Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
Vol. 3, No. 6, Juni 2021
ANALISIS YURIDIS
KEWENANGAN DISKRESI DAN PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN TUGAS DAN
FUNGSI KEPOLISIAN
Neovaldo Sitinjak
Universitas Tarumanagara (UNTRAN) Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Discretion is an authority given by law to law enforcement officials,
especially the Police to act in special situations in accordance with the
agency's own judgment and conscience. The problem raised is How the Implementation
and Authority in Making Discretionary Decisions Against Minor Crimes in the
Legal Area of the South Jayapura Sector Police, What is Legal Responsibility in
Making Discretionary Decisions Against Minor Crimes in the Legal Area of the
South Jayapura Sector Police. In the writing of this thesis, the author uses
the juridical empirical research type, while the approach used is socio-legal
research. Making the Discretionary decision that has been handled by the South
Jayapura Sector Police in cases of minor theft crimes and also resolved by way
of Restorative Justice, the South Jayapura Sector Police through
Bhabinkamtibmas take discretionary decisions and conduct mediation by summoning
both reporting and reported parties. As part of the state administration
process, the Jayapura Selatan Sector Police are also bound by certain laws and
procedures, and are controlled and accountable to the law. Likewise with the
discretionary decision taken, the decision from the discretion itself really
depends on the problems faced as well as the situation and conditions in the
field experienced by the Jayapura Selatan Sector Police. Even though Police
Discretion is situational and subjective, there is also a legal basis for
discretion to be accounted for, so that it does not appear arbitrary.
Keywords: juridical
analysis; authority; discretion; legal accountability; police duties and
functions
Abstrak
Diskresi merupakan
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada aparat penegak hukum,
khususnya Polri untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian
dan hati nurani instansi sendiri. Tujuan penelitian ini supaya bisa mengukur bagaimana
implementasi dan kewenangan dalam mengambil keputusan diskresi terhadap tindak
pidana ringan di Wilayah Hukum Kepolisian Sektor Jayapura Selatan, apa tanggung
jawab hukum dalam membuat keputusan diskresi terhadap kejahatan ringan di
wilayah hukum kepolisian sektor jayapura selatan. Dalam penulisan tesis ini,
penulis menggunakan jenis penelitian empiris yuridis, sedangkan pendekatan yang
digunakan adalah penelitian sosial hukum. Mengambil keputusan diskresi yang
telah ditangani oleh kepolisian sektor Jayapura Selatan dalam kasus tindak
pidana pencurian ringan dan juga diselesaikan dengan cara Restorative
Justice, Kepolisian Sektor Jayapura Selatan melalui Bhabinkamtibmas
mengambil keputusan diskresi dan melakukan mediasi dengan memanggil pihak
pelapor maupun terlapor. Sebagai bagian dari proses administrasi negara,
Kepolisian Sektor Jayapura Selatan juga terikat oleh undang-undang dan prosedur
tertentu, serta dikendalikan dan dipertanggungjawabkan hukumnya. Demikian juga
dengan keputusan diskresi yang diambil, keputusan dari diskresi itu sendiri
benar-benar tergantung pada permasalahan yang dihadapi serta situasi dan
kondisi di lapangan yang dialami oleh Kepolisian Sektor Jayapura Selatan.
Meskipun Diskresi Kepolisian bersifat situasional dan subjektif, ada juga dasar
hukum untuk diskresi yang harus dipertanggungjawabkan, sehingga tidak tampak
sewenang-wenang
Kata
Kunci: analisis yuridis; wewenang; diskresi; akuntabilitas hukum; tugas dan fungsi kepolisian
Pendahuluan
Secara implisit Bhayangkara Polri merupakan harapan
dan teladan bangsa, Bhayangkara Polri adalah harapan karena mengemban
tugas-tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Cita-cita dan
citra Bhayangkara sebagai harapan dan teladan bangsa bukan suatu predikat yang
dengan cuma-cuma diberikan kepada setiap Bhayangkara Polri, namun eksistensinya
perlu diproses, aktivitas serta perjuangan yang paling panjang dan membutuhkan
banyak pengorbanan. Bhayangkara harapan dan teladan bangsa perlu direalisasikan
dalam pelaksanaan tugas sehingga tidak hanya merupakan simbolis semata (Atmodjo, 2015).
Keamanan suatu negara adalah hal yang sangat penting
dalam keberhasilan pelaksanaan pembangunan nasional. Jika suatu negara berada
dalam situasi aman, maka selanjutnya yang didambakan oleh masyarakat dan
pemerintah adalah suatu kehidupan yang bahagia, sejahtera, adil dan makmur dari
para warga negaranya, Faktor keamanan tersebut merupakan salah satu tanggung
jawab dari Polri (Syaifullah, 2019).
Sebagai bagian dari proses penyelenggara negara,
institusi Kepolisian pun terikat kepada aturan-aturan Hukum dan
prosedur-prosedur tertentu, serta dikontrol dan bertanggung jawab kepada hukum.
Dalam rangka menciptakan anggota Polri yang bersih dari perbuatan tercela,
seorang anggota Polri memiliki pedoman bersifat mengikat yang wajib untuk
ditaati yang dikenal dengan peraturan disiplin anggota Polri yang diatur
tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003
tentang Disiplin Anggota Polri. Peraturan di siplin anggota Polri dimaknai
sebagai kaidah atau norma yang mengatur dan menjadi pedoman bagi setiap anggota
Polri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai Kepolisian Negara.�
Selanjutnya dalam melaksanakan tugas profesinya,
polisi memiliki kewenangan Diskresi yang dapat dilaksanakan dalam keadaan
tertentu. Diskresi dapat dilakukan oleh aparat kepolisian dalam praktik dalam
hal bertujuan untuk mengutamakan pencapaian tujuan sasarannya dari pada
keberlakuan hukum yang ada. Untuk dapat dilaksanakannya Diskresi, harus
terpenuhi tiga syarat yakni demi kepentingan umum, masih dalam lingkup
kewenangannya dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Diskresi adalah sebuah wewenang yang diberikan hukum
kepada aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian untuk bertindak dalam situasi
khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas sendiri (Sitinjak, 2021). Diskresi
sesungguhnya merupakan kelengkapan dari sistem
pengaturan oleh hukum itu sendiri. Dengan kewenangan seperti itu, seharusnya
aparat Kepolisian lebih jeli dalam penerapan hukum kepada masyarakat dengan
melihat substansi perkara yang akan dilanjutkan proses penanganannya sehingga
tidak melukai rasa keadilan masyarakat. Hal inilah yang kemudian harus dikaji,
apakah pemberian kewenangan Diskresi yang telah diberikan Undang-undang kepada
pihak Kepolisian untuk memilah milah perkara yang akan diproses lebih lanjut
telah dapat digunakan dengan baik oleh pihak Kepolisian sehingga dapat
mencerminkan rasa keadilan dan profesionalisme Polri.
Secara yuridis dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Undang undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dan Pasal 15 ayat (2) huruf k jo. Pasal 16
ayat (1) huruf l menyebutkan �Dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang
proses pidana, Polri berwenang untuk mengadakan tindakan lain dalam bentuk
tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan sebagai berikut:
a.
Tidak bertentangan dengan suatu
aturan hukum,
b.
Selaras dengan kewajiban hukum yang
mengharuskan tindakan tersebut dilakukan
c.
Harus patut, masuk akal, dan termasuk
dalam lingkungan jabatannya,
d.
Pertimbangan yang layak berdasarkan
keadaan yang memaksa dan
e.
Menghormati hak asasi manusia�.
Ada beberapa peristiwa dalam praktik, tindakan untuk
mengesampingkan perkara dalam rangka menahan atau tidak melakukan penahanan
terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses
penyidikan, atau melakukan tindakan seketika bukanlah tindakan Diskresi
individual petugas Kepolisian. Tindakan tersebut merupakan tindakan Diskresi
birokrasi karena dalam pengambilan keputusan Diskresi berdasarkan atau
berpedoman pada kebijaksanaan-kebijaksanaan pimpinan dalam organisasi dan hal
tersebut telah dijadikan kesepakatan diantara mereka (Agung, 2012).
Pada beberapa kasus banyak penggunaan Diskresi Kepolisian
dilakukan dalam bentuk penyelesaian perkara secara Restorative Justice,
Restorative Justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan
pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku Tindak Pidana
serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus
pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan
kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi
pihak korban dan pelaku (Hambali, 2020).
Meskipun pada dasarnya aturan tertulis yang mengatur
tentang peristiwa tersebut sudah sangat jelas tertulis dalam ketentuan undang-undang
seperti tindak pidana pencurian ringan. Dalam perkara pencurian ringan,
kebijakan Restorative Justice tentunya memiliki dasar hukum sebagai acuan
aparat penegak hukum yaitu Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2012 tentang batasan tindak pidana ringan.
Didalam tafsiran Pasal 362 KUHP menentukan bahwa barang
siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp.900.000,00- (sembilan ratus ribu rupiah). Sedangkan Pasal 364
KUHP menentukan bahwa perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363
butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir 5, apabila
tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya,
jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp.25.000,00- (dua puluh lima
rupiah), diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.250,000,00- (dua ratus lima
puluh rupiah).
Namun di dalam praktiknya apabila pencurian yang
nilainya di bawah 2,5 juta rupiah perbuatan tersebut dapat dikatakan dengan
tindak pidana ringan yang dapat di selesaikan secara Restorative Justice
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 (e)
yaitu �Bahwa Peraturan Mahkamah Agung ini sama sekali tidak bermaksud mengubah
KUHP, Mahkamah Agung hanya melakukan penyesuaian nilai uang yang sudah sangat
tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Hal ini dimaksudkan memudahkan
penegak hukum khususnya hakim, untuk memberikan keadilan terhadap perkara yang
diadilinya�.
Yang melatar belakangi lahirnya Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 ini, yakni upaya pemberian rasa
keadilan bagi masyarakat terutama dalam penyelesaian perkara-perkara tindak
pidana ringan (Tipiring). Secara teknis hukum yang dinamakan dengan Tipiring
adalah suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus
rupiah dan penghinaan ringan. Oleh sebab itu subtansi Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 itu sebenarnya bukan pada nilai
rupiahnya, tetapi pada tindak-tindak pidana yang ancaman hukumnya paling lama 3
bulan dan itu yang tidak perlu ditahan.�
Kemudian dengan adanya penyesuaian denda dalam
peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang penyesuaian
batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, diterbitkanlah nota
kesepakatan bersama ketua mahkamah agung, menteri hukum dan hak asasi manusia,
jaksa agung, kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
131/Kma/Skb/X/2012 Tahun 2012 tentang pelaksanaan penerapan penyesuaian batasan
tindak pidana ringan dan jumlah denda, acara pemeriksaan cepat, serta penerapan
keadilan.��
Nota Kesepakatan tersebut menyebutkan bahwa Tipiring
adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal
482 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (�KUHP�) yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 10.000 (sepuluh ribu) kali lipat
dari denda. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 juga
harus dibarengi kemampuan penegak hukum untuk mengklasifikasi perkara yang bisa
dilihat dari kehidupan sosial pelaku dan korban. Jangan sampai mencederai
hak-hak korban, karena pada umumnya dalam suatu kasus hukum korban perlu dapat
perlindungan hukum. Sebelum ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung ini, banyak
tindak pidana yang meski hanya berobyek kecil tapi mendapat hukuman berat.
Sementara tak jarang dijumpai pencurian berat tapi berujung pada pembebasan
pelakunya.
Sebagaimana telah diketahui di atas pencurian yang
nilai di bawah 2.5 Juta Rupiah dapat diselesaikan secara mediasi, dan tidak
harus dipidanakan hal ini didasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang penyesuaian tindak pidana ringan
(Tipiring), Seperti contoh pengambilan keputusan Diskresi yang telah di tangani
oleh Kepolisian Sektor Jayapura Selatan terhadap perkara tindak pidana
pencurian ringan dan di selesaikan pula dengan cara Restorative Justice ialah
kasus pencurian ringan berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP /B-187/ VI / 2019,
dari Laporan tersebut dapat di uraikan bahwa pelapor merupakan anak warga
kelurahan Ardipura yang dalam laporan tersebut melaporkan pencurian yang
dilakukan temannya berupa objek benda tutup pentil variasi ban kendaraan sepeda
motor Honda Vario.
Dari laporan LP /B-187/VI/2019 tersebut pihak
Kepolisian Sektor Jayapura Selatan tidak serta merta melakukan
penindakan/penangkapan mengingat objek benda yang di curi nilainya di bawah 2.5
Juta Rupiah hal ini didasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor: 2 Tahun 2012 tentang batasan tindak pidana ringan yang seharusnya di
selesaikan secara restoratif (Restorative Justice), maka pihak
Kepolisian Sektor Jayapura Selatan melalui Bhabinkamtibmas mengambil keputusan
Diskresi dan melakukan mediasi dengan memanggil kedua belah pihak pelapor
maupun terlapor serta melibatkan Yohanes selaku Tokoh masyarakat setempat untuk
menyelasaikan perkara pencurian tutup pentil variasi ban kendaraan roda dua
Honda Vario.
Metode Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian
Deskriptif Analitis, suatu penelitian menggambarkan secara rinci, sistematis
dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan (Cahyaningtyas, 2015)
(deskriptif) dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan atau segala yang berkaitan dalam materi lainnya (Fardani, 2021). �Dalam hal ini dimaksudkan untuk memberikan
gambaran yang jelas tentang permasalahan materi yang diteliti yaitu Analisis
Yuridis Kewenangan Diskresi Dan Pertanggung Jawaban Hukum Dalam Pelaksanaan
Tugas Dan Fungsi Kepolisian (Studi Kasus Di Kepolisian Sektor Jayapura
Selatan).
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian Yuridis
Empiris, suatu penelitian dengan cara memadukan bahan-bahan hukum (yang merupakan
data sekunder) dengan data primer yang diperoleh terhadap fakta fakta hukum
yang terjadi dilapangan. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah Socio-Legal
Research yaitu melihat Analisis Yuridis Kewenangan Diskresi Dan Pertanggung
Jawaban Hukum Dalam Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Kepolisian (Studi Kasus Di
Kepolisian Sektor Jayapura Selatan).
Tehnik pengambilan sampel dilakukan secara Purposive
Sampling, yaitu penarikan sampel berdasarkan kriteria tertentu, dimana
sampel dipilih dan ditentukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan sebelumnya
yang berdasarkan pertimbangan bahwa sumber data yang di peroleh berkaitan
dengan materi yang diteliti, dalam hal ini sabjek hukum yang diteliti dijadikan
sampel yaitu Kapolsek Jayapura Selatan dan Kanit Reskrim Polsek Jayapura
Selatan (Winarni, 2021).
Dari data yang diperoleh baik dari data primer maupun
data sekunder yang dikumpulkan, kemudian diseleksi dan diklasifikasikan kedalam
bagian tertentu. Untuk seterusnya dianalisis secara kualitatif. Data kualitatif
yang didapatkan kemudian dibandingkan dengan teori-teori ataupun
peraturan-peraturan yang berlaku, yang akhirnya akan didapatkan pengetahuan
tentang obyek yang diteliti yaitu Analisis Yuridis Kewenangan Diskresi Dan
Pertanggung Jawaban Hukum Dalam Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Kepolisian (Studi
Kasus Di Kepolisian Sektor Jayapura Selatan).
Hasil dan
Pembahasan
A.
Pelaksanaan dan Kewenangan dalam
mengambil keputusan diskresi terhadap tindak pidana ringan di wilayah hukum
kepolisian sektor Jayapura Selatan
Keputusan Diskresi sesungguhnya
merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri. Dengan
kewenangan seperti itu, aparat Kepolisian seharusnya lebih jeli dalam penerapan
hukum kepada masyarakat dengan melihat substansi perkara yang akan dilanjutkan
proses penanganannya sehingga tidak melukai rasa keadilan masyarakat. Hal
inilah yang kemudian harus dikaji, apakah pemberian kewenangan Diskresi yang telah diberikan
Undang-undang kepada pihak Kepolisian untuk memilah milah perkara yang akan
diproses lebih lanjut telah dapat digunakan dengan baik oleh pihak Kepolisian
sehingga dapat mencerminkan rasa keadilan dan profesionalisme Polri.
Secara yuridis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian dan Undang undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, dan Pasal 15 ayat (2) huruf k jo. Pasal 16 ayat (1) huruf l menyatakan: �Dalam rangka menyelenggarakan tugas
di bidang proses pidana, Polri berwenang untuk mengadakan tindakan lain dalam
bentuk tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan sebagai (a)
Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, (b) Selaras dengan
kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan, (c)
Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, (d)
Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan (e)
Menghormati hak asasi manusia�.
Ada beberapa peristiwa dalam praktik, tindakan untuk mengesampingkan
perkara dalam rangka menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap
tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, atau
melakukan tindakan seketika bukanlah tindakan Diskresi individual petugas Kepolisian. Tindakan tersebut merupakan
tindakan Diskresi birokrasi karena
dalam pengambilan keputusan Diskresi
berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaan-kebijaksanaan pimpinan dalam
organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan.
Pada beberapa kasus banyak penggunaan Diskresi Kepolisian dilakukan dalam
bentuk penyelesaian perkara secara Restorative
Justice, Restorative Justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan
pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku Tindak Pidana
serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang
berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan
seimbang bagi pihak korban dan pelaku (Barda Nawawi Arief, 2016).
Meskipun pada dasarnya aturan tertulis yang mengatur
tentang peristiwa tersebut sudah sangat jelas tertulis dalam ketentuan
undang-undang seperti tindak pidana pencurian ringan. Dalam perkara pencurian ringan,
kebijakan Restorative Justice tentunya
memiliki dasar hukum sebagai acuan aparat penegak hukum yaitu Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang batasan tindak
pidana ringan.
Didalam tafsiran Pasal 362 KUHP menentukan bahwa
barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp.900.000,00- (sembilan ratus ribu rupiah). Sedangkan Pasal 364
KUHP menentukan bahwa perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363
butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir 5, apabila
tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya,
jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp.25.000,00- (dua puluh lima
rupiah), diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.250,000,00- (dua ratus lima
puluh rupiah).
Namun di dalam praktiknya apabila pencurian yang
nilainya di bawah 2,5 juta rupiah perbuatan tersebut dapat dikatakan dengan
tindak pidana ringan yang dapat di selesaikan secara Restorative Justice berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 (e) yaitu: �Bahwa
Peraturan Mahkamah Agung ini sama sekali tidak bermaksud mengubah KUHP,
Mahkamah Agung hanya melakukan penyesuaian nilai uang yang sudah sangat tidak
sesuai dengan kondisi sekarang ini. Hal ini dimaksudkan memudahkan penegak
hukum khususnya hakim, untuk memberikan keadilan terhadap perkara yang
diadilinya�.
Yang melatar belakangi lahirnya Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 ini, yakni upaya pemberian rasa
keadilan bagi masyarakat terutama dalam penyelesaian perkara-perkara tindak
pidana ringan (Tipiring). Secara teknis hukum yang dinamakan dengan Tipiring
adalah suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus
rupiah dan penghinaan ringan. Oleh sebab itu subtansi Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 itu sebenarnya bukan pada nilai rupiahnya, tetapi
pada tindak-tindak pidana yang ancaman hukumnya paling lama 3 bulan dan itu
yang tidak perlu ditahan (Setiadi & SH, 2017).
Kemudian dengan adanya penyesuaian denda dalam peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak
pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, diterbitkanlah nota
kesepakatan bersama ketua mahkamah agung, menteri hukum dan hak asasi manusia,
jaksa agung, kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
131/Kma/Skb/X/2012 Tahun 2012 tentang pelaksanaan penerapan penyesuaian batasan
tindak pidana ringan dan jumlah denda, acara pemeriksaan cepat, serta penerapan
keadilan (Setiadi & SH, 2017).
Nota
Kesepakatan tersebut menyebutkan bahwa Tipiring adalah tindak pidana yang
diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (�KUHP�) yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 10.000
(sepuluh ribu) kali lipat dari denda. Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 juga harus dibarengi kemampuan penegak hukum untuk
mengklasifikasi perkara yang bisa dilihat dari kehidupan sosial pelaku dan korban.
Jangan sampai mencederai hak-hak korban, karena pada umumnya dalam suatu kasus
hukum korban perlu dapat perlindungan hukum. Sebelum ditetapkannya Peraturan
Mahkamah Agung ini, banyak tindak pidana yang meski hanya ber�obyek kecil tapi
mendapat hukuman berat. Sementara tak jarang dijumpai pencurian berat tapi
berujung pada pembebasan pelakunya.
Sebagaimana telah diketahui di atas pencurian yang
nilai di bawah 2.5 Juta Rupiah dapat diselesaikan secara mediasi, dan tidak
harus dipidanakan hal ini didasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang penyesuaian tindak pidana ringan (Tipiring),
Seperti contoh pengambilan keputusan Diskresi
yang telah di tangani oleh Kepolisian Sektor Jayapura Selatan terhadap perkara
tindak pidana pencurian ringan dan di selesaikan pula dengan cara Restorative Justice ialah kasus
pencurian ringan berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP /B-187/ VI / 2019, dari
Laporan tersebut dapat di uraikan bahwa pelapor merupakan anak warga kelurahan
Ardipura yang dalam laporan tersebut melaporkan pencurian yang dilakukan
temannya berupa objek benda tutup pentil variasi ban kendaraan sepeda motor
Honda Vario. Dari laporan LP /B-187/VI/2019 tersebut pihak Kepolisian Sektor
Jayapura Selatan tidak serta merta melakukan penindakan/penangkapan mengingat
objek benda yang di curi nilainya di bawah 2.5 Juta Rupiah hal ini didasarkan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2 Tahun 2012 tentang batasan
tindak pidana ringan yang seharusnya di selesaikan secara restoratif (Restorative Justice), maka pihak
Kepolisian Sektor Jayapura Selatan melalui Bhabinkamtibmas mengambil keputusan Diskresi dan melakukan mediasi dengan
memanggil kedua belah pihak pelapor maupun terlapor serta melibatkan Yohanes selaku Tokoh masyarakat setempat
untuk menyelasaikan perkara pencurian tutup pentil variasi ban kendaraan roda
dua Honda Vario. Selanjutnya dari pertemuan kedua belah pihak yang telah di
fasilitasi oleh Kepolisian Sektor Jayapura Selatan melalui Bhabinkamtibmas maka
terjadi penyelesaian damai secara kekeluargaan mengingat Secara teknis Tokoh
masyarakat setempat telah berkomitmen terlebih dahulu dengan Kepolisian Sektor
Jayapura Selatan melalui Bhabinkamtibmas dalam bentuk hubungan apabila terdapat
perkara ringan di wilayah hukumnya maka upaya penyelesaiannya secara
kekeluargaan yang lebih di prioritaskan.
Selanjutnya menurut AKP (Ajun Komisaris Polisi) Yosias Pugu selaku Kapolsek Jayapura
Selatan mengatakan: �Dalam pengambilan
keputusan Diskresi yang telah di
tangani oleh Kepolisian Sektor Jayapura Selatan terhadap perkara tindak pidana
pencurian ringan berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP /B-187/ VI / 2019 tentu
adanya kendala dari kedua pihak saat
hendak di mediasikan dan di selesaikan secara Restorative Justice oleh Kepolisian Sektor Jayapura Selatan, salah
satunya adanya dorongan (Intervensi)
dari pihak keluarga korban yang merasa dirugikan untuk melanjutkan perkara pencurian
tutup pentil ban kendaraan roda dua Honda Vario tersebut ke meja hijau
(Persidangan), dengan adanya dorongan (Intervensi)
dari pihak keluarga korban tersebut maka pihak Kepolisian Sektor Jayapura
Selatan melihat ini sebagai penghambat berjalannya proses mediasi Penanganan
Perkara Pencurian ringan yaitu Tutup Pentil Ban. Untuk itu pihak Kepolisian
Sektor Jayapura Selatan mencoba melakukan dialog terhadap kedua belah pihak
baik keluarga pelaku dan maupun keluarga korban� (Wawancara Bapak AKP Ajun Komisaris Polisi , 2012).
Selanjutnya menurut Bapak Samuel Johan selaku pihak keluarga (Paman) korban menjelaskan: �Pelaku
tersebut memang suka bikin onar dan meresahkan masyarakat desa kami, apalagi
pelaku sudah 2 kali ketahuan mencuri tutup pentil ban variasi honda vario milik
keponakan saya, yang pertama kami maafkan, tetapi untuk yang kedua kalinya kami
perkarakan. Meskipun harga dari tutup pentil ban variasi honda vario hanya 60
ribu rupiah Untuk itu pelaku harus di berikan efek jera agar tidak mengulangi
perbuatan nya kembali dan penjara ialah tempat yang pantas membuat pelaku jera� (Wawancara Bapak Bapak Samuel Johan selaku pihak keluarga
(Paman) korban, 2021).
Menurut Bapak Jhonson
selaku pihak keluarga (Ayah) pelaku mengatakan: �Mengingat ini hanya
kenakalan remaja kami meminta sekira nya keluarga korban untuk memberikan maaf
kepada anak kami sebagai pelaku pencurian tutup pentil ban variasi honda vario,
keluarga kami bersedia menganti kerugian harga barang yang telah di curi 10 (sepuluh)
kali lipat dari harga yang sebelumnya, Akan tetapi keluarga korban bersedia mencabut
laporan tersebut� (Wawancara Bapak Jhonson selaku pihak keluarga (Ayah)
pelaku, 2021).
Berdasarkan wawancara tersebut penulis berpendapat
bahwa komunikasi adalah faktor terpenting dalam usaha penyelesaian perkara dan mengambil
keputusan Diskresi, apabila
komunikasi terganggu maka hubungan dalam kordinasi tidak dapat berjalan dengan
efektif. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas
kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan
mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya,
melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun
kesepakatan-kesepakatan lainnya. Hal ini menjadi penting Karena proses pemidanaan
konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini
korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka.
Penerapan
dan pelaksanaan dari Diskresi itu
sendiri sangat tergantung pada masalah yang dihadapi juga situasi dan kondisi
yang ada di lapangan yang dialami oleh polisi tersebut. Sekalipun Diskresi Kepolisian bersifat situasional
dan subejktif, namun Diskresi juga
terdapat dasar hukumnya, sehingga bukan asal-asalan saja. Dasar hukum tersebut
dapat ditemukan dalam undang undang Kepolisian baik yang lama maupun yang
terbaru yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian, khususnya Pasal 18 yang memberikan kesempatan pada Polisi untuk
menyelesaikan masalah di lapangan yang terkadang tidak bisa untuk diberlakukan
aturan hukum secara kaku, Mengingat banyak tindak pidana yang meski hanya
ber�obyek kecil tapi mendapat hukuman berat. Sementara tak jarang dijumpai
pencurian berat tapi berujung pada pembebasan pelakunya.Selanjutnya mengenai penegakan
hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun
dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga
pengertian Law Enforcement begitu populer. Selain itu ada kecenderungan
yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan.
Perlu dicatat bahwa pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai
kelemahan-kelemahan, apabila pelaksanaan perundang-undangan dan keputusan dan
tindakan yang tidak tepat malah mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.
Menurut Sudikno
Mertokusumo bahwa �Hukum
berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia
terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung
secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam
hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan, Melalui penegakan
hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur
yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian
hukum (Rechtssichherheit), kemanfaatan (Zweckmaasigkeit) dan keadilan (Gereichtigkeit) (Wawancara Bapak Jhonson selaku pihak keluarga (Ayah)
pelaku, 2021).
Selanjutnya, penegakan hukum berkaitan erat
dengan� usaha menanamkan hukum di dalam
masyarakat agar� mengetahui, menghargai,
mengakui dan mentaati hukum, reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem
nilai-nilai yang berlaku dan jangka waktu menanamkan hukum. Sementara itu, mengenai
tolak ukur dari efektivitas hukum, dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya
terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut
disamping merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur
daripada efektivitas penegakan hukum. Selanjutnya ia menjelaskan mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, sebagai Faktor hukumnya
sendiri, yang didalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja. (1)
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum,
(2) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum,(3)
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan, (4) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan (5)
rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 2019) Kelima faktor
tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegakan
hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas disini, dengan
cara mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat
Indonesia.
Lalu menurut Purbacaraka dan Soerjono Soekanto Undang-Undang dalam arti material adalah
peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun
Daerah yang sah. Mengenai berlakunya Undang-Undang tersebut, terdapat beberapa
asas yang tujuannya adalah agar Undang-Undang tersebut mempunyai dampak yang
positif. Asas-asas tersebut antara lain Undang-Undang
tidak berlaku surut, Undang-Undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula, Undang-Undang yang bersifat khusus
menyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama,
Undang-Undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-Undang yang berlaku
terdahulu, Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat, Undang-Undang merupakan
suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi
masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi) (Wawancara Bapak Jhonson selaku pihak keluarga (Ayah) pelaku, 2021).
B.
Pertanggung jawaban hukum
dalam megambil keputusan diskresi terhadap tindak pidana pencurian ringan di
wilayah hukum kepolisian sektor Jayapura Selatan
Keamanan suatu negara adalah
hal yang sangat penting dalam keberhasilan pelaksanaan pembangunan nasional.
Jika suatu negara berada dalam situasi aman, maka selanjutnya yang didambakan
oleh masyarakat dan pemerintah adalah suatu kehidupan yang bahagia, sejahtera,
adil dan makmur dari para warga negaranya, Faktor keamanan tersebut merupakan
salah satu tanggung jawab dari
Polri. Sebagai bagian dari proses penyelenggara negara, institusi Kepolisian
pun terikat kepada aturan-aturan Hukum dan prosedur-prosedur tertentu, serta
dikontrol dan bertanggung jawab kepada hukum. begitu pula dengan keputusan Diskresi yang di ambil oleh anggota Polri, Keputusan dari Diskresi itu
sendiri sangat tergantung pada masalah yang dihadapi juga situasi dan kondisi
yang ada di lapangan yang dialami oleh Polisi tersebut.
Sekalipun Diskresi
Kepolisian bersifat situasional dan subejktif, namun Diskresi juga terdapat dasar hukumnya
untuk dapat dipertanggungjawabkan, sehingga bukan
terkesan
asal-asalan saja. Dasar hukum tersebut dapat ditemukan dalam undang undang
Kepolisian baik yang lama maupun yang terbaru yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2 tahun 2002 tentang Kepolisian, khususnya Pasal 18 yang memberikan kesempatan
pada Polisi untuk menyelesaikan masalah di lapangan yang terkadang tidak bisa
untuk diberlakukan aturan hukum secara kaku atau bahkan belum terdapat
pengaturannya sama sekali. Tentunya hal tersebut memerlukan suatu kebijaksanaan
dari Polisi itu sendiri, sekalipun Undang-Undang memberikan kesempatan bagi
polisi untuk melakukan Diskresi.
Persoalan hukum di masyarakat dapat diselesaikan
berdasar hukum tidak tertulis yang berupa hukum adat, yang berpedoman pada adat
kebiasaan yang ada di masyarakat yang sesuai atau tidak bertentangan dengan
hukum positif yang ada. Tujuannya untuk mempertahankan keamanan dan ketertiban
di dalam masyarakat serta tidak merugikan hak-hak orang lain. Begitu pula
penyelesaian perkara atau mengenyampingkan perkara-perkara pidana yang ringan
biasanya ditempuh berdasarkan kebiasaan praktek atau hukum tidak tertulis
karena apabila dipaksakan berlakunya hukum pidana justru akan menimbulkan
permasalahan baru, sehingga adat kebiasaanlah yang dipakai dalam menyelesaikan
suatu perkara, karena bagaimanapun juga hal itu dirasa lebih praktis dan lebih
murah daripada diselesaikan lewat sistem peradilan pidana. �Misalnya saja ditempuh dengan upaya
kekeluargaan yang dirasa bisa menyelesaikan masalah tanpa menjadikan hubungan
yang ada di masyarakat tadi menjadi renggang atau pecah. Hal inilah yang
menjadi alasan mengapa hukum adat yang berlaku di masyarakat juga mempunyai
peranan di dalam pelaksanaan Diskresi
oleh polisi.
Dalam kasus perkara tindak pidana ringan yang terjadi
Di Wilayah Hukum Kepolisian Sektor Jayapura Selatan yang dimana kasus tersebut
Polisi telah Megambil Keputusan Diskresi Terhadap
Tindak Pidana Pencurian Ringan berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP /B-187/ VI
/ 2019 tentunya penggunaan kewenangan dan tanggungjawab hukumnya harus memiliki
landasan.
Menurut Kanit Reskrim Polsek Jayapura Selatan
menjelaskan: �Penggunaan kewenangan Diskresi
yang dilakukan oleh Kepolisian Sektor Jayapura Selatan secara legal saat
menjalankan tanggungjawabnya untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum
masih juga menimbulkan persoalan yang mengurangi Legitimasi Polisi. Ketidakselarasan antara teori dan praktik
membuktikan bahwa pekerjaan Kepolisian tidak mengandung unsur diskriminasi,
maka kesimpulannya pada saat penerapan Diskresi,
kemungkinan di dalamnya terjadi diskriminasi yang disebabkan oleh intervensi
dari beberapa pihak yang berkonflik itu sendiri�
Peran Polisi secara umum
dikenal sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam
proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum jalanan yang langsung berhadapan
dengan masyarakat dan penjahat. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yaitu �Fungsi Kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat�.
Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 juga menegaskan: �Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia�. Dalam Pasal 18 ayat (1) bahwa �Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri�. Dalam Pasal 18 ayat (2)
bahwa �Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang
sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Indonesia�.
Dalam Pasal 18 ayat (1), Untuk
kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan,
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), diskresi yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
termasuk penyidikan pelanggaran tindak pidana lalu lintas yang dalam hal ini
menunjuk adanya tindakan lain berdasarkan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan antara lain Dalam Pasal 7 ayat 1 j KUHAP,
yang memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat
melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab. Adapun "
tindakan lain" ini dibatasi dengan syarat Tidak bertentangan dengan suatu
aturan hukum, Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya
tindakan jabatan, Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatanya Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.
Penegakan hukum merupakan
suatu hal yang mutlak harus dilakukan karena dengan penegakan hukum dapatlah
diwujudkan tujuan dan fungsi hukum ditengah masyarakat. Melalui penegakan
hukum, dapatlah pula diwujudkan suasana kondusif, dalam arti terwujudnya
suasana keadaan yang serasi, selaras dan seimbang dalam semua segi aspek hidup
dan kehidupan masyarakat, maka hukum hanyalah merupakan simbol belaka yang
tidaklah mungkin dapat menegakkan dirinya sendiri tanpa usaha konkrit dari
manusia (Soerjono Soekanto, 2019). Masalah pokok
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi-isi pada faktor-faktor
tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:
1.
Faktor hukumnya sendiri, yang didalam
tulisan ini akan dibatasi pada Undang-Undang saja;
2.
Faktor penegak hukum, yakni
pihak-pihak yang membentuk maupun menrapkan hukum;
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum;
4.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan
dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
5.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai
hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 2019).
Kelima faktor tersebut saling
berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum,
juga merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegakan hukum. Dengan
demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas disini, dengan cara mengetengahkan
contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1.
Undang-Undang
Menurut Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto Undang-Undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang
berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai
berlakunya Undang-Undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah
agar Undang-Undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara
lain:
a.
Undang-Undang tidak berlaku surut;
b.
Undang-Undang yng dibuat oleh penguasa
yang lebih tinggi;
c.
Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
pula;
d.
Undang-Undang yang bersifat khusus
menyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama;
e.
Undang-Undang yang berlaku
belakangan, membatalkan Undang-Undang yang berlaku terdahulu;
f.
Undang-Undang tidak dapat diganggu
guat;
g.
Undang-Undang merupakan suatu sarana
untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun
pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi) (Setiadi & SH, 2017).
Gangguan terhadap penegakkan
hukum yang berasal dari Undang-Undang mungkin disebabkan, karena:
a.
Tidak diikuti asas-asas berlakunya
Undang-Undang,
b.
Belum adanya peraturan pelaksanaan
yang sanat dibutuhkan untuk menerapkan Undang-Undang,
c.
Ketidakjelasan arti kata-kata di
dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran
serta penerapannya (Soerjono Soekanto, 2019).
2.
Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan
golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan
tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi
dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau
membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Pembahasan mengenai penegak
hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi. Sebagaimana dikatakan
dimuka, maka diskresi menyangkut pengambilan putusan yang tidak sangat terikat
oleh hukum, di mana penilaian pribadi juga memegang peranan (Soerjono Soekanto, 2019). �Di dalam penegakan hukum diskresi sangat
penting, oleh karena :
1)
Tidak ada perundang-undangan yang
sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia;
2)
Adanya kelambat-lambatan untuk
menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam
masyrakat;
3)
Kurangnya biaya untuk menerapkan
perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang;
4)
Adanya kasus-kasus individual yang
memerlukan penanganan secara khusus.
5)
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai
pada penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum,
Halangan-halangan tersebut, adalah:
a.
Keterbatasan kemampuan untuk
menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi;
b.
Tingkat aspirasi yang relatif belum
tinggi;
c.
Kegairahan yang sangat terbatas untuk
memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi;
d.
Belum ada kemampuan untuk menunda
pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material;
e.
Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya
merupakan pasangan konservatisme (Soerjono Soekanto, 2019).
Halangan-halangan tersebut
dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai berikut:
a.
Sikap yang terbuka terhadap pengalaman
maupun penemuan baru. Artinya, sebanyak mungkin menghilangkan prasangka terhadap
hal-hal yang baru atas berasal dari luar, sebelum dicoba manfaatnya;
b.
Senantiasa siap untuk menerima
perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu;
c.
Peka terhadap masalah-masalah yang
terjadi di sekitarnya dengan dilandasi suatu kesadaran, bahwa
persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan dirinya;
d.
Senantiasa mempunyai informasi yang
selengkap mungkin mengenai pendiriannya;
e.
Orientasi ke masa kini dan masa depan
yang sebenarnya merupakan suatu urutan;
f.
Menyadari akan potensi yang ada dalam
dirinya, dan percaya bahwa potesi-potensi tersebut akan dapat dikembangkan;
g.
Berpegang pada suatu perencanaan dan
tidak pasrah pada nasib (yang buruk);
h.
Percaya pada kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia;
i.
Menyadari dan menghormati hak,
kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan pihak-pihak lain;
j.
Berpegang teguh pada
keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitingan yang
mantap (Soerjono Soekanto, 2019).
3.
Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas
tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar.
Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan
yang cukup, dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat
penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut,
tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan
peranan yang actual (Jimly Asshiddiqie, 2015). �Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut,
sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut:
a.
Yang tidak ada-diadakan yang baru
betul;
b.
Yang rusak atau salah-diperbaiki atau
dibetulkan;
c.
Yang kurang-ditambah;
d.
Yang macet-dilancarkan;
e.
Yang mundur atau merosot-dimajukan
atau ditingkatkan.
4.
Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari
masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena
itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi
penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang
besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas
(dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa
baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum
tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai
sturktur maupun proses.
Faktor-faktor yang menyebabkan
masyarakat mematuhi hukum setidak-tidaknya dapat dikembalikan pada
faktor-faktor sebagai berikut :
a.
Compliance
Orang menaati hukum karena takut
terkena hukuman. Ketaatan sebagai pemenuhan suatu penerimaan terang yang dibujuk
oleh harapan penghargaan dan suatu usaha kuat untuk menghindari kemungkinan hukuman,
bukan karena keinginan kuat untuk menaati hukum.
b.
Identification
Ketaatan kepada suatu aturan karena
takut hubungan baiknya dngan seseorang menjadi rusak.
c.
Internalization
Ketaatan pada suatu aturan karena ia
benar-benar merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai instrinsik yang
dianutnya (Romli Atmasasmita, 2011).
Akan tetapi, saat ini posisi
masyarakat untuk sadar akan hukum masih sangat kurang. Paradigma yang digunakan
oleh masyarakat untuk taat pada hukum adalah obyek sanksinya. Masyarakat akan
menilai hukum dari sanksi yang diberikan jika melanggar. Faktor sanksi ini
sangat berpengaruh pada bagaimana tingkat kesadaran seseorang untuk patuh pada
hukum. Adapun indikator-indikator yang mempengaruhi kesadaran hukum suatu
masyarakat yakni :
a.
Pengetahuan hukum yang dimaksud
adalah pengetahuan akan peraturan-peraturan hukum (law awareness).
Mustahil masyarakat bisa memahami, bersikap ataupun berperilaku yang berujung
akan kesadaran hukum sebagaimana yang dikehendaki dalam hukum (aturan-aturan)
jika pengetahuan akan hukum tidak ada.
b.
Pemahaman hukum adalah hal penting
setelah masyarakat mengetahui hukum itu sendiri karena sikap dan perilaku
sangat bergantung dari seberapa pahamnya masyarakat terhadap hukum.
c.
Sikap Bentuk evaluasi dari
pengetahuan dan pemahaman akan hukum terlihat dari sikap masyarakat terhadap
hukum itu sendiri. Apakah masyarakat akan mendukung dengan menunjukan sikap
positif ataukah mayarakat akan apatis sehingga menimbulkan sikap negatif
terhadap keberadaan hukum. Yang menjadi landasannya adalah seberapa tahu dan
seberapa paham masyarakat akan hukum.
d.
Perilaku hukum Reaksi atau respon
masyarakat terhadap hukum terlihat dari seperti apa pola perilaku hukum (legal
behavior) yang ditunjukan. Inilah bentuk evaluasi umum sebagai bentuk
konkritisasi akan pengetahuan, pemahaman dan sikap masyarakat terhadap hukum.
Kesadaran hukum akan terwujud
apabila indikator-indikator di atas mampu diaktualisasikan dan diselaraskan.
5.
Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (system)
hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,
nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerinkan
dua keadaan ekstrin yang harus diserasikan. Pasangan nilai yang berperan dalam
hukum, adalah sebagai berikut :
a.
Nilai ketertiban dan nilai
ketentraman;
b.
Nilai jasmani/kebendaan dan nilai
rohani/keakhlakan;
c.
Nilai kelanggengan/konservatisme dan
nilai kebaruan/inovatisme.
Dalam rangka penegakan aturan
hukum diperlukan pula pembaharuan atau pembentukan peraturan hukum yang baru.
Oleh karena itu terdapat empat hal penting yang perlu mendapat perhatian, yakni:
perlunya pembentukan peraturan baru, perlunya sosialisasi hukum kepada
masyarakat, perlunya penegakan aturan hukum dan yang tidak kalah pentingnya
untuk mendukung seluruh kegiatan tersebut adalah perlunya administrasi hukum yang
yang efektif dan efisien serta akuntabel.
Secara konkrit dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Inilah yang dimaksud penegakan hukum itu. �Negara
Indonesia adalah Negara Hukum�, dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 Ayat 3 amandemen ketiga. Dalam penjelasan Undang-Undang
Dasar Tahun
1945 mengenai sistem pemerintahan negara disebutkan
bahwa�Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)�. Prinsip dasar yang
dianut dalam hukum dasar tersebut memberikan gambaran hukum menjadi landasan
kehidupan masyarakat. Atau dengan kata lain yang ingin ditegakkan dalam Negara
ini adalah supremasi hukum bukan supremasi kekuasaan (Romli Atmasasmita, 2011).
Menurut Jimly Asshiddiqie, �Penegakan hukum adalah proses dilakukannya
upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara� (Jimly Asshiddiqie, 2015). Penegakan hukum
suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut
membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi
mempunyai unsur penilaian pribadi. Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka
LaFavre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada di antara hukum dan
moral (etika dalam arti sempit). Gangguan
terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara
�tritunggal� nilai, kaidah dalam pola perilaku (Jimly Asshiddiqie, 2015).
Penegakan hukum bukanlah
semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun didalam kenyataan
di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law
enforcement begitu popular. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk
mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu
dicatat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan,
apabila pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersbut
malahan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup. Selain itu, penegakan
hukum juga dapat ditinjau dari sudut subyek dan sudut obyek penegakan hukum (Romli Atmasasmita, 2011). Sudut subyek
penegakan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yakni dalam arti sempit dan dalam
arti luas. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu
hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin
dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Dalam arti luas, proses penegakan
hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja
yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti
dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Pengertian penegakan hukum itu
ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini,
pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas,
penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Dengan uraian di atas jelaslah
kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan
upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit
maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap
perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh
aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh
undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan
manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi
juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar itu harus
ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu terjadi kenyataan. Dalam
menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu:
kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit)
dan keadilan (gerechtigkeit) (Soerjono Soekanto, 2019).
Secara konsepsional, maka inti dari
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Kesimpulan
Pengambilan keputusan Diskresi yang telah di tangani oleh
Kepolisian Sektor Jayapura Selatan terhadap perkara tindak pidana pencurian
ringan dan di selesaikan pula dengan cara Restorative Justice ialah kasus pencurian
ringan berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP /B-187/ VI / 2019,Dari laporan LP
/B-187/VI/2019 tersebut pihak Kepolisian Sektor Jayapura Selatan tidak serta
merta melakukan penindakan/penangkapan mengingat objek benda yang di curi
nilainya di bawah 2.5 Juta Rupiah hal ini didasarkan Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor: 2 Tahun 2012 tentang batasan tindak pidana ringan
yang seharusnya di selesaikan secara restoratif (Restorative Justice),
maka pihak Kepolisian Sektor Jayapura Selatan melalui Bhabinkamtibmas mengambil
keputusan Diskresi dan melakukan mediasi dengan memanggil kedua belah pihak
pelapor maupun terlapor serta melibatkan Yohanes selaku Tokoh masyarakat
setempat untuk menyelesaikan perkara pencurian tutup pentil variasi ban kendaraan
roda dua Honda Vario. Selanjutnya dari pertemuan kedua belah pihak yang telah
di fasilitasi oleh Kepolisian Sektor Jayapura Selatan melalui Bhabinkamtibmas
maka terjadi penyelesaian damai secara kekeluargaan mengingat Secara teknis
Tokoh masyarakat setempat telah berkomitmen terlebih dahulu dengan Kepolisian
Sektor Jayapura Selatan melalui Bhabinkamtibmas dalam bentuk hubungan apabila
terdapat perkara ringan di wilayah hukumnya maka upaya penyelesaiannya secara
kekeluargaan yang lebih di prioritaskan.
Sebagai bagian dari proses penyelenggara negara, Kepolisian
Sektor Jayapura Selatan pun terikat kepada aturan-aturan Hukum dan
prosedur-prosedur tertentu, serta dikontrol dan bertanggung jawab kepada hukum.
begitu pula dengan keputusan Diskresi yang di ambil, Keputusan dari Diskresi
itu sendiri sangat tergantung pada masalah yang dihadapi juga situasi dan
kondisi yang ada di lapangan yang dialami oleh Kepolisian Sektor Jayapura Selatan
tersebut. Sekalipun Diskresi Kepolisian bersifat situasional dan subejktif,
namun Diskresi juga terdapat dasar hukumnya untuk dapat dipertanggungjawabkan,
sehingga bukan terkesan asal-asalan saja. Dasar hukum tersebut dapat ditemukan
dalam undang undang Kepolisian baik yang lama maupun yang terbaru yaitu
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian,
khususnya Pasal 18 yang memberikan kesempatan pada Polisi untuk menyelesaikan
masalah di lapangan yang terkadang tidak bisa untuk diberlakukan aturan hukum
secara kaku atau bahkan belum terdapat pengaturannya sama sekali. Tentunya hal
tersebut memerlukan suatu kebijaksanaan dari Polisi itu sendiri, sekalipun
Undang-Undang memberikan kesempatan bagi polisi untuk melakukan Diskresi.
Agung, Dwi Hartono.
(2012). Tinjauan Diskresi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Tugas Penyidikan
Tindak Pidana Menurut Undang�Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.
Faculty Of Law.Repositori UPN Jatim. Google Scholar
Atmodjo, Bambang
Dwi. (2015). Optimalisasi Penegakan Hukum Disiplin Bagi Anggota Polri Dalam Pelaksanaan
Sidang Disiplin Guna Mewujudkan Polri Yang Disiplin. Universitas Pembangunan
Nasional Veteran Jakarta. Repositori UPN Jatim. Google Scholar
Barda Nawawi Arief,
S. H. (2016). Bunga rampai kebijakan hukum pidana. Prenada Media.Jakarta. Google Schoolar
Cahyaningtyas, Elisa
Tri. (2015). Pembuatan Sistem Informasi Pertanahan Menggunakan Bahasa
Pemrograman C# Dan Mapwindow Gis. itn malang.Google Scholar
Fardani, Tasya
Nugrahini. (2021). Analisis putusan nomor 138/Pid. sus/2019/PN. BKS tentang
vonis bebas pelaku tindak pidana pemilu politik uang dihubungkan dengan Pasal
523 ayat (1) juncto Pasal 280 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 7
tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. UIN Sunan Gunung Djati Bandung.Google Schoolar
Hambali, Azwad
Rachmat. (2020). Penegakan Hukum Melalui Pendekatan Restorative Justice
Penyelesaian Perkara Tindak Pidana. Kalabbirang Law Journal, 2(1),
69�77.Google Scholar
Jimly Asshiddiqie.
(2015). Penguatan Sistem Pemerintahan Dan Peradilan (Sinar Grafika,
Ed.). Jakarta.Google Scholar
Romli Atmasasmita.
(2011). Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum.
Bandung;Mandar Maju.Google Scholar
Setiadi, H. Edi,
& SH, M. H. (2017). Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem Penegakan
Hukum di Indonesia. Prenada Media.Google Scholar
Sitinjak, Neovaldo.
(2021). Analisis Yuridis Kewenangan Diskresi dan Pertanggung Jawaban Hukum
dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kepolisian (Studi Kasus Di Kepolisian Sektor
Jayapura Selatan). Universitas Tarumanagara. Repository
Untar. Google Scholar
Soerjono Soekanto.
(2019). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.Google Scholar
Syaifullah, Mulida
Hayati. (2019). Penegakan Hukum Pelanggaran Disiplin Anggota Polri Di Mapolda
Kalimantan Tengah. Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai, 4(2).Google Scholar
Wawancara Bapak AKP (Ajun Komisaris Polisi). (2012). Yosias Pugu Selaku
Kapolsek Jayapura Selatan.
Wawancara Bapak
Bapak Samuel Johan selaku pihak keluarga (Paman) korban. (2021). Pada Selasa
19 Januari 2021 Pukul 14.30 Wib.
Wawancara Bapak
Jhonson selaku pihak keluarga (Ayah) pelaku. (2021). Wawancara Bapak Jhonson
selaku pihak keluarga (Ayah) pelaku.
Winarni, Endang
Widi. (2021). Teori dan Praktik Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, PTK, R
& D. Bumi Aksara. Google Scholar
Neovaldo Sitinjak (2021) |
First publication right : |
This article is licensed under: |