Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853� e-ISSN : 2684-883X�����
Vol. 2, No. 1 Januari 2020
HUBUNGAN STATUS BERAT BADAN LAHIR RENDAH
(BBLR) DENGAN KEJADIAN STUNTING
Diah Ratnasari dan Riska Endriani
Universitas Muhadi Setiabudi
(UMUS) Brebes
Email: [email protected] dan [email protected]
Abstrak
Stunting merupakan kondisi dimana anak balitita memiliki
panjang atau tinggi badan yang kurang dibandingkan dengan umur.� BBLR merupakan salah satu penyebab kematian yang tinggi pada neonatus di Kabupaten Brebes (35,02%). Tujuan :Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan Status BBLR dengan tingkat kecukupan energi, protein, terhadap kejadian stunting pada anak batita di wilayah kerja Puskesmas Kersana Kabupaten Brebes. Metode Penelitian: penelitian ini menggunakan penelitian observasional. Besar sampel 52 anak balita stunting. Metode desain dengan survey dan menggunakan pendekatan cross
sectional. Teknik sampling menggunakan random
sampling diperoleh sebanyak
52 responden. Hasil : Dari uji chi-square penelitian ini, di dapatkan hasil dari variabel yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah status
BBLR (p=0,045), tingkat kecukupan
protein (p=0,017), dan kecukupan energi
(p=0,056).Kesimpulan : Terdapat hubungan
Antara status BBLR dengan kejadian
stunting,terdapat hubungan antara tingkat kecukupan protein dengan
stunting, terdapat hubungan
antara tingkat kecukupan energi dengan kejadian stunting.
Kata kunci: BBLR , Energi Protein, Stunting
Pendahuluan
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan bayi yang terlahir
dengan berat badan kurang dari 2500 gram. BBLR di Indonesia tahun 2014 masih
cukup tinggi yaitu (10,2%) lebih rendah dari tahun 2010 yaitu� (11,1%) (Penelitian, 2013). Jumlah kasus BBLR di Jawa
Tengah pada tahun 2013 sebanyak 21,573 yaitu (3,75%) hal ini meningkat apabila
dibandingkan tahun 2012 sebanyak 21,184 (3,73 %) (Tengah, 2016).
Sebanyak 29 kabupaten/kota sudah mencapai target 100%, hanya 6 kabupaten/kota
yang masih di bawah target yaitu Kabupaten Banjarnegara (93,69%), Kabupaten
Kebumen (43,13%), Kabupaten Purworejo (99,58%), Kabupaten Wonosobo (84,62),
Kabupaten Blora (99,42%) dan Kabupaten Brebes (35,02%) (Tengah, 2016). Berat badan lahir rendah sebagai faktor utama peningkatan mortalitas,
morbiditas, serta disabilitas bayi dan juga memberikan dampak jangka panjang
terhadap kehidupanya dimasa depan, salah satu efek jangka panjang pada bayi
berat badan lahir redah yaitu gangguan perkembangan salah satunya adalah
stunting.
Kehidupan bangsa dan negara di masa mendatang
sesungguhnya dapat diliha dari kehidupan anak di masa sekarang. Hal itu karena
anak merupakan generasi penerus sekaligus sebagai aset yang dimiliki oleh suatu
negara. Sehingga kehidupan anak saat ini merupakan penentu terhadap kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) dimasa yang akan datang. Untuk itu anak hendaknya
dipersiapkan agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai dan yang
paling penting adalah dapat menekan angka kematian yang terjadi pada balita (Nuryawati & Munawir, 2017).
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki
panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Balita
stunting termasuk masalh gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti
kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya
asupan gizi pada bayi. Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World
Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).
Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi
Indonesia. Data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek
memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti
gizi kurang, kurus, dan gemuk. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5%
menjadi 29,6% pada tahun 2017.
Pravelensi stunting tertinggi di Indonesia pada tahun 2017
adalah yang pertama Nusa Tenggara Timur 42,6%, yang kedua adalah DKI Jakarta
17,7%, dan tertinggi ketiga Jawa Tengah 30,8%. Stunting tertingggi di Jawa
Tengah yang pertama adalah wilayah Kabupaten Grobogan sebanyak 54,97%,
tertinggi kedua adalah Kabupaten Brebes sebanyak 53,69% , dan tertinggi ketiga
adalah� Kabupaten Pemalang 46,28 %. Data
Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, jumlah balita yang menderita stunting di
Kabupaten Brebes sebesar 2.195 orang pada tahun 2018 dan mengalami penurunan
dibanding tahun sebelumnya berjumlah 9.241 orang pada tahun 2017.
Beberapa penelitian yang�
sejalan dengan penelitian ini seperti penelitian Lewi, 2015 menunjukan
hubungan tingkat kecukupan protein dengan pertumbuhan anak batita menunjukkan
hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin tinggi tingkat
kecukupan protein semakin naik pertumbuhan sedangkan yang mengalami kekurangan
protein menyebabkan pertumbuhan terhambat (Paudel, Pradhan, Wagle, Pahari, & Onta, 2012). Penelitian Mitra
2012 juga sejalan bahwa terdapat hubungan Antara tingkat kecukupan protein
terhadap kejadian stunting. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan
status bblr dengan kejadian stunting di kabupaten brebes Diharapkan hasil
penelitian ini dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan bagi dinas
kesehatan dalam melakukan intervensi, khususnya dalam mencegah terjadinya
stunting.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di desa wilayah
kerja Puskesmas Kersana, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes. Wilayah kerja
Puskesmas Kersana mencakup 13 desa yaitu Kradenan, Sindang Jaya, Pende,
Kubangsari, Cikandang, Cigedog, Ciampel, Jangapura, Kersana, Kemukten, Kramat
Sampang, Limbangan, Sutamaja sedangkan penelitian ini dilakukan di lima desa
yang tertinggi yaitu desa Sindang Jaya, Kubang Pari, Jaga Pura, Kemukten,
Limbangan. Penelitian ini dilaksanakan pada April-Agustus 2019
1. Alat dan Bahan
Cara pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan
untuk data tingkat kecukupan protein dan energi menggunakan form food frequency
questionare semi kuantitatif dan food recall. Populasi dalam penelitian ini
adalah anak batita stunting usia 13-35 bulan di lima desa tertinggi diwilayah
kerja Puskesmas Kersana. Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah anak
batita� dengan jumlah 52 anak batita
stunting
2. Jalannya Penelitian
Penelitian hubungan status bblr dengan kejadian stunting di wilayah
kabupaten brebes yaitu dengan Ibu anak batita stunting usia 13-35 bulan yang
memeriksakan Status Gizi anak ke tenaga posyandu. Ibu Anak Batita stunting
13-35 bulan� bersedia menjadi responden
dalam penelitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu subjek yang
menolak atau tidak mau berpartisipasi dalam penelitian serta responden yang
tidak berada di tempat saat dilakukan penelitian. Teknik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini total sampling. Pengambilan sampel sesuai dengan
kriteria Penentuan sampel Stunting menggunakan total Sampling, setelah
melakukan sampel penelitian melakukan Food Frequency Questioner Semi
Kuantitatif dan Food Recall terhadap sampel yang terpilih. Pengisian kuesioner
dilakukan pada saat melakukan Food Frequency Questioner Semi Kuantitatif dan
Food Recall pada penderita stunting dengan pengukuran TB untuk mengetahui
Stunting atau tidak, peneliti melakukan wawancara asupan makanan. Data
responden juga harus diisi oleh peneliti dengan cara wawancara setelah
kuesioner diisi, kemudian dikumpulkan dan dicek kelengkapannya. Kuesioner
ditabulasi dengan memberikan skor pada data-data yang masuk. Setelah data
diperoleh kemudian dilakukan pengolahan data dengan penelitian yang telah
ditentukan peneliti pada rencana analisis data.
3. Analisis Data
Analisis Univariat Analisis ini digunakan untuk mendiskripsikan
masing-masing variabel, baik variabel bebas maupun variabel terikat. Analisis
ini berupa distribusi frekuensi dan prosentase pada setiap variabel seperti
pstatus BBLR, tingkat kecukupan protein dan energi terhadap kejadian stunting.
Analisis Bivariat Pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan
analisis data Kolmogorov-Smirnov dengan taraf signifikan 5%. Hasil uji
normalitas mempunyai nilai signifikan lebih besar dari 0,05 (p-value > 0,05)
maka data dari variabel berdistribusi normal. Analisis bivariat menggunakan uji
Chi-Square untuk menganalisis hubungan antara kedua variabel yang diteliti.
Hasil
dan Pembahasan
Penelitian dilakukan diwilayah kerja Puskesmas Kersana, Berdasarkan
kondisi geografis Puskesmas Kersana merupakan salah satu Puskesmas yang
terletak di Kabupaten Brebes sebelah Barat. Responden pada penelitian ini
berjumlah 52 orang dimana responden berasal dari desa Sindang Jaya, Kubang
Pari, Jaga Pura, Kemukten, Limbangan. Lima desa tersebut merupakan desa di
wilayah kerja Puskesmas Kersana.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan status BBLR, tingkat kecukupan protein dan zink terhadap kejadian sunting pada anak batita di Wilayah Kerja
Puskesmas Kersana. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 52 responden yang
berasal dari 5 (lima) desa di wilayah kerja Puskesmas Kersana. Sebelumnya
Responden dipilih berdasarkan kriteriadan didapatkan jumlah sampel 52 responden
anak batita stunting. Usia responden 13-35 bulan kemudian dilakukan pengukuran
tinggi badan, berat badan,selanjutnya dilakukan recall dan pengisian kuesioner untuk mengetahui asupan makan responden
berupa protein dan energi. Penelitian ini dilakukan di 5 (lima) posyandu dan
dibalai desa yang merupakan desa binaan Puskesmas Kersana.
1.
Karakteristik Responden
Karakteristik sampel meliputi karakteristik umur, jenis kelamin, usia,
status ekonomi disajikan pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1
Karakeristik Responden Di Wilayah Kerja Puskesmas Kersana Kabupaten
Brebes
Karakteristik |
Jumlah batita N = 52 |
Persen |
Usia anak����� � 13-23 Bulan � 24-35 Bulan Jenis kelamin anak����� �
Laki-laki
�
Perempuan Usia Ibu ������ � 17 � 25 Tahun � 26 � 35 Tahun � 36 � 45 Tahun � 46 � 55 Tahun Pekerjaan Responden �
Bekerja �
Tidak bekerja Pemberian ASI Eksklusif �
ASI
ekslusif �
Tidak
ASI ekslusif |
27 25 24 28 18 26 5 � 3 13 39 33 19 |
51,9 48,1 46,2 53,8 34,6 50 9,7 �� 5,7 25 75 63,5 36,5 |
Menunjukan� karakteristik usia sampel dalam penelitian
ini dikelompokan menjadi dua kategori yaitu kelompok 13-23 bulan dan 24-35
bulan. Berdasarkan hasil pengumpulan data usia 13-23 bulan sebanyak 51,9% atau
27 sampel, sedangkan usia 24-35 bulan sebanyak 48,1% atau 25 sampel yang
meupakan anak batita. Usia sangat mempengaruhi kebutuhan asupan yang diperlukan
oleh tubuh. jenis kelamin sampel, responden yang berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 456,2% atau sebanyak 24 sampel sedangkan sampel yang berjenis kelamin
perempuan sebanyak 53,8% atau sebanyak 28 responden. Usia Responden dalam
penelitian ini dikelompokan menjadi empat kategori yaitu kelompok 17-25
tahun,26-35 tahun, 36-45 tahun, dan 46-55 tahun Berdasarkan hasil pengumpulan
data usia 17-25 tahun sebanyak 34,6% atau 18 responden, usia 26-35 tahun
sebanyak 50% atau 26 responden, 36-45 tahun sebanyak 9,7% atau sebanyak 5
responden, dan usia 46-55 tahun sebanyak 5,7% atau 3 responden. karekteristik
responden berdasarkan pekerjaan dari 52 responden ada 13 (25%) yang bekerja dan
39 (75%) responden yang tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga saja.
pemberian ASI ekslusif pada anak batita stunting di wilayah kerja Puskesmas
Kersana adalah 63,5% atau 33 anak batita diberikan ASI ekslusif selama 6 bulan
sedangkan 36,5% atau 19 anak batita tidak diberikan ASI ekslusif
2.
Gambaran Variabel Penelitian
Distribusi Kejadian Stunting
pada Anak Batita di Wilayah Kerja Puskesmas Kersana disajikan pada tabel 2
dibawah ini.
Tabel 2
Distribusi Kejadian Stunting Anak Batita� Di Wilayah Kerja Puskesmas Kersana Kabupaten
Brebes
|
N (52) |
(%) |
Stunting �
Pendek
-3 SD sampai dengan
<-2SD �
Sangat
pendek<-3SD Status BBLR �
BBLR<2500
gram �
Tidak
BBLR>2500 gram Tingkat kecukupan
protein/Asupan protein �
Cukup
>80% �
Kurang
<80% Tingkat kecukupan
Energi/Asupan energi �
Cukup
>80% �
Kurang
<80% |
20 32 5 47 23 29 12 40 |
38,5 �61,5 9,7 90,3 44,2 55,8 23 77 |
Pada Tabel 2 diketahui bahwa anak batita pendek
sebanyak 38,5% atau 20 responden, sedangkan 61,5% atau 32 anak batita sangat
pendek. Hasil penelitian status gizi menggunakan antropometri Z-Score pada anak
batita stunting.� diketahui bahwa 9,7%
atau 5 responden BBLR, dan 90,3% atau 47 responden tidak BBLR. responden yang
mempunyai asupan protein cukup sebanyak 44,2% atau 23 responden dan 55,8% atau
29 responden mengalami kekurangan asupan protein. Terjadinya kekurangan asupan
protein karena kurangnya mengkonsumsi makanan yang mengandung protein seperti
ikan, ayam, telur, dan kacang-kacangan.Seringnya tidak terkontrol dalam
mengkonsumsi makanan sehingga menjadi dampak dominan terjadinya stunting di
wilayah ini karena dalam kehidupan protein sangat berpengaruh penting dalam
pertumbuhan �(Mauludyani, Martianto, & Baliwati, 2008) responden
yang mempunyai asupan energi cukup sebanyak 23% atau 12 responden dan 77% atau
40 responden mengalami kekurangan asupan energi. Kecukupan
zat gizi merupakan nilai yang menggambarkan kecukupan zat gizi terhadap
pemenuhan zat gizi pada ibu selama masa kehamilan. Pola makan sehari-hari dari
ibu hamil dipengaruhi juga dengan adanya faktor budaya yaitu adanya kepercayaan
memantang terhadap makanan tertentu untuk dikonsumsi dengan alasan apabila
dikonsumsi pada saat hamil akan mengakibatkan kecacatan pada bayi yang
dilahirkan sehingga asupan makanan pada ibu hamil menjadi kurang �(Paath & Rumdasih, 2004).
3.
Analisis Hubungan Status BBLR
Terhadap Kejadian Stunting pada Anak
batita di Wilayah Kerja Puskesmas Kersana
Analisis Bivariat
digunakan untuk mengetahui hubungan Antara status BBLR yang merupakan variabel
bebas dengan variabel terikatnya berupa kejadian stunting pada anak batita, dilakukan dengan uji chi-square. Hasil uji statistik chi-squareuntuk menganalisis dua hubungan
diantara 2 (dua) variabel tersebeut sebagai berikut.
Tabel 3
Hubungan Status BBLR
Terhadap Kejadian Stunting pada Anak
Batita di Wilayah Kerja Puskesmas Kersana
|
Stunting |
Total |
P-value |
||
Status BBLR |
Pendek�
sangat pendek |
|
|
||
|
N����� %�����
N������� % |
N |
� �% |
||
BBLR<2500 |
4���
7,7������ 1��������� 2 |
20 |
38,4��������
|
�������
�.045. |
|
Tidak BBLR>2500 |
16� 30,7����
31��� 59,6 |
32 |
61,6 |
||
Jumlah |
20� 38,4���
32��� 61,6 |
52 |
100 |
||
Berdasarkan tabel 3 menunjukan uji chi-square untuk status BBLR dengan
kejadian stunting nilai signifikasi p-value=0.045 menunjukan hubungan antara
status BBLR dengan kejadian stunting
pada anak batita dengan nilai signifikan 0.045 ( < 0.05 ). Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Atikah Rahayu (2014),
menyatakan ada hubungan antara status BBLR dengan kejadian stunting.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Atikah (Atikah, 2015), menyatakan ada hubungan
antara status BBLR terhadap kejadian stunting.
Hal ini berpengaruh pada pertumbuhan dimasa yang akan datang karena memiliki
riwayat BBLR sebelumnya bisa menjadi pemicu terjadinya stunting. Berat badan lahir rendah sebagai faktor utama
peningkatan mortalitas, morbiditas, serta disabilitas bayi dan juga memberikan
dampak jangka panjang terhadap kehidupannya dimasa depan, salah satu efek
jangka panjang pada bayi berat badan lahir rendah yaitu terjadi gangguan
perkembangan salah satunya adalah stunting.
�
Tabel 4
Hubungan Tingkat
Kecukupan Protein Terhadap Kejadian Stunting
Tabel 4 Hasil Uji Chi-Square
|
�Stunting |
Total |
�P-value |
||
Tingkat Kecukupan Protein |
Pendek�������� sangat pendek |
|
|
||
|
N����� %��������� N��������� % |
N |
� % |
��
.017 |
|
Cukup>80% |
7���
14,4�������� 10��� ���19,2 |
29 |
55,7������
|
||
Kurang<80% |
13���
25��������� 22�� ����42,3 |
23 |
44,3 |
||
Jumlah |
20�
39,4�������� 32��� ���61,5 |
52 |
100 |
||
Berdasarkan tabel 4 menunjukan uji chi-square untuk tingkat kecukupan
protein� dengan kejadian stunting nilai signifikasi p-value=0.017 menunjukan hubungan antara
tingkat kecukupan protein dengan kejadian stunting
pada anak batita dengan nilai signifikan 0.017 ( < 0.05 ). Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Lewi, 2014) menyatakan ada hubungan
antara tingkat kecukupan protein dengan kejadian stunting.Hal ini sejalan dengan penelitian (Lewi, 2014), yang menunjukan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan kejadian stunting. Protein sangat
penting untuk perkembangan setiap sel dalam tubuh dan juga untuk menjaga
kekebalan tubuh. Sebagai salah satu gizi yang sangat dibutuhkan oleh manusia,
protein sangat penting di masa pertumbuhan. Tetapi masih banyak yang kurang
dalam mengkonsumsi protein sehingga terjadi masalah pertumbuhan seperti
stunting (Wahdah, 2012).
Tabel 5
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi
Terhadap Kejadian Stunting
Tabel 5 Hasil Uji Chi-Square
|
�Stunting |
Total |
P-value |
||
Tingkat Kecukupan Energi |
Pendek������� sangat pendek |
|
|
||
|
N����� %��������� N�������� % |
N |
� % |
��
.056 |
|
Cukup>80% |
8��� �15,3��������
4������� 9,6 |
12 |
23������
|
||
Kurang<80% |
12���
23,2������ 28���� 51,9 |
40 |
77 |
||
Jumlah |
20���
39��������� 32���� 61,5 |
52 |
100 |
||
Berdasarkan tabel 5 menunjukan uji chi-square untuk tingkat kecukupan
energi dengan kejadian stunting nilai
signifikasi p-value=0.056 menunjukan
hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan kejadian stunting pada anak batita dengan nilai signifikan 0.056 (< 0.05).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Lewi, 2014), menyatakan ada hubungan antara
tingkat kecukupan protein dengan kejadian stunting. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di
kecamtan bandung di tulungangung Hasil uji statistik dalam penelitian ini
diperoleh nilai p = 0,009, Artinya ibu hamil yang memiliki tingkat kecukupan
energi yang kurang, memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk melahirkan bayi
dengan berat lahir kurang dari 2500 gram (PJ, Kartasurya, & Kartini, 2015). Hasil penelitian ini juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan di Kota Mamuju Sulawesi Barat, bahwa 33 ibu hamil
yang memiliki pola makan yang konsumsi energinya tidak tercukupi, terdapat 16
orang (48,5%) yang menderita KEK dan melahirkan bayi yang berat lahirnya 2500
gram (Rahmaniar, Nurpudji, & Taslim, 2011).
Kehamilan menyebabkan meningkatnya
metabolisme energi,� karena itu kebutuhan
energi danzat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan
zat gizi tersebut diperlukan untuk partumbuhan dan perkembangan janin,
pertambahan besar organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh
itu, sehingga kekurangan zat gizi tersebut yang diperlukan saat hamil dapat
menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna (Sigalingging, 2009). Tambahan makanan untuk ibu hamil dapat diberikan dengan cara
meningkatkan baik kualitas maupun kuantitas makanan ibu sehari-hari, bisa juga
dengan memberikan tambahan formula khusus ibu hamil atau menyusui (Siti, 2004)
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
penelitian diwilayah kerja puskesmas Kersana Kabupaten Brebes dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1.
Nilai uji chi-square untuk tingkat kecukupan protein� dengan kejadian stunting nilai signifikasi p-value=0.017
menunjukan hubungan antara tingkat kecukupan protein dengan kejadian stunting pada anak batita dengan nilai
signifikan 0.017 ( < 0.05 ).
2.
Nilai uji chi-square untuk tingkat kecukupan energi dengan kejadian stunting nilai signifikasi p-value=0.056 menunjukan hubungan antara
tingkat kecukupan energi dengan kejadian stunting
pada anak batita dengan nilai signifikan 0.056 (< 0.05).
Hubungan Status Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR), Tingkat Kecukupan
Protein dan energy Terhadap Kejadian
Stunting pada Anak Batita Bagi
ibu perlu dilakukan upaya peningkatan asupan karbohidrat, sumber protein, Selain itu diperlukan
upaya penyuluhan melalui kelas ibu
hamil.
����������������������������������������������������������
BIBLIOGRAFI
Atikah, Rahayu.
(2015). Riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting pada anak Usia
Bawah Dua Tahun.
Lewi,
Dkk. (2014). Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu, Gejala Penyakit Infeksi dan
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Terhadap Pertumbuhan Anak Baduta di Wiayah Kerja
Puskesmas Noemuti. Retrieved from
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/110917_2085-9341.pdf.
Mauludyani,
Anna Vipta Resti, Martianto, Drajat, & Baliwati, Yayuk Farida. (2008). Pola
konsumsi dan permintaan pangan pokok berdasarkan analisis data Susenas 2005. Jurnal
Gizi Dan Pangan, 3(2), 101�117.
Nuryawati,
Lina Siti, & Munawir, Munawir. (2017). Hubungan Antara Kejadian Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Dengan Pengetahuan Dan Pola Asuh Ibu Pada Bayi
Usia 0-12 Bulan Di Puskesmas Bantarkalong Kabupaten Tasikmalaya. Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(4), 95�104.
Paath,
Erna Francin, & Rumdasih, Yuyum. (2004). Gizi dalam kesehatan reproduksi.
EGC.
Paudel,
Rajan, Pradhan, B., Wagle, R. R., Pahari, D. P., & Onta, S. R. (2012). Risk
factors for stunting among children: a community based case control study in
Nepal. Kathmandu University Medical Journal, 10(3), 18�24.
Penelitian,
Badan. (2013). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Lap Nas, 2013(1),
384.
PJ,
Sentha Kusuma, Kartasurya, Martha Irene, & Kartini, Apoina. (2015). Status
gizi pada ibu hamil sebagai faktor risiko kejadian berat bayi lahir rendah
(studi di kecamatan Bandung Kabupaten Tulungagung). Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal), 3(1), 286�294.
Rahmaniar,
A., Nurpudji, A., & Taslim, Burhanuddin Bahar. (2011). Faktor faktor yang
berhubungan dengan kekurangan energi kronis pada ibu hamil di tampa padang. Kabupaten
Mamuju, Sulawesi Barat, 3(1), 1�14.
Sigalingging,
Ganda. (2009). Pengaruh tingkat pengetahuan ibu hamil tentang gizi pada ibu
hamil di klinik bersalin Sam Medan. Diakses Tanggal, 9.
Siti,
Zulaekah. (2004). Hubungan Kenaikan Berat Badan Ibu Hamil Dengan Berat Bayi
Lahir Di Rsud Dr. Moewardi Surakarta.
Tengah,
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa. (2016). Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun.
Wahdah,
Siti. (2012). Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Umur 6-36 Bulan di
Wilayah Pedalaman Kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi
Kalimantan Barat. Universitas Gadjah Mada.