Syntax Idea, p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����
Vol. 3, No. 4, April 2021
KETIDAKPATUHAN DOKTER
SPESIALIS OBSGIN DALAM MELAKSANAKAN CLINICAL PATHWAY
Munjari
Universitas Jenderal Soedirman Purwekorto Jawa
Tengah,Indonesia
Email:
[email protected]
Abstract
The purpose of this study is to data who obsgin specialists do not
comply in clinical pathways in every way sectio caesaria medical education
services. Qualitative research type by way of interview indepth how it works.
The results of the study idawan each informant already understand the purpose
and purpose of clinical pathways but has not been informed with four reasons,
namely not in, the request of doctors, management of the word, and the unclear
existence of the order. What this does leads to changes in quality and cost and
patient safety so that hospital performance is patient.
Keywords: noncompliance;
obstetrics and gynecology; clinical pathway
Abstrak
Tujuan penelian ini
adalah untuk memperoleh data mengapa dokter spesialis Obsgin tidak patuh dalam
menggunakan clinical pathway dalam setiap tindakan pelayanan asuhan medis
sectio caesaria. Jenis penelitian kualitatif dengan metode pendekatan kasus
indepth interview. Hasil penelitian menemukan setiap informan sudah memahami
maksud dan tujuan clinical pathway tetapi belum melaksanakannya dengan empat
alasan, yaitu tidak dilibatkan, permintaan pasien, kebijakan manajemen, dan
tidak jelas adanya perintah. Ketidakpatuhan ini membawa implikasi terhadap
peningkatan mutu dan biaya serta keselamatan pasien sehingga mengancam
kelangsungan performa rumah sakit.
Kata Kunci: ketidakpatuhan;
dokter spesialis obsgin; clinical pathway
Pendahuluan
Dunia
perumahsakitan adalah dunia yang paling dinamis dan sensitif terhadap
perubahan.� Isu mikro dan makro dalam
organisasi rumah sakit tidak saja terkait dalam kontek lokal melainkan sampai
pada kontek global.� Semakin banyak aktor
lintas negara yang terlibat dalam pengelolaan rumah sakit di Indonesia. Saat
ini disadari bahwa, perubahan terjadi begitu cepat dalam dunia usaha rumah
sakit, kerumitan masalah terus bertambah.
Rumah
sakit merupakan institusi pemberi layanan jasa yang memiliki peran penting bagi
kehidupan masyarakat. Dewasa ini rumah sakit di seluruh dunia menghadapi suatu
fase strategis pembaharuan untuk berubah menjadi suatu organisasi yang
fleksibel yang dapat menawarkan layanan dengan kualitas tinggi dan dengan biaya
yang rendah atau terjangkau. Rumah sakit-rumah sakit ini menghadapi suatu
tantangan manajerial yang penting untuk mengubah strategi peningkatan pelayanan
jangka panjang dengan tetap mempertahankan mutu dan kualitas pada pelayanan saat
ini (David, 2010).
Dalam
mempertahankan dan meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan kesehatan
tentu saja diperlukan suatu kemampuan manajerial yang memadai. Sementara proses
manajemen sendiri� adalah sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota
organisasi dan menggunakan sumber daya dan sumber daya manusia yang
terorganisasi agar dapat mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan (Stoner & Freeman, 2006). Untuk
menjaga mutu terutama dalam pelayanan kesehatan (quality assurance)
memerlukan suatu rangkaian kegiatan pelayanan kesehata=mn berdasarkan
standar dan prosedur medis yang semestinya agar mutu pelayanan kesehatan tetap
terjaga, ditinjau dari pandangan pemberi pelayanan kesehatan maupun kepuasan
pasien (Sutoto, Wibowo,
Daniel. B, 2013).
Mutu
pelayanan kesehatan dapat ditunjukkan dengan memberikan pelayanan yang
memuaskan bagi setiap pemakai jasa dan sesuai dengan standar pelayanan (Azwar, 2006). Upaya peningkatan
mutu sebaiknya dilaksanakan secara terpimpin, terarah, terpadu, menyeluruh, dan
berkelanjutan (DeSantis et al., 2006). Perbaikan dan peningkatan
mutu pelayanan kesehatan dilakukan secara periodik. Untuk dapat memberikan
pelayanan berstandar mutu tersebut, setiap rumah sakit berkewajiban untuk
mengikuti Akreditasi (Permenkes, 2011).
Akreditasi
adalah pengakuan terhadap rumah sakit yang diberikan oleh lembaga independen
penyelenggara akreditasi baik akreditasi nasional maupun akreditasi
internasional yang ditetapkan oleh Menteri (Permenkes, 2011). Standar akreditasi yang wajib diikuti oleh seluruh
rumah sakit di Indonesia adalah Akreditasi Nasional yang dikomandoi oleh Komisi
Akreditasi Rumah Sakit (KARS, 2016).
Menurut
KARS versi 2012 bahwa rumah sakit yang akan dilakukan penilaian akreditasi harus
menerapkan standar pelayanan yang berfokus pada pasien sehingga pengendalian
mutu dapat ditingkatkan.� Bahkan
Peraturan Presiden R.I Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 41
sampai 44 menyatakan bahwa dalam proses pemberian pelayanan harus dilakukan
dengan memperhatikan kendali mutu dan kendali biaya.
�Salah satu standar pelayanan yang berfokus
pada pasien yang dapat mengendalikan mutu, biaya dan mendorong keselamatan
pasien adalah penerapan alur pelayanan pasien.�
Bentuk alur pelayanan pasien yang dapat mengendalikan mutu dan biaya
menurut KARS versi 2012 adalah clinical pathway. Clinical Pathway (CP) adalah suatu
konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang
diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan kedokteran dan asuhan
keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka
waktu tertentu selama di rumah sakit (Firmanda, 2016).
Menurut
(Moon, Park, Kim, & Yang, 2003) Clinical pathway
adalah standar pengukuran yang telah direncanakan berdasarkan waktu/ jadual
terhadap prosedur pelayanan terhadap pasien. Masing-masing
tahapan dari pasien masuk sampai pulang telah distandarisasikan. Standarisasi
CP menjamin mutu, mengurangi resiko, meningkatkan efisiensi dan mengendalikan
biaya (De Bleser et al., 2006). Sedangkan clinical
pathway menurut Dep.Kes., 2008 adalah suatu konsep perencanaan terpadu,
pelayanan kepada pasien mulai dari masuk sampai keluar rumah sakit berdasarkan
standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan
tenaga kesehatan lain yang berdasarkan bukti yang diberikan pada pada pasien.� Pengertian keempat definisi CP tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa CP adalah� salah
satu instrumen pemberian pelayanan kepada pasien rawat inap yang
terstandarisasi dari pasien masuk sampai pulang yang berfokus pada manajemen
pengendali mutu dan biaya.
Penelitian
CP sebagai salah satu instrumen yang terstandarisasi yang digunakan dalam
manajemen pengendali mutu dan biaya adalah penelitian yang dilakukan oleh (He & Yang, 2015) tentang evaluasi penerapan CP di rumah sakit umum
China diperoleh hasil penelitian sasaran utama untuk menstandarisasi prosedur
dengan mengurangi lama rawat inap/ length of stay (LoS) dan mengendalikan biaya
belum sepenuhnya tercapai karena pihak manajemen belum memahami bahwa CP
merupakan instrumen yang efektif untuk menggerakkan dan mengendalikan biaya
guna mendapatkan pendapatan yang signifikan, dokter masih berorienasi pada
pendapatan yang diperoleh.� Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh (Moon et al., 2003) yang melakukan penelitian tentang pengaruh CP dalam
tindakan operasi Hernia Inguinalis di rumah sakit Soul menemukan bahwa dari 100
pasien sebagai sampel terdiri dari 60 pasien dijadikan kelompok eksperimen dan
40 pasien sebagai kelompok kontrol. Ditemukan bahwa pasien yang diberlakukan CP
lebih efisien biaya, pasien lebih puas, informasi lebih terarah dan leng of
stay lebih sedikit dibandigkan dengan pasien hernia yang dijadikan kontrol.� Menurut (Resnick, 2014) dalam kajian Harvard Business Review menyatakan bahwa
pada pasien rawat inap banyaknya variasi pelayanan sebagai akibat dari tidak
adanya standarisasi akan menyebabkan kejadian tidak diharapkan (adverse event) dan lamanya rawat inap.
Clinical
Pathway yang merupakan salah satu instrumen yang cukup baik untuk pengendalian
mutu dan biaya tersebut pada kenyataannya belum diterapkan secara maksimal di
seluruh rumah sakit di Indonesia termasuk di rumah sakit di wilayah Banyumas,
Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen (Barlingmascakeb).� Data menunjukkan bahwa terdapat 53 rumah
sakit di Jawa Tengah, 10 diantaranya adalah rumah sakit milik pemerintah, dan
43 lainnya adalah rumah sakit milik swasta. Rumah sakit yang tersedia mulai
dari rumah sakit yang belum ditetapkan kelasnya berjumlah 8 rumah sakit, rumah
sakit tipe D terdiri dari 15 rumah sakit, rumah sakit type C terdiri dari 26
rumah sakit, dan rumah sakit type B terdiri dari 3 rumah sakit, dan satu rumah
sakit tingkat III (KeMenKes, 2016). Rumah sakit yang telah
terakreditasi KARS versi 2012 di Wilayah Kabupaten Barlingmascakeb adalah Rumah
Sakit Emmanunel Banjarnegara dengan status Terakreditasi Paripurna, Rumah Sakit
Nirmala Purbalingga dengan status Terakreditasi Tingkat Dasar, Rumah Sakit Dadi
Keluarga dengan status Terakreditasi Tingkat Dasar,� Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto dengan status Terakreditasi Paripurna, Rumah Sakit Tk. III Wijaya
Kusuma Banyumas dengan status Terakreditasi Paripurna, dan Rumah Sakit Umum
Daerah Banyumas dengan status Terakreditasi Tingkat Utama� (KARS, 2016).
Salah
satu Kabupaten di wilayah Barlingmascakeb yang rumah sakitnya belum terakreditasi
KARS versi 2012 adalah semua rumah sakit yang berada di Kabupaten Cilacap.� Rumah sakit di Kabupaten Cilacap ada 6 rumah
sakit, yaitu Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap sebagai rumah sakit tipe B, untuk
Rumah Sakit C adalah Rumah Sakit Islam Fatimah Cilacap, Untuk Rumah Sakit Tipe
D adalah Rumah Sakit Aprilia, Rumah Sakit Santa Maria, Rumah Sakit Afdila dan
Rumah Sakit Pertamina. Semua rumah sakit di Kabupaten Cilacap tersebut belum
dilakukan akreditasi KARS versi 2012 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
data online, diperoleh 2 Mei 2016).
Data
dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tersebut menunjukkan bahwa mutu
pelayanan yang diberikan kepada pasien di semua rumah sakit Kabupaten Cilacap masih
dipertanyakan, karena rumah sakit yang baik dan bermutu ditunjukkan jika rumah
sakit tersebut telah melaksanakan akreditasi KARS versi 12 dengan lulus paripurna.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah
penelitian kualitatif deskriptif, yaitu berupa penelitian dengan metode atau
pendekatan studi kasus (Case Study). Menurut Sutedi A, 2009 bahwa studi kasus termasuk dalam
penelitian analisis deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan terfokus pada
suatu kasus tertentu untuk diamati dan dianalisis secara cermat sampai tuntas.
Kasus yang dimaksud bisa berupa tunggal atau jamak, misalnya berupa individu
atau kelompok. Di sini perlu dilakukan analisis secara tajam terhadap berbagai
faktor yang terkait dengan kasus tersebut sehingga akhirnya akan diperoleh
kesimpulan yang akurat.� Penelitian ini
memusatkan diri secara intensif pada satu obyek tertentu yang mempelajarinya
sebagai suatu kasus, yaitu kasus ketidakpatuhan dokter spesialis obsgin dalam
melaksanakan clinical pathway. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua
pihak yang bersangkutan, dengan kata lain data dalam studi ini dikumpulkan dari
berbagai sumber (Nawawi & Hadari, 2003). Sebagai sebuah studi kasus maka data yang
dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dan hasil penelitian ini hanya berlaku
pada kasus yang diselidiki. Lebih lanjut (Arikunto, 2006) mengemukakan bahwa metode studi kasus sebagai
salah satu jenis pendekatan deskriptif, adalah penelitian yang dilakukan secara
intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme (individu), lembaga
atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit.
Penelitian case study atau penelitian lapangan (field
study) dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang
masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung saat ini,
serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya (given). Subjek penelitian dapat berupa
individu, kelompok, institusi atau masyarakat. Penelitian case study merupakan
studi mendalam mengenai unit sosial tertentu dan hasil penelitian tersebut
memberikan gambaran luas serta mendalam mengenai unit sosial tertentu. Subjek
yang diteliti relatif terbatas, namun variabel-variabel dan fokus yang diteliti
sangat luas dimensinya (Danim, 2004).
Menurut (Bogdan, 1993) studi kasus merupakan pengujian secara rinci
terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen
atau satu peristiwa tertentu . (Surachmad, 1995) membatasi pendekatan studi kasus sebagai
suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif
dan rinci. Sementara (Humphrey & Yin,
1987) memberikan batasan yang lebih bersifat teknis
dengan penekanan pada ciri-cirinya. (Ary, Jacobs, &
Razavieh, 1985) menjelasan bahwa dalam studi kasus hendaknya
peneliti berusaha menguji unit atau individu secara mendalarn. Para peneliti
berusaha menernukan sernua variabel yang penting.
Berdasarkan batasan tersebut
dapat dipahami bahwa batasan studi kasus meliputi: (1) sasaran penelitiannya dapat
berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen; (2) sasaran-sasaran tersebut
ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau
konteksnya masing-masing dengan maksud untuk memahami berbagai kaitan yang ada
di antara variabel-variabelnya. Fenomena yang menjadi kasus dalam penelitian
ini adalah ketidakpatuhan dokter spesialis Obsgin dalam melaksanakan clinical
pathway di Rumah sakit Islam Fatimah Cilacap.
Penelitian yang dilakukan
akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis / lisan dari
orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Pendekatan diarahkan pada latar
dan individu secara holistik. Menurut (Moleong LexyJ, 2011)� bahwa
tujuan dari penelitian kualitatif adalah ingin menggambarkan realita empirik
dibalik fenomena mendalam, rinci, dan tuntas.
Manfaat penelitian
kualitatif yang dilakukan sesuai dengan (Moleong LexyJ, 2011) , diantaranya adalah untuk mengetahui upaya
pemahaman penelitian perilaku dan penelitian motivasional, untuk memahami
isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang, digunakan
untuk menemukan perspektif baru tentang hal-hal yang subdah banyak
diketahui,� dimanfaatkan untuk menelaah
suatu latar belakang misalnya tentang motivasi, peranan, nilai, sikap, persepsi,
dan juga digunakan untuk meneliti dari segi proses.
Menentukan lokasi penelitian
menyatakan cara terbaik ditempuh dengan jalan mempertimbangkan teori substantif
dan menjajaki lapangan untuk mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada di
lapangan. Sementara itu keterbatasan geografi dan praktis seperti waktu, biaya,
tenaga perlu juga dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian ((Moleong LexyJ, 2011).
Tempat penelitian yang akan
digunakan adalah di Rumah Sakit Islam Fatimah Cilacap sebagai rumah sakit telah
menerapkan clinical paathway sebagai bentuk kebijakan yang harus dilaksanakan
oleh dokter spesialis, termasuk didalamnya adalah dokter spesialis Obsgin.
Tempat dalam menggali data penelitian diatur secara fleksibel dan menyesuaikan
kenyamanan informan dalam mengatur waktunya sehingga diharapkan dapat mendorong
informan untuk dapat memberikan data seluas-luasnya. Penelitian akan
dilaksanakan pada bulan Nopember-Desember tahun 2016.
Dari konsep studi kasus penelitian tersebut menunjukkan
bahwa penelitian itu harus memenuhi kaidah ilmiah penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan
Hasil dan Pembahasan
1. Pelaksanaan Clinical
Pathway
Hasil penelitian melalui wawancara mendalam yang dilakukan
kepada kedua informan utama tentang pengetahuan, persepsi dan pemahaman
pelaksanaan clinical pathway sectio
caesaria sebagai konsep dasar pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang
pelaksana clinical pathway sectio
caesaria di Rumah Sakit Islam Fatimah Cilacap menunjukkan bahwa pada
prinsipnya kedua informan utama sebagai dokter spesialis Obsgin yang harus
melaksanakan clinical pathway sectio
caesaria mempunyai pengetahuan, pemahaman dan persepsi yang sama dengan
konsep teori, tujuan dan implementasi dari clinical
pathway sectio caesaria tersebut.�
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya keterkaitan antara pernyataan
kedua informan utama dengan konsep clinical
pathway, diantaranya sebagai berikut;
�....clinical pathway merupakan standar baku
pelayanan medis yang telah distandarisasi baik obatnya, pemeriksaan penunjangnya,
berapa hari rawat inapnya� (IU1)
�alur pelayanan klinis disebut juga clinical
pathway tadi adalah algoritma bagaimana merawat pasien dengan jenis penyakit
tertentu dengan penatalaksanaan asuhan medis, asuhan keperawatan, asuhan gizi
yang sudah terstandarisasi. Kira-kira kaya gitu definisinya pak..?� (IU1)
�...sepengetahuan saya
mas, clinical pathway disebut juga alur pelayanan klinis namun lebih populer
disebut clinical pathway yang merupakan penatalaksanaan terhadap pasien yang
telah distandarisasi baik obat, perawatannya, termasuk jenis operasinya, lama
rawat inapnya dan lainnya..� (IU2)
�.....tapi ingat pak, clinical pathway itu
hanya diterapkan pada pasien yang mempunyai penyakit yang tanpa komorbid, yaitu
tanpa komplikasi lain karena standarisasi mestinya tanpa komplikasi kan..?�(IU1)
Penjelasan kedua informan pada
prinsipnya sama dengan apa yang telah disampaikan oleh (Firmanda, 2016) bahwa Clinical Pathway (CP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu
yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar
pelayanan kedokteran (PNPK/PPK) dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti
dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah
sakit.
Namun informan utama kesatu (IU1) yang memahami bahwa clinical pathway adalah� algoritma, maka merupakan pemahaman yang
perlu diluruskan karena clinical pathway
tidak sama dengan algoritma. Algoritma merupakan salah satu alat bantu lain
dalam melaksanakan panduan praktik klinik sehingga dalam isi dan dan tujuan clinical pathway dan algoritma berbeda.
Menurut Buku Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Kedokteran yang diterbitkan
oleh (Kemenkes R.I, 2014) menyatakan bahwa standar
praktik klinik yang berlaku lokal untuk fasilitas pelayanan kesehatan disebut
Panduan Praktik Klinis (PPK) yang dapat disertai dengan alur klinis (clinical
pathway), algoritme, protokol, prosedur dan standing orders.
Dalam PPK terdapat hal-hal yang memerlukan rincian langkah
demi langkah. Maka sesuai dengan karakteristik permasalahan serta kebutuhan,
dapat dibuat clinical pathway (alur klinis), algoritme, protokol,
prosedur, maupun standing order
dengan masing-masing contoh perbedaan dalam aplikasi penanganan kasus antara clinical
pathway (alur klinis), algoritme, protokol, prosedur, maupun standing
order sebagai berikut (Kemenkes R.I, 2014).
� Dalam PPK disebutkan
bahwa tatalaksana stroke non-hemoragik harus dilakukan secara
multidisiplin dan dengan pemeriksaan serta intervensi dari hari ke hari dengan
urutan tertentu. Karakteristik penyakit stroke non-hemoragik sesuai
untuk dibuat alur klinis (clinical pathway, CP) sehingga perlu dibuat CP
untuk stroke non-hemoragik.
� Dalam PPK disebutkan
bahwa pada pasien gagal ginjal kronik perlu dilakukan hemodialisis. Uraian
rinci tentang hemodialisis dimuat dalam protokol hemodialisis pada
dokumen terpisah.
� Dalam PPK disebutkan
bahwa pada anak dengan kejang demam kompleks perlu dilakukan pungsi lumbal.
Uraian pelaksanaan pungsi lumbal tidak dimuat dalam PPK melainkan dalam prosedur
pungsi lumbal dalam dokumen terpisah.
� Dalam tata laksana
kejang demam diperlukan pemberian diazepam rektal dengan dosis tertentu yang
harus diberikan oleh perawat bila dokter tidak ada maka diatur dalam standing
order.
Penjelasan kedua informan utama tentang tujuan dari clinical pathway yang merupakan salah
satu� alat untuk meningkatkan mutu,
keselamatan pasien dan pengendalian biaya pelayanan juga sama dengan konsep
teori dan hasil penelitian yang ada.�
Bukti kesamaan tersebut terekam dalam wawancara mendalam dengan
pernyataan sebagai berikut;
� sudah jelas pak, tujuannnya untuk
meningkatkan mutu dan keselamatan pasien...eii juga dapat digunakan untuk pengendalian
biaya lah..�(IU1)
�.....yang pasti juga agar asuhan yang
diberikan kepada pasien tidak keluar dari standar yang telah ditentukan dalam
cp�. (IU1)
� ...nggak ada tujuan lain kecuali untuk
meningkatan mutu pelayanan dan pasiene slamet dan tentu mengendalikan biaya
mas...?� (IU2)
�.....tujuannya agar mutunya bagus, efisien
biaya dan penting untuk keselamatan pasien�. (IU2)
Penjelasan kedua informan tersebut sejalan dengan konsep clinical pathway sebagai alat untuk meningkatkan
mutu, pengendalian biaya dan keselamatan pasien adalah sebagai berikut;
1. Institute of Medicine of
America (1999) menyatakan bahwa pelayanan kepada pasien
harus transparan dan sesuai kebutuhan pasien sehingga perlu dibuat standarisasi
pelayanan yang melibatkan multidisiplin ilmu dengan tujuan meningkatkan
kualitas, efisiensi dan keselamatan pasien.�
Berdasarkan evident based salah
satu metode dimaksud adalah clinical
pathway
2. Menurut (KARS, 2016) bahwa rumah sakit yang akan
dilakukan penilaian akreditasi harus menerapkan standar pelayanan yang berfokus
pada pasien sehingga pengendalian mutu dapat ditingkatkan.� Bahkan (Peraturan Presiden R.I Nomor 12, 2013) tentang Jaminan Kesehatan Pasal 41 sampai 44 menyatakan bahwa dalam
proses pemberian pelayanan harus dilakukan dengan memperhatikan kendali mutu
dan kendali biaya. Salah satu standar pelayanan yang berfokus pada pasien yang
dapat mengendalikan mutu, biaya dan mendorong keselamatan pasien adalah
penerapan alur pelayanan pasien.� Bentuk
alur pelayanan pasien yang dapat mengendalikan mutu dan biaya menurut KARS
versi 2012 adalah clinical pathway
3. Menurut (Moon et al., 2003) Clinical pathway adalah standar pengukuran yang telah
direncanakan berdasarkan waktu/ jadual terhadap prosedur pelayanan terhadap pasien.� Masing-masing tahapan dari pasien masuk
sampai pulang telah distandarisasikan.
4. Dengan standarisasi CP menjamin mutu, mengurangi resiko, meningkatkan efisiensi
dan mengendalikan biaya (De Bleser et al., 2006).
5. (Romeyke & Stummer, 2012) dalam penelitiannya
terhadap pelaksanaan clinical pathway
pada pasien yang mengalami gangguan nyeri menyimpulkan dan menyarankan
kepada para manajer rumah sakit untuk menggunakan clinical pathway karena clinical
pathway merepresentasikan strategi manajemen pengendalian biaya secara
terus menerus, mengurangi biaya dan menjamin mutu pelayanan� karena hasil peelitian menunjukkan penggunaan
clinical pathway lebih efisien
dibandingkan tanpa menggunakan clinical
pathway (p<0.001)
6. Clinical pathway menurut Departemen
Kesehatan R.I., 2008 adalah suatu konsep perencanaan terpadu, pelayanan kepada
pasien mulai dari masuk sampai keluar rumah sakit berdasarkan standar pelayanan
medis, standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan tenaga kesehatan lain
yang berdasarkan bukti yang diberikan pada pada pasien.
Dari penjelasan yang disampaikan oleh kedua informan
dan konsep teori serta penelitian tentang clinical
pathway pada prinsipnya tidak ada gap
atau perbedaan.
1. Ketidakpatuhan Dokter Spesialis Obsgin
Hasil penelitian data primer
melalui wawancara mendalam �maupun data sekunder dari evaluasi pengisian
lembar/ form clinical pathway sectio
caesaria menunjukkan bahwa ketidakpatuhan kedua informan utama sebagai
dokter spesialis Obsgin yang melaksanakan clinical
pathway sectio caesaria benar-benar terjadi di Rumah Sakit Islam Fatimah
Cilacap.� Bukti bahwa kedua informan utama
tidak mematuhi dalam melaksanakan clinical
pathway ditunjukkan pada tabel 2,�
sebesar 7,1% pada bulan November 2016 sedangkan pada bulan� Oktober dan Nopember 2016 sebesar 0%.
Ketidakpatuhan kedua informan utama juga diakui oleh kedua informan yang menyatakan
dengan sepenuh hati belum melaksanakan clinical
pathway sectio caesaria sesuai standar yang ditetapkan.� Penjelasan ini terekam dalam interview mendalam sebagai berikut;
�..ya..walaupun saya menyadari juga
bahwa saya selama ini belum sepenuhnya melaksanakan cp yang seharusnya saya
laksanakan dengan berbagai alasan di atas tadi seperti saya hanya dikasih draf
cp suruh ngoreksi saja, saya ngga pernah diundang duduk satu meja bersama
profesi kesehatan lain untuk membahas cp, pasien minta obat paten diluar cp, sisi
lain juga kadang ada kebijakan manajemen yang melemahkan semangat melaksanakan
cp salah satunya menurunkan jasa pasien bpjs tanpa diskusikan dengan kami.� (IU1)
�..ya saya sadar betul saya pekerja
masih baru lagi yang harus bekerja sebaik-baiknya di rumah sakit ini, tapi
kadang sifat manusianya muncul ketika ada satu kondisi yang kurang sreg tadi, ya..jasa
dan komunikasi tadi. Saya sampaikan ya jasa bukan segala-galanya yang penting
fair dan komunikasikan dengan baiklah..iya kan mas..? (IU2)
�mas saya juga sadarlah saya belum
dapat melaksanakan kebijakan terkait clinical pathway sectio caesaria seperti
yang saya sampaikan di atas ya ada faktor yang berpengaruh salah satunya adalah
walaupun� saya tidak dilibatkan dalam
penyusunan cp, tapi saya tak pernah diperintah atau diundang atau untuk
pengisian penggunaan cp, jadi ya biasa-biasa saja, kedua pasien minta obat
paten mas piye..., terus sisi lain ada kebijakan direktur tentang penurunan
jasa medis tanpa diskusi dengan kami dokter obsgin iya kan...tiba-tiba..sk penurunan
jasa turun...piye re..membuat semangat kerjanya jadi kendor ya kan mas .?�(IU2)
Tentang belum
dilakukan audit medik clinical pathway
sectio caesaria menjadi alasan tersendiri menjadi salah satu faktor yang
mendukung ketidakpatuhan dokter spesialis Obsgin dengan pernyataan informan utama
sebagai berikut;
�pak kayaknya belum dilakukan audit
medis tentang clinical pathway ya..ya itu penting kan sudah lama dilaksakan cp
nya.� Karena saya belum pernah dipanggil
untuk dimintai pendapat atau diberitahu hasilnya gimana..hasilnya? karena saya
belum sepenuhnya melaksanakan cp itu.�(IU1)
�tolong dong komite medik atau bidang
pelayanan medik agar lebih greget lagi katanya mau akreditasi kok adem ayem
saja.� (IU1)
�mas di rsi ini kok katanya mau akreditasi
audit medik belum dilaksnakan ya..? saya tahu dari dokter lain termasuk saya
sendiri ngga pernah diundang atas hasil audit cp yang penting untuk
akreditasi..?� ya..beneran sih ngga diundang, tapi kan penting diaudit dan
dikomunikasikan dengan kami dokter agar ada perbaikan.�(IP2)
Dari pernyataan yang disampaikan oleh kedua informan utama dapat diambil
kesimpulan bahwa ada empat� faktor yang
menyebabkan ketidakpatuhan informan sebagai dokter spesialis Obsgin dalam melaksanakan
clinical pathway sectio caesaria di
Rumah Sakit Islam Fatimah Cilacap sebagai berikut;
a.
Tidak dilibatkan dalam penyusunan maupun audit medik clinical pathway sectio caesaria
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam
mencapai tujuan organisasi terutama komunikasi karena menurut (Robbin & Judge, 2015) komunikasi berperan mengendalikan
perilaku anggota dalam berbagai cara karena fungsi utamanya adalah perpindahan
dan pemahaman arti.
Komunikasi yang baik terhadap dokter spesialis Obsgin
di Rumah Sakit Islam Fatimah Cilacap sebaiknya lebih efektif menggunakan
komunikasi ke arah bawah karena posisi dokter spesialis Obsgin tersebut di
bawah pimpinan manajemen. Menurut (Robbin & Judge, 2015) komunikasi ke arah
bawah adalah komunikasi yang mengalir dari satu tingkat� dari sebuah kelompok atau organisasi menuju
ke level yang lebih rendah. Para pemimpin dan manajer menggunakannya untuk menugaskan
tujuan, memberikan instruksi pekerjaan, menjelaskan kebijakan dan prosedur,
menunjukkan permasalahan yang memerlukan perhatian dan menawarkan umpan balik.
Dengan harapan jalinan komunikasi yang baik,
keterlibatan dokter spesialis Obsgin baik dalam penyusunan maupun audit medik clinical pathway sectio caesaria dapat
memecahkan masalah pelaksanaan clinical pathway
sectio caesaria yang diwajibkan akreditasi oleh (KARS, 2016). Komitmen dokter spesialis Obsgin dapat ditingkatkan
jika dibangun komunikasi yang baik.� Hal
ini sebagaimana dikatakan oleh informan sebagai berikut;
� mas kami dokter obsgin sadar betullah harus patuhi
kebijakan direktur, kami akan manut siap laksanakan perintah asal komunikasi
dan bangun sistem yang baik, jangan reaktif tiba-tiba ada kebijakan kaya gitu.�(IU2)
b.
Pasien minta obat paten diluar clinical pathway sectio caesaria
Informan utama sebagai dokter spesialis Obsgin yang masih menganggap
bahwa obat paten lebih baik atau setidaknya lebih mantap menggunakannya
dibandingkan dengan obat generik tanpa alasan yang mendasar merupakan pendapat
yang perlu diluruskan karena khasiat obat generik maupun obat paten sama saja
kuatnya.� Menurut (Wilson, Regal, Papp, & Kimble, 2009) Obat paten adalah
hak perusahaan terhadap nama obat produk baru hasil penelitian produknya
original namanya disebut paten. Obat paten rata-rata dari penanaman modal asing
(PMA).� Contoh obatnya Ponstan, Ventolin,
Aspirin, dan lainnya. �Setelah masa paten
habis (6-8) tahun pabrik farmasi lain boleh memproduksi� obat dengan�
isi zat aktif sama dengan nama berbeda. Obatnya disebut mee to atau branded. Sedangkan obat generik adalah obat yang sesuai dengan yang
ditulis dalam INN (International Nonpropietary
Name) atau dibuat dengan tidak nama dagang tetapi dengan nama zat
aktifnya� sehingga obat generik dan obat
paten khasiatnya sama saja. Jika dokter spesialis Obsgin cenderung menggunakan
obat-obat paten maka akan berpotensi terhadap tidak dilaksanakannya CP dengan
konsisten artinya dokter spesialis Obsgin tidak patuh terhadap perintah manajemen.
Patuh menurut (Ali, 1999) adalah suka menurut perintah,
taat pada perintah atau aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai
aturan dan berdisiplin. Kepatuhan adalah merupakan suatu perubahan perilaku
dari perilaku yang tidak mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan
menurut (Notoatmodjo, 2003). Sedangkan kepatuhan (De Plaen et al., 1994) adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturan dan perilaku yang
disarankan.
Informan utama mengatakan
tidak mempunyai waktu untuk menjelaskan tentang khasiat obat generik yang
khasiatnya sama dengan obat paten kepada pasien. Kondisi ini akan menyebabkan
kecenderungan penggunaan obat paten meningkat tidak sesuai CP sehingga
pengendalian biaya obat sulit dilakukan karena dokter spesialis Obsgin hanya
menuruti apa yang diminta pasien.�
Pengendalian biaya melalui obat sangat penting karena menurut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) secara nasional
biaya obat mendominasi sebesar 40%-50% dari jumlah operasional pelayanan
kesehatan.
Dokter berkewajiban
melaksanakan kendali mutu dan kendali biaya sebagaimana diamanahkan� dalam Undang-undang Nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran pasal 49 ayat 1 dan 2 sebagai berikut;
�setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau
kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.�(1)
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan audit medis.(2)
�
c.
Kebijakan manajemen tentang jasa melemahkan semangat dalam
melaksanakan clinical pathway sectio
caesaria
Dari penjelasan yang disampaikan kedua informan sangat
jelas bahwa ketika manajemen membuat sebuah kebijakan apalagi kebijakan tentang
penurunan jasa medis dokter spesialis termasuk dokter spesialis Obsgin maka
akan mempengaruhi semangat kerja dalam melaksanakan tugas manajemen termasuk
dalam melaksanakan clinical pathway
sectio caesaria. Dalam kasus ini sebaiknya pimpinan manajemen menjelaskan
kepada dokter spesialis Obsgin alasan mengapa setiap keputusan yang diambil
terutama keputusan yang sensitif seperti menaikkan atau menurunkan jasa
disampaikan dengan komunikatif bahkan bisa berulang beberapa kali.
Alasan mengapa pengambilan keputusan oleh manajemen
harus disampaikan dan bahkan berulang kepada dokter spesialis Obsgin karena dapat
memberikan komitmen yang tinggi terhadap tugas pokok dan fungsi yang menjadi
tanggung jawabnya.� Sebagaimana hasil riset
yang dilakukan oleh (Dvorak, Haberer, Sitzer, & Foerch, 2009) menemukan bahwa para
pekerja dua kali cenderung berkomitmen dengan perubahan ketika alasan-alasan
yang melatarbelakangi mereka dijelaskan seluruhnya. Menurut (Leonardo, 2015) bahwa komunikasi manajer ke
bawah harus diulang beberapa kali dan melalui berbagai jenis media berbeda agar
menjadi sangat efektif.
Komitmen melaksanakan tugas pokok dan fungsi dokter spesialis Obsgin
untuk melaksanakan clinical pathway sectio
caesaria� akan terwujud jika
komunikasi dilakukan secara seimbang terhadap setiap keputusan yang diambil
oleh manajemen sebagaimana terekam dalam wawancara mendalam terhadap kedua
informan sebagai berikut;
� mas kami dokter obsgin sadar betullah harus patuhi
kebijakan direktur, kami akan manut siap laksanakan perintah asal komunikasi
dan bangun sistem yang baik, jangan reaktif tiba-tiba ada kebijakan kaya gitu.�(IU2)
�pak kayaknya belum dilakukan audit medis tentang
clinical pathway ya..ya itu penting kan sudah lama dilaksakan cp nya.� Karena saya belum pernah dipanggil untuk
dimintai pendapat atau diberitahu hasilnya gimana..hasilnya? karena saya belum
sepenuhnya melaksanakan cp itu.�(IU1)
d.
Tidak diperintah agar menggunakan clinical pathway sectio caesaria dengan baik
Komunikasi menduduki peran yang penting dalam
organisasi karena komunikasi berperan mengedalikan perilaku anggota dalam
berbagai cara karena fungsi utamanya adalah perpindahan dan pemahaman arti� (Robbins S.P., Judge T.A., 2015).
Informan yang memberi penjelasan bahwa tidak
diperintah oleh pimpinan manajemen untuk melaksanakan clinical pathway sectio caesaria merupakan hambatan dalam
komunikasi yang kurang efektif �dari pimpinan ke bawahan, dari level
manajemen ke pelaksana. �Kondisi ini
dibuktikan dengan penjelasan informan pendukung kesatu (IP1) sebagai Ketua
Komite Medik bahwa kesibukan dokter spesialis Obsgin maka penyusunan CP hanya
mengoreksi draf saja dan memberlakukannya dengan perintah lisan saja. Berikut
penjelasannya;
�...memang betul pak dpjp (dokter spesialis Obstetri)
hanya diberi draf cp sectio caesaria yang dibuatkan oleh dokter umum yang
menjadianggota komite medik, begitu juga dengan dpjp yang lain suruh ngoreksi
aja karena kalau dikumpulkan ngga ada waktunya. Beliau-beliau kan sibuk jadi ya
di buatkan draf suruh ngoreksi, setelah koreksi kami berlakukan cp itu dengan
memintanya secara lisan memang ngga pakai surat resmi...wong dokter dah tahu pentingnya
cp itu�(IP1)
Terjadi dua persepsi yang berbeda dalam kasus tersebut
diatas, dimana informan menganggap tidak dilibatkan kalau hanya sekedar
mengoreksi draf dan merasa tidak diperintah kalau perintahnya hanya lisan,
sementara pihak pimpinan manajemen (ketua Komite Medik) menganggap informan
sudah dilibatkan walaupun hanya sekedar mengoreksi draf dan sudah memerintahkan
untuk melaksanakan CP sectio caesaria
secara lisan. Maka perlu ada sistem komunikasi efektif yang dibangun antara
pimpinan dan pelaksana sehingga akan terjadi kesamaan tujuan dan pemahaman sehingga
terjadi saling memberikan kepercayaaan�
walaupun hanya perintah lisan atau mengoreksi draf saja.� Kepercayaan perlu dibangun diatas komunikasi
yang efektif karena kepercayaan akan membawa nilai-nilai baru yang baik
sebagaimana disampaikan oleh �(Sumohadiwidjojo, 1990) mengatakan bahwa dalam sebuah organisasi nilai-nilai
yang dianut merupakan konsep dasar dan kepercayaan yang mendasari organisasi
mencapai kesuksesan, maka sistem nilai tersebut harus disampaikan secara
terbuka kepada seluruh sumber daya manusia dalam organisasi untuk mendorong
karyawan membentuk sikap dan perilaku yang sesuai untuk meraih prestasi dan
hasil kinerja seperti yang ditargetkan.
Kepercayaan adalah pernyataan psikologis yang terjadi
ketika anda menyetujui ketika anda sendiri menjadi rentan terhadap orang lain
karena anda memiliki ekspektasi positif mengenai bagaimana hal-hal akan berubah (Menon G, P. Raghubir, 2005). Kepercayaan merupakan atribut utama terkait dengan kepemimpinan;
melanggarnya dapat memiliki efek beragam yang serius terhadap kinerja kelompok (Cuenda & Rousseau, 2007).
Keempat faktor yang menyebabkan dokter spesialis
Obsgin tidak patuh terhadap pelaksanaan clinical
pathway sectio caesaria perlu menjadi perhatian khusus pimpinan manajemen
dalam hal ini Direktur Rumah Sakit Islam Fatimah Cilacap melalui strategi baru.� Setidaknya perlu dibangun dua strategi baru, yaitu
1.
Strategi membangun komunikasi yang efektif yaitu komunikasi
ke arah bawah adalah komunikasi yang mengalir dari satu tingkat� dari sebuah kelompok atau organisasi menuju
ke level yang lebih rendah. Para pemimpin dan manajer menggunakannya untuk
menugaskan tujuan, memberikan instruksi pekerjaan, menjelaskan kebijakan dan
prosedur, menunjukkan permasalahan yang memerlukan perhatian dan menawarkan
umpan balik (Robbins S.P., Judge T.A., 2015). Komunikasi yang
disampaikan lebih dari satu kali atau berulang agar lebih efektif sebagaimana
disampaikan oleh (Leonardo, 2015) bahwa komunikasi manajer ke
bawah harus diulang beberapa kali dan melalui berbagai jenis media berbeda agar
menjadi sangat efektif.� Dengan membangun
strategi komunikasi yang efektif diharapkan akan membuat dokter spesialis Obsgin
patuh terhadap perintah pimpinan manajemen. Fungsi kepemimpinan dimana
manajemen harus mengarahkan dan mengoordinasikan orang-orang dalam organisasi.
Manajemen terlibat untuk memotivasi pekerja,
mengarahkan aktifitas pekerja, memilih saluran komunikasi yang efektif, dan
juga menyelesaikan konflik di antara anggota. Sedangkan dalam fungsi
pengendalian, manajemen mengawasi kinerja organisasi dan membandingkan dengan
tujuan-tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Manajemen melakukan pengawasan,
perbandingan, dan koreksi (Robbins S.P., Judge T.A., 2015).
2.
Strategi kepemimpinan transformasional, yaitu kepemimpinan
transformasional adalah gaya kepemimpinan yang menitikberatkan pada para
pemimpin yang berusaha menginspirasi para pengikutnya untuk melampaui� kepentingan diri mereka sendiri dan yang
berkemampuan untuk memiliki pengaruh secara mendalam dan luar biasa terhadap
para pengikutnya. Jadi menginspirasi para pengikut untuk melampaui kepentingan
diri mereka sendiri demi kepentingan organisasi dengan mengutamakan keramahan
individu, menstimulasi intelektual, memotivasi inspirasional (kreatifitas) dan
mewujudkan ide.� Keramahan individu,
menstimulasi intelektual, memotivasi inspirasional (kreatifitas) dan mewujudkan
ide harus dijaga agar tidak menurunkan motivasi pelaksana karena menurut (Sumohadiwidjojo, 1990) mengatakan bahwa ada delapan
penyebab kurangnya motivasi karyawan tidak ingin melakukan pekerjaan yang
menjadi sasaran kerja atau tanggung jawabnya, yaitu pekerjaan yang monoton, negative thinking, karyawan merasa
kurang dihargai, terjadi konflik antar rekan kerja, politik kantor yang kurang
sehat, manajemen yang otoriter,kurangnya dukungan atasan, tidak ada program
pembinaan.� Sehingga seorang pimpinan
rumaha sakit harus memahami organisasi yang dipimpinnya sebagaimana yang
disampaikan menurut (Subanegara, 2005) menyatakan
bahwa seorang direktur� rumah sakit
adalah bagaimana ia� tahu persis mengenai
segala hal yang bersangkutan dengan perumahsakitan dan harus tahu persis
mengenai kehidupan organisasinya.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian dan uraian pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: Pertama,
dokter spesialis Obsgin sebagai pelaksana clinical pathway sectio caesaria
sudah mempunyai pengetahuan, pemahaman dan persepsi yang baik tentang maksud,
tujuan, penyusunan dan implementasi clinical pathway sectio caesaria.� Apa yang dijelaskan oleh kedua informan utama
sebagai pelaksana clinical pathway sectio caesaria tidak ada perbedaan yang
prinsip dengan konsep maupun teori tentang clinical pathway.
Kedua,
pelaksanaan clinical pathway sectio caesaria oleh kedua informan utama sebagai
dokter spesialis Obsgin di Rumah Sakit Islam Fatimah Cilacap belum dilaksanakan
dengan optimal sebagaimana yang ditetapkan dalam clinical pathway sectio
caesaria. Data menunjukkan rata-rata selama tiga bulan hanya satu tindakan
sectio caesaria yang sesuai clinical pathway dari 54 (1,8%) tindakan sectio
caesaria yang harus dilakukan sesuai standar yang ditetapkan dalam clinical
pathway sectio caesaria.
Ketiga,
informan utama akan berkomitmen melaksanakan perintah pimpinan manajemen dengan
syarat dibangun komunikasi efektif dan kepemimpinan yang baik sehingga mempunyai
satu tujuan yaitu mensukseskan pelaksanaan clinical pathway sectio caesaria
dalam menghadapi akreditasi KARS Versi 2012�
Keempat,
setidaknya terdapat empat faktor penyebab ketidakpatuhan kedua informan utama
sebagai dokter spesialis Obsgin di Rumah Sakit Islam Fatimah Cilacap belum
melaksanakan clinical pathway sectio caesaria sebagaimana disampaikan oleh
kedua informan utama tersebut, yaitu tidak dilibatkan dalam penyusunan maupun
audit medik clinical pathway sectio caesaria, pasien minta obat paten diluar
clinical pathway sectio caesaria, kebijakan manajemen tentang jasa melemahkan
semangat dalam melaksanakan clinical pathway sectio caesaria, dan tidak
diperintah agar menggunakan clinical pathway sectio caesaria dengan baik
Kelima,
strategi yang dapat dipertimbangkan oleh direktur Rumah Sakit Islam Fatimah
Cilacap adalah strategi membangun komunikasi efektif dan strategi kepemimpinan
transformasional yang memungkinkan seluruh kebijakan manajemen dapat
dilaksnakan optimal oleh para pelaksana termasuk oleh kedua informan sebagai
dokter spesialis Obsgin pelaksana tugas clinical pathway sectio caesaria.
Kelima
simpulan merupakan hasil analisis penelitian, dimana analisis adalah mencari
data sedetail-detailnya tentang pelaksanaan clinical pathway sectio caesaria,
mengolah data tersebut menjadi informasi untuk dapat disimpulkan dan
selanjutnya untuk dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan.
Ali, Lukman. (1999).
Kamus Besar Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.Google Scholar
Arikunto, Suharsimi. (2006). Produser Penelitian. Suatu
Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta.Google Scholar
Ary, D., Jacobs, L., & Razavieh, A. (1985). Introduction
to educational research. New York. Google
Scholar
Azwar. (2006). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan Aplikasi
Prinsip Lingkaran Pemecahan Masalah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Google
Scholar
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. (1993). Dasar-dasar Penelitian
Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Cuenda, Ana, & Rousseau, Simon. (2007). p38 MAP-kinases
pathway regulation, function and role in human diseases. Biochimica et
Biophysica Acta (BBA)-Molecular Cell Research, 1773(8), 1358�1375. Google
Scholar
Danim, Sudarwan. (2004). Motivasi kepemimpinan dan
efektivitas kelompok. Jakarta: Rineka Cipta. Google
Scholar
David, Fred R. (2010). Manajemen Strategi, Ed ke-10. Jakarta:
Salemba Empat. Google
Scholar
De Bleser, Leentje, Depreitere, Roeland, Waele, Katrijn D. E.,
Vanhaecht, Kris, Vlayen, Joan, & Sermeus, Walter. (2006). Defining
pathways. Journal of Nursing Management, 14(7), 553�563. Google
Scholar
De Plaen, Etienne, Traversari, Catia, Gaforio, Jos� J.,
Szikora, Jean Pierre, De Smet, Charles, Brasseur, Francis, van der Bruggen,
Pierre, Leth�, Bernard, Lurquin, Christophe, & Chomez, Patrick. (1994).
Structure, chromosomal localization, and expression of 12 genes of the MAGE
family. Immunogenetics, 40(5), 360�369. Google
Scholar
DeSantis, Todd Z., Hugenholtz, Philip, Larsen, Neils, Rojas,
Mark, Brodie, Eoin L., Keller, Keith, Huber, Thomas, Dalevi, Daniel, Hu, Ping,
& Andersen, Gary L. (2006). Greengenes, a chimera-checked 16S rRNA gene
database and workbench compatible with ARB. Applied and Environmental
Microbiology, 72(7), 5069�5072. Google
Scholar
Dvorak, Florian, Haberer, Isabel, Sitzer, Matthias, &
Foerch, Christian. (2009). Characterisation of the diagnostic window of serum
glial fibrillary acidic protein for the differentiation of intracerebral
haemorrhage and ischaemic stroke. Cerebrovascular Diseases, 27(1),
37�41. Google
Scholar
Firmanda, Dody. (2016). Clinical Pathways Kesehatan Anak. Sari
Pediatri, 8(3), 195�208. Google Scholar
He, Jingwei Alex, & Yang, Wei. (2015). Clinical pathways
in China�an evaluation. International Journal of Health Care Quality
Assurance. Google
Scholar
Humphrey, J. D., & Yin, F. C. P. (1987). On
constitutive relations and finite deformations of passive cardiac tissue: I. A
pseudostrain-energy function. Google
Scholar
KARS. (2016). Daftar Rumah Sakit Terakreditasi Versi 2012.
Retrieved from kars.or.id/accreditation,report/report_accredited.php. Diakses tanggal
2 Mei 2016.
KeMenKes, R. I. (2016). Profil kesehatan Indonesia tahun
2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Google
Scholar
Kemenkes R.I. (2014). Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan
Kedokteran.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Undang-undang
Republik Indonesia No.24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Leonardo, Edrick. (2015). Pengaruh pemberian kompensasi
terhadap kinerja karyawan pada PT. Kopanitia. Agora, 3(2), 28�31. Google
Scholar
Menon G, P. Raghubir, dan N. Schwarz. (2005). Behavioral
frequency judgments: Accessibility diagnosticity framework. The Journal Of
Consumer Research, 22(2), 212�228. Google
Scholar
Moleong LexyJ, Prof. Dr. M. (2011). Metodologi Penelitian
Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Google
Scholar
Moon, In Sung, Park, Ho Ran, Kim, Nam Cho, & Yang, Soo.
(2003). The effects of the critical pathway for inguinal hernia repair. Yonsei
Medical Journal, 44(1), 81�88.
Nawawi, Hadari. (2003). Metode penelitian bidang sosial,
Gajah Mada. University Press, Yogyakarta. Google
Scholar
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan perilaku
kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 16, 15�49.
Google
Scholar
Peraturan Presiden R.I Nomor 12. (2013). Jaminan Kesehatan
Pasal 41 sampai 44.
Permenkes, R. I. (2011). Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 2406.
MENKES/PER/XII.
Resnick, Leigh A. (2014). Paving Clinical Pathways. A�s
Healthcare Update. Google
Scholar
Robbin, S. P., & Judge, T. A. (2015). Perilaku Organisasi
(Enam Belas). Salemba Empat. Google
Scholar
Robbins S.P., Judge T.A. (2015). Perilaku Organisasi.
Edisi 16. Jakarta: Salemba Empat. Google
Scholar
Romeyke, Tobias, & Stummer, Harald. (2012). Clinical
pathways as instruments for risk and cost management in hospitals-a discussion
paper. Global Journal of Health Science, 4(2), 50. Google
Scholar
Stoner, James A. F., & Freeman, R. E. (2006). Management.
Englewood Cliffs, NJ: PrenticeHall. Inc. Google Scholar
Subanegara, Hanna Permana. (2005). RESENSI: Diamond Head
Drill & Kepemimpinan dalam Manajemen Rumah Sakit. Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan, 8(2005). Google
Scholar
Sumohadiwidjojo, Muhammad Subuh. (1990). Autobiography:
the history of Bapak RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, founder of the
Spiritual Association of Susila Budhi Dharma, or Subud. Subud Publications
International. Google
Scholar
Surachmad, Winarno. (1995). Pengantar Penelitian Ilmiah;
Dasar-Dasar Metode dan Teknik. Bandung: Tarsito Rimbuan. Google
Scholar
Sutoto, Dr. dr. MKes dan Wibowo, Daniel. B, dr. (2013). Inovasi
PERSI dalam Mutu Pelayanan Kesehatan di RS dalam Skema Jaminan Kesehatan
Nasional. Jakarta: PERSI. Forum Mutu IHON.
Wilson, Dalziel J., Regal, Cindy A., Papp, Scott B., &
Kimble, H. J. (2009). Cavity optomechanics with stoichiometric SiN films. Physical
Review Letters, 103(20), 207204. Google
Scholar
Munjari (2021) |
First publication right : Journal Syntax Idea |
This article is licensed under: |