Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853�
e-ISSN : 2684-883X
Vol.
1, No 8 Desember 2019
PENGEMBANGAN
MEDIA LITERACY LAYANAN
BK TEKNIK CINEMA THERAPY BERDASARKAN MODEL GAGNE UNTUK MENGANTISIPASI PERGAULAN BEBAS
Frezy Paputungan
Teknologi Pendidikan
Universitas Negeri Gorontalo
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi
awal media literasi menggunakan teknik cinema terapi untuk mengantisipasi
Pergaulan Bebas Di Kalangan Siswa SMK Negeri 1 Lolayan Kabupaten Bolaang
Mongondow, membuat buku panduan penggunaan media literasi teknik cinema therapy
dalam layanan Bimbingan dan Konseling berdasarkan model Gagne untuk
mengantisipasi pergaulan bebas di kalangan siswa SMK Negeri 1 Lolayan dan
Mengetahui langkah-langkah pengembangan dan keefektifan media literasi
menggunakan teknik cinema terapi untuk mengantisipasi Pergaulan Bebas Di
Kalangan Siswa SMK Negeri 1 Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow. Pendekatan penelitian
ini adalah jenis penelitian pengembangan atau Research and Development
(R&D). Data digunakan yaitu data kualitatif kuantitatif. Berdasarkan
analisa data yang dilakukan, hasil post-test menunjukkan bahwa 26 siswa tuntas dari
masalah pergaulan bebas dengan persentase ketuntasan sebesar 86.6%. Dari
persentase tersebut, media literacy menggunakan teknik cinema terapi dikatakan
efektif.
Kata kunci: Media literasi, teknik cinema terapi, Bimbingan dan
Konseling, Pergaulan Bebas.
Pendahuluan
Etika
pergaulan merupakan suatu hal yang mencerminkan moral setiap orang yang harus
diketahui oleh semua orang yang berada dalam lingkungan sosial dan lingkungan
pendidikan, dimanapun dan kapanpun seseorang selalu diperhadapkan dengan
orang-orang yang ada di sekitar, dan apabila tidak sadari dan pahami dengan
situasi yang ada di sekitarnya maka bisa saja akan melakukan suatu hal yang
melanggar norma-norma yang berlaku dalam lingkungan tersebut atau pada
kelompok-kelompok tertentu. Oleh karena itu diharapkan siswa harus mengetahui dan
mampu untuk membedakan cara bergaul diantara siswa dengan orang yang lebih tua,
teman sebaya, dan orang yang lebih muda, harus ada batasan yang bisa membedakan
diantara mereka dengan orang-orang di lingkungan sekitar mereka. Merupakan masa
transisi menuju masa dewasa, ini berarti masa menuju dunia pekerjaan atau
karier yang sebenarnya. Secara psikologis siswa SMK berada pada remaja madya
yang berusia 15-18 tahun. Menurut Conger mengemukakan bahwa suatu pekerjaan
bagi siswa SMK/SMA merupakan sesuatu �yang diakui sebagai cara (langsung atau tidak
langsung) untuk memenuhi kebutuhan, mengembangkan perasaan eksis dalam
masyarakat, dan memperoleh sesuatu yang diinginkan dan mencapai tujuan hidup (LN, 2006). Dengan masa transisi seperti ini, siswa diperhadapkan
dengan realitas dunia yang makin syarat akan moral sebagai akibat negatif dari
kemajuan teknologi. Karena kesenjangan moral tersebut, siswa cenderung
mengalami berbagai masalah yang serius dalam penerimaan dirinya di lingkungan
sekitar sebagai seorang remaja yang butuh pergaulan.Fakta yang ditemukan di
lapangan, adalah kecenderungan pergaulan yang 80 % mengarahkan siswa pada
masalah pergaulan bebas. Remaja yang memiliki
konsep diri yang positif umumnya mampu mengatasi dirinya sendiri, memperhatikan
hal-hal disekitar, serta memiliki kesanggunapan untuk berinteraksi sosial (Sahrudin, 2017).
Permasalahan
siswa khususnya di tingkat SMK/ SMA yang ditemukan cukup serius, sering pulang
larut malam, sering keluyuran tanpa tujuan jelas, terlalu dekat dengan teman,
sering menyimpan file-file berbau pornografi sebagai akibat dari penggunaan
media sosial hingga berujung pada hamil di luar nikah merupakan bentuk
kegagalan penyesuaian diri dalam masyarakat, hal ini menuntut kepedulian dan
kerja keras guru BK di sekolah harus efektif dan efisien. Seperti
yang ditemukan pada bulan September 2017 di SMK Negeri 1 Lolayan, yang setelah
dikumpul handphone dan diperiksa ada terdapat media-media yang berbentuk porno.
Pada bulan Agustus 2017, sebagai Guru BK di SMK N 1 Lolayan diperhadapkan
dengan beberapa orang siswa yang hamil di luar nikah. Bahkan pada bulan
februari 2018, ada khabar seorang siswa meninggal dunia karena penyakit bawaan
pasca melahirkan. Penggunaan media literasi teknik cinema terapi dalam layanan
Bimbingan & Konseling sangat kurang, sementara kondisi awal pergaulan bebas
mencapai 69.3 % siswa yang memiliki kecenderungan masalah pergaulan bebas. Sarwono
mendefinisikan pergaulan bebas
adalah pergaulan yang melibatkan pembauran antara laki-laki dan perempuan
dengan tidak mengindahkan norma-norma dan adab yang ada dilingkungannya (Ningsih, 2005). Rizal berpendapat bahwa di era modern ini pergaulan
bebas bukan hanya berdampak pada individu yang bersangkutan melainkan
masyarakat dan lingkunganpun akan terkena dampak tersebut. Menurut Sarwono
timbulnya masalah pada kesehatan reproduksi remaja menjadi konsekuensi. Tiba-tiba
hamil dan juga akan terjadi cemoohan penolakan (Sarwono, 2011). Perasaan dilematis karena terpojokan harus dialami remaja perempuan yang
memiliki kodrat hamil dan melahirkan. Melanggar norma-norma sosial dan agama
menjadi aib keluarga menurut pandangan masyarakat. Penghakiman ini tidak jarang
meresap dan terus tersosialisasi dalam diri remaja putri tersebut. Perasaan
bingung, cemas, malu, dan bersalah yang dialami setelah mengetahui kehamilannya
bercampur dengan perasaan depresi, pesimis terhadap masa depan yang kadang
disertai dengan rasa benci dan marah baik kepada diri sendiri maupun kepada
pasangan, dan kepada nasib yang membuat kondisi sehat secara fisik, sosial, dan
mental yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi remaja
tidak terpenuhi. Istilah pergaulan bebas sudah dikenal dan tidak asing lagi di
masyarakat, di kalangan remaja (usia sekolah) penyesuaian diri berpengaruh dalam
menentukan cara bergaulnya.
Hurlock
mengemukakan bahwa� penyesuaian adalah
seberapa jauh kepribadian individu berfungsi secara efisien dalam masyarakat.
Hurlock mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian diri, yaitu: (a) Penampilan nyata:
Overt performance yang diperlihatkan
individu sesuai dengan norma yang berlaku di dalam kelompoknya, berarti
individu dapat memenuhi harapan kelompok dan dapat diterima menjadi anggota
kelompok tersebut; (b) Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok: Individu
mampu menyesuaikan diri secara baik dengan setiap kelompok yang dimasukinya,
baik teman sebaya maupun orang dewasa; (c) Sikap sosial: Individu mampu
menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, ikut pula
berpartisipasi dan dapat menjalankan perannya dengan baik dalam kegiatan
sosial; (d) Kepuasan pribadi: Kepuasan pribadi ditandai dengan adanya rasa puas
dan perasaan bahagia karena dapat ikut ambil bagian dalam aktivitas kelompok
dan mampu menerima diri sendiri apa adanya dalam situasi sosial. Pergaulan
bebas kalangan siswa dapat dilihat dari aspek penyesuaian diri dalam masyarakat
(Hurlock) yaitu penampilan nyata, penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok,
sikap sosial, dan kepuasan pribadi (Hurlock, n.d.).
Istilah
bimbingan dapat disepadankan dengan istilah guidance. Berasal dari asal
kata guide, guidance kemudian memiliki arti yang sangat beragam, yakni: to
direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau
mengemudikan). Secara terminologis guidance biasanya disamaartikan
dengan guiding, kemudian memiliki konotasi makna showing a way (menunjukkan
jalan); leading (memimpin); conducting (menuntun); giving
instructions (memberikan petunjuk); regulating (mengatur), governing
(mengarahkan); dan giving advice (memberikan nasehat). Pasal 27 peraturan
pemerintah No. 29/1990 �Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa
dalam rangka upaya penemuan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa
depan�
(Depdikbud, 1994). Menurut Prayitno dan Erman Amti, merumuskan arti Bimbingan adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau
beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa, agar orang yang
dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan
memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan
berdasarkan norma-norma yang berlaku (Prayitno & Amti,
2004).
Tujuan
umum dari layanan Bimbingan Konseling adalah sesuai tujuan pendidikan, sebagaimana
dinyatakan dalam undang-undang sistem pendidikan nasional tahun 1989 :
�terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, yang berminat, dan
bertaqwa kepada Tuhan YME, dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan� (Nomor, 1989). Tujuan-tujuan global dirumuskan ke dalam tujuan-tujuan
spesifik: tujuan konseling yang berjangka pendek, dapat diamati, dan dapat
diukur. Tujuan spesifik merupakan hasil tujuan global ke dalam bentuk-bentuk
perilaku konseli yang spesifik sesuai dengan permasalahan individu sehingga
setiap orang yang terlibat dalam konseling mengetahui secara pasti apa yang
akan dicapainya.
Menurut
White Kena �Many people who seek therapy,
believe that the problems of their lives are a reflection of their own
identity, the identity of others, or a reflection of the identity of their
relationships� (Kenna, 2007). Banyak orang yang mencari terapi, percaya bahwa masalah
hidup mereka adalah refleksi dari identitas mereka sendiri, identitas orang lain,
atau refleksi dari identitas hubungan mereka. Alfred Hitchock berpendapat bahwa
movie atau drama adalah ilusi kehidupan yang dilakukan dengan kadang
menghilangkan bagian tertentu dalam kehidupan tersebut
(Wolz, 2005). Sedangkan Gilbert P. Mansergh mendefinisikan bahwa Film atau cinema
adalah media representasi, yang� melalui
gaya dan isi yang melambangkan berbagai pola perilaku (melalui tindakan
karakter, plot, tema, editing, dll) yang dapat dianalisis dari perbedaan teori
psikologis dan modalitas mengajar. Melalui film yang merupakan simbolik model
(Asrori & Ali, 2008), siswa dapat belajar mengamati perilaku tokoh, dan menjadikan tokoh dalam
film tersebut sebagai role model mereka. Terapi film (Cinema Therapy) adalah
teknik terapi yang cukup kreatif dimana film digunakan sebagai alat untuk
melakukan terapi. Gary Solomon terapi film (cinema therapy)� adalah penggunaan film yang� memiliki efek positif pada individu, kecuali
individu dengan gangguan psikotik (Elif Senem Demir, 2008).
Suarez
�berpendapat bahwa cinema therapy adalah
proses menggunakan film dalam terapi sebagai metafora untuk meningkatkan
pertumbuhan dan wawasan klien (Michael Lee Powell,
Rebecca A. Newgent, 2006). Hesley mengidentifikasi tujuan cinema therapy atau
"videowork" sebagai potensi sarana untuk membuka diskusi dalam terapi
(Byrd & Forisha, 2006). Film dapat "menunjukkan kehidupan biasa dan membiarkan klien
menemukan panduan dalam bekerja.Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat
disimpulkan teknik cinema therapy adalah bimbingan yang dilaksanakan oleh
seorang konselor dengan menggunakan film dalam rangka membantu meningkatkan
pertumbuhan dan wawasan klien, mengatasi masalah (termasuk masalah belajar).
Teknik cinema therapy membawa pengaruh terhadap motivasi belajar siswa.
Kata
media berasal dari bahasa latinmedio (secara harfiah) yang memiliki arti
�perantara� atau �pengantar�. Menurut Asosiasi Teknologi dan Komunikasi (Association
for Education and Communication technology/AECT) mendefinisikan media sebagai
benda yang dapat dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca atau dibicarakan
beserta instrument yang dipergunakan dengan baik dalam kegiatan belajar
mengajar, dapat mempengaruhi efektifitas program instruksional
(Asnawir, 2002).
Literacy is defined as accessing, analyzing, evaluating,
sharing, and creating different information from various sources which are
shaped by the media itself. Media
literasi didefinisikan sebagai mengakses, menganalisis, mengevaluasi, berbagi,
dan menciptakan informasi yang berbeda dari berbagai sumber yang dibentuk oleh
media itu sendiri. The National Leadership Conference on Media Literacy
menyatakan bahwa media literacy merupakan kemampuan untuk mengakses,
menganalisa, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan
(Baran, 2004). Hal yang sama dalam Wikipedia (2007) yang menyatakan bahwa media literacy
merupakan proses mengakses, menganalisa, mengevaluasi pesan dalam suatu variasi
yang mendalam mengenai model media, genre, dan bentuk di mana menggunakan model
instruksional berbasis inkuiri yang mendorong individu untuk bertanya tentang
apa yang mereka tonton, lihat, dan baca.
Dari
berbagai pemaparan di atas dan pergaulan bebas di kalangan siswa SMK tersebut
maka untuk mengantisipasi permasalahan
tersebut, penulis berinisiatif melakukan penelitian dengan judul �Pengembangan
Media Literacy Sekolah Dalam Layanan Bimbingan & Konseling Menggunakan
Teknik Cinema Therapy Berdasarkan Model Gagne untuk Mengantisipasi Pergaulan
Bebas Di Kalangan Siswa SMK Negeri 1 Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow�.
Metode
Penelitian
Jenis penelitian
yang dilakukan adalah Research and
Development (R&D) dengan produk yang dikembangkan berupa panduan dan
media literacy teknik cinema terapy. Model pengembangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah modifikasi model pengembangan GAGNE dan penelitian
pengembangan Borg and Gall. Model
Gagne dan Borg & Gall dalam pengembangan media literacy teknik cinema
terapi dalam layanan Bimbingan Kelompok untuk mengantisipasi pergaulan bebas
dilakukan dalam 10 tahap meliputi (a) Analisis Dan Identifikasi Kebutuhan/
Pengumpulan Data, Perencanaan, (b) Pengembangan bentuk awal produk, (c) Uji
coba lapangan awal, (d) Analisis/ Perbaikan produk awal, (e) Memilih atau
mengembangkan materi layanan, (f) Uji coba lapangan luas, (g) Perbaikan/
Penyempurnaan produk, (h) Penyesuaian, revisi dan evaluasi lanjut/ Uji validasi
model operasional, (i) Perbaikan produk akhir (final) Evaluasi sumatif, dan (j)
Pelaksanaan diseminasi dan implementasi operasional. Kegiatan uji coba termasuk dalam kegiatan implementasi
ini dilakukan setelah buku panduan dan media teknik cinema terapy dinyatakan
layak diujicobakan dengan revisi oleh dosen ahli. Pada tahap implementasi
dilakukan 3 kegiatan yaitu uji coba produk, pengukuran keterlaksanaan kegiatan
pembelajaran, pengukuran hasil layanan BK, penyebaran angket respon guru dan
siswa. Uji validasi model operasional/evaluasi formatif untuk
mengetahui dan menilai produk buku panduan dan video media literacy sekolah
dalam layanan BK teknik cinema therapy berdasarkan model Gagne untuk
mengantisipasi pergaulan bebas di kalangan siswa SMK/ SMA dibutuhkan. Dalam
memvalidasi produk yang akan dihasilkan melibatkan beberapa ahli, diantaranya:
Ahli penggunaan media literacy menggunakan teknik cinema terapi berbentuk video
yaitu unsur Dosen UNG, Ahli layanan Bimbingan dan Konseling yaitu unsur Dosen
Jurusan Bimbingan & Konseling, dan Ahli Bahasa Indonesia yakni unsur Guru/
S1 dari jurusan Bahasa Indonesia.
Hasil dan
Pembahasan
Sebelum penggunaan media literasi teknik cinema terapi dalam layanan BK,
persentase masalah pergaulan bebas yang tuntas adalah sebesar 30.7 %. Ini berarti
sebagian besar siswa belum mempunyai pemahaman terhadap layanan yang terkait
dengan masalah pergaulan bebas. Pada hasil post-test terlihat bahwa ada 26
siswa yang tuntas dengan persentase ketuntasan sebesar 86.6%. %. Dari
persentase tersebut, sebagian besar siswa telah mencapai Kriterian Ketuntasan
Minimum (KKM) yang ditetapkan sekolah, yaitu 75 %. Sesuai dengan yang
dijelaskan pada BAB III, media literaci teknik cinema terapi yang dikembangkan
dikategorikan sangat baik sehingga media layanan dapat dikatakan efektif.
Tabel 1 Perbandingan
Pergaulan bebas di kalangan siswa
|
Pre-test |
Post-test |
Rata-rata |
69.3 |
37.3 |
Banyak Siswa
yang Tuntas |
9 |
26 |
Persentase Siswa yang Tuntas |
30% |
86.6% |
Persentase Siswa yang tidak tuntas |
70% |
13.4% |
Adapun
pelaksanaan penelitian selama 6x pertemuan di SMK Negeri 1 Lolayan, menggunakan
produk yakni buku panduan dan video media literacy teknik cinema terapy untuk
mengantisipasi pergaulan bebas dapat dilihat dari grafik berikut:
�
Grafik 1 Masalah Pergaulan
bebas pada 6x pertemuan
Berdasarkan
data dari grafik tersebut, data awal pada pertemuan 1 menunjukkan kecenderungan
masalah pergaulan bebas siswa mencapai 69.3%, pada pertemuan kedua menggunakan
media literacy teknik cinema terapy dalam layanan BK pergaulan bebas turun
menjadi 61.33%, dilanjutkan pelaksanaan layanan pada pertemuan 3 masalah
pergaulan bebas di kalangan siswa berkurang menjadi 54%, pada pertemuan ke 4
masalah pergaulan bebas menjadi 50%, di pertemuan ke 5 permasalahan pergaulan
bebas di kalangan siswa turun yakni 39.33% dan pada pertemuan 6 yakni
dilaksanakannya post-test setelah pemberian layanan BK dengan menggunakan media
literacy teknik cinema terapy adalah 24.6%. Dari pemaparan tersebut, hasil penelitian pengembangan
menunjukkan keberhasilan penggunaan media literacy teknik cinema terapy dalam
layanan BK untuk mengantisipasi pergaulan bebas di kalangan siswa SMK N. 1
Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow.
Dari hasil
perhitungan melalui Microsoft Excel (lampiran 8/ L8), dapat dilihat bahwa
Interpretasi Hasil Analisis Statistik Uji Hipotesis t-Test (Two-Sample Assuming
Equal Variances) nilai t hitung (42,047) > t tabel (1,671)
berarti kita menolak H0 (TERIMA H1/ > 0 ). Jadi dapat disimpulkan bahwa H0
ditolak dan H1 diterima, karena Rata-rata masalah pergaulan bebas siswa sebelum
mengikuti pembelajaran menggunakan media literasi teknik cinema terapi� ≠ Rata-rata masalah pergaulan bebas
siswa setelah mengikuti layanan Bimbingan dan Konseling menggunakan media
literasi teknik Cinema Terapi.
Pembahasan
hasil penelitian menunjukkan sebuah penjelasan Goldberg mengikuti kerja Norman dengan melaksanakan
serentatan penelitian untuk mengkaji struktur yang mendasari istilah-istilah
sifat. Dari hasil penelitian tersebut, Goldberg menemukan 5 faktor kepribadian
yang terdiri dari Surgency /
Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness,
Emotional Stability, dan Intellect / Openess to Experience. Dari 5 (lima) kepribadian
tersebut, dalam penelitian ini lebih banyak ditemukan siswa yang termasuk� point ke 3 yakni Conscientiousness. Pemberian layanan BK menggunakan media literacy
teknik cinema terapy lebih menyerap kesadaran dari siswa-siswa yang kurang teratur, ceroboh, kurang sistematis, kurang efisien, kurang mandiri, kurang praktis, sembrono
/lalai, kurang
konsisten, tanpa perencanaan, dan cengeng. Siswa dengan
kepribadian Conscientiousness, lebih
mudah memahami dan mengikuti alur penggunaan teknik cinema terapy [16]. Hal ini sesuai dengan
teori Goldberg bahwa Conscientiousness
memiliki sifat positif yakni teratur, sistematis, teliti, rapih, efisien,
hati-hati, mantap, sungguh-sungguh, dan tepat waktu.
Kesimpulan
Media
literacy menggunakan cinema terapy pada penelitian, terbukti� efektif untuk mengantisipasi masalah
pergaulan bebas di kalangan siswa SMK Negeri 1 Lolayan Kecamatan Lolayan
Kabupaten Bolaang Mongondow. Siswa yang diberikan layanan Bimbingan dan
Konseling menggunakan media literacy teknik cinema terapy mengalami peningkatan
skor persentasi sebesar 86,6 % dan 13,4 % siswa yang belum tuntas. Dari data
hasil perhitungan tersebut, sebanyak 26 siswa di SMK Negeri 1 Lolayan dapat
terbantukan dengan layanan Bimbingan dan Konseling menggunakan media literacy
teknik cinema terapy.
BIBLIOGRAFI
Asnawir, M. (2002). basyiruddin Usman. Media Pembelajaran.
Asrori, Mohammad, & Ali, Mohammad. (2008). Psikologi
Remaja: Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Baran, Stanley J. (2004). Introduction To Mass
Communication: Media Literacy And Culture. New York: McGraw Hil.
Byrd, M. A., & Forisha, Michelle L. Dan Bill. (2006).
Cinema Terapi dengan Anak-anak dan Keluarganya. Departemen Psikologi Antioch
University.
Depdikbud, Ditjen P. D. M. (1994). Kurikulum Pendidikan
Dasar Garis-Garis Besar program Pengajaran (GBPP) Sekolah Dasar. Jakarta:
PT. Citra Lamtoro Gang Persada.
Elif Senem Demir. (2008, August). The Cinema Therapy
Newsletter. Retrieved from [email protected]
Hurlock, Elizabeth. (n.d.). B.(2000). Psikologi Perkembangan:
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kenna, White. (2007). Skin Deep. Florida: Bella Books.
LN, Syamsu Yusuf. (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja. Bandung: Rosda.
Michael Lee Powell, Rebecca A. Newgent, Sang Min Lee. (2006).
Group cinematherapy : Using Metaphor To Enhance Adolescent Self Esteem. The
Art In Psychotherapy, 33, 247�253.
Ningsih, Syofya. (2005). Pengaruh Substitusi Tepung Bayam
Pada Pembuatan Kue Bolu Kukus Terhadap Citarasa Dan Kadar Fe.
Nomor, Undang Undang Republik Indonesia. (1989). Tahun 1989
Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya. Semarang: Anika Ilmu.
Prayitno, Erman Amti, & Amti, Erman. (2004). Dasar-dasar
bimbingan dan konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Sahrudin, Sahrudin. (2017). Peran Konsep Diri, Religiusitas,
Dan Pola Asuh Islami Terhadap Kecenderungan Perilaku Nakal Remaja Di Cirebon. Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(1), 50�62.
Sarwono. (2011). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali
Pers.
Wolz, Birgit. (2005). E-motion picture magic: A movie lover�s
guide to healing and transformation. Glenbridge Publishing Ltd.