Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853e-ISSN : 2684-883X

Vol. 1, No 8 Desember 2019

 


PENGEMBANGAN MEDIA LITERACY LAYANAN BK TEKNIK CINEMA THERAPY BERDASARKAN MODEL GAGNE UNTUK MENGANTISIPASI PERGAULAN BEBAS

 

Frezy Paputungan

Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi awal media literasi menggunakan teknik cinema terapi untuk mengantisipasi Pergaulan Bebas Di Kalangan Siswa SMK Negeri 1 Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow, membuat buku panduan penggunaan media literasi teknik cinema therapy dalam layanan Bimbingan dan Konseling berdasarkan model Gagne untuk mengantisipasi pergaulan bebas di kalangan siswa SMK Negeri 1 Lolayan dan Mengetahui langkah-langkah pengembangan dan keefektifan media literasi menggunakan teknik cinema terapi untuk mengantisipasi Pergaulan Bebas Di Kalangan Siswa SMK Negeri 1 Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow. Pendekatan penelitian ini adalah jenis penelitian pengembangan atau Research and Development (R&D). Data digunakan yaitu data kualitatif kuantitatif. Berdasarkan analisa data yang dilakukan, hasil post-test menunjukkan bahwa 26 siswa tuntas dari masalah pergaulan bebas dengan persentase ketuntasan sebesar 86.6%. Dari persentase tersebut, media literacy menggunakan teknik cinema terapi dikatakan efektif.

 

Kata kunci: Media literasi, teknik cinema terapi, Bimbingan dan Konseling, Pergaulan Bebas.

 

Pendahuluan

Etika pergaulan merupakan suatu hal yang mencerminkan moral setiap orang yang harus diketahui oleh semua orang yang berada dalam lingkungan sosial dan lingkungan pendidikan, dimanapun dan kapanpun seseorang selalu diperhadapkan dengan orang-orang yang ada di sekitar, dan apabila tidak sadari dan pahami dengan situasi yang ada di sekitarnya maka bisa saja akan melakukan suatu hal yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam lingkungan tersebut atau pada kelompok-kelompok tertentu. Oleh karena itu diharapkan siswa harus mengetahui dan mampu untuk membedakan cara bergaul diantara siswa dengan orang yang lebih tua, teman sebaya, dan orang yang lebih muda, harus ada batasan yang bisa membedakan diantara mereka dengan orang-orang di lingkungan sekitar mereka. Merupakan masa transisi menuju masa dewasa, ini berarti masa menuju dunia pekerjaan atau karier yang sebenarnya. Secara psikologis siswa SMK berada pada remaja madya yang berusia 15-18 tahun. Menurut Conger mengemukakan bahwa suatu pekerjaan bagi siswa SMK/SMA merupakan sesuatu yang diakui sebagai cara (langsung atau tidak langsung) untuk memenuhi kebutuhan, mengembangkan perasaan eksis dalam masyarakat, dan memperoleh sesuatu yang diinginkan dan mencapai tujuan hidup (LN, 2006). Dengan masa transisi seperti ini, siswa diperhadapkan dengan realitas dunia yang makin syarat akan moral sebagai akibat negatif dari kemajuan teknologi. Karena kesenjangan moral tersebut, siswa cenderung mengalami berbagai masalah yang serius dalam penerimaan dirinya di lingkungan sekitar sebagai seorang remaja yang butuh pergaulan.Fakta yang ditemukan di lapangan, adalah kecenderungan pergaulan yang 80 % mengarahkan siswa pada masalah pergaulan bebas. Remaja yang memiliki konsep diri yang positif umumnya mampu mengatasi dirinya sendiri, memperhatikan hal-hal disekitar, serta memiliki kesanggunapan untuk berinteraksi sosial (Sahrudin, 2017).

Permasalahan siswa khususnya di tingkat SMK/ SMA yang ditemukan cukup serius, sering pulang larut malam, sering keluyuran tanpa tujuan jelas, terlalu dekat dengan teman, sering menyimpan file-file berbau pornografi sebagai akibat dari penggunaan media sosial hingga berujung pada hamil di luar nikah merupakan bentuk kegagalan penyesuaian diri dalam masyarakat, hal ini menuntut kepedulian dan kerja keras guru BK di sekolah harus efektif dan efisien. Seperti yang ditemukan pada bulan September 2017 di SMK Negeri 1 Lolayan, yang setelah dikumpul handphone dan diperiksa ada terdapat media-media yang berbentuk porno. Pada bulan Agustus 2017, sebagai Guru BK di SMK N 1 Lolayan diperhadapkan dengan beberapa orang siswa yang hamil di luar nikah. Bahkan pada bulan februari 2018, ada khabar seorang siswa meninggal dunia karena penyakit bawaan pasca melahirkan. Penggunaan media literasi teknik cinema terapi dalam layanan Bimbingan & Konseling sangat kurang, sementara kondisi awal pergaulan bebas mencapai 69.3 % siswa yang memiliki kecenderungan masalah pergaulan bebas. Sarwono mendefinisikan pergaulan bebas adalah pergaulan yang melibatkan pembauran antara laki-laki dan perempuan dengan tidak mengindahkan norma-norma dan adab yang ada dilingkungannya (Ningsih, 2005). Rizal berpendapat bahwa di era modern ini pergaulan bebas bukan hanya berdampak pada individu yang bersangkutan melainkan masyarakat dan lingkunganpun akan terkena dampak tersebut. Menurut Sarwono timbulnya masalah pada kesehatan reproduksi remaja menjadi konsekuensi. Tiba-tiba hamil dan juga akan terjadi cemoohan penolakan (Sarwono, 2011). Perasaan dilematis karena terpojokan harus dialami remaja perempuan yang memiliki kodrat hamil dan melahirkan. Melanggar norma-norma sosial dan agama menjadi aib keluarga menurut pandangan masyarakat. Penghakiman ini tidak jarang meresap dan terus tersosialisasi dalam diri remaja putri tersebut. Perasaan bingung, cemas, malu, dan bersalah yang dialami setelah mengetahui kehamilannya bercampur dengan perasaan depresi, pesimis terhadap masa depan yang kadang disertai dengan rasa benci dan marah baik kepada diri sendiri maupun kepada pasangan, dan kepada nasib yang membuat kondisi sehat secara fisik, sosial, dan mental yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi remaja tidak terpenuhi. Istilah pergaulan bebas sudah dikenal dan tidak asing lagi di masyarakat, di kalangan remaja (usia sekolah) penyesuaian diri berpengaruh dalam menentukan cara bergaulnya.

Hurlock mengemukakan bahwapenyesuaian adalah seberapa jauh kepribadian individu berfungsi secara efisien dalam masyarakat. Hurlock mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian diri, yaitu: (a) Penampilan nyata: Overt performance yang diperlihatkan individu sesuai dengan norma yang berlaku di dalam kelompoknya, berarti individu dapat memenuhi harapan kelompok dan dapat diterima menjadi anggota kelompok tersebut; (b) Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok: Individu mampu menyesuaikan diri secara baik dengan setiap kelompok yang dimasukinya, baik teman sebaya maupun orang dewasa; (c) Sikap sosial: Individu mampu menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, ikut pula berpartisipasi dan dapat menjalankan perannya dengan baik dalam kegiatan sosial; (d) Kepuasan pribadi: Kepuasan pribadi ditandai dengan adanya rasa puas dan perasaan bahagia karena dapat ikut ambil bagian dalam aktivitas kelompok dan mampu menerima diri sendiri apa adanya dalam situasi sosial. Pergaulan bebas kalangan siswa dapat dilihat dari aspek penyesuaian diri dalam masyarakat (Hurlock) yaitu penampilan nyata, penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, sikap sosial, dan kepuasan pribadi (Hurlock, n.d.).

Istilah bimbingan dapat disepadankan dengan istilah guidance. Berasal dari asal kata guide, guidance kemudian memiliki arti yang sangat beragam, yakni: to direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau mengemudikan). Secara terminologis guidance biasanya disamaartikan dengan guiding, kemudian memiliki konotasi makna showing a way (menunjukkan jalan); leading (memimpin); conducting (menuntun); giving instructions (memberikan petunjuk); regulating (mengatur), governing (mengarahkan); dan giving advice (memberikan nasehat). Pasal 27 peraturan pemerintah No. 29/1990 �Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya penemuan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan� (Depdikbud, 1994). Menurut Prayitno dan Erman Amti, merumuskan arti Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku (Prayitno & Amti, 2004).

Tujuan umum dari layanan Bimbingan Konseling adalah sesuai tujuan pendidikan, sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang sistem pendidikan nasional tahun 1989 : �terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, yang berminat, dan bertaqwa kepada Tuhan YME, dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan� (Nomor, 1989). Tujuan-tujuan global dirumuskan ke dalam tujuan-tujuan spesifik: tujuan konseling yang berjangka pendek, dapat diamati, dan dapat diukur. Tujuan spesifik merupakan hasil tujuan global ke dalam bentuk-bentuk perilaku konseli yang spesifik sesuai dengan permasalahan individu sehingga setiap orang yang terlibat dalam konseling mengetahui secara pasti apa yang akan dicapainya.

Menurut White Kena �Many people who seek therapy, believe that the problems of their lives are a reflection of their own identity, the identity of others, or a reflection of the identity of their relationships� (Kenna, 2007). Banyak orang yang mencari terapi, percaya bahwa masalah hidup mereka adalah refleksi dari identitas mereka sendiri, identitas orang lain, atau refleksi dari identitas hubungan mereka. Alfred Hitchock berpendapat bahwa movie atau drama adalah ilusi kehidupan yang dilakukan dengan kadang menghilangkan bagian tertentu dalam kehidupan tersebut (Wolz, 2005). Sedangkan Gilbert P. Mansergh mendefinisikan bahwa Film atau cinema adalah media representasi, yangmelalui gaya dan isi yang melambangkan berbagai pola perilaku (melalui tindakan karakter, plot, tema, editing, dll) yang dapat dianalisis dari perbedaan teori psikologis dan modalitas mengajar. Melalui film yang merupakan simbolik model (Asrori & Ali, 2008), siswa dapat belajar mengamati perilaku tokoh, dan menjadikan tokoh dalam film tersebut sebagai role model mereka. Terapi film (Cinema Therapy) adalah teknik terapi yang cukup kreatif dimana film digunakan sebagai alat untuk melakukan terapi. Gary Solomon terapi film (cinema therapy)adalah penggunaan film yangmemiliki efek positif pada individu, kecuali individu dengan gangguan psikotik (Elif Senem Demir, 2008).

Suarez berpendapat bahwa cinema therapy adalah proses menggunakan film dalam terapi sebagai metafora untuk meningkatkan pertumbuhan dan wawasan klien (Michael Lee Powell, Rebecca A. Newgent, 2006). Hesley mengidentifikasi tujuan cinema therapy atau "videowork" sebagai potensi sarana untuk membuka diskusi dalam terapi (Byrd & Forisha, 2006). Film dapat "menunjukkan kehidupan biasa dan membiarkan klien menemukan panduan dalam bekerja.Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan teknik cinema therapy adalah bimbingan yang dilaksanakan oleh seorang konselor dengan menggunakan film dalam rangka membantu meningkatkan pertumbuhan dan wawasan klien, mengatasi masalah (termasuk masalah belajar). Teknik cinema therapy membawa pengaruh terhadap motivasi belajar siswa.

Kata media berasal dari bahasa latinmedio (secara harfiah) yang memiliki arti �perantara� atau �pengantar�. Menurut Asosiasi Teknologi dan Komunikasi (Association for Education and Communication technology/AECT) mendefinisikan media sebagai benda yang dapat dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca atau dibicarakan beserta instrument yang dipergunakan dengan baik dalam kegiatan belajar mengajar, dapat mempengaruhi efektifitas program instruksional (Asnawir, 2002).

Literacy is defined as accessing, analyzing, evaluating, sharing, and creating different information from various sources which are shaped by the media itself. Media literasi didefinisikan sebagai mengakses, menganalisis, mengevaluasi, berbagi, dan menciptakan informasi yang berbeda dari berbagai sumber yang dibentuk oleh media itu sendiri. The National Leadership Conference on Media Literacy menyatakan bahwa media literacy merupakan kemampuan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan (Baran, 2004). Hal yang sama dalam Wikipedia (2007) yang menyatakan bahwa media literacy merupakan proses mengakses, menganalisa, mengevaluasi pesan dalam suatu variasi yang mendalam mengenai model media, genre, dan bentuk di mana menggunakan model instruksional berbasis inkuiri yang mendorong individu untuk bertanya tentang apa yang mereka tonton, lihat, dan baca.

Dari berbagai pemaparan di atas dan pergaulan bebas di kalangan siswa SMK tersebut maka untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, penulis berinisiatif melakukan penelitian dengan judul �Pengembangan Media Literacy Sekolah Dalam Layanan Bimbingan & Konseling Menggunakan Teknik Cinema Therapy Berdasarkan Model Gagne untuk Mengantisipasi Pergaulan Bebas Di Kalangan Siswa SMK Negeri 1 Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow�.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah Research and Development (R&D) dengan produk yang dikembangkan berupa panduan dan media literacy teknik cinema terapy. Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi model pengembangan GAGNE dan penelitian pengembangan Borg and Gall. Model Gagne dan Borg & Gall dalam pengembangan media literacy teknik cinema terapi dalam layanan Bimbingan Kelompok untuk mengantisipasi pergaulan bebas dilakukan dalam 10 tahap meliputi (a) Analisis Dan Identifikasi Kebutuhan/ Pengumpulan Data, Perencanaan, (b) Pengembangan bentuk awal produk, (c) Uji coba lapangan awal, (d) Analisis/ Perbaikan produk awal, (e) Memilih atau mengembangkan materi layanan, (f) Uji coba lapangan luas, (g) Perbaikan/ Penyempurnaan produk, (h) Penyesuaian, revisi dan evaluasi lanjut/ Uji validasi model operasional, (i) Perbaikan produk akhir (final) Evaluasi sumatif, dan (j) Pelaksanaan diseminasi dan implementasi operasional. Kegiatan uji coba termasuk dalam kegiatan implementasi ini dilakukan setelah buku panduan dan media teknik cinema terapy dinyatakan layak diujicobakan dengan revisi oleh dosen ahli. Pada tahap implementasi dilakukan 3 kegiatan yaitu uji coba produk, pengukuran keterlaksanaan kegiatan pembelajaran, pengukuran hasil layanan BK, penyebaran angket respon guru dan siswa. Uji validasi model operasional/evaluasi formatif untuk mengetahui dan menilai produk buku panduan dan video media literacy sekolah dalam layanan BK teknik cinema therapy berdasarkan model Gagne untuk mengantisipasi pergaulan bebas di kalangan siswa SMK/ SMA dibutuhkan. Dalam memvalidasi produk yang akan dihasilkan melibatkan beberapa ahli, diantaranya: Ahli penggunaan media literacy menggunakan teknik cinema terapi berbentuk video yaitu unsur Dosen UNG, Ahli layanan Bimbingan dan Konseling yaitu unsur Dosen Jurusan Bimbingan & Konseling, dan Ahli Bahasa Indonesia yakni unsur Guru/ S1 dari jurusan Bahasa Indonesia.

 

Hasil dan Pembahasan

Sebelum penggunaan media literasi teknik cinema terapi dalam layanan BK, persentase masalah pergaulan bebas yang tuntas adalah sebesar 30.7 %. Ini berarti sebagian besar siswa belum mempunyai pemahaman terhadap layanan yang terkait dengan masalah pergaulan bebas. Pada hasil post-test terlihat bahwa ada 26 siswa yang tuntas dengan persentase ketuntasan sebesar 86.6%. %. Dari persentase tersebut, sebagian besar siswa telah mencapai Kriterian Ketuntasan Minimum (KKM) yang ditetapkan sekolah, yaitu 75 %. Sesuai dengan yang dijelaskan pada BAB III, media literaci teknik cinema terapi yang dikembangkan dikategorikan sangat baik sehingga media layanan dapat dikatakan efektif.

Tabel 1 Perbandingan Pergaulan bebas di kalangan siswa

 

Pre-test

Post-test

Rata-rata

69.3

37.3

Banyak Siswa yang Tuntas

9

26

Persentase Siswa yang Tuntas

30%

86.6%

Persentase Siswa yang tidak tuntas

70%

13.4%

 

Adapun pelaksanaan penelitian selama 6x pertemuan di SMK Negeri 1 Lolayan, menggunakan produk yakni buku panduan dan video media literacy teknik cinema terapy untuk mengantisipasi pergaulan bebas dapat dilihat dari grafik berikut:

Grafik 1 Masalah Pergaulan bebas pada 6x pertemuan

 

Berdasarkan data dari grafik tersebut, data awal pada pertemuan 1 menunjukkan kecenderungan masalah pergaulan bebas siswa mencapai 69.3%, pada pertemuan kedua menggunakan media literacy teknik cinema terapy dalam layanan BK pergaulan bebas turun menjadi 61.33%, dilanjutkan pelaksanaan layanan pada pertemuan 3 masalah pergaulan bebas di kalangan siswa berkurang menjadi 54%, pada pertemuan ke 4 masalah pergaulan bebas menjadi 50%, di pertemuan ke 5 permasalahan pergaulan bebas di kalangan siswa turun yakni 39.33% dan pada pertemuan 6 yakni dilaksanakannya post-test setelah pemberian layanan BK dengan menggunakan media literacy teknik cinema terapy adalah 24.6%. Dari pemaparan tersebut, hasil penelitian pengembangan menunjukkan keberhasilan penggunaan media literacy teknik cinema terapy dalam layanan BK untuk mengantisipasi pergaulan bebas di kalangan siswa SMK N. 1 Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow.

Dari hasil perhitungan melalui Microsoft Excel (lampiran 8/ L8), dapat dilihat bahwa Interpretasi Hasil Analisis Statistik Uji Hipotesis t-Test (Two-Sample Assuming Equal Variances) nilai t hitung (42,047) > t tabel (1,671) berarti kita menolak H0 (TERIMA H1/ > 0 ). Jadi dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima, karena Rata-rata masalah pergaulan bebas siswa sebelum mengikuti pembelajaran menggunakan media literasi teknik cinema terapi≠ Rata-rata masalah pergaulan bebas siswa setelah mengikuti layanan Bimbingan dan Konseling menggunakan media literasi teknik Cinema Terapi.

Pembahasan hasil penelitian menunjukkan sebuah penjelasan Goldberg mengikuti kerja Norman dengan melaksanakan serentatan penelitian untuk mengkaji struktur yang mendasari istilah-istilah sifat. Dari hasil penelitian tersebut, Goldberg menemukan 5 faktor kepribadian yang terdiri dari Surgency / Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Emotional Stability, dan Intellect / Openess to Experience. Dari 5 (lima) kepribadian tersebut, dalam penelitian ini lebih banyak ditemukan siswa yang termasukpoint ke 3 yakni Conscientiousness. Pemberian layanan BK menggunakan media literacy teknik cinema terapy lebih menyerap kesadaran dari siswa-siswa yang kurang teratur, ceroboh, kurang sistematis, kurang efisien, kurang mandiri, kurang praktis, sembrono /lalai, kurang konsisten, tanpa perencanaan, dan cengeng. Siswa dengan kepribadian Conscientiousness, lebih mudah memahami dan mengikuti alur penggunaan teknik cinema terapy [16]. Hal ini sesuai dengan teori Goldberg bahwa Conscientiousness memiliki sifat positif yakni teratur, sistematis, teliti, rapih, efisien, hati-hati, mantap, sungguh-sungguh, dan tepat waktu.

 

Kesimpulan

Media literacy menggunakan cinema terapy pada penelitian, terbuktiefektif untuk mengantisipasi masalah pergaulan bebas di kalangan siswa SMK Negeri 1 Lolayan Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow. Siswa yang diberikan layanan Bimbingan dan Konseling menggunakan media literacy teknik cinema terapy mengalami peningkatan skor persentasi sebesar 86,6 % dan 13,4 % siswa yang belum tuntas. Dari data hasil perhitungan tersebut, sebanyak 26 siswa di SMK Negeri 1 Lolayan dapat terbantukan dengan layanan Bimbingan dan Konseling menggunakan media literacy teknik cinema terapy.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Asnawir, M. (2002). basyiruddin Usman. Media Pembelajaran.

 

Asrori, Mohammad, & Ali, Mohammad. (2008). Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT. Bumi Aksara.

 

Baran, Stanley J. (2004). Introduction To Mass Communication: Media Literacy And Culture. New York: McGraw Hil.

 

Byrd, M. A., & Forisha, Michelle L. Dan Bill. (2006). Cinema Terapi dengan Anak-anak dan Keluarganya. Departemen Psikologi Antioch University.

 

Depdikbud, Ditjen P. D. M. (1994). Kurikulum Pendidikan Dasar Garis-Garis Besar program Pengajaran (GBPP) Sekolah Dasar. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gang Persada.

 

Elif Senem Demir. (2008, August). The Cinema Therapy Newsletter. Retrieved from [email protected]

 

Hurlock, Elizabeth. (n.d.). B.(2000). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

 

Kenna, White. (2007). Skin Deep. Florida: Bella Books.

 

LN, Syamsu Yusuf. (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosda.

 

Michael Lee Powell, Rebecca A. Newgent, Sang Min Lee. (2006). Group cinematherapy : Using Metaphor To Enhance Adolescent Self Esteem. The Art In Psychotherapy, 33, 247�253.

 

Ningsih, Syofya. (2005). Pengaruh Substitusi Tepung Bayam Pada Pembuatan Kue Bolu Kukus Terhadap Citarasa Dan Kadar Fe.

 

Nomor, Undang Undang Republik Indonesia. (1989). Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya. Semarang: Anika Ilmu.

 

Prayitno, Erman Amti, & Amti, Erman. (2004). Dasar-dasar bimbingan dan konseling. Jakarta: Rineka Cipta.

 

Sahrudin, Sahrudin. (2017). Peran Konsep Diri, Religiusitas, Dan Pola Asuh Islami Terhadap Kecenderungan Perilaku Nakal Remaja Di Cirebon. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(1), 50�62.

 

Sarwono. (2011). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

 

 

Wolz, Birgit. (2005). E-motion picture magic: A movie lover�s guide to healing and transformation. Glenbridge Publishing Ltd.