Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����
Vol. 3, No. 5, Mei 2021
REDESAIN LEGAL STANDING PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DEMI
MEWUJUDKAN KEADILAN HUKUM
Muhammad Ridha
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Jawa Tengah, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstract
The argument for equality before the law in the criminal justice system
has not yet contributed to justice to justice seekers.
This can be proven in the criminal justice system in Indonesia, where the
Public Prosecutor as state attorney who represents the public interest as well
as the victim, does not get legal standing, and has no legal standing. law to
undertake a legal reconsideration effort. in the course of the criminal justice
practice has broken the positivistic legalism which is marked by the emergence
of decisions of the Supreme Court which grant the request for reconsideration
by the Public Prosecutor. In this case also the decision will be used as a
jurisprudence in the future for the same case. Therefore, it is interesting to
study and analyze, by formulating two problems, what are the considerations of
the Supreme Court in accepting legal remedies for review by the public
prosecutor, how to redesign the legal standing of the review by the public
prosecutor. This research is a juridical-normative legal research with data
collection methods, namely literature study and descriptive-qualitative
analysis. The conclusion of this research, the judge in granting the request
for reconsideration by the Public Prosecutor, among others, applied the
Equality of Arms Principle for a fair trail trial,
secondly, revised the Criminal Procedure Code regarding the expansion of the
subject of the applicant for legal reconsideration efforts, such as that
contained in the Draft Criminal Procedure Code
Keywords: redesign;
legal standing; herzeining, prosecutor; juctice
Abstrak
Argumentasi
persamaan dihadapan hukum ini dalam sistem peradilan pidana belum memberikan
sumbangsih keadilan kepada para pencari keadilan, Hal ini dapat dibuktikan
dalam sistem paradilan pidana di Indonesia, dimana Jaksa Penuntut Umum sebagai
pengacara negara yang mewakili kepentingan umum juga korban, tidak mendapatkan
legal standing, dan dasar hukum untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali.
dalam perjalanannya praktik peradilan pidana telah mendobrak legalistik
positivistik yang ditandai munculnya putusan-putusan Mahkamah Agung yang
mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam hal
ini juga putusan tersebut jadikan sebuah yurisprudensi dikemudian hari untuk
kasus yang sama. oleh karena itu menarik untuk di kaji dan di analisis, dengan
merumuskan dua permasalahan, apa pertimbangan Mahkamah Agung menerima upaya
hukum peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum,bagaimana redesain legal
standing peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum. Penelitian ini merupakan
penelitian hukum yuridis-normatif dengan metode pengumpulan data yaitu studi
pustaka dan analisis secara deskriptif-kualitatif. Kesimpulan penelitian ini,
hakim dalam mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum,
antara lain, menerapkan Asas Equality of Arms untuk peradilan yang fair trail,
kedua, merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terkait perluasan subyek
pemohon upaya hukum peninjauan kembali, seperti yang terdapat didalam RUU KUHAP.
Kata Kunci: redesain; legal standing; peninjauan kembali; jaksa penuntut umum, keadilan
Pendahuluan
Indonesia merupakan
negara hukum yang telah menjamin semua warga negaranya tanpa terkecuali berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta persamaan
dihadapan hukum. Amanat ini tertuang dalam
Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Namun demikian, dalam mengimplementasikan amanat konstitusi tersebut masih belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, dalam hal sistem
peradilan pidana. Kendatipun demikian para sarjana hukum, ahli hukum mengatakan
amanat tersebut sudah mengejewantah dalam bentuk sistem
paradilan pidana itu sendiri.
Argumentasi persamaan dihadapan
hukum ini dalam sistem peradilan
pidana belum memberikan sumbangsih keadilan kepada para pencari keadilan, terutama korban yang masih belum mendapatkan tempat di KUHAP tersebut. Sejatinya korbanlah yang paling dirugikan ketika dalam sebuah kejahatan,
namun demikian, lagi-lagi dibenturkan dengan regulasi yang ada.
Hal ini
dapat dibuktikan dalam sistem paradilan
pidana di Indonesia, dimana
Jaksa Penuntut Umum sebagai
pengacara negara yang mewakili
kepentingan umum juga
korban, tidak mendapatkan
legal standing, dan dasar hukum
untuk melakukan upaya hukum peninjauan
kembali. Memang secara rumusan redaksional Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa, �Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya
dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung�, artinya secara limitatif yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali yakni terpidana atau ahli warisnya serta
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun
yang menjadi pertanyaan, bagaimana frasa yang mengatakan kecuali putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum.
Menurut hemat penulis, jika memang Pasal
263 KUHAP ini diperuntukan kepada terpidana, maka seharusnya frasa dan ayat selanjutnya harus konsisten juga, tidak serta merta membingungkan
para penegak hukum pada umumnya, hakim pada khususnya. Seperti pada Pasal 263 ayat (3) yang menyatakan bahwa, �Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2 terhadap suatu putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbutkti akan tetapi tidaki
diikuti oleh suatu pemidanaan�. Pada pasal tersebut menggambarkan bahwa Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan peninjauan kembali atas dasar adanya
novum, pelbagi putusan terdapat pernyataan kekhilafan hakim, serta putusan yang didakwakan telah terbukti namun putusan tersebut
tidak diikuti oleh pemidanaan. Maka jelas rumusan ayat (3) ini merupan pintu
masuk Jaksa untuk melakukan peninjauan kembali.
Dengan demikian, hemat penulis menyikapi rumusan Pasal 263 KUHAP ini terdapat ketidakjelasan
dalam membentuk sebuah frasa, saling
kontradiktif antara ayat satu dan ayat
berikutnya. Maka dalam hal ini Jaksa Penuntut
Umum tidak salah ketika melakukan pengajuaan upaya umum peninjauan
kembali dan juga menurut penulis tidak menabrak
asas-asas dalam KUHAP, terlebih lagi jika
Penuntut Umum dapat membuktikan dakwaan terpidana di pengadilan, maka sudah barang
tentu Jaksa Penuntut Umum diberikan peluang atau diberikan kewenangan untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali.
Maksud dan tujuan
diberikannya kewenangan, ketika dalam menghadapi
kasus yang kelas kakap, katakanlah tindak pidana korupsi
yang mana telah merugikan keungan negara, tindak pidana terorisme yang telah merenggut hak asasi manusia
lainnya yang diputus bebas di tingkat kasasi, padahal dalam dakwaannya telah terbukti, juga terdapat kekhilafan hakim dalam mengambil putusan serta adanya
novum dikemudian hari, maka demi menegakkan keadilan terhadap putusan bebas dapat
dimintakan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum.
Namun pada hakekatnya sistem
peradilan pidana dikatakan baik, bukan saja dilihat
dapa tataran prosesnya saja yang berlangsung secara jujur, bersih dan tidak memihak. Namun ada kriteria
yang harus terpenuhi, yakni berupa prinsip
yang bersifat terbuka, korektif, dan rekorektif. Dalam hal ini sistem
upaya hukum menjadi penting untuk mendapatkan perhatian dalam menejemen peradilan, agar tercapainya prinsip fairness dan
trial independency, yang mana prinsip tersebut diakui secara universal. (Soeparman, 2007).
Namun dalam perjalanannya
praktik peradilan pidana telah mendobrak
legalistik positivistik
yang ditandai munculnya putusan-putusan Mahkamah Agung
yang mengabulkan permohonan
peninjauan kembali oleh
Jaksa Penuntut Umum. Dalam hal
ini juga putusan tersebut jadikan sebuah yurisprudensi dikemudian hari untuk kasus yang sama.
Beranjak dari kemunculan putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum untuk pertama kalinya terhadap kasus penghasutan buruh yang dipimpin oleh Muchtar Pakpahan sebagai Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera (SBSI), dengan perkara No. 55PK/Pid/1996 tanggal
25 Oktober 1996.
Bermula dapa kasus tersebut mengundang banyak kritikan dari para sarjana hukum, juga para ahli hukum, serta aktivis
HAM pada waktu itu juga mengkritik tindakan peradilan, bahwa penegak hukum yang pada umumnya, hakim pada khususnya telah mendobrak asas yang ada pada KUHAP, dan peradilan tersebut bisa dikatakan peradilan sesat, sehingga untuk kedepannya jangan lagi terjadi peradilan
sesat tersebut. Seperti pandangan Adami Chazawi terkait gejalah tersebut bahwa, �Jaksa Penuntut Umum tidak dibenarkan didalam KUHAP untuk melakukan peninjauan kembali, dan juga alasan Mahkamah Agung yang membenarkan pengajuan permintaan peninjauan kembali merupakan peradilan sesat dalam hukum,
bukan sesat dalam hal dan karena
fakta�, (Chazawi, 2010).
Namun tidak bisa dipungkiri terjadi arus frekuensi terhadap argumen yang dahulunya mengkritik peradilan pada kasus Mochtar Pakpahan, kini mendorong Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa Pollycarpus. Selanjutnya kasus tindak pidana korupsi
oleh Joko Soegiarto Tjandra yang dimana
dalam pengadilan tingkat pertama sampai tingkat kasasi di putus lepas dari segala
tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging).
Disisi lain, beberapa kasus tersebut memunculkan pandangan Muhammad
Alim bahwa, �Kitab Hukum Acara Pidana
harus memperlakukan sama terhadap semua
pihak, betapa tidak adilnya jika
Jaksa Penuntut Umum yang mewakili
masyarakat pada umumnya,
korban pada khususnya tidak
diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali. Adalah suatu perlakukan yang tidak sama (unequal treatment) apabila
seseorang narapidana sangat dilindungi, sementara korban tidak diberikan perlindungan yang sepadan dengan terpidana dalam hal ada Novum untuk
memohon peninjauan kembali. Terpidana sudah nyata, berdasarkan
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah
orang yang bersalah masih diberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali, sementara korban yang diwakili
oleh Jaksa Penuntut Umum adalah
orang yang baik yang telah dizhalimi oleh terpidana, tetapi tidak diberi
kesempatan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali�. (Suharianto, 2012).
Selanjutnya pandangan dari Mardjono Reksodiputro mengatakan �peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap perkara pidana yang diputus bebas atau
diputus lepas dari tuntutan hukum
adalah sah-sah saja, karena tugas
Mahkamah Agung adalah harmonisasi/unifikasi hukum dengan cara
menafsirkan dengan mempersempit atau memperluas, selain itu Mahkamah Agung dapat melakukan interpretasi yang nantinya dapat atau untuk
dijadikan Undang-Undang sehingga dapat mengikuti perkembangan dan tidak kontemporer, agar tercapainya keadilan dan kepastian serta kemanfaatan hukum�, sebagaimana dalam Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Dengan demikian yang menjadi
titik permasalahan terletak pada rumusan redaksional Pasal 263 KUHAP itu sendiri yang menimbulkan ketidakjelasan dalam membentuk sebuah frasa, saling
kontradiktif antara ayat satu dan ayat
berikutnya. Maka sejalan dengan pandangan Jeremy Betham �maximizing
Happines and minimizing pains� yang diterjemahkan oleh Nurhadi bahwa, �peraturan perundang-undangan harus konsisten, pelaksanaanya jelas, sederhana dan ditegakkan secara tegas. Sehingga hukum tanpa nilai
kepastian hukum akan kehilangan makna, karena tidak
lagi dapat dijadikan pedoman bagi penegak hukum
dalam sistem peradilan pidana�(Wantu, 2007).
Untuk mengkonter suatu peraturan yang ketidakjelasan norma, saling kontradiktif
antara satu sama yang lain. Hakim dalam hal ini menurut
Utrecht, hakim harus pandai
dan mempunyai inisiatif dalam hal adanya
gejala tersebut untuk dapat diselesaikan.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). (Peter Mahmud Marzuki, 2009) Bahan hukum dalam penelitian ini bahan hukum
primer yang terdiri dari bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka
penelitian ini, yang terdiri dari: Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari jurnal, buku,
dan penelitian yang relevan.
Bahan hukum tersier berupa kamus hukum.
Untuk menguatkan bahan hukum tersebut.
Metode analisis yang digunakan
deskriptif-kualitatif untuk
menjawab rumusan masalah.
Hasil dan Pembahasan
A. Pertimbangan mahkamah agung menerima upaya
hukum peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum
Kebebasan hakim dalam
melaksanakan wewenang justisialnya tidak serta merta sifatnya mutlak, mengingat
akan hal tugas hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan, hal ini berdasarkan
irah-irah �Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa�. Hal ini
menandakan bahwa hakim lebih mengutamakan keadilan diatas segalanya.
Akan tetapi pada prakteknya
memaknai keadilan untuk penanganan sebuah perkara hukum masih menjadi
perdebatan dalam dunia akademisi juga praktisi yang mana menilai bahwa
pengadilan kurang adil jika terlalu sarat akan prosedural, formalistik dengan
kata lain legal positivistik. Hal inilah kemudian menjadikan hukum masih kaku
untuk memberikan putusan dalam suatu perkara. Maka dari itu, cara pandang hakim
yang ideal seharusnya mampu untuk mewujudkan spirit keadilan dalam masyarakat
dan juga mampu keluar dari keterbelengguan legal positivistik yang kaku
tersebut. Sehingga hakim tidak lagi sebagai corong undang-undang.
Namun dalam pengambilan
putusan oleh hakim, harus mempertimbangkan beberapa hal, dalam hal ini
mengabulkan permohonan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dengan
jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar, serta asas-asas yang menjadi
landasannya. Akan tetapi dalam praktek peradilan pidana di Indonesia, upaya
hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum menimbulkan
perdebatan mengenai siapakah yang berhak mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali. Sebelum ke pokok pembahasan,
terlebih dahulu menguraikan singkat terhadap beberapa putusan yang mengabulkan
permohonan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, yakni
sebagai berikut:
Jika melihat pada rumusan redaksional Pasal 263 ayat
(1) KUHAP peninjauan kembali diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Akan
tetapi jika Pasal 263 KUHAP tidak dibaca secara sepotong-sepotong, maka Jaksa
Penuntut Umum mempunyai hak yang sama dengan terpidana, yakni dapat juga
mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Secara eksplisit Pasal 263 KUHAP
sebagai berikut:
Ayat (1),�Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung�.
Ayat (2),�Peninjauan kembali dilakukan atas dasar; (a)
apabila terdapat keadaan baru, (b) apabila dalam pelbagi putusan terdapat
pernyataan kekhilafan hakim�.
Ayat (3),�Atas dasar alasan yang sama sebagaimana
tersebut pada ayat 2 terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam
putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbutkti akan
tetapi tidaki diikuti oleh suatu pemidanaan�.
Jika dilihat rumusan Pasal 263 KUHAP diatas yang
secara keseluruhan, maka jelas ada rumusan frasa yang ambigu, sehingga
menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dalam hal apakah terpidana
saja yang dapat mengajukan peninjauan kembali, atau kah ada pihak lain juga
dapat mengajukan. Maka sudah jelas dalam hal ini terhadap rumusan yang ambigu
tersebut menimbulkan implikasi dalam peradilan pidana, dimana ditandai adanya
beberapa putusan yang telah mengabulkan permohonan upaya hukum peninjauan
kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, sebagai berikut:
1. Putusan Mochtar Pakpahan
Jaksa Penuntut Umum
Negeri Medan dalam dakwaannya, bahwa Mochtar Pakpahan melanggar Pasal 160 KUHP
jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan dakwaan berikutnya yakni, Mochtar Pakpahan
melanggar Pasal 161 ayat(1) KUHP. Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan,
maka Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 27 Oktober 1994 menuntut, bahwa terdakwa
Mochtar Pakpahan melakukan tindak pidana penghasutan yang dilakukan secara
berlanjut, agar terdakwa dipidana penjara selama 4 tahun, potongan tahanan
dengan perintah tetap ditahan.
Terhadap tuntutan
Jaksa Penuntut Umum diatas, dalam hal ini majelis hakim Pengadilan Negeri Medan
mengeluarkan putusan dengan Nomor 966/Pid.B/1994/PN.Mdn pada tanggal 7 November
1994 yang amar putusannya bahwa menyatakan terdakwa Mochtar Pakpahan terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan tindak pidana pengahasutan yang
dilakukan secara berlanjut, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap
terdakwa Mochtar Pakpahan dengan pidana selama 3 tahun.
Terhadap putusan
Pengadilan Negeri Medan, Mochtar Pakpahan melakukan upaya hukum banding.
Selanjutnya menerima permohonan terdakwa pada tingkat Pengadilan Tinggi Medan
dengan Nomor 188/Pid/1994/PT.Mdn pada tanggal 16 Januari 1995 dengan amar
putusannya bahwa, memperbaiki putusan pada Pengadilan Negeri Medan yang
semulanya 3 tahun menjadi pidana penjara selama 4 tahun, dikurangi masa
penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dan terdakwa tetap ditahan.
Selanjutnya
terhadap putusan Pengadilan Tinggi Medan yang memperkuat putusan, terdakwa
Mochtar Pakpahan mengajukan upaya hukum kasasi, dan Mahkamah Agung mengeluarkan
putusan pada tanggal 29 September 1995 dengan Nomor 395/K/Pid/1995 dengan amar
putusan, bahwa mengbulkan permohonan kasasi dari pemohon yakni terdakwa Mochtar
Pakpahan, membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan dan juga putusan
Pengadilan Negeri Medan, serta menyakatan terdakwa Mochtar Pakpahan tidak
terbukti secarah sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan
kepadannya, membebaskan terdakwa dari semua dakwaan, memulihkan hak terdakwa
dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya.
Terhadap putusan di
tingkat kasasi yang membebaskan terdakwa Mochtar Pakpahan inilah yang kemudian
Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali.
Dengan demikian Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh
Jaksa Penuntut Umum dengan Nomor 55 PK/Pid/1996 pada tanggal 25 Oktober 1996
dengan amar putusannya, bahwa membatalkan putusan Mahkamah Agung pada tingkat
kasasi, serta menghukum terdakwa Mochtar Pakpahan dengan pidana penjara selama
4 tahun, dikurangi dengan masa tahanan yang telah dijalani terdakwa. (Putusan
No. 55 PK/Pid/1996, 1996)
2. Putusan Pollycarpus Budiari Priyanto
Jaksa Penuntut Umum
Negeri Jakarta Pusat dalam dakwaannya, bahwa Pollycarpus Budihari Priyanto
telah melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan juga
melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP. Berdasarkan
fakta-fakta dalam persidangan, maka Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 1 Desember
2005 menuntut terdakwa yang pada pokoknya bahwa, terdakwa Pollycarpus Bidihari
Priyanto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
pembunuhan berencana dan menggunakan surat palsu sebagaimana diatur dalam Pasal
340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 263 ayat (2) KUHP jo Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP, mejatuhkan pidana terhadap terdakwa Pollycarpus Budihari
Priyanto dengan pidana penjara seumur hidup.
Terhadap tuntutan
dari Jaksa Penuntut Umum diatas, maka majelas hakim pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan putusan Nomor 1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst pada tanggal 20
Desember 2005 dengan amar putusannya bahwa terdakwa Pollycarpus Budihari
Priyanto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana
turut melakukan pembunuhan berencana dan turut melakukan pemalsuan surat,
menghukum terdakwa oleh karena perbuatan tersebut dengan penjara 14 tahun dan
dikurangi selama terdakwa menjalankan tahanan sementara.
Terhadap putusan
dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum terdakwa Pollycarpus
Budihari Priyanto mengajukan upaya hukum banding. Selanjutnya Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta mengabulkan permohonan pemohon terdakwa Pollycarpus Budihari
Priyanto dengan Nomor 16/PID/2006/PT.DKI.Jkt pada tanggal 27 Maret 2006, yang
mana amar putusannya bahwa menguatkan putusan Pengadilan Negeri DKI Jakarta
Pusat.
Atas putusan pada
tingkat banding diatas, terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto mengajukan upaya
hukum kasi, yang selanjutnya Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pemohon
terdakwa dengan putusan Nomor 1185 K/Pid/1995 pada tanggal 3 Oktober 2006 yang
amar putusannya bahwa membatalkan putusan putusan Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta, serta menyatakan terdakwa Pollycarpur Budihari Priyanto tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut melakukan
pembunuhan berencana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, membebaskan
dari dakwaan, dan menyatakan terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menggunakan surat
palsu, serta menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2
tahun dikurangi dengan masa tahanan sementara.
Selanjutnya
terhadap putusan tingkat kasasi diatas, maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan
permohonan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dengan
dimikian Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum dalam
putusan Nomor 109 PK/Pid/2007 pada tanggal 25 Januari 2008 yang pada amar
putusannya bahwa membatalkan putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, serta
menyatakan terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan perbuatan pidana pembunuhan berencana dan melakukan pemalsuan
surat, menghukum terpidana dengan pidana penjara salam 20 tahun dan dikurangi
dengan masa penahanan yang telah dijalaninya. (Putusan No. 109 PK/Pid/2007,
2007).
3. Putusan Joko Soegiarto Tjandra
Jaka Penuntut Umum
Negeri Jakarta Selatan yang dalam dakwaan primairnya yakni, bahwa Joko
Soegiarti Tjandra telah melanggar Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 Jo Pasal
34C Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 1 ayat (2) KUHP,
sedangkan dakwaan subsidairnya telah melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal
28 jo Pasl 34C Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 jo Undang-undang Nomor 31 Nomor
1999 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 1 ayat (2)
KUHP, berikutnya dakwaan lebih subsidair yakni melanggar Pasal 1 ayat (2) jo
Pasal 1 yat(!) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34C Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971
jo Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64
ayat (1) KUHP jo Pasal 1 ayat (2) KUHP, selanjutnya dakwaan lebih subsidair
melanggar Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Psal 34C
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 jo Undang-Undang 31 tahun 1999 jo Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 1 ayat (2) KUHP berdasarkan Majalah Hukum Varia Peradilan tahun 2009.
Berdasarkan
fakta-fakta dalam persidangan, maka Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 31 Juli
2000 menuntut terdakwa Joko Soegiarto Tjandra menyatakan bahwa terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam
dakwaan Jaksa Penuntut Umum, menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan berdasarkan Majalah Hukum Varia Peradilan tahun 2009.
Terhadap tuntutan
Jaksa Penuntut Umum diatas, maka hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dengan amar putusannya Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel pada tanggal 28 Agustus
2000 menyatakan bahwa terdakwa terbukti sebagaimana dalam dakwaan Jaksa
Penuntut Umum, tetapi perbuatan itu bukan merupakan perbuatan pidana, menyakat
terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum.
Selanjutnya
terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jaksa Penuntut Umum
melakukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung, akan tetapi permohonan
pemohon Jaksa Penuntut Umum ditolak oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian atas
putusan Mahkamah Agung, Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan upaya hukum
peninjauan kembali, yang selanjutnya mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum
dengan putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 pada tanggal 11 Juni 2009 yang dalam
amar putusannya bahwa membatalkan putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi
dan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta menyatakan terdakwa Joko
Soegiarto Tjandra telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana turut serta melakukan tindak pidana korupsi, menjatuhkan pidana kepada
terdakwa selama 2 tahun berdasarkan Putusan
No.12 PK/Pid.Sus/2009, 1-134.
Dari beberapa uraian singkat diatas terhadap upaya
hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, maka sudah jelas bahwa hakim
telah melampaui batas wewenangnya dalam hal mengabulkan permohonan Jaksa
Penuntut Umum. Lantas bagaimana dengan pertimbangan hakim dalam mengabulkan
permohonan Jaksa Penuntut Umum. Maka dalam hal ini hakim selaku ujung tombak
keadilan mencoba melakukan intepretasi atau biasa disebut penafsiran hukum oleh
hakim yang mana rumusan Pasal 263 yang dipaparkan diawal menimbulkan
kontradiktif antara pasal yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini Menurut
pandangan Bambang Sutiyoso, menyatakan bahwa, �Metode interpretasi adalah
metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas,
agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan pada peristiwa konkrit tersebut�.
(Sutiyoso, 2012)
Aliran penemuan hukum oleh hakim yang dikutip oleh
Joenaedi Efendi, mengajarkan bahwa:
�Sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun
undang-undang masih dapat menutupi kekurangannya sendiri, karena undang-undang
memiliki daya meluas, dan hakum sebagai sistem tertutup. Kekurangan
undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh hakim dengan penggunaan
hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya dan memperluas
undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan perkembangan teori hukum berupa
sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan bukan
sebagai sarana, sehingga hakim dapat mewujudkan kepastian hukum�. (Efendi, 2018).
Kegiatan interpretasi hukum yang dilakukan oleh hakim
dalam sistem peradilan pidana merupakan metode untuk memahami makna yang berada
dalam sebuah peraturan perundang-undangan, kendatipun demikian, penggunaan
metode tersebut tidak serta merta selalu digunakan oleh hakim, karen metode
tersebut mempunyai batas yang dimana ketika rumusan pasal dalam perundang-undangan
masih ambigu, maka hakim dalam hal ini dapat melakukan metode interpretasi.
Namun didalam metode interpretasi hukum terdapat
berbagai macam interpretasi yang digunakan, seperti penafsiran gramatikal,
penafsiran sejarah, penafsiran sistematis, penafsiran sosiologis, dan
penafsiran auntentik, serta penafsiran ekstensif. Untuk mempersingkat uraian
mengenai macamnya, maka dalam penulisan ini akan menitikberatkan dan mengurai
secara singkat pada penafsiran ekstensif.
Van Bemmelen mengemukakan metode penafsiran berupa
principiele interpretatie, metode penafsiran model ini tergolong dalam
penafsiran ekstensif. Penafsiran ekstensif merupakan penafsiran yang model
metodenya yakni perluasan makna dari rumusan peraturan perundang-undangan (Christianto, 2010).
Maka dalam konteks ini, penggunaan Pasal 263 KUHAP
selain terpidana atau ahli warisnya, Jaksa Penuntut Umum juga dapat melakukan
upaya hukum peninjauan kembali, sebagaimana dalam praktek peradilan pidana
mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. Mengenai
dasar pertimbangannya hakim sebelum melakukan penafsiran, tentu akan beranjak
pada pembentukan KUHAP itu sendiri, yang mana pembentukan KUHAP merujuk dan
berdasarkan Pasal 14 ICCPR tentang Equality of Arms.
Asas Equality of Arms untuk menerapkan peradilan yang
fair trail , maka dalam hal ini yang dimaksud adalah, peradilan yang jujur dan
tidak memihak, lebih lanjut mengenai Equality of Arms, ada beberapa hak untuk
diterapkan dalam peradilan, antara lain:
1. Semua pihak (terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum)
harus memiliki kesempatan yang sama untuk membuktikan diri dan berargumen di
pengadilan.
2. Tidak ada satu pihak pun dalam proses
dipengadilan ditempatkan dalam suatu keadaan yang berbeda dibandingkan pihak
lain.
3. Semua pihak harus mendapatkan akses yang adil
dan efektif dalam pengadilan.
Pertimbangan berikutnya oleh hakim, yakni
mengkorelasikan pada upaya hukum kasasi Pasal 244, yang mana menyatakan,
�putusan bebas tidak dapat dimintakan kasasi�, akan tetapi pada akhirnya hakim
melakukan case law yang telah menjadi state decisis melalui extensive
interpretation.
Selanjutnya, mengenai perkara pidana selalu terdapat
dua pihak yang berkepentingan yakni terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum yang
mewakili kepentingan umum (negara), sebagaimana dalam Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009)
Pertimbangan-pertimbangan hakim yang dipaparkan diatas
merupakan ringkasan putusan perkara No. 55PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996
dengan terdakwa Mochtar Pakpahan, serta putusan tersebut menjadi yurisprudensi
sebagai landasan hakim untuk kedepannya dalam memeriksa kasus yang sama. Maka
dari itu Jaksa Penuntut Umum tidak salah ketika melakukan upaya hukum peninjauan
kembali terhadap kasus Pollycarpus dan juga Joko Soegiarto Tjandra, yang mana
dari kedua kasus tersebut dalam tingkat pertama sampai tingkat banding diputus
bersalah, namun dalam tingkat kasasi di vonis lepas dari tuntutan hukum oleh
hakim. Sehingga dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum sebagai pengacara negara yang
mewakili kepentingan umum melakukan upaya hukum peninjauan kembali, kendatipun
tidak dibenarkan dalam KUHAP, akan tetapi Jaksa Penuntut Umum menggunakan dasar
hukum mengajukan peninjauan kembali yakni adanya yurisprudensi, sedangkan dalam
sistem hukum Indonesia, yurisprudensi mendapatkan kedudukan sebagai salah satu
sumber hukum Indonesia.
Maka dari itu, demi tegaknya keadilan bagi seluruh
rakyat indonesia tanpa terkecuali, persamaan hak didapan hukum tanpa
membedakan, perlu kiranya mendapatkan perlakuan yang sama dengan terpidana atau
ahli warisnya untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Dalam
artian memberikan kedudukan kepada Jaksa Penuntut Umum. Terlebih lagi jika
Penuntut Umum menangani kasus tindak pidana korupsi, karena dalam hal ini tindak
pidana korupsi sebagai extraordinary crime, maka dalam penanganannya perlu
dengan luar biasa pula.
�Mengutip pandangan Mardjono Reksodiputro mengatakan �peninjauan kembali yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum terhadap perkara pidana yang diputus bebas atau diputus
lepas dari tuntutan hukum adalah sah-sah saja, karena tugas Mahkamah Agung
adalah harmonisasi/unifikasi hukum dengan cara menafsirkan dengan mempersempit
atau memperluas, selain itu Mahkamah Agung dapat melakukan interpretasi yang
nantinya dapat atau untuk dijadikan Undang-Undang sehingga dapat mengikuti
perkembangan dan tidak kontemporer, agar tercapainya keadilan dan kepastian
serta kemanfaatan hukum�.
�Lebih lanjut pandangan Muhammad Alim bahwa, �Kitab
Hukum Acara Pidana harus memperlakukan sama terhadap semua pihak, betapa tidak
adilnya jika Jaksa Penuntut Umum yang mewakili masyarakat pada umumnya, korban
pada khususnya tidak diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali. Adalah suatu perlakukan yang tidak sama (unequal treatment)
apabila seseorang narapidana sangat dilindungi, sementara korban tidak
diberikan perlindungan yang sepadan dengan terpidana dalam hal ada Novum untuk
memohon peninjauan kembali. Terpidana sudah nyata, berdasarkan putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah orang yang bersalah masih diberi
kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali, sementara korban yang diwakili
oleh Jaksa Penuntut Umum adalah orang yang baik yang telah dizhalimi oleh
terpidana, tetapi tidak diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali�. (Suharianto, 2012)
Sebagaimana dalam Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 menegaskan bahwa, �kekuasaan merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna untuk menegakkan hukum dan keadilan�.
B. Redesain legal standing peninjauan kembali
oleh jaksa penuntut umum
Hukum acara pidana merupakan pedoman penegak hukum
atau tata cara dalam beracara di peradilan di Indonesia, yang mana diciptakan
dengan persistensi yang tinggi untuk ditepati kepastian hukumnya. Sehingga
acapkali dipandang sebagai hukum yang statis dan tidak memerlukan dinamisasi
dalam penegakannya. Oleh karenanya, hukum acara pidana ini disebut sebagai
hukum yang tiada tempat untuk menafsir. Ungkapan ini seakan-akan menjadi
pembenar akan statis hukum acara tersebut.
Oleh karena itu pandangan yang disampaikan Dworkin,
yang mana �hukum itu selalu interpretif, dan juga kebekuan tekstual hukum itu
sangat mungkin dicairkan sehingga menjadi perdebatan dan menunjukkan realitas
yang melee�. (Dworkin, 1986)
Oleh sebab itulah hukum acara pidana ini yang bersifat sebagai hukum statis
yang hanya memedulikan kepastian hukum, dan juga terjebak pada kepastian teks
hukum semata, sehingga pada akhirnya harus diruntuhkan dengan cara diperbaharuhi
(Rustamaji, 2017).
hal juga sama dengan dokrin bahwa �Undang-Undang bukan
sebagai kitab suci�, maka sudah jelas dalam hal ini sangat memungkinkan untuk
melakukan pembaharuan dalam hukum acara pidana, agar dapat dipakai sebagai
rambu-rambu, landasan justifikasi dalam upaya melakukan keadilan.
Pembaharuan hukum di sektor hukum acara pidana
merupakan bagian dari pembangunan hukum nasional guna mengatasi berbagai
permasalahan dalam rangka penegakan hukum, yakni mengenai proses penyelesaian
perkara pidana yang berkeadilan. Namun disamping itu juga bertujuan untuk
merevitalisasi peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, disharmoni dan
multitafsir (Listiyanto, 2017).
Dalam rangka redesain, merancang atau membentuk
undang-undang yang akan datang, perlu kiranya memerhatikan asas-asas dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yakni:
a. Kejelasan tujuan
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan
d. Dapat dilaksanakan
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
f.
Kejelasan
rumusan dan
g. Keterbukaan (Novendra,
2019).
Dari pemaparan di rumusan pertama secara singkat,
bahwa Jaksa Penuntut Umum telah mendapatkan kedudukan untuk melakukan upaya
hukum peninjauan kembali yang berlandaskan pada yurisprudensi. Maka dalam hal
ini atas dasar peradilan yang fair trail, semua pihak harus memiliki kesempatan
untuk dapat berargumen dan membuktikan di pengadilan, serta berdasarkan Pasal
21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009) yakni, mengenai perkara pidana selalu terdapat dua pihak
yang berkepentingan yakni terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum dan juga berdasarkan
Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan bahwa,�kekuasaan
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna untuk
menegakkan hukum dan keadilan�.
Meminjam perkataan Jeremy Betham �maximizing Happines
and minimizing pains� yang diterjemahkan oleh Nurhadi bahwa, peraturan
perundang-undangan harus konsisten, pelaksanaanya jelas, sederhana dan
ditegakkan secara tegas. Sehingga hukum tanpa nilai kepastian hukum akan
kehilangan makna, karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman bagi penegak hukum
dalam sistem peradilan pidana. (Wantu, 2007).
Oleh karena itu, perlu dilakukan redesain terhadap
KUHAP untuk mendapatkan legitimasi oleh hukum positif,� agar Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan
upaya hukum peninjauan kembali, demi mewujudkan keadilan substansif yaitu:
1. Merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana terkait perluasan subyek pemohon upaya hukum peninjauan kembali
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), terdapat Bab yang mengatur hak untuk membela diri dari putusan hakim,
yang dinilai belum sesuai harapan, yakni upaya hukum. Upaya hukum tersebut Menurut
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, �merupakan sarana untuk melaksanakan hukum, yaitu
hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk tidak menerima penerapan atau
putusan-putusan pengadilan, karena tidak merasa puas dengan penetapan atau
putusan tersebut� (Andi Hamzah, 1987).
Demikian juga hal tersebut diatur dalam Pasal 1 butir
12 KUHAP,menyatakan bahwa, �hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi
atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang� (Sofyan & Asis, 2014).
Dengan demikian penjelasan diatas, dapat diambil
kesimpulan sementara bahwa, upaya hukum yang diatur didalam KUHAP merupakan hak
terdakwa/terpidana dan juga Jaksa Penuntut Umum untuk digunakan dalam hal,
ketika putusan hakim dinilai belum memberikan keadilan bagi pihak yang
berperkara.
Upaya hukum tersebut ada dua bentuk,� Upaya hukum tersebut berupa upaya hukum biasa
dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa ini diajukan oleh dua pihak yakni
terdakwa/terpidana dan Jaksa penuntut Umum. Namun begitu juga selanjutnya pada
upaya hukum luar biasa, akan tetapi Jaksa Penuntut Umum hanya dapat mengajukan
upaya hukum luar biasa sampai dengan kasasi demi kepentingan hukum. Pertanyaan
yang muncul, apakah ini dapat dikatakan adil. Sedangkan terdakwa/terpidana
dapat saja melakukan disemua upaya hukum sampai dengan peninjauan kembali,
sedangkan Jaksa Penuntut Umum hanya mendapatkan kedudukan sampai kasasi demi
kepentingan hukum.
Sebenarnya jika menilik pada upaya hukum luar biasa
yakni kasasi demi kepentingan hukum, Jaksa Penuntut Umum tidak leluasa
menggunakan hak tersebut, mengapa demikian, karena putusan kasasi demi
kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan yakni terpidana berdasarkan Konardi tahun 2017.
Sebagaimana rumusan redaksional Pasal Pasal 259 ayat 2
KUHAP menyatakan bahwa, �hukuman yang akan dijatuhkan oleh Mahkamah Agung atas
permintaan kasasi demi kepentingan hukum oleh jaksa penuntut umum tidak boleh
lebih berat dari hukuman semula yang telah dijatuhi dan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap� (Sofyan & Asis, 2014).
Dengan demikian dalam praktek peradilan pidana, kasasi
demi kepentingan hukum ini sangat jarang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum,
mengingat akan hal tidak dapat merubah amar putusan pengadilan. Maka dalam hal
ini tidak adil rasanya jika Penuntut Umum tidak diberikan kewenangan untuk
melakukan upaya hukum peninjauan kembali. Terlebih lagi ketika terdapat kasus
yang kelas kakap seperti tindak pidana korupsi.
Dari gagasan yang dipaparkan diatas merupakan
acuan-acuan untuk dapat di memformulasikan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali yang kemudian untuk mendapatkan sebuah kepastian
hukum atau landasan justifikasi, maka dalam hal ini diadakannya revisi terhadap
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam upaya untuk menyempurnakan sistem hukum di Indonesia
dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni dengan
melalui merevisi kembali Kitab Hukum Acara Pidana. Merevisi peraturan
perundang-undangan merupakan bentuk konsekuensi logis dari kebijakan hukum
pidana atau politik hukum pidana. Menurut pendapat Marc Ancel yang dikutip oleh
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa �Penal policy merupakan suatu ilmu
sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara baik dan untuk memberi pedoman tidak
hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang
menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan� berdasarkan
Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana tahun 2007
Lebih lanjut Barda Nawawi
Arief, menyatakan bahwa, �Politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan
penegakan hukum (law enforcement policy)�,
yang mana kebijakan tersebut menurut Bagir Manan yakni, �Menciptakan, pembaharuan
dan pengembangan hukum� berdasaarkan
Marbun tahun �2019.
Sejalan dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional, terdapat
didalamnya tentang perubahan disektor penegakan hukum, khususnya politik hukum
pidana yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam konstruksi kebijakan
hukum pidana berdasarkan
Adiyaryani, 2010.
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa merevisi peraturan perundang-undangan dalam hal ini KUHAP
merupakan pembaharuan terhadap substansial hukum acara pidana, sejalan dengan
teori hukum yang dimotori oleh Lawrence M. Friedman yang salah satunya yakni
�substansi� bahwa �Hasil-hasil yang diterbitkan oleh sistem hukum berupa
aturan-aturan hukum maupun yang tidak tertulis�. Berdasarkan Antohon
F. Susanto, dalam Lawrence M. Friedman tahub 2001.
Maksud dan tujuan tersebut
berupa penyempurnaan mekanisme penagakan hukum oleh sub struktur sistem
penegakan hukum serta menata kembali substansi hukum untuk mewujudkan tertib
perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki
perundang-undangan, agar kedepannya tidak ada lagi pasal-pasal yang dinilai
kontradiktif, tidak memberikan keadilan kepada para pencari keadilan. (Fendri, tthn)
Berangkat dari permasalahan-permasalahan yang secara
faktual dan konkret maka dalam RUU KUHAP yang sekarang ini, telah memberikan
hak kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dapat mengajukan peninjauan kembali,
sebagaimana dalam Pasal 260 aya (1) menyatakan:
�Apabila
terpidana atau ahli warisnya tidak mengajukan permohonan peninjauan kembali
terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1), demi kepentingan terpidana atau
ahli warisnya, Jaksa Agung berwenang mengajukan peninjauan kembali.�
Dengan demikian dalam uraian diatas mengenai
diberikannya hak kepada Jaksa Penuntut Umum di RUU KUHAP, oleh karena itu perlu
kiranya mengetahui penjelasan pasal tersebut, mengingat jika dibaca secara
sekilas akan menimbulkan penafsiran yang berbeda, maka dari itu sependek
pengetahuan penulis memberikan penjelasan terhadap pasal tersebut yakni, secara
sederhananya, jika terpidana dalam tingkat kasasi diputus lepas atau bebas dari
tuntutan hukum, maka Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali,
demikian juga jika terpidana dalam tingkat kasasi diputus bersalah, maka dapat
mengajukan peninjauan kembali.
Sehingga demikian, apabila RUU KUHAP yang nantinya
menjadi undang-undang diharapkan pada akhirnya substansi-substansi didalamya
yang telah mengatur sistem peradilan pidana akan lebih baik dari pada KUHAP.
Yang mana notabennya pada RUU KUHAP ini mengemban sebuah penegakan hukum yang
berkeadilan dan kepastian hukum. (pangaribuan, Volume 1,2014)
Oleh sebab itulah demi tegaknya keadilan dan kepastian
hukum, kiranya para pembuat Undang-undang agar memprioritaskan RUU KUHAP dapat
disahkan segerah mungkin, guna dapat terciptanya keserasian putusan dalam
sistem peradilan pidana.
Kesimpulan
Dalam hal ini hakim selaku ujung
tombak keadilan mencoba melakukan intepretasi atau biasa disebut penafsiran
hukum oleh hakim terhadap rumusan Pasal 263 KUHAP yang menimbulkan keraguan, kekaburan,
ketidakjelasan, dalam hal apakah terpidana saja yang dapat mengajukan
peninjauan kembali, atau kah ada pihak lain juga dapat mengajukan. Oleh sebab
itu hakim dalam mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut
Umum, antara lain, menerapkan Asas Equality of Arms untuk peradilan yang fair
trail. mengkorelasikan pada upaya hukum kasasi Pasal 244, yang mana menyatakan,
�putusan bebas tidak dapat dimintakan kasasi�, akan tetapi pada akhirnya hakim
melakukan case law yang telah menjadi state decisis melalui extensive
interpretation, serta mengenai perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang
berkepentingan yakni terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum yang mewakili kepentingan
umum (negara), sebagaimana dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
(sekarang Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009).
Agar tercapainya keadilan dan
kepastian hukum, kiranya melakukan redesain legal standing peninjauan kembali
oleh Jaksa Penuntut Umum.� Maka dalam hal
ini dapat merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terkait perluasan
subyek pemohon upaya hukum peninjauan kembali, seperti yang terdapat didalam
RUU KUHAP sekarang, bahwa Jaksa Penuntut Umum mendapatkan hak untuk mengajukan
upaya hukum peninjauan kembali. Oleh sebab itu para pembuat Undang-undang agar
memprioritaskan RUU KUHAP dapat disahkan segerah mungkin, guna dapat
terciptanya keserasian putusan dalam sistem peradilan pidana. Dan kepastian
hukumnya.
Andi Hamzah, I.
(1987). Upaya-Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
Adiyaryani, N. N. (2010). Upaya Hukum Kasasi Oleh Jaksa
Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas Dalam Sistem Peradilan Pidana. Tesis,
202. Google Scholar
Antohon F. Susanto, dalam Lawrence M. Friedman. (2001).
Antohon F. American Law An Introduction, Second Edition (Terjemahan Wisnu
Murti, Hukum Amerika Sebuuah Pengantar. Jakarta: PT Tata Nusa.
Arief, N. B. (2007). Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana,. Semarang: Universitas Diponegoro.
Chazawi, Adami. (2010). Lembaga peninjauan kembali (PK) perkara
pidana: Penegakan hukum dalam penyimpangan praktik & peradilan sesat.
Sinar Grafika. Google Scholar
Christianto, Hwian. (2010). Batasan dan perkembangan
penafsiran ekstensif dalam hukum pidana. Pamator Journal, 3(2),
101�113. Google Scholar
Dworkin, R. (1986). Law�s Empire. Cambridge: The Belknap
Press of Harvad University. Google
Scholar
Darmawan, R. (2012). Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan
Kembali Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana. Universitas Indonesia,
52. Google Scholar
Efendi, J. (2018). Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum
Hakim. Depok: Pranamedia Grup.
Fendri, A. (tthn). Perbaikan Sistem Hukum Dalam
Pembangunan Hukum Di Indonesia. Ilmu Hukum, 5. Google Scholar
Listiyanto, A. (2017). Pembaharuan Sistem Hukum Acara
Pidana. Rechts Vinding, 2.
Novendra, Ade Rizki. (2019). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Analisis Peraturan Pemerintah
Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe). Uin
Ar-Raniry. Google Scholar
Majalah Hukum Varia Peradilan. (2009). IKAHI, Jakarta
Marbun, R. (2019). Politik Hukum Pidana dan Sistem
Hukum Pidana di Indonesia. Malang: Setara Press.
Peter Mahmud Marzuki. (2009). Penelitian Hukum, Kencana:
Jakarta, hlm.22.
Pangaribuan, M. L. (Volume 1,2014). Hakim Pemeriksa Pendahuluan
(HPP) Dalam Rancangan Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jurnal Teropong
(Media Hukum dan Keadilan), 5.
Putusan No. 109 PK/Pid/2007. (2007). Diterkori
Putusan Mahkamah Agung RI, 1-51.
Putusan No. 55 PK/Pid/1996. (1996). Yurisprudensi
Mahkamah Agung, 356-382.
Putusan No.12 PK/Pid.Sus/2009. (1-134). Direktori
Putusan Mahkamah Agung RI.
Rustamaji, Muhammad. (2017). Pembaruan Hukum Acara Pidana
Melalui Telaah Sisi
Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum. Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
19(1), 1�17. Google Scholar
Konardi, S. m. (2017). Upaya Hukum Kasasi Demi
Kepentingan Hukum Di Indonesia. Jurnal Hukum Atma Jaya Yogyakarta, 8. Google Scholar
Soeparman, Parman. (2007). Pengaturan hak mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali dalam perkara pidana bagi korban kejahatan. Refika
Aditama. Google Scholar
Sofyan, Andi, & Asis, Abdul. (2014). Hukum Acara Pidana
Suatu Pengantar. Jakarta: Kencana. Google Scholar
Suharianto, B. (2012). Peninjauan Kembali Putusan Pidana
oleh Jaksa Penuntut Umum. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum
Peradilan Mahkamah Agung. Google
Scholar
Sutiyoso, Bambang. (2012). Metode Penemuan Hukum, Upaya
Menemukan Hukum yang Pasti. UII Press, Yogyakarta. Google Scholar
Wantu, Fence M. (2007). Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh
Hakim. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 19(3). Google Scholar
Muhammad Ridha (2021) |
First publication right: Journal Syntax Idea |
This article is licensed under: |