Syntax
Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN:
2684-883X�
Vol. 3, No. 6, Juni 2021
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI DAERAH PESISIR
KOTA SIBOLGA TAHUN 2020
Rita Kristina Pasaribu, Heru Santosa, Nurmaini
Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Sumatera
Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstract
ISPA
(Acute Respiratory Tract Infection) is a transmitted respiratory tract disease
caused by environmental and human factors. Balita (below five year-old
children) is very vulnerable to it. It was
caused by virus or bacteria. The symptoms are high fever, followed by pain in
throat, difficult to swallow, flu, and coughing with or without phlegm
transmitted through patients' droplet (Riskesdas,2018). Revealed
that, nationally, the prevalence of ISPA in
balita was 12.8%, 8. 7% in North Sumatera, and 57% in Sibolga. The objective of
the research was to analyze some factors which were correlated with the
incidence of ISPA in
balita at the coastal area of Sibolga . The data were gathered by using
questionnaires. The research used cross sectional design. The samples were 265
(Isaac and Michael tables). The data were analyzed by using univariate
analysis, bivariate analysis, and multivariate analysis with multiple logistic
regression tests. From the samples, it was found that 144 of them (54.3%) were
affected by ISPA and 121 of them (45. 7%) were not. The result of univariate
analysis showed that 141 respondents (53.2%) had good requirement for their floors, 146 of them (55.1%) for walls, 70
of them (26.4%) for air ventilation, 257 of them (97%) for room temperature,
225 of them (84.9%) for lighting, 233 of them (87.9%) for moisture, 181 of them
(68. 3%) for population density. From the factor of children, it was found that
there were 131 boys
(49.4%), 188 of the balita (70.9%) were 6- 35 months old, 217 of them (81.9%)
were not BBLR, 206 of them (77.7%) had bad nutrition, 160 of them (60.4%) got
vitamin A, 139 of them (52.5%) got immunization completion, 177 of them (66.8%)
were breastfed with ASI (breast milk), 202 of them (76. 2%) smoked, 40 of them
(15.1 %) used wood as fuel, and 27 of them (10.2%) used mosquito coils The
result of bivariate analysis showed that 8 (eight) independent variables which
were correlated were smoking (p-value=0.
003), using mosquito coils (p-value=0.026), floors (p-value=0.033), walls
(p-value=0.002), population density (p-value=0.001), nutritional status
(pvalue=0.001), air ventilation (p-value=0.012), Vitamin A(p-value=0.024), and
complete immunization (p-value=0.035). The result of multivariate analysis showed
that the variables of smoking, condition of house walls, nutritional status,
and immunization completion caused the incidence of ISPA in
balita at the coastal area of Sibolga (75.8%). It is
recommended that prevent ISPA by increasing nutritional status, ASI, visiting
posyandu, and no smoking inside their houses.
Keywords: ISPA; environment;
balita��������������������������������������������
Abstrak
ISPA adalah penyakit saluran pernapasan yang dapat menular dipengaruhi
faktor lingkungan dan faktor-faktor pada manusia yang mempengaruhi timbulnya penyakit. Usia balita paling rentan dengan infeksi saluran
pernapasan. ISPA (Riskesdas 2018) disebabkan virus atau bakteri, diawali panas disertai gejala tenggorokan
sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak yang ditularkan
melalui droplet penderita. Prevalensi ISPA balita secara nasional sebesar 12,8%,
Sumatera Utara sebesar 8,7% dan Sibolga sebesar 57%. Tujuan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga. Instrumen yang
digunakan adalah kuesioner. Desain penelitian yang digunakan cross
sectional, jumlah sampel 265. Metode analisis data univariat, bivariat dan multivariat menggunakan uji regresi logistic berganda. Dari 265 sampel, diketahui 144(54,3%) ISPA. Hasil analisis
univariat yang memenuhi syarat sebanyak 141(53,2%) lantai, 146(55,1%)
dinding, 70(26,4) ventilasi
udara, 257(97%)
suhu ruangan, 25(84,9%)
pencahayaan, 233(87,9%) kelembaban,181(68,3%) kepadatan hunian. Umur
balita 6-35 bulan 188(70,9%),tidak BBLR
217(81,9%), 206(77,7%) gizi baik,
memperoleh vitamin A 160(60,4%), imunisasi lengkap 139(52,5%) mendapat ASI
sebanyak 177(66,8%). Perilaku kebiasaan merokok 202(76,2%), penggunaan kayu bakar 40(15,1%) dan menggunakan anti nyamuk bakar �27(10,2%). Hasil analisis bivariat yang berhubungan yaitu kebiasaan merokok (p-value=0,003), penggunaan
anti nyamuk bakar(p-value=0,026),
lantai(p-value=0,033), dinding(p-value=0,002),
kepadatan hunian (p-value=0,001),
status gizi(p-value=0,001), ventilasi udara (p-value=0,012),
vitamin A(p-value=0,024), kelengkapan imunisasi(p-value=0,35). Hasil analisis
multivariat mendapatkan variabel kebiasaan merokok, kondisi dinding rumah, status gizi dan kelengkapan imunisasi menyebabkan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga sebesar 75,8%. Diharapkan
masyarakat dapat mencegah terjadinya ISPA dengan meningkatkan status gizi, ASI, kunjungan ke Posyandu dan tidak merokok di dalam rumah.
Kata Kunci: ISPA; lingkungan; balita
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dapat diartikan sebagai penyakit saluran pernapasan bagian atas yang dapat menular dan menimbulkan rentetan penyakit mulai dari penyakit
tanpa gejala atau infeksi ringan
sampai dengan infeksi parah dan mematikan yang dipengaruhi oleh patogen penyebabnya, faktor lingkungan dan faktor-faktor pada manusia yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit. ISPA juga diartikan sebagai infeksi yang terjadi pada saluran pernapasan akut yang terjadi karena adanya penularan
agen infeksius dari manusia ke
manusia. Gejala biasanya datang dengan cepat, mulai
dari beberapa jam hingga beberapa hari, seperti demam,
batuk, nyeri tenggorokan, pilek, sesak napas, mengi atau sulit bernapas
(Tambunan,
2016).
Usia
balita merupakan kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan.
Balita akan sangat rentan terinfeksi saluran pernapasan karena sistem tubuh
yang masih rendah, itulah yang menyebabkan angka prevalensi dan gejala infeksi
saluran pernapasan akut sangat tinggi bagi balita. Gejala infeksi saluran
pernapasan akut merupakan salah satu hal yang sangat sering terjadi di masyarakat (Saputra, 2017).
Prevalensi ISPA pada balita di
Sumatera Utara sebesar 8,7 persen. Prevalensi ISPA Balita di Sibolga,
sebesar 57 persen menduduki peringkat ke
dua �terbanyak setelah
Pakpak Barat (Dinas Kesehatan Propinsi
Sumatera Utara, 2018). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Sibolga tahun 2019, diketahui bahwa ISPA
merupakan penyakit yang menduduki urutan pertama. Pada tahun 2018 kejadian ISPA�
pada balita sebanyak
5.252 orang (Dinas
Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2018).
Informasi ini penting untuk diteliti dan ditelaah faktor-faktor penyebabnya khususnya
pada balita.
Terdapat tiga faktor risiko terjadinya ISPA
secara umum, yaitu pertama faktor
lingkungan yang meliputi pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah dan
kepadatan hunian.� Kedua faktor individu
anak yaitu umur anak, berat badan lahir,
status gizi, vitamin A dan
status imunisasi.
Faktor yang ketiga adalah faktor perilaku yang berkaitan
dengan pencegahan dan penanggulangan ISPA yang dilakukan oleh ibu maupun
anggota keluarga lainnya terhadap bayi atau balita (Depkes RI, 2002).
Sanitasi fisik rumah yang tidak memenuhi
syarat kesehatan dapat menjadi lingkungan yang tepat bagi pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri penyebab ISPA pada anak balita. Luas ventilasi yang
tidak memenuhi persyaratan dapat memengaruhi kondisi kelembaban di dalam ruangan,
begitu pula kepadatan hunian di dalam suatu ruangan dapat mempercepat penularan
penyakit (Putri, 2017).
Pemberian imunisasi yang tidak lengkap
menjadi salah satu pendukung kejadian ISPA. Hal ini merupakan hasil pembahasan dari penelitian (Purnama Sinaga, 2014) yaitu balita yang imunisasinya tidak lengkap memiliki peluang mengalami ISPA sebesar 4,108 kali dibandingkan dengan balita yang imunisasinya lengkap. Menurut (Epi Sinaga, 2011) bahwa asap rokok dari
orang tua atau penghuni rumah yang
satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang
tempat tinggal yang serius serta
akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak. Paparan
yang terus-menerus akan menimbulkan
gangguan pernapasan terutama memperberat
timbulnya kejadian
ISPA.
ISPA merupakan kasus yang paling tinggi dari sepuluh
penyakit terbanyak di Sibolga. Prevalensi ISPA balita di Sibolga sebesar 57
persen, jauh lebih besar dari
prevalensi ISPA pada balita
di Indonesia sebesar 12,08 persen.
Jumlah kejadian ISPA pada anak balita
di kawasan pesisir Kota Sibolga tergolong tinggi yang disebabkan oleh ventilasi udara tidak sesuai persyaratan, status imunisasi tidak lengkap dan ditemukannya anggota
keluarga yang menghisap rokok di dalam rumah.
Penyebab lainnya adalah pencemaran udara dalam rumah
seperti penggunaan obat nyamuk bakar,
penggunaan kayu bakar, kondisi fisik rumah (lantai,
dinding, suhu rumah, pencahayaan dan kelembaban), kepadatan hunian dalam rumah,
umur balita, berat badan saat lahir. Status ASI, status gizi
dan vitamin A serta kebiasaan
ibu sebagai upaya mencegah terjadinya ISPA. Penelitian yag dilakukan oleh (Hutapea
J. S. D, 2014) juga
menjelaskan keterkaitan kondisi fisik rumah
dengan kejadian ISPA di
wilayah Pintu Angin, Sibolga.
Dari uraian-uraian yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat
disusun suatu rumusan masalah terkait faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di daerah
pesisir Kota Sibolga.
Metode
Penelitian
Pendekatan
pada penelitian jenis kuantitatif dengan analitik ini adalah
cross
sectional dimana penelitian ini
melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat yang bersamaan antara variabel
independen dan variabel dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita yang diketahui dari hasil
wawancara dengan responden. Variabel independen
dalam penelitian ini adalah faktor lingkungan yaitu pencemaran udara dalam
rumah (kebiasaan merokok, penggunaan kayu bakar dan penggunaan obat anti nyamuk
bakar), kondisi fisik rumah (lantai, dinding, ventilasi rumah, suhu ruangan,
pencahayaan, dan kelembaban ruangan), kepadatan hunian rumah; faktor individu
anak yaitu umur balita, berat badan lahir, status gizi, vitamin A, status
imunisasi dan status ASI ; faktor perilaku yaitu pencegahan ISPA. Menurut (Notoatmodjo,
2012), cross sectional merupakan jenis penelitian yang
menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel bebas dan tergantung hanya
satu kali pada satu saat. Penelitian cross sectional ini
dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel yang satu dengan variabel
yang lain. Penelitian ini berlokasi di wilayah Pelabuhan
Sambas dan Pintu Angin Kota Sibolga
yang dilaksanakan pada Oktober 2019 � Juni 2020. Teknik
pengambilan sampel dengan purposive sampling dan cara
penghitungan sampel diambil dengan mengacu pada tabel Issac dan Michael dengan derajat kesalahan 10 %, sehingga sampel yang diteliti sebanyak 265 dari jumlah populasi
yang ada 7.464 orang.
Responden yang digunakan sebagai sampel pada penelitian ini ialah ibu yang dominan memiliki rentang umur 31-40 tahun (51,7%), memiliki Pendidikan
setingkat SMA (42,3 %), memiliki
pekerjaan sebagai ibu rumah tangga
(67,2%) dan memiliki penghasilan
yang tinggi (60%).
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Variabel Faktor
Lingkungan
Variabel |
Jumlah |
% |
|
Lantai |
|||
- |
Tidak memenuhi syarat |
124 |
46,8 |
- |
Memenuhi syarat |
141 |
53,2 |
Dinding |
|||
- |
Tidak memenuhi syarat |
146 |
55,1 |
- |
Memenuhi syarat |
119 |
44,9 |
Ventilasi udara |
|||
- |
Tidak memenuhi syarat |
195 |
73,6 |
- |
Memenuhi syarat |
70 |
26,4 |
Suhu ruangan |
|||
- |
Tidak memenuhi syarat |
8 |
3,0 |
- |
Memenuhi syarat |
257 |
97,0 |
Pencahayaan |
|||
- |
Tidak memenuhi syarat |
40 |
15,1 |
- |
Memenuhi syarat |
225 |
84,9 |
Kelembaban |
|||
- |
Tidak memenuhi syarat |
32 |
12,1 |
- |
Memenuhi syarat |
233 |
87,9 |
Kepadatan hunian |
|||
- |
Tidak memenuhi syarat |
181 |
68,3 |
- |
Memenuhi syarat |
84 |
31,7 |
Ditemukan
sebanyak 141 (53,2%) tempat tinggal memenuhi syarat dan lantai yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 141 (53,2%). Demikian juga dengan dinding,
sebanyak 146 (55,1%) tempat
tinggal memiliki dinding yang tidak memenuhi syarat dan yang memenuhi syarat 119 (44,9%). Sedangkan ventilasi udara memiliki jumlah 195 (73,6%) rumah yang tidak memenuhi syarat dan yang memenuhi syarat hanya 70 (26,4%). Suhu ruangan pada penelitian ini pada umumnya memenuhi syarat, dengan jumlah
257 (97)% dan yang tidak memenuhi syarat 8 (3,0%). Pencahayaan erat kaitannya dengan sinar matahari
dan bukaan pada dinding rumah. Pada penelitian ini diperoleh 225 (84,9%) rumah memenuhi persyaratan pencahayaan sedangkan sisanya 40 (15,1%) tidak memenuhi syarat. Kelembaban dalam ruangan yang disarankan menurut peraturan Menteri Kesehatan yaitu
40% s/d 60%. Diketahui dari tabel 1 bahwa
kelembaban tempat tinggal responden, dominan memenuhi syarat sebanyak 233 (87,9%)
rumah dan 32 (12,1%) tidak memenuhi syarat.
Kepadatan hunian merupakan perbandingan jumlah penghuni rumah dengan luasan
rumah yang ditempati. Pendataan menunjukkan bahwa 181 (68,3%)
rumah tergolong tidak memenuhi syarat, hanya 84 (31,7%) rumah yang memenuhi syarat kepadatan rumah.
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Variabel Individu
Anak
Variabel |
Jumlah |
% |
|
Jenis kelamin |
|||
- |
Laki-laki |
131 |
49,4 |
- |
Perempuan |
134 |
50,6 |
Umur Balita |
|||
- |
6 - 35 bulan |
188 |
70,9 |
- |
36 - 59 bulan |
77 |
29,1 |
Berat badan lahir |
|||
- |
BBLR |
48 |
18,1 |
- |
Tidak BBLR |
217 |
81,9 |
Status gizi |
|||
- |
Status gizi buruk |
59 |
22,3 |
- |
Status gizi baik |
206 |
77,7 |
Pemberian Vitamin A |
|||
- |
Tidak |
105 |
39,6 |
- |
Ya |
160 |
60,4 |
Kelengkapan Imunisasi |
|||
- |
Tidak |
126 |
47,5 |
- |
Ya |
139 |
52,5 |
Pemberian ASI |
|||
- |
Tidak |
88 |
33.2 |
- |
Ya |
177 |
66.8 |
Dari
tabel 2 variabel faktor individu anak diperoleh data bahwa distribusi jenis kelamin anak laki-laki sebanyak 131 (49,4%) orang dan anak perempuan sebanyak 134 (50,6%) orang. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah yang tidak jauh berbeda
antara balita laki-laki dan perempuan yang menjadi obyek penelitian. Umur
balita yang diteliti paling banyak ditemukan pada rentang umur 6-35 bulan sebanyak 188 (70,9%) anak dan sisanya pada rentang umur 36-59 bulan yaitu sebanyak 77 (29,1%) anak. Penelitian ini memperoleh data bahwa dominan anak balita yang diteliti
yaitu sebanyak 217 (81,9%) anak lahir dengan kondisi tidak BBLR. Bahwa 59 (22,3%) anak menderita gizi buruk, sedangkan 206 (77,7%) anak tidak mengalami gizi buruk. Pemberian vitamin A ditemukan pada 160 (60,4%) anak. Kelengkapan imunisasi ditemukan sebanyak 139(52,5%) anak yang diberikan imunisasi lengkap dan 126 (47,5%) anak yang tidak diberikan imunisasi lengkap. Diketahui balita yang mendapat pemberian ASI sebanyak 177 (66,8%) dari 265 balita yang diteliti dan 88 (33,2%) tidak mendapat ASI.
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Variabel Perilaku
Variabel |
Jumlah |
% |
|
Kebiasaan merokok di dalam rumah |
|||
- |
Ya |
202 |
76,2 |
- |
Tidak |
63 |
23,8 |
Penggunaan kayu bakar |
|||
- |
Ya |
40 |
15,1 |
- |
Tidak |
225 |
84,9 |
Penggunaan anti nyamuk bakar |
|||
- |
Ya |
27 |
10,2 |
- |
Tidak |
238 |
89,8 |
Sebanyak 202 (76,2%) responden yang merokok,
yang menggunakan kayu bakar sebanyak 40 (15,1%) dan yang menggunakan
anti nyamuk bakar di rumahnya sebanyak 27 (10,2%).
Hasil penelitian ini memperoleh data kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga sebanyak 144 responden (54,3%) dan yang tidak
ISPA sebanyak 121 orang (45,7 %).
Variabel |
ISPA |
p- �� value |
RP |
|||||
Ya |
% |
�� Tidak |
% |
Total |
% |
|||
Lantai |
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak memenuhi syarat |
68 |
54,8 |
56 |
45,2 |
124 |
100,0 |
0,033 |
1,33 |
Memenuhi syarat |
76 |
53,9 |
65 |
46,1 |
141 |
100,0 |
|
|
Dinding |
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak memenuhi syarat |
85 |
58,2 |
61 |
41,8 |
146 |
100,0 |
0,002 |
1,432 |
Memenuhi syarat |
59 |
49,6 |
60 |
50,4 |
119 |
100,0 |
|
|
Ventilasi udara |
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak memenuhi syarat |
105 |
53,8 |
90 |
46,2 |
195 |
100,0 |
0,012 |
1,208 |
Memenuhi syarat |
39 |
55,7 |
31 |
44,3 |
70 |
100,0 |
|
|
Suhu ruangan |
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak memenuhi syarat |
4 |
50,0 |
4 |
50,0 |
8 |
100,0 |
0,803 |
0,84 |
Memenuhi syarat |
140 |
54,5 |
117 |
45,5 |
257 |
100,0 |
|
|
Pencahayaan |
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak memenuhi syarat |
24 |
60,0 |
16 |
40,0 |
40 |
100,0 |
0,434 |
1,26 |
Memenuhi syarat |
120 |
53,3 |
105 |
46,7 |
225 |
100,0 |
|
|
Kelembaban |
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak memenuhi syarat |
21 |
65,6 |
11 |
34,4 |
32 |
100,0 |
0,168 |
1,604 |
Memenuhi syarat |
123 |
52,8 |
110 |
47,2 |
233 |
100,0 |
|
|
Kepadatan hunian |
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak memenuhi syarat |
100 |
55,2 |
81 |
44,8 |
181 |
100,0 |
0,011 |
1,243 |
Memenuhi syarat |
44 |
52,4 |
40 |
47,6 |
84 |
100,0 |
|
|
Analisis dari variabel faktor
lingkungan, diperoleh bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga antara lain lantai dengan p value=0,033 dan RP=1,33;
dinding dengan p value=0,002
dan RP=1,432; ventilasi udara
dengan p value=0,012 dan RP = 1,208 dan kepadatan hunian dengan p value=0,011 dan RP=1,243
Variabel |
ISPA |
p- value |
RP |
|||||
Ya |
(%) |
Tidak |
(%) |
Total |
(%) |
|||
Jenis kelamin |
|
|
|
|
|
|
|
|
Perempuan |
85 |
63,4 |
49 |
36,6 |
134 |
100,0 |
0,302 |
1,135 |
Laki-laki |
82 |
62,6 |
49 |
37,4 |
131 |
100,0 |
|
|
Umur balita |
|
|
|
|
|
|
|
|
6-35 bulan |
24 |
60,0 |
16 |
40,0 |
40 |
100,0 |
0,257 |
0,915 |
36-60 bulan |
120 |
53,3 |
105 |
46,7 |
225 |
100,0 |
|
|
Berat badan lahir |
|
|
|
|
|
|
|
|
BBLR |
30 |
62,5 |
18 |
37,5 |
48 |
100,0 |
0,348 |
1,283 |
Tidak BBLR |
137 |
63,1 |
80 |
36,9 |
217 |
100,0 |
|
|
Status gizi |
|
|
|
|
|
|
|
|
Status gizi buruk |
50 |
80,6 |
12 |
19,4 |
62 |
100,0 |
0,001 |
2,258 |
Status gizi baik |
117 |
57,6 |
86 |
42,4 |
203 |
100,0 |
|
|
Pemberian vit-A |
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak |
91 |
71,7 |
36 |
28,3 |
127 |
100,0 |
0,024 |
1,422 |
Ya |
76 |
55,1 |
62 |
44,9 |
138 |
100,0 |
|
|
Kelengkapan imunisasi |
||||||||
Tidak |
74 |
74,7 |
25 |
25,3 |
99 |
100,0 |
0,035 |
1,32 |
Ya |
93 |
56,0 |
73 |
44,0 |
166 |
100,0 |
|
|
Pemberian ASI |
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak |
66 |
70,2 |
28 |
29,8 |
94 |
100,0 |
0,060 |
1,4 |
Ya |
101 |
59,1 |
70 |
40,9 |
171 |
100,0 |
|
|
Analisis dari faktor individu
anak, diperoleh data bahwa variabel status gizi dengan nilai
p value=0,001 dan RP=2,258; pemberian vitamin A dengan p value=0,024 dan RP=1,422 dan kelengkapan
imunisasi dengan nilai p value=0,035 dan RP=1,32; memiliki
hubungan dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga yang ditunjukkan dengan nilai p value <0,05.
Tabel 6
Hubungan Faktor Perilaku dengan Kejadian ISPA
Variabel |
ISPA |
p- �� value |
RP |
|||||
Ya |
% |
� Tidak |
% |
Total |
% |
|||
Kebiasaan merokok di dalam rumah |
||||||||
Ya |
143 |
67,5 |
69 |
32,5 |
212 |
100,0 |
0,003 |
1,23 |
Tidak |
24 |
45,3 |
29 |
54,7 |
53 |
100,0 |
|
|
Penggunaan kayu bakar |
|
|
|
|
|
|
|
|
Ya |
24 |
60,0 |
16 |
40,0 |
40 |
100,0 |
0,434 |
1,26 |
Tidak |
120 |
53,3 |
105 |
46,7 |
225 |
100,0 |
|
|
Penggunaan anti nyamuk bakar |
||||||||
Ya |
20 |
74,1 |
7 |
25,9 |
27 |
100,0 |
0,026 |
2,401 |
Tidak |
124 |
52,1 |
114 |
47,9 |
238 |
100,0 |
|
|
Dari tabel 6 dapat kita
temukan analisis dari variabel faktor
perilaku, diperoleh data bahwa variabel kebiasaan merokok di dalam rumah dengan
nilai p value=0,003 dan RP = 1,23 dan penggunaan anti nyamuk bakar dengan nilai
p value=0,026 dan RP = 2, memiliki hubungan dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga yang ditunjukkan dengan nilai p value <0,05.
Variabel independen yang memenuhi kriteria analisis data metode multivariat dapat dilihat berdasarkan
p value pada hasil uji bivariat
dengan p ≤ 0,25.
Hasil Analisis Data Metode Multivariat menunjukkan terdapat beberapa tahapan backward
selection (8 tahap) yang setiap
tahapannya mengeliminasi 1 variabel independen dengan nilai p value >0,05 sampai tidak ditemukan
lagi variabel independen yang memiliki nilai p value>0,05. Pada tahap
kedelapan (terakhir) diperoleh variabel independen yaitu kebiasaan merokok dengan nilai p value =0,020, dinding dengan nilai p value =0,017, status gizi
dengan nilai p value =0,007
dan kelengkapan imunisasi dengan nilai p value =0,042. Nilai
probabilitas kejadian ISPA
pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga sebesar 75,8%.
Ada hubungan antara kondisi lantai dengan p value=0,033 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,33 artinya balita yang tinggal di rumah dengan kondisi lantai yang kering, lembab, sulit dibersihkan
dan permukaan tidak rata memiliki peluang 1,33 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang tinggal di rumah yang kondisi lantainya memenuhi syarat dan sejalan dengan penelitian (Pangemanan,
Sumampouw, & Akili, 2016) yaitu terdapat hubungan antara jenis lantai rumah
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Melonguane Kabupaten Kepulauan Talaud dengan p- value=0,046.
Ada hubungan antara kondisi dinding dengan p value=0,002 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,432 artinya balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding yang tidak kokoh, tidak rapat
dan sulit dibersihkan memiliki peluang 1,432 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang kondisi dindingnya memenuhi syarat. Hal ini sejalan dengan penelitian (Pratiwi,
Rahmawati, & Sudyasih, 2018) di
Luwuk Timur yang menyatakan
bahwa ada hubungan dinding dengan kejadian ISPA pada balita yang diketahui dari p value sebesar 0,003.
Ada hubungan antara ventilasi udara dengan p value=0,012 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,208 artinya balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi < dari 10 % dari luas lantai memiliki
peluang 1,208 kali terkena
ISPA dibandingkan dengan yang
tinggal di rumah yang memiliki ventilasi udara yang memenuhi syarat. Hasil penelitian (Fillacano,
2013)
juga menemukan p value=0,019 dari� hubungan bermakna antara ventilasi rumah terhadap ISPA dan diperoleh data bahwa rumah yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat beresiko 3 kali lebih besar balita
terkena ISPA dibandingkan dengan rumah yang memiliki ventilasi memenuhi syarat.
Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan p value=0,011 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,243 artinya balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian > 8m2/penghuni 1,432 kali
terkena ISPA dibandingkan dengan yang tinggal di rumah yang kondisi kepadatan huniannya memenuhi syarat. Demikian juga dengan penelitian (Dongky
& Kadrianti, 2016)
yang memperoleh p value=0,017 berarti
terdapat hubungan yang sigifikan antara kepadatan hunian� dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan
Takatidung Polewali Mandar.
Ada hubungan antara status gizi dengan p value=0,001 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 2,258 artinya balita yang memiliki status gizi buruk memiliki
peluang 2,258 kali terkena
ISPA dibandingkan dengan
status gizi baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Fatimah,
2017)
yang mendapatkan hubungan antara status gizi dengan Kejadian ISPA pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun Tahun 2017
dengan p value <0,05. �
Ada hubungan antara pemberian vitamin A dengan p value=0,024 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,422 artinya balita yang tidak mendapatkan vitamin A secara teratur (2 kali dalam setahun) memiliki peluang 1,422 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang diberikan vitamin A secara teratur. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan
oleh (Herlina
& Sadiman, 2018)
yang mendapatkan hubungan antara pemberian vitamin A pada anak balita di Kota Metro Tahun 2011 dengan p value=0,026.
Ada hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan p value=0,035 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1, 32 artinya balita yang tidak mendapat imunisasi secara lengkap memiliki peluang 1,432 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang mendapat imunisasi secara lengkap yang sejalan dengan penelitian (Herlina
& Sadiman, 2018) yaitu hubungan antara imunisasi pada anak balita di Kota Metro Tahun 2011 dengan p value=0,012. Ada
hubungan antara pemberian ASI dengan p
value=0,060 dengan kejadian
ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,4 artinya balita yang tidak diebrikan ASI hingga 6 bulan memiliki peluang 1,432 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang diberikan ASI selama 6 bulan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Dewi
& Mutahar, 2011)
yang juga menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Kemalaraja Kabupaten Ogan Komering Ulu yang memiliki p value=0,002.
Ada hubungan antara kebiasaan merokok di dalam rumah dengan p value=0,003 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,23 artinya balita yang tinggal di rumah yang penghuninya memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah, memiliki
peluang 1, 32 kali terkena
ISPA dibandingkan dengan
yang tidak merokok di dalam rumah. Kebiasaan
merokok menjadi salah satu variabel independen
yang memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian ISPA pada penelitian ini dengan nilai
p value=0,032. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat 202 responden (76,2%) dari seluruh responden yang diteliti dan dari 202 responden tersebut sebanyak 59,4% yang mengalami kejadian ISPA. Nilai PR sebesar
1,23 mengartikan bahwa kebiasaan merokok memiliki resiko 1,23 lebih besar akan
mengalami ISPA dibandingkan
orang yang tidak merokok. Hubungan ini juga diperoleh dari penelitian (Saleh,
Gafur, & Aeni, 2017) yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA wilayah kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar tahun
2017 dengan nilai p
value=0,03.
Ada hubungan antara penggunaan anti nyamuk bakar dengan
p value=0,026 dengan kejadian
ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 2,401 artinya balita yang tinggal di rumah yang menggunakan anti nyamuk bakar memiliki peluang 2,401 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang tinggal di rumah yang tidak menggunakan anti nyamuk bakar. Hal ini berkaitan dengan
hasil penelitian dari (Mahardika,
2015) yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan obat anti nyamuk terhadap penyakit ISPA pada balita dengan p value=0,039. Efek obat nyamuk
bakar dapat menimbulkan asap yang dapat menyebabkan sesak nafas dan mengotori lantai atau membekas
pada pakaian atau tembok. Anti nyamuk bakar yang hasilnya berupa asap memiliki karakteristik yang mirip dengan asap rokok. Kandungan yang terdapat di dalamnya bakar dapat berdampak bagi kesehatan anggota keluarga di rumah.
Kebiasaan masyarakat merokok di dalam rumah, kondisi
dinding yang tidak kokoh, sulit dibersihkan
dan tidak rapat, status gizi buruk serta
imunisasi yang tidak lengkap berpeluang terjadinya ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga sebesar 75,8 %. Dan ada 24,2 % disebabkan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Departemen
Kesehatan RI. (2002). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Jakarta.Google Scholar
Dewi, Tri Utami, & Mutahar, Rini. (2011). Determinan Kejadian Pnemonia
pada Balita Usia 6-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Kemalaraja Kabupaten
Ogan Komering Ulu. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 2(1). Google Scholar
Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. (2018). Profil Kesehatan
Propinsi Sumatera Utara 2018. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. Medan. Google Scholar
Dongky, Patmawaty, & Kadrianti, Kadrianti. (2016). Faktor Risiko
Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA Balita di Kelurahan Takatidung
Polewali Mandar. Unnes Journal of Public Health, 5(4), 324�329. Google Scholar
Fatimah, Leli. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada bayi di wilayah kerja Puskesmas
Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun Tahun 2017. Google Scholar
Fillacano, Rahmayatul. (2013). Hubungan lingkungan dalam rumah terhadap
ISPA pada BALITA di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan Tahun 2013. Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Google Scholar
Herlina, Herlina, & Sadiman, Sadiman. (2018). Faktor Individu Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Anak
Balita Di Kota Metro Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai, 4(2),
60�69. Google Scholar
Hutapea J. S. D, Naria E. dan Santi D. N. (2014). Hubungan Kondisi Fisik
Rumah Nelayan Dengan Keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita
Di Lingkungan Pintu Angin Kelurahan Sibolga Hilir Kecamatan Sibolga Utara Kota
Sibolga Tahun 2013. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Mahardika, Imanda. (2015). Hubungan Faktor Kegiatan Di Rumah Terhadap
Penyakit Ispa Pada Balita (Studi Kasus Di Wilayah Kerja Puskesmas Tenggarang
Kabupaten Bondowoso). Repository Universitas Jember. Google Scholar
Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Metodologi penelitian kesehatan. PT.
Rineka Cipta : Jakarta. Google Scholar
Pangemanan, Junitje I., Sumampouw, Oksfriani J., & Akili, Rahayu H.
(2016). Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di
Wilayah Kerja Puskesmas Melonguane Kabupaten Kepulauan Talaud. Ikmas, 1(3). Google Scholar
Pratiwi, Oktarika Dianing,
Rahmawati, Agustina, & Sudyasih, Tiwi. (2018). Analisis Faktor�Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Bambanglipuro Bantul Yogyakarta. Repositori riset kesehatan nasional. Google Scholar
Putri, Maulidiyah D. W. I. Azti. (2017). Hubungan sanitasi fisik rumah
dan PM10 dengan kejadian ISPA pada anak balita di pemukiman sekitar lingkungan
industri Desa Tumapel Kabupaten Mojokerto. Airlangga university. http://repository.unair.ac.id/id/eprint/68623.
�Google Scholar
Saleh, Muhammad, Gafur, Abdul, & Aeni, Syahratul. (2017). Hubungan
Sumber Polutan dalam Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada
Balita di Kecamatan Mariso Kota Makassar. HIGIENE: Jurnal Kesehatan
Lingkungan, 3(3), 169�176. Google Scholar
Saputra, Suhaimi. (2017). Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar
Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pada Balita Dipuskesmas
Pengadang Kabupaten Lombok Tengah. University of Muhammadiyah Malang. http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/41782. Google Scholar
Sinaga, Epi. (2011). Kualitas Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara Tahun 2011. FKM.UI.
Sinaga, Purnama. (2014). Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Soposurung Kecamatan Balige bkabupaten Toba Samosir Tahun 2014. Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara (RI-USU). �Google Scholar
Tambunan, T. (2016). Glosarium Istilah Pemerintahan. Jakarta.
Prenadamedia Group.
Rita Kristina Pasaribu, Heru Santosa dan Nurmaini (2021) |
First publication right : |
This article is licensed under: |