Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����
Vol. 3, No. 5, Mei 2021
PERAN POLRI DALAM UPAYA PENEGAKAN
HUKUM POSITIF TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI
WILAYAH HUKUM PUNCAK JAYA, PAPUA
Ary Purwanto
Universitas Tarumanagara Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
The Puncak Jaya people are an indigenous people
who still use customary law to resolve criminal cases. The use of customary law
to settle criminal cases in Puncak Jaya is thought to
be more successful because it can fully resolve criminal cases. Since the use
of positive state legislation to resolve criminal proceedings is considered
incapable of meeting the interests of both parties and may lead to tribal wars.
Polri is a law enforcement agency tasked with
maintaining stability and enforcing positive law in the resolution of criminal
cases. The issue would then arise as the community is more likely to use common
law to resolve criminal cases. This study was conducted in Puncak
Jaya Regency, and it is a normative juridical study in which the data for this
study was collected through a literature review. The state recognizes the
existence of customary law, as specified in Article 18B paragraph (2) of the
1945 Constitution. Because of cultural customs, the Puncak
Jaya community tends to resolve criminal cases using customary law. Besides,
customary law is thought to be more able to accommodate the interests of those
involved in criminal proceedings, owing to the presence of customary fines as
punishment for customary offenses. The National Police, in carrying out its
function as a law enforcement officer, must be aware of the presence of
customary law as a state-recognized law and live in the Puncak
Jaya culture. Finally, law enforcement's function is to ensure that all parties
involved in criminal cases are satisfied.
Keywords: customary
law; the role of police; indigenous people
Abstrak
Masyarakat Puncak Jaya adalah masyarakat adat yang masih menggunakan
hukum adat untuk menyelesaikan kasus pidana. Penggunaan hukum adat untuk
menyelesaikan kasus pidana di Puncak Jaya diduga lebih berhasil karena dapat
sepenuhnya menyelesaikan kasus pidana. Karena penggunaan undang-undang negara
positif untuk menyelesaikan proses pidana dianggap tidak mampu memenuhi
kepentingan kedua belah pihak dan dapat menyebabkan perang suku. Polri adalah
lembaga penegak hukum yang bertugas menjaga stabilitas dan menegakkan hukum
positif dalam penyelesaian kasus pidana. Masalah ini kemudian akan muncul
karena masyarakat lebih cenderung menggunakan hukum umum untuk menyelesaikan
kasus kriminal. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Puncak Jaya, dan
merupakan kajian yuridis normatif di mana data untuk penelitian ini dikumpulkan
melalui tinjauan literatur. Negara mengakui adanya hukum adat, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Karena adat budaya, masyarakat
Puncak Jaya cenderung menyelesaikan kasus pidana menggunakan hukum adat.
Disamping itu, hukum adat diduga lebih mampu mengakomodasi kepentingan mereka
yang terlibat dalam proses pidana, karena adanya denda adat sebagai hukuman
atas pelanggaran adat. Polri, dalam menjalankan fungsinya sebagai aparat penegak
hukum, harus mewaspadai kehadiran hukum adat sebagai hukum yang diakui negara
dan hidup dalam budaya Puncak Jaya. Terakhir, fungsi penegak hukum adalah memastikan
semua pihak yang terlibat dalam kasus pidana merasa puas.
Kata
Kunci: hukum adat; peran
polisi; masyarakat adat
Pendahuluan
Perjalanan sejarah berlakunya hukum di Indonesia mencatat bahwa banyak para ahli hukum justru
mempelajari hukum adat sebagai hukum
yang hidup di masyarakat
Indonesia (Abubakar, 2013).
Keberadaan hukum adat di
Indonesia diakui oleh negara, hal
tersebut dapat dilihat dalam pasal
18 B Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai hasil amandemen
kedua, yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang. Hukum adat
di Indonesia merupakan pencerminan
dari kepribadian bangsa, yang merupakan penjelmaan jiwa bangsa tersebut dari abad ke
abad. Adat yang dimiliki oleh daerah-daerah adalah berbeda-beda, meskipun dasar Negara sifatnya satu yaitu
ke-Indonesiannya. Hal tersebut
juga yang menjadi landasan akan adanya semboyan
Bhineka Tunggal Ika, yang memiliki
arti berbeda-beda, tetapi tetap satu (Ismi, 2012).
Di wilayah Papua, dalam menyelesaikan sengketa pidana masyarakat masih identik untuk
menggunakan hukum adat. Penyelesaian sengketa dengan hukum adat bukanlah
tanpa alasan, mengingat masyarakat Papua bisa dikatakan sedikit lebih tradisional
dibandingkan dengan suku lain yang ada di Indonesia. Penerapan hukum adat juga dilaksanakan untuk meminimalisir konflik selanjutnya yang mungkin saja terjadi.
Polisi Republik Indonesia (Polri) adalah alat
negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Hal tersebut seperti yang tertuang dalam Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Purba, 2011). Sebagai aparat penegak hukum yang berperan dalam upaya penegakan hukum, maka peran
Polri sangat penting dalam penegakan
hukum positif nasionai terkait penyelesaian perkara pidana di Papua. Namun kemudian akan muncul
masalah ketika masyarakat cenderung untuk lebih menggunakan
hukum adat dalam menyelesaikan masah pidana alih-alih
menggunakan hukum positif Negara, dalam hal ini berdasarkan
kepada hukum pidana. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Papua khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah pegunungan merasa bahwa hukum
positif Negara kurang dapat memenuhi kepuasan di kalangan mereka. Untuk masyarakat
yang berada di wilayah pegunungan,
seperti kasus-kasus pidana umum yang terjadi seperti kasus penganiyaan, perzinahan atau bahkan pembunuhan maka penyelelesaiannya dengan cara adat,
yaitu denda atau ganti kepala.
Maka dari itu akan sangat penting
untuk melihat bagaimana peran Polri dalam upaya
penegakan hukum positif di Papua, tertutama di wilayah
pegunungan tengah Papua (Tuharea, 2014).
Metode
Penelitian
Peneltian merupakan suatu sarana pokok dalam
pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Kemudian melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Maka dari itu, penelitian
adalah sarana bagi berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktriner,
dimana penelitian ini sangat erat
kaitannya dengan studi kepustakaan. Karena
data-data yang diperoleh untuk
kemudian diteliti tersebut berasal dari perpustakaan sepanjang data yang diperoleh mengandung kaidah hukum (Ishaq & SH, 2017).
Untuk memahami adanya hubungan antara ilmu-ilmu hukum dengan hukum positif
(dalam hal ini yang tertulis, oleh karena menyangkut penelitian hukum normatif; atau mungkin juga hukum tercatat) diperlukan suatu telaah terhadap
unsur-unsur hukum atau �gegevens van het recht�.
Dalam penelitian hukum,
data sekunder dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu :
a.
Bahan hukum
primer, merupakan bahan-bahan
hukum yang mengikat. Adapun
bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah: Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesua Nomor 1 Tahun 2019 tentang Sistem, Manajemen dan Standar Keberhasilan Operasional Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2019). Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Undang-Undang Dasar 1945 DAN Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
b.
Bahan hukum
sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah Rancangan
Undang-Undang, buku-buku, jurnal-jurnal, penelitian-penelitian
terdahulu, hasil karya dari kalangan
hukum, dan lain sebagainya.
c.
Bahan hukum
tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier dalam penelitian
ini adalah: kamus, ensiklopedia, dan bahan lainnya.
Penelitian ini menggunakan bahan pustaka yang berupa data sekunder sebagai data utamanya. Terkait dengan hal itu, maka
teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini dilakuakn dengan melakukan studi pustaka dengan melakukan penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku tentang hukum maupun
topik terkait, jurnal-jurnal serta sumber online yang dapat dipertanggung jawabkan.
Analisis data dalam penelitian
ini dilakukan melalui metode kualitatif. Pada metode kualitatif, seluruh data yang berhasil dikumpulkan akan disortir dan diklasifikasikan. Kemudian data tersebut akan diintepretasikan
dan disajikan dalam bentuk uraian yang sistematis.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil
1.
Peran Kepolisian dalam Upaya Penegakan Hukum
Positif di Wilayah Puncak Jaya, Papua
Masyarakat Puncak Jaya
adalah masyarakat hukum adat yang sangat menghargai adat istiadat serta
kebiasaan-kebiasaan yang ada. di Puncak Jaya Penerapan hukum adat lebih dominan
diterapkan dibandingkan dengan hukum positif nasional. Hal tersebut terjadi
karena keberadaan hukum adat sendiri sudah ada sejak lama dan sudah menjadi
bagian dari masayarakat Puncak Jaya (Munandar, 2019).
Keberadaan kepolisian
sebagai aparat negara yang bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta
menegakkan hukum, diakui oleh masyarakat Puncak Jaya. Hal tersebut dapat
dilihat dari peran Polisi sebagai mediator atau negosiator ketika terjadi kasus
tindak pidana di Puncak Jaya. Polres Puncak Jaya melakukan upaya medisi dengan
pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tidak pidana dengan restorative
justice (Syarief, 2014).
Dimana Kepolisian Resor
puncak Jaya hanya memfasilitasi dan menjadi mediator tanpa boleh melakukan
intervensi kepada pihak yang terlibat kasus tindak pidana. Karena sepenuhnya keputusan
penyelesaian kasus tindak pidana berada pada pihak yang terlibat, pihak pelapor
dan pihak terlapor. Kapolres Puncak jaya juga akan bertugas menjadi negosiator
ketika terjadi perang antar suku atau perang antar kampung, Kapolres akan
menjadi negosiator bersama dengan Dandim dan Bupati.
Peran dari Kepolisian Resor
Puncak Jaya terletak dalam upaya mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa
dengan penerapan restorative justice. Walau lebih mengedepankan hukum adat
dibandingkan hukum positif nasional, masyarakat Puncak Jaya menghargai dan
mengakui keberadaan Polisi sebagai aparat penegak hukum. Hal tersebut bisa
dilihat dari keterlibatan Polisi dalam upaya mendamaikan pihak yang terlibat
dalam kasus tindak pidana.
Ketika terjadi perang adat,
ada masa ketika Kapolres akan memberikan arahan kepada masyarakat yang ikut
berperang. Ketika pemerintah memberikan wejangan atau arahan kepada masyarakat
ketika perang suku terjadi, masyarakat juga masih mendengarkan dengan saksama
arahan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Puncak Jaya masih
mengakui dan menghargai keberadaan pemerintah, melalui keberadaan Kapolres dan
Dandim.
Gambar 4
Kapolres
memberikan arahan kepada pihak-pihak yang berperang
2.
Kendala yang Dihadapi Polri dalam Upaya Penegakan
Hukum Positif di Puncak Jaya, Papua
Masyarakat Puncak Jaya
merupakan masyarakat adat yang mendiami wilayah di pegunungan tengah Papua, di
Puncak Jaya. Masyarakat Papua dan yang mendiami wilayah pegunungan terutama, terkenal
sebagai masyarakat yang sering berperang baik itu perang antar suku maupun
perang antar kampung. Bisa dikatakan bahwa berperang adalah cara masyarakat Puncak
Jaya dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Walau masyarakat Puncak Jaya
sering berperang, namun tidak semua masalah selalu diselesaikan dengan perang
kampung/ suku. Terkadap beberapa masalah bisa diselesaikan dengan negosiasi dan
mediasi. Pada ratah inilah Kepolisian memiliki peranan yang penting dalam
menyelesaikan masalah yang terjadi, sehingga jangan sampai berlanjut hingga ke perang
antar suku/ antar kampung. Penerapan restorative justice sebagai suatu
upaya yang diterapkan kepolisian dalam menyelesaikan kasus pidana di Polres
Puncak Jaya.
Penerapan hukum adat lebih
diminati di Puncak Jaya dibandingkan dengan hukum positif negara. Hal tersebut
dikarenakan masyarkat Puncak Jaya yang belum mengetahui serta memahami
sepenuhnya akan keberadaan hukum positif nasional tersebut. Hal tersebut yang
kemudian menjadi kendala bagi pihak kepolisian dalam menerapkan hukum positif
nasional di Puncak jaya.
Masyarakat Puncak Jaya sudah
hidup dengan hukum adat sejak dahulu kala, jauh ke belakang sejak masa nenek
moyang mereka. Lokasi Puncak Jaya yang berada di pegunungan Papua dengan akses
transportasi terbatas, ketiadaan fasilitas listrik yang memadai serta fasilitas
internet menjadikan Puncak Jaya tidak dapat mengakses informasi yang bebas.
Sangat berbeda jika dibandingkan dengan daerah yang memiliki akses transportasi
dan ketersediaan listrik serta internet yang memadai. Kemudian keberadaan wilayah
Puncak Jaya yang memang bisa dikatakan sangat jauh dari pusat pemerintahan
provinsi terlebih pusat pemerintahan negara, menjadi alasan lainnya.
Hal tersebut kemudian
menjadi kendala lain yang mengakibatkan terbatasnya informasi masuk ke uncak
Jaya, sehingga masyarakat tidak terbiasa untuk mengetahui hal-hal yang berada
diluar daerah dan berada diluar dari kebiasaan hidup yang mereka jalani,
termasuk di dalamnya keberadaan akan hukum positif nasional.
Hukum adat di Papua identik
dengan membayar denda sebagai hukuman yang berlaku bagi pelaku. Pembayaran
denda dianggap sebagai ganti rugi pelaku kepada korban atas apa yang sudah
pelaku lakukan, sebagai alat untuk mengganti kerusakan/ kehilangan yang
disebabkan oleh pelaku. Dalam menentukan jumlah denda adat masyarakat Papua identik
dengan mematok harga yang fantastis, ratusan juta hingga miliar rupiah. Uang
hasil denda adat tidak hanya diberikan kepada korban saja, tapi juga akan
diberikan kepada saudara-saudara dari korban yang masih satu suku atau satu
kampung. Jadi jika sudah pembayaran denda adat, maka yang memperoleh dana adat
bukan hanya korban tapi juga masyarakat satu kampung (Retnowulan, 2017).
Hal tersebut yang kemudian
tidak didapatkan ketika suatu kasus tindak pidana diselesaikan dengan hukum
pidana positif nasional. Selayaknya hukuman dalam tindak pidana hukum positif,
maka biasnaya pelaku akan dihukum dengan kurungan penjara bukan dengan denda
uang atau denda adat. Anggapan masyarakat bahwa hukuman belum dilaksanakan ketika
belum terjadi pembayaran denda adat.
Selain memegang teguh
nilai-nilai serta adat istiadat yang ada, masyarakat Puncak Jaya juga
mempercayai dan menghormati hal-hal yang berbau mistis. Hal tersebut dapat
dilihat ketika terjadi kasus penemuan mayat, masyarakat akan langsung membakar
mayat yang ditemukan karena dianggap meninggalnya dengan tidak wajar. Jadi masyarakat
percaya bahwa seseorang yang meninggal dengan cara tidak wajar, mayatnya harus
dibakar.
Hal tersebut tentu saja
menjadi kendala bagi Polisi dalam melakukan tugasnya, karena tidak akan bisa
lagi dilakukan olah TKP (Tempat Kejadian Perkara), bahkan mayat tersebut tidak
akan bisa diautopsi untuk diketahui apa penyebab kematiannya. Padahal melakukan
olah TKP sangat penting bagi polisi dalam menjalankan tugasnya untuk mencari
tahu apa yang terjadi dengan kematian tersebut.
Bakar batu merupakan suatu
ritual yang sakral bagi masyarakat Papua, khususnya Puncak Jaya. Prosesi Bakar
Batu tidak hanya dilakukan sebagai tanda bahwa sudah berakhirnya perang, namun
Bakar Batu juga dilakukan ketika perang akan dimulai. Ketika proses Bakar Batu
sebelum terjadinya perang, di situ nantinya akan ketahuan apakah perang bisa
dilanjutkan atau tidak berdasarkan dari tanda-tanda alam yang ditunjukkan ketika
Bakar Batu dilaksanakan. Jadi masyarakat Papua sangat menjunjung tinggi adat
istiadat serta keyakinan yang ada di masyarakat.
B.
Pembahasan
1.
Peran Kepolisian
dalam Upaya Penegakan Hukum
Positif di Wilayah Puncak
Jaya, Papua
Jika
merujuk kepada Pasal 5 Ayat 1 UU Kepolisian, Kepolisian memiliki peran untuk memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Penegakan hukum mensyaratkan polisi untuk berdiri diatas
peraturan hukum (Siregar, 2014). Namun di sisi lain Polisi juga harus mengemban tugas sosial kemasyarakatan, yang mana harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kedua hal tersebut
menimbulkan gap di dalam implementasinya, karena di satu sisi polisi
harus tetap melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku. Namun juga di satu sisi juga harus mempertimbangkan nilai-nilai yang
terkandung di masyarakat, dimana tak jarang
nilai-nilai tersebut tidak sejalan dengan
peraturan yang berlaku. Seperti yang terjadi di Puncak Jaya, Polisi sebagai aparat negara yang memiliki tugas untuk menegakkan hukum positif yang ada di dalam negara. Namun di satu sisi,
Puncak Jaya merupakan
wilayah yang masih menjunjung
tinggi adat istiadat dan nilai luruh budaya. Dimana masyarakat masih belum mengetahui sepenuhnya akan keberadaan hukum adat, sehingga ketika kasus tindak
pidana terjadi seringnya kasus tindak pidana tersebut
akan diselesaikan di luar dari pada hukum positif nasional.
Pihak kepolisian
tidak bisa memaksakan bahwa suatu kasus harus
diselesaikan dengan jalur pidana atau
tidak, karena keputusan tersebut sepenuhnya terletak pada pihak yang terlibat kasus tindak pidana.
Pihak kepolisian Puncak Jaya hanya sebatas menjadi mediator dari jalannya proses yang sudah disepakati bersama. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Puncak Jaya merupakan masyarakat yang masih menerapkan hukum adat dalam menyelesaikan
kasus tindak pidana yang terjadi (Nurwijayanti, 2019).
Penerapan hukum adat di Puncak Jaya merupakan solusi dalam menyelesaikan kasus tindak pidana
di Puncak Jaya, mengingat masyarakat Puncak Jaya yang sering berperang jika merasa kepentingannya
tidak diakomodir atau mereka tidak
mendapatkan keupuasan akan suatu perkara
yang terjadi. Hal tersebut dikarenakan masih berlakunya istilah darah dibalas darah,
dan kepala dibalas dengan kepala di Puncak Jaya (Nurani, Absori, & Khudzaifah Dimyati, 2019).
Keberadaan hukum adat diakui oleh negara, hal tersebut seperti
yang tertera pada Pasal 18B
Ayat (2) UUD 1945, dimana disebutkan
bahwa Negara mengakui dan menghormati kesataun-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang. Maka dari itu hukum adat
yang ada di Puncak Jaya diakui keberadaannya oleh negara,
sebagai hukum adat yang masih digunakan oleh masyarakat Puncak Jaya serta tidak melanggar aturan dan prinsip NKRI yang berada dalam konstitusi.
Keberadaan hukum adat di Puncak Jaya bisa dilihat sebagai
hukum yang menyatukan masyarakat Puncak Jaya yang sedang berkonflik. Kasus-kasus tindak pidana yang terjadi di Puncak Jaya akan selesai jika diselesaikan
dengan hukum adat, hal tersebut
dikarenakan masyarakat yang
masih mengakui dan menghormati adat istiadat yang mereka miliki.
Keberadaan hukum adat dan peradilan adat sebagai bagian
dari sistem kehakiman yang ada di Papua juga terdapat pada Pasal 50 Ayat 1 UU
Otsus bahwa, kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian ditambahkan pada Ayat 2
UU yang sama bahwa, di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada Ayat 1, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat
hukum adat tertentu. Masyarakat Kabupaten Puncak Jaya terdiri dari suku-suku yang mendiami wilayah pegunungan tengah Papua, yang terdiri dari Suku Lani/Dani, Suku Damal, Suku Dawa, Suku Wano, Suku
Nduga, Suku Turu dan Sebagian kecil
pendatang.� Namun suku Dani merupakan suku mayoritas yang mendiami wilayah Puncak Jaya.
Ketika
terdapat suatu kasus tindak pidana
di Puncak Jaya dan ada satu pihak yang merasa keinginannya tidak diakomodir, maka pihak tersebut
akan marah-marah serta melakukan ancaman. Dimana hal tersebut bisa saja
menyebabkan pecahnya perang antar suku
atau perang antar kampung. Seperti yang sudah disebutkan di awal, bahwa masyarakat
Puncak Jaya merupakan masyarakat komunal. Ketidakpuasan dari masyarakat ketika keinginannya tidak terpenuhi itulah yang kemudian dapat memunculkan satu masalah baru ketika
penyelesaian kasus tindak pidana terjadi
di Papua. Mulai dari maasalah
kecil hanya ancam-mengamcam sampai terjadi perang suku. Hal tersebut yang kemudian menjadi pertimbangan pihak kepolisian Puncak Jaya, untuk mengikuti kemauan masyarakat agar menyelesaikan kasus tindak pidana yang terjadi di Puncak Jaya dengan hukum adat.
Dalam memberikan kepuasan bagi semua lapisan
masyarakat.
Pada
akhirnya fungsi hukum juga untuk memberikan kepuasan, jadi ketika masyarakat
sudah mendapatkan kepuasan, kedua belah pihak sudah
mendapatkan kepuasan maka bisa dikatakan
bahwa polisi sudah melakukan perannya dalam melakukan upaya penegakan hukum. Dimana Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam lalu lintas
atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Penegakan hukum secara konkret dapat dilihat dengan
berlakunya hukum positif di dalam praktik yang harus ditaati. Jadi memberikan keadilan di dalam suatu perkara berarti
memutuskan hukum in concreto di dalam menjamin dan mempertahankan ditaatinya suatu hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum
formal.� Menyelesaikan
kasus tindak pidana dengan restorative justice
merupakan upaya yang dilakukan polisi untuk melakukan penegakan hukum dengan memberikan keadilan bagi dua
pihak yang terlibat dalam kasus tindak
pidana.
Sudikno Mertokusumu
menjelaskan bahwa dalam upaya penegakkan
hukum terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu:
a.
Kepastian Hukum (rechtssicherheit)
Hukum
haruslah dilaksanakan dan ditegakkan, setiap orang mengharapkan bahwa hukum dapat diterapkan
dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit.
b.
Manfaat (zweckmassigkeit)
Manfaat
sebagai pelaku dalam pelaksanaan hukum mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan
hukum tersebut. keberadaan hukum adalah untuk manusia,
maka manusia juga harus mendapatkan manfaat dari hukum
tersebut.
c.
Keadilan (gerechtigkeit)
Dalam
proses penegakan hukum, sangat penting yang namanya keadilan. Barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap hukum, maka harus
dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang melanggar hukum.
Penerapan restorative justice di Puncak Jaya sudah memenuhi unsur penegakan hukum yang disebutkan oleh Sudikno Martokusumo tersebut. Dimana penerapan keadilan restoratif dapat memberikan kepastian akan ditegakkannya hukum atas pelanggaran
tindak pidana yang terjadi. Pelaku dari tindak pidana
akan mempertanggung jawabkan tindakannya, mengakui kesalahannya, meminta maaf serta
mengembalikan/ mengganti rugi kerusakan/ kehilangan yang dia perbuat. Sehingga hal tersebut diharapkan
mampu untuk memberikan efek jera kepada si
pelaku, agar ke depannya dia tidak
akan melakukan tindakan yang sama lagi. Jadi dalam pelaksanaan keadilan restoratif ketiga unsur dalam menegakkan
hukum dapat dipenuhi, yaitu penegakan hukum itu sendiri, manfaat
yang diperoleh bukan hanya oleh satu pihak melainkan semua pihak. Dan yang ketiga adalah keadilan.
2.
Penegekan Hukum Positif di Puncak
Jaya
Penegakan hukum positif di Puncak Jaya dilaksanakan oleh Polri sebagai aparat penegak hukum yang bertugas dalam penegakan hukum. Menurut Baringbing, Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan segala keinginan-keinginan dalam hukum agar dapat menjadi suatu
kewajiban yang ditaati oleh
masyarakat. �Soerjono Soekanto menambahkan bahwa penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah. Lalu sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Tujuan
utama dari penegakan hukum adalah untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan
kedamaian yang ada di masyarakat. Restorative justice sebagai
pendekatan dalam menyelesaikan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Kepolisian Resor Puncak Jaya dalam upaya penerapan hukum positif di Puncak Jaya. Upaya penegakan hukum di Puncak Jaya dilaksanakan Polri dengan menerapkan metode pendekatan keadilan restoratif. Hal tersebut berklandaskan kepada Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 Tanggal 27 Juli 2018.
Landasan diberlakukannya
keadilan restoratif berlandaskan kepada Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan
Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice). Pendekatan restorative justice akan menghasilkan bahwa kasus tindak
pidana yang terjadi akan diselesaikan dengan hukum adat.
Hukum
adat adalah aturan yang tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu daerah,
dan akan tetap hidup selama masyarakatnya
masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka dari
nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu, keberadaan
hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri
walaupun hukum adat tidak tertulis
dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada
dan hidup di dalam masyarakat.
Masyarakat
Papua telah menerapkan hukum adat sejak
jaman dahulu, bahkan sebelum dibentuknya Polres Puncak Jaya di Kabupaten Puncak Jaya. Keberadaan hukum adat sudah
diwarisi masyarakat Puncak Jaya sejak jaman pendahulunya, sejak jaman nenek
moyangnya. Hukum adat di Puncak Jaya hidup di dalam masyarakat dan menjadi metode yang diguanakan masyarakat dalam menyelesaikan kasus tindak pidana
yang terjadi.
Lawrence
M. Friedman berpendapat bahwa
untuk melihat berhasil atau tidaknya
suatu penegakan hukum bergantung pada:
1)
Substansi hukum (legal substance)
Dalam
teori Lawrence, substansi hukum dikatakan sebagai sistem substansial yang menentukan bahwa bisa atau
tidaknya hukum tersebut dilaksanakan.
2)
Struktur hukum/ pranata hukum (legal structure)
Dalam
teori Friedman dikatakan bahwa sistem struktural
yang menentukan bisa atau tidaknya hukum
dilaksanakan dengan baik.
3)
Budaya hukum (legal culture)
Hukum
merupakan sikap manusia terhadap hukum yang lahir melalui kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya yang berkembang menjadi satu di dalamnya.
Jadi
menurut Lawrence, ada tiga ukuran untuk
melihat berhasil atau tidaknya suatu
penegakan hukum, yaitu 1) Substansi hukum, 2) Struktur hukum, dan 3) Budaya hukum. Kemudian akan dibahas secara
satu persatu.
Substansi hukum. Menurut Lawrence substansi hukum dikatakan sebagai suatu sistem
substansial yang menentukan
bahwa bisa atau tidaknya hukum
tersebut dilaksanakan.
Hukum adat tentu saja bisa dilaksanakan
dan sah untuk dilaksanakan. Keberadaan hukum adat diakui
oleh negara, hal tersebut terdapat dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, dimana
disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesataun-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.
Struktural hukum.
Dalam penegakan hukum terdapat badan-badan struktural
yang membantu hukum tersebut untuk ditegakkan. Polri memiliki tugas sebagai aparat penegak hukum,� jadi
Polri adalah aparat yang bertugas dalam melakukan penegakan hukum di Puncak Jaya.
Budaya Hukum. Hukum adat
lahir dari nilai-nilai, kepercayaan serta harapan masyarakat
adat Puncak Jaya. Hukum adat di Puncak Jaya hidup di dalam masyarakat dan akan tetap berada dalam
masyarakat, karena hukum adat merupakan
bagian dari masyarakat Puncak Jaya. Tentunya hal-hal yang terdapat di dalam hukum adat masyarakat
Puncak Jaya tidak akan bertentangan dengan adat istiadat
juga kebiasaan masyarakat Puncak Jaya. Hukum adat yang ada dalam masyarakat
Puncak Jaya juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam NKRI.
3.
Kendala yang Dihadapi oleh Polri dalam Upaya Penegakan Hukum Positif di Puncak Jaya, Papua
Masyarakat
Puncak Jaya merupakan masyarakat hukum adat yang mendiami wilayah di Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Masyarakat
Puncak Jaya sangat memegang teguh nilai-nilai luhur serta adat istiadat
dan kebiasaan yang ada.
Sejak dahulu penerapan hukum adat atas
setiap kasus tindak pidana yang terjadi di Papua sudah menjadi kebiasaan masyarakat Puncak Jaya, hukum adat sudah
menjadi bagian dari masyarakat Puncak Jaya. Pada dasarnya masyarakat mengakui akan keberadaan hukum positif nasional,
masyarakat juag mengakui akan keberadaan
Polisi sebagai aparat penegak hukum. Hal tersebut bisa dilihat bahwa
ketika terjadi tindak pidana, masyarakat akan datang ke kantor
polisi. Juga ketika terjadi perang adat, Kapolres merupakan salah satu pihak yang menjadi mediator.
Namun keberadaan
hukum adat sudah menjadi identitas
dari Masyarakat Adat Puncak Jaya, sudah ada sejak dahulu
bersama dengan leluhur mereka dan jika dibandingkan dengan keberadaan hukum politik nasional
tentu sangat berbeda. Oleh karena itu mengenalkan sesuatu yang baru bukanlah perkara yang mudah, membutuhkan kerjasama dari semua pihak. Karena tak jarang terkadang
masyarakat justru bingung dan tidak mengetahui sepenuhnya jika terdapat hukum
positif nasional.
Jika
bersumber kepada hukum positif negara, maka seharunya penegakan hukum atas kasus tindak
pidana yang terjadi di Puncak Jaya berpedoman kepada KUHP. Namun di Puncak Jaya jika terjadi kasus tindak
pidana, masyarakat meminta kepada kepolisian agar kasus yang terjadi diselesaikan secara hukum adat
saja. Jadi dalam proses penyelesaian kasus tindak pidana tersebut,
polisi bertindak sebagai mediator dalam upaya penyelesaian kasus yang terjadi.
Hukum
positif merupakan sederet asas dan kaidah hukum yang berlaku saat ini,
berbentuk ke dalam lisan maupun
tulisan yang keberlakuan hukum
tersebut mengikat secara khusus dan umum. Dimana hal tersebut mengikat secara khusus dan umum yang ditegakkan oleh lembaga peradilan atau pemerintahan yang hidup dalam suatu
Negara.� Hukum positif
nasional akan lebih sulit diterapkan
di tengah masyarakat yang lebih cenderung untuk menerapkan hukum adat dalam
menyelesaikan kasus tidank pidana. Begitu pula yang terjadi di Puncak Jaya, Polisi sebagai aparat hukum yang bertugas dalam memelihara keamanan serta menegakkan hukum, memiliki kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya menerapkan hukum positif nasional
di Puncak Jaya.
Penerapan hukum positif nasional di wilayah yang memegang teguh yang masyarakatnya belum terbiasa sepenuhnya akan keberaadaan hukum positif nasional,
seperti Kabupaten Puncak Jaya tentu saja bukan pekerjaan
yang mudah. Hal tersebut tentu saja menjadi
tantangan tersendiri bagi Kepolisian Resor Puncak Jaya. Bukannya Polisi tidak memberitahu
untuk menyelesaikan kasus tindak pidana
yang dihadapi warga untuk diselesaikan dengan hukum positif
nasional, namun yang kemudian menjadi kendala adalah keberadaan hukum positif nasional yang masih terasa asing
di tengah masyarakat serta hukum adat
yang sudah menjadi bagian dari masyarakat.
Dalam banyak kasus tindak pidana yang terjadi di Puncak Jaya, masyarakat lebih cenderung untuk menyelesaikan kasus tindak pidana yang terjadi dengan hukum adat atau
secara kekeluargaan, dibandingkan diselesaikan dengan hukum positif
nasional yang berlandaskan kepada KUHP.
Permasalahan hukuman
yang diterima pelaku atas kasus tindak
pidana yang dilakukannya, menjadi salah satu pertimbangan yang menjadikan masyarakat Puncak Jaya enggan untuk menerapkan
hukum positif nasional. Jika mendasar kepada hukum positif
nasional dalam hal tersebut adalah
KUHP, jika terjadi suatu kasus tindak
pidana maka pelaku tindak pidana
akan dihukum dengan kurungan penjara. Namun jika menerapkan hukum adat, maka
pelaku akan dihukum dengan membayar denda adat (Ismantoro Dwi Yuwono, 2018).
Terkait denda adat yang terjadi di Papua secara umum dan Puncak Jaya secara khusus, masyarakat Puncak Jaya tidak pernah meminta nominal yang rendah sebagai denda adat. Nominal yang dikeluarkan berkisar ratusan hingga miliaran rupiah. Hal ini kemudian yang tidak akan didapatkan oleh masyarakat ketika kasus tindak pidana
diselesaikan secara hukum pidana nasional.
Masyarakat
Puncak Jaya merupakan masyarakat komunal, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai bersama yang dengan mudah menggugah
kesadaran orang untuk merasa, berfikir dan bertindak secara bersama-sama. Ciri lain dari masyarakat komunal adalah memiliki ikatan yang kuat sesama saudara. Hal tersebut pada dasarnya memiliki sisi yang baik, karena masyarakat
akan kuat dan saling membantu antara satu dan yang lain. Namun hal tersebut
juga ternyata mempunyai sisi negatif, ketika
dengan alasan yang sama menjadikan masyarakat tidak bisa bekerjasama dengan pihak kepolisian.
Ketika
terjadi suatu kasus tindak pidana
dan polisi sudah mengetahui siapa pelaku dari tindak
pidana tersebut, kemudian polisi akan melakukan pencarian ke kediaman
pelaku. Ternyata sesampainya di kediaman pelaku, keluarga bahkan tetangga dari pelaku akan
berusaha menutup-nutupi keberadaan pelaku. Mengatakan bahwa pelaku tidak tinggal
di tempat itu atau alasan-alasan lainnya. Hal tersebut tentu saja tindakan
yang menghambat kinerja polisi dalam menangkap
pelaku dari tindak pidana dan menegakkan hukum serta menjaga keamanan.
Padahal penegakan hukum dan menjaga keamanan merupakan tugas pokok Polri.
Menjadi kebiasaan masyarakat Puncak Jaya untuk membakar setiap mayat yang meninggal dengan cara tidak wajar,
hal tersebut berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Puncak Jaya. Dimana proses pembakaran
mayat tersebut jutru menghalangi tugas Polisi dalam
melakukan pengidentifikasian
akan penyebab meninggalnya mayat tersebut. Dengan dibakarnya mayat tersebut, maka proses olah TKP tidak akan bisa dilakukan
dengan sepenuhnya.
Kesimpulan
Masyarakat Puncak Jaya merupakan masyarakat hukum adat yang
memegang teguh nilai dan adat istiadat serta kebiasaan-kebiasaan leluhurnya.
Hukum adat sebagai hukum yang berasal dari masyarakat Puncak Jaya, dan telah
hidup bersama dengan masyarakat Puncak Jaya. Keberadaan hukum adat diakui oleh
negara, hal tersebut terdapat dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, dimana
disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesataun-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
Kepolisian Resor Puncak Jaya adalah aparat penegak hukum yang
berugas dalam memelihata keamanan dan penegakan hukum di Puncak Jaya. Tujuan
utama dari penegakan hukum adalah untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian yang ada di masyarakat. Restorative Justice sebagai
pendekatan dalam menyelesaikan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh
Kepolisian Resor Puncak Jaya dalam upaya penerapan hukum positif di Puncak
Jaya. Upaya penegakan hukum di Puncak Jaya dilaksanakan Polri dengan menerapkan
metode pendekatan keadilan restoratif. Hal tersebut berklandaskan kepada Surat
Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 Tanggal 27 Juli 2018.
Hukum adat tidak akan bisa dihilangkan dari masyarakat,
mengingat hukum adat telah hidup sejak lama dengan masyarakat Puncak Jaya. Maka
keadilan restoratif sebagai solusi yang dilakukan oleh Kepolisian Resor Puncak
Jaya dalam upaya penegakan hukum positif di Polres Puncak Jaya. Dimana dengan
keadilan restoratif hukum tetap berjalan, kedamaian serta ketertiban masyarakat
juga akan berjalan. Karena pada akhirnya tujuan dari keberadaan hukum adalah
untuk memberikan kepuasan kepada semua pihak yang terlibat kasus tindak pidana.
Abubakar,
Lastuti. (2013). Revitalisasi hukum adat sebagai sumber hukum dalam membangun
sistem hukum Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, 13(2), 319�331. Google Scholar
Ishaq, H., & SH,
M. (2017). Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi Tesis Serta Disertasi.
Bandung: Alfabeta. Google Scholar
Ismantoro Dwi
Yuwono, S. H. (2018). Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap
Anak. Media Pressindo. Google Scholar
Ismi, Hayatul.
(2012). Pengakuan dan perlindungan hukum hak masyarakat adat atas tanah ulayat
dalam upaya pembaharuan hukum nasional. Jurnal Ilmu Hukum, 3(1). Google Scholar
Munandar, M. Aris.
(2019). Pohon Impian Masyarakat Hukum Adat: Dari Substansi Menuju Koherensi.
Uwais Inspirasi Indonesia. Google Scholar
Nurani, Siti Syahida,
Absori, S. H., & Khudzaifah Dimyati, S. H. (2019). Tindak Pidana
Perkosaan: Studi Tentang Aspek Transendental Pada Putusan Pengadilan Di Nusa
Tenggara Timur. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Google Scholar
Nurwijayanti,
Nurwijayanti. (2019). Rekonstruksi Pengaturan Penyidikan Tindak Pidana
Penggelapan Yang Berbasis Restorative Justice. Universitas Islam Sultan
Agung. Google Scholar
Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2019). Sistem, Manajemen dan Standar
Keberhasilan Operasional Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Purba, Bantu.
(2011). Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Masyarakat Hukum
Adat Suku Sakai (Studi Tentang Peraturan Hukum dan Implementasinya terhadap
Kebijakan Pemerintah yang Menimbulkan Konflik Masyarakat Suku Sakai di
Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis Pr. Universitas Islam Indonesia. Google Scholar
Retnowulan, Intan.
(2017). Analisis hukum pidana Islam terhadap uqubah pemerkosaan dalam Qanun
Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat. UIN Walisongo. Google Scholar
Siregar, Chairil Nur.
(2014). Membangun Perilaku Masyarakat Atambua Melalui Pemanfaatan Potensi
Daerah Dan Keamanan Perbatasan Republik Indonesia Dengan Republik Demokratik
Timor Leste. Jurnal Sosioteknologi, 13(2), 147�159.
Syarief, Elza. (2014). Menuntaskan
Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan. Kepustakaan Populer Gramedia.
Tuharea, Farida.
(2014). Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Visa Menurut
Undangundang Nomor 06 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Legal Pluralism:
Journal of Law Science, 4(2). Google Scholar
Ary Purwanto (2021) |
First publication right: Journal Syntax Idea |
This article is licensed under: |