Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����

Vol. 3, No. 4, April 2021

 


HUBUNGAN ANTARA SUBJECTIVE WELL-BEING DENGAN BURNOUT PADA GURU ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS SELAMA PANDEMI COVID-19

 

Anissa Rizky Andriany, Ajheng Mulamukti Asih Pratiwi dan Mahesti Pertiwi

Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected] dan [email protected]

 

Abstract

The purpose of study was to analyze the work stress and the burn out of teachers of children with Special Needs during the pandemic Covid-19. This research uses a quantitative method with a type of correlational test research, which is a study used to find the relationship between two or more variables. Based on the results of the research, it was found that the level of subjective well-being on teachers of children with special needs during the Covid-19 pandemic was at a low level of 33.3%, while the moderate level of 35.5% and at the high level of 31.1%. The factors that influence subjective well-being consist of gender, goal, religion or spirituality, social relationship quality factors, personality. Based on the results of the research conducted, it can be concluded that subjective well-being is significantly correlated with burnout. There is a negative relationship between subjective well-being and burnout on teachers of children with special needs during the Covid-19 pandemic, namely the higher the subjective well-being, the lower the burnout and vice versa.

 

Keywords: subjective well-being; burnout; theachers of children with special needs

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan stres kerja dengan Burn Out Guru Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di masa pandemi Covid-19. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian uji korelasional, untuk mencari hubungan antara dua variable atau lebih. Berdasarkan hasil penelitian diidapatkan bahwa tingkat subjective well-being pada guru anak berkebutuhan khusus selama pandemic Covid 19 yaitu sebanyak sebanyak 33.3% pada taraf rendah, sedangkan tingkat sedang berjumlah 35.5%, dan pada taraf tinggi yaitu sebanyak 31.1%. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being terdiri atas jenis kelamin, tujuan, agama atau spiritualitas, faktor kualitas hubungan social, kepribadian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa subjective well-being secara signifikan berkorelasi dengan burnout. Terdapat hubungan negatif antara subjective well-being dengan burnout pada guru anak berkebutuhan khusus di masa pandemi Covid-19, artinya semakin tinggi subjective well-being maka akan semakin rendah burnout dan begitu juga sebaliknya.

 

Kata Kunci: subjective well-being; burnout; guru ABK; covid-19

 

 

Pendahuluan

Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak awal Maret 2020 hingga saat ini telah membuat 1.410.134 jiwa terkonfirmasi positif (https://covid19.go.id/, 2021). Pandemi Covid-19 yang terjadi turut berdampak pada kehidupan masyarakat di Indonesia. Rumitnya penanganan wabah ini membuat pemerintah menerapkan kebijakan yang sangat ketat untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 salah satunya yaitu social distancing.

Kebijakan social distancing, yang tertera dalam (Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020) mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar. Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan cukup memberikan dampak yang besar pada dunia pendidikan. Perubahan dalam bidang pendidikan terlihat jelas pada proses kegiatan belajar-mengajar yang berubah secara masif. Proses Pendidikan yang semula dilakukan secara konvensional di lingkungan sekolah berubah menjadi pembelajaran dalam jaringan (daring).

Dalam kondisi saat ini, virus corona bukanlah suatu wabah yang bisa diabaikan begitu saja. Jika dilihat dari gejalanya, orang awam akan mengiranya hanya sebatas influenza biasa. Akan tetapi bagi analisis kedokteran virus ini cukup berbahaya dan mematikan. Saat ini di tahun 2020, perkembangan penularan virus ini cukup signifikan karena penyebarannya sudah mendunia dan seluruh negara merasakan dampaknya termasuk Indonesia. Mengantisipasi dan mengurangi jumlah penderita virus corona di Indonesia sudah dilakukan di seluruh daerah. Diantaranya dengan memberikan kebijakan membatasi aktivitas keluar rumah, kegiatan sekolah dirumahkan, bekerja dari rumah (work from home), bahkan kegiatan beribadah pun dirumahkan. Hal ini sudah menjadi kebijakan pemerintah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sudah dianalisa dengan maksimal (Yunus & Rezki, 2020).

Pembelajaran yang dilaksanakan pada sekolah dasar juga menggunakan pembelajaran daring atau jarak jauh dengan melalui bimbingan orang tua. Menurut Isman pembelajaran daring merupakan pemanfaatan jaringan internet dalam proses pembelajaran. Dengan pembelajaran daring siswa memiliki keleluasaan waktu belajar, dapat belajar kapanpun dan dimanapun. Siswa dapat berinteraksi dengan guru menggunakan beberapa aplikasi seperti classroom, video converence, telepon atau live chat, zoom maupun melalui whatsapp group (Dewi, 2020).

Pembelajaran daring dinilai pemerintah sebagai satu-satunya solusi untuk memastikan keberlangsungan proses pembelajaran dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi tetap berjalan (Arizona, Abidin, & Rumansyah, 2020). Surat Keputusan Bersama 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021 di masa Pandemi Covid-19 telah mengatur sistem pembelajaran yang harus dipatuhi oleh seluruh lembaga pendidikan dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi, baik yang regular, inklusi maupun sekolah luar biasa.

Tidak hanya siswa, guru, khususnya anak berkebutuhan khusus (ABK) juga mengalami dampak dari adanya pemberlakuan kebijakan tersebut karena situasi yang berbeda dengan sebelumnya menjadi guru ABK bukanlah perkara yang mudah.

Dalam proses pembelajaran diperlukan kesabaran yang ekstra dalam memberikan pelajaran kepada peserta didiknya. Berbeda dengan guru yang ada di sekolah umum, guru ABK harus lebih sabar dan tekun dalam menghadapi anak didiknya, harus bisa ikhlas dalam memberikan pelajaran, mampu menganggap peserta didik seperti anak sendiri, serta harus memahami karakter peserta didiknya (Rosdiana, 2013). Lebih lanjut, seorang guru ABK dituntut untuk mampu memberikan 60% materi ajarnya mengenai keterampilan, khususnya lifeskill para peserta didik agar menjadi anak yang mandiri dan mampu melakukan sesuatu hal yang positif seperti anak normal pada umumnya (Rosdiana, 2013). Adanya tuntutan yang besar dalam mendidik ABK dalam masa pandemi ini dikhawatirkan turut mempengaruhi subjective well-being yang dimiliki oleh para guru ABK.

Menurut (Diener, 2009) mengungkapkan bahwa subjective well-being merupakan sebuah evaluasi kognitif dan efektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup.

Menurut (Diponegoro, 2008) menambahkan bahwa evaluasi kognitif orang yang bahagia berupa kepuasan hidup yang tinggi, evaluasi efektifnya adalah banyaknya afek positif dan sedikitnya efek negatif yang dirasakan.

Permasalahan yang dihadapi oleh guru ABK saat proses belajar mengajar secara daring di masa pandemi ini memungkinkan mereka untuk merasakan suasana hati yang negatif, seperti mudah marah, cemas, sedih, merasa bersalah, merasa jenuh akan pekerjaannya dan sebagainya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa mereka mencoba merefleksikan emosi negatif tersebut terhadap kehidupan termasuk dalam pekerjaan yang mereka lakukan (Firmansyah & Widuri, 2014). Proses belajar dari rumah secara daring juga dianggap dapat meningkatkan beban kerja guru terutama guru ABK.

Berdasarkan hasil penelitian (Dockery & Bawa, 2014) diketahui bahwa pekerjaan yang dilakukan di rumah ini dapat berdampak pada jam kerja yang lebih lama, efek buruk pada performa kerja dan timbulnya perasaan mengalami isolasi sosial. Penelitian lain yang dilakukan oleh (Anggraini & Prasetyo, 2015) turut menunjukkan bahwa beban kerja dapat mempengaruhi tingkat stres pada individu. Sedangkan kondisi stres inilah yang memunculkan berbagai perasaan yang tidak menyenangkan. Hal tersebut turut memunculkan permasalahan lain seperti masalah fisik (kecapean, sakit kepala, lelah mata) ataupun masalah psikologis (stres karena banyak tugas, kesulitan menyesuaikan diri, kognitif overload).

Sejalan dengan angket elektronik yang disebarkan sebagai studi pendahuluan pada guru ABK, sejumlah 23 guru melaporkan adanya tugas tambahan yang berkaitan dengan proses belajar secara daring selama pandemi. Tugas-tugas tersebut meliputi pembuatan program pembelajaran individua siswa, pembuatan laporan pelaksanaan pembelajaran daring, pembuatan perangkat pembelajaran (seperti: video pembelajaran, lembar kegiatan siswa), pemantauan tugas, peningkatan lifeskill siswa sesuai dengan karakteristik masing-masing siswa, perencanaan kegiatan yang dapat dilakukan dirumah, pelaksanaan program virtual yang bertujuan sebagai sarana hiburan serta meningkatkan relasi antar siswa, guru dan orang tua (Pertama, 2010).

Kondisi tersebut ditambah dengan beratnya tuntutan sebagai seorang guru ABK dapat beresiko membuat para guru ABK mengalami burnout selama melakukan pekerjaannya sebagai pendidik di masa pandemi ini. Sebagaimana diketahui dari kajian literatur yang dilakukan oleh (Chang, 2009), faktor-faktor eksternal dari kondisi organisasi seperti peningkatan beban kerja, jam kerja yang lebih lama, kurangnya dukungan instruksional, dan tidak tersedianya sumber daya untuk melakukan pengajaran dapat berpengaruh pada tingkat burnout pada guru.

Selain faktor-faktor organisasional tersebut, sifat pekerjaan pendidik sebagai pemberi jasa sendiri telah membuat para guru berpotensi mengalami burnout yang lebih tinggi. Hal ini karena profesional yang bekerja pada bidang pemberian jasa dan berorientasi untuk menolong orang lain secara personal dapat beresiko menguras emosi dan meningkatkan kemungkinan mengalami burnout (Huberman & Vandenberghe, 1999), (Maslach, 1996). Secara khusus, lingkup kompetensi profesional seorang guru dianggap memberikan tuntutan emosional yang tinggi karena adanya beban kerja berupa memberikan layanan pendidikan yang tepat dan bermakna kepada siswa, adanya harapan yang tinggi atas layanan yang diberikan, kepekaan terhadap tuntutan publik, dan penekanan yang lebih besar pada prestasi akademik siswa (Huberman & Vandenberghe, 1999).

Burnout sendiri merujuk pada keadaan kelelahan mental dan emosional akibat adanya gejala stres yang dapat disebabkan oleh tekanan tinggi dari peran yang dijalani, batas waktu penyelesaian tanggung jawab, serta kurangnya sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut (Susilo & Hartanto, 2020). Menurut (Maslach, 1996) burnout adalah sebuah sindrom yang terjadi karena adanya peningkatan kelelahan emosional kronis akibat terlibat dalam pekerjaan yang menguras sumber daya emosional.

Burnout ditandai oleh tiga aspek, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan berkurangnya prestasi pribadi (Maslach, 1996). Kelelahan emosional ditunjukkan dengan semakin berkurangnya energi emosional dan kehilangan semangat (Salvagioni et al., 2017). Fenomena seperti berkurangnya semangat, merasa lelah secara emosional, dan perasaan tidak menyenangkan ini juga dilaporkan oleh sejumlah lima belas guru ABK melalui angket elektronik yang dibagikan.

Ketika seorang guru mengalami burnout� kelelahan emosional akan terjadi terlebih dahulu kemudian diikuti dengan depersonalisasi (Huberman & Vandenberghe, 1999). Depersonalisasi yang dialami guru membuat guru tidak merasakan simpati terhadap siswa yang menerima pembelajaran yang diberikan (Maslach, 1996).

Aspek lainnya yaitu penurunan prestasi pribadi terjadi pada proses yang terpisah dan memiliki keterkaitan dengan tingkat kontrol pribadi serta dukungan sosial (Huberman & Vandenberghe, 1999). Penurunan prestasi pribadi juga dapat ditunjukkan dengan perasaan tidak mampu melaksanakan tugas-tugas profesional maupun hal-hal personal dan berkurangnya produktivitas (Salvagioni et al., 2017). Fenomena ini juga ditunjukkan oleh sejumlah 19 guru ABK dalam angket elektronik yang disebarkan, dimana guru-guru tersebut melaporkan adanya perasaan khawatir dan lelah karena tidak dapat melakukan tugas mengajar secara daring sebaik dan semaksimal sebelumnya ketika kondisi mengajar tatap muka.

Burnout sebenarnya bisa berkurang dengan adanya well-being yang positif pada diri guru ABK. Kesejahteraan atau well-being sendiri menurut Dyrbie, Menurut (Dyrbye et al., 2006) terkait dengan burnout menjadi hal yang penting untuk diteliti. Subjective well-being merupakan suatu keadaan ketika individu mempersepsi dan mengevaluasi tentang segala hal yang terjadi di dalam kehidupan mereka, baik evaluasi kognitif maupun afektif. Cara individu memandang kehidupannya dapat dilakukan secara kognitif yaitu dalam bentuk kepuasan hidup maupun secara afektif dalam bentuk suasana hati dan reaksi emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan (Diener, 2000). Adanya tuntutan pada guru ABK untuk selalu merasa senang & nyaman agar guru ABK mampu menikmati kehidupannya, serta kondisi yang memungkinkan memunculkan stress kerja hingga memicu burnout membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat hubungan antara subjective well-being dengan burnout pada guru ABK selama masa pandemi covid-19.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian uji korelasional yang merupakan penelitian yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel atau lebih (Silalahi & Mifka, 2015). Penelitian dilakukan pada tanggal 14-27 Maret 2021. Partisipan dalam penelitian ini adalah sebanyak 315 orang guru ABK yang berasal dari SLB (Sekolah Luar Biasa) atau Sekolah Inklusi, ataupun Lembaga Terapi yang mengajar selama pandemi Covid-19. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan teknik snowball. Adapun kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah guru ABK yang mengajar selama pandemi Covid-19, serta berdomisili di Indonesia. Data demografis partisipan telah diperiksa dan dipastikan validitasnya sehingga tidak ada partisipan yang mengisi kuesioner lebih dari satu kali dan semua pernyataan telah terjawab.

Penelitian ini menggunakan 2 kuesioner yaitu kuesioner Burnout dan kuesioner Subjective Well-Being. Kuesioner Burnout digunakan pada penelitian ini diadopsi dari Maslach dan Jackson dalam (Chiu & Tsai, 2006). Kuesioner burnout dibagi menjadi 3 dimensi, yaitu kelelahan emosional, depresionalisasi, dan penurunan prestasi terhadap diri. Sementara kuesioner subjective well-being (SWB) milik (Diener, 2000) yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia (Rostiana, 2011). Kuesioner ini terdiri dari 3 dimensi, yaitu positive affect, negative affect dan global life satisfaction.

Dalam mengumpulkan data, peneliti membagikan kuesioner dalam bentuk digital dengan menggunakan aplikasi google form. Dalam proses pengambilan data, peneliti menghubungi rekan ataupun kerabat yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dan yang bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini. Peneliti menyebarkan kuesioner melalui koneksi pribadi. Kemudian meminta bantuan mereka untuk menyebarkan kembali kuesioner ini kepada pihak yang sesuai dengan kriteria penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

1.    Hasil

Tabel 1

Distribusi karakteristik responden

Karakteristik

Frekuensi

Persentase (%)

Jenis kelamin

 

 

Laki-laki

249

21%

Perempuan

66

79%

Kelompok usia

 

 

20-30

21

6.3%

31-40

276

87.6%

41-50

18

5.7%

Pendidikan terakhir

 

 

SMA

20

6.3%

S1

272

86.3%

S2

18

5.7%

S3

5

1.6%

Jenjang Pendidikan yang diajar

 

 

SD

192

61%

SMP

58

18.4%

SMA

28

8.9%

Lainnya

37

11.7%

Status Kerja

 

 

Pegawai Tetap

141

44.8%

Pegawai Kontrak

128

40.6%

Pegawai Paruh Waktu

45

14.3%

Lainnya

1

.3%

Masa Kerja

 

 

< 3 tahun

191

60.6%

3 tahun � 5 tahun

62

19.7%

�>5 tahun

62

19.7%

Lokasi

 

 

Banten

150

47.6%

Jawa Barat

40

12.7%

Jawa Tengah

40

12.7%

Jawa Timur

20

6.3%

DKI Jakarta

35

11.1%

Kalimantan Timur

15

4.8%

Riau

100

3.2%

Bali

5

1.6%

Sumber data diolah dari data demografi penelitian

 

Berdasarkan data tabel 1 diketahui bahwa responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 249 orang (71%) lebih banyak daripada laki-laki. Mayoritas kelompok usia responden pada usia 31�40 tahun sebanyak 276 orang (87.6%). Pendidikan terakhir responden terbanyak adalah Sarjana 1 (S1) yaitu sebanyak 272 orang (86.3%). Jenjang Pendidikan yang diajar paling banyak berada adalah SD yaitu sebanyak 192 orang (61%). Sebanyak 141 orang (44.8%) berstatus sebagai pegawai tetap dengan masa kerja kurang dari 3 tahun sebanyak 191 orang (60.6%). Lokasi paling banyak berada di Banten sebanyak 150 orang (47.6% ).

 

 

Tabel 2

Uji Korelasi

Correlations

 

SWB

BO

 

Pearson Correlation

1

-.768

SWB

Sig. (2-tailed)

 

.000

 

N

315

315

 

Pearson Correlation

-.768

1

BO

Sig. (2-tailed)

.000

 

 

N

315

315

 

 

 

 

Sumber data diolah dari data demografi penelitian

 

Berdasarkan data pada tabel 2 hasil uji korelasi, menunjukkan nilai koefisien r = -.768 atau korelasi negatif dan nilai sig. (p)=000 (P< .05) yang berarti terdapat hubungan antara subjective well-being dengan burnout pada guru anak berkebutuhan khusus di masa pandemi covid-19. Hubungan bersifat negatif, artinya semakin tinggi subjective well-being guru anak berkebutuhan khusus, maka semakin rendah guru anak berkebutuhan khusus mengalami burnout.

 

2.    Pembahasan

a.    Subjective Well Being

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa tingkat subjective well-being pada guru ABK selama masa pandemi covid-19 berada pada taraf rendah yaitu sebanyak 33.3% dan tingkat sedang berjumlah 35.5% dan pada taraf tinggi sebanyak 31.1%. Faktor yang mempengaruhi subjective well-being meliputi jenis kelamin, tujuan, faktor kualitas hubungan sosial, agama dan spiritualitas serta kepribadian (Diener, 2009).

Dari hasil penelitian didapatkan sebagian besar responden adalah wanita. Secara umum terdapat perbedaan signifikan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Subjective well-being adalah evaluasi pikiran dan perasaan seseorang terhadap hidupnya. Evaluasi ini termasuk reaksi emosional pada kejadian-kejadian serta penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan. Subjective well-being mencakup tingginya pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya pengalaman emosi negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi (Diener, 2009).

Apabila guru ABK mampu menghayati dan menerima pengalaman emosi� menyenangkan yang tinggi, pengalaman emosi negatif yang rendah, dan adanya kepuasan hidup yang tinggi, maka akan membuat kemungkinan mereka untuk mengalami burnout semakin rendah. Seseorang dapat mencapai subjective well-being ketika merasakan kebahagiaan atau kepuasan pada satu titik tertentu. Pencapaian tersebut didasarkan dari tujuan yang dibentuk oleh individu itu sendiri. Tujuan tersebut bisa bermakna dalam mencapai kepuasan berdasarkan apa yang mereka inginkan. Hal ini dijabarkan melalui beberapa indikator yang ada dalam komponen kognitif, yaitu kepuasan terhadap kepuasan diri pribadi, pekerjaan, kehidupan sosial dan keluarga, hingga kepuasan hidup berdasarkan standar yang unik yang dimiliki. Tujuan yang sangat ingin dicapai oleh kebanyakan guru adalah keinginan dalam mengubah hidup mereka.

b.    Burn out

Berdasarkan dari hasil penelitian didapatkan bahwa tingkat burnout pada guru ABK di masa pandemik covid-19 tergolong rendah yaitu sebesar 26.3%, sedangkan pada tingkat sedang sebanyak 38.4% dan sisanya yaitu 35.2% Pada tingkat tinggi. Menurut (Maslach, 1996) menyebutkan bahwa burnout adalah sebuah sindrom yang terjadi karena adanya peningkatan kelelahan emosional kronis akibat terlibat dalam pekerjaan yang menguras sumber daya emosional.

Burnout ditandai oleh tiga aspek, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan berkurangnya prestasi pribadi (Maslach, 1996). Kelelahan emosional ditunjukkan dengan semakin berkurangnya energi emosional dan kehilangan semangat (Salvagioni et al., 2017).

Dalam kenyataannya, perilaku burnout saat ini turut dirasakan oleh pekerja di bidang pendidikan dan pelayanan manusia seperti guru ABK. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa 38.4% guru ABK yang menjadi responden penelitian mengalami burnout pada taraf tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian awal yang telah dihimpun melalui angket elektronik yang disebarkan sebagai studi pendahuluan pada guru ABK, sejumlah 23 guru melaporkan adanya tugas tambahan yang berkaitan dengan proses belajar secara daring selama pandemi. Kondisi tersebut ditambah dengan beratnya tuntutan sebagai seorang guru ABK yang dapat beresiko membuat para guru ABK mengalami burnout selama melakukan pekerjaannya sebagai pendidik di masa pandemi ini.

c.    Hubungan antara subjective well-being dengan burnout pada guru ABK

Pandemi covid-19 membawa dampak perubahan pada berbagai bidang kehidupan manusia, salah satunya adalah pada bidang pendidikan. Perubahan dalam bidang pendidikan terlihat jelas pada proses kegiatan belajar-mengajar. Dalam lingkup pendidikan anak berkebutuhan khusus, proses belajar-mengajar yang semula dilakukan secara tatap muka di lingkungan sekolah, berubah menjadi perkuliahan jarak jauh (PJJ).

Uji korelasi menunjukkan adanya korelasi negatif antara subjective well-being dengan burnout pada guru ABK selama pandemi covid-19 (r=-.768, p < .05). Hal ini menandakan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara subjective well-being dengan burnout pada guru ABK selama masa pandemi covid-19.

Besarnya tuntutan yang diberikan kepada guru ABK, seperti harus lebih sabar dan tekun dalam menghadapi anak didiknya, harus bisa ikhlas dalam memberikan pelajaran, mampu menganggap peserta didik seperti anak sendiri, serta harus memahami karakter peserta didiknya (Rosdiana, 2013), membuat beban pekerjaan para guru ABK bertambah menjadi lebih berat daripada sebelum adanya pandemi. Selain itu, adanya tuntutan pada guru ABK untuk mampu memberikan 60% materi ajarnya mengenai keterampilan, khususnya lifeskill para peserta didik agar menjadi anak yang mandiri dan mampu melakukan sesuatu hal yang positif seperti anak normal pada umumnya (Rosdiana, 2013), juga turut mempengaruhi kondisi subjective well-being pada guru ABK.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa guru ABK yang memiliki subjective well-being rendah menunjukkan kecenderungan burnout yang tinggi. Sementara, guru ABK yang memiliki subjective well-being tinggi menunjukkan kecenderungan burnout yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian (Diponegoro, 2008) bahwa evaluasi kognitif individu yang bahagia berupa kepuasan hidup yang tinggi, kemudian evaluasi afektifnya adalah banyaknya afek positif dan sedikitnya afek negatif yang dirasakan.

Burnout sebenarnya bisa berkurang dengan adanya well-being yang positif pada diri guru ABK. Kesejahteraan atau well-being sendiri menurut Dyrbie, Thomas, Huntington, Lawson, Novothy, Sloan, dan Shanafelt tahun 2006 terkait dengan burnout menjadi hal yang penting untuk diteliti. Subjective well-being merupakan suatu keadaan ketika individu mempersepsi dan mengevaluasi tentang segala hal yang terjadi di dalam kehidupan mereka, baik evaluasi kognitif maupun afektif. Cara individu memandang kehidupannya dapat dilakukan secara kognitif yaitu dalam bentuk kepuasan hidup maupun secara afektif dalam bentuk suasana hati dan reaksi emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan (Diener, 2000).

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa subjective well-being secara signifikan berkorelasi dengan burnout. Hubungan bersifat negatif, artinya semakin tinggi subjective well-being guru anak berkebutuhan khusus, maka semakin rendah guru anak berkebutuhan khusus mengalami burnout di masa pandemi Covid-19.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Anggraini, Fitria Widhy, & Prasetyo, Anggun Resdasari. (2015). Hardiness dan Subjective Well-Being pada Perawat. Empati, 4(4), 73�77.Google Scholar

 

Arizona, Kurniawan, Abidin, Zainal, & Rumansyah, Rumansyah. (2020). Pembelajaran Online Berbasis Proyek Salah Satu Solusi Kegiatan Belajar Mengajar Di Tengah Pandemi Covid-19. Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan, 5(1), 64�70.Google Scholar

 

Chang, Mei Lin. (2009). An appraisal perspective of teacher burnout: Examining the emotional work of teachers. Educational Psychology Review, 21(3), 193�218.Google Scholar

 

Chiu, Su Fen, & Tsai, Miao Ching. (2006). Relationships among burnout, job involvement, and organizational citizenship behavior. The Journal of Psychology, 140(6), 517�530.Google Scholar

 

Dewi, Wahyu Aji Fatma. (2020). Dampak Covid-19 terhadap implementasi pembelajaran daring di Sekolah Dasar. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 2(1), 55�61.Google Scholar

 

Diener, Ed. (2000). Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist, 55(1), 34.Google Scholar

 

Diener, Ed. (2009). Guidelines for national indicators of subjective well-being and ill-being. Journal of Happiness Studies, 7(4), 397�404.Google Scholar

 

Diponegoro, Ahmad Muhammad. (2008). Peran stress management terhadap kesejahteraan subjektif. Humanitas (Jurnal Psikologi Indonesia), 3(2), 137�141.Google Scholar

 

Dockery, A. Michael, & Bawa, Sherry. (2014). Is working from home good work or bad work? Evidence from Australian employees. Australian Journal of Labour Economics, 17(2), 163�190.Google Scholar

 

Dyrbye, Liselotte N., Thomas, Matthew R., Huntington, Jefrey L., Lawson, Karen L., Novotny, Paul J., Sloan, Jeff A., & Shanafelt, Tait D. (2006). Personal life events and medical student burnout: a multicenter study. Academic Medicine, 81(4), 374�384.Google Scholar

 

Firmansyah, Ibnu, & Widuri, Erlina Listiyanti. (2014). Subjective well-being pada guru sekolah luar biasa (SLB). Universitas Ahmad Dahlan.Google Scholar

 

https://covid19.go.id/. (2021).

 

Huberman, A. Michael, & Vandenberghe, Roland. (1999). Burnout and the teaching profession.Google Scholar

 

Maslach, C. (1996). Burnout: A multidimensional theory of burnout: In theories of organizational stress. Oxford: University Press.

 

Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020. (2020). kebijakan PSBB.Google Scholar

 

Pertama, Sekolah Menengah. (2010). Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan.Google Sholar

 

Rosdiana. (2013). Guru SLB Tanjung Pinang.Google Scholar

 

Rostiana. (2011). Pengaruh Kebahagiaan Integratif terhadap Komitmen Organisasional dan Perilaku Kewargaan Organisasional.

 

Salvagioni, Denise Albieri Jodas, Melanda, Francine Nesello, Mesas, Arthur Eumann, Gonz�lez, Alberto Dur�n, Gabani, Fl�via Lopes, & Andrade, Selma Maffei de. (2017). Physical, psychological and occupational consequences of job burnout: A systematic review of prospective studies. PloS One, 12(10), e0185781.Google Sholar

 

Silalahi, Ulber, & Mifka, Sabda Ali. (2015). Asas-asas manajemen. Refika Aditama.Google Scholar

 

Susilo, Agus Tri, & Hartanto, Agit Purwo. (2020). Academic burnout pada peserta didik terdampak pandemi Covid-19. G-Couns: Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 5(1), 123�130.Google Scholar

 

Yunus, Nur Rohim, & Rezki, Annissa. (2020). Kebijakan Pemberlakuan Lock Down Sebagai Antisipasi Penyebaran Corona Virus Covid-19. Salam: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 7(3), 227�238.Google Scholar

 

 

Copyright holder :

Anissa Rizky Andriany, Ajheng Mulamukti Asih Pratiwi dan Mahesti Pertiwi (2021)

 

First publication right :

Journal Syntax Idea

 

This article is licensed under: