Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����
Vol. 3, No. 5, Mei 2021
HAKEKAT CINTA DAN
PERANNYA BAGI ETIKA HUMANISTIK ERICH FROMM
Sonia Visita Here
Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
This study aims to determine how Erich Fromm's views on love, as well as
to see the position of love in the whole building of Erich Fromm's Humanistic
Ethics, especially in the social life of modern society today. The research
method used to achieve these goals is literature study. Erich Fromm has a unique
view of love. Love according to Erich Fromm is art. The art of love is
manifested in active actions and is fully recognized by humans as subjects.
Erich Fromm's view is his criticism of society who misunderstands love. This
misunderstanding causes love to fail to become a way out of human alienation.
People during Erich Fromm's time practiced love passively, namely positioning
themselves and others as objects of love. More or less the same thing is still
experienced by modern society today. In his ethics, Erich Fromm is of the view
that humans must go through a harmonious individuation process so that they can
achieve a productive character. This productive human character is capable of
being the real subject or actor in the act of thinking, working, and loving. In
modern times, the use of the internet in all sides of people's lives creates
both convenience and difficulty for humans to become productive individuals so
that they can become artists of love.
Keywords: love;
humanistic ethic; alienation; individualization; productive character
Abstrak
Penelitian ini ditujukan untuk
mengetahui bagaimana pandangan Erich Fromm mengenai cinta, serta untuk
melihat posisi cinta dalam bangunan
utuh Etika Humanistik Erich
Fromm khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat modern masa kini. Metode
penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah studi pustaka.
Erich Fromm memiliki pandangan
yang unik mengenai cinta. Cinta menurut Erich Fromm adalah seni. Seni mencinta terwujud dalam tindakan aktif dan disadari secara penuh oleh manusia sebagai subyek. Pandangan Erich Fromm ini adalah kritiknya
pada masyarakat yang salah memaknai
cinta. Kesalahpahaman ini menyebabkan cinta gagal menjadi
jalan keluar dari keterasingan manusia. Masyarakat pada masa Erich Fromm justru mempraktikkan cinta secara pasif
yaitu memposisikan diri sendiri dan orang lain sebagai obyek cinta.
Hal yang kurang lebih sama masih dialami
oleh masyarakat modern masa kini.
Dalam etikanya, Erich Fromm berpandangan
bahwa manusia haruslah melalui proses individuasi dengan harmonis sehingga dapat mencapai karakter produktif. Karakter manusia yang produktif inilah yang mampu menjadi subyek
atau aktor yang sesungguhnya dalam tindakan berpikir, bekerja, serta mencinta. Pada masa modern kini, pemanfaatan internet di semua sisi kehidupan masyarakat menciptakan kemudahan sekaligus kesulitan bagi manusia untuk menjadi
pribadi yang produktif sehingga mampu menjadi seniman cinta.
Kata
Kunci: cinta; etika humanistic; keterasingan individuasi; karakter produktif
Pendahuluan
Erich
Fromm adalah seorang pemikir yang banyak menerima pengaruh dari dua pemikir
besar sebelumnya, yaitu Sigmund Freud dan Karl Marx (Fromm, 2017a)
(Durkin, 2014), (Friedman & Friedman, 2013).
Pada
tahun 1956 Fromm menerbitkan buku yang berjudul The Art of Loving untuk
pertama kali. Buku ini ditulis dengan latar belakang sesudah perang
dunia kedua sekaligus periode awal revolusi industri ketiga. Dilema dalam hubungan
sosial antar manusia yang terjadi pada masa itu menjadi pusat perhatian Fromm
dalam buku ini. Fromm berusaha menjelaskan masalah-masalah dalam hubungan
sosial yang disebabkan oleh kesalahan dalam memaknai cinta. Alih -alih
damai dan membawa kebahagiaan, hal yang dianggap sebagai cinta oleh masyarakat
pada masa itu justru seringkali mengarah pada kekecewaan dan kegagalan dalam
hubungan. Fromm meyakini bahwa struktur sosial kapitalis turut melatarbelakangi
kesalahpahaman ini. Terrdapat tiga kesalahanpahaman
umum mengenai cinta yang dilakukan masyarakat, sebagai berikut (Fromm, 1956): (a.) Manusia berusaha menjadi yang
dicintai, manusia berusaha membuat dirinya sedemikian rupa sehingga
menjadi yang layak dicintai oleh manusia lain. Fokus manusia adalah how to
be loveable? Hal ini adalah salah kaprah menurut Fromm. Manusia sebagai
subyek cinta semestinya bertindak aktif mencintai, bukan memposisikan diri
sebagai yang pasif dicintai. (b.) Manusia berpikir bahwa
masalah cinta adalah masalah mengenai obyek cinta, melanjutkan dari poin
pertama, manusia berpikir bahwa akar dari masalah cinta adalah pada obyek cinta.
Sedangkan bagi Fromm, masalahnya adalah bagaimana menjadi seorang yang ahli dalam
hal mencintai. Manusia berpikir bahwa cinta atau mencintai adalah hal yang sederhana.
Hal yang sulit dalam cinta adalah menemukan obyek yang
tepat untuk dicintai. (c.) Kesalahan dalam penggunaan
istilah �jatuh cinta�, Fromm sangat menentang
istilah jatuh cinta. Daripada menggunakan istilah falling in love, Fromm
lebih menyarankan istilah standing in love. Istilah jatuh cinta merujuk
pada situasi dimana dua manusia sama-sama meruntuhkan tembok keterasingan,
menjadi semakin intim satu sama lain, merasakan kegembiraan yang luar biasa,
dan menjadi sangat antusias dalam menjalani hidup. Hal tersebut menurut Fromm
adalah alamiah dan tidak bertahan lama. Namun, segera ketika kedua manusia itu
makin saling mengenal, keintiman diantara mereka mulai hilang, nampak sifat
buruk masing-masing, timbul kekecewaan, kebosanan, hingga kemudian membunuh
semua sisa-sisa kegembiraan dari periode awal jatuh cinta.
Fromm
menjelaskan bahwa jatuh cinta merujuk pada tindakan pasif, dimana manusia
didorong oleh gairah yang tidak ia sadari. Ia tidak bertindak sebagai subyek
atau aktor yang sesungguhnya. Ia memposisikan diri sebagai obyek sehingga tidak
bertindak bebas dan rasional. Sedangkan standing in love, atau berdiri teguh
dalam cinta, adalah tindakan aktif. Cinta menurut Fromm hanya dapat
dipraktikkan dalam kebebasan. Manusia semestinya bertindak sebagai subyek atau
aktor yang sesunguhnya ketika mencinta.
Bagi
Fromm cinta semestinya dimaknai sebagai seni. Selayaknya seniman tidak akan
menjadi ahli dengan begitu saja, seorang seniman cinta juga semestinya
mempelajari dan mempraktekan seni mencinta hingga menjadi ahli. Menganggap cinta
sebagai hal sehari-sehari telah mendorong masyarakat pada zaman Fromm jatuh
dalam kesalahpahaman dalam memaknainya. Hal ini menarik untuk ditelisik lebih
dalam, apakah kondisi yang kurang lebih sama masih dialami oleh masyarakat
modern masa kini yang hidup dalam era internet.
Terdapat� dua hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini. Hipotesis pertama adalah bahwa pandangan Erich Fromm mengenai cinta tetap
relevan bagi masyarakat modern masa kini yang hidup di era internet. Serta juga
bahwa masyarkat masa kini masih mengalami kesalahpahaman dalam memaknai cinta
sehingga juga gagal melampaui keterasingannya melalui hubungan cinta. Hipotesis
yang kedua adalah bahwa cinta sebagai bagian penting dan tak terpisahkan dari bangunan
utuh Etika Humanistik Erich Fromm. Relasi sosial merupakan ciri kemanusiaan
sehingga cinta akan selalu menjadi hal esensi bagi kehidupan manusia. Oleh
karenanya, penting untuk mengkaji pandangan Erich Fromm tentang cinta sebagai bagian
dari Etika Humanistik.
Menurut (Fuchs, 2020)
menulis sebuah penelitian yang menarik, berjudul Erich Fromm and the Critical Theory of Communication.
Dalam penelitian ini Fuchs mengupas peran komunikasi menurut pandangan Erich Fromm dalam kehidupan masyarakat modern masa kini. Komunikasi merupakan bagian penting dalam relasi
sosial. Namun, dalam penelitiannya ini Fuchs tidak membahas mengenai seni mencinta yang sebenarnya ditekankan oleh Fromm.
Bagi Fromm, manusia terhubung
dengan dirinya sendiri, lingkungan sosial, dan dunianya sebagai seniman cinta. Oleh karena itu, sesuai dengan
hipotesis yang diajukan, penelitian ini bertujuan ini melihat
pandangan Erich Fromm mengenai
hakekat cinta dan posisinya dalam bangunan utuh etika
humanistic yang tak lepas dalam kehidupan sosial masyarakat modern masa kini.
Metode
Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan adalah studi pustaka. Guna mendalami pemikiran Erich
Fromm tentang cinta dan etika humanistik, beberapa buku yang dijadikan acuan
adalah The Art of Loving, Escape from Freedom, Fear of Freedom, Man for Himself, dan Sane
Society. Selanjutnya untuk mengkaji relevansi pemikiran Erich Fromm dengan
kehidupan manusia modern masa kini, buku yang dijadikan acuan adalah Digital
Sosiology karya Deborah Lubton serta beberapa jurnal penunjang.
Hasil dan Pembahasan
1.
Keterasingan
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa menjadi seniman
cinta tidak jadi dengan begitu
saja. Proses menjadi seniman cinta terjadi
dalam proses individuasi
yang terjadi sepanjang hidup manusia. Individuasi diawali dengan sebuah tragedi.
Fromm menjelaskan bahwa awal tragedi ini
adalah ketika seorang anak mulai
menyadari bahwa dirinya adalah individu yang tidak satu dengan ibunya.
Ia mulai sadar mengenai konsep tentang aku dan orang lain. Ia sadar bahwa ia
sendirian, ia adalah individu yang berbeda dan terpisah dari ibu dan dunia. Ia berada di tengah
dunia, tetapi tidak satu dengan dunia. Ia mengalami keterasingan.
Asing dengan dirinya sendiri, dan tentu saja dengan dunia.
Keterasingan ini
membuat manusia merasa kosong, sendirian, dan tak berdaya (Erich, 1969). Inilah kenapa manusia
seringkali merasa sepi padahal berada
di tengah padatnya aktivitas atau keramaian sosial. Ia tidak mampu
menyatu dengan dunia di sekitarnya. Inti dirinya tidak terhubung dengan inti dari fenomena di hadapannya. Dalam cinta, ketidakmampuan meruntuhkan dinding keterasingan dan menjalin relasi inti diri ke inti diri pasangan
menyebabkan kedua belah pihak masih
tetap asing satu sama lain. Fromm berpendapat, bahwa hal inilah yang menjadi penyebab gagalnya hubungan cinta. Seorang mengakhiri hubungannya, mencari orang yang baru guna mendapatkan ilusi penyatuan seperti saat periode
awal jatuh cinta.
Dalam
buku Escape from (Erich, 1969), Fromm menjelaskan bahwa
individuasi terdiri dari dua aspek
yang harus harmonis satu sama lainnya.
Aspek yang pertama adalah pertumbuhan kesendirian, sedang aspek yang kedua adalah pertumbuhan kekuatan diri. Keharmonisan antara kedua aspek ini
akan membentuk karakter manusia yang produktif. Manusia produktif mampu merespon dunia tanpa kehilangan integritasnya. Ia mampu membangun
hubungan baru dengan dirinya sendiri dan dunia untuk menggantikan hubungan keberakaran dengan ibunya yang tidak mungkin kembali (karena manusia tidak mungkin kembali
ke rahim ibunya). Ia menyanggupi
kebebasan dengan menjadi aktor sesungguhnya
dari kehidupannya (Funk, 2000). Ia mampu menjadi
manusia produkif yang berpikir, bekerja, dan mencinta.
Kondisi sebaliknya
dari individuasi yang tidak berjalan harmonis adalah lari dari kebebasan.
Ketika proses individuasi berjalan
timpang, dimana salah satu aspek lebih
dominan dari yang lain, manusia menjadi tidak produktif. Ia lari dari
kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri dan kehilangan integritasnya. Fromm menggambarkan
setidaknya terdapat empat orientasi karakter manusia tidak produktif, sebagai berikut (Fromm, 2021),
(Erich, 1969):
a.
Orientasi Penerima
Manusia dengan orientasi penerima tidak pernah berpikir
dapat menghasilkan sesuatu dari dirinya
sendiri, termasuk dalam hal afeksi
seperti cinta. Ketika ia membutuhkan sesuatu, yang terpikir olehnya untuk memenuhi
kebutuhannya adalah dengan menerimanya dari orang lain. Ia menyerahkan kebebasannya untuk menjadi individu
dengan berusaha menyatu dengan orang lain yang akan memenuhi kebetuhannya.
Dalam hal seperti nasihat dan pengambilan keputusan pun, ia hanya bertindak sebagai penerima.
b.
Orientasi Eksploitatif
Orientasi ini lebih agresif dari
orientasi penerima. Jika orientasi penerima mengharap untuk menerima segala sesuatu dari luar
dirinya sebagai hadiah, seorang eksplotatif berusaha untuk mengambil milik orang lain. Mungkin bagi orientasi eksploitatif untuk bertindak dengan kekuatan, bahkan manipulasi dan kelicikan. Pada dasarnya ia juga lari dari kebebasan
karena bergantung pada
orang yang ia eksploitasi. Ia menjadi bukan
apa-apa tanpa orang yang ia eksploitasi.
c.
Orientasi Penimbun
Berbeda dengan orientasi penerima dan eksploitatif yang berusaha menyatu dengan pihak lain, orientasi
penimbun berusaha untuk menghancurkannya. Ia telah merasa
putus asa karena keterasingannya. Dunia terasa sebagai ancaman dan ia sendirian. Ia juga berpikir bahwa tidak ada baru
di bawah matahari, maka ia menganut
prinsip putting it, keeping it. Hal-hal yang dihasilkan oleh diri manusia seperti
relasi dan cinta adalah tidak masuk
akal baginya. Dalam hubungan cinta, orientasi penimbunnya terwujud dalam bentuk keposesifan. Ia mengharap menerima
cinta orang lain dari tindakan posesifnya tersebut.
d.
Orientasi Pemasar
Orientasi pemasar adalah orientasi yang mendominasi masyarakat pada zaman
Fromm. Manusia dengan orientasi pemasar kehilangan keindividualannya untuk mendapatkan penerimaan dari lingkungannya. Fromm menggambarkan
masyarakatnya menganut pemikiran I am as you desire me. Orang-orang mendandani dirinya sedemikian rupa sehingga laku di �pasar� masyarakat. Laku berarti diterima dalam hubungan cinta, pekerjaan, komunitas, atau lingkungan yang luas. Manusia terjebak
dalam ilusi penyatuan, padahal yang terjadi adalah justru terasing dari dirinya sendiri,
lari dari kebebasan menjadi individu.
Mengenai keempat orientasi tidak produktif ini, Fromm mengatakan bahwa seorang mungkin memiliki ciri lebih
dari satu orientasi. Dengan kata lain, orientasi ini dapat
berbaur dalam diri manusia, namun
mungkin salah satunya mendominasi (Fromm, 2002b). Dalam etika humanistiknya, Fromm mengusulkan jawaban untuk keterasingan, yaitu menjadi pribadi
dengan karakter produktif, dimana cinta memiliki peranan penting di dalamnya.
2.
Karakter Produktif
Kebalikan dari keempat orientasi tidak produktif, adalah karakter produktif. Karakter ini adalah yang diusulkan oleh Fromm sebagai wujud dari Etika Humanistiknya. Seorang dengan karakter produktif berelasi dengan dunia di luar dirinya secara simultan. Ia melihat
fenomena sebagai mana adanya, membawanya masuk ke batinnya,
kemudian diperkaya dengan kekuatan mentalnya sendiri (Fromm, 2017b).
Inilah sebabnya ia disebut berkarakter
produktif karena dirinya mampu menghasilkan
sesuatu dari dirinya sendiri. Ciri kemanusiannya ada pada hasil produksinya tersebut. Fromm menyebutkan bahwa karakter produktif terwujud nyata dalam berpikir
yang produktif serta cinta yang produktif.
Ketika
seorang mampu berpikir produktif, maka akal melibatkan
dimensi kedalaman yang mampu meraih esensi
dari fenomena dan memprosesnya. Akal bukan bertujuan untuk melakukan tindakan segera, melainkan untuk memahami, menangkap fenomena, membangun relasi dengan fenomena dengan memahaminya. Akal mampu melakukan penetrasi, mengungkap esensi, hubungan yang tersembunyi dan makna yang lebih dalam (Fromm, 2017b). Orang tersebut akan
mampu menghubungkan inti dirinya dengan inti fenomena yang dihadapannya. Inti dirinya sungguh-sungguh hadir dalam kegiatan
berpikirnya tersebut.
Fromm
mengaitkan kemampuan berpikir produktif dengan aktifitas bekerja. Kerja adalah kegiatan khas manusia (Suseno, 2018). Melalui kerja, manusia berelasi dengan dunia di hadapannya. Sebagai contoh, seorang yang mampu menghasilkan karya tulis. Dalam prosesnya ia melakukan observasi
terhadap fenomema di hadapannya, membawanya masuk batinnya, diperkaya dengan kekuatan mentalnya sendiri, kemudian dituangkan dalam tulisan. Ada dirinya yang hadir dalam karyanya.
Sedangkan cinta yang
produktif adalah cinta yang mampu meruntuhkan dinding keterasingan dan menautkan inti seorang dengan orang yang dicintainya. Orang dengan karakter produktif mampu berpikir, bekerja, dan mencinta dengan produktif. Ketiganya tak terpisahkan
satu sama lain dalam bangunan utuh Etika Humanistik Erich
Fromm. Melalui kemampuan berpikir dan bekerja produktif, seorang membangun hubungan keberakaran baru dengan dunia. Ia juga berakar dengan lingkungan sosialnya melalui cinta yang produktif. Hubungan keberakaran yang baru inilah yang mampu menggantikan hubungan keberakaran dengan ibu yang tak mungkin
kembali. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah hakekat cinta itu? Bagaimana
manusia dapat mencintai dengan produktif?
3.
Hakekat Cinta
Seni
mencinta terwujud dalam tindakan memberi. Memberi dalam praktik seni
mencinta bukanlah berupa memberikan barang atau materi.
Seorang yang mencinta memberi dirinya sendiri, yaitu yang paling berharga yang ia miliki. Namun sekaligus
juga tak berarti bahwa orang tersebut mengorbankan diri dan hidupnya bagi orang lain. Fromm sangat menekankan bahwa tidak ada
pengorbanan dalam mencinta. Memberi dalam praktik seni
mencinta adalah tindakan yang bebas dan sukarela. Seorang yang mencinta memberikan kesenangan, minat, pengertian, kesukannya, pengetahuannya, humornya, kesedihannya (semua manifestasi dari apa yang hidup dalam dirinya) bagi orang yang dicintainya (Fromm, 1956). Tindakan memberi dalam
seni mencinta memuat didalamnya empat aspek yang tak terpisahkan satu sama lain, sebagai berikut (Fromm, 1956):
a)
Kepedulian
Cinta
terwujud dalam tindakan peduli pada kehidupan dan pertumbuhan orang yang
dicintai. Ketidakpedulian, bagi Fromm, adalah ketiadaan cinta. Namun aspek kepedulian
ini tidak terpisahkan juga dengan aspek berikutnya, yaitu tanggung jawab.
b)
Tanggung jawab
Seorang yang mencintai,
akan bertanggung jawab atas orang yang dicintainya. Makna tanggung jawab dalam cinta yang dimaksud oleh Fromm bukanlah sesuatu yang ditimpakan dari luar diri
seseorang. Bagi Fromm, tanggung
jawab adalah tindakan sukarela dan respon terhadap kebutuhan orang yang dicintainya.
Aspek tanggung jawab ini juga berkaitan erat dengan aspek berikutnya,
yaitu rasa hormat.
c)
Rasa hormat
Kepedulian dan tanggung
jawab, rentan menjadi dominasi atau sebaliknya menjadi ketergantungan tanpa adanya rasa hormat. Rasa hormat membuat seorang mampu melihat dan memperlakukan orang lain sebagaimana
orang tersebut dengan segala keunikan individualnya. Rasa hormat berarti mendukung atau membuka kesempatan
bagi orang lain untuk tumbuh terbuka sebagai dirinya sendiri. Demikian rasa hormat lah yang membuat para subyek cinta mungkin untuk
mencintai tanpa kehilangan integritasnya. Saling mencintai, bagi Fromm, adalah sebuah paradoks
yaitu ketika dua orang menjadi satu tetapi tetap
dua.
d)
Pengetahuan
Kepedulian, tanggung jawab, dan rasa hormat menjadi buta tanpa
adanya pengetahuan. Pengetahuan tentang orang yang dicintai membuat seorang dapat memberikan
respon yang tepat. Misalnya, memahami apa yang dikuatirkan atau apa yang disukai
oleh orang dicintai.
Selain
berkaitan dengan pengetahuan pribadi tentang orang yang dicintai, pengetahuan sebagai aspek cinta juga merujuk pada pengetahuan akan �rahasia manusia�,
yaitu bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar untuk menyatu. Manusia memiliki kebutuhan keberakaran (Fromm, 2002), (Funk, 2019)
untuk mengatasi keterasingannya.
Lebih dekat dengan Erich Fromm melalui bukunya yang berjudul Man for
Himself 2002, ia menawarkan
etika humanistik yang tergolong unik. Cinta, sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari berpikir dan bekerja, adalah wujud praktis dari
Etika Humanistik Erich Fromm yang harus
dihidupi sebagai seni. Cinta bukan dipandang sebagai kewajiban bertindak etis, atau yang harus dilakukan karena sebaiknya demikian, melainkan sebagai ekspresi kapasitas diri. Seumpama pelukis yang mengekspresikan dirinya dalam lukisan, seniman cinta juga mengkspresikan kekuatan dirinya dengan cinta dalam kesehariannya.
Tidak memberi bagi seorang seniman cinta adalah menyakitkan.
4.
Pemikiran Erich Fromm untuk Manusia
Modern Masa Kini
Manusia modern masa kini
hidup dalam kondisi dimana jaringan internet ada untuk semua aspek
kehidupan. Terkini, pandemi COVID19 bahkan telah mendorong dunia kerja dan pendidikan sebisa mungkin beroperasi melalui virtual dalam jaringan internet. Berikut ini adalah
beberapa hal yang berkembang pada konteks hubungan cinta di era internet
masa kini (Lupton, 2014):
a.
Pola keintiman
baru
Jika
sebelumnya keintiman identik dengan kedekatan fisik, pada era
internet telah berkembang pola keintiman yang baru. Pola keintiman baru ini terbentuk
dari banyaknya informasi yang dibagikan di
internet, antara lain dapat
berupa: letak geografis, tulisan personal, update status, musik kesukaan, dan sebagainya. Pengetahuan yang bersifat cukup pribadi ini mampu
menciptakan perasaan dekat meski tanpa
kedekatan fisik. Hal ini dapat dikaitkan
dengan pengetahuan adalah salah satu aspek cinta yang diutarakan oleh Fromm.
Tak hanya melalui informasi
yang dibagikan, keintiman baru juga terbentuk melalui interaksi di internet, misalnya dengan saling merespon unggahan dan berkirim pesan. Seorang manusia, melalui diri digitalnya berinteraksi dengan diri digital orang lain. Lupton bahkan
menegaskan bahwa pada masa kini diri digital manusia di dunia maya atau
internet, sama nyatanya dengan diri manusia
di dunia nyata. (Cupchik, 2011)
menyatakan sebuah kutipan menarik berkaitan dengan interaksi diri digital manusia, yaitu I am responded
to, therefore I am. Menurutnya, kutipan ini lebih
dapat menggambarkan kehidupan manusia modern masa kini dibanding cogito ergo sum
yang diusung oleh Descartes.
b.
Promosi diri
Bagaimana manusia saling memberikan respon di internet tidak hanya berkaitan dengan bentuk keintiman
baru. Hal ini juga berkaitan dengan upaya promosi diri.
Pada dasarnya �pasar� yang digambarkan
Fromm nyata pada masyarakat
zamannya, telah menjadi semakin modern dengan adanya internet di masa kini. Manusia masa kini berusaha mempromosikan
dirinya hingga terlihat semenarik mungkin, tidak hanya pada diri nyatanya tetapi juga diri digitalnya. Manusia berusaha mendapatkan penerimaan sosial melalui apa yang ia bagikan
serta bagaimana ia berinteraksi di internet.
c.
Validasi sosial
Penerimaan respon atau reaksi dari
orang lain di internet adalah bentuk
validasi sosial terkini. Validasi sosial berkaitan dengan pembentukan harga diri. Kebutuhan
akan validasi sosial pada manusia modern masa kini pada dasarnya menunjukkan bahwa situasi masyarakat masih kurang lebih
sama dibandingkan dengan masyarakat pada zaman
Fromm. Tak terbatas pada respon
dan reaksi, (Lupton, 2014)
bahkan mengatakan bahwa kesediaan seorang untuk melihat
unggahan adalah penghargaan bagi pengunggah, sedangkan ketidaksediaan untuk melihat, merespon, atau bereaksi dirasa
sebagai hukuman.
Relasi sosial
yang terjalin melalui internet
kebanyakan adalah kelanjutan dari relasi di dunia nyata (Butler & Matook, 2015)
Dikotomi antara diri nyata manusia
dan diri digitalnya juga sudah tidak dapat
dipisahkan (Cover, 2016).
Meskipun profil diri digital (misalnya pada media
sosial) memungkinkan seorang berbagai informasi yang sangat kompleks (Lupton, 2014),
namun tetap saja semua itu
hanyalah sebagian dari diri seseorang.
Bagaimana seorang hanya menampilkan sebagian dirinya pada diri digitalnya adalah sama saat
ia juga hanya menampilkan sebagian dirinya pada dirinya nyatanya di luar internet (Cupchik, 2011). Hal ini juga didukung oleh (Fuchs, 2007)
yang mengakatan bahwa kita menemui banyak
persona orang lain ketika menjalin
komunikasi virtual melalui
internet. Fromm sendiri pada dasarnya
tidak menentang perkembangan teknologi. Komputer telah cukup berkembang pada zaman Fromm
dan ia menyerukan kritiknya mengenai teknologi yang humanis. Teknologi yang humanis menurut Fromm adalah yang dapat berperan merangsang pertumbuhan kemanusiaan manusia, alih-alih justru melumpuhkannya (Fromm, 2010).
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hadirnya internet menjadi tantangan tambahan bagi kehidupan
sosial manusia, meski manfaat yang dirasakan secara praktis juga tak terbantahkan.
Situasi masyarakat
modern masa kini yang masih
melakukan praktik transaksi sosial nampak kurang lebih
sama dengan masyarakat zaman Fromm. Manusia
masa kini bertansaksi untuk memasarkan dirinya dengan lebih modern jaringan internet. Kebutuhan nyata akan validasi sosial
dalam bentuk yang modern menjadi bukti nyata
adanya transaksi. Demi mendapatkan pemerimaan masyarakat berupa keterlihatan maupun respon dan reaksi, seorang rela menjadi
apa yang diinginkan oleh masyarakat. Hal ini menggambarkan orientasi pemasar yang menganut prinsip I am as you desire me (Fromm, 2002b).
Kesimpulan
Relasi sosial tanpa integritas
ini menjadi tanda nyata bahwa cinta masih disalahpahami. Manusia merelakan
integritasnya untuk ilusi penyatuan, yaitu penerimaan dari masyarakat atau
orang yang dicintainya secara khusus. Maka, apa yang dianggap cinta oleh
masyarakat masa kini masih gagal menjadi jalan keluar dari keterasingan.
Manusia berpikir bahwa penerimaan yang dia terima artinya ia dicintai, sedangkan
hakekat cinta yang sesungguhnya tidak demikian. Inilah sebabnya manusia masih
merasakan kesendirian atau kekosongan meski mungkin berinterasi erat dengan
masyarakat atau orang yang dicintainya. Apa yang dianggap cinta masih gagal
meruntuhkan tembok keterasingan, maka gagal pula membangun hubungan keberakaran
yang baru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama dapat diterima.
Hipotesis yang kedua adalah
mengenai peranan cinta dalam bangunan utuh Etika Humanistik Erich Fromm. Dalam etika humanistiknya, Fromm mengusulkan
pandangannya untuk menjawab kondisi keterasingan yang dialami oleh manusia.
Dengan menjadi pribadi dengan karakter produktif manusia akan mampu membangun
hubungan baru dengan dunia. Ia akan mampu menghubungkan inti dirinya dengan
inti dari fenomena dunia yang ada di hadapannya. Secara praktis, misalnya dalam
pekerjaan, seorang dengan pribadi produktif akan menjadi aktor yang
sesungguhnya dari setiap tindakannya. Ia benar-benar hadir dalam apa yang ia
kerjakan. Setiap hasil pekerjaanya adalah ekspresi dari kapasitas dirinya,
bukan sekedar beban kerja yang ditimpakan oleh pihak lain, misalnya atasan,
kepadanya. Dengan demikian manusia terhubung secara simultan dengan dunia.
Manusia terhubung dengan dunia melalui kerjanya. Aktivitas kerja adalah sarana
manusia menciptakan dirinya sendiri (Fromm, 2004), (Suseno, 2018). Dengan kata lain, hasil produksi utama dari
karakter produktif adalah dirinya sendiri.
Kemudian yang perlu dipahami
selanjutnya adalah bahwa manusia tidak bekerja sendiri. Meksipun hasil kerja
setiap manusia semestinya menunjukkan ciri khas kemanusiaannya masing-masing,
manusia saling membutuhkan hasil kerja satu sama lain. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia pada hakikatnya bersifat sosial meskipun hasil kerja masing -
masing manusia menunjukkan keindividualannya
(Suseno, 2018). Selain dalam hal kerja, (Funk, 2019)
juga menekankan pandangan Fromm bahwa manusia membutuhkan sosialnya untuk memenuhi
kebutuhan akan keberakaran dan identitas. Kenyataan tak terelakkan untuk menjalin relasi sosial
membuat cinta akan selalu menjadi hal yang esensi dalam kehidupan manusia, lebih dalam dari
sekedar terjalinnya komunikasi.
Cinta menjadi tak terpisahkan dengan berpikir dan bekerja produktif dalam bangunan
untuh Etika Humanistik Erich Fromm. Dengan demikian, hipotesis kedua dapat terima.
Butler, Brian S., & Matook, Sabine. (2015). Social media and
relationships. The International Encyclopedia of Digital Communication and
Society, 1�12. Google Scholar
Cover, Rob. (2016). Digital Identities, Creating and Communicating
on Online Self. Retrieved from Elsevier Inc. Google Scholar
Cupchik, Gerald C. (2011). The digitized self in the Internet
age. Psychology of Aesthetics, Creativity, and the Arts, 5(4),
318. Google Scholar
Durkin, Kieran. (2014). The radical humanism of Erich
Fromm. Springer.
Erich, Fromm. (1969). Escape fro Freedom. New York:
Avon Books. Google Scholar
Friedman, Lawrence J., & Friedman, Lawrence. (2013). The
Lives of Erich Fromm. Columbia University Press. Google Scholar
Fromm, Erich. (2002a). The Sane Society.
London: Routledge. Google Scholar
Fromm, Erich. (2017a.). Beyond the Chains of
Illusion, My Encounter with Marx and Freud. London & New York:
Bloomsbury Academic.
Fromm, Erich. (1956). The Art of Loving, Harper & Row. Inc,
New York. Google Scholar
Fromm, Erich. (2002b). Man for Himself London.
Routledge and Kegan Paul. Google Scholar
Fromm, Erich. (2004). Marx�s Concept of Man. London
and New York: Continuum.
Fromm, Erich. (2010). The Revolution of Hope. Toward a
Humanized Technology. American Mental Health Foundation Books: Riverdale.
Fuchs, Christian. (2007). Internet and society: Social
theory in the information age. Routledge. Google Scholar
Fuchs, Christian. (2020). Erich Fromm and the Critical Theory
of Communication. Humanity & Society, 44(3), 298�325. Google Scholar
Funk, Rainer. (2000). Erich Fromm: His Life and Ideas, An
Illustrated Biography. A&C Black. Google Scholar
Funk, Rainer. (2019). Erich Fromm: bringing psychoanalysis
and sociology together. Google Scholar
Lupton, Deborah. (2014). Digital Sociology. London:
Routledge.
Suseno, Franz Magnis. (2018). Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme
Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Kompas Gramedia.
Sonia Visita Here
(2021) |
First publication right: Journal Syntax Idea |
This article is licensed under: |