Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����
Vol. 3, No. 3, Maret 2021
MEMORI EPISODIK SEBAGAI TERRA INCOGNITA YANG
MEMBATASI NEUROTEKNOLOGI
Siti Azri Ulmi
Ramadhanty dan Harsawibawa
Albertus
Universita Indonesia Depok Jawa
Barat, Indonesia
Email:
[email protected]
dan [email protected]
Abstract
One
of the implications of the development of neuroscience is neurotechnology.
Initially, neurotechnology aims to address brain dysfunction, such as
overcoming Alzheimer's disorders that cause memory loss. However,
neurotechnology seems to go a step further, i.e. it
not only serves to repair brain damage, but also to correct mental phenomena
connected to the brain or that are "produced" by the brain, which are
associated with memory. Based on this, the question arises, whether it is
possible that neural technology improves and replaces human memory.
Nevertheless, these neurotechnical efforts seem to
ignore the meaning of memory itself, including what actually "builds"
memory, so that humans can have different feelings of memory. Thus, to answer
this problem, the author first interprets memory explicitly through a clear
difference between semantic memory and episodic memory, to show that human
memory, which is an episodic memory, is associated with qualitative states.
Second, by describing the opportunities presented by neurotechnology through
mind experimentation regarding neuron replacement by electronic chips, to
demonstrate the impossibility of neurotechnology functioning in the same way as
neurons in the brain that produce episodic memory with these qualitative
states. Therefore, based on these arguments, it will be known that
neurotechnology is actually impossible to improve, especially replacing human
memory.
Keywords: qualitative states; experience; episodicmemory; semantic
memory; �neurotechnology
Abstrak
Salah satu
implikasi perkembangan ilmu saraf adalah neuroteknologi. Awalnya,
neuroteknologi bertujuan untuk mengatasi disfungsi otak, seperti mengatasi
gangguan Alzheimer yang menyebabkan hilang ingatan. Namun, neuroteknologi
tampaknya melangkah lebih jauh, yaitu tidak hanya berfungsi untuk memperbaiki
kerusakan otak, tetapi juga untuk memperbaiki fenomena mental yang terhubung ke
otak atau yang �diproduksi� oleh otak, yang terkait dengan memori. Berdasarkan
hal ini, timbul pertanyaan, apakah mungkin teknologi saraf meningkatkan dan
menggantikan memori manusia. Kendati demikian, upaya neuroteknologi tersebut
tampaknya mengabaikan arti dari ingatan itu sendiri, termasuk apa yang
sebenarnya �membangun� ingatan, sehingga manusia dapat memiliki perasaan
ingatan yang berbeda. Dengan demikian, untuk menjawab masalah ini, penulis
pertama-tama menafsirkan memori secara eksplisit melalui perbedaan yang tegas
antara memori semantik dan memori episodik, untuk menunjukkan bahwa memori
manusia, yang merupakan memori episodik, terkait dengan qualitative states. Kedua, dengan mendeskripsikan peluang yang
dihadirkan oleh neuroteknologi melalui eksperimentasi pikiran mengenai
penggantian neuron oleh chip elektronik, untuk menunjukkan ketidakmungkinan neuroteknologi
berfungsi dengan cara yang sama seperti neuron di otak yang menghasilkan memori
episodik dengan qualitative states ini. Oleh karena itu, berdasarkan
argumentasi tersebut, akan diketahui bahwa neuroteknologi sebenarnya tidak
mungkin dapat memperbaiki, terutama mengganti ingatan manusia.
Kata kunci: qualitative states;
pengalaman; memori episodik; memori semantik; neuroteknologi
Coresponden Author
Email:
[email protected]
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Seiring
berjalannya waktu, dunia selalu mengalami perkembangan. Salah satunya adalah
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin masif, yang menjadi
titik awal bagi
perkembangan neurosains. Salah satu tujuan dari perkembangan neurosains tersebut
adalah untuk mengungkap hubungan pikiran (termasuk di dalamnya kecerdasan) dan
otak, hingga betujuan untuk menciptakan sesuatu yang dapat menyamai bahkan
melampaui kemampuan manusia dalam hal berpikir, yakni AI (artificial
intelligence) Hal ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa mungkin dan
bisa diciptakannya komputer yang kecerdasannya sama dengan manusia, bahkan
melebihinya. Selain itu, banyak dari ilmuwan neurosains yang mengatakan bahwa
otak tidaklah lebih daripada sebuah komputer yang sangat rumit. Namun
kenyataannya, kita tahu bahwa �kerumitan� komputer sangat berbeda jauh dengan
kerumitan otak.
Neurosains
adalah studi ilmiah tentang saraf dan secara umum menjanjikan pemahaman yang
berkembang tentang cara kerja otak (Rainey & Erden, 2020) Studi ini juga
merupakan bentuk pengembangan lebih lanjut dari ilmu biologi yang kemudian
melahirkan serangkaian sub-studi lainnya, terutama berkaitan dengan psikiatri,
psikologi, matematika, juga filsafat (khususnya mengenai studi philosophy of
mind) dan memiliki tujuan yang salah satunya adalah mengungkap bagaimana
kecerdasan manusia berkaitan erat dengan fungsi jutaan neuron yang saling
terhubung di otak, yang pada akhirnya memungkinkan adanya �replika� manusia
seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence). Hal ini disebabkan
karena menurut para ahli neurosains, untuk memahami kecerdasan yang merupakan
bagian dari pikiran, yakni dengan memahami bagian-bagian otak dan fungsinya.
Neurosains adalah disiplin ilmiah yang layak untuk menyematkan proses mental
dengan mempelajari aktivitas otak (Manzotti & Moderato, 2010). Artinya, dengan
memahami struktur-struktur di otak dan fungsinya, serta bagaimana neuron itu
saling terhubung dan bekerja, dapatlah dipahami mengenai proses mental,
terlebih bagaimana dapat dihasilkannya kemampuan berpikir dan mengingat. Lebih
jauh, memahami otak dapat menghantarkan kita pada pemahaman tentang kesadaran
(atau bahkan pikiran). Sebab, setiap keadaan sadar dipahami melalui beberapa
aktivitas saraf; pemahaman yang lebih besar tentang keadaan sadar harus muncul
dari pemahaman yang lebih besar tentang otak (Rainey & Erden, 2020).
Bagan 1 �Keidentikkan Pikiran dan Aktivitas Saraf
(Diolah sendiri dari berbagai sumber)
Dari
latar belakang tersebut, neurosains mencoba menciptakan pengembangan lebih
lanjut, dengan contohnya yang paling umum adalah jaringan saraf tiruan (artificial
neural network) yang berfungsi sebagai unit pemerosesan sederhana
yang dirancang untuk meniru operasi neuron individu (Carter, 2007).� Sama seperti neuron asli, unit-unit di dalam jaringan
neuron tiruan ini memiliki fungsi yang dihubungkan di dalam beberapa lapisan, yakni
lapisan input dan lapisan output. Di antara lapisan input dan lapisan
output itu, ada yang disebut sebagai lapisan �tersembunyi� yang berfungsi untuk
menengahi dua lapisan tadi. Cara kerja dari jaringan saraf tiruan ini
sebenarnya sama dengan jaringan saraf yang ada di otak, tetapi tentunya sangat
deskriptif dan matematis karena diterjemahkan ke dalam fungsi-fungsi matematika
tertentu dan angka-angka biner. Pemrosesan informasi di jaringan saraf tiruan
dicapai melalui penyebaran aktivasi di sepanjang koneksi jaringan dengan setiap
simpul dalam jaringan memiliki tingkat aktivasi yang dipengaruhi oleh aktivasi
yang diterimanya dari simpul lain yang terhubung dengannya (Carter, 2007). Pada dasarnya, cara kerja
dari jaringan saraf tiruan inilah yang menjadi titik berangkat untuk melakukan
pengembangan neurosains lebih lanjut, yakni dalam rangkaian human enhancement,
salah satunya ialah neuroteknologi yang �didedikasikan� untuk memperbaiki dan
mengganti ingatan manusia. Hanya saja, inilah yang memunculkan pertanyaan:
apakah mungkin?
Di
dalam penyusunan tulisan ini, penulis terinspirasi dari beberapa penelitian
sebelumnya yang menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan penelitian
selanjutnya, sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan untuk
mengkaji penelitian yang dilakukan. Penelitian-penelitian terdahulu yang
menjadi acuan dan titik berangkat bagi penulis adalah sbb.:
Penelitian
yang dilakukan oleh (Nematzadeh, Ruder, & Yogatama, 2020), yakni �On Memory in
Human and Artificial Language Processing Systems�. Di dalam penelitian ini,
ditekankan adanya persamaan antara memori manusia dan AI dalam hal
pengambillan, penyandian, dan penyimpanan informasi. Namun, memori manusia
memiliki fungsi yang terpisah-pisah, berupa memori kerja, memori semantik, dan
memori episodik yang ketiganya saling berinteraksi secara terstruktur dalam
pemrosesan bahasa. Sementara itu, memori pada AI tercampur menjadi satu. Oleh
karenanya, penelitian tersebut berupaya untuk membuktikan bahwa sistem pemrosesan bahasa generasi mendatang dapat
mengintegrasikan berbagai jenis memori sebagai modul terpisah dengan fungsi
yang menyerupai memori dalam pemrosesan bahasa manusia, mengacu pada properti yang
diperlukan dari sistem penyimpanan dalam bentuk ruang terstruktur dan kemampuan
untuk melupakan, serta melakukan abstraksi sama seperti otak manusia (Nematzadeh et al., 2020).
Penelitian
selanjutnya dilakukan oleh (Whitworth & Ryu, 2009), yakni �A
Comparison of Human and Computer Information Processing�. Di dalam
penelitian ini, dipaparkan secara lengkap persamaan dan perbedaan antara
fungsi-fungsi dan cara kerja otak dan komputer, serta bagaimana sistem pemerosesan informasi di antara keduanya. Namun, walaupun komputer
sedikit banyaknya �mirip� dengan otak manusia, tetapi tentu perbedaan-perbedaan
yang signifikan antara komputer dan otak tetap membuat otak jauh melampaui
komputer. Penulis menegaskan bahwa kita mungkin dapat membuat komputer yang
sangat cerdas. Akan tetapi, membuat komputer yang �bisa melakukan segalanya�
seperti manusia tampaknya tidak perlu dan tidak diinginkan karena komputer
tidak dapat bertanggung jawab atas tindakan mereka; masa depan komputasi
terletak pada pengidentifikasian aktivitas manusia yang signifikan dan
perancangan sistem komputer untuk mendukungnya, sehingga kita tidak membutuhkan
keunggulan komputer, tetapi keunggulan manusia-komputer (Whitworth
& Ryu, 2009).
Kemudian,
penelitian yang dilakukan oleh (Rainey & Erden, 2020), yakni �Correcting the
Brain? The Convergence of Neuroscience, Neurotechnology, Psychiatry, and
Artificial Intelligence�. Penelitian ini dilakukan untuk melihat
kemungkinan bahwa praktik pengobatan dalam bidang psikiatri dapat dilakukan
dengan melibatkan teknologi saraf atau neuroteknologi. Hal ini merupakan sebuah
cara baru dalam penilaian pasien dan diagnosis klinis. Neuroteknologi
menjanjikan pengobatan yang cepat, efisien, dan komprehensif yang tidak
disediakan oleh observasi konvensional terhadap pasien, yakni dengan cara
merekam dan memproses sinyal otak sebagai dasar untuk mengevaluasi fungsi umum
dan perilaku pasien. Tampaknya penelitian ini bersifat begitu deskriptif, tetapi
penulis memberikan penegasan bahwa tetap ada sisi normatif yang harus diperhatikan
dalam mengintegrasikan neuroteknologi ke dalam pengobatan psikiatri; penggunaan
teknologi di dalam pengobatan manusia tetap harus mempertimbangkan dan
didasarkan pada norma-norma (Rainey
& Erden, 2020).
Selanjutnya,
penelitian yang dilakukan oleh (Manzotti & Moderato, 2010), yakni �Is Neuroscience
Adequate as the Forthcoming �Mindscience�?�. Penelitian ini bertujuan untuk
membuktikan bahwa ilmu saraf memiliki banyak kekurangan untuk dijadikan sebagai
ilmu tentang pikiran: ruang lingkup pikiran berada di luar ilmu saraf. Menurut
penulis, penelitian ini tidak cukup untuk mendukung pendirian metafisik apa pun
tentang pikiran; penelitian ini bertujuan untuk menentang asumsi-asumsi
keberhasilan ilmu saraf yang tidak terbantahkan. Menurut penulis, neurosains
tidak cukup sebagai ilmu tentang pikiran, sebab sistem saraf tidak cukup
dijustifikasi sebagai dasar fisik dari pikiran (Manzotti
& Moderato, 2010).
Selain beberapa penelitian terdahulu di atas, beberapa rujukan
juga menjadi referensi bagi penulis untuk menjawab permasalahan yang diangkat,
yaitu:
The Routledge Handbook of Philosophy of Memory (Bernecker &
Michaelian, 2017), dimana Werning dan Cheng (p. 9) menegaskan kategorisasi mengenai memori, yaitu kategori
skalar, alamiah, dan hirarkis. Pengkategorisasian memori ini dijadikan sebagai
titik berangkat di dalam penelitian untuk memberikan penegasan perbedaan antara
memori dan ingatan.
Minds and Computers (Carter,
2007) memaparkan bahwa
sistem pemrosesan informasi oleh saraf di otak mirip dengan sistem pemrosesan
informasi jaringan komputer. Selain itu, tulisan ini juga menunjukkan adanya
sistem saraf tiruan yang dibuat dengan fungsi dan mekanismenya menyerupai
saraf-saraf otak manusia. Namun, pada akhir
tulisannya, Carter menekankan bahwa kendati dapat dibuat jaringan saraf tiruan
yang dapat berfungsi mirip dengan saraf sesungguhnya, tetap saja jaringan saraf
tiruan itu mengesampingkan fenomena-fenomena mental, seperti emosi, sensasi,
dan perasaan. Tulisan Carter ini yang menjadi referensi bagi penulis untuk
merespons neuroteknologi sebagai penggantian ingatan manusia.
Truly Human Enhancement; A Philosophical Defense of Limits (Santagata
et al., 2014) memberikan penjelasan tentang human enhancement secara umum yang amat membantu penulis untuk
melihat lebih jauh mengenai permasalahan neuroteknologi sebagai salah satu bentuk
dari human enhancement itu sendiri.
Agar juga mengangkat tentang betapa krusialnya memori otobiografi yang
mendapatkan pengaruh dari radical
enhancement. Terlalu banyak peningkatan yang secara aktif pada otak manusia
justru akan mengganggu kelangsungan memori otobiografi (Santagata
et al., 2014). Individu yang mengalami peningkatan ini kemungkinan masih
bisa mempertahankan ingatan otobiografinya, tetapi lagi-lagi, apakah ingatan
itu masih memiliki �rasa� yang sama?
The Conscious Mind in Search of a Fundamental Theory (Chalmers,
1996). Dalam sebuah eksperimentasi pikiran, yakni penggantian neuron
dengan sebuah chip elektronik yang
terbuat dari silikon, Chalmers berupaya untuk menjelaskan permasalahan fading qualia sebagai suatu kemasukakalan dan sangat mungkin bisa diterima. Yang
dimaksud dengan fading qualia atau �qualia yang memudar�, dalam pengertian Chalmers, merupakan pemudaran kesadaran secara
bertahap selama serangkaian kasus penggantian neuron dengan chip elektronik silikon, sebelum
akhirnya kesadaran itu menghilang (Chalmers, 1996). Eksperimentasi
pikiran ini menjadi landasan bagi penulis untuk mengkritik dan menyangkal upaya
neuroteknologi dalam penggantian ingatan manusia.
Dengan
demikian, berdasarkan beberapa penelitian terdahulu dan rujukan yang penulis
gunakan sebagai referensi, maka apa yang ingin disampaikan di dalam tulisan ini
adalah untuk melihat bahwa bagaimanapun manusia dengan segala ingatan yang
dimilikinya tidak akan pernah bisa digantikan. Sebab, ingatan manusia memiliki
�sejumlah� qualitative states, seperti
perasaan, emosi, dan sensasi. Sehingga, perlu dibedakan antara memori dan
ingatan untuk dapat memahami mengapa ingatan demikian tidak bisa digantikan
dengan teknologi saraf yang diupayakan.
Berbeda
dengan penelitian-penelitian terdahulu yang informatif dan deskriptif,
penelitian ini dimaksudkan untuk memberi penjelasan dan pemahaman yang lebih
argumentatif dan tentunya filosofis. Adanya pembedaan di antara komputer dan
otak memang penting untuk diuraikan, tetapi hanya sebagai titik berangkat bagi
penulis untuk melihat konsekuensi dari teknologi yang diciptakan dengan upaya
menjadi bagian dari ingatan manusia. Selain itu, penelitian ini juga mendukung
penelitian-penelitian sebelumnya, seperti penelitian yang dilakukan oleh (Manzotti & Moderato, 2010), yakni mendukung kelemahan
dari asumsi neurosains yang selama ini seolah-olah tidak terbantahkan. Terlebih
melalui neuroteknologi, penulis ingin menegaskan bahwa teknologi secanggih apa
pun tampaknya sulit untuk diserupakan dengan otak, apalagi dapat bekerja serupa
dan menghasilkan karakteristik mental seperti ingatan.
Metode Penelitian
Ada dua metode
yang digunakan di dalam
tulisan ini untuk menjawab permasalahan apakah neuroteknologi sebenarnya dapat memperbaiki dan mengganti ingatan manusia. Pertama, metode distingsi konseptual, yakni membedakan secara ketat konsep
memori dan ingatan yang bersifat ekuivokal dan yang selama ini dipahami
secara tumpang tindih. Namun, sebelum membedakan kedua konsep tersebut,
perlu diketahui bahwa konsep memori
itu sendiri merupakan bentuk konsep yang sifatnya terlalu umum dan terbuka, sehingga menghasilkan begitu banyak interpretasi yang pada akhirnya menghasilkan pengertian atau makna yang tidak ketat. Konsep semacam
ini disebut Baggini dan Fosl sebagai konsep
�tipis� yang dengan demikian
memungkinkan variasi yang luas dalam bagaimana
ia dipahami (Fosl & Baggini, 2020). Oleh sebab itu, konsep memori perlu
diperjelas lebih lanjut, yakni memaknainya
secara lebih ketat dan substantif, sehingga dapatlah ditarik ke dalam
distingsi antara memori semantik dan memori episodik, di mana yang kedua ini merupakan
justifikasi mendalam terkait dengan apa itu ingatan
yang membedakannya dengan memori (semantik). Hal ini dikarenakan akan diketahui bahwa ingatan berkaitan
dengan pengalaman masa lalu yang di dalamnya melibatkan rasa atau karakteristik dari qualitative
states, sedangkan memori semantik merupakan bentuk dari memory-knowledge yang
tidak melibatkan rasa tertentu. Melalui distingsi konseptual ini, pengertian tentang memori dan ingatan yang tumpang tindih dapat dihindari
sebab dihasilkan definisi yang jelas pembatasannya dan tidak bersifat ambigu.
Kedua, metode eksperimentasi pikiran didukung melalui pembuktian yang dilakukan oleh Chalmers tentang
fading qualia, yakni dengan
mengimajinasikan bahwa
neuron-neuron di otak digantikan
oleh sejumlah chip elektronik
yang bekerja serupa dengan fungsi dan aktivitas neuron-neuron tersebut.
Sama seperti eksperimentasi
ilmiah, metode eksperimentasi pikiran juga ditujukan untuk memicu ingatan tentang anomali (Daly, 2010), khususnya berkaitan
dengan pembuktian bahwa neuroteknologi melalui chip elektronik tidak serta-merta dapat memperbaiki dan mengganti ingatan manusia. Dengan kata lain, metode eksperimentasi pikiran melahirkan adanya pembuktian yang sifatnya a priori dan menjadi argumentasi untuk memperkuat klaim filosofis mengenai ketidakmungkinan atas upaya yang dilakukan oleh neuroteknologi tersebut sebagai responsnya terhadap ingatan manusia.
Hasil dan Pembahasan
1. Persamaan dan Perbedaan Antara Otak dan Komputer:
Sebuah Titik Berangkat
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu tujuan dari neurosains
adalah mengungkap hubungan antara pikiran dan aktivitas neuron, sebagai bagian dari pengembangan sains untuk dapat
menciptakan mesin yang dapat �meniru� kecerdasan manusia, bahkan mungkin melampauinya. Hal ini dikarenakan hubungan antara neuron dan pikiran sangat jelas dan masuk akal. Memang,
ada beberapa hal yang menjadi poin penting mengapa
otak �bisa� disamakan dengan perangkat komputer terutama oleh para ilmuwan neurosains dan kognitif, yaitu (Whitworth & Ryu, 2009). Neuron ialah perangkat yang bisa berada dalam
keadaan on/off untuk merepresentasikan informasi
digital.
a.
Neuron memiliki
padanan bagiannya di dalam sebuah komputer
digital berupa rangkaian elektronik yang disebut sebagai gerbang logika (logic gate).
b.
Otak
memiliki saluran masukan (input) / keluaran
(output), seperti halnya
komputer.
c.
Otak
bekerja dengan listrik sama halnya
dengan komputer.
d.
Jika komputer
memiliki banyak transistor,
maka otak memiliki banyak neuron (sekitar 1010 lebih banyak daripada jumlah orang di dunia).
Berdasarkan
persamaan-persamaan tersebut,
bisa dikatakan bahwa �secara sistem�,
otak dan komputer memiliki struktur dan fungsi yang nyaris sama. Namun, tetap
perlu di garisbawahi adanya perbedaan-perbedaan di antara keduanya dan inilah yang pada akhirnya menjadikan komputer dan otak harus dibandingkan
secara signifikan. Yang
paling utama adalah perbedaannya dalam hal �desain�. Dalam
arti, sistem komputer berevolusi selama sekitar 60 tahun, sementara otak manusia telah berevolusi
selama jutaan tahun, dan telah diuji dengan ketat
selama berlangsungnya kehidupan dalam kurun waktu berabad-abad
(Whitworth & Ryu, 2009). Atau, dapat dikatakan
pula bahwa desain komputer itu tidak
konsisten seperti halnya otak manusia
yang berevolusi secara genetis, sebab perancangan komputer bergantung pada si pendesain.
Lebih
lanjut, semua program yang yang dijalankan oleh sebuah mesin komputer
merupakan bentuk dari sistem komputasi
dan salah satu program yang dijalankan
adalah berkaitan dengan pengolahan informasi yang kemudian disimpan dalam kotak penyimpanan sementara, yang disebut sebagai memori. Oleh karena itu, perlu
ditekankan bahwa walaupun otak manusia
itu �tampak� seperti hardware komputer yang dapat menyimpan segala informasi, keduanya tetap berbeda dan harus ditegaskan dengan ketat. Memori komputer
menyimpan berbagai informasi berupa data-data (komputasi), tetapi semua data itu tercampur menjadi satu. Ini merupakan
salah satu alasan mengapa para ilmuwan berkeinginan untuk membuat suatu pemisahan
penyimpanan dalam komputer� dengan tujuan untuk
memfasilitasi pencarian
yang lebih cepat, mirip dengan pengambilan
memori manusia dan penyimpanan harus dapat mengelola kompleksitas ukurannya secara dinamis dengan �melupakan� atau �mengompresi� untuk membentuk �abstraksi� sama seperti otak manusia
(Nematzadeh et al., 2020). Tentunya hal ini
terinspirasi dari pembagian di dalam otak yang sangat teratur atas �memori�:
lobus frontal sebagai tempat penyimpanan memori jangka pendek
dan lobus parietal, osipital,
serta temporal sebagai tempat penyimpanan memori jangka panjang,
juga bagian yang terlibat dalam pengkodean informasi baru, yakni hipokampus (Schacter & Squire, 1996).
Selain
ketidakmampuan memori komputer untuk melakukan pemisahan seperti yang dilakukan otak, memori komputer
juga berupa kode yang diubah ke dalam
bentuk angka-angka (sistem komputasi tadi). Sementara pada otak manusia, �memori� itu tidak
diketahui diubah ke dalam bentuk
apa (walaupun sama-sama bekerja dengan listrik, tetap sulit untuk
diketahui �memori� itu sendiri ada
dalam bentuk apa di otak). Setiap
informasi yang masuk ke dalam komputer
membutuhkan setidaknya satu tempat ruang
penyimpanan (satu berkas, disebut sebagai folder) yang menyebabkan terjadinya �memori penuh� karena kapasitas
penyimpanan bergantung secara linier pada jumlah lokasi (Whitworth & Ryu, 2009). Sementara tidak ada satu sel
otak tertentu yang didedikasikan hanya untuk satu memori
tertentu; satu memori melibatkan banyak neuron, dengan mungkin 1.000 hingga 1.000.000 lebih neuron per memori (Whitworth & Ryu, 2009). Atau dapat dikatakan
bahwa satu �memori� yang masuk ke otak bukan
dikodekan ke dalam satu sel
saraf otak saja, melainkan dalam satu pola
saraf otak yang saling terintegrasi secara terstruktur. Oleh karena itu, tidak
seperti ruang penyimpanan komputer yang bisa �penuh� (full), ruang penyimpanan pada otak manusia justru
tidak terbatas karena adanya interkoneksi
saraf dari jutaan sel saraf
yang ada. Di tambah, setiap memori jangka
pendek yang masuk ke otak akan
digantikan kembali dengan memori lainnya
dan ini mengindikasikan bahwa selalu ada
ruang kosong dalam ruang penyimpanan
memori di otak tersebut. Sehingga hal ini tetap
akan menjadi cukup untuk menjelaskan
betapa tak terukurnya kapasitas memori otak manusia.
2. Neuroteknologi: Sebuah Inovasi Pengembangan dari
Neurosains
Melalui
persamaan-persamaan yang ada
di antara otak dan komputer, tampaknya tetap memungkinkan bagi neurosains untuk menciptakan dan mengembangkan teknologi yang dapat memiliki kemampuan seperti otak manusia. Hal ini salah satunya diejawantahkan dalam human
enhancement, seperti yang dikatakan
oleh Nicholas Agar:
�To enhance
a human being is to improve him or her. The genetic enhancement of intelligence
improves its subject�s intelligence by means of modifying genes.� (Agar, 2013).
Sebagian
orang mengatakan bahwa prinsip dari human enhancement adalah untuk memperbaiki
kekurangan manusia, termasuk memperbaiki fungsi otak. Namun,
sebagian yang lain juga mengatakan
bahwa human enhancement justru
membawa manusia kepada keadaan yang lebih buruk: human enhancement menjadikan manusia seolah-olah bukan manusia (hal ini
dapat mengarah pada permasalahan mengenai ontologi manusia: apa dan/atau siapa
itu manusia, yang tidak dapat penulis
bahas karena keterbatasan ruang). Oleh karena itu, untuk
menghilangkan degradasi interpretasi atas human
enhancement, perlu dibedakan
antara enhancement as improvement dan enhancement
for reshaping human beings (atau yang sering disebut pula sebagai enhancement beyond human norms) (Agar, 2013).
Enhancement
as improvement merupakan bentuk peningkatan manusia yang sebenarnya tidak bisa dihindari
dan ditolak. Pasalnya, kita membutuhkan peningkatan semacam ini untuk menunjang
kehidupan kita. Dengan kata lain, enhancement as improvement adalah upaya manusia
untuk memperbaiki dirinya. Sebagai contoh, terapi yang diberikan dokter kepada pasien anemia yang mengalami penyakit ginjal kronis. Dokter meresepkan eritropoietin sintetis
(EPO) sebagai terapi yang bertujuan untuk memulihkan sel darah merah pasien
ke tingkat normal secara biologis (Agar, 2013). Sebaliknya, enhancement for reshaping human being merupakan bentuk peningkatan yang dilakukan melebihi tingkat normal biologis manusia. Misalnya, para pesepeda Tour
de France menggunakan EPO untuk
tujuan non-terapis, yakni meningkatkan sel darah merah
mereka untuk sistem ketahanan tubuh yang unggul sehingga dapat bertahan walaupun jalur sepeda yang dilalui sangat melelahkan (terutama untuk jalur-jalur perbukitan) (Agar, 2013).
Peningkatan-peningkatan
ini juga berlaku pada otak manusia. Mungkin
sekali pada suatu saat nanti akan
ada teknologi tertentu dengan modifikasi genetis yang mampu meningkatkan kinerja otak hingga
1.000 juta mips. Dan seperti yang diprediksikan oleh (Agar, 2013), manusia secara progresif akan mengganti neuron yang rawan penyakit dan rumit secara komputasi dengan chip elektronik yang sangat efisien, termasuk dengan menciptakan perangkat komputasi tiruan yang akan menggantikan fungsi komputasi di otak (dalam hal,
perkembangan teknologi sebagai �tiruan otak� akan berkembang
secara cepat, disebut sebagai masa singularitas-masa di mana perkembangan
teknologi mendominasi kehidupan manusia).� Selain itu, salah satu teknologi dalam human enhancement
yang juga sedang dikembangkan
adalah neuroteknologi.
Tidak
bisa dimungkiri bahwa neuroteknologi bukanlah sesuatu yang teramat baru, justru
ia telah ada sejak lama dan keberadaannya di mana-mana, bahkan
tanpa kita sadari, seperti obat-obat anti-depresan, obat tidur, obat
pereda rasa nyeri, obat yang disuntikkan untuk pemindaian penyakit kanker, obat untuk rehabilitasi
penyakit stroke, dan lainnya.
Neuroteknologi pada umumnya
berfungsi merekam dan memecahkan kode sinyal otak untuk
berbagai tujuan (Rainey & Erden, 2020). Selain itu, neuroteknologi
juga berperan di dalam permrosesan sederhana, tetapi lebih dalam
lagi, fungsinya adalah untuk melakukan
prediksi, visualisasi, dan analisis data perekaman saraf (Rainey & Erden, 2020). Bahkan, saat ini
para ilmuwan sedang mencoba untuk menciptakan
bentuk terbaru dari neuroteknologi yang tidak hanya berfungsi
untuk memindai dan merekam aktivitas saraf, tetapi juga melakukan kontrol terhadap kinerja saraf-saraf.
Karena neuroteknologi merupakan bagian dari human enhancement,
maka ia juga memiliki dua fungsi:
1) sebagai enhancement as improvement, yakni digunakan dalam tujuan pengobatan
seperti halnya di dalam bidang psikiatri
yang berkaitan dengan pengontrolan operasi neuron, dan
2) sebagai enhancement for reshaping human being,
yakni memperluas fungsi saraf, misalnya
dengan melibatkan bagian korteks dalam pengendalian tungkai robotik (Chirimuuta, 2013). Dari dua fungsi ini,
diturunkan pengembangan lainnya, yakni BMI (Brain-machine
Interfaces) dan BCI (Brain-computer Interfaces). Mengutip
Coleman (Coleman, 2018), BMI adalah perangkat yang menerjemahkan informasi saraf menjadi perintah
yang mampu mengendalikan perangkat lunak atau perangkat keras eksternal, seperti misalnya gadget impian yang memungkinkan manusia membaca pikiran satu sama
lain dan berkomunikasi dengan
gelombang otak. Artinya, melalui perekaman sinyal neuron di otak, yang kemudian dihubungkan dengan antarmuka otak-mesin, dapat dihasilkannya keluaran tertentu untuk mengontrol alat-alat yang ingin difungsikan.
Bagan 2 �Sistem BMI
(Diolah sendiri dari
berbagai sumber)
Sebaliknya,
BCI memberikan masukan (input)
pada otak melalui perangkat seperti komputer yang dihubungkan padanya. BCI biasanya dimanfaatkan untuk pengobatan seperti orang yang mengalami lumpuh otak agar bisa berkomunikasi dengan lingkungannya, mengubah cara berpikir seseorang,
mengobati penyakit
Alzheimer, dan lain sebagainya (Coleman, 2018).� BCI juga dapat diterapkan pada mereka yang mengalami gangguan motorik, yakni dengan menghasilkan input berupa pemerosesan data dari komputer. Oleh karena itu, BCI tidak boleh dianggap
hanya sebagai antarmuka tambahan (seperti halnya BMI), tetapi juga sebagai sesuatu yang mengubah cara kerja bagian
dalam otak dan dengan demikian menambah fungsi baru (Chirimuuta, 2013).
Bagan 3 Sistem BCI
(Diolah sendiri dari berbagai sumber)
Salah satu bentuk BCI yang saat ini sedang
dikembangkan adalah neuromodulasi loop tertutup, inovasi dari para peneliti di Departemen Teknik Biomedis Universitas Carnegie Mellon. Neuromodulasi mewakili bidang yang muncul dalam neuroengineering,
yakni dengan menyuntikkan energi fisik (misalnya listrik, magnet, akustik) ke otak, sehingga
kita dapat mengobati gangguan otak, meningkatkan kualitas hidup, atau bahkan mendeteksi,
serta melakukan pencitraan aktivitas otak dan konektivitas. Maka, sama seperti
yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, keberadaan neuroteknologi pada umumnya adalah sebagai bentuk upaya memperbaiki disfungsi yang terjadi pada otak. Namun, hal
ini sebenarnya menimbulkan pertanyaan besar selanjutnya: jika neuroteknologi dapat memperbaiki disfungsi pada otak, apakah neuroteknologi memiliki pengaruh terhadap ingatan seseorang? Apakah seseorang yang kehilangan sebagian atau seluruh
ingatannya dapat memiliki kembali ingatan itu secara
utuh bila neuroteknologi, katakanlah, berhasil mengatasi disfungsi yang terjadi? Atau kepada pertanyaan
yang lebih mendalam lagi: apakah neuroteknologi
mampu menggantikan ingatan manusia yang hilang (yang dianggap sebagai akibat dari kerusakan otak)? Salah satu kecurigaan yang dapat diutarakan mengenai keinginan neuroteknologi memperbaiki dan mengganti ingatan manusia itu tampaknya terletak
pada pengertian yang tumpang
tindih di antara ingatan dan memori. Bisa jadi, apa yang sebenarnya diinginkan oleh neuroteknologi adalah memperbaiki memori manusia, bukan ingatannya. Oleh sebab itu, sebelum melayangkan
penegasan apakah neuroteknologi dapat memperbaiki dan mengganti ingatan manusia, perlu diketahui terlebih dahulu makna dari konsep
�ingatan� itu sendiri.
3. Ingatan Sebagai Rekonsepsi �Memori� pada Manusia
Secara
tradisional, �memori� adalah apa pun terutama tentang masa lalu, dalam arti memungkinkan kita untuk mengingat hal-hal yang pernah terjadi (Sant�Anna, 2018). Memori memberikan pengetahuan langsung atau termediasi dari masa lalu (Landesman, 1962); dengan adanya gambar
memori (memory image) sebagai
sebuah simbol atas apa yang pernah
terjadi di masa lalu atau simbol tentang
kejadian masa lalu itu sendiri. Memori
bukan hanya kemampuan untuk memelihara dan mengingat keadaan kesadaran masa lalu atau kemampuan
untuk menggambarkan masa lalu sebagai masa lalu, tetapi juga merupakan ekspresi dalam bentuk kebiasaan
dan pengalaman masa lalu
yang disimpan di dalam otak (Dalla Barba, 2002). Oleh karenanya, memori selalu merujuk pada masa lalu dan bahkan sebagai �sesuatu� yang membentuk masa depan (shaping
the future) (Schacter & Squire, 1996). Namun, istilah �memori� sebenarnya sangat ambigu karena
memori itu sendiri dapat merujuk
pada banyak hal yang tentunya pernah dialami atau sesuatu
yang pernah dipelajari. Apa pun yang kita simpan di dalam otak atau apa
pun yang kita miliki dalam otak itu,
bisa merepresentasikan apa yang disebut sebagai memori. Seperti yang dikatakan oleh
Broad:
�Even apart
from these odd senses of �memory� it is quite certain that the word covers a
number of very different acts. We talk of remembering a set of
nonsense-syllables; of remembering a poem; of remembering a proposition in
Euclid, though we have forgotten the words in which it was expressed when we
originally learnt it; of remembering past events, and of remembering people, places,
and things.� (Broad, 1925).
Lebih
lanjut, berdasarkan perbedaannya dengan memori komputer, dapat diketahui bahwa memori manusia
ternyata memiliki arti yang
perlu diselidiki lebih mendalam. Pasalnya, memori komputer dan memori manusia memiliki kemiripan: ketika saya mengatakan bahwa saya memiliki
memori tentang apel, berarti saya
tahu tentang apel, begitu juga dengan memori komputer
yang dapat menyimpan informasi mengenai apel (apa itu
apel, ciri-cirinya, dan karakteristiknya). Hemat penulis, memori komputer dan memori manusia itu sama
dalam hal data-data informasi. Manusia dan komputer sama-sama memiliki memori yang merujuk pada segala pengetahuan faktual, informasi, dan/atau data-data tertentu. Selain itu, perlu ditekankan
bahwa memori berbeda dengan ingatan, tetapi ia mencakup apa
yang disebut sebagai ingatan. Memori tidaklah selalu mengenai ingatan, tetapi ingatan mau bagaimana pun adalah bagian dari
memori. Sebagai contoh, ketika saya mengatakan bahwa saya memiliki
ingatan tentang apel, berarti saya
mungkin tidak tahu apel, tetapi
saya memiliki perasaan tertentu ketika ingatan saya terbawa pada apel. Inilah yang disebut sebagai ingatan yang dibedakan dengan memori.
Dalam
kategori hirarkis, memori manusia dibedakan ke dalam
dua macam, yakni memori deklaratif
dan memori non-deklaratif. Menurut Werning &
Cheng, dua macam memori ini juga disebut sebagai memori yang dapat diartikulasikan dan memori yang tidak dapat diartikulasikan,
serta disebut pula sebagai memori eksplisit dan memori implisit (Bernecker & Michaelian, 2017). Untuk memori non-deklaratif, dapat dipahami melalui contoh: saat seseorang
belajar mengendarai mobil untuk yang pertama kali, seseorang diajarkan bagian-bagian mobil dan fungsinya, serta juga diajarkan caranya mengemudi. Namun, apa yang tidak bisa diartikulasikan
adalah bagaimana ia melakukan pengamatan,
perhitungan, �observasi�, misalnya dengan mendeteksi dan memprediksi keseimbangan saat berkendara, menghitung dan memperkirakan apakah ia akan bertabrakan
dengan pengendara lainnya di jalan. Menurut (Bernecker & Michaelian, 2017) memori non-deklaratif merupakan kesadaran anoetik, yakni kita sadar akan
kemampuan suatu keterampilan tertentu, tetapi tidak menyadari
isi ingatan kita tentang keterampilan
itu. Ada pula yang mengartikan
memori non-deklaratif sebagai memori praktis (practical memory) di mana seseorang dapat mengingat atau mengetahui cara mengemudikan mobil yang berarti sama dengan
dapat melakukannya (Rabb, 1972).
Bagan 3 Kategori
Memori pada Manusia
Sumber: (Bernecker & Michaelian, 2017)
Memori
deklaratif dibagi ke dalam dua
jenis, yakni memori semantik dan memori episodik. Memori semantik disebut juga sebagai �pengetahuan umum� kita tentang dunia (our
knowledge about the world outside), sedangkan memori episodik disebut sebagai memori atas peristiwa
yang pernah dialami secara pribadi (memory about
our personal events or experiences). Keduanya adalah bagian dari
memori jangka panjang karena tersimpan di dalam otak manusia dalam
kurun waktu yang lama, bahkan hingga seumur
hidup. Jika memori non-deklaratif dikategorikan oleh
Tulving sebagai kesadaran anoetik, maka memori
semantik dan memori episodik ia sebut
sebagai kesadaran noetik dan kesadaran autonoetik (Bernecker & Michaelian, 2017). Kesadaran noetik disebut juga sebagai kesadaran seseorang akan suatu objek
atau peristiwa di mana objek atau peristiwa
itu tidak pernah dialaminya secara langsung. Sementara kesadaran autonoetik ialah kesadaran akan objek atau kejadian
yang pernah dialami sebelumnya. Contohnya, saya ingat hari
di mana saya makan malam dengan ayah saya di sebuah restoran pinggir danau. Saya ingat sekali kapan tepatnya
dan seperti apa suasananya. Semua yang pernah saya alami
ini disebut sebagai ingatan. Ingatan inilah yang membedakan memori manusia dengan memori komputer. Ingatan adalah memori personal tentang apa yang saya ingat
terkait segala hal, manusia, tempat,
benda-benda, kejadian, ataupun situasi yang secara personal pernah saya alami (Rabb, 1972). Sementara apa yang disimpan di dalam komputer ialah sejenis dengan memori manusia yang lainnya, yakni memori semantik yang berupa data-data informasi, termasuk di dalamnya kemampuan berbahasa. Memori semantik ini yang seringkali dapat �dipertukarkan� antara komputer dan manusia, dalam arti ia menjelaskan apa itu kecerdasan.
Hal ini dikarenakan memori semantik adalah memori yang berkaitan erat dengan representasi, dalam arti, representasi dari sistem komputasi
yang disebut sebagai sistem representasi internal (kumpulan dari berbagai
mental symbols). Seperti yang juga telah disinggung sebelumnya, komputer dan otak sama-sama �bergerak� di dalam sistem komputasi ini, di mana keduanya dapat mengolah representasi, sehingga kita bisa menyebut
komputer yang dapat berbicara sebagai mesin yang memiliki kecerdasan, sama seperti manusia. Oleh karena itu, dari
pembedaan antara memori semantik dan memori episodik ini, juga dapat mengarahkan pada adanya perbedaan antara mengetahui dan mengingat.
Kembali
pada contoh pengalaman �saya� di atas, saya mungkin bisa
berbagi memori personal itu dengan menceritakannya
kepada sahabat saya hingga ke
setiap detailnya dan sahabat saya mungkin
bisa membayangkan apa yang saya lalui
pada hari itu, hingga ke setiap
detail yang saya paparkan, tetapi ia tidak
bisa memiliki perasaan yang sama seperti yang saya rasakan. Artinya, memori saya tentang
masa lalu adalah milik saya karena
ia bersifat personal. Apa yang didapatkan oleh sahabat saya dari
cerita itu bukanlah memori personal yang sama, melainkan �pengetahuan� (knowledge). Sehingga
dapat dikatakan bahwa saya yang memiliki memori personal adalah saya yang ingat (I remember), sementara fakta apa yang didapatkan oleh sahabat saya tentang hal
yang saya alami adalah sebagai saya yang tahu (I know). Tulving menyebutnya sebagai �the rememberer�, yakni orang yang mengingat yang mengalami pengalaman subjektif itu (Schacter & Squire, 1996) Oleh karenanya, dapat dirumuskan bahwa �lawan� dari memori
personal ialah memori-pengetahuan
(memory-knowledge).
Berdasarkan
penjelasan di atas mengenai ingatan, maka mau tidak
mau kita akan memahami ingatan
sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan afeksi, termasuk di dalamnya emosi. Ketika berbicara mengenai memori dan emosi, berarti ada memori episodik
yang ikut terlibat di dalamnya (Bernecker & Michaelian, 2017) dan memori episodik ini yang paling memadai untuk merepresentasikan apa itu ingatan.
Seperti yang juga telah dijelaskan, ingatan adalah bentuk dari
memori personal, sehingga dapat dipahami bahwa si pengingat
(the rememberer) mengalami langsung kejadian yang ia ingat. Dengan
kata lain, ingatan tidak bisa lepas dari
persepsi; apa yang kita ingat adalah
apa yang kita persepsi. Apa yang diingat adalah apa yang telah dirasakan atau dialami; apa pun yang kita rasakan adalah
sesuatu yang mungkin kita ingat (Landesman, 1962). Maka, dapat dikatakan
bahwa segala ingatan yang menjadi sebuah episode di dalam memori seseorang adalah pengejawantahan dari sesuatu yang pernah diperolehnya, dan dalam hal ini,
persepsi adalah salah satu cara bagaimana
seseorang memperoleh sesuatu. Mempersepsi ialah bentuk mengetahui
dan mengalami hal yang sebelumnya tidak diketahui dan tidak dialami, sementara mengingat adalah upaya mengetahui dan mengalami kembali sesuatu yang pernah ia ketahui dan ia alami (sesuatu
yang pernah ia dapatkan dari mempersepsi).
Itulah mengapa ingatan berbeda dengan memori semantik.
Karena seseorang tidak perlu mempersepsi untuk mengetahui fakta berapa kecepatan
cahaya, sementara seseorang perlu mempersepsi untuk dapat mengingat apa yang pernah ia alami sebelumnya.
Mempersepsi
membuat kita memiliki perasaan tertentu yang sangat subjektif, sehingga orang lain belum tentu merasakan
apa yang kita rasakan. Ketika seseorang ingat tentang sesuatu,
ia pasti merasakan tentang sesuatu tersebut, tetapi belum tentu
seseorang bisa mengekspresikan apa yang ia rasakan itu,
bahkan ketika ia mencoba menceritakannya
kepada orang lain. Dengan demikian, kita akan jatuh pada pembicaraan mengenai qualitative
states yang disebut sebagai
qualia.
�Let us
suppose that you are, right now, getting the unmistakable smell of fresh coffee
drifting in from the kitchen. The smell may be caused by chemical entering your
nose and reacting with receptors there, but as far as you are concerned the
experience is nothing to do with chemicals. You probably cannot describe it
even to yourself. It is just how fresh coffee smells. The experience is
private, ineffable and has a quality all its own. These private qualities are
known, in philosophy, as qualia.� (Blackmore, 2013).
Qualia adalah bagaimana rasanya ketika memiliki mental states tertentu; ia adalah bentuk
experiential properties dari sensasi,
perasaan, hasrat, pikiran, dan termasuk juga di dalamnya persepsi. Oleh karenanya, ketika mengingat sesuatu, pasti sesuatu yang diingat adalah sesuatu yang pernah dipersepsi sehingga menghasilkan rasa tertentu. Memori episodik mengacu pada masa lalu
("feeling of pastness") dan menjadi bagian dari subjek
dengan cara yang unik ("feeling of warmth and intimacy") (Sant�Anna, 2018). Kendati kita menceritakan
apa yang diingat kepada orang lain dan orang lain (diasumsikan)
memiliki perasaan yang sama, tidak ada
yang bisa mengatakan dan membuktikan dengan jelas bahwa apakah
yang ia rasakan sama seperti apa
yang kita rasakan karena qualitative states itu bersifat subjektif dan milik pribadi. Kita mungkin bisa mengatakannya
pada orang lain, tetapi kata-kata tidak
akan pernah cukup untuk menggambarkan
seperti apa rasanya saat memegang
sebuah pensil, saat mempersepsi sesuatu, dan seperti inilah qualia itu (Blackmore, 2013). Oleh karenanya, memori episodik dapat dikatakan sebagai sarat qualia (qualia-laden) (Ramachandran, V., & Hirstein, 1997), sehingga dapat digarisbawahi bahwa memori manusia berbeda dari memori
komputer; memori komputer ialah jenis dari memori
semantik yang tidak memiliki qualia, sementara memori manusia juga merujuk pada ingatan (memori episodik) yang merupakan sarat dari qualia, atau memiliki qualitative states. Hemat
penulis, memori episodik bersifat privilege
access, dalam arti hanya kita yang memiliki akses atas pikiran
kita sendiri, hanya saya yang memiliki akses secara langsung atas ingatan saya,
sehingga inilah yang dimaksud memori episodik dengan �otoritas orang pertama�: tidak ada yang bisa menjamahnya, kecuali diri saya
sendiri. Oleh karena itu, permasalahan qualia dan/atau qualitative states yang melibatkan
mental of feelings, sensations, perceptions, dan desires, menjadi
sangat penting untuk digarisbawahi dalam kaitannya dengan memori episodik
(ingatan) karena ia dapat �memberi
penjelasan� mengapa memori episodik pada akhirnya berada dalam ranah privat
orang pertama sehingga permasalahan mengenai ingatan ini menjadi
begitu krusial. Lantas, kembali lagi, apakah neuroteknologi
dapat memperbaiki dan mengganti memori episodik atau ingatan
manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ternyata perlu ditelaah lebih jauh mengenai hubungan
di antara neuroteknologi
dan ingatan manusia.
4. Neuroteknologi dan Ingatan Manusia
Pada bagian sebelumnya, penulis telah menyinggung
bahwa Brain-computer Interfaces (BCI) dapat mengobati disfungsi otak akibat penyakit Alzheimer. Salah satu akibatnya adalah seseorang kehilangan kemampuannya dalam mengingat, atau disebut juga sebagai amnesia. Sindrom amnesia adalah kondisi patologis yang serius dari kehilangan ingatan setelah kerusakan otak dan mungkin merupakan salah satu sindrom neuropsikologis
yang paling melemahkan (Dalla Barba, 2002). Seseorang yang mengalami amnesia dapat kehilangan seluruh atau sebagian
ingatannya. Namun, bukan berarti orang yang hilang ingatan menjadi nothing. Banyak dari mereka yang masih tahu cara duduk, cara menggerakkan anggota tubuh, bahkan masih tahu
cara berbicara dan berbahasa. Ini adalah memori semantik
yang mereka miliki sebagai bentuk dari memory-knowledge yang masih tersimpan. Seperti yang juga dikatakan oleh Tulving (Dalla Barba, 2002), orang
yang amnesia menunjukkan adanya
kekurangan memori episodik dengan tidak hanya kehilangan
kemampuan masa lalunya, tetapi juga tidak dapat menempatkan diri mereka (mode refleksif kesadaran temporal) dan
objek (mode kesadaran
temporal non-refleksif) dalam
dimensi temporalitas yang disebut masa lalu, bahkan mereka pun tidak mampu menempatkan
diri dan objeknya di masa kini atau di masa depan. Barba kembali menegaskan:
�That
patient, as is usually the case in amnesics, had
preserved all his so-called semantic knowledge, namely knowing consciousness,
but was not capable of recalling any episode of his own past nor of saying
anything at all about his future. When he was asked what he had done shortly
before or the previous day, or what he would do the following day his answer
was "I don't know". When asked to describe his state while trying to
remember the past or to predict the future he would say that it was as though
there were a blank.� (Dalla Barba, 2002).
Dengan
kata lain, orang yang mengalami amnesia kehilangan (seluruh atau sebagian) memori episodik yang mengantarkannya pada masa lalu,
juga pada proyeksi masa depan.
Oleh karenanya, ini menjadi salah satu latar belakang mengapa diciptakannya neuroteknologi yang (dianggap) mampu mengatasi kerusakan otak, hingga memperbaikinya. Hanya saja, tebersit
pertanyaan: apakah memperbaiki otak manusia sama dengan
mengembalikan ingatan yang telah hilang? Apakah
neuroteknologi dapat menjamin kembalinya ingatan manusia seperti pada saat ia memilikinya tanpa gangguan?
Kita bisa menilai bahwa
permasalahan ingatan adalah sesuatu yang sangat kompleks karena melibatkan persepsi, rasa, dan subjektivitas.
Bahkan, kalaupun bisa diciptakannya neuroteknologi yang melengkapi segala kompleksitas itu, tampaknya ini menjadi pekerjaan
yang amat berat karena ingatan setiap orang berbeda-beda, akibat dari pengalaman
perseptual yang berbeda-beda
pula. Kemudian, seperti yang
juga telah dijelaskan, ingatan bukanlah memori semantik, sebab ingatan melibatkan
persepsi. Persepsi ini yang menghasilkan pengalaman rasa yang berbeda-beda
pada tiap individu, menghasilkan qualitative states yang berbeda-beda
antara satu manusia dan manusia lainnya, walaupun dihadapkan dengan misalnya, jika harus, situasi yang sama atau ingatan
yang sama sekali sama. Jika neuroteknologi berupaya untuk memperbaiki dan mengganti ingatan manusia, maka bisa diartikan
bahwa neuroteknologi berupaya untuk memperbaiki dan mengganti
qualitative states yang sama dan/atau
identik dengan qualitative
states yang dimiliki sebelum
ingatan itu memudar atau lenyap.
Kita bisa membayangkan
neuron yang mengalami kerusakan
digantikan dengan sebuah chip elektronik yang terbuat dari silikon
dan memiliki fungsi yang sama sekali sama
dengan neuron itu. Eksperimentasi pikiran ini yang juga digunakan oleh
Chalmers untuk menegaskan bahwa fading qualia adalah suatu kemasukakalan dan sangat mungkin bisa diterima.
�We can
imagine, for instance, replacing a certain number of my neurons by silicon
chips. In the first such case, only a single neuron is replaced. Its
replacement is a silicon chip that performs precisely the same local function
as the neuron. Where the neuron is connected to other neurons, the chip is
connected to the same neurons. Where the state of the neuron is sensitive to
electrical inputs and chemical signals, the silicon chip is sensitive to the
same.� (Chalmers, 1996).
Pada intinya, chip elektronik yang terbuat dari silikon
itu memiliki fungsi dan cara kerja yang sama sekali identik dengan neuron di otak.
Neuron-neuron di otak secara
perlahan diganti dengan chip tersebut, hingga pada akhirnya, seluruh neuron di otak digantikan dengannya. Kita bisa menganggap bahwa, terutama dalam kasus orang sebelum mengalami lupa ingatan, memiliki
ingatan yang membawanya
pada rasa tertentu, yakni misalnya perasaan saat mengingat liburan ke suatu
tempat pada tahun lalu. Kemudian, saat orang itu mengalami gangguan pada neuron-neuronnya dan digantikan perlahan dengan chip elektronik tadi, ternyata ingatannya kembali. Pertanyaannya, apakah ingatannya yang kembali itu sama
dengan ingatan saat ia masih
memiliki neuron secara
normal, bukan dengan chip elektronik yang diimplan ke dalam otaknya?
Apakah rasa ingatan mengenai liburan ke suatu tempat
pada tahun lalu sebelum dan sesudah digantikan dengan chip elektronik adalah sama? Apakah ada
perbedaan rasa antara seseorang sebelum amnesia dan
orang yang ingat kembali ingatannya dengan �dibantu� oleh chip elektronik?
Dalam
hal ini, kita seolah-olah atau memang sedemikian
ditunjukkan bahwa adanya keterhubungan di antara hal-hal yang fisik dan dan hal-hal
yang mental, bahwa sesuatu
yang mental (seperti memori
episodik atau kesadaran autonoetik) terhubung dengan sesuatu yang fisik (yakni otak dan neuron-neuron di dalamnya). Seperti yang juga dikatakan oleh Chalmers, kita mungkin memiliki alasan yang kuat untuk percaya bahwa
kesadaran itu muncul dari sistem
fisik seperti otak, tetapi kita
hanya memiliki sedikit gagasan bagaimana ia dapat
muncul, atau mengapa ia ada
sama sekali (Chalmers, 1996) dan tampaknya kita tidak hanya kekurangan
teori rinci, tetapi kita memang
sepenuhnya tidak tahu bagaimana kesadaran cocok dengan tatanan alam (natural order) (Chalmers, 1996). Hemat penulis, kita tidak tahu
bagaimana otak dapat menghasilkan ingatan atau memori
episodik yang begitu elusif untuk dijelaskan,
terlebih karena ia menyangkut qualia, lantas bagaimana mungkin dapat dibuat
teknologi yang dapat menghasilkan ingatan, apalagi mengganti ingatan yang hilang?
Sebagai
penegasan, seseorang bisa mengatakan bahwa ingatannya tentang liburan ke suatu tempat
pada tahun lalu amat menyenangkan, rasanya sama seperti
saat melihat pemandangan hijau kaki gunung. Namun, pada otak yang telah diimplan �sistem baru� ke dalamnya,
bisa jadi ia mengalami rasa ingatan yang berbeda: seseorang itu bisa
merasakan hal yang menyenangkan atas liburan ke suatu
tempat tahun lalu, tetapi rasanya
seperti saat melihat tepi pantai,
bukan pemandangan hijau kaki gunung. Atau, bisa jadi
ia mengalami rasa ingatan yang justru tidak menyenangkan, tetapi menyedihkan atau menakutkan. Mungkin saja ia
terbawa pada perasaan-perasaan
yang sangat jauh berbeda dari sebelum
ia mengalami amnesia. Dalam hal ini,
qualia memiliki �jenis�
yang berbeda dari dua ingatan yang berbeda, misalnya. Artinya, satu ingatan
yang seseorang ingat, tidak sama rasanya
dengan ingatan lainnya yang ia ingat. Dengan kata lain, neuroteknologi, tampaknya, melakukan generalisasi bahwa orang-orang yang mengalami
amnesia adalah orang-orang yang memiliki
ingatan yang sama, atau ada anggapan
bahwa semua orang yang mengalami pemudaran ingatan atau kehilangan
total ingatannya berarti mengacu pada ingatan yang sama. Padahal, diketahui bahwa ingatan satu orang dengan objek ingatan
yang berbeda memiliki �kualitas� yang juga berbeda;
qualia mengingat liburan ke pantai tidak
sama dengan qualia mengingat liburan ke puncak.
Kembali
pada neuron yang digantikan dengan
chip elektronik, ternyata rangkaian penggantian itu tidak menyebabkan
kehilangan qualia secara tiba-tiba, tetapi pemudaran qualia seperti yang dikatakan oleh Chalmers. Kesadaran
secara bertahap memudar selama serangkaian kasus (menggantikan neuron dengan chip elektronik silikon itu), sebelum akhirnya
menghilang (Chalmers, 1996), dalam arti, seseorang bisa memiliki ingatan
yang berbeda atau sama sekali tidak
adanya ingatan itu lagi. Bahkan,
mungkin bisa ditarik lebih jauh:
jika neuron yang rusak saja dapat digantikan
dengan neuroteknologi, apakah berarti mungkin untuk menciptakan
robot yang terdiri dari serangkaian chip elektronik yang benar-benar sama dengan neuron di otak? Jika iya, apakah robot itu bisa memiliki
ingatan? Hal ini tampaknya cukup menjelaskan bahwa keinginan mengganti neuron dengan chip elektronik berarti mereduksi hal mental ke dalam
sesuatu yang fisik, atau sesuatu yang mental ada (hadir setelah)
sesuatu yang fisik (the
mental supervence on the physical). Memang bisa dikatakan
bahwa hal mental itu dibangun dari
hal yang fisik, tetapi hal mental tidak dapat direduksi
dari hal yang fisik. Bahkan, problematika mengapa hal yang mental itu terhubung atau dibangun dari hal
yang fisik tidak terjawab, lantas bagaimana mungkin hal yang mental itu dapat direduksi ke dalam hal
yang fisik?
Lebih
jauh, saya mungkin bisa membayangkan
adanya suatu entitas yang benar-benar identik dengan diri saya, yang disebut Chalmers sebagai zombie
twin. Secara fisik, zombi kembaran ini sangat identik
dengan saya, tetapi identik dalam arti analisis fungsional, yakni ia akan terjaga,
mampu melaporkan isi keadaan internalnya,
mampu memusatkan perhatian di berbagai tempat, dan sebagainya (Chalmers, 1996). Akan tetapi, ia tidak
memiliki pengalaman kesadaran yang nyata, tidak memiliki atau tidak adanya
perasaan fenomenal.
�A zombie
is just something physically identical to me, but which has no conscious experienceall is dark inside.� (Chalmers, 1996).
Dalam
hal ini, jika kembaran zombi
tanpa pengalaman sadar dapat dibayangkan,
maka kita hanya perlu mengganti
silikon dengan neuron dalam konsepsi sambil membiarkan organisasi fungsional tetap konstan, tetapi implementasional ini sama sekali
bukan jenis hal yang secara konseptual relevan dengan pengalaman (Chalmers, 1996), sehingga dapat dikatakan bahwa the mental is not
logically supervence on the physical. Pada akhirya, harus diakui bahwa hal
ini ternyata memang sulit untuk
dijelaskan. Kembali kepada apa yang ingin diangkat, yakni apa yang sebenarnya membuat kita benar-benar
yakin bahwa neuroteknologi bisa memperbaiki dan mengganti ingatan manusia? Bahkan, ingatan yang menghadirkan qualitative states masih
merupakan hal yang misterius mengapa dapat dihasilkan dari reaksi fungsi-fungsi
di otak (kerusakan yang terjadi pada bagian-bagian otak memang mempengaruhi
ingatan seseorang, yang artinya juga mempengaruhi
qualitative states sebagai karakteristik
dari ingatan itu. Akan tetapi, permasalahan mengapa fisik dapat mempengaruhi
ingatan hingga akhirnya memengaruhi �kualitas� ingatan itu sendiri tidak
bisa dijelaskan).� Penolakan ini juga datang dari mereka yang menolak posibilitas implan chip elektronik sebagai pengganti neuron otak. Ada yang bahkan mengatakan bahwa teknologi semacam ini hanyalah produk
science fiction, tidak nyata
sama sekali. Atau kembali lagi,
chip elektronik secanggih apa pun dibuat, tidak pernah bisa
melakukan fungsi seperti apa yang dilakukan oleh neuron di otak. Hemat penulis, model seperti chip elektronik atau jaringan saraf
tiruan tetap merupakan penyederhanaan kasar dari aktivitas
saraf biologis yang ingin dimodelkan dan secara khusus gagal
untuk memperhitungkan efek global dan analog dari
neurotransmitter semisal, dan ini
memiliki implikasi yang mendalam untuk kemungkinan pemodelan sejumlah fenomena mental, termasuk (yang terpenting) adalah pada perhatian dan emosi (juga sensasi, perasaan, dan mood) (Carter, 2007). Selain itu, sistem
saraf belum tentu merupakan substrat fisik bagi pikiran (Manzotti & Moderato, 2010). Dengan kata lain, neuroteknologi seperti halnya jaringan saraf tiruan atau chip elektronik yang diharapkan dapat menggantikan neuron di otak, bukanlah replika dari otak
manusia, melainkan hanya model atau simulasi mengenai otak manusia.
Kesimpulan
Neuroteknologi
seolah-olah memberikan harapan bahwa suatu
saat akan ada kemungkinan memperbaiki dan mengganti ingatan manusia yang rusak atau bahkan
hilang. Hal ini terlihat melalui eksperimentasi pikiran di mana sebuah chip elektronik terbuat dari silikon
akan menggantikan segala proses yang dilakukan oleh
neuron ketika neuron itu rusak. Akan tetapi, bagaimana pun, chip elektronik semacam ini tetaplah
hanya model dan/atau simulasi terhadap neuron, bukan replika. Sehingga, neuroteknologi lagi-lagi hanyalah bentuk penyederhanaan kasar dari segala
proses biologis yang terjadi
di dalam otak, bukan suatu �hal�
yang dapat dianggap sama dengan segala
fungsi dan aktivitas neuron
yang ada, bahkan bentuk pemodelan komputasi tercanggih dan terbaik yang ada pada saat ini masih
tetap tidak memadai untuk menyerupai
dan mengganti proses komputasi
otak manusia, kendati terus memberikan
harapan kepada para ilmuwan untuk menciptakan
pemodelan AI yang kuat dan sukses. Hanya saja,
hal ini tetap
menunjukkan bahwa neuroteknologi, khususnya, tetap jauh dari
kata mungkin untuk dapat memperbaiki dan mengganti ingatan manusia.
Selain
dari ketidakmungkinan logis dibuatnya teknologi yang sama sekali identik dengan neuron, pemahaman para ahli akan segala
struktur dan fungsi otak juga tidak menjamin bahwa mungkin untuk membuat
sesuatu yang dapat berperan layaknya otak itu sendiri.
Sangat mungkin bahwa memahami pikiran tidak membutuhkan
pemahaman otak, misalnya, kita bisa saja memahami
suatu program tertentu tanpa mengetahui apa pun tentang implementasi elektroniknya di komputer kita, bahkan kita bisa
mengabaikan atau tidak mengetahui merek komputer kita sendiri. Dengan
kata lain, jika pemahaman tentang otak saja
tidak cukup bagi kita untuk
memahami isi pikiran atau memahami
pikiran tidak berarti harus memahami
bagian-bagian otak dan fungsinya, bagaimana mungkin dapat diciptakan
neuroteknologi yang benar-benar
dapat memperbaiki dan mengganti ingatan kita yang rusak atau hilang? Hal ini membuat kita
kembali kepada permasalahan mengenai ingatan atau memori
episodik dan segala karakteristiknya, yakni qualia
dan/atau qualitative states. Pemahaman
qualitative states melalui penjelasan
dan pemahaman akan otak sangatlah tidak cukup untuk
menjelaskan hubungan mind
dan body, artinya selalu ada gap yang tidak pernah bisa dijelaskan
di antara keduanya. Sehingga permasalahan seperti ingatan tidak mudah untuk
dipahami dan menjadi sesuatu yang elusif. Mungkin, akan ada
yang mengatakan bahwa semua ini hanyalah
�permasalahan waktu�, dalam arti, hanya karena saat ini
memang belum ada teknologi yang memadai untuk menjawabnya.
Akan tetapi, hal itu tentu bukanlah
jawaban mengenai ketidakmungkinan logis, melainkan jawaban sains yang tentunya bukan merupakan fokus penelitian di dalam tulisan ini. Penegasannya adalah dengan kembali pada memori episodik sebagai �karakteristik� manusia yang sebenarnya tidak bisa digantikan
oleh apa pun, termasuk di dalamnya teknologi yang paling canggih. Oleh karena itu, sebesar apa
pun upaya neuroteknologi mencoba untuk memperbaiki
dan mengganti ingatan manusia, tampaknya hal ini menjadi
sulit, atau bahkan tidak mungkin
sama sekali untuk direalisasikan.
BIBLIOGRAFI
Agar, Nicholas.
(2013). Truly human enhancement: a philosophical defense of limits. MIT
Press.
Bernecker, Sven,
& Michaelian, Kourken. (2017). The Routledge handbook of philosophy of
memory. Routledge.
Blackmore, Susan.
(2013). Consciousness: an introduction. Routledge.
Broad, C. D. (1925).
The Mind and its Place in Nature, Kegan Paul, Trench and Trubner.
Harcourt, Brace, Londres/Nueva York.
Carter, Matt.
(2007). Minds and computers: An introduction to the philosophy of artificial
intelligence: An introduction to the philosophy of artificial intelligence.
Edinburgh University Press.
Chalmers, David J.
(1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford
Paperbacks.
Chirimuuta,
Mazviita. (2013). Extending, changing, and explaining the brain. Biology
& Philosophy, 28(4), 613�638.
Coleman, Jeff.
(2018). Brain Computer Interfaces with Artificial Intelligence and Reinforcement
Learning. Medium. Com Blog.
Dalla Barba,
Gianfranco. (2002). The Homunculus Fallacy. In Memory, Consciousness and
Temporality (pp. 27�85). Springer.
Daly, Christopher.
(2010). An introduction to philosophical methods. Broadview Press.
Fosl, Peter S.,
& Baggini, Julian. (2020). The philosopher�s toolkit: A compendium of
philosophical concepts and methods. John Wiley & Sons.
Landesman, Charles.
(1962). Philosophical problems of memory. The Journal of Philosophy, 59(3),
57�65.
Manzotti, Riccardo,
& Moderato, Paolo. (2010). Is Neuroscience Adequate as the
Forthcoming" Mindscience"? Behavior and Philosophy, 1�29.
Nematzadeh, Aida,
Ruder, Sebastian, & Yogatama, Dani. (2020). On memory in human and
artificial language processing systems. Proceedings of the Bridging AI and
Cognitive Science Workshop at ICLR.
Rabb, J. Douglas.
(1972). Memory, by Don Locke. Toronto: Macmillan Press Ltd. 1971. Pp. 145.
$6.50. Dialogue: Canadian Philosophical Review/Revue Canadienne de
Philosophie, 11(3), 472�475.
Rainey, Stephen,
& Erden, Yasemin J. (2020). Correcting the Brain? The Convergence of
Neuroscience, Neurotechnology, Psychiatry, and Artificial Intelligence. Science
and Engineering Ethics, 26(5), 2439�2454.
Ramachandran, V.,
& Hirstein, W. (1997). Three Laws of Qualia. Journal of Consciousness
Studies, 4(5�6), 429�458.
Sant�Anna, Andr�.
(2018). Mental time travel and the philosophy of memory. Filosofia Unisinos,
19(1), 52�62.
Santagata, Sandro,
Eberlin, Livia S., Norton, Isaiah, Calligaris, David, Feldman, Daniel R., Ide,
Jennifer L., Liu, Xiaohui, Wiley, Joshua S., Vestal, Matthew L., &
Ramkissoon, Shakti H. (2014). Intraoperative mass spectrometry mapping of an
onco-metabolite to guide brain tumor surgery. Proceedings of the National
Academy of Sciences, 111(30), 11121�11126.
Schacter, Daniel L.,
& Squire, Larry R. (1996). Searching for Memory: The Brain, the Mind and the
Past. Nature, 382(6591), 503.
Whitworth, Brian,
& Ryu, Hokyoung. (2009). A comparison of human and computer information
processing. In Encyclopedia of Multimedia Technology and Networking, Second
Edition (pp. 230�239). IGI Global.