Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����
Vol. 3, No. 4, April 2021
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
SAKSI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Nias Selatan, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstract
The purpose of this research is what is there to know and about the
protection of the Law for Witnesses of Criminal Crimes. In this study using a
type of normative legal research with the collection and inventory of legal
data as well as, the analysis is qualitative. From which research the author,
it can be about knowing the law around witnesses in criminal acts in the midst
of physical protection, among others: supervision and escort, body security
equipment, services and moreover, the cost of changing lives during the
protection period, the cost of transportation changes and places during
protection, protection in safe houses, realah and new
identities, and legal protection, among others : information on the outcome of
a case or court decision related to the report of who gave as much as half with
internal regulations and laws and regulations, and laws and regulations. Goods
and legal protection efforts in the case of regional and external criminal
cases, criminal by means of legal means mainly, both criminal law materill, criminal lawmil or
regional law where criminal criminal system for
purposes and non-criminal or efforts outside the law more criminal minutes on
the nature, antidote, outside let alone occur. The main point of this effort is
the conducive factors that cause crime.
Keywords: legal protection; witnesses; criminal
offences
Abstrak
Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis tentang perlindungan hukum bagi
saksi tindak pidana pembunuhan. Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian
hukum normatif dengan mengumpulkan dan menginventarivasi data hukum sekunder,
kemudian analisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian yang dilakukan
penulis, maka diperoleh
pengetahuan mengenai bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak
pidana pembunuhan adalah perlindungan fisik, antara lain berupa: pengawasan dan
pengawalan, penyediaan peralatan keamanan badan, pemberian layanan medis dan
psikologis, penggantian biaya hidup selama masa perlindungan, penggantian biaya
transportasi dan akomodasi selama dalam perlindungan, perlindungan di rumah
aman, relokasi dan identitas baru dan
perlindungan hukum antara lain berupa: menerima informasi perkembangan perkara
atau putusan pengadilan terkait dengan laporan kesaksian yang diberikan sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan internal dan peraturan
perundangan-undangan, dan mendapat nasihat hukum. Hambatan dan upaya pemberian
perlindungan hukum terhadap saksi dalam perkara tindak pidana pembunuhan yaitu
hambatan internal dan eksternal, penal dengan menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya, baik hukum pidana materill, hukum pidana formil maupun hukum
pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dan non penal atau upaya diluar hukum pidana
lebih menitik beratkan pada sifat preventif yaitu pencegahan, penangkalan,
pengendalian sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama dari upaya ini adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.
Kata kunci: perlindungan hukum;
saksi; tindak pidana pembunuhan
Pendahuluan
Tindak
pidana yang terungkap saat ini, dimana sebagian besar tidak lepas dari peran
serta masyarakat dalam memberikan laporan tentang adanya pelanggaran hukum dan
dalam upaya membantu tugas aparat penegak hukum mengungkap adanya suatu tindak
pidana. Misalnya pembunuhan, tindak pidana ini tidak akan terungkap apabila
tidak ada peran serta masyarakat dalam hal ini sebagai saksi. Untuk mengungkap
tindak pidana yang menghilangkan nyawa orang lain ini merupakan kewajiban
aparat penegak hukum, akan tetapi kontribusi masyarakat sangat penting terutama sebagai
orang yang melihat, mendengar atau mengalami tindak pidana tersebut (Abdullah, 2016).
Perhatian
terhadap saksi sampai saat ini masih jauh dari perhatian masyarakat dan aparat
penegak hukum, menjadi persoalan
utama, karena tidak adanya jaminan yang memadai atas perlindungan maupun
mekanisme tertentu untuk bersaksi, bahkan sering kita jumpai banyaknya fakta
dimana saksi yang akhirnya menjadi tersangka ataupun menjadi terpidana karena
dianggap mencemarkan nama baik oleh pihak-pihak yang diduga telah melakukan
tindak pidana. Dengan jaminan keamanan yang jauh dari apa yang diharapkan,
membuat seseorang tidak bersedia menjadi saksi dan pada akhirnya menghambat
proses peradilan pidana (Budoyo, 2008).
Muncul
suatu dilema bagi saksi saat ini, di satu sisi harus memenuhi kewajibanya namun
di sisi lain haknya tidak terpenuhi dan bahkan malah dirugikan oleh kepentingan
pada pemeriksaan dalam setiap proses peradilan pidana. Kerugian yang diderita
saksi adalah hak yang dilanggar oleh sebuah undang-undang. Keadaan yang
demikian, tidak jarang saksi keberatan untuk memberikan keterangan atau
kesaksian tentang adanya suatu tindak pidana dalam proses peradilan pidana.
Pentingnya
jaminan keamanan dan perlindungan yang secara nyata dapat dirasakan seorang
saksi, ditujukan agar orang tidak merasa takut untuk mengungkapkan suatu tindak pidana.
Dengan adanya jaminan tersebut proses peradilan pidana dapat berjalan sesuai
dengan fungsi dan tujuanya yaitu untuk mencari kebenaran materiil. Dengan
tercapainya kebenaran materiil, maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum
acara pidana yaitu untuk mencapai suatu �ketertiban, ketentraman, keadilan
dan kesejahteraan dalam masyarakat (Hamzah, 2010).
Menjadi
saksi merupakan kewajiban dari setiap warga Negara, dengan prinsip bahwa setiap
saksi dalam memberikan keterangan harus mempunyai kebebasan, tanpa ada paksaan
dari siapapun. Namun sekalipun saksi bebas memberikan keterangan, saksi juga
dapat dituntut berdasarkan Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, apabila
saksi memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya (Samosir, 2013).� Tetapi saksi juga harus dibebaskan dari
perasaan takut, khawatir akan dampak dari keterangan yang diberikannya.
Seseorang mungkin saja menolak untuk bersaksi, atau jika
dipaksa berbohong karena ia tidak mau mempertaruhkan nyawanya atau nyawa
keluarganya gara-gara keterangannya yang memberatkan terdakwa. Seseorang dapat
menolak memberikan keterangan karena mengalami trauma hebat akibat peristiwa
pidana, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menceritakan ulang peristiwa
yang dialaminya itu. Tidak sedikit kasus yang tidak dapat dibawa ke muka
pengadilan atau pun terhenti di tengah jalan karena persoalan yang satu ini.
Kasus-kasus seperti korupsi atau kejahatan narkotika yang melibatkan sebuah
sindikat, atau kasus-kasus kekerasan berbasis gender menjadi contoh kasus yang
seringkali tidak dapat diproses karena tidak ada saksi yang mau dan berani
memberikan keterangan yang sebenarnya. Maka yang terjadi kemudian adalah bukan
saja gagalnya sebuah tuntutan untuk melakukan proses peradilan yang bersih,
jujur dan berwibawa untuk memenuhi rasa keadilan, tetapi juga pelanggaran
hak-hak asasi individual yang terkait dalam kasus tersebut.
Ketakutan saksi akan
adanya balas dendam dari terdakwa
cukup beralasan dan ia berhak diberi
tahu apabila seseorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan, agar ia berhati-hati dalam kelangsungan kehidupannya. Berdasarkan dari berbagai kasus,
terutama yang menyangkut kejahatan yang terorganisir, saksi dapat terancam
walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam kasus kasus
tertentu, saksi dapat diberi identitas
baru, apabila keamanan saksi sudah sangat menghawatirkan,
pemeberian tempat baru bagi saksi
harus dipertimkbangkan agar
saksi dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan, yang dimaksud dengan diberikannya kediaman baru adalah tempat
tertentu bersifat sementara dan dianggap aman (Waluyo, 2011).
Melihat
begitu pentingnya peran saksi, maka sudah seharusnya mereka mendapatkan
perlindungan yang intensif. Perlindungan terhadap saksi dan korban sangat
penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana, hal ini sejalan dengan
asas hukum yang tercantum di dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
�Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya�. Pasal
7 tentang Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia �Semua orang sama di depan
hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua
berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang
bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah
pada diskriminasi semacam ini� (equality before the law). Guna
memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum untuk menjamin adanya
proses peradilan pidana yang baik (due prosess of law) dan menciptakan
peradilan yang fair dan bersih yang dapat menimbulkan rasa keadilan di
masyarakat. Sehingga perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki peranan
penting dalam proses peradilan pidana, kemudian diharapkan dengan keterangan
saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat
mengungkap suatu tindak pidana.
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau dimunculkan dalam persidangan, terutama saksi merupakan faktor penting dalam pengungkapan
dan pembuktian fakta yang akan dijadikan acuan dalam menemukan
bukti-bukti lain untuk menguatkan sebuah peneyelidikan, penyidikan dan pembuktian dipengadilan. Saksi dan korban sangat di harap dapat menjelaskan
rangkain kejadian yang berkaitan dengan sebuah peristiwa yang menjadi objek pemeriksaan
di muka persidangan. Saksi dan korban bersama alat bukti lain akan membantu hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil dan objektif bedasarkan fakta-fakta hukum yang diungkapkan (Sunarso, 2012).
Seorang saksi ialah
bagian dari sistem pradilan pidana, sehingga justru saksi tersebut
akan menjadi faktor dalam mengurangi
kejahatan, saksi berkewajiban untuk memberikan kesaksian demi memberantas kejahatan dalam masyarakat. Sebab setiap orang berkewajiban untuk ikut serta memberantas
kejahatan dalam masyarakat (Lubis, 2017).
Para
saksi dan korban seringkali tidak terlindungi keselamatannya dan terjadi
intimidasi atau teror, akibatnya mereka enggan bersaksi di persidangan. Padahal
saksi merupakan salah satu alat bukti di dalam pemeriksaan perkara pidana
dimana keterangannya dapat membuktikan terjadi atau tidaknya suatu perbuatan
pidana (Gultom, 2006). Salah satu contoh kasus yang berhubungan dengan perlindungan saksi antara lain
kasus pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan Tosan, lima saksi dan satu
korban yang masuk program perlindungan, perlindungannya berupa fisik kemudian
pengawalan melekat dan bisa juga pendampingan pada proses hukum.�
Penegakan
hukum, khususnya hukum pidana merupakan salah satu tugas pokok dari negara.
Penegakan hukum, pidana yang merupakan suatu proses penyelidikan, penyidikan,
penangkapan dan penahanan sampai ke peradilan, hingga menjadi terpidana di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas). Kesatuan proses itu disebut sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) atau The Integrated Criminal Justice System (Kenedi, 2020). Selama ini,
korban tindak pidana dapat dikatakan kurang mendapat perlindungan dari negara,
baik fisik maupun secara ekonomi, termasuk juga keperluan-keperluan lainnya
dalam memenuhi kewajiban sebagai saksi dalam suatu proses peradilan. Sementara
pelaku tindak pidana selalu diawasi, mendapatkan perlakuan khusus demi proses
hukum, bahkan kepada mereka diberikan makan dan minum secara teratur. Hal tersebut
dimaksudkan agar perlindungan terhadap saksi dan korban dalam proses sistem
peradilan pidana dapat terjamin, karena peranan saksi dan korban sangat penting
dalam mengungkap suatu tindak pidana. Kepentingan utama adalah kepentingan masyarakat,
artinya seseorang yang menjadi pelapor mau berkorban untuk kepentingan bersama,
meskipun mengorbankan kepentingan pribadi (Yunus, 2012).
Metode Penelitian
1) Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan
jenis penelitian hukum normative (legal research). Penelitian normatif sering pula disebut penelitian kepustakaan (liberary research), yaitu menganalisis dan mencari jawaban atas permasalahan
yang diangkat berdasarkan substasi hukum/norma-norma hukum, sejarah hukum, asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, dan perbandingan hukum guna memuat aturan
tentang Perlindungan terhadap saksi (Undang-Undang Nomor
31, 2014) tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan
peraturan lain yang berhubungan
dengan Perlindungan Hukum Bagi Saksi Tindak
Pidana Pembunuhan.
2) Alat Pengumpulan
Data
Dalam penelitian ini, data yang digunakan ialah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka (Soejono, 2015)Menurut soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji, penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder disebut penelitian hukum kepustakaan (Soejono, 2015). Cakupan data sekunder terdiri dari tiga jenis
bahan hukum, yaitu:
1. Bahan hukum primer (primary
law material)
2. Bahan hukum sekunder (secondary law material)
3. Bahan hukum tersier (tertiery law material)
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum
yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas, bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang udangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum
yang memberi penjelasan terhadap hukum primer yang berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.� Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum
yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undangan, kamus hukum, dan ensiklopedia).
3) Analisis Data
Analis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kulitatif, yaitu data
yang telah dikumpulkan diinventariasi sesuai dengan bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, kemudian dianalisis deskriptis, logis dan sistematis dengan kerangka berpikir dilaksanakan secara deduktif dan induktif untuk membantu penelitian dalam melakukan penarikan kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
a. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Saksi Tindak
Pidana Pembunuhan
Bentuk
ancaman yang dialami oleh Saksi yang mendapat perlindungan, antara lain:
a) Secara psikis merasa takut was-was atas
laporan/keterangan yang telah dibuatnya;
b) Mengalami intimidasi secara tidak langsung
dari pihak lain atau terlapor untuk mencabut laporannya;
c) Secara langsung maupun tidak langsung
mendapatkan teror/gangguan baik terhadap fisik, harta benda, maupun pekerjaan;
d) Akan dilaporkan balik oleh terlapor atau pihak
lain;
e) Diikuti/diawasi/diintai oleh terlapor atau
pihak lain yang terkait dengan laporannya;
f) Diancam secara tidak langsung yang dapat
membahayakan jiwa;
g) Dipaksa baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu;
h) Diancam secara langsung dapat membahayakan
jiwa dan harta bendanya;
i) Mendapatkan gangguan secara fisik yang dapat
membahayakan jiwa dan harta benda.
1) Perlindungan Fisik, antara lain berupa:
a) Pengawasan dan pengawalan;
b) Penyediaan peralatan keamanan badan;
c) Pemberian layanan medis dan psikologis;
d) Penggantian biaya hidup selama masa
perlindungan;
e) Penggantian biaya transportasi dan akomodasi
selama dalam perlindungan;
f) Perlindungan di rumah aman;
g) Relokasidan identitas baru.
2) Perlindungan Hukum, antara lain berupa:
a) Menerima informasi perkembangan perkara atau
putusan pengadilan terkait dengan laporanl kesaksian yang diberikan sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan internal dan peraturan
perundangan-undangan;
b) Mendapat nasihat hukum.
Perlindungan
hukum dapat diartikan sebagai setiap bentuk peraturan yang diatur dan didasarkan
oleh peraturan perundangundangan berdasarkan kepastian hukum (Faisal, 2012).
1)
Hambatan
dalam mendapatkan Perlindungan Hukum Bagi Saksi
Hambatan-hambatan yang selama ini masih mengganjal
pelaksanaan perlindungan hukum terhadap saksi tindak pidana pembunuhan dapat
dibagi 2 (dua) faktor adalah (Pitoy, 2016):
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai
lembaga yang paling potensial dan mempunyai kewenangan untuk memberikan
perlindungan berdasarkan (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2014) dinilai belum maksimal dan masih terdapat
banyak kekurangan, baik itu dari LPSK sendiri maupun undang-undang yang
mengaturnya. Pekerjaan LPSK tidak akan terlepas dari keberadaan beberapa
lembaga penegak hukum yang ada. Dari segi politik hal ini membutuhkan seni dan
cara penempatan yang baik agar bisa menempatkan diri pada posisi tersebut. LPSK
secara jelas harus membangun posisi kelembagaannya yang berada diantara dua
posisi kepentingan yakni kepentingan pertama yang dimandatkan oleh UU PSK sebagai
lembaga yang bersifat mandiri, dan memiliki kepentingan kedua yakni untuk
menjalankan program yang juga harus didukung oleh instansi terkait yang dalam
praktiknya nanti akan menimbulkan keterkaitan kewenangan (Supriyadi Widodo Edyono dkk,
2008). Hambatan pelaksanaan perlindungan saksi dan
korban dalam Undang-Unadang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban antara lain (https://www. Hukum online. com/ klinik /detail /ulasan/lt4fb09c5c6a62d/
hambatan-hambatan- pelaksanaan-perlindungan-saksi-dan-korban/, 2021):
� Belum adanya definisi mengenai pelapor,
whistleblower dan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama);
� Belum adanya jaminan perlindungan dan reward
atau penghargaan terhadap whistleblower dan justice collaborator;
� Belum adanya pengaturan mengenai perlindungan
terhadap saksi ahli;
� Ketentuan kelembagaan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (�LPSK�) yang masih lemah mengenai kesekretariatan, organisasi,
dan struktur organisasi LPSK;
� Tidak adanya pengaturan lebih lanjut mengenai
ketentuan pembentukan LPSK di daerah;
� Keberadaan LPSK dan UU 13/2006 masih belum
dipahami dan diketahui aparat penegak hukum di daerah;
� Jaminan hukum pemberian bantuan, restitusi, dan
kompensasi yang saat ini belum cukup kuat karena hukum acaranya masih diatur
dalam peraturan pemerintah bukan setingkat undang-undang.
Faktor-faktor
internal penghambat perlindungan hukum terhadap saksi antara lain:
a. Definisi dan Status Saksi yang terbatas di
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 .
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 masih terdapat
beberapa aturan atau pasal-pasal yang belum memadai untuk memberikan jaminan
perlindungan kepada saksi. Diantaranya mengenai �definisi saksi� yang terbatas.
Dalam konteks �definisi saksi� yang terbatas tersebut, UU No. 31 Tahun 2014
juga (tidak ada ditemukan/diatur) melupakan orang-orang yang memberikan bantuan
kepada aparat penegak hukum untuk keterangan dan membantu proses pemeriksaan
pidana yang berstatus ahli (orang yang memiliki keahlian khusus).
b. Inkonsistensi pasal-pasal di dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 jangka
waktu yang diberikan tidak konsisten. Yang dimaksudkan dalam Perlindungan dalam
UU ini adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan
rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau
lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Namun undang-undang
ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban terbatas hanya dalam semua
tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Pasal ini akan
membatasi jangka waktu perlindungan karena pengertian tahap proses peradilan
pidana ini hanya mencakup tahap penyelidikan sampai dengan pemberian putusan
yang final, padahal dalam kondisi tertentu dimana kejahatan yang ada sifatnya
serius proteksi perlindungan saksi harus diberikan pula pada tahapan setelah
proses peradilan pidana. Lagi pula Pasal-pasal tersebut tidak konsisten bila dikaitkan
dengan Pasal 5 huruf f, huruf h, huruf i yang memberikan kepada saksi hak untuk
untuk mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, hak mengetahui dalam hal
terpidana di bebaskan dan hak identitas baru.
Hak-hak ini diberbagai negara dalam prakteknya justru
diberikan setelah kasus selesai di proses dalam peradilan pidana, bahkan untuk
perlindungan dengan cara penggantian identitas maupun relokasi yang permanen
bagi saksi, tahapan pemberiannya seharusnya menjangkau waktu yang sangat lama
atau diberikan secara permanen (seumur hidup) (Widodo, 2006).
c. Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK)
yang belum memiliki perwakilan di daerah dan kurangnya sosialisasi.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masih
memiliki beberapa kekurangan sehingga belum maksimal dalam menjalankan
tugasnya. Diantaranya yaitu lembaga tersebut yang hanya berkedudukan di Ibu
Kota Negara Republik Indonesia. LPSK tidak memiliki perwakilan di
daerah-daerah, hal tersebut menyulitkan LPSK dalam menjangkau daerah-daerah
lain mengingat wilayah Negara Indonesia yang sangat luas.
d. Belum Adanya Mekanisme Perlindungan Sementara
bagi Saksi dalam Kondisi Darurat. Berkaitan
dengan tata cara pemberian perlindungan saksi, Undang-Undang ini sengaja tidak
memasukkan mekanisme perlindungan sementara terhadap saksi dalam kondisi
mendesak seperti yang telah dipraktekkan lembaga perlindungan saksi di berbagai
Negara argumentasinya mungkin karena jangka waktu putusan pemberian
perlindungan oleh LPSK cukup pendek yakni 7 hari, maka tidak diperlukan perlindungan
yang mendesak. Mekanisme perlindungan mendesak ini sangatlah penting, karena
kadangkala dalam sebuah kasus, baik intimidasi dan ancaman kadangkala diberikan
secara cepat sesaat seorang saksi akan memberikan informasi ke aparat hukum.
Oleh karena itu diperlukan mekanisme yang cepat (diluar cara-cara biasa) untuk
melindungi saksi - saksi dalam kondisi seperti ini (Widodo, 2006).
e. Pembatasan Tugas dan Wewenang Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang PSK secara tegas menyatakan bahwa LPSK adalah
lembaga yang mandiri. Kemandirian LPSK yang dimaksud oleh undang-undang ini,
adalah sebuah lembaga yang independen tanpa campur tangan dari pihak manapun.
Idealnya sebuah lembaga yang mandiri inilah maka UU PSK tidak meletakkan
struktur LPSK berada di bawah institusi manapun, baik itu instansi pemerintah
(eksekutif) misalnya kepolisian, kejaksaan, departemen pemerintahan, maupun
lembaga independen lainnya seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan komisi-komisi negara lainnya. UU LPSK menetapkan
model lembaga ini hampir sarna dengan berbagai lembaga yang telah ada seperti :
Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan pula bahwa
lembaga tersebut merupakan sebuah state auxiliaries.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 dalam ketentuan
umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah
lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak
lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Namun
UU LPSK tidak merinci tugas dan kewenangan dari ketidaksepahaman Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban
Dengan Pihak-Pihak Terkait.
Seiring berjalannya waktu LPSK dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan.
Banyak hal yang terjadi sehingga menimbulkan masalah di dalam segala kegiatan
LPSK dalam melindungi saksi terutama saksi dalam tindak pidana korupsi. Salah
satu masalah yang terjadi adalah timbulnya ketidaksepahaman antara LPSK dengan
pihak-pihak terkait yang berwenang. Hal ini tentu akan menghambat tugas paling
utama dari LPSK yaitu melindungi saksi dan atau korban (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban, 2014).
f. Permasalahan Internal Kelembagaan LPSK
Undang-Undang LPSK menyatakan LPSK terdiri atas,
Pimpinan dan Anggota. Pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang
merangkap anggota yang dipilih dari dan oleh anggota LPSK Mengenai tata cara
pemilihan Pimpinan LPSK akan diatur dengan peraturan internal LPSK nantinya.
Sedangkan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK ditetapkan oleh UU selama 5
(lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sarna,
hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Undang-Undang, anggota dari
LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang
mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum
dan hak asasi manusia. UU LPSK juga telah menetapkan siapa saja (representasi)
yang berhak menjadi anggota dari lembaga ini yakni representasi dari :
kepolisian, kejaksaan. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM,
advokat, akademisi atau lembaga swadaya masyarakat.
Menurut Marthin Simangunsong, meskipun ada
Undang�Undang Perlindungan Saksi dan Korban belum dapat menampung keinginan dan
menjalankan Undang�Undang itu secara menyeluruh karena sampai saat ini Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban hanya terdapat di Jakarta sehingga di
daerah�daerah lain yang membutuhkan perlindungan kurang mendapatkan
perlindungan hukum. Apabila terhadap pembunuhan berencana, saksi takut
mendapatkan ancaman dari si pelaku ataupun pihak terdekat dari si pelaku dalam memberikan
keterangan atas kesaksiannya. Bisa juga polisi menyudutkan saksi sehingga saksi
takut memberikan keterangannya di depan persidangan. Masalah yang biasanya
timbul terjadi yaitu adanya sumber anggaran dan sumber daya manusia yang minim
sehingga perlindungan hukum yang diatur dalam Undang�Undang perlindungan saksi
dan korban kurang efektif dalam penerapannya.
Pengertian saksi yang telah dijelaskan dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, yang dimaksud dengan saksi adalah �orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa : �Hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana
dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.� Pasal 5 ayat (2)
hanya memberikan hak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) kepada saksi
dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan
keputusan LPSK. Di sini yang dimaksud dengan kasus-kasus tertentu sebagaimana
penjelasan pasal demi pasal antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana
narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang
mengakibatkan posisi saksi dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat
membahayakan jiwanya.
Menurut Marthin Simangunsong, Hambatan eksternal dalam
perlindungan saksi disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
Peneliti Institute for Criminal Justice (ICJR),
Sustira Dirga menambahkan, terkait proses seleksi pimpinan LPSK yang akan
dijalankan, pihaknya mendorong agar DPR mencari figur-figur yang berintegritas,
berkualitas dan memiliki motivasi pengabdian masyarakat yang kuat. Guna
menjalankan tugas dan wewenang LPSK. DPR harus menggali lebih dalam terkait
rencana strategis beserta visi misi para calon anggota atau pimpinan LPSK agar
arah LPSK ke depan lebih optimal lagi, dalam rangka menjalankan mandat untuk
melindungi saksi dan korban. Keterbukaan informasi publik sebagaimana amanat
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik juga perlu menjadi perhatian LPSK ke
depannya. Serta postur anggaran yang lebih optimal lagi dalam rangka
mem-berikan perlindungan saksi dan pemenuhan hak korban sesuai dengan mandat
utama LPSK. Karena keterbatasan anggaran perlindungan, pada beberapa
pelaksanaan perlindungan saksi atau korban ternyata LPSK menyimpangi SOP perlindungannya.
Misalnya kepada terlindung hanya diberikan 1 orang pengamanan, dan 1 staff yang
merangkap administrasi dan manajer kasus. Padahal seharusnya bagi seorang
terlindung, minimal harus ada 2 orang pengamanan, 1 orang manajer kasus, dan 1
staff administrasi Kebijakan
Hukum Pidana
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau criminal policy merupakan usaha yang
rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terehadap kejahatan. Sebagai
bagian dari kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy) kebijakan penggulangan kejahatan harus mampu
menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif
untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat
sehingga mau memberikan partisipasi yang aktif dalam penanggulangan .kejahatan.
Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui
perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan (Chazawi, 2000).
Kebijakan penal atau sering disebut politik hukum
pidana merupakan upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia
masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini berkaitan
dengan konseptualitas hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan (Mahmud Mulyadi, 2008). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum
pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
penanggulangan kejahatan, juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum,
khususnya penegakan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan lewat
pembuatan undang-undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian
integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha
mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial walfare).
Menurut
A. Mulder, politik hukum pidana merupakan garis kebijakan untuk menentukan (Arief, 2011).
a. Seberapa jauh ketentuan � ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah
atau diperbarui.
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.
Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali
dari masalah nilai, terlebih bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan untuk membentuk manusia
Indonesia seutuhnya. Penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana
yang dikenakan pada sipelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan
yang beradab, tetapi harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan
nilai-nilai kemanusiaan dan nilai pergaulan hidup masyarakat.
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal atau
hukum pidana lebih menitik beratkan pada sifat refresif yaitu berupa
pemberantasan atau penumpasan sesudah kejahatan terjadi. Upaya ini dilakukan
apabila preventif atau upaya pencegahan belum mampu untuk mencegah terjadinya
kejahatan. Upaya penal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan baik dilaporkan
masyarakat maupun temuan kepolisian akan dilakukan tindakan tegas atau
penegakan hukum secara tuntas dengan tujuan agar para pelaku menjadi sadar dan
jera untuk berbuat kembali. Menjatuhkan hukuman yang maksimal yang sesuai
dengan ketentuan KUHP kepada pelaku pembunuhan. Kebijakan hukum yang dapat dijatuhkan
bagi para pelaku pembunuhan mengacu pada KUHP yang disesuaikan dengan
pasal-pasal pembunuhan terhadap jiwa orang berdasarkan perbuatan pelaku dengan
korban dalam pembuktian kasus disesuaikan dengan pembuktian kasus sesuai dengan
pembuktian KUHP. Tujuan dari politik
kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat, dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan
pendekatan kebijakan dalam arti, yaitu:
1. Ada keterpaduan (intergralitas) antara politik
kriminal dan politik sosial;
2. Ada keterpaduan (intergralitas) antara upaya
penanggulangan kejahatan dengan �penal� dan �non penal�.
Kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha
untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan
pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius
constituendum). Kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam
arti sempit, karena sebagai suatu system hukum pidana terdiri dari budaya (cultural),
stuktur (structur), dan substansi (substansive) hukum.
Undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan hukum pidana,
disamping memperbaharui perundang-undangan juga mencakup pembaharuan ide dasar
dan ilmu hukum pidana.
1. Non Penal
Upaya non penal atau upaya diluar hukum pidana lebih
menitik beratkan pada sifat preventif yaitu pencegahan, penangkalan,
pengendalian sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama dari upaya ini adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor
kodusif antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial
yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik criminal
secara makro dan global maka non penal menduduki posisi kunci dan strategis
dari keseluruhan upaya politik criminal. Upaya non penal yang paling strategis
adalah upaya untuk manjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan
lingkungan hidup yang sehat secara materil dan imateril dari faktor-faktor
krominogen (Barda Nawawi Arif, 2002).
Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur �non
penal� lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Sasaran
utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan
yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan (Martiman Prodjohamidjojo,
1986).
Pertanggungawaban terhadap segala tugas yang
dijalankan sebagai alat Negara, maka yang bertanggungjawab atas tugas
kenegaraan tesebut adalah Negara. Dan terhadap oknum penegak hukum, yang
dipandang mungkin perlu dikoreksi atau dianggap tidak cakap menjalankan
tugasnya, maka hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing
instansi.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian sebagaimana yang telah dibahas dari berbagai bagian dari atas
maka dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut: Bentuk perlindungan
hukum terhadap saksi dalam tindak pidana pembunuhan adalah Perlindungan Fisik,
antara lain berupa: Pengawasan dan pengawalan, Penyediaan peralatan keamanan
badan, Pemberian layanan medis dan psikologis, Penggantian biaya hidup selama
masa perlindungan, Penggantian biaya transportasi dan akomodasi selama dalam
perlindungan, Perlindungan di rumah aman, Relokasi dan identitas baru, dan
Perlindungan Hukum, antara lain berupa: Menerima informasi perkembangan perkara
atau putusan pengadilan terkait dengan laporan kesaksian yang diberikan
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan internal dan peraturan
perundangan-undangan, dan Mendapat nasihat hukum. Hambatan dan upaya
perlindungan hukum terhadap saksi tindak pidana pembunuhan adalah banyak
masyarakat yang enggan menjadi saksi karena banyak kasus yang terjadi sesudah
menjadi saksi justru mereka mendapatkan ancaman, kehilangan pekerjaannya,
dianiaya dan sampai nyawa mereka pun terancam, pengawasan dari penegak hukum
terhadap kejadian tersebut yang mengakibatkan pelaku bisa berbuat sewenang-wenang
kepada saksi, karena keterangan dari saksi sangat berpengaruh terhadap hukuman
yang akan di berikan kepada pelaku. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap
pengawasan atau perhatian kepada lingkungan sekitar, minimnya ilmu pengetahuan
tentang hukum yang di miliki oleh masyarakat membuat masyarakat kurang mengetahui
apakah haknya sudah di jalankan atau belum.
Abdullah, Said.
(2016). Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Perburuan dan Perdagangan
Satwa Liar yang Dilindungi di Wilayah Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi
(Analisis Kasus No. 644/Pid. Sus/Pn. Jmb). Legalitas: Jurnal Hukum, 8(2),
48�72.Google Scholar
Arief, Barda Nawawi. (2011). Pembaharuan hukum pidana
dalam perspektif kajian perbandingan. Citra Aditya Bakti.Google Scholar
Barda Nawawi Arif. (2002). Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana. Bandung: Citra Aditiya Bakti.Google Scholar
Budoyo, Sapto. (2008). Perlindungan hukum bagi saksi dalam
Proses peradilan pidana. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.Google Scholar
Chazawi, Adami. (2000). Kejahatan Tubuh dan Nyawa. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.Google Scholar
Faisal, S. (2012). Menerobos Positivisme Hukum, Kritik
terhadap Peradilan Asrori. Gramata Publishing, Bekasi.Google Scholar
Gultom, Binsar. (2006). Pandangan Seorang Hakim Penegakan
Hukum Di Indonesia. Pustaka Bangsa Press, Medan.Google Scholar
Hamzah, Andi Jur. (2010). Hukum acara pidana Indonesia.Google Scholar
https://www. Hukum online. com/ klinik /detail
/ulasan/lt4fb09c5c6a62d/ hambatan-hambatan- pelaksanaan-perlindungan-saksi-dan-korban/. (2021).
Kenedi, John. (2020). Hasil cek Plagiat Karya Ilmiah: Perlindungan
Saksi Dan Korban (Studi Perlindungan Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem
Peradilan di Indonesia).Google Scholar
Lubis, Riska Oktavia. (2017). Perlindungan Saksi dan korban
menurut hukum islam dan undang-undang nomor 31 tahun 2014 tentang perlindungan
saksi dan korban. UIN Raden Intan Lampung.Google Scholar
Mahmud Mulyadi. (2008). Criminal Policy. Medan:
Pustaka Bangsa Perss.Google Scholar
Martiman Prodjohamidjojo. (1986). Ganti Rugi dan
Rehabilitasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
(2014).
Pitoy, Frances Esther Vaticanaq. (2016). Perlindungan Hukum
terhadap Saksi dalam Proses Peradilan Pidana Berdasarkan Undang-undang Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lex Crimen, 5(1).Google Scholar
Samosir, Djisman. (2013). Segenggam tentang hukum acara
pidana. Segenggam tentang hukum acara pidana.Google Scholar
Soejono, Sri Mahmuji. (2015). Penelitian Hukum Normatof
Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan 17, Edisi 1. Jakarta: Rajawali Pers.Google Scholar
Sunarso, Siswantoro. (2012). Viktimologi dalam sistem
peradilan pidana. Sinar Grafika.Google Scholar
Supriyadi Widodo Edyono dkk. (2008). Pokok-Pokok Pikiran
Penyusunan Cetak Biru Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, ICW. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 31. (2014). Perlindungan Saksi dan
Korban.
Waluyo, Bambang. (2011). Viktimologi perlindungan korban
& saksi. Sinar Grafika.
Widodo, Supriyadi. (2006). Perlindungan Saksi, Belum
Progresif, Catatan Kritis Terhadap Hasil Pembahasan Perlindungan Saksi dan
Korban. ELSAM, Jakarta.Google Scholar
������� ����������������������������������������������������
Yunus, Nur Rohim. (2012). Restorasi Budaya Hukum
Masyarakat Indonesia. Bogor: Jurisprudence Press.Google Scholar
Fariaman Laila (2021) |
First publication right : Journal Syntax Idea |
This article is licensed under: |