Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����

Vol. 3, No. 5, Mei 2021

 

EFEKTIVITAS PENERAPAN HUKUM POSITIF TERHADAP PEMBALAKAN LIAR ATAS HUTAN DI KABUPATEN ASMAT

 

Akhmad Alfian

Universitas Tarumanagara Jakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstract

Asmat regency has a mushy soil system, and nearly all of Asmat's buildings are constructed on swamp. As a result, wood has become the most important infrastructure necessity in Asmat, and people are harvesting wood from the forest to meet this need. The regulation on timber retrieval in Asmat will be governed in Perbup Asmat No 8 Tahun 2019, which was published with local wisdom in mind. This is an observational legal study, in which data was gathered through interviews and literature reviews. The data analysis method in this study was done qualitatively. Following that, the data was systematically analyzed in order to gain clarification on the topics to be addressed. The Asmat Local Government's authority to administer forests is immediately taken away with the enactment of Law 23 of 2014. As a result, Perbup Asmat No. 8 Year 2019 no longer applies as a guide to the rules for taking timber and forest products in Asmat. Since the vast Asmat forest, which is divided by a massive river, is only protected by two government employees, the province's authority over forest management has weakened forest surveillance in Asmat. Positive logging legislation is becoming more difficult to implement. If the implementation of positive law is not applied, the current laws will undoubtedly be broken. However, if the positive laws are applied, the group would be unable to take wood from the trees, resulting in the Asmat people's economic demise. This is due to the fact that wood has become the Asmat people's primary need.

 

Keywords: illegal logging; asmat forest; positive law

 

Abstrak

Kabupaten Asmat memiliki sistem tanah yang lembek dan hampir seluruh bangunan Asmat dibangun di atas rawa. Akibatnya, kayu telah menjadi kebutuhan infrastruktur yang paling penting di Asmat dan orang-orang memanen kayu dari hutan untuk memenuhi kebutuhan ini. Peraturan tentang pengambilan kayu di Asmat akan diatur dalam Peraturan bupati Asmat No 8 Tahun 2019, yang diterbitkan dengan urus kearifan lokal. Ini adalah studi hukum observasional, di mana data dikumpulkan melalui wawancara dan tinjauan literatur. Metode analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Setelah itu, data dianalisis secara sistematis untuk mendapatkan klarifikasi tentang topik yang akan ditangani. Kewenangan Pemda Asmat untuk mengelola hutan segera diambil dengan berlakunya Undang-Undang 23 Tahun 2014. Hasilnya, Peraturan bupati Asmat Nomor 8 tahun 2019 tidak lagi berlaku sebagai panduan aturan pengambilan kayu dan hasil hutan di Asmat. Karena hutan Asmat yang luas yang terbagi oleh sungai besar, hanya dilindungi oleh dua pegawai pemerintah, otoritas provinsi atas pengelolaan hutan telah melemahkan pengawasan hutan di Asmat. Undang-undang pencatatan positif menjadi lebih sulit diterapkan. Jika penerapan hukum positif tidak diterapkan, undang-undang saat ini tidak diragukan lagi akan dilanggar. Namun, jika undang-undang positif diterapkan, kelompok itu tidak akan dapat mengambil kayu dari pepohonan mengakibatkan kematian ekonomi rakyat Asmat. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kayu telah menjadi kebutuhan utama masyarakat Asmat.

 

Kata Kunci: pencatatanilegal; hutan asmat; hukum positif

 

Pendahuluan

Wilayah daratan Indonesia terdiri dari 50% non hutan dan 50% hutan. Pengertian hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UU Kehutanan), adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Ghopur, 2019).

Indonesia terdiri dari tujuh pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Seluruh pulau besar tersebut memiliki kawasan hutan, dan Papua adalah pulau dengan kawasan hutan yang paling luas dibandingkan pulau-pulau lainnya, yaitu seluas 40.100.636 ha (BPS, 2020). Papua sebagai pulau dengan kawasan hutan paling luas, juga merupakan pulau besar di Indonesia dengan kawasan hutan lindung yang paling luas (BPS, 2020). Seperti namanya, hutan lindung maka selayaknya keberadaan hutan ini haruslah dilindungi. Namun kenyataan apa yang terjadi di lapangan tidaklah demikian, perusakan hutan kerap sekali terjadi.

Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah (Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Kehutanan) (Rendra, 2019). Salah satu kegiatan perusakan hutan yang sangat marak terjadi adalah pembalakan liar. Dimana pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.

Asmat merupakan salah satu Kabupaten yang teletak di Provinsi Papua, sebagian besar wilayah Asmat merupakan wilayah hutan dengan luas 2.613.727 ha (K. Asmat, 2020). Asmat merupakan wilayah yang memiliki struktur tanah yang tidak pernah kering, dimana hampir 99% pemukiman penduduk di Asmat didirikan di atas rawa-rawa. Maka dari itu, kayu merupakan bahan utama untuk mendirikan rumah dan membuat jalan serta jembatan.

Kebutuhan kayu di Asmat sangatlah tinggi, mengingat semua infrastruktur dibangun dengan bahan dasar kayu. Dikarenakan kebutuhan kayu yang banyak, maka pengambilan hasil hutan kayu di Hutan Asmat juga marak terjadi (Simangunsong, 2016). Tak jarang pengambilan kayu dilakukan dengan sistem yang tidak tepat, seperti pengambilan kayu yang tidak sesuai izin atau pengambilan kayu tidak pada tempatnya. Hal tersebut tentu saja menyalahi aturan yang ada, padahal pemerintah sudah memiliki aturan terkait pemanfaatan hasil hutan kayu serta izin dalam memanfaatkan hasil hutan kayu kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Lahan-lahan yang menjadi lokasi penebangan kayu biasanya bisa berupa lokasi hutan yang terdapat hak ulayat adat. Para pemegang hak ulayat biasanya akan menyewakan lokasi kayu kepada pihak lain, maka pihak yang sudah menyewa lokasi tersebut kemudian bebas untuk mengambil kayunya setelah sebelumnya dilakukan perjanjian penyewaan lahan dengan biaya 10 juta hingga 20 juta rupiah. Hal tersebut variatif tergantung dari luasnya lokasi dusun/ dusun yang akan disewakan.

Untuk melakukan penebangan kayu di sekitar hutan haruslah mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat daerah terkait. Kebutuhan kayu yang banyak dikarenakan lokasi wilayah Asmat yang berada di rawa-rawa menjadikan pemerintah setempat membuat aturan khusus terkait Tata Cara Pemungutan Hasil Hutan (IPHH), dan aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Bupati Asmat Nomor 8 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) di Kabupaten Asmat (selanjutnya disebut sebagai Peraturan bupati No. 8/2009).

Dahulu Perbup Asmat tersebut menjadi acuan regulasi terkait pengambilan hasil hutan kayu di Hutan Asmat, namun kemudian pada tahun 2016 mulai diberlakukan UU Nomor 23 Tahun 2014. Dimana dengan berlakunya undang-undang tersebut maka Perbup tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena wewenang pengelolaan hutan selanjutnya diberikan kepada Pemerintah Pusat dan Provinsi (Pasal 14 UU Pemerintah Daerah).Dengan adanya UU tersebut wewenang terkait pengambilan hasil hutan kayu di Asmat menjadi tidak jelas, karena Perbup yang ada sudah tidak berlaku. Sedangkan kayu merupakan kebutuhan utama masyarakat dikarenakan struktur tanah yang didominasi oleh rawa-rawa.

 

Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu metode untuk menemukan kebenaran yang juga merupakan sebuah pemikiran kritis (critical thinking). Penelitian meliputi pemberian definisi dan redefinisi terhadap masalah, memformulasikan hipotesis atau jawaban sementara, membuat kesimpulan, dan sekurang-kurangnya mengadakan pengujian yang hati-hati atas semua kesimpulan untuk menentukan apakah ia cocok dengan hipotesis.

Maka penelitian adalah metode yang dilakukan oleh peneliti untuk menemukan kebenaran dengan memberikan definisi, menyimpulkan jawaban sementara lalu kemudian membuat kesimpulan dari hasil penelitian sebagai pembuktian akhir dari penelitiannya.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis sosilogis atau disebut juga dengan penelitian hukum empiris, dimana penelitian ini melihat hukum sebagai suatu institusi sosial yang rill dan fungsional dalam masyarakat yang terjadi dari perilaku anggota masyarakat yang mempola.

Penelitian ini juga melihat hukum sebagai gejala sosio-empirik, di satu sisi dipandang sebagai independent variable (sebab) yang menimbulkan efek pada berbagai kehidupan masyarakat, di sisi lain hukum juga dipandang sebagai dependent variable (akibat) yang kemunculannya sebagai hasil dari ragam kekuatan alam proses sosial. Sumber data dari penelitian ini diperoleh melalui tiga sumber data, yaitu:

a.    Sumber dataprimer, merupakan sumber datayang diperoleh melaluiaturan- aturan yang terkait dengan penelitian ini. Seperti Undang-Undang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, Undang-Undang Agraria.

b.    Data primer juga diperoleh peneliti melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan 5 (lima) orang narasumber, yaitu:

1.    Anggota Reskrim Polres Asmat

2.    ASN Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Asmat

3.    ASN Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua

4.    Pengusaha Pengolaha Kayu di Asmat

5.    Pengusaha Pengolahan Kayu di Asmat

c.    Sumber data sekunder, diperoleh melalui sumber-sumber yang bisa membantu untuk memberikan pemahaman terhadap data-data primer seperti buku-buku, jurnal-jurnal, penelitian-penelitian terdahulu serta hasil karya lain dari kalangan peneliti bidang hukum.

d.    Sumber data tersier dalam penelitian ini merupakan bahan hukum yang menguatkanpenjelasan dari bahan hukum prier dan sekunder seperti kamus, majalah, sumber internet, Koran dan sumber lainnya yang terkait.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan wawancara dan studi kepustakaan. Dimana wawancara dilakukan dengan 5 orang Narasumber di tempat dan waktu yang berbeda. Kemudian pengumpulan data juga dilakukan dengan melakukan studi Pustaka, dimana penulis mencari sumber- sumber dari literatur-literatur yang terdapat di dalam buku-buku, jurnal-jurnal, penelitian-penelitian terdahulu serta sumber-sumber lain yang terkait. Kemudian peneliti membaca, mencatat dan mempeajari bahan-bahan tersebut untuk kemudian diolah.

Proses analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara kualitatif. Dimana dalam analisis data kualitatif data yang dihasilkan diperoleh melalui proses wawancara dan observasi kejadian di lapangan, yang didukung dengan peraturan- peraturan yang terkait kemudian disusun dengan cara yang sistematis.

Kemudian data tersebut dianalisis secara sistematis untuk mencapai kepada kejelasan masalah yang akan dibahas. Data kemudian akan dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik suatu kesimpulan sebagai jawaban atas permasalah yang ada. Proses penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakkan metode deduktif dimana penarikan kesimpulan secara menyeluruh dengan satu metode dari hal-hal yang bersifat umum ke penulisan yang bersifat khusus.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Hasil

Penelitian ini dilaksanakan di Asmat, sebuah Kabupaten yang berada di Provinsi paling ujung timur Indonesia, Papua. Dahulu, Kabupaten Asmat merupakan bagian dari Kabupaten Merauke yang terdiri dari Kecamatan Agats, Ayam, Atsj, Sawa Erma dan Pantai Kasuari. Hingga saat ini Kabupaten Asmat sudah erupakan Kabupaten sendiri dan terdiri dari sepuluh Distrik, yaitu Agats, Astj, Sawa Erma, Fayit, Pantai Kasuari, Sawa Erma, Suator, Kolf Braa, Unir Sirau dan Suru-Suru).

Kabupaten Asmat berada pada posisi 1370-1400 Bujur Timur dan 40-70Lintang Selatan. Kabupaten Asmat berbatasan langsung dengan Kabupaten Nduga dan Yahukimo di bagian utara. Juga berbatasan di sebelah timur engan Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi. Pada sisi barat, Kabupaten Asmat juga berbatasan dengan Kabupaten Mimika dan Laut Arafuru. Laut Arafuru dan Kabupaten Mappi menjadi batas terakhir di bagian selatan.

Secara lokasi, Kabupaten Asmat memiliki lokasi yang strategis dalam aspek pertahanan dan keamanan, karena berada di gerbang perairan internasional. Kabupaten Asmat berhadapan langsung dengan benua Asutralia dan Negara Timor Leste di tepi laut Arafuru. Secara wilayah Kabupaten Asmat memiliki ciri khas yang berbeda jika dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya, dimana Kabupaten Asmat didominasi oleh tanah rawa. Dikarenakan kondisi tanah yang selalu basah, maka perumahan warga di Asmat dibangun degan model rumah panggung. Dimana masing-masing rumah terhubung dengan jembatan panjang yang sekaligus menjadi jalur sirkulasi. Ciri khas jalanan di Asmat terbuat dari susunan kayu dengan lebar 1 hingga 2,5 meter.

Sebagian besar wilayah kabupaten Asmat merupakan wilayah hutan, sehingga sektor kehutanan merupakan salah satu sektor strategis di Kabupaten Asmat. Hal tersebut dapat dilihat pada sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Asmatpadatahun 2014 mencapaihinggaRp. 102,20 miliar (6,87 persen). Kawasan hutan Asmat seluas 2.613.727 ha yang terdiri dari hutan lindung dan hutan produksi.Luaskawasan hutan lindung diKabupaten Asmatadalah seluas 1.088.479 ha, sedangkan luas kawasan hutan produksi seluas 1.161.684 ha terdiri atas kawasan hutan produksi terbatas seluas 57.053 ha dan hutan produksi tetap seluas 1.104.631. Luas hutan cagar alam seluas 312.630 ha, hutan produksi yang dikonversi seluas 44.468 ha, dan hutan jenis lainnya seluas 6.466 ha. Jika dibuat ke dalam diagram, maka pembagian hutan di Asmat akan tampak seperti diagram dibawah ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kebutuhan kayu di Asmat sangatlah besar, dikarenakan wilayah Asmat

yang mayoritas merupakan rawa-rawa dengan struktur tanah yang lembek.

Dikarenakan hal tersebut, hampir semua infrastruktur di Asmat dibangun dengan

kayu/ papan. Maka dari itu Asmat juga dikenal dengan Kota Papan. Selain kondisi

tanah yang memang lembek, tingkat ekonomi masayarakat juga berpengaruh

terhadap perkembangan infrasturktur. Kondisi ekonomi masyarakat yang bisa

dikatakan rendah, menyebabkan akan sedikit sulit untuk membuat suatu bangunan

dari beton atau semen. Bahkan jalan umum saja baru mulai diibangun dengan konstruksi beton sejak 2005, itu juga hanya sebahagian wilayah saja.

B.  Pembahasan

1.    Konsepsi Pengaturan mengenai Pembalakan Liar pada Hutan di Kabupaten Asmat

Hukum positif adalah hukum yang berlaku sebagai hukum bagi masyarakat suatu negara, pada waktu tertentu. Pada umumnya, yang menjadi sumber dari hukum positif adalah undang-undang, kebiasaan, ilmu pengetahuan hukum dan jurisprudensi (Kanter & Sianturi, 2002). Maka hukum positif adalah aturan yang berlaku bagi suatu masyarakat dalam suatu negara, dimana keberadaan hukum tersebut diakui oleh negara dan setiap masyarakat memiliki kewajiban untuk menaatinya.

Indonesia merupakan negara hukum dan semua hal yang ada di negara ini memiliki hukum yang mendasarinya, termasuk juga masalah hutan. Perihal kehutanan di Indonesia memiliki aturan yang lengkap, dimulai dari aturan Pemerintah Pusat dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan Pemerintah Daerah yang dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Bupati atau Peraturan Daerah.

Berbicara tentang hutan maka akan erat kaitannya dengan masyarakat hukum adat serta hak ulayat masyarakat hukum adat. Hutan dan masyarakat hukum adat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat untuk dipisahkan karena keduanya memiliki keterkaitan yang kuat. Terutama wilayah Papua yang sebagian wilayahnya merupakan hutan. Papua merupakan Provinsi di Indonesia dengan kawasan hutan lindung yang paling luas. Kawasan hutan lindung di Papua tersebar seluas 9.449.872 ha dengan pembagian, 1.631.589 ha di Provisi Papua Barat dan 7.815.283 ha di Provinsi Papua (BPS, 2020).

Keberadaan masyarakat hukum adat diakui oleh negara, hal tersebut seperti yang terdapat pada Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945, dimana disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pengakuan negara akan keberadaan masyarakat hukum adat juga terkait akan pengakuan negara kepada hak-hak tradisionalnya, dimana hak tardisional dari masyarakat hukum adat di Kabupaten Asmat adalah hak atas tanah yang disebut juga sebagai tanah hak ulayat. Dimana Undang-Undang Pokok Agraria sebagai undang-undang induk terkait aturan pertanahan di Indonesia mengatur terkait hak-hak atas tanah. Negara menguasai hak atas tanah, namun hak tersebut juga dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum (Pasal 4 UUUPA).

Selain UUPA, hak-hak tanah juga diatur dalam hukum adat. Hak-hak tanah menurut hukum adat adalah, hak ulayat (Beschikkingrecht). Dimana hak ulayat adalah hak dari persekutuan hukum untuk menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar di dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-anggotanya, atau guna kepentingan orang-orang luaran (orang asing/orang pendatang), dengan izin persekutuan hukum itu dengan membayar recognisi (pengakuan) (Supriyadi, 2013).

Kabupaten Asmat merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Provinsi Papua, yang masyarakatnya merupakan masyarakat hukum adat yang memiliki hak ulayat berupa lahan/ dusun yang juga merupakan hutan. Hutan tersebut juga disebut dengan hutan hak ulayat. Daerah Asmat baru dibuka sewaktu perang dunia setelah ada misionaris yang menetap pada tahun 1953. Dahulu orang-orang Asmat tinggal tersembunyi jauh di dalam hutan-hutan, kemudian setelah pemerintah Belanda berhasil menciptakan ketertiban dan keamanan, mereka kemudian membangun desa-desa yang berpenghuni sekitar 300-2000 orang sepanjang sungai-sungai yang besar maupun yang kecil (Boelaars & Beding, 1986).

Sebagian besar wilayah kabupaten Asmat merupakan wilayah hutan, kawasan hutan Asmat seluas 2.613.727 ha yang terdiri dari hutan lindung dan hutan produksi (P. Asmat, 2021). Menurut Nano Sukarno keberadaan hutan lindung di Asmat baru ada sejak tahun 2012, sebelumnya di Asmat hanya terdapat hutan produksi. Kemungkinan keberadaan hutan lindung tersebut dikarenakan sudah begitu banyak lahan yang dialihfungsikan untuk penanaman kelapa sawit di Kabupaten Merauke (Sukarno, 2021).

Di Indonesia aturan mengenai hutan merujuk kepada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kemudian terkait wewenang dan pengelolaan hutan selanjutnya diberikan kepada pemerintah Pusat dan Provinsi. Hal tersebut berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Dimana dalam Pasal 14 disebutkankan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintah bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemerintah Daerah) dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (PP 8/2016), maka pengaturan terkait hutan di Kabupaten Asmat resmi diambil alih oleh Pusat dan Provinsi. Sejak saat itu pula tidak ada lagi Dinas Kehutanan di Kabupaten Asmat, yang ada hanyalah Dinas Lingkungan Hidup yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan hutan raya kabupaten saja.

Kemudian wewenang Dinas Lingkungan Hidup di Asmat berkisar pada pengelolaan lingkungan saja, termasuk diantaranya adalah rehabilitasi, abrasi, perbaikan lingkungan, dan erosi di pinggiran sungai dan pantai. Termasuk juga ke masalah-masalah yang berdampak kepada lingkungan atau analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Jika terkait masalah pokok kehutanan maka kewenangannya sudah berada di tangan Provinsi (Misiro, 2021)

Padahal terkait aturan mengenai kehutanan dan pengambilan hasil hutan di Kabupaten Asmat telah ada aturannya yang tertuang dalam Peraturan Bupati Nomor 8 tahun 2009 yang mengatur mengenai Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) di Kabupaten Asmat. Dimana aturan tersebut dikeluarkan berlandaskan pada kearifan lokal masyarakat Kabupaten Asmat. Dimana di Kabupaten Asmat kayu merupakan kebutuhan utama masyarakat, dikarenakan struktur tanah Asmat yang didominasi oleh rawa-rawa. Jadi kayu sangat dibutuhkan sebagai bahan dasar dari infrastruktur oleh masyarakat dan pemerintah.

Namun semenjak diberlakukannya UU No 23 Tahun 2014 maka Perbup Asmat No 8 Tahun 2009 juga tidak berlaku lagi. Akibat dari hal tersebut, konsepsi aturan mengenai pembalakan liar yang terjadi di Asmat menjadi tidak fokus. Konsepsi hukum terkait kehutanan yang diberlakukan di Asmat seharusnya memberikan pertimbangan khusus akan kearifan lokal masyarakat Kabupaten Asmat, dimana hal tersebut sangat penting agar dapat mengakomodir segala kepentingan yang dimilki oleh masyarakat Asmat. Terutama kayu merupakan kebutuhan utama masyarakat Asmat.

Wawancara dengan ASN Kehutanan Provinsi Papua menyebutkan bahwa banyak kearifan lokal yang dikedepankan di Asmat terkait kayu, karena mata pencaharian masyarakat Asmat sebagai penggesek, buruh pikul dan pemilik lokasi kayu. Ditambah lagi karena pembangunan di Kabupaten Asmat 100% menggunakan kayu dikarenakan wilayah Asmat yang terdiri dari rawa. Jika aturan diterapkan maka masyarakat tidak akan bisa mengambil kayu, karena nyatanya lahan yang diambil hasil hutannya merupakan hutan lindung. Namun jika masyarakat tidak diizinkan mengambil kayu, maka ekonomi masyarakat Asmat bisa mati.

 

2.    Efektivitas dari Penerapan Hukum Positif Terkait Pembalakan Liar di Kabupaten Asmat

Setelah diberlakukannya UU No 23 Tahun 2014, kewenangan kehutanan termasuk juga kewenangan terhadap perlindungan hutan kepengurusannya diserahkan sepenuhnya kepada Provinsi. Jadi pihak daerah/ Pemkab tidak punya wewenang lagi dalam mengelola hutan. Sejak Undang-Undang 23 Tahun 2014 tersebut diberlakukan, ditambah keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016, maka secara resmi daerah kehilangan wewenangnya dalam mengelola hutan daerahnya dan keseluruhan dari wewenang tersebut dialihkan ke Provinsi.

Maka terkait hal itu, Perbup Nomor 8 tahun 2009 juga tidak berlaku lagi. Wewenang daerah hanya terbatas dalam hal pengelolaan lingkungan hidup, hal tersebut mencakup rehabilitasi lingkungan, agrasi, erosi pinggiran sungai dan pesisir pantai serta terkait analisis dampak lingkungan. Penyebab dari itu semua pengawasan akan pengelolaan hutan sudah tidak maksimal lagi dilaksanakan (Misiro, 2021).

Penerapan UU No 23 Tahun 2014 menghilangkan kewenangan teknis daerah dalam mengontrol sumber daya alam yang bersifat lintas daerah, sebab semua sumber daya yang bersifat lintas daerah sudah sepenuhnya menjadi kewenangan pusat. Sekilas aturan dengan pendekatan geopolitik semacam ini terlihat ideal, namun apabila diperhatikan secara seksama, akan menimbulkan masalah di kemudian hari, yaitu:

1)             Pemerintah kabupaten/ kota yang merasa kehilangan wewenang atas wilayahnya, sehingga akan cenderung menjadi apatis dan enggan bertanggung jawab apabila muncul permasalahan sumber daya alam yang bersifat lintas daerah. Perkara ini bukannya tanpa preseden, karena beberapa kejadian telah memperlihatkan kecenderungan ini.

2)             Kewenangan kabupaten/ kota di bidang kehutanan hanya tersisa pada pengelolaan taman hutan raya. Urusan selebihnya dibagi antara Pusat dan Daerah Provinsi (terdapat dalam Pasal 14 Ayat 1 UU No 23 Tahun 2014). Kemudian akan muncul masalah ketika terjadi suatu urusan terkait kehutanan yang berada di luar urusan taman hutan raya yang berada dalam satu kabupaten, lantas siapa yang berhak mengurusnya?

3)             Memindahkan titik berat otonomi daerah ke provinsi justru berlawanan dengan logika kebijakan desentralisasi Widodo Dwi Putro dan Ani Adiwinata Nawir tahun 2018.

 

Undang-Undang Pemerintah Daerah dianggap menjadi penyebab akan lemahnya pengawasan hutan di Kabupaten Asmat dikarenakan aturan terkait hutan akan mengikuti aturan dari Provinsi, juga terkait tindakan yang diambil dalam mengelola hutan akan dikomunikasikan dengan provinsi. Dimana hal tersebut menyebabkan sistem yang jadi tidak ringkas, malah justru akan birokrasi akan menjadi panjang dan berbelit-belit. Karena komunikasi harus dilakukan ke Provinsi yang lokasinya berada cukup jauh dari Kabupaten Asmat.

ASN Dinas Kehutanan Provinsi Papua sendiri mengakui bahwa mereka kesulitan dalam melakukan pengawasan terhadap hutan di wilayah kabupaten Asmat. Hal tersebut karena jumlah perwakilan ASN dari Dinas Kehutanan Provinsi yang ditugaskan di Kabupaten Asmat hanya berjumlah dua orang, sedangkan hutan di wilayah Kabupaten Asmat dipisahkan oleh sungai-sungai yang harus dilalui oleh kendaraan air (Sukarno, 2021).

Kendala Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas serta wilayah hutan yang terpisahkan oleh sungai dan akses lokasi yang terbatas, menjadi kendala tersendiri bagi ASN Dinas Kehutanan Provinsi Papua yang ditugaskan di Cabang Dinas Kehutanan di Asmat. Belum lagi Kabupaten Asmat yang berlokasi sangat jauh dengan Ibukota Provinsi Papua, Jayapura. Hal tersebut menjadi kendala-kendala terhadap tidak berjalannya pengawasan hutan di Kabupaten Asmat, dimana hal tersebut semakin menyababkan maraknya terjadi kasus pembalakan liar.

Kemudian Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai kementrian yang bewenang atas pengelolaan hutan di Indonesia menawarkan solusi dengan membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (Papua, 2021), dimana KPH tersebut menjadi perpanjangan tangan Dinas Kehutanan Provinsi di daerah. World Bank mendefinisikan KPH sebagai cara yang diguanakan orang, pemangku kebijakan dan Lembaga baik formal maupun informal untuk memperoleh dan menggunakan wewenangnya dalam pengelolaan sumberdaya hutan, agar lestari dan meningkatkan kualitas hidup dan mata pemcaharian masyarakat yang tergantung kepadanya (Hernowo & Ekawati, 2014)

Pembentukan KPH di tingkat lokal dilaksanakan sebagai satuan manajemen baru dan permanen yang secara langsung menangani permasalahan yang ada dan memberikan dasar untuk tata kelola hutan menjadi yang lebih baik, perencanaan, manajemen sumber daya hutan, pemantauan dan keterlibatan pemangku kepentingan (Forclime, 2021). Namun kemudian kendalanya adalah KPH belum mampu untuk menjangkau seluruh wilayah hutan yang ada di Papua. Termasuk Kabupaten Asmat adalah salah satu Kabupaten yang belum terdapat KPH.

Maka jika dilihat secara sekilas, terdapat tiga kendala yang saling berhubungan terkait efektifitas penerapan hukum positif terkait pembalakan liar di Kabupaten Asmat. Kendala yang pertama adalah jumlah ASN yang terbatas, dimana keberadaan ASN adalah untuk melalukan pemantauan dan pengawasan atas hutan di Kabupaten Asmat. Kendala kedua adalahwilayah hutan Asmat yangsangat luas dan terpisahkan oleh sungai-sunagi yang besa. Dimana hal tersebut menyebabkan bahwa transportasi air adlaah satu-satunya transportasi yang memungkinkan untuk memantau sekeliling hutan. Kendala ketiga adalah ketiadaan KPH yang dianggap sebuah solusi dari Kemenrian Linghungan Hidup dan Kehutanan, dimana seharusnya terdapat satu buah KPH di Kabupaten-Kabupaten di Indonesia.

Ketiga kendala tersebut saling berhubungan dan muaranya adalah keberadaan dari UU No 23 Tahun 2014, dimana penerapan undang-undang tersebut mengagalkan berlakunya aturan terkait pengambilan kayu di Kabupaten Asmat. Pada tahun 2009 Pemerintah Kabupaten Asmat mengeluarkan suatu regulasi baru terkait Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) di Kabupaten Asmat, yang tertuang dalam Peraturan Bupati Asmat Nomor 8 Tahun 2009. Namun kemudian peraturan tersebut sudah tidak berlaku lahi semenjak diberlakukannyanUU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Padahal Perbup Asmat dirasa sudah sangat cocok untuk menjadi regulasi terkait pengambilan hasil hutan kayu di Amsat. Dimana seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa mayoritas wilayah di Kabupaten Asmat terdiri dari rawa, dan kayu menjadi bahan utama untuk membuat infrastruktur di Asmat. Kebutuhan kayu bukan hanya dibutuhkan oleh pihak pemerintahan, namun juga oleh masyarakat.

Di Kabupaten Asmat keberadaan masyarakat hukum adat tidak bisa diabaikan, dimana masyarakat hukum adat biasanya akan memiliki wilayah yang merupakan hak ulayatnya. Wilayah hak ulayat adat yang dimaksud adalah lahan/ dusun hutan yang berisi banyak pohon-pohon yang menjadi sumber kebutuhan masyarakat Asmat akan kayu. Wilayah hak ulayat seringnya saling tumpang tindih dengan lokasi hutan lindung, oleh karena hal tersebut sejak tahun lalu sudah berjalan proses TORA. Dimana dengan adanya program TORA ini diharapkan dapat memudahkan masyarakat dalam pengambilan kayu di Asmat. Namun hingga saat ini SK dari program TORA tersebut belum juga dikeluarkan (Sukarno, 2021).

Wilayah hak ulayat ini yang kemudian menjadi sumber pengambilan kayu di Kabupaten Asmat. Dimana kayu-kayu tersebut diperoleh dari lahan-lahan hak ulayat adat yang dipinjamkan atau disewakan kepada para penyewa lahan untuk diambil hasil hutannya. Biasanya para pemilik hak ulayat akan menyewakan dusun atau kintalnya (lahannya) kepada perorangan. Perorangan yang dimaksud adalah seseorang yang bisa saja memiliki perusahaan dalam bentuk CV (tidak ada perusahaan besar di Kabupaten Asmat), atau bisa juga seseorang tanpa embel-embel perusahaan.

Lalu pihak yang menyewa tersebut mengolah hasil hutan yang terdapat pada lahan tersebut, pengolahan yang dimaksud dilakukan dengan mengambil kayu yang terdapat dalam lahan tersebut. Dusun atau lahan yang disewakan tersebut bukanlah lahan kosong, melainkan hutan yang terdapat banyak pohon di dalamnya. Dalam proses perjanjian, hanya terdapat kesepakatan secara verbal antara pemilik lahan (pemilik hak ulayat) dengan orang yang akan meminjam lahan. Perjanjian terjadi tanpa adanya perjanjian tertulis hitam diatas putih.

Seperti wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan pemilik usaha kayu menyebutkan bahwa untuk mendapatkan lahan mereka terlebih dahulu akan melakukan survey, dengan turun langsung ke lapangan untuk melihat kira-kira dusun/ lokasi mana yang memiliki pohon-pohon bagus yang dapat diolah. Lalu ketika sudah menemukan lokasi yang dirasa cocok, pemilik usaha akan menemui pemilik usaha dan melakukan prosesi tawar menawar agar mereka bisa mengelola lahan tersebut (Samsidar, 2021).

Di wilayah Kabupaten Asmat tidak terdapat papan pemberitahuan yang menyatakan suatu wilayah hutan adalah hutan lindung atau bukan, sehingga hal tersebut kemudian bisa menjadi suatu kesilapan. Karena masyarakat terkadang mengakui lahan tersebut adalah hak ulayatnya, namun di satu sisi pemerintah melalui Dinas Kehutanan merasa lahan tersebut adalah wilayah hutan lindung. Dimana hutan lindung memiliki aturan tersendiri, bahwa tidak boleh diambil hasil hutannya karena itu adalah wilayah yang dilindungi.

Hal tersebut seperti kejadian yang disamoaikan oleh anggota Reskrim Asmat, tentang kejadian laporan oleh ASN Kehutanan Asmat yang terjadi pada tanggal 18 Juni 2018. Laporan itu berdasarkan kepada penglihatan ASN ketika dirinya dan tim sedang melakukan tugas patrol kehutnan di wilayah Distrik Akat Kabupaten Asmat. Berdasarkan hasil temuan tersebut terdapat sekelompok orang sedang melakukan pembalakan terhadap pohon-pohon di hutan di Kampung Beco, Distrik Akat Kabupaten Asmat.

Berdasarkan hasil pantauan ASN tersebut sekelompok orang tersebut melakukan pembalakan terhadap pohon-pohon di hutan tersebut untuk dimanfaatkan hasil pohonnya yang merupakan jenis kayu besi, yang mana hasil dari pembalakan tersebut akan dikomersilkan di Ibukota Kabupaten Asmat yaitu Distrik Agast. Namun berdasarkan data yang dimiliki oleh ASN tersebut, hutan yang diambil kayunya tersebut masuk ke dalam kawasan hutan lindung. Sedangkan masyarakat yang melakukan pembalakan tersebut mengaku jika lahan tempat mereka mengambil kayu tersebut merupakan lahan keluarga mereka, atau lahan tersebut merupakan lahan ulayat adat (P. Asmat, 2018).

Tidak adanya papan pengumuman tersebut bisa berakibat fatal terkait kasus pembalakan liar yang semakin marak terjadi di Asmat. Dimana pembalakan liar yang didefinisikan sebagai tindakan menebang kayu dengan melanggar peraturan kehutanan. Tindakan ini adalah sebuah kejahatan yang mencakup dari kegiatan seperti menebang kayu di area yang dilindungi, area konservasi dan taman naisonal, serta menebang kayu tanpa izin yang tepat di hutan-hutan produksi. Juga kegiatan mengangkut dan memperdagangkan kayu illegal dan produk kayu illegal juga dianggap sebagai kejahatan kehutanan (Sandino, 2011).

Oleh karena hal tersebut perlunya regulasi khusus yang dikeluarkan oleh daerah terkait urusan kehutanan, sehingga hal tersebut diharapkan bisa meminimalisir kasus-kasus pembalakan liar yang terjadi di Kabupaten Asmat. Karena Kabupaten dirasa sebagai pihak yang paling mengetahui tentang wilayah daerahnya, termasuk juga urusan terkait kehutanan. Karena dasar dikeluarkannya Perbup Asmat No 8 tahun 2009 tersebut telah mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan kearifan lokal yang terdapat di Asmat.

Kewenangan terkait pengawasan hutan yang sepenuhnya sudah diambil oleh Provinsi juga menjadi penyebab semakin tidak ketatnya pelaksanaan pengawasan hutan di Kabupaten Asmat, hal tersebut karena aparat yang langsung dari Provinsi tidak optimal dalam pelaksanaannya. Belum lagi KPH yang diharapkan mampu sebagai perpanjangan tangan pelaksanaan tugas Dinas Kehutanan Provinsi keberadaannya tidak ada di Kabupaten Asmat

Maka sosialiasi terkait regulasi tentang kehutanan tidak bisa dilaksanakan dengan maksimal, karena di kabupaten Asmat hanya terdapat Dinas Lingkungan Hidup yang fokus dalam urusan pengawasan lingkungan saja. ditambah lagi Dinas Provisni yang berada di Jayapura dimana jarak Jayapra dan Asmat berada sangat jauh, sehingga komunikasi dan koordinasi menjadi kurang efektif juga efisien untuk dilaksanakan.

Bahkan jika aparat penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian sudah melaksanakan tugas dengan maksimal, kasus pembalakan liar juga akan tidak bisa untuk dihindarkan. Hal tersebut karena regulasi yang mengatur hal tersebut kurang penerapan dalam sosialiasi di masyarakat. Menurut Romli Atmasasmita bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan (Atmasasmita, 2001).

Maka solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan melakukan alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi kembali. Seperti keadaan sebelum tahun 2012, dimana hutan lindung di Kabupaten Asmat masih berstatus sebagai hutan produksi. Alih fungsi kawsan tersebut sudah mulai dilakukan sejak enam tahun yang lalu, namun hingga saat ini permohonan yang diajukan oleh Kabupaten Asmat tersebut belum menemukan titik terang. Pengajuan tersebut sampai saat ini belum dapat diproses, dan hutan lindung belum berubah statusnya menjadi hutan produksi kembali (Sukarno, 2021).

Karena jika melihat kepada sejarahnya juga hutan lindung yang berada di Kabupaten Asmat dahulu merupakan hutan produksi, yang kemudian dialihfungsikan menjadi hutan lindung sejak tahun 2012. Dan saat ini pemerintah Kabupaten Asmat sedang berupaya mengubah kembali status hutan lindung tersebut menjadi hutan produksi. Dikarenakan kebutuhan kayu yang sangat besar bagi masyarakat Asmat. Jika pemasokan kayu terhenti karena terkendala oleh status hutan, maka tidak akan ada pembangunan yang terjadi di Asmat. Hal tersebut juga kemudian akan berimbas kepada perekonomian masyarakat Asmat.

 

 

Kesimpulan

Kabupaten Asmat merupakan wilayah yang terdiri dari rawa, dimana hal tersebut menjadikan kayu sebagai sumber utama kehidupan baik untuk kehidupan sehari-hari maupun sebagai bahan infrastruktur. Maka terkait hal tersebut, perlu dibuatkan regulasi khusus terkait kayu yang mempertimbangkan keadaan masyarakat Asmat. Semenjak diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 2014, maka kewenangan atas pengelolaan hutan sepenuhnya dialihkan ke Provinsi Papua, dan pemerintah Kabupaten Asmat hanya berwenang dalam mengelola terkait perlindungan lingkungan saja. Hal tersebut tentu saja berimbas kepada pengawasan atas hutan di Kabupaten Asmat. Pengawasan hutan menjadi kurang efektif, ditambah hanya terdapat 2 (dua) orang pegawai dari Dinas Kehutanan Provinsi yang mengaasi terkait hutan Asmat yang luas. Dalam upaya penegakan hukum positif di Kabupaten Asmat, harus mempertimbangkan pada kearifan lokal dan kebiasaan serta adat istiadat yang terdapat pada masyarakat tersebut. Oleh karena itu penerapan hukum positif nasional serta aturan-aturan yang ada, tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Karenanya penerapan sanksi juga tidak berjalan sebagaimana mestinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Asmat, K. (2020). Kehutanan. Badan Pusat Statistik Kabupaten Asmat

 

Asmat, P. (2018). Laporan Pengaduan terkait Pembalakan Liar. Asmat: Polres Asmat.

 

Asmat, P. (2021). Kehutanan. Badan Pusat Statistik Kabupaten Asmat

 

Atmasasmita, Romli. (2001). Reformasi hukum, hak asasi manusia & penegakan hukum. Mandar Maju. Google Scholar

 

Boelaars, Jan, & Beding, Marcel. (1986). Manusia Irian, dahulu, sekarang dan masa depan. Gramedia. Google Scholar

 

BPS. (2020). Luas Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia.

 

Forclime. (2021). Kesatuan Pengelilaan Hutan. Universitas Sebelas Maret

 

Ghopur, Azizal. (2019). Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Terhadap Pengujian Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Terkait Dengan Hutan Adat di Provinsi Riau. Universitas Islam Riau. Google Scholar

 

Hernowo, Basah, & Ekawati, Sulistya. (2014). Operasionalisasi kesatuan pengelolaan hutan (KPH): Langkah awal menuju kemandirian. Penerbit PT Kanisius. Google Scholar

 

Kanter, E. Y., & Sianturi, S. R. (2002). Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya. Storia Grafika. Google Scholar

 

Misiro, J. (2021). ASN Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Asmat. (A. Alfian, Interviewer).

 

Papua. (2021). UU Pemerintah Daerah Lemahkan Pengawasan Hutan di Papua. Retrieved from https://www.papua.go.id/view-detail-berita-6063/uu-pemerintahan-daerah-lemahkan-pengawasan-hutan-di-papua.html

 

Rendra, Gigih. (2019). Kewenangan Penuntut Umum Dalam Penyidikan Perkara Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Jurnal Yuridis Vol, 6(2), 157�181. Google Scholar

 

Samsidar. (2021). Pemilik Usaha Sawmil. (A. Alfian, Interviewer).

 

Sandino. (2011). Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Pembalakan Liar Hutan (Illegal logging). Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional. Google Scholar

 

Simangunsong, Fernandes. (2016). Kajian Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan Pada Desa Bis Agats Di Kabupaten Asmat Provinsi Papua. Jurnal IPDN, Indonesia (Http://Journal. Umpo. Ac. Id/Index. Php/Ar Isto/Article/View/175,). Google Scholar

 

Sukarno, N. (2021). ASN Dinas Kehutanan Provinsi Papua. (A. Alfian, Interviewer).

 

Supriyadi, Bambang Eko. (2013). Hukum agraria kehutanan: Aspek hukum pertanahan dalam pengelolaan hutan negara. PT RajaGrafindo Persada.

 

 

Copyright holder :

Akhmad Alfian (2021)

 

First publication right :

Journal Syntax Idea

 

This article is licensed under: