Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����

Vol. 3, No. 4, April 2021

 


HUBUNGAN ANTARA SUBJECTIVE WELL-BEING DENGAN BURNOUT PADA TENAGA MEDIS DI MASA PANDEMI COVID-19

 

Mahesti Pertiwi, Anissa Rizky Andriany dan Ajheng Mulamukti Asih Pratiwi

Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta,Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstract

The purpose of study was to analyze the subjective well-being and the burn out of medical personnel during the pandemic Covid-19. The method used in this research is quantitative with the type of correlational test research, which is a study used to find the relationship between two or more variables. Based on the results of the research, it was found that the level of subjective well-being on medical personnel during the covid-19 pandemic was at the low level of 37.5%, while the moderate level of 31.25% and at the high level of 31.25%. The factors that influence subjective well-being consist of gender, goals, religion or spirituality, social relationship quality factors, and personality. Based on the results of the research conducted, it can be concluded that subjective well-being has a correlation with burnout. There is a negative relationship between subjective well-being and burnout in medical personnel during the Covid-19 pandemic, namely the higher the subjective well-being the lower the burnout, and vice versa.

 

Keywords: subjective well-being; burnout; medical personnel; covid-19

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan subjective well-being dengan burnout di masa pandemi covid-19. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan jenis penelitian uji korelasional yang merupakan penelitian yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variable atau lebih. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa tingkat subjective well-being pada tenaga medis di masa pandemic covid-19 berada pada taraf rendah yaitu sebanyak sebanyak 37.5% dan tingkat sedang berjumlah 31.25% dan pada taraf tinggi yaitu sebanyak 31.25%. Faktor-faktor yang memengaruhi subjective well-being terdiri atas jenis kelamin, tujuan, faktor kualitas hubungan social,agama dan spiritualitas, serta kepribadian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa subjective well-being berkorelasi dengan burnout. Hubungan bersifat negatif, artinya semakin tinggi subjective well-being tenaga medis maka akan semakin rendah mereka mengalami burnout dan begitu juga sebaliknya.

 

Kata Kunci: subjective well-being; burnout; tenaga medis; covid-19

�����������

�����������

Pendahuluan

Di awal tahun 2020 ini, dunia dikagetkan dengan kejadian infeksi berat dengan penyebab yang belum diketahui, yang berawal dari laporan dari Cina kepada World Health Organization (WHO) terdapatnya 44 pasien pneumonia yang berat di suatu wilayah yaitu Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, tepatnya di hari terakhir tahun 2019 Cina. Dugaan awal hal ini terkait dengan pasar basah yang menjual ikan, hewan laut dan berbagai hewan lain. Pada 10 Januari 2020 penyebabnya mulai teridentifikasi dan didapatkan kode genetiknya yaitu virus corona baru (Handayani, Hadi, Isbaniah, Burhan, & Agustin, 2020).

Pada saat ini, dunia masih menghadapi pandemi Covid-19, pada 12 Maret 2020, WHO mengumumkan Covid-19 sebagai pandemik. Indonesia telah mengonfirmasi kasus positif pertamanya pada 2 Maret 2020 dan terus mengalami kenaikan jumlah kasus positif hingga saat ini yaitu sebesar 1.414.741 jiwa terkonfirmasi positif dan tertinggi masih diduduki oleh Provinsi DKI Jakarta yaitu 357.742 jiwa (https://covid19.go.id/, 2021). Akibat adanya pandemi Covid-19 ini berdampak pada berbagai sektor kehidupan. Pandemi Covid-19 membawa dampak perubahan pada seluruh bidang kehidupan manusia yang mengakibatkan peningkatan beban yang sangat berat terhadap sistem pelayanan kesehatan. Resiko yang paling terlihat jelas adalah aspek keselamatan serta kesehatan fisik dan mental tenaga medis, yang sangat rentan terpapar Covid-19. Menurut informasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), berdasarkan perbandingan statistik testing dan populasi, kematian tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia dan masuk dalam tiga besar di seluruh dunia. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Undang-undang no 36 tahun 2014). Kemudian, berdasarkan (PUU-XIII/2015) tenaga medis terdiri atas dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis.

Berdasarkan hasil penelitian dampak psikologis tenaga kesehatan dalam upaya menghadapi pandemi corona virus (Covid-19) di Indonesia yang dilakukan oleh (Nasrullah, Natsir et al 2020) menunjukkan bahwa sekitar 65.8% responden tenaga kesehatan di Indonesia mengalami kecemasan akibat Covid-19, sebanyak 3.3% mengalami kecemasan sangat berat dan 33.1% mengalami kecemasan ringan. Sedangkan yang mengalami stress akibat covid-19 sebesar 55%, yakni tingkat stress sangat berat 0.8% dan stress ringan 34.5%. Tenaga kesehatan yang mengalami depresi sebesar 23.5%, yaitu tingkat depresi berat 0.5% dan depresi ringan 11.2%. Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya hubungan korelasi yang cukup kuat antara kecemasan, stress, dan depresi terhadap kekhawatiran tenaga kesehatan diasingkan akibat Covid-19. Selain itu, penelitian yang dilakukan tim peneliti dari Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (MKK FKUI, 2021), menunjukkan bahwa sebanyak 83% tenaga kesehatan di Indonesia telah mengalami burnout syndrome pada derajat sedang dan berat, yang secara psikologis sudah berisiko mengganggu kualitas hidup dan produktivitas kerja dalam pelayanan kesehatan.

Berdasarkan pendapat (Maslach & Jackson, 1981) mendefinisikan burnout sebagai sindrom kelelahan secara emosional dan sinisme dengan frekuensi yang sering pada individu yang pekerjaannya berhubungan dengan individu lainnya. Kemudian, burnout merujuk pada keadaan kelelahan mental dan emosional akibat adanya gejala stres yang dapat disebabkan oleh tekanan tinggi dari peran yang dijalani, batas waktu penyelesaian tanggung jawab, serta kurangnya sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut. Burnout ditandai oleh tiga aspek, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan berkurangnya prestasi pribadi. Kelelahan emosional ditunjukkan dengan semakin berkurangnya energi emosional dan kehilangan semangat. Ketika seorang individu mengalami burnout� kelelahan emosional akan terjadi terlebih dahulu kemudian diikuti dengan depersonalisasi. Depersonalisasi yang dialami membuat seseorang tidak merasakan simpati terhadap orang lain. Aspek lainnya yaitu penurunan prestasi pribadi terjadi pada proses yang terpisah dan memiliki keterkaitan dengan tingkat kontrol pribadi serta dukungan sosial. Penurunan prestasi pribadi juga dapat ditunjukkan dengan perasaan tidak mampu melaksanakan tugas-tugas profesional maupun hal-hal personal dan berkurangnya produktivitas dalam melakukan kinerjanya.

Menurut (Adawiyah, 2013) menjelaskan bahwa individu yang bekerja pada bidang pelayanan masyarakat, misalnya dokter, perawat, dosen ataupun pekerja sosial lainnya rentan mengalami burnout. Menurut (Slivar, 2001) burnout adalah kondisi emosional seseorang yang merasa lelah dan jenuh secara fisik maupun mental, sebagai akibat dari tuntutan suatu pekerjaan yang terus meningkat. Dari pendapat tersebut, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa kejenuhan dapat terjadi sebagai akibat dari adanya tuntutan pada tenaga medis untuk selalu mematuhi aturan dan penugasan yang diberikan kepada mereka, terlebih di masa pandemi saat ini. Tingginya risiko menderita burnout akibat pajanan stres yang luar biasa berat di fasilitas kesehatan selama pandemi ini dapat mengakibatkan efek jangka panjang terhadap kualitas pelayanan medis karena para tenaga medis dapat mengalami depresi, kelelahan ekstrim, bahkan merasa kurang kompeten dalam menjalankan tugas.

Burnout dapat berkurang dengan adanya well-being pada diri individu. Kesejahteraan atau well-being sendiri menurut (Dyrbye et al., 2006) terkait dengan burnout menjadi hal yang penting untuk diteliti. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kesejahteraan spiritual terhadap burnout pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (Safitri, 2016). Diperkuat dengan yang dikemukakan oleh (Kholifah, Soeharto, & Supriati, 2016) dalam penelitiannya tentang burnout pada perawat ditemukan bahwa kesejahteraan psikologis memiliki hubungan yang kuat dengan burnout. Perawat yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik akan terhindar dari burnout, karena adanya kemampuan memandang positif hal-hal yang terjadi di kehidupannya. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa burnout sebenarnya bisa berkurang dengan adanya well-being pada individu.

Menurut (Diener, Larsen, 2005) menyatakan bahwa subjective well-being merupakan evaluasi kognitif seperti kepuasan hidup dan reaksi afektif yang terdiri dari positive affect dan negative affect. Subjective well-being merupakan suatu keadaan ketika individu mempersepsi dan mengevaluasi tentang segala hal yang terjadi di dalam kehidupan mereka, yaitu evaluasi kognitif dan afektif. Cara seseorang memandang kehidupannya dapat dilakukan secara kognitif yaitu dalam bentuk kepuasan hidup, maupun secara afektif yakni dalam bentuk suasana hati dan reaksi emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan (Diener, 2009). Menurut (Diener & Biswas-Diener, 2008) menyatakan bahwa subjective well-being (SWB) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan tingkat well-being yang dialami dan dirasakan oleh individu menurut evaluasi subyektif dari kehidupannya. Pendapat (Diener, Larsen, 2005) mengatakan bahwa subjective well-being merupakan evaluasi kognitif dan sejumlah tingkatan perasaan positif atau negatif. Kemudian, seseorang dikatakan memiliki subjective well-being (SWB) yang tinggi apabila ia merasa puas dengan kondisi hidupnya, sering merasakan emosi positif, dan jarang merasakan emosi negatif (Diener, Larsen, 2005). Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin melihat hubungan subjective well-being dengan burnout pada tenaga medis di masa pandemi covid-19.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian uji korelasional yang merupakan penelitian yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel atau lebih (Silalahi & Mifka, 2015). Penelitian dilakukan pada tanggal 1 � 27 Maret 2021. Partisipan dalam penelitian ini adalah sebanyak 127 tenaga medis yang bertugas selama pandemi covid-19. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan teknik snowball. Adapun kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah tenaga medis yang bertugas selama pandemi covid-19, serta berdomisili di DKI Jakarta. Data demografis partisipan telah diperiksa dan dipastikan validitasnya sehingga tidak ada partisipan yang mengisi kuesioner lebih dari satu kali dan semua pernyataan telah terjawab.

Penelitian ini menggunakan 2 kuesioner yaitu kuesioner Burnout dan kuesioner Subjective Well-Being. Kuesioner Burnout yang digunakan pada penelitian ini diadopsi dari Maslach dan Jackson dalam (Chiu, Hsu, & Wang, 2006). Kuesioner burnout dibagi menjadi 3 dimensi yakni: kelelahan emosional, depresionalisasi, dan penurunan prestasi terhadap diri. Sementara, kuesioner subjective well-being (SWB) milik Diener yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia (Rostiana, 2011). Kuesioner ini terdiri dari 3 dimensi, yaitu positive affect, negative affect, dan global life satisfaction.

Dalam mengumpulkan data, peneliti membagikan kuesioner dalam bentuk digital dengan menggunakan aplikasi Google Form. Dalam proses pengambilan data, peneliti menghubungi rekan ataupun kerabat yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dan yang bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini. Peneliti menyebarkan kuesioner melalui koneksi pribadi. Kemudian meminta bantuan mereka untuk menyebarkan kembali kuesioner ini kepada pihak yang sesuai dengan kriteria penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Hasil Penelitian

Tabel 1

Distribusi karakteristik responden

Karakteristik

Total

Persentase (%)

Jenis kelamin

 

 

Laki-laki

27

22%

Perempuan

100

78%

Usia

 

 

20 � 30

60

46%

31 � 40

39

31%

40 � 50

14

11.5%

50 - 60

14

11.5%

Pendidikan Terakhir

 

 

S1

112

88.4%

S2

15

11.6%

Status Pegawai

 

 

Pegawai Tetap

80

63%

Pegawai Kontrak

47

37%

Sumber: data diperoleh dari data demografi

 

Berdasarkan data tabel 1 diketahui bahwa responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 100 orang (78%) lebih banyak daripada laki-laki. Mayoritas kelompok usia responden pada 20-30 th (46%). Pendidikan terakhir responden terbanyak adalah Strata-1(S1) yaitu sebanyak 112 orang (88.4%). Kemudian, sebanyak 80 orang berstatus sebagai pegawai tetap.

 

Tabel 2

Uji Korelasi

Correlations

 

Subjective Well Being

Burnout

 

Pearson Correlation

1

-.277**

SWB

Sig. (2-tailed)

 

.002

 

N

127

127

 

Pearson Correlation

-.277**

1

BO

Sig. (2-tailed)

.002

 

 

N

127

127

Sumber: data diperoleh dari data demografi

 

Berdasarkan data pada tabel 2 hasil uji korelasi menunjukkan nilai koefisien r -0.277 dan nilai P 0.002 (P<0.01) yang berarti terdapat hubungan antara subjective well-being dengan burnout pada tenaga medis di masa pandemi covid-19. Hubungan bersifat negatif, artinya semakin tinggi subjective well-being tenaga medis, maka semakin rendah tenaga medis mengalami burnout.

 

2.    Pembahasan

a.    Subjective Well-Being

Hasil penelitian didapatkan bahwa tingkat subjective well-being pada tenaga medis dimasa pandemic covid 19 berada pada taraf rendah yaitu sebanyak sebanyak 37.5% dan tingkat sedang berjumlah 31.25 % dan pada taraf tinggi yaitu sebanyak 31.25%. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being terdiri atas jenis kelamin, tujuan hidup, faktor kualitas hubungan social, agama dan spiritualitas, serta kepribadian yang dikemukakan oleh (Diener, 2009).

Dari hasil penelitian tersebut didapatkan sebagian besar responden adalah perempuan. Menurut penelitian Diener secara umum tidak terdapat perbedaan yang signifikan subjective well -being antara pria dan wanita. Namun, responden wanita memiliki intensitas perasaan negatif dan positif yang lebih banyak dibandingkan pria. Selain itu dari hasil penelitian didapatkan responden yang terbanyak adalah usia 20-30 tahun, di mana dalam usia tersebut tergolong usia produktif dalam bekerja sehingga karyawan akan berusaha seproduktif mungkin dalam mencapai tujuan yang diinginkannya.

Menurut (Diener, Larsen, 2005) menyatakan bahwa subjective well-being merupakan evaluasi kognitif seperti kepuasan hidup dan reaksi afektif yang terdiri dari positive affect dan negative affect. Subjective well-being merupakan suatu keadaan ketika individu mempersepsi dan mengevaluasi tentang segala hal yang terjadi di dalam kehidupan mereka, yaitu evaluasi kognitif dan afektif.

Tenaga medis dapat mencapai subjective well-being ketika merasakan kebahagiaan atau kepuasan pada satu titik tertentu dalam hidupnya. Pencapaian tersebut didasarkan dari tujuan yang dibentuk oleh individu itu sendiri. Tujuan tersebut bisa bermakna dalam mencapai kepuasan berdasarkan apa yang mereka inginkan. Hal ini dijabarkan melalui beberapa indicator yang ada dalam komponen kognitif, yaitu kepuasan terhadap diri pribadi, pekerjaan, kehidupan sosial dan keluarga, hingga kepuasan hidup berdasarkan standar yang unik yang dimiliki. Tujuan yang sangat ingin dicapai oleh kebanyakan tenaga medis adalah kepuasan dalam pekerjaan yakni membantu dan menolong sesamanya.

Pengalaman dalam setiap peristiwa yang dilalui bisa menjadi tolak ukur dalam menentukan tingkat subjective well-being mereka sendiri. Mengungkapkan setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, baik itu positif atau negatif dapat membentuk seseorang dalam rangka menghadirkan subjective well-being. Semakin banyak peristiwa yang dimaknai secara positif yang berlangsung dalam kehidupan maka akan menambah atau meningkatkan rasa well-being-nya, namun apabila lebih banyak peristiwa dan memaknai secara negatif, maka yang terjadi adalah sebaliknya.

 

b.    Burnout

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa tingkat burnout pada tenaga medis di masa pandemi covid-19 yang tergolong rendah adalah 34.3%, burnout tingkat sedang adalah 33.5%, dan burnout tingkat tinggi adalah 32.2%. Menurut (Slivar, 2001) burnout adalah kondisi emosional seseorang yang merasa lelah dan jenuh secara fisik maupun mental, sebagai akibat dari tuntutan suatu pekerjaan yang terus meningkat.

Burnout secara umum dipengaruhi oleh dua faktor besar, yakni faktor situasional dan faktor individual (Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001). Faktor situasional terdiri dari faktor-faktor di luar diri seseorang, sedangkan faktor individual terdiri atas faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang. Fenomena yang seringkali terjadi adalah kinerja suatu perusahaan yang telah demikian bagus dapat dirusak, baik secara langsung mapun tidak langsung oleh berbagai perilaku yang sulit dicegah terjadinya.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa sebanyak 32.2% tenaga medis mengalami burnout tingkat tinggi. (Adawiyah, 2013) menjelaskan bahwa individu yang bekerja pada bidang pelayanan masyarakat, misalnya dokter, perawat, dosen ataupun pekerjaan sosial lainnya rentan mengalami burnout. Meskipun demikian, burnout sebenarnya bisa berkurang dengan adanya well-being yang positif pada diri pekerja (Dyrbye et al., 2006).

c.    Hubungan antara Subjective Well-Being dengan Burnout pada Tenaga Medis

Pandemi Covid-19 membawa dampak perubahan pada seluruh bidang kehidupan manusia yang mengakibatkan peningkatan beban yang sangat berat terhadap sistem pelayanan kesehatan. Risiko yang paling nyata adalah aspek keselamatan serta kesehatan fisik dan mental tenaga medis, yang sangat rentan terpapar Covid-19. Besarnya lonjakan jumlah pasien yang terpapar Covid-19, dan terutama di Provinsi DKI Jakarta yang sampai saat ini masih menduduki peringkat pertama jumlah kasus terkonfirmasi positif, dikhawatirkan membuat para tenaga medis mengalami burnout.

Berdasarkan hasil uji korelasi dalam penelitian, diketahui bahwa terdapat korelasi negatif antara subjective well-being dengan burnout pada tenaga medis di masa pandemi covid-19 (r= -0.277 dan nilai P 0.002 (P<0.01)). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi subjective well-being tenaga medis, maka semakin rendah tenaga medis mengalami burnout.

Meskipun di masa pandemi seperti saat ini tenaga medis memiliki tuntutan dan resiko yang besar dalam pekerjaannya, ternyata dengan adanya subjective well-being yang tinggi membuat para tenaga medis dapat terhindar dari burnout selama menjalankan tugasnya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian terdahulu, yang didapatkan bahwa well-being dapat menekan tingkat burnout seseorang, terutama pada aspek kelelahan emosional (�at, Cengiz, & Cengiz, 2014) kemudian, kesejahteraan atau well-being sendiri menurut (Dyrbye et al., 2006) terkait dengan burnout menjadi hal yang penting untuk diteliti.

Ketika tingkat well-being seseorang naik, maka kelelahan emosional, depersonalisasi, dan ketidakpercayaan diri mereka akan menurun (Diponegoro, 2013). Menurut (Slivar, 2001) burnout adalah kondisi emosional seseorang yang merasa lelah dan jenuh secara fisik maupun mental, sebagai akibat dari tuntutan suatu pekerjaan yang terus meningkat. Burnout secara umum dipengaruhi oleh dua faktor besar, yakni faktor situasional dan faktor individual (Maslach et al., 2001). Faktor situasional terdiri dari faktor-faktor di luar diri seseorang, sedangkan faktor individual terdiri atas faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang. Subjective well-being menjadi salah satu variabel yang termasuk faktor individual. Subjective well-being merupakan evaluasi pikiran dan perasaan seseorang terhadap hidupnya. Evaluasi ini termasuk reaksi emosional pada kejadian-kejadian serta penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan.

Subjective well-being mencakup tingginya pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya pengalaman emosi negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi (Diener, Larsen, 2005). Sehingga, dalam hal ini apabila tenaga medis mampu menghayati dan menerima pengalaman emosi� menyenangkan yang tinggi, pengalaman emosi negatif yang rendah, dan adanya kepuasan hidup yang tinggi, maka akan membuat mereka untuk kemungkinan mengalami burnout semakin rendah. Subjective well-being menunjukkan kepuasan hidup dan evaluasi terhadap domain-domain kehidupan yang penting seperti pekerjaan, kesehatan, dan hubungan. Juga termasuk emosi mereka, seperti keceriaan dan keterlibatan, dan pengalaman emosi yang negatif, seperti kemarahan, kesedihan, dan ketakutan yang sedikit. Dengan kata lain, kebahagiaan adalah nama yang diberikan untuk pikiran dan perasaan yang positif terhadap hidup seseorang. Subjective well-being menyangkut studi apa yang orang awam sebut sebagai kebahagiaan. Hal tersebut senada dengan Hoyer dan Rodin (2003) yang mengatakan bahwa subjective well-being adalah kondisi seseorang yang merasakan kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup, sehingga menjadi cenderung tidak rentan mengalami burnout.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa subjective well-being secara signifikan berkorelasi negative dengan burnout. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi subjective well-being tenaga medis yang bertugas di masa pandemic Covid-19, maka semakin rendah tenaga medis tersebut mengalami burnout. Sebaliknya, semakin rendah subjective well-being tenaga medis yang bertugas di masa pandemic Covid-19, maka semakin tinggi tenaga medis tersebut mengalami burnout.

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adawiyah, Raden Adjeng Robiatul. (2013). Kecerdasan emosional, dukungan sosial dan kecenderungan burnout. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, 2(2).Google Scholar

 

�at, Sedat, Cengiz, Sevil, & Cengiz, Ekrem. (2014). The effect of spiritual intelligence on the dimensions of burnout syndrome. International Journal of Economic Research, 515, 36�44.Google Scholar

 

Chiu, Chao Min, Hsu, Meng Hsiang, & Wang, Eric T. G. (2006). Understanding knowledge sharing in virtual communities: An integration of social capital and social cognitive theories. Decision Support Systems, 42(3), 1872�1888.Google Scholar

 

Diener, Larsen, Eddington &. Shuman. (2005). Guidelines for national indicators of subjective well-being and ill-being. Journal of Happiness Studies, 7(4), 397�404.Google Scholar

 

Diener. (2009). Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist, 55(1), 34.Google Scholar

 

Diener, E., & Biswas-Diener, R. (2008). Happiness: Unlocking the Mysteries of Psychological Wealth (Chapter 8: The Happiest Places on Earth: Culture and Well-Being). Malden, MA: Blackwell, 127�144.Google Scholar

 

Diponegoro, Ahmad Muhammad. (2013). Hubungan pola asuh otoritatif, kontrol diri, ketrampilan komunikasi dengan agresivitas siswa. Psikopedagogia Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 2(2), 101�115.Google Scholar

 

Dyrbye, Liselotte N., Thomas, Matthew R., Huntington, Jefrey L., Lawson, Karen L., Novotny, Paul J., Sloan, Jeff A., & Shanafelt, Tait D. (2006). Personal life events and medical student burnout: a multicenter study. Academic Medicine, 81(4), 374�384.Google Scholar

 

Handayani, Diah, Hadi, Dwi Rendra, Isbaniah, Fathiyah, Burhan, Erlina, & Agustin, Heidy. (2020). Corona virus disease 2019. Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2), 119�129.Google Scholar

 

https://covid19.go.id/. (2021). diakses tanggal 13 Maret 2021.

 

Kholifah, Siti, Soeharto, Setyawati, & Supriati, Lilik. (2016). Hubungan faktor-faktor internal dengan kejadian kelelahan mental (burnout) pada perawat. Jurnal Kesehatan Mesencephalon, 2(4).Google Scholar

 

Maslach, Christina, & Jackson, Susan E. (1981). The measurement of experienced burnout. Journal of Organizational Behavior, 2(2), 99�113.Google Scholar

 

Maslach, Christina, Schaufeli, Wilmar B., & Leiter, Michael P. (2001). Job burnout. Annual Review of Psychology, 52(1), 397�422.Google Scholar

 

MKK FKUI. (2021). https://fkui.ac.id/.

 

Nasrullah, Natsir, Twistiandayani et al. (2020). Dampak Psikologis Tenaga Kesehatan dalam Upaya Menghadapi Pandemi Corona Virus (Covid-19).Google Scholar

 

PUU-XIII/2015, Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor. (2015). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015.

 

Rostiana. (2011). Pengaruh Kebahagiaan Integratif terhadap Komitmen Organisasional dan Perilaku Kewargaan Organisasional.

 

Safitri, Isnaniah Laili Khatmi. (2016). Pengaruh Rasio Keuangan Terhadap Pertumbuhan Laba Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Industri Konsumsi Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (Studi Kasus Pada Perusahaan Kalbe Farma Tbk Periode 2007-2014). Jurnal Akuntansi dan Bisnis: Jurnal Program Studi Akuntansi, 2(2).

 

Silalahi, Ulber, & Mifka, Sabda Ali. (2015). Asas-asas manajemen. Refika Aditama.Google Scholar

 

Slivar, Branko. (2001). The syndrome of burnout, self-image, and anxiety with grammar school students. Horizons of Psychology, 10(2), 21�32.Google Scholar

 

Undang-undang no 36 tahun 2014. Tenaga Kesehatan.

 

 

Copyright holder :

Mahesti Pertiwi, Anissa Rizky Andriany dan Ajheng Mulamukti Asih Pratiwi (2021)

 

First publication right :

Journal Syntax Idea

 

This article is licensed under: