teguh nilai-nilai serta kebiasaan luhur. hukum adat merupakan hukum yang berasal dari masyarkaat Puncak Jaya |
5 |
Kebudayaan |
Sebagai masyarakat
adat yang memegang teguh nilai-nilai kebudayaan yang ada, masayrkat Puncak Jaya masih mengakui dan menerapkan hukum adat dalam menyelesaikan
kasus tindak pidana yang terjadi. dimana hukum adat merupakan hukum yang berasal dari masyarakat Puncak Jaya dan tetap hidup ditenagh-tengah masayarakat. hukum adat sudah menjadi
bagian dari kebudayaan masyarakat Puncak Jaya. |
Menambahkan
pada faktor-faktor pengukur efektivitas diatas, Soerjono Soekanto memprediksi
patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana. Dimana prasarana
yang dimaksud harus secara jelas menjadi bagian yang memberikan kontribusi
untuk kelancaran tugas-tugas aparat di lokasi kerjanya (Rahman, 2017). Walau tidak
sebanding jika dibandingkan dengan Polres di Kabupaten lain yang bukan berada
di wilayah gunung, Kepolisian Resor Puncak Jaya memiliki sarana dan prasarana
yang mumpuni untuk menerapkan restorative justice dalam menyelesaikan
kasus tindak pidana di Puncak Jaya.
Melihat
tabiat dari masyarakat Puncak Jaya yang suka berperang, maka pendekatan restorative
justice dalam menyelesaikan kasus tindak pidana di Puncak Jaya bisa
dikatakan efektif. Hal tersebut bisa dilihat dari tidak terjadinya perang antar
suku ketika sudah dilaksanakan pendekatan restorative justice dalam kasus
tindak pidana yang terjadi. kemudian hal lain yang bisa dijadikan ukuran
adalah, banyaknya kasus tindak pidana yang diminta oleh masyarkaat untuk
diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Hal tersebut dapat
dilihat pada data reskrim Polres Puncak Jaya, seperti yang tertera pada diagram
dibawah ini.
Diagram 2
Laporan kasus tindak
pidana yang terjadi di Polres Puncak Jaya periode 2018-2020. Diolah oleh peneliti
Pihak-pihak yang terlibat
dalam suatu kasus tindak pidana, memiliki hak penuh untuk memilih akan menyelesaikan
kasus tindak pidana yang terjadi dengan pendekatan restorative justice atau
tidak. Penyidik atau pihak kepolisian tidak boleh melakukan intervensi terhadap
hal tersebut. Walau tidak boleh untuk melakukan intervensi, namun pihak
penyidik berhak untuk mempertimbangkan apakah kasus tersebut bisa diselesaikan
dengan pendekatan restorative justice atau tidak. Karena berdasarkan
pada Pasal 7 ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 08 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, disebutkan bahwa penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (Apriyanto, 2016).
Kemudian pada Pasal 16 Ayat
(1) huruf L dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Inodnesia dan Pasal 6 Ayat (1) angka 4 Undang-Undang Nomor 08 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf L adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang
dilaksanakan jika memehuni syarat (Pandelaki, 2018) berikut
ini:
1)
Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
2)
Selaras dengan hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan;
3)
Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
4)
Harus masuk akal, patut, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya; dan
5)
Menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).
Selain hal-hal yang
disebutkan dalam Undang-Undang tersebut, terdapat hal-hal lain yang harus menjadi
pertimbangan penyidik dalam memutuskan bahwa suatu kasus dapat diselesaikan
dengan restorative justice atau tidak. Adapun hal tersebut adalah salah
satu syarat formil pada pedoman penanganan penyelesaian perkara dengan
pendekatan restorative justice yang terdapat pada Surat Edaran Kapolri
No.8 Tahun 2018, bahwa semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice
terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia. Maka
penerapan restorative justice tidak dapat dilakukan pada tindak pidana
yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia.
Maka dalam menyelesaiakn
kasus tindak pidana dengan pendekatan restorative justice, hal-hal
tersebut harus menjadi pertimbangan penyidik untuk dapat menentukan suatu kasus
tindak pidana dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice atau
tidak.
Pendekatan restorative
justice bisa dikatakan sebagai metode penyelesaian yang cocok terhadap
kasus tindak pidana yang terjadi di Puncak Jaya. Hal tersebut disebabkan karena
pendekatan restorative justice merupakan metode penyelesaian yang dalam
prakteknya mampu mengakomodir keinginan dari pihak-pihak yang terlibat perkara
tertentu. Sehingga perkara yang terjadi dapat diselesaikan dengan sesuai dengan
kehendak para pihak yang terlibat (Bintang, 2021).
Dengan menyepakati penerapan
restorative justice oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam perkara,
maka pelaku harus melaksanakan ketetapan sebagai bentuk tanggung jawab yang
harus dilaksanakan oleh pelaku. Bentuk tanggung jawab atau ganti rugi kepada pihak
korban atas apa yang sudak dilakukan oleh pelaku. Hal tersebut sesuai dengan
salah satu syarat formil berlakunya restorative justice sesuai dengan SE
Kapolri No.8/2018, bahwa pelaku tidak keberatan atas tanggungjawab, ganti rugi,
atau dilakukan secara sukarela (Wadjo & Saimima, 2020).
Salah satu bentuk hukuman
yang terdapat pada hukum adat di masyarakat Puncak Jaya adalah pembayaran denda
adat. Denda adat dianggap sebagai ganti rugi dari kerusakan yang disebabkan
oleh perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Maka dari itu, setiap
denda adat yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak harus dibayarkan.
Proses pembayaran hukum adat dilaksanakan di kantor polisi dan disaksikan oleh
penyidik dan pihak-pihak lainnya.
Kesimpulan
Restorative
justice adalah
upaya penyelesaian kasus pidana dengan menekankan akan
pentingnya mempertahankan keadilan dan menstabilkan keseimbangan. Restorative justice memberikan kewajiban
terhadap pelaku kejahatan dengan kesadarannya untuk mengakui kesalahannya dan
melakukan permintaan maaf dan pengembalian kerugian serta kerusakan yang
dialami oleh korban. Sehingga hal tersebut diharapkan dapat memenuhi rasa
keadilan bagi korban.
Penerapan restorative justice terjadi atas kesepakatan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tindak pidana, tanpa adanya intervensi polisi di dalamnya. Penerapan pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan kasus tindak pidana di wilayah hukum Polres Puncak Jaya dikatakan sangat efektif, dikarenakan lebih mampu untuk mengakomodir keinginan semua pihak yang terlibat dalam kasus tindak pidana. Sehingga hal tersebut menghindari munulnya konflik-konflik yang bisa saja muncul ketika satu pihak merasa keinginan/ kepentingannya tidak diakomodir.
Walau tidak berhak untuk melakukan intervensi atas penerapan pendekatan restorative justice, namun pihak reskrip Puncak Jaya sebagai penyidik berhak untuk menentukan apakah suatu kasus bisa diselesaikan dengan pendekatan restorative justice atau tidak. Hal tersebut dikarenakan wewenang dari penyidik serta syarat formil dan syarat materil yang harus dilengkapi ketika menerapkan pendekatan restorative justice.
Apriyanto, Edwin. (2016). Penerapan Restorative Justice
Sebagai Bentuk Diskresi Kepolisian Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
Penipuan di Polrestabes Semarang. Jurnal Spektrum Hukum, 13(1),
55�72.Google Scholar
Ariani, Nevey Varida. (2012). Alternatif penyelesaian
sengketa bisnis di luar pengadilan. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan
Hukum Nasional, 1(2), 277�294. Google Scholar
Bintang, Dedy Syahputra. (2021). Efektivitas Penerapan
Restorative Justice dalam Menyelesaikan Kasus Tindak Pidana di Wilayah Hukum
Polres Puncak Jaya. Universitas Tarumanagara. Google Scholar
Indonesia. (2012). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Direktorat Jenderal Hak
Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM, Republik Google Scholar
Jaelani, Andriansyah. (2020). Sanksi tindak pidana
pencurian disertai kekerasan yang menyebabkan kematian perspektif hukum pidana
islam. UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Google Scholar
Maharani, Aprillia, Yuniningsih, Tri, & Djumiarti, Titik.
(2016). Efektivitas Dinas Sosial Pemuda dan Olahraga dalam Penanganan Anak
Jalanan di Kota Semarang. Journal of Public Policy and Management Review,
5(3), 476�488. Google Scholar
Pandelaki, Glenn Richard. (2018). Peran Polisi Dalam
Pengendalian Massa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lex Et Societatis, 6(5). Google Scholar
Pohan, Hotman T. (2019). Analisis pengaruh kepemilikan
institusi, rasio tobin q, akrual pilihan, tarif efektif pajak, dan biaya pajak
ditunda terhadap penghindaran pajak pada perusahaan publik. Jurnal
Informasi, Perpajakan, Akuntansi, Dan Keuangan Publik, 4(2), 113�135. Google Scholar
Purba, Irwansyah. (2016). Penerapan Hukum Pidana Militer
Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Putusan
No. 295k/Mil/2014). Google Scholar
Rahman, Syaiful. (2017). Ganti Rugi Akibat Wanprestasi
Dalam Transaksi Bisnis Berbasis Syariah Di Indonesia. Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Google Scholar
Tarigan, Irwan Jasa. (2017). Peran Badan Narkotika
Nasional dengan Organisasi Sosial Kemasyarakatan dalam Penanganan Pelaku
Penyalahgunaan Narkotika. Deepublish. Google Scholar
Umam, Islahul. (2016). Pemulihan Kondisi Sosial Masyarakat
yang Rusak Akibat Tindak Pidana (Studi Kasus Aparat Gampong peulanggahan Kota
Banda Aceh. UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Google Scholar
Wadjo, Hadibah Zachra,
& Saimima, Judy Marria. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kekerasan Seksual Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Restoratif. JURNAL BELO,
6(1), 48�59. Google Scholar
Wahyudi, Dheny. (2015). Perlindungan Terhadap Anak yang
Berhadapan dengan Hukum Melalui Pendekatan Restorative Justice. Jurnal Ilmu
Hukum Jambi, 6(1), 43318. Google Scholar
Dedy Syahputra
Bintang (2021) |
First publication right : |
This article is licensed under: |