Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����

Vol. 3, No. 5, Mei 2021

 

REDESAIN LEGAL STANDING PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DEMI MEWUJUDKAN KEADILAN HUKUM

 

Muhammad Ridha

Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Jawa Tengah, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstract

The argument for equality before the law in the criminal justice system has not yet contributed to justice to justice seekers. This can be proven in the criminal justice system in Indonesia, where the Public Prosecutor as state attorney who represents the public interest as well as the victim, does not get legal standing, and has no legal standing. law to undertake a legal reconsideration effort. in the course of the criminal justice practice has broken the positivistic legalism which is marked by the emergence of decisions of the Supreme Court which grant the request for reconsideration by the Public Prosecutor. In this case also the decision will be used as a jurisprudence in the future for the same case. Therefore, it is interesting to study and analyze, by formulating two problems, what are the considerations of the Supreme Court in accepting legal remedies for review by the public prosecutor, how to redesign the legal standing of the review by the public prosecutor. This research is a juridical-normative legal research with data collection methods, namely literature study and descriptive-qualitative analysis. The conclusion of this research, the judge in granting the request for reconsideration by the Public Prosecutor, among others, applied the Equality of Arms Principle for a fair trail trial, secondly, revised the Criminal Procedure Code regarding the expansion of the subject of the applicant for legal reconsideration efforts, such as that contained in the Draft Criminal Procedure Code

 

Keywords: redesign; legal standing; herzeining, prosecutor; juctice

 

Abstrak

Argumentasi persamaan dihadapan hukum ini dalam sistem peradilan pidana belum memberikan sumbangsih keadilan kepada para pencari keadilan, Hal ini dapat dibuktikan dalam sistem paradilan pidana di Indonesia, dimana Jaksa Penuntut Umum sebagai pengacara negara yang mewakili kepentingan umum juga korban, tidak mendapatkan legal standing, dan dasar hukum untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali. dalam perjalanannya praktik peradilan pidana telah mendobrak legalistik positivistik yang ditandai munculnya putusan-putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam hal ini juga putusan tersebut jadikan sebuah yurisprudensi dikemudian hari untuk kasus yang sama. oleh karena itu menarik untuk di kaji dan di analisis, dengan merumuskan dua permasalahan, apa pertimbangan Mahkamah Agung menerima upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum,bagaimana redesain legal standing peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis-normatif dengan metode pengumpulan data yaitu studi pustaka dan analisis secara deskriptif-kualitatif. Kesimpulan penelitian ini, hakim dalam mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, antara lain, menerapkan Asas Equality of Arms untuk peradilan yang fair trail, kedua, merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terkait perluasan subyek pemohon upaya hukum peninjauan kembali, seperti yang terdapat didalam RUU KUHAP.

 

Kata Kunci: redesain; legal standing; peninjauan kembali; jaksa penuntut umum, keadilan

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara hukum yang telah menjamin semua warga negaranya tanpa terkecuali berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta persamaan dihadapan hukum. Amanat ini tertuang dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Namun demikian, dalam mengimplementasikan amanat konstitusi tersebut masih belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, dalam hal sistem peradilan pidana. Kendatipun demikian para sarjana hukum, ahli hukum mengatakan amanat tersebut sudah mengejewantah dalam bentuk sistem paradilan pidana itu sendiri.

Argumentasi persamaan dihadapan hukum ini dalam sistem peradilan pidana belum memberikan sumbangsih keadilan kepada para pencari keadilan, terutama korban yang masih belum mendapatkan tempat di KUHAP tersebut. Sejatinya korbanlah yang paling dirugikan ketika dalam sebuah kejahatan, namun demikian, lagi-lagi dibenturkan dengan regulasi yang ada.

Hal ini dapat dibuktikan dalam sistem paradilan pidana di Indonesia, dimana Jaksa Penuntut Umum sebagai pengacara negara yang mewakili kepentingan umum juga korban, tidak mendapatkan legal standing, dan dasar hukum untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali. Memang secara rumusan redaksional Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa, �Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung�, artinya secara limitatif yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali yakni terpidana atau ahli warisnya serta putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana frasa yang mengatakan kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Menurut hemat penulis, jika memang Pasal 263 KUHAP ini diperuntukan kepada terpidana, maka seharusnya frasa dan ayat selanjutnya harus konsisten juga, tidak serta merta membingungkan para penegak hukum pada umumnya, hakim pada khususnya. Seperti pada Pasal 263 ayat (3) yang menyatakan bahwa, �Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2 terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbutkti akan tetapi tidaki diikuti oleh suatu pemidanaan�. Pada pasal tersebut menggambarkan bahwa Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan peninjauan kembali atas dasar adanya novum, pelbagi putusan terdapat pernyataan kekhilafan hakim, serta putusan yang didakwakan telah terbukti namun putusan tersebut tidak diikuti oleh pemidanaan. Maka jelas rumusan ayat (3) ini merupan pintu masuk Jaksa untuk melakukan peninjauan kembali.

Dengan demikian, hemat penulis menyikapi rumusan Pasal 263 KUHAP ini terdapat ketidakjelasan dalam membentuk sebuah frasa, saling kontradiktif antara ayat satu dan ayat berikutnya. Maka dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum tidak salah ketika melakukan pengajuaan upaya umum peninjauan kembali dan juga menurut penulis tidak menabrak asas-asas dalam KUHAP, terlebih lagi jika Penuntut Umum dapat membuktikan dakwaan terpidana di pengadilan, maka sudah barang tentu Jaksa Penuntut Umum diberikan peluang atau diberikan kewenangan untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali.

Maksud dan tujuan diberikannya kewenangan, ketika dalam menghadapi kasus yang kelas kakap, katakanlah tindak pidana korupsi yang mana telah merugikan keungan negara, tindak pidana terorisme yang telah merenggut hak asasi manusia lainnya yang diputus bebas di tingkat kasasi, padahal dalam dakwaannya telah terbukti, juga terdapat kekhilafan hakim dalam mengambil putusan serta adanya novum dikemudian hari, maka demi menegakkan keadilan terhadap putusan bebas dapat dimintakan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum.

Namun pada hakekatnya sistem peradilan pidana dikatakan baik, bukan saja dilihat dapa tataran prosesnya saja yang berlangsung secara jujur, bersih dan tidak memihak. Namun ada kriteria yang harus terpenuhi, yakni berupa prinsip yang bersifat terbuka, korektif, dan rekorektif. Dalam hal ini sistem upaya hukum menjadi penting untuk mendapatkan perhatian dalam menejemen peradilan, agar tercapainya prinsip fairness dan trial independency, yang mana prinsip tersebut diakui secara universal. (Soeparman, 2007).

Namun dalam perjalanannya praktik peradilan pidana telah mendobrak legalistik positivistik yang ditandai munculnya putusan-putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam hal ini juga putusan tersebut jadikan sebuah yurisprudensi dikemudian hari untuk kasus yang sama.

Beranjak dari kemunculan putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum untuk pertama kalinya terhadap kasus penghasutan buruh yang dipimpin oleh Muchtar Pakpahan sebagai Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera (SBSI), dengan perkara No. 55PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996.

Bermula dapa kasus tersebut mengundang banyak kritikan dari para sarjana hukum, juga para ahli hukum, serta aktivis HAM pada waktu itu juga mengkritik tindakan peradilan, bahwa penegak hukum yang pada umumnya, hakim pada khususnya telah mendobrak asas yang ada pada KUHAP, dan peradilan tersebut bisa dikatakan peradilan sesat, sehingga untuk kedepannya jangan lagi terjadi peradilan sesat tersebut. Seperti pandangan Adami Chazawi terkait gejalah tersebut bahwa, �Jaksa Penuntut Umum tidak dibenarkan didalam KUHAP untuk melakukan peninjauan kembali, dan juga alasan Mahkamah Agung yang membenarkan pengajuan permintaan peninjauan kembali merupakan peradilan sesat dalam hukum, bukan sesat dalam hal dan karena fakta�, (Chazawi, 2010).

Namun tidak bisa dipungkiri terjadi arus frekuensi terhadap argumen yang dahulunya mengkritik peradilan pada kasus Mochtar Pakpahan, kini mendorong Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa Pollycarpus. Selanjutnya kasus tindak pidana korupsi oleh Joko Soegiarto Tjandra yang dimana dalam pengadilan tingkat pertama sampai tingkat kasasi di putus lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging).

Disisi lain, beberapa kasus tersebut memunculkan pandangan Muhammad Alim bahwa, �Kitab Hukum Acara Pidana harus memperlakukan sama terhadap semua pihak, betapa tidak adilnya jika Jaksa Penuntut Umum yang mewakili masyarakat pada umumnya, korban pada khususnya tidak diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali. Adalah suatu perlakukan yang tidak sama (unequal treatment) apabila seseorang narapidana sangat dilindungi, sementara korban tidak diberikan perlindungan yang sepadan dengan terpidana dalam hal ada Novum untuk memohon peninjauan kembali. Terpidana sudah nyata, berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah orang yang bersalah masih diberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali, sementara korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum adalah orang yang baik yang telah dizhalimi oleh terpidana, tetapi tidak diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali�. (Suharianto, 2012).

Selanjutnya pandangan dari Mardjono Reksodiputro mengatakanpeninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap perkara pidana yang diputus bebas atau diputus lepas dari tuntutan hukum adalah sah-sah saja, karena tugas Mahkamah Agung adalah harmonisasi/unifikasi hukum dengan cara menafsirkan dengan mempersempit atau memperluas, selain itu Mahkamah Agung dapat melakukan interpretasi yang nantinya dapat atau untuk dijadikan Undang-Undang sehingga dapat mengikuti perkembangan dan tidak kontemporer, agar tercapainya keadilan dan kepastian serta kemanfaatan hukum�, sebagaimana dalam Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Dengan demikian yang menjadi titik permasalahan terletak pada rumusan redaksional Pasal 263 KUHAP itu sendiri yang menimbulkan ketidakjelasan dalam membentuk sebuah frasa, saling kontradiktif antara ayat satu dan ayat berikutnya. Maka sejalan dengan pandangan Jeremy Betham �maximizing Happines and minimizing pains� yang diterjemahkan oleh Nurhadi bahwa, �peraturan perundang-undangan harus konsisten, pelaksanaanya jelas, sederhana dan ditegakkan secara tegas. Sehingga hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna, karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman bagi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana(Wantu, 2007).

Untuk mengkonter suatu peraturan yang ketidakjelasan norma, saling kontradiktif antara satu sama yang lain. Hakim dalam hal ini menurut Utrecht, hakim harus pandai dan mempunyai inisiatif dalam hal adanya gejala tersebut untuk dapat diselesaikan.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). (Peter Mahmud Marzuki, 2009) Bahan hukum dalam penelitian ini bahan hukum primer yang terdiri dari bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini, yang terdiri dari: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari jurnal, buku, dan penelitian yang relevan. Bahan hukum tersier berupa kamus hukum. Untuk menguatkan bahan hukum tersebut. Metode analisis yang digunakan deskriptif-kualitatif untuk menjawab rumusan masalah.

 

Hasil dan Pembahasan

A.      Pertimbangan mahkamah agung menerima upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum

Kebebasan hakim dalam melaksanakan wewenang justisialnya tidak serta merta sifatnya mutlak, mengingat akan hal tugas hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan, hal ini berdasarkan irah-irah �Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa�. Hal ini menandakan bahwa hakim lebih mengutamakan keadilan diatas segalanya.

Akan tetapi pada prakteknya memaknai keadilan untuk penanganan sebuah perkara hukum masih menjadi perdebatan dalam dunia akademisi juga praktisi yang mana menilai bahwa pengadilan kurang adil jika terlalu sarat akan prosedural, formalistik dengan kata lain legal positivistik. Hal inilah kemudian menjadikan hukum masih kaku untuk memberikan putusan dalam suatu perkara. Maka dari itu, cara pandang hakim yang ideal seharusnya mampu untuk mewujudkan spirit keadilan dalam masyarakat dan juga mampu keluar dari keterbelengguan legal positivistik yang kaku tersebut. Sehingga hakim tidak lagi sebagai corong undang-undang.

Namun dalam pengambilan putusan oleh hakim, harus mempertimbangkan beberapa hal, dalam hal ini mengabulkan permohonan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar, serta asas-asas yang menjadi landasannya. Akan tetapi dalam praktek peradilan pidana di Indonesia, upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum menimbulkan perdebatan mengenai siapakah yang berhak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Sebelum ke pokok pembahasan, terlebih dahulu menguraikan singkat terhadap beberapa putusan yang mengabulkan permohonan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, yakni sebagai berikut:

Jika melihat pada rumusan redaksional Pasal 263 ayat (1) KUHAP peninjauan kembali diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Akan tetapi jika Pasal 263 KUHAP tidak dibaca secara sepotong-sepotong, maka Jaksa Penuntut Umum mempunyai hak yang sama dengan terpidana, yakni dapat juga mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Secara eksplisit Pasal 263 KUHAP sebagai berikut:

Ayat (1),�Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung�.

Ayat (2),�Peninjauan kembali dilakukan atas dasar; (a) apabila terdapat keadaan baru, (b) apabila dalam pelbagi putusan terdapat pernyataan kekhilafan hakim�.

Ayat (3),�Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2 terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbutkti akan tetapi tidaki diikuti oleh suatu pemidanaan�.

Jika dilihat rumusan Pasal 263 KUHAP diatas yang secara keseluruhan, maka jelas ada rumusan frasa yang ambigu, sehingga menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dalam hal apakah terpidana saja yang dapat mengajukan peninjauan kembali, atau kah ada pihak lain juga dapat mengajukan. Maka sudah jelas dalam hal ini terhadap rumusan yang ambigu tersebut menimbulkan implikasi dalam peradilan pidana, dimana ditandai adanya beberapa putusan yang telah mengabulkan permohonan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, sebagai berikut:

1.    Putusan Mochtar Pakpahan

Jaksa Penuntut Umum Negeri Medan dalam dakwaannya, bahwa Mochtar Pakpahan melanggar Pasal 160 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan dakwaan berikutnya yakni, Mochtar Pakpahan melanggar Pasal 161 ayat(1) KUHP. Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan, maka Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 27 Oktober 1994 menuntut, bahwa terdakwa Mochtar Pakpahan melakukan tindak pidana penghasutan yang dilakukan secara berlanjut, agar terdakwa dipidana penjara selama 4 tahun, potongan tahanan dengan perintah tetap ditahan.

Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum diatas, dalam hal ini majelis hakim Pengadilan Negeri Medan mengeluarkan putusan dengan Nomor 966/Pid.B/1994/PN.Mdn pada tanggal 7 November 1994 yang amar putusannya bahwa menyatakan terdakwa Mochtar Pakpahan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan tindak pidana pengahasutan yang dilakukan secara berlanjut, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Mochtar Pakpahan dengan pidana selama 3 tahun.

Terhadap putusan Pengadilan Negeri Medan, Mochtar Pakpahan melakukan upaya hukum banding. Selanjutnya menerima permohonan terdakwa pada tingkat Pengadilan Tinggi Medan dengan Nomor 188/Pid/1994/PT.Mdn pada tanggal 16 Januari 1995 dengan amar putusannya bahwa, memperbaiki putusan pada Pengadilan Negeri Medan yang semulanya 3 tahun menjadi pidana penjara selama 4 tahun, dikurangi masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dan terdakwa tetap ditahan.

Selanjutnya terhadap putusan Pengadilan Tinggi Medan yang memperkuat putusan, terdakwa Mochtar Pakpahan mengajukan upaya hukum kasasi, dan Mahkamah Agung mengeluarkan putusan pada tanggal 29 September 1995 dengan Nomor 395/K/Pid/1995 dengan amar putusan, bahwa mengbulkan permohonan kasasi dari pemohon yakni terdakwa Mochtar Pakpahan, membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan dan juga putusan Pengadilan Negeri Medan, serta menyakatan terdakwa Mochtar Pakpahan tidak terbukti secarah sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan kepadannya, membebaskan terdakwa dari semua dakwaan, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya.

Terhadap putusan di tingkat kasasi yang membebaskan terdakwa Mochtar Pakpahan inilah yang kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali. Dengan demikian Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dengan Nomor 55 PK/Pid/1996 pada tanggal 25 Oktober 1996 dengan amar putusannya, bahwa membatalkan putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, serta menghukum terdakwa Mochtar Pakpahan dengan pidana penjara selama 4 tahun, dikurangi dengan masa tahanan yang telah dijalani terdakwa. (Putusan No. 55 PK/Pid/1996, 1996)

2.    Putusan Pollycarpus Budiari Priyanto

Jaksa Penuntut Umum Negeri Jakarta Pusat dalam dakwaannya, bahwa Pollycarpus Budihari Priyanto telah melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan juga melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP. Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan, maka Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 1 Desember 2005 menuntut terdakwa yang pada pokoknya bahwa, terdakwa Pollycarpus Bidihari Priyanto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan menggunakan surat palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 263 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, mejatuhkan pidana terhadap terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto dengan pidana penjara seumur hidup.

Terhadap tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum diatas, maka majelas hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan putusan Nomor 1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst pada tanggal 20 Desember 2005 dengan amar putusannya bahwa terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana turut melakukan pembunuhan berencana dan turut melakukan pemalsuan surat, menghukum terdakwa oleh karena perbuatan tersebut dengan penjara 14 tahun dan dikurangi selama terdakwa menjalankan tahanan sementara.

Terhadap putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto mengajukan upaya hukum banding. Selanjutnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan pemohon terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto dengan Nomor 16/PID/2006/PT.DKI.Jkt pada tanggal 27 Maret 2006, yang mana amar putusannya bahwa menguatkan putusan Pengadilan Negeri DKI Jakarta Pusat.

Atas putusan pada tingkat banding diatas, terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto mengajukan upaya hukum kasi, yang selanjutnya Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pemohon terdakwa dengan putusan Nomor 1185 K/Pid/1995 pada tanggal 3 Oktober 2006 yang amar putusannya bahwa membatalkan putusan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, serta menyatakan terdakwa Pollycarpur Budihari Priyanto tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut melakukan pembunuhan berencana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, membebaskan dari dakwaan, dan menyatakan terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menggunakan surat palsu, serta menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dikurangi dengan masa tahanan sementara.

Selanjutnya terhadap putusan tingkat kasasi diatas, maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dengan dimikian Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum dalam putusan Nomor 109 PK/Pid/2007 pada tanggal 25 Januari 2008 yang pada amar putusannya bahwa membatalkan putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, serta menyatakan terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan pidana pembunuhan berencana dan melakukan pemalsuan surat, menghukum terpidana dengan pidana penjara salam 20 tahun dan dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalaninya. (Putusan No. 109 PK/Pid/2007, 2007).

3.    Putusan Joko Soegiarto Tjandra

Jaka Penuntut Umum Negeri Jakarta Selatan yang dalam dakwaan primairnya yakni, bahwa Joko Soegiarti Tjandra telah melanggar Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 Jo Pasal 34C Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 1 ayat (2) KUHP, sedangkan dakwaan subsidairnya telah melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasl 34C Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 jo Undang-undang Nomor 31 Nomor 1999 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 1 ayat (2) KUHP, berikutnya dakwaan lebih subsidair yakni melanggar Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 1 yat(!) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34C Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 1 ayat (2) KUHP, selanjutnya dakwaan lebih subsidair melanggar Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 1 ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Psal 34C Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 jo Undang-Undang 31 tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 1 ayat (2) KUHP berdasarkan Majalah Hukum Varia Peradilan tahun 2009.

Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan, maka Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 31 Juli 2000 menuntut terdakwa Joko Soegiarto Tjandra menyatakan bahwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan berdasarkan Majalah Hukum Varia Peradilan tahun 2009.

Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum diatas, maka hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan amar putusannya Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel pada tanggal 28 Agustus 2000 menyatakan bahwa terdakwa terbukti sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, tetapi perbuatan itu bukan merupakan perbuatan pidana, menyakat terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum.

Selanjutnya terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jaksa Penuntut Umum melakukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung, akan tetapi permohonan pemohon Jaksa Penuntut Umum ditolak oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian atas putusan Mahkamah Agung, Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali, yang selanjutnya mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum dengan putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 pada tanggal 11 Juni 2009 yang dalam amar putusannya bahwa membatalkan putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta menyatakan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana turut serta melakukan tindak pidana korupsi, menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 2 tahun berdasarkan Putusan No.12 PK/Pid.Sus/2009, 1-134.

Dari beberapa uraian singkat diatas terhadap upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, maka sudah jelas bahwa hakim telah melampaui batas wewenangnya dalam hal mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum. Lantas bagaimana dengan pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum. Maka dalam hal ini hakim selaku ujung tombak keadilan mencoba melakukan intepretasi atau biasa disebut penafsiran hukum oleh hakim yang mana rumusan Pasal 263 yang dipaparkan diawal menimbulkan kontradiktif antara pasal yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini Menurut pandangan Bambang Sutiyoso, menyatakan bahwa, �Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan pada peristiwa konkrit tersebut�. (Sutiyoso, 2012)

Aliran penemuan hukum oleh hakim yang dikutip oleh Joenaedi Efendi, mengajarkan bahwa:

Sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas, dan hakum sebagai sistem tertutup. Kekurangan undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh hakim dengan penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan bukan sebagai sarana, sehingga hakim dapat mewujudkan kepastian hukum. (Efendi, 2018).

 

Kegiatan interpretasi hukum yang dilakukan oleh hakim dalam sistem peradilan pidana merupakan metode untuk memahami makna yang berada dalam sebuah peraturan perundang-undangan, kendatipun demikian, penggunaan metode tersebut tidak serta merta selalu digunakan oleh hakim, karen metode tersebut mempunyai batas yang dimana ketika rumusan pasal dalam perundang-undangan masih ambigu, maka hakim dalam hal ini dapat melakukan metode interpretasi.

Namun didalam metode interpretasi hukum terdapat berbagai macam interpretasi yang digunakan, seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sejarah, penafsiran sistematis, penafsiran sosiologis, dan penafsiran auntentik, serta penafsiran ekstensif. Untuk mempersingkat uraian mengenai macamnya, maka dalam penulisan ini akan menitikberatkan dan mengurai secara singkat pada penafsiran ekstensif.

Van Bemmelen mengemukakan metode penafsiran berupa principiele interpretatie, metode penafsiran model ini tergolong dalam penafsiran ekstensif. Penafsiran ekstensif merupakan penafsiran yang model metodenya yakni perluasan makna dari rumusan peraturan perundang-undangan (Christianto, 2010).

Maka dalam konteks ini, penggunaan Pasal 263 KUHAP selain terpidana atau ahli warisnya, Jaksa Penuntut Umum juga dapat melakukan upaya hukum peninjauan kembali, sebagaimana dalam praktek peradilan pidana mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. Mengenai dasar pertimbangannya hakim sebelum melakukan penafsiran, tentu akan beranjak pada pembentukan KUHAP itu sendiri, yang mana pembentukan KUHAP merujuk dan berdasarkan Pasal 14 ICCPR tentang Equality of Arms.

Asas Equality of Arms untuk menerapkan peradilan yang fair trail , maka dalam hal ini yang dimaksud adalah, peradilan yang jujur dan tidak memihak, lebih lanjut mengenai Equality of Arms, ada beberapa hak untuk diterapkan dalam peradilan, antara lain:

1.    Semua pihak (terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum) harus memiliki kesempatan yang sama untuk membuktikan diri dan berargumen di pengadilan.

2.    Tidak ada satu pihak pun dalam proses dipengadilan ditempatkan dalam suatu keadaan yang berbeda dibandingkan pihak lain.

3.    Semua pihak harus mendapatkan akses yang adil dan efektif dalam pengadilan.

Pertimbangan berikutnya oleh hakim, yakni mengkorelasikan pada upaya hukum kasasi Pasal 244, yang mana menyatakan, �putusan bebas tidak dapat dimintakan kasasi�, akan tetapi pada akhirnya hakim melakukan case law yang telah menjadi state decisis melalui extensive interpretation.

Selanjutnya, mengenai perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yakni terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum yang mewakili kepentingan umum (negara), sebagaimana dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009)

Pertimbangan-pertimbangan hakim yang dipaparkan diatas merupakan ringkasan putusan perkara No. 55PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996 dengan terdakwa Mochtar Pakpahan, serta putusan tersebut menjadi yurisprudensi sebagai landasan hakim untuk kedepannya dalam memeriksa kasus yang sama. Maka dari itu Jaksa Penuntut Umum tidak salah ketika melakukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap kasus Pollycarpus dan juga Joko Soegiarto Tjandra, yang mana dari kedua kasus tersebut dalam tingkat pertama sampai tingkat banding diputus bersalah, namun dalam tingkat kasasi di vonis lepas dari tuntutan hukum oleh hakim. Sehingga dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum sebagai pengacara negara yang mewakili kepentingan umum melakukan upaya hukum peninjauan kembali, kendatipun tidak dibenarkan dalam KUHAP, akan tetapi Jaksa Penuntut Umum menggunakan dasar hukum mengajukan peninjauan kembali yakni adanya yurisprudensi, sedangkan dalam sistem hukum Indonesia, yurisprudensi mendapatkan kedudukan sebagai salah satu sumber hukum Indonesia.

Maka dari itu, demi tegaknya keadilan bagi seluruh rakyat indonesia tanpa terkecuali, persamaan hak didapan hukum tanpa membedakan, perlu kiranya mendapatkan perlakuan yang sama dengan terpidana atau ahli warisnya untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Dalam artian memberikan kedudukan kepada Jaksa Penuntut Umum. Terlebih lagi jika Penuntut Umum menangani kasus tindak pidana korupsi, karena dalam hal ini tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime, maka dalam penanganannya perlu dengan luar biasa pula.

Mengutip pandangan Mardjono Reksodiputro mengatakan �peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap perkara pidana yang diputus bebas atau diputus lepas dari tuntutan hukum adalah sah-sah saja, karena tugas Mahkamah Agung adalah harmonisasi/unifikasi hukum dengan cara menafsirkan dengan mempersempit atau memperluas, selain itu Mahkamah Agung dapat melakukan interpretasi yang nantinya dapat atau untuk dijadikan Undang-Undang sehingga dapat mengikuti perkembangan dan tidak kontemporer, agar tercapainya keadilan dan kepastian serta kemanfaatan hukum�.

Lebih lanjut pandangan Muhammad Alim bahwa, �Kitab Hukum Acara Pidana harus memperlakukan sama terhadap semua pihak, betapa tidak adilnya jika Jaksa Penuntut Umum yang mewakili masyarakat pada umumnya, korban pada khususnya tidak diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali. Adalah suatu perlakukan yang tidak sama (unequal treatment) apabila seseorang narapidana sangat dilindungi, sementara korban tidak diberikan perlindungan yang sepadan dengan terpidana dalam hal ada Novum untuk memohon peninjauan kembali. Terpidana sudah nyata, berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah orang yang bersalah masih diberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali, sementara korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum adalah orang yang baik yang telah dizhalimi oleh terpidana, tetapi tidak diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali�. (Suharianto, 2012)

Sebagaimana dalam Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan bahwa, �kekuasaan merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna untuk menegakkan hukum dan keadilan�.

B.       Redesain legal standing peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum

Hukum acara pidana merupakan pedoman penegak hukum atau tata cara dalam beracara di peradilan di Indonesia, yang mana diciptakan dengan persistensi yang tinggi untuk ditepati kepastian hukumnya. Sehingga acapkali dipandang sebagai hukum yang statis dan tidak memerlukan dinamisasi dalam penegakannya. Oleh karenanya, hukum acara pidana ini disebut sebagai hukum yang tiada tempat untuk menafsir. Ungkapan ini seakan-akan menjadi pembenar akan statis hukum acara tersebut.

Oleh karena itu pandangan yang disampaikan Dworkin, yang mana �hukum itu selalu interpretif, dan juga kebekuan tekstual hukum itu sangat mungkin dicairkan sehingga menjadi perdebatan dan menunjukkan realitas yang melee�. (Dworkin, 1986) Oleh sebab itulah hukum acara pidana ini yang bersifat sebagai hukum statis yang hanya memedulikan kepastian hukum, dan juga terjebak pada kepastian teks hukum semata, sehingga pada akhirnya harus diruntuhkan dengan cara diperbaharuhi (Rustamaji, 2017).

hal juga sama dengan dokrin bahwa �Undang-Undang bukan sebagai kitab suci�, maka sudah jelas dalam hal ini sangat memungkinkan untuk melakukan pembaharuan dalam hukum acara pidana, agar dapat dipakai sebagai rambu-rambu, landasan justifikasi dalam upaya melakukan keadilan.

Pembaharuan hukum di sektor hukum acara pidana merupakan bagian dari pembangunan hukum nasional guna mengatasi berbagai permasalahan dalam rangka penegakan hukum, yakni mengenai proses penyelesaian perkara pidana yang berkeadilan. Namun disamping itu juga bertujuan untuk merevitalisasi peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, disharmoni dan multitafsir (Listiyanto, 2017).

Dalam rangka redesain, merancang atau membentuk undang-undang yang akan datang, perlu kiranya memerhatikan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yakni:

a.       Kejelasan tujuan

b.      Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat

c.       Kesesuaian antara jenis dan materi muatan

d.      Dapat dilaksanakan

e.       Kedayagunaan dan kehasilgunaan

f.        Kejelasan rumusan dan

g.      Keterbukaan (Novendra, 2019).

Dari pemaparan di rumusan pertama secara singkat, bahwa Jaksa Penuntut Umum telah mendapatkan kedudukan untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali yang berlandaskan pada yurisprudensi. Maka dalam hal ini atas dasar peradilan yang fair trail, semua pihak harus memiliki kesempatan untuk dapat berargumen dan membuktikan di pengadilan, serta berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) yakni, mengenai perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yakni terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum dan juga berdasarkan Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan bahwa,�kekuasaan merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna untuk menegakkan hukum dan keadilan�.

Meminjam perkataan Jeremy Betham �maximizing Happines and minimizing pains� yang diterjemahkan oleh Nurhadi bahwa, peraturan perundang-undangan harus konsisten, pelaksanaanya jelas, sederhana dan ditegakkan secara tegas. Sehingga hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna, karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman bagi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. (Wantu, 2007).

Oleh karena itu, perlu dilakukan redesain terhadap KUHAP untuk mendapatkan legitimasi oleh hukum positif,agar Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan upaya hukum peninjauan kembali, demi mewujudkan keadilan substansif yaitu:

1.    Merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terkait perluasan subyek pemohon upaya hukum peninjauan kembali

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdapat Bab yang mengatur hak untuk membela diri dari putusan hakim, yang dinilai belum sesuai harapan, yakni upaya hukum. Upaya hukum tersebut Menurut Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, �merupakan sarana untuk melaksanakan hukum, yaitu hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk tidak menerima penerapan atau putusan-putusan pengadilan, karena tidak merasa puas dengan penetapan atau putusan tersebut� (Andi Hamzah, 1987).

Demikian juga hal tersebut diatur dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP,menyatakan bahwa, �hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang� (Sofyan & Asis, 2014).

Dengan demikian penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa, upaya hukum yang diatur didalam KUHAP merupakan hak terdakwa/terpidana dan juga Jaksa Penuntut Umum untuk digunakan dalam hal, ketika putusan hakim dinilai belum memberikan keadilan bagi pihak yang berperkara.

Upaya hukum tersebut ada dua bentuk,Upaya hukum tersebut berupa upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa ini diajukan oleh dua pihak yakni terdakwa/terpidana dan Jaksa penuntut Umum. Namun begitu juga selanjutnya pada upaya hukum luar biasa, akan tetapi Jaksa Penuntut Umum hanya dapat mengajukan upaya hukum luar biasa sampai dengan kasasi demi kepentingan hukum. Pertanyaan yang muncul, apakah ini dapat dikatakan adil. Sedangkan terdakwa/terpidana dapat saja melakukan disemua upaya hukum sampai dengan peninjauan kembali, sedangkan Jaksa Penuntut Umum hanya mendapatkan kedudukan sampai kasasi demi kepentingan hukum.

Sebenarnya jika menilik pada upaya hukum luar biasa yakni kasasi demi kepentingan hukum, Jaksa Penuntut Umum tidak leluasa menggunakan hak tersebut, mengapa demikian, karena putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan yakni terpidana berdasarkan Konardi tahun 2017.

Sebagaimana rumusan redaksional Pasal Pasal 259 ayat 2 KUHAP menyatakan bahwa, �hukuman yang akan dijatuhkan oleh Mahkamah Agung atas permintaan kasasi demi kepentingan hukum oleh jaksa penuntut umum tidak boleh lebih berat dari hukuman semula yang telah dijatuhi dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap� (Sofyan & Asis, 2014).

Dengan demikian dalam praktek peradilan pidana, kasasi demi kepentingan hukum ini sangat jarang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum, mengingat akan hal tidak dapat merubah amar putusan pengadilan. Maka dalam hal ini tidak adil rasanya jika Penuntut Umum tidak diberikan kewenangan untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali. Terlebih lagi ketika terdapat kasus yang kelas kakap seperti tindak pidana korupsi.

Dari gagasan yang dipaparkan diatas merupakan acuan-acuan untuk dapat di memformulasikan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali yang kemudian untuk mendapatkan sebuah kepastian hukum atau landasan justifikasi, maka dalam hal ini diadakannya revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam upaya untuk menyempurnakan sistem hukum di Indonesia dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni dengan melalui merevisi kembali Kitab Hukum Acara Pidana. Merevisi peraturan perundang-undangan merupakan bentuk konsekuensi logis dari kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana. Menurut pendapat Marc Ancel yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa �Penal policy merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan� berdasarkan Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana tahun 2007

Lebih lanjut Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa, �Politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy)�, yang mana kebijakan tersebut menurut Bagir Manan yakni, �Menciptakan, pembaharuan dan pengembangan hukum� berdasaarkan Marbun tahun 2019.

Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional, terdapat didalamnya tentang perubahan disektor penegakan hukum, khususnya politik hukum pidana yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam konstruksi kebijakan hukum pidana berdasarkan Adiyaryani, 2010.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa merevisi peraturan perundang-undangan dalam hal ini KUHAP merupakan pembaharuan terhadap substansial hukum acara pidana, sejalan dengan teori hukum yang dimotori oleh Lawrence M. Friedman yang salah satunya yakni �substansi� bahwa �Hasil-hasil yang diterbitkan oleh sistem hukum berupa aturan-aturan hukum maupun yang tidak tertulis�. Berdasarkan Antohon F. Susanto, dalam Lawrence M. Friedman tahub 2001.

Maksud dan tujuan tersebut berupa penyempurnaan mekanisme penagakan hukum oleh sub struktur sistem penegakan hukum serta menata kembali substansi hukum untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki perundang-undangan, agar kedepannya tidak ada lagi pasal-pasal yang dinilai kontradiktif, tidak memberikan keadilan kepada para pencari keadilan. (Fendri, tthn)

Berangkat dari permasalahan-permasalahan yang secara faktual dan konkret maka dalam RUU KUHAP yang sekarang ini, telah memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dapat mengajukan peninjauan kembali, sebagaimana dalam Pasal 260 aya (1) menyatakan:

�Apabila terpidana atau ahli warisnya tidak mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1), demi kepentingan terpidana atau ahli warisnya, Jaksa Agung berwenang mengajukan peninjauan kembali.�

Dengan demikian dalam uraian diatas mengenai diberikannya hak kepada Jaksa Penuntut Umum di RUU KUHAP, oleh karena itu perlu kiranya mengetahui penjelasan pasal tersebut, mengingat jika dibaca secara sekilas akan menimbulkan penafsiran yang berbeda, maka dari itu sependek pengetahuan penulis memberikan penjelasan terhadap pasal tersebut yakni, secara sederhananya, jika terpidana dalam tingkat kasasi diputus lepas atau bebas dari tuntutan hukum, maka Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, demikian juga jika terpidana dalam tingkat kasasi diputus bersalah, maka dapat mengajukan peninjauan kembali.

Sehingga demikian, apabila RUU KUHAP yang nantinya menjadi undang-undang diharapkan pada akhirnya substansi-substansi didalamya yang telah mengatur sistem peradilan pidana akan lebih baik dari pada KUHAP. Yang mana notabennya pada RUU KUHAP ini mengemban sebuah penegakan hukum yang berkeadilan dan kepastian hukum. (pangaribuan, Volume 1,2014)

Oleh sebab itulah demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum, kiranya para pembuat Undang-undang agar memprioritaskan RUU KUHAP dapat disahkan segerah mungkin, guna dapat terciptanya keserasian putusan dalam sistem peradilan pidana.

 

Kesimpulan

Dalam hal ini hakim selaku ujung tombak keadilan mencoba melakukan intepretasi atau biasa disebut penafsiran hukum oleh hakim terhadap rumusan Pasal 263 KUHAP yang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dalam hal apakah terpidana saja yang dapat mengajukan peninjauan kembali, atau kah ada pihak lain juga dapat mengajukan. Oleh sebab itu hakim dalam mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, antara lain, menerapkan Asas Equality of Arms untuk peradilan yang fair trail. mengkorelasikan pada upaya hukum kasasi Pasal 244, yang mana menyatakan, �putusan bebas tidak dapat dimintakan kasasi�, akan tetapi pada akhirnya hakim melakukan case law yang telah menjadi state decisis melalui extensive interpretation, serta mengenai perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yakni terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum yang mewakili kepentingan umum (negara), sebagaimana dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sekarang Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009).

Agar tercapainya keadilan dan kepastian hukum, kiranya melakukan redesain legal standing peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum.Maka dalam hal ini dapat merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terkait perluasan subyek pemohon upaya hukum peninjauan kembali, seperti yang terdapat didalam RUU KUHAP sekarang, bahwa Jaksa Penuntut Umum mendapatkan hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Oleh sebab itu para pembuat Undang-undang agar memprioritaskan RUU KUHAP dapat disahkan segerah mungkin, guna dapat terciptanya keserasian putusan dalam sistem peradilan pidana. Dan kepastian hukumnya.

BIBLIOGRAFI

 

Andi Hamzah, I. (1987). Upaya-Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

 

Adiyaryani, N. N. (2010). Upaya Hukum Kasasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas Dalam Sistem Peradilan Pidana. Tesis, 202. Google Scholar

 

Antohon F. Susanto, dalam Lawrence M. Friedman. (2001). Antohon F. American Law An Introduction, Second Edition (Terjemahan Wisnu Murti, Hukum Amerika Sebuuah Pengantar. Jakarta: PT Tata Nusa.

 

Arief, N. B. (2007). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,. Semarang: Universitas Diponegoro.

 

Chazawi, Adami. (2010). Lembaga peninjauan kembali (PK) perkara pidana: Penegakan hukum dalam penyimpangan praktik & peradilan sesat. Sinar Grafika. Google Scholar

 

Christianto, Hwian. (2010). Batasan dan perkembangan penafsiran ekstensif dalam hukum pidana. Pamator Journal, 3(2), 101�113. Google Scholar

 

Dworkin, R. (1986). Law�s Empire. Cambridge: The Belknap Press of Harvad University. Google Scholar

 

Darmawan, R. (2012). Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana. Universitas Indonesia, 52. Google Scholar

 

Efendi, J. (2018). Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim. Depok: Pranamedia Grup.

 

Fendri, A. (tthn). Perbaikan Sistem Hukum Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia. Ilmu Hukum, 5. Google Scholar

 

Listiyanto, A. (2017). Pembaharuan Sistem Hukum Acara Pidana. Rechts Vinding, 2.

 

Novendra, Ade Rizki. (2019). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Analisis Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe). Uin Ar-Raniry. Google Scholar

 

Majalah Hukum Varia Peradilan. (2009). IKAHI, Jakarta

 

Marbun, R. (2019). Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Malang: Setara Press.

 

Peter Mahmud Marzuki. (2009). Penelitian Hukum, Kencana: Jakarta, hlm.22.

 

Pangaribuan, M. L. (Volume 1,2014). Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) Dalam Rancangan Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jurnal Teropong (Media Hukum dan Keadilan), 5.

 

Putusan No. 109 PK/Pid/2007. (2007). Diterkori Putusan Mahkamah Agung RI, 1-51.

 

Putusan No. 55 PK/Pid/1996. (1996). Yurisprudensi Mahkamah Agung, 356-382.

 

Putusan No.12 PK/Pid.Sus/2009. (1-134). Direktori Putusan Mahkamah Agung RI.

 

Rustamaji, Muhammad. (2017). Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi

Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 19(1), 1�17. Google Scholar

 

Konardi, S. m. (2017). Upaya Hukum Kasasi Demi Kepentingan Hukum Di Indonesia. Jurnal Hukum Atma Jaya Yogyakarta, 8. Google Scholar

 

Soeparman, Parman. (2007). Pengaturan hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara pidana bagi korban kejahatan. Refika Aditama. Google Scholar

 

Sofyan, Andi, & Asis, Abdul. (2014). Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: Kencana. Google Scholar

 

Suharianto, B. (2012). Peninjauan Kembali Putusan Pidana oleh Jaksa Penuntut Umum. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Peradilan Mahkamah Agung. Google Scholar

 

Sutiyoso, Bambang. (2012). Metode Penemuan Hukum, Upaya Menemukan Hukum yang Pasti. UII Press, Yogyakarta. Google Scholar

 

Wantu, Fence M. (2007). Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 19(3). Google Scholar

 

Copyright holder:

Muhammad Ridha (2021)

 

First publication right:

Journal Syntax Idea

 

This article is licensed under: