Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�
Vol. 3, No. 6, Juni 2021
TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP RESIDIVIS NARKOBA
Julkifli Sinaga
Universitas
Tarumanagara (UNTAR) Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Narcotics are very addictive for consumers, and they can be severely
addictive. In fact, nothing ever exists in his good name and a match. In jayapura police jurisdiction, residiat
reskrim becomes an internal issue. Criminals who
commit suicide after birth in prison are not versatile, which they deter, but
they become increasingly intelligent and courageous in their fight against
them. Once time passes and where criminal officials for opioid offenders are
illegitimate, this is the problem. The purpose of this research used to be for
empirical legal analysis where the data of the story and literature of the
study. Data analysis of deductive analysis of logic in this study. Where the
data process is good, starting with general analysis and drawing is equal to the
discussion of a path. In jayapura city police
jurisdiction, ex-three reasons for drug recidivist criminology: 1) economic
factors, 2) environmental factors, and 3) legal factors
Keywords: narcotics; recidivist;
drug recidivists
Abstrak
Narkotika sangat membuat ketagihan bagi konsumennya, dan mereka dapat menyebabkan kecanduan parah. Bahkan, tidak ada
yang pernah dituduh atas tuduhan narkoba
dan melakukan kejahatan. Di
wilayah hukum Polres
Jayapura, residiat narkoba menjadi isu serius.
Para penjahat yang bunuh diri setelah dilahirkan
di penjara tidak serbaguna, yang membuat mereka jera, tetapi
mereka menjadi semakin cerdas dan berani dalam upaya
memerangi narkoba mereka. Setelah waktu berlalu dan telah ditentukan bahwa sanksi pidana bagi
pelanggar opioid tidak efektif, ini menjadi
masalah. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis hukum empiris di mana data dikumpulkan melalui wawancara dan tinjauan literatur. Pendekatan analisis data deduktif logika digunakan dalam penelitian ini. Di mana proses peninjauan data dilakukan, dimulai dengan analisis umum dan diakhiri dengan diskusi terperinci. Di wilayah hukum Polres Jayapura Kota, terdapat tiga alasan
kriminogenik residiat narkoba: 1) faktor ekonomi, 2) faktor lingkungan, dan 3) faktor penegakan hukum.
Kata Kunci: narkotika; residivist; residivawan
narkoba
Pendahuluan
Narkoba atau Napza merupakan singkatan dari Narkotika,
Psikotropika dan obat-obatan terlarang. Sedangkan istilah Napza adalah
singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif berbahaya lainnya.
Narkotika sendiri berasal dari bahasa Inggris �narcotics� yang arinya obat bius (Oky, 2020). Pemerintah melalui UU Narkotika mengelompokkan Narkotika menjadi tiga
golongan, yaitu: Narkotika golongan I, Narkotika golongan II, Narkotika
golongan III (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2017). Namun untuk
Narkotika golongan I, sama sekali tidak dapat digunakan bahkan untuk
kepentingan kesehatan sekalipun. Narkotika golongan I hanya dapat digunakan
dengan jumlah yang terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta untuk reagensia diagnostik dan reagnesia laboratorium setelah
sebelumnya mendapatkan izin dari Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan (Oky, 2020).
Terdapat 161 jenis narkotika golongan I menurut lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 tahun 2018. Namun diantara jenis-jenis tersebut, beberapa jenis yang familiar disalahgunakan oleh masyarakat adalah heroin, kokain, daun kokain, opium, ganja, cijing, katinon, MDMDA/ekstasi, dan sabu-sabu (Ramadhan, 2020). Pelaku penyalahgunaan narkoba dapat dipidana, hal tersebut diatur dalam pasal 111 hingga pasal 148 Undang-Undang Narkotika. Jadi kurang lebih terdapat 37 pasal yang mengatur mengenai sanksi-sanksi pidana yang dapat diterapkan dalam tindakan penyalahgunaan narkotika.
PerJanuari hingga Agustus 2020, Polres Jayapura Kota saja
sudah berhasil mengamankan 42 orang tersangka kasus narkoba (Jayapura, 2020). Kemudian BNN Provinsi Papua juga berhasil mengungkap 9 kasus narkoba
di wilayah Papua pada periode yang sama (Nainggolan, 2018). Narkotika sesungguhnya sangat menimbulkan candu bagi penggunanya,
narkotika mampu menimbulkan candu yang sangat besar. Bahkan tak jarang pelaku
penyalahgunaan narkoba yang sudah dipidana dan mendapatkan hukuman kurungan
kembali melakukan pengulangan tindak pidana (Sinaga, 2021).
Pengulangan tindak pidana atau disebut juga sebagai residivis adalah pengulangan suatu tindak pidana oleh pelaku yang sama, yang mana tindak pidana yang dilakukan sebelumnya telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap, serta pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu (Hutabarat, 2020). Pelaku residivis narkoba merupakan salah satu masalah serius yang terjadi di wilayah hukum Polresta Jayapura. Para pelaku penyalahgunaan narkoba setelah ditahan di lapas tidak lantas menjadikan mereka jera, namun terkesan justru semakin lihai dan semakin berani dalam mengedarkan narkoba. Hal tersebut yang lantas menjadi pertanyaan, mengapa setelah ditahan dan diputuskan hukuman pidana para tahanan narkotika tidak jera.
Melalui kebijakan pemerintah melalui Kementrian Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) dalam melakukan program asimilasi melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 tahun 2020, banyak narapidana kasus penyalahgunaan narkotika yang akhirnya dibebaskan melalui program asimilasi. Namun baru sebentar meghirup udara bebas, narapidana tersebut kembali ditangkap oleh pihak Polisi karena melakukan kesalahan terkait penyalahguanaan narkoba kembali.
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis data deduktif logika digunakan dalam penelitian ini. Di mana proses peninjauan data dilakukan, dimulai dengan analisis umum dan diakhiri dengan diskusi terperinci. Di wilayah hukum Polres Jayapura Kota, terdapat tiga alasan
kriminogenik residiat narkoba: 1) faktor ekonomi, 2) faktor lingkungan, dan 3) faktor penegakan hukum (Laksono, 2010).
Hasil dan Pembahasan
A.
Faktor Kriminogen
yang Memengaruhi Pelaku Residivis Narkoba di Polres Jayapura
Faktor
kriminogen adalah suatu faktor yang menyebabkan munculnya suatu tindak pidana
baru. Dalam kasus tindak pidana narkotika
ini, bukan memunculkan suatu tindak pidana baru,
hanya saja menjadikan pelaku tindak pidana semakin
ahli dalam melaksanakan aksinya. Hal tersebut terjadi karena ketika berada
di lapas, para narapidana akan bertemu banyak
narapidana lain yang bisa jadi sudah lebih
ahli dan lebih besar lagi. Jadi di lapas bukannya bertaubat dan berfikir untuk berhenti, mereka malah belajar
untuk menjadi lebih besar lagi.
Ketika dahulu dia merupakan pemakai narkoba, maka ketika
keluar dari lapas dia bisa
menjadi pengedar narkoba atau bahkan
bandar (Syamsu & SH, 2015).
Setelah
melakukan penelitian dan mewawancarai narasumber dalam penelitian ini, peneliti menemukan
bahwa setidaknya terdapat tiga hal
yang menjadi faktor kriminogen bagi pelaku residivis narkoba di wilayah hukum Polres Jayapura Kota, yaitu: 1)
Faktor Ekonomi; 2) Faktor Lingkungan;
dan 3) Faktor Penegakan Hukum. Dimana menurut peneliti ketiga faktor tersebut
memiliki andil yang kuat dalam menjadikan
seorang narapidana narkoba menjadi seorang residivis narkoba.
1)
Faktor Ekonomi
Dalam
wawancara dengan saudara F yang dilaksanakan pada
23 Desember 2020 di sel
BNNP, F menyebutkan bahwa dirinya memutuskan untuk kembali melakukan
tindak pidana narkotika (residivis) karena keterdesakan masalah ekonomi. Saat itu F bebas karena
memperoleh hak asimilasi covid-19 yang dimaksanakan
oleh Kemenkumham dalam
Rangka Pencegahan dan Penanggulangan
Penyebaran Covid-19 yang tertuang
dalam Perkemenkumham
10/2020.
Setelah
bebas F berkeinginan untuk kembali ke
kampung halamannya yang berada
di luar Provinsi papua, namun hal
tersebut tidak mungkin dilaksanakan karena Papua yang menerapkan
lockdown. Hingga akhirnya F
memutuskan untuk menetap kembali di Papua. Namun diakibatkan pandemi dan banyak dari sektor usaha
yang tutup sehingga F tidak mendapatkan pekerjaan, dimana F membutuhkan pekerjaan untuk membiayai hidupnya. Hingga akhirnya F memutuskan untuk menerima ajakan temannya untuk �menjaga� barang temannya yang berupa narkotika. Hingga F ditangkap oleh pihak berwajib dan kembali menjadi tahanan dan menjadi residivis.
Narapidana merupakan anggota dari masyarakat
umum yang memiliki hak dan kewajiban sebagaimana warga negara lainnya, dikarenakan perlakuannya dalam kehidupan sehari�hari telah melakukan
kesalahan yaitu melanggar hukum yang berlaku, maka untuk
sementara waktu dimasukkan kedalam Lembaga Pemasyarakatan dan akan kehilangan kemerdekaannya dalam waktu tertentu
(Kualitas Hidup Pada Narapidana
di Lembaga Pemasyarkatan Klas IIA Wanita Tangerang,
Maret 2015).
Konsekuensi dari
kesalahan yang dilakukan
oleh narapidana, maka yang bersangkutan dimasukkan ke dalam Lapas
untuk waktu yang sudah ditentukan. Dimana dalam UU Pemasyarakatan Pasal 1 Ayat 3 dijelaskan bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang
selanjutnya disebut Lapas adalah tempat
untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak didik pemasyarkatan. Lapas sebagai tempat
pembinaan dengan tujuan agar narapidana dapat kembali menjadi
warga masyarakat yang baik, yang menyadari segala kesalahannya serta dapat kembali
ke dalam masyarakat dengan menjadi manusia yang baik (Utami & Indonesia, 2017).
Tujuan
keberadaan narapidana di Lapas adalah untuk
dibina dengan tujuan agar narapidana dapat kembali menjadi
warga masyarakat yang baik. Kesiapan narapidana untuk masuk kembali ke
dalam masyarakat tentunya tidak mengesampingkan akan kesiapan narapidana dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut berkaitan dengan kesiapan dari narapidana dalam aspek ekonomi
ketika sudah dinyatakan bebas dan siap untuk kembali
ke masyarakat. Dalam upaya pemenuhan dari kesiapan ekonomi
tersebut, Lapas sebagai Lembaga tempat pembinaan narapidana dibina dan dibimbing memiliki program pembinaan yang berkaitan dengan hal tersebut. program pembinaan tersebut merupakan satu dari dua fokus
pembinaan yang terdapat dalam program pembinaan Lapas, yaitu pembinaan
kemandirian. Dimana dalam
program pembinaan kemandirian
narapidana akan diajarkan suatu skill/ keterampilan yang diharapkan nanti berguna ketika
yang bersangkutan sudah bebas (Wawancara dengan Kalapas narkotika Doyo, 2020).
Namun nyatanya pembinaan keterampilan tersebut tidak bisa diaplikasikan secara optimal, karena saudara F seorang residivis yang sudah tiga kali masuk ke dalam Lapas
dengan kasus tindak pidana yang sama belum pernah
mendapatkan pembinaan kemandirian yang dimaksud. Mengkonfirmasi hal tersebut dengan pernyataan Kalapas, hal tersebut terjadi
karena terbatasnya anggaran terkait penyelenggaraan pembinaan kemandirian tersebut.
2)
Faktor Lingkungan
Lapas Narkotika
Kelas II A Doyo masuk ke dalam kategori
Lapas Khusus, karena pada Lapas Narkotika Doyo khusus untuk melakukan
pembinaan bagi narapidana dengan kasus pelanggaran tindak pidana narkotika.
Pembagian Lapas Khusus dan Lapas Umum dapat ditemukan dalam sistem Lapas
di Indonesia, dimana pembagian
lapas tersebut dipahami juga dengan pengklasifikasian narapidana. Klasifikasi narapidana adalah pengelompokan narapidana berdasarkan pada kriteria tertentu yang sesuai dengan kepentingannya.
Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan proses pencatatan data dari
masing-masing kelompok. Pengelompokan
tersebut dilakukan berdasarkan umur, jenis kelamin, lama pidana, jenis kejahatan
dan kriteria lainnya yang sesuai dengan kebutuhan
dan perkembangan pembinaan (Online, 2021).
Dalam
tindak pidana penyalahgunaan narkotika terdapat istilah pemakai narkotika, yaitu para pecandu narkotika dan penyalahgunaan narkotika. Kemudian terdapat juga pengedar narkotika, dimana yang termasuk dalam pengedar narkotika adalah pihak yang memproduksi narkotika, pihak yang melakukan ekspor dan impor narkotika dengan cara yang bertentangan dengan hukum, pihak
yang melakukan pengangkutan
dan transit narkotika dengan
cara yang bertentangan dengan hukum, pihak
yang melakukan peredaran narkotika secara illegal dan prekusor narkotika (UU Narkotika).
Di dalam Lapas Doyo
semua narapidana pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkotika tersebut berada di dalam Lapas yang sama. Jadi tidak dapat perbedaan antara sel pengedar
dengan pemakai narkotika, semuanya berada di dalam sel yang sama. Hal tersebut disampaikan oleh Saudara F ketika wawancara di sel BNN, dimana hal tersebut
juga dibenarkan oleh Kalapas.
Hal tersebut sebenarnya sangat rentan dalam
menimbulkan suatu kesempatan bagi para narapidana yang berada di Lapas Doyo untuk
bisa saling berkomunikasi antara narapidana pemakai narkotika dengan pengedar narkotika. Dimana pemakai narkoba yang sebelumnya hanya memakai dan menyalahgunakan narkotika saja, kemudian seperti mendaptkan peluang baru untuk menjual
atau mengedarkan barang terlarang tersebut.
Hal tersebut kemudian bisa menjadi faktor
kriminogen yang menjadikan
para narapidana melakukan tindak pidana yang sama lagi ketika
nantinya dia sudah keluar dari
Lapas. Hal tersebut dikarenakan para narapidana yang masuk ke dalam
Lapas akan semakin mengatahui seluk beluk serta
informasi terkait pengedaran narkotika. Ketika bertemu dengan yang lebih ahli, para narapidana tersebut akan saling bertukar
informasi dan justru menjadi semakin ahli ketika berada
di Lapas. Sehingga probabilitas para narapidana tersebut menjadi seorang residivis akan semakin besar.
Suwarto memberikan
pandangan bahwa penggolongan narapidana itu perlu dilakukan,
baik dilihat dari segi keamanan
dan pembinaan serta menjaga pengaruh negatif yang dapat berpengaruh terhadap narapidana lainnya. Suwarto juga manambahkan bahwa jenis kejahatan
juga merupakan salah satu jenis karakteristik ide individualisasi dalam pembinaan narapidana. Untuk itu perlu
dilakukan pemisahan-pemisahan
narapidana berdasarkan pada
jenis kejahatannya. Hal ini dilakukan untuk
menghilangkan prisonisasi atas narapidana (Utami & Indonesia, 2017).
Ketika
peneliti menanyakan kepada Kalapas, Kalapas juga membenarkan terkait adanya kemungkinan narapidana yang masuk ke Lapas
akan menjadi lebih ahli ketika
keluar dari Lapas. Dikarenakan kemungkinan bertemu bandar yang lebih besar lagi,
dan di dalam sel semua disatukan dalam satu sel
yang sama.Peneliti merasa bahwa solusi
yang tepat untuk menghindari pertukaran informasi dan menjadikan narapidana tersebut menjadi semakin ahli adalah dengan
melakukan pemisahan sel antara narapidana
tindak pidana pemakai narkotika dengan narapidana tindak pidana pengedar
narkotika. Hal itu dilakukan guna meminimalisir terjadinya pertukaran informasi atau menghindari kesepakatan-kesepakatan yang mungkin
saja terjadi (Nursiyah, 2017).
3)
Faktor Penegakan
Hukum
Lembaga
pemasyarakatan sebagai ujung tombak dari
pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai
tujuan dari Lembaga Pemasyarakatan dengan melakukan bimbingan dan pembinaan melalui Pendidikan, rehabilitasi dan integrasi (Walukow, 2013). �Maka Lapas adalah tempat pembinaan
bagi narapidana dan anak dengan tujuan
agar narapidana dan anak menyadari segala kesalahannya dan setelah bebas, narapidana dan anak bisa kembali
lagi ke dalam
masyarakat dengan keadaan yang lebih baik lagi.
Proses
pembinaan dan bimbingan di lapas masuk ke
dalam kategori sistem pemasyarakatan. Dimana menurut UU Pemasyarakatan Pasal 1 Ayat 2 bahwa, suatu tatanan mengenai
arah dan batas serta cara pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan
beradasarkan Pancasila yang dilaksanakan
secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab (Maryani, 2015).
Dimana
sistem pemasyarakatn diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Hal tersebut seperti yang tertera pada Pasal 2 UU Kemasyarakatan. Kemudian ditambahkan pada Pasal 3 UU Pemasyarakatan bahwa Sistem Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan
masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Terkait terjadinya
residivis narkoba dimana residivis tersebut sbeelumnya sudah mendapatkan proses pembinaan dan bimbingan di Lapas Narkotika Doyo, maka bisa
dikatakan bahwa Lapas Narkotika Doyo sebagai ujung
tombak dari penegakan hukum terkait pembinaan narapidana narkoba tidak bekerja secara
maksimal. Jika merujuk kepada regulasi yang ada, seharusnya pembinaan di lapas Narkotika Doyo dapat dilaksanakan secara maksimal. Namun kenyataannya hal tersebut tidak
terjadi, beradasarkan hasil wawancara peneliti dengan Kalapas, hal tersebut
diakibatkan terbenturnya pihak Lapas dengan
anggaran yang terbatas. Sehingga proses pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan tidak dapat dilaksanakan
secara optimal.
B.
Menimbulkan Efek Jera Bagi Pelaku
Residivis Narkoba di Polres Jayapura
Narapidana narkotika sangat rentan untuk
kembali melakukan tindak pidana yang sama yaitu terkait
penyalahgunaan narkotika.
Dalam upaya untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku
residivis narkoba di
Jayapura harus menjadi perhatian khusus bagi pihak-pihak yang terkait, terutama pihak Lapas sebagai
institusi pemerintah yang bertugas dalam proses pembinaan dan bimbingan bagi para narapidana. Dikarenakan mengandung zat adiktif yang mengakibatkan kepada kecanduan, pengguna narkotika sangat rentan untuk kembali
menggunakan narkotika. Maka
upaya yang dilakukan adalah dengan memotong
hubungan yang memungkinkan pelaku tindak pidana
narkotika kembali masuk ke jaringan
narkotika. Hal tersebut bisa dimulai dari
mengubah lingkungannya, atau mensterilisasi lingkungannya. Terutama lingkungan Lapas sebagai lingkungan bagi narapidana pelaku tindak pidana
narkotika.
Pada
dasarnya sudah terdapat regulasi yang mendukung untuk memutus hubungan jaringan narkotika di dalam Lapas, hal
tersebut berkaitan dengan keberadaan kelas-kelas di dalam Lapas. Seperti maximal security,
medium security, dan minimal security. Namun dalam prakteknya hal seperti itu
tidak ada di Lapas Narkotika Doyo, sebagai Lembaga Pemasyarakatan bagi narapidana penyalahgunaan narkotika di wilayah Jayapura. Namun
menurut Kalapas, keberadaan dari Lapas dengan maximal security,
medium security, dan minimal security hanya terdapat di Lapas umum, bukan di Lapas khusus seperti
Lapas Narkotika Kelas II A Doyo. Kalapas menambahkan
bahwa di Lapas Doyo. Walau bukan
masuk lapas maxiumum security, namun dari pusat sudah
terdapat instruksi bahwa jika terdapat
narapidana yang sangat tidak kooperatif maka akan segera
dilaporkan ke pusat dan akan dilakukan penindakan terkait pengangkutan ke lapas maximum security (Wawancara dengan Kalapas narkotika Doyo, 2020).
Pada
lapas Narkotika Doyo jika terdapat
narapidana yang membuat masalah atau tidak
kooperatif, maka akan dimasukkan ke sel. Dalam ketentuan, narapidana tersebut akan berada di sel selama 6 (enam)
hari. Namun jika ternyata masih
membangkang dan masih tidak kooperatif, maka akan ditambah
lagi hingga satu bulan. Setelah itu dia akan
keluar, kemudian hak-haknya akan dicabut, itu merupakan
salah satu tindakan yang dilakukan. Karena di Lapas adalah tempat pembinaan
(Wawancara dengan Kalapas narkotika Doyo, 2020). Maka dari itu peneliti
mengusulkan penting untuk melakukan pengkelasan berdasarkan pada tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana narkotika, jadi kelas pemakai tidak
digabungkan dengan kelas pengedar. Hal tersebut dirasa bisa meminimalisir persebaran informasi dan terbentuknya komunikasi antara pemakai dengan pengedar, dan diharapkan dapat memotong rantai jaringan narkotika di dalam Lapas.
Narapidana pemakai bisa jadi menjadi
lihai ketika bertemu dengan narapidana pengedar. Kemudian narapidana bandar bisa saja justru
bertemu kaki tangan baru sebagai peredar
ketika bertemu dengan narapidana pengedar. Maka dari itu, perlu dilakukan
pengelompokan sel sehingga para narapidana tersebut tidak saling bertemu atau berkomunikasi. Hal tersebut juga sejalan dengan pemikiran Suwarto memberikan pandangan bahwa penggolongan narapidana itu perlu dilakukan,
baik dilihat dari segi keamanan
dan pembinaan serta menjaga pengaruh negatif yang dapat berpengaruh terhadp narapidana lainnya.
Pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Papua akan dibina dan dibimbing di Lapas Doyo, dimana
Lapas Doyo merupakan Lapas Khusus yang menangani narapidana dengan kasus penyalahgunaan narkotika. Dalam proses pembinaan
yang dilakukan oleh Lapas terdapat dua program pembinaan, yaitu pembinaan kepribadian dan pembinaan kepribadian kemandirian. Program pembinaan kepribadian mendidik narapidana bagaimana untuk bisa mencintai
NKRI, memiliki wawasan kebangsaan yang bagus, dan pemahaman akan Pancasila (Wawancara dengan Kalapas narkotika Doyo, 2020).
Salah
satu bagian dari program pembinaan kepribadian adalah pembinaan keagamaan. Dalam pembinaan keagamaan, narapidana akan dibina untuk patuh
dan tunduk terhadap aturan-aturan agama yang dianutnya.
Karena Kalapas beranggapan ketika narapidana sudah tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan agama yang dianutnya,
maka narapidana tersebut akan mengikuti
peraturan negara (Wawancara dengan Kalapas narkotika Doyo, 2020).
Sedangkan program pembinaan
kemandirian adalah program
yang melatih para narapidana
agar memilik skill/ kemampuan.
Dimana skill/ kemampuan ini
diharapkan dapat memberikan manfaat ketika yang bersangkutan sudah bebas. Harapannya
dengan skill/ kemampuan yang
sudah diperoleh selama di Lapas, yang bersangkutan bisa menjadi mandiri ketika sudah kembali
ke tengah-tengah masyarakat.
Dalam
melakukan program pembinaan
kemandirian, Lapas melakukan kerjasama dengan kedinasan atau perusahaan. Kegiatan terbaru Lapas Narkotika Doyo melakukan Kerjasama dengan Dinas Pertanian, dimana para narapidana diajarkan bagaimana cara mengelola tanah. Bisa dengan bertani atau hal
yang lainnya. Kemudian narapidana juga diajarkan bagaimana menjual hasil tani tersebut,
dan hal itu langsung dipraktekkan. Harapannya dengan mengikuti pelatihan-pelatihan tersebut akan membangun
kemampuan/ skill dari narapidana, sehingga ketika sudah keluar
dari lapas pengetahuan terkait keterampilan/ skill tersebut dapat dipraktekkan. Untuk kemudian digunakan sebagai mata pencaharian baru ketika sudah
kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Menurut penjelasan
Kalapas, program pembinaan kepribadian belum berjalan dengan optimal, dan hal tersebut juga dialami hampir oleh semua Lapas. Dikarenakan
hal tersebut masih terkendala di beberapa hal. Begitu
juga dengan pembinaan kemandirian, hal tersebut belum bisa dilaksanakan secara optimal, dikarenakan keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pihak Lapas. Padahal menurut hemat peneliti
keberadaan bimbingan kemandirian ini sangat memiliki efek yang besar bagi para narapidana, karena hal tersebut
berkaitan dengan kesiapan mereka setelah keluar dari Lapas.
Terkait dengan
yang disampaikan Kalapas dalam wawancara yang dilakukan di Lapas Doyo, terkait pembinaan
kemandirian bahwa tidak semua narapidana
mendapatkan pembinaan kemandirian. Saudara F sebagai residivis narkoba yang sudah masuk Lapas sebanyak
tiga kali dan mengatakan bahwa selama tiga
kali masuk Lapas Doyo, dirinya belum
pernah mendapatkan pembinaan kemandirian seperti yang disampaikan Kalapas. Sejalan dengan yang disampaikan oleh F, saudara I yang juga merupakan seorang residivis narkoba juga mengatakan bahwa dirinya belum
pernah mendapatkan pembinaan kemandirian tersebut, bahkan ketika dia akan
dibebaskan dari Lapas (Residivis, 2020). Karena berdasarkan penjelasan Kalapas bahwa syarat
penerima pembinaan kemandirian tersebut adalah narapidana yang akan bebas dari
Lapas.
Pada
dasarnya program bimbingan
yang dimiliki oleh Lapas sudah sangat mumpuni
dalam proses bimbingan dan pembinaan bagi narapidana narkotika, namun kendalanya terdapat pada pelaksanaanya. Pelasksanaan dari program-program
bimbingan tersebut tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Dan menurut Kalapas, hal tersebut terkendala
dengan anggaran yang ada.
Lembaga
Pemasyarakatan merupakan bagian dari proses penegakan hukum. Hal tersebut seperti yang tertera pada penjelasna Pasla 8 Ayat 1 UU Kemasyarakatan
yang mengatakan bahwa Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari
sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian
integrasi dari tata peradilan terpadu (integrated
criminal justice system). Dengan demikian, pemasyarkaatan baik ditinjau dari
sistem, kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemasyarakatan, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu rangkaian
proses penegakan hukum.
Susanto
berpendapat bahwa tujuan dari pembinaan
dalam pemasayrakatan, dimana hal tersebut
dapat dibagi ke dalam tiga
hal yaitu:
a.
Setelah keluar
dari Lapas yang bersangkutan tidak lagi melakukan tindak pidana;
b.
Menjadi manusia yang berguna,
berperan aktif dan kreatif dalam membangun
bangsa dan negaranya; dan
c.
Mampu mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan mendapatkan kebahagiaan dunia maupun di akhirat (Susanto, 2011).
Jika
Lapas adalah Lembaga akhir dari lembaga-lembaga
yang berperan dalam proses penegakan hukum, maka sudah selayaknya
Lapas memiliki peran yang besar dalam menentukan arah dari narapidana
ke depannya. Apakah setelah bebas dari Lapas
narapidana akan bisa masuk kembali
ke dalam masyarkat, atau justru sebaliknya menjadi residivis.
Kesimpulan
Terdapat tiga faktor kriminogen
yang memengaruhi pelaku tindak pidana narkotika Kembali mengulangi kejahatannya
(residivis), yaitu: 1) Faktor ekonomi; 2) Faktor lingkungan; 3) Faktor
penegakan hukum. Lapas Narkotika Kelas II A Doyo merupakan tempat pembinaan
bagi narapidana narkotika yang memiliki tujuan untuk melakukan pembinaan dan
bimbingan bagi narapidana tindak narkotika, sehingga narapidana menyadari
kesalahannya dan bertaubat. Lapas adalah tempat bagi narapidana mendapatkan
bimbingan dan pembinaan sehingga narapidana siap kembali untuk menjadi bagian
dari masayrakat.
Dalam proses pembinaan dan
bimbingan Lapas Doyo memiliki dua program pembinaan, yaitu pembinaan
kepribadian yang mencakup di dalamnya pembinaan keagamaan dan pembinaan
kemandirian. Pelaksanaan pembinaan baik kepribadian dan kemandirian belum dapat
dilaksanakan di Lapas Doyo, hal tersebut karena terkendala akan sarana praarana
dan anggaran. Lapas merupakan Lembaga akhir dari lemabag-lembaga yang berperan
dalam proses penegakan hukum terkait tindak pidana narkotika, terkait akan hal
itu maka sudah selayaknya Lapas memiliki peran yang besar dalam menentukan arah
dari narapidana ke depannya. Apakah setelah bebas dari Lapas narapidana akan
bisa masuk kembali ke dalam masyarkat, atau justru sebaliknya menjadi residivis.
Hutabarat, Agustin L. (2020). �https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5291e21f1ae59/seluk-beluk-residivis/
(15 Agustus 2020).
Laksono, Dandhy Dwi.
(2010). Jurnalisme investigasi. Kaifa. Google Scholar
Maryani, Desy.
(2015). Faktor-faktor penyebab tidak tercapainya tujuan pemidanaan lembaga
pemasyarakatan di Indonesia. Jurnal Hukum Sehasen, 1(1), 1�24. Google Scholar
Nainggolan, Poltak
Partogi. (2018). Aktor non-negara: kajian implikasi kejahatan transnasional
di Asia Tenggara. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Google Scholar
Nursiyah, N. (2017).
Pemberdayaan Narapidana Melalui Pengembangan Agribisnis Sayuran Di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas Ii A Way Hui Bandar Lampung. UIN Raden Intan
Lampung. Google Scholar
Oky. (2020). �Apa
itu Narkoba� (On-Line), tersedia di. Retrieved from
http://puspensos.kemsos.go.id/apa-itu-narkoba.
Online, Hukum.
(2021). Penggolongan Penempatan Narapidana dalam Satu Sel Lapas.
Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2017. (2017). Perubahan
Penggolongan Narkotika.
Ramadhan, Karunia.
(2020). �Kenali Golongan dan Jenis Narkotika� (On-Line).
Sinaga, Julkifli.
(2021). Tinjauan Kriminologis Terhadap Residivis Narkoba (Studi Kasus
Terhadap Nara Pidana yang Memperoleh Hak Asimilasi Kemenkumham Tahun 2020).
Universitas Tarumanagara. Google Scholar
Susanto, I. S.
(2011). Kriminologi. Yogyakarta. Genta Publishing. Google Scholar
Syamsu, Muhammad
Ainul, & SH, M. H. (2015). Pergeseran turut serta melakukan dalam ajaran
penyertaan: Telaah kritis berdasarkan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana. Kencana. Google Scholar
Utami, Penny
Naluria, & Indonesia, HAMR. (2017). Keadilan Bagi Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan. J. Penelit. Huk. e-ISSN, 2579, 8561. Google Scholar
Walukow, Julita
Melissa. (2013). Perwujudan Prinsip Equality Before The Law Bagi Narapidana Di
Dalam Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia. Lex et Societatis, 1(1). Google Scholar
Wawancara dengan Kalapas narkotika Doyo. (2020). Wawancara dengan
Kalapas narkotika Doyo.
Julkifli Sinaga (2021) |
First publication right : |
This article is licensed under: |