� Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����
Vol. 3, No. 3, Maret 2021
DUKUNGAN UNTUK WANITA
PENYANDANG DISABILITAS PADA AKUN INSTAGRAM @LIPSTICKUNTUKDIFABEL
Dinar Asvi
Nurjannah, Yasinta Putri Wijaya
dan Fakri Reza Kamrang
Universitas Pembangunan
Nasional �Veteran� Jawa Timur, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]
dan [email protected]
Abstract
The purpose of this
research is to dissect the Agenda Setting conducted by Instagram social media
@lipsticuntukdifabel in order to support women with disabilities. This study
uses agenda setting theory in analyzing the findings contained in this research.
the results showed thatpeople with disabilities often assume that their
shortcomings make them different from others. This often leads to a lack of
confidence in people with disabilities, especially in their social environment,
some people with disabilities tend to�
withdraw from social interactionsdue to lack of confidence. Various
confidence supporting tools such as�
makeup become very important to be used in creating confidence for
people with disabilities. In addition, factors fromoutside the social
environment pa rapeople withdisabilities become an important factor
insupportingthe confidence of people with disabilities.
Keywords: Disability; Agenda Setting; Instagram
Abstrak
Kata kunci: disabilitas; agenda setting; Instagram
Coresponden Author
Email: [email protected]
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Penggunaan
media baru seperti
smartphone semakin berkembang
pesat, pengguna smartphone
di Indonesia sekitar 100 juta
pengguna smartphone aktif
pada tahun 2018 menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan
populasi pengguna smartphone
terbesar keempat di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat
karena dengan smartphone,
manusia dapat mengakses semua informasi yang ingin diperoleh termasuk belanja online (Untari & Fajariana, 2018).
Bermunculannya
berbagai aplikasi media sosial ini menimbulkan
peluang bagi masyarakat dalam melakukan suatu usaha. Peluang terhadap media sosial tidak berhenti hanya pada usaha produk. Usaha jasa maupun pariwisata juga mulai menggunakan media sosial sebagai salah satu sarana untuk
menarik perhatian masyarakat untuk menggunakan atau mendatangi destinasi objek wisatanya. Pada umumnya objek wisata
menggunakan media sosial untuk menarik pengunjung
dan memberikan informasi-informasi
terkait dengan event-event
yang akan diadakan kepada masyarakat. Pemanfaatan social media dapat berimbas positif bagi pencitraan obyek atau destinasi
wisata (Indika & Jovita, 2017).
September
2018 muncul sebuah akun instagram yang mempunyai nama @lipstickuntukdifabel.
Akun Instagram tersebut mendadak populer di kalangan pengguna platform media
sosial Instagram, terutama kalangan penggemar kecantikan atau biasa disebut beauty enthusiast. Akun Instagram ini
ternyata dibuat oleh seorang beauty
enthusiast berusia 27 tahun yang memiliki akun Instagram bernama
@heylaninka dan kemudian berganti menjadi @laninka karena diretas dan kini akun
baru tersebut memiliki lebih dari 4000 pengikut. Selain memiliki akun Instagram
tersebut, Laninka ternyata juga seorang beauty vlogger yang memiliki
kanal YouTube bernama �The Wheelchair Girl� dan kini memiliki lebih dari 9.000
lebih subscribers. akun YouTube-nya
tersebut Laninka sering mengunggah tutorial
make up dan mendapat respon positif dari penontonnya. Tidak seperti beauty vlogger biasa, unggahan video
pada kanal YouTube the Wheelchair Girl merupakan tutorial make up dan video
log atau Vlog seorang wanita penyandang disabilitas.
Selain itu ada penelitian
lain yang menyatakan bahwa
media pemasaran online memberikan
dampak terhadap terbentuknya minat beli konsumen (Balakrishnan, Dahnil, & Yi, 2014).
Hasil survei terhadap konsumen Cherie menunjukkan bahwa minat beli
merupakan faktor yang
paling dominan dalam mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. Zaman modern
yang sedang berkembang ini, media sosial tidak hanya digunakan
sebagai media komunikasi, tetapi juga sebagai media promosi karena menawarkan banyak keuntungan (Rahadi & Abdillah, 2013).
(Siswanto, 2013) menuturkan bahwa media sosial menjadi media yang paling ampuh untuk dijadikan
media promosi, bahkan media
sosial juga digunakan sebagai alat pemasaran
yang interaktif, pelayanan,
dan membangun hubungan dengan pelanggan dan calon pelanggan. (Putri, 2016) meneliti mengenai hubungan iklan di media sosial dengan minat
beli, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
positif yang signifikan antara iklan di media sosial dengan minat
beli konsumen.
Pemilik
akun Instagram dan Youtube tersebut adalah Laninka Siamiyono, seorang wanita
muda penderita Rheumatoid Artritis. Rheumatoid Artritis sendiri adalah
sebuah gangguan inflamasi kronis yang mempengaruhi sendi. Rheumatoid arthritis
menyebabkan peradangan sendi akibat sistem kekebalan tubuh yang menyerang jaringannya
sendiri (Ningsih, Novita,
Fitriana, & Sahrir, 2019). Radang sendi ini menimbulkan keluhan bengkak dan nyeri
sendi, serta sendi terasa kaku. Akibat kelainan ini Laninka harus duduk di
kursi roda dan tanganya tidak berfungsi sebagaimana kebanyakan orang sejak berusia
15 tahun. Sejak saat itu, Laninka adalah penyandang tuna daksa.
Laninka
sempat mengalami putus asa dan keterpurukan selama 10 tahun hingga tak mau
keluar rumah. Ia sempat malu dengan keadaan dan penampilanya hingga tak mau
merawat diri dan tak peduli dengan penampilanya. Hingga suatu ketika, seorang
teman Laninka datang ke rumah dan memberikan Laninka sebuah eyeliner. Awalnya, Laninka masih belum
bisa menggunakan eyeliner tersebut.
Laninka menggunakan eyeliner pemberian temanya tersebut dengan cara dibantu
orang lain. Saat eyeliner terpasang
pada wajahnya, Laninka merasa memiliki kepuasan sendiri dalam hatinya saat
menggunakan benda tersebut. Lambat laun, Laninka belajar menggunakan eyeliner tersebut dan beberapa alat make up lainnya. Sejak saat itu Laninka
memiliki ketertarikan terhadap dunia kecantikan dan tata rias. Kepiawaianya
menggunakan make up meningkat seiring
dengan kepercayaan dirinya yang meningkat. Ia pun sudah mulai percaya diri dan
berani berinteraksi dengan dunia luar.
Kemampuan
Laninka dalam mengaplikasikan make up
ke wajahnya makin mumpuni. Hingga pada suatu saat ia memberanikan diri untuk
mengunggah video tutorial make up
pada akun Instagram-nya. Ternyata, unggahan tersebut mendapat respon positif
dari pengguna Instagram. Video tersebut menjadi viral hingga menarik perhatian
dari banyak beauty vlogger ternama
seperti Tasya Farasya, Astari Budi, Fathi Nurma, dan Abel Cantika yang kemudian
menyatakan kekagumanya pada Laninka serta memberi semangat dan juga membagikan
unggahan tersebut kepada pengikutnya yang lain di mana pengikutnya berjumlah
jutaan. Otomatis, unggahan ini menjadi sangat viral dan mendapat banyak
perhatian serta respon positif dari khalayak pengguna Instagram.
Viralnya
video ini tidak membuat Laninka tinggi hati. Ia justru berinisiatif untuk
membuat wanita penyandang disabilitas lain untuk ikut menemukan rasa percaya
dirinya. Laninka kemudian membuat gerakan 1000 lipstik untuk difabel pada akun
instagram-nya. Gerakan tersebut berjalan dengan cara menerima donasi lipstick
maupun uang yang nantinya juga akan dibelikan lipstick dari khalayak perngguna
instagram dalam kurun waktu satu bulan yang kemudian akan dibagikan kepada
penyandang difabel.
Ternyata
di luar dugaan, gerakan ini kemudian kembali menjadi viral dan mengundang perhatian
dari khalayak pengguna instagram termasuk yang kemudian ikut berpartisipasi
dalam gerakan 1000 lipstick untuk difabel. Banyak sekali donasi lipstick yang
datang dari pengikut Instagram dan penonton YouTube Laninka. Banyak khalayak
yang tidak hanya ikut mendonasikan lipstick dan uang namun juga ikut
mempromosikan gerakan ini. Lagi-lagi, gerakan ini mengundang perhatian para beauty
influencer hingga artis papan atas untuk ikut menyumbangkan Lipstik. Beauty Influencer seperti Astariri, Alma
Mestika, Fathin Nurma hingga selebgram seperti Rachel Vennya ikut menyumbang
lipstick pada Gerakan 1000 Lipstick untuk difabel. Tidak hanya kalangan
pengguna Instagram saja dan influencer
saja yang ikut mendukung sertam menyumbakan lipstick pada gerakan ini.
Beberapa merek Make Up ternama
seperti Wardah, Make Over hingga Maybelline juga turut berpartisipasi pada
gerakan ini. Maka dari itu, dalam waktu kurang dari seminggu Laninka dan team
Gerakan 1000 Lipstick untuk difabel sudah dapat jauh melampaui target dan mendapat
donasi lebih dari 3000 lipstick. Melihat antusiasme khalayak yang jauh di luar
dugaan ini, Laninka dan tim memutuskan untuk sementara menutup pembukaan donasi
dan berfokus membagikan Lipstick pada teman-teman wanita difabel.
Laninka
bersama team 1000 Lipstick untuk difabel kemudian berkeliling ke beberapa
Sekolah Luar Biasa (SLB) di sekitar Jakarta untuk membagikan lipstick
sekaligus memberikan motivasi kepada para wanita penyandang disabilitas.
Adapula beberapa event untuk
penyandang disablitas yang didatangi Laninka dan tim Lipstick untuk difabel
untuk memberi motivasi serta membagikan lipstick. Sedangkan untuk
menjangkau teman-teman wanita yang menyandang disabilitas di luar kota, Laninka
dan tim membuka pendaftaran untuk sukarelawan yang berkenan untuk membantu tim
1000 Lipstick untuk difabel membagikan lipstick pada wanita penyandang
disabilitas yang ada di luar Jakarta.
Karena
kisah yang sangat mengispirasi tersebut, Laninka diundang ke berbagai seminar
disabilitas maupun kewanitaan sebagai pembicara untuk memberikan motivasi bagi
para wanita penyandang disabilitas. Bahkan, beberapa kali juga Laninka diundang
ke acara Talkshow yang disiarkan pada
stasiun televisi nasional seperti Hitam Putih dan Kick Andy.
Sampai
sekarang team 1000 Lipstick untuk difabel masih menerima donasi berupa lipstick
atau uang yang nantinya akan dibelikan lipstick juga kemudian dibagikan
ke teman-teman wanita penyandang disabilitas pada event-event
disabilitas, Sekolah Luar Biasa maupun teman penyandang disabilitas yang menghubungi
team 1000 Lipstick untuk Difabel melalui direct massage pada akun
Instagram @lipstickuntukdifabel.
Penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa pencantuman kebutuhan dan asipirasi penyandang disabilitas disemua tahap manajemen
bencana, khususnya perencanaan dan kesiapsiagaan, secara signifikan dapat mengurangi kerentanan mereka dan meningkatkan efektivitas usaha tanggap darurat
dan recovery yang dilakukan pemerintah (Probosiwi, 2013).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian
kualitatif dengan menggunakan metodelogi studi literatur. Referensi didapat
dari berbagai sumber seperti jurnal ilmiah, buku, artikel, laporan penelitian,
objek dan situs internet yang mumpuni. Selain itu penelitian ini juga mengacu pada
teori agenda setting. Penekanan utama dari teori agenda setting adalah bahwa
isu-isu tersebut menitik beratkan pada berita yang hadir dan dianggap penting
oleh publik. Dengan kata lain, agenda media menerapkan agenda yang dimiliki
publik. Bertentangan dengan hukum konsekuensi minimal, ini merupakan pernyataan
tentang efek kausal yang kuat atas komunikasi massa yang terjadi secara publik,
yakni transfer atas sesuatu yang penting dari agenda media kepada agenda publik (McCombs
& Guo, 2014).
Teori
agenda setting secara spesifik berawal dari penjelasan atas implikasi media atas
perilaku dan tindakan politik selama tahun-tahun pemilu, yakni bagaimana media
pemeberiitaan mengungkap dan memprioritaskan isu tertentu, dan mengatur agenda
untuk publik. Media mungkin tidak
akan sukses mendikte cara berpikir masyarakat, namun media secara baik berhasil
memberitahu para pembacanya hal-hal apa saja yang harus menjadi perhatian
mereka (Littlejohn
& Foss, 2009).
Hasil
dan
Pembahasan
Tentu saja yang dipahami dalam keterkaitannya dengan
pembahasan ini adalah peran media massa dalam penyusunan agenda/acara/kegiatan
seseorang. Media pemberitaan adalah jendela yang dimiliki masyarakat terhadap dunia
yang berlangsung secara cepat dan merupakan pengalaman secara langsung, serta
menentukan pemetaan kognisi kita terhadap dunia. Opini publik, bukan merupakan
tanggapan kita terhadap lingkungan, melainkan terhadap pseudo-lingkungan, yakni
sebuah kontruksi yang dibentuk oleh media pemberitaan (McCombs &
Guo, 2014).
Secara
konseptual, kebutuhan individu untuk sebuah orientasi didefinsikan dalam dua
konsep, yakni: relevansi dan ketidakpastian, yang mana berperan dan berjalan
secara berangkai. Relevansi merupakan kondisi yang terdefinisikan oleh kondisi
atas kebutuhan akan sebuah orientasi. Kebanyakan dari kita merasakan ketidaknyamanan
psikologis dan butuh akan sebuah orientasi pada sejumlah situasi, lebih khusus pada
ranah urusan publik, sebab kita tidak dapat menerima situasi tersebut menjadi
hal yang relevan (McCombs &
Guo, 2014).
Analisis
atas data-data yang terkait dengan relevansi ini didasarkan pada tiga dimensi,
antara lain: 1) relevansi sosial: diukur berdasarkan skala irelevan/relevan dan
tidak penting/penting, 2) relevansi personal: penting bagi saya/tidak penting
bagi saya, menjadi perhatian saya/tidak menjadi perhatian saya, 3) relevansi emosional: membosankan/menarik, mengesankan/tidak
mengesankan (McCombs &
Guo, 2014).
Sebagian
besar pengaruh agenda setting merupakan produk jadi kebutuhan media untuk
berfokus pada topik-topik berita setiap harinya. Dan fokus ketat terhadap
isu-isu yang terkait media adalah pesan kuat kepada penonton tentang apa-apa
saja topik yang penting untuk saat ini. Agenda setting mengarahkan
atensi kita kepada tahapan formatif awal opini publik ketika isu terjadi dan
melibatkan atensi publik, yang mana merupakan situasi yang berkonfontrasi
dengan para jurnalis beserta tanggung jawab etis untuk memilih secara
berhati-hati isu yang ada pada sebuah agenda (McCombs &
Guo, 2014).
Kebutuhan
akan orientasi merupakan versi kognitif dari prinsip ilmiah �Alam Membenci
Sebuah Kevakuman�. Pada ranah urusan publik, kebutuhan individu akan orientasi
lebih mungkin terjadi dan mengakibatkan seorang individu untuk mengikuti agenda
dari media pemberitaan dengan kayanya informasi yang hadir. Konsep ini juga
mengidentifikasi isu-isu yang bergerak dari agenda media menuju agenda publik,
untuk disebutkan, isu-isu yang relevan dan tidak obstrusif. Jika isu yang tidak
mengganggu ini dapat berkelindan dengan publik, kebutuhan akan orientasi berada
pada tingkat sedang ataupun tinggi. Sebaliknya, isu-pada isu-isu yang
obstrusif, kebutuhan akan orientasi mungkin hanya akan memuaskan pengalaman
pribadi. Namun, beberapa pengalaman pribadi akan menciptakan kebutuhan lebih atas
informasi dan publik akan berpaling menuju media massa untuk orientasi tambahan
(McCombs &
Guo, 2014).
Kompetisi
intens di antara isu-isu untuk ditempatkan pada agenda merupakan aspek
penting pada proses ini. Pada beberapa momen, terdapat banyak isu yang
memerlukan atensi publik. Tidak ada satu
pun
masyarakat beserta institusinya yang dapat hadir pada beberapa isu pada satu
waktu bersamaan. Sumber-sumber atas perhatian ini terdapat pada media
pemberitaan, di antara publik, dan pada varian institusi publik. Salah datu
dari pandangan awal tentang agenda setting merupakan agenda publik yang
berukuran terbatas (McCombs &
Guo, 2014).
Tegangan
atas ukuran dari agenda publik ini dijelaskan oleh batas-batas sumber publik,
yang mana batas ini menyertakan baik kapasitas waktu dan psikologis. Batasan
atas kebanyakan ukuran agenda media menjadi lebih nyata, terbatasnya ruang pada
media dan terbatasnya waktu dari penyiaran sebuah berita. Hal ini juga terjadi
pada kasus situs internet, dengan kapasitasnya yang seolah tidak terbatas,
perhatian publik menyediakan waktu yang mengatasi ketegangan ini. Keseluruhan
tegangan pada agenda atas isu publik yang terjadi dalam masyarakat diringkas
pada gagasan dari proses agenda setting sebagai permainan zero-sum yang mana bangkit dari sebuah agenda dan meluas pada
isu-isu lainnya (McCombs
& Guo, 2014).
Masyarakat
terlibat pada proses belajar terus-menerus tentang urusan-urusan publik. Respon
mereka terhadap tentang isu apa yang paling penting merefleksikan pembelajaran
media pada beberapa waktu belakangan. Dampak agenda setting yang sering
menghasilkan proses ini dibentuk pada beberapa tingkatan dan dikarakteristikkan oleh pesan media dan karakteristik atas
penerimaan atas pesan-pesan tersebut. Komunikasi massal, termasuk juga
kebanyakan media sosial baru, merupakan proses yang mana terdapat pesan-pesan
redundan yang terdiseminasi. Berbagai karakteristik atas pesan-pesan tersebut memengaruhi
bagaimana orang-orang akan memerhatikan, setidaknya pada beberapa porsi atas
sebuah konten (McCombs
& Guo, 2014).
Aspek-aspek
baru atas teori agenda setting berkonsekuensi atas tindakan dan perilaku
masyarakat yang biasanya dikendalikan oleh kognisi, yakni apa yang orang
ketahui, pikirkan, dan percayai. Oleh karenanya, fungsi agenda setting
atas media massa bermiplikasi secara potensial pada pengaruh masif dengan
dimensi dan konsekuensi penuh yang harus diinvestigasi dan diapresiasi (McCombs
& Guo, 2014).
Efek
agenda seting dari komunikasi massa memiliki implikasi signifikan melampaui
gambaran yang tercipta pada pikiran masyarakat. Secara orisinil, domain
tradisional atas agenda setting, relevansi isu publik, terdapat bukti yang
menggeser relevansi atas isu-isu tersebut yang seringkali merupakan dasar dari
opini publik tentang keseluruhan wacana publik. Pada gilirannya, relavansi
urusan publik pada berita juga terkait dengan pegangan individu terhadap sebuah
opini. Pada tingkatan kedua, relevansi atas atribut afektif berkaitan dengan
gambaran kognisi publik atas representasi dan konvergensi dari sebuah perubahan
formasi agenda setting (McCombs
& Guo, 2014).
Agenda
publik memiliki dampak terhadap agenda media, penonton memperjelas posisinya
kepada media (melalui rating, studi, riset pasar, dan pola konsumsi)
mengenai apa yang mereka ingin saksikan dan baca, kemudian media tinggal
meresponnya. Dengan kata lain, media merupakan sesuatu yang digerakkan oleh
pasar dan dapat mengetahui hal apa yang menjual bagi penontonnya. Politisi dan
humas juga berperan dalam menyusun agenda media, sehingga agenda media tersebut
tidak terdapat kevakuman (Littlejohn
& Foss, 2009).
Media
bukan sekadar penyampai informasi dan opini, sekalipun media tidak mampu
mendikte pikiran publik, namun media berhasil memberitahu publik apa yang harus
menjadi perhatiannya. Oleh sebab itu, realitas menjadi terlihat berbeda bagi masing-masing orang,
bukan hanya tergantung dari ketertarikan personalnya, melainkan juga dari
pemetaan yang telah dituliskan untuk publik oleh penulis, editor, penerbit, dan
media yang dikonsumsi (Baran
& Davis, 2015).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat
dikemukakan bahwa agenda setting theory
membicarakan tentang peran besar media massa dalam menentukan agenda
orang-orang yang terkena informasi tersebut. Masyarakat menjadi terbiasakan
dengan berita-berita yang disampaikan media, sehingga menjadi bahan pembicaraan
dalam pergaulan sehari-hari. Berita atau informasi yang disampaikan media
tersebut bukan saja hanya sebagai ilmu atau pengetahuan bagi masyarakat, tetapi
bahkan bisa mengubah gaya hidup, perilaku, ataupun sikap masyarakat.
Hal
yang penting dari dampak dan konsekuensi agenda setting adalah priming, yakni perspektif yang
membimbing opini publik tentang urusan publik, yang mana merupakan konsekuensi
yang membawa dampak agenda setting dari media menuju inti dari arena
opini publik. Media membentuk agenda dari sebuah objek dan mengatirbusikannya
pada pikiran publik, dengan memberi atensi pada sebuah urusan dibandingkan
urusan yang lainnya. Keterkaitan antara dampak agenda setting yang
dihasilkan dari pentingnya sebuah isu atau elemen lainnya di antara publik, dan
ekspresi tentang urusan publik secara spesifik ini disebut sebagai priming. Dasar psikologis atas konsep
ini adalah perhatian selektif atas publik. Dengan kata lain, publik bergantung
pada objek agenda yang relevan dan mengatribusikannya pada pikiran, dan agenda
ini disusun oleh beberapa pertimbangan dan tingkatan sesuai kriteria yang
dirumuskan media massal, sehingga terbentuklah opini publik (McCombs
& Guo, 2014).
Agenda
setting beroperasi melalui proses priming,
dan oleh karenanya melalui perhatian yang repetitif, media membuat beberapa isu
menjadi fokus utama seseorang. Agenda setting terjadi karena media harus
selektif dalam melaporkan sebuah berita, serta bagaimana harus melaporkannya.
Yang publik ketahui tentang urusan sebuah negara, sebagian besar merupakan
produk dari apa yang dirumuskan oleh media. Tingkatan media setting
diidentifikasikan pada hal-hal berikut ini: penetapan isu umum yang penting
(objek agenda setting) dan kemudian memutuskan bagian atau aspek apa yang
dianggap menjadi penting (atribut agenda setting). Agenda setting
pun juga berfungsi dalam proses tiga bagian: agenda media, agenda publik, dan
agenda kebijakan (Littlejohn,
S. W., Foss, K. A., & Oetzel, 2017).
Priming merupakan gagasan yang didasari pada anggapan bahwa masyarakat tidak dapat memertimbangkan segala sesuatu
yang mereka ketahui ketika mengevaluasi isu-isu yang komplek. Masyarakat justru
tertarik pada hal-hal yang ringan untuk dipikirkan. Konsekuensinya, media
memutuskan apa yang baik sebagai keputusan dan pilihan bagi permasalahan yang
rumit. Ketika agenda setting berdampak pada peliputan isu tertentu, priming berfungsi untuk membuat sebuah
keputusan atas isu tersebut (Baran
& Davis, 2015).
Sekalipun
bukti menunjukkan bahwa generasi muda tidak mudah terekspos oleh media
tradisional sebagaimana generasi yang lebih tua, dan juga signifikansi internet
lebih dirasakan oleh generasi ini, terdapat juga dukungan kecil terhadap
gagasan intuitif bahwa diversitas media akan berujung pada agenda publik
bersama, sebagaimana kita mengetahuinya. Penggunaan media yang berbeda di
antara generasi muda sekilas tidak memengaruhi efek agenda setting sama
sekali (McCombs
& Guo, 2014).
Namun,
temuan ini tidak serta-merta menolak bahwa terdapat pengaruh kuat media (e.g. Koran, penyiaran, dan situs). Jika
ditinjau lebih luas, hal ini merupakan inti dari suara komunikasi yang
mendefinisikan fabrikasi sosial yang terjadi pada masyarakat. Implikasi besar
dari komunikasi dihasilkan dari proses terus-menerus atas keterlibatan
masyarakat sipil. Aspek penting dari keterlibatan masyarakat sipil adalah
jumlah besar dari kanal berita yang tersedia bagi publik. Pada tingkatan
individual, sejumlah masalah dapat disebutkan oleh responden ketika mendapat
pertanyaan tentang problem penting apa yang dihadapi oleh komunitas local dan
secara signifikasn berkaitan dengan jumlah suara media yang terdapat pada komunitas
tersebut (McCombs
& Guo, 2014).
Terdapat
konsep agendamelding dalam teori agenda
setting, yakni bagaimana orang-orang meminjam agenda dari beberapa media
yang berbeda untuk menciptakan dan menemukan sudut pandang dari sebuah
komunitas. Konsep ini melibatkan tiga elemen: 1) agenda setting media
vertikal (televisi, radio), 2) agenda setting media horizontal (majalah,
tabloid, dan situs), 3) preferensi personal (media sosial) (Littlejohn,
S. W., Foss, K. A., & Oetzel, 2017).
Fenomena
ini dapat ditinjau dengan menggunakan teori agenda setting, Berdasarkan
teori agenda setting, pemberitaan positif dan negatif media sosial
terhadap kampanye yang dilakukan oleh @laninka di Instagram memberikan opini
baru di mata publik. Sesuai dengan makna di dalam teori agenda setting
bahwa apapun yang dipublikasikan di media sosial dan media massa, maka dapat
memberikan informasi yang dianggap penting oleh publik. Sebaliknya juga apapun
yang tidak dipublikasi oleh media sosial maka juga tidak dianggap penting oleh
publik. Karena fungsi dari media sosial menurut teori ini adalah sebuah teori
yang dapat memberikan pandangan baru di publik atau memunculkan opini baru pada
publik.
Kampanye yang dilakukan @laninka dipublikasikan di platform
media sosial Instagram yang mana akhirnya memberikan opini baru atau pandangan
baru di masyarakat dengan cara kampanye lipstik untuk disabilitas yang
mana lipstick tersebut diperoleh dari pembukaan donasi beberapa tokoh influencer dan brand make up ternama di indonesia. Tujuan dari kampanye @laninka
yaitu untuk mengembalikan kepercayaan diri para penyandang disabilitas sehingga
juga dapat mematahkan stereotipe di masyarakat awam bahwa cantik tidak harus
sempurna.
kampanye yang dilakukan @laninka tersebut sejak
Sepetember 2018 hingga saat ini membawa pengaruh yang cukup besar. Tidak hanya
kampanye di sosial media saja, @laninka juga mempunyai kanal Youtube yang
berisi konten tentang make up tutorial
yang dapat memotivasi khalayak banyak. Sesuai dengan kampanye yang dilakukan
@laninka di instagram berikut lampiran aktivitas dari kampanye tersebut:
Gambar 1
Instagram
@laninka yang mengampanyekan lipstick untuk disabilitas
Pada gambar 1 ditampilkan profil Instagram penggagas dari
kampanye lipstick untuk disabilitas juga berisi tentang unggahan yang
bersangkutan dengan hal hal yang berhubungan dengan donasi.
����������������������������������������
Gambar
2
akun
Instagram @lipstickuntukdifabel
Pada gambar 2 ini,
owner @laninka membuat akun instagram dari kampanye yang dilakukannya itu
di instagram (@lipstickuntukdifabel), yang bertujuan untuk mengumpulkan volunteer dalam melaksanakan kampanye
yang dilakukannya tersebut. Secara tidak langsung kampanye ini membutuhkan dukungan
dari orang lain. Dengan kampanye yang dilakukan oleh pihak @laninka dan team memang memiliki tujuan untuk memberikan
motivasi dan semangat baru untuk para penyandang disabilitas di seluruh Indonesia
maupun di seluruh dunia melalui unggahannya di sosial media instagram dan Youtube.
Gambar 3
pembagian
lipstick di acara Social Movement Throught Art
(SEMESTA 2019), Bandung
Pada gambar 3 ini @laninka sebagai pencetus dari kampanye
lipstick untuk disabilitas melakukan aksi sosial untuk para teman-teman yang menyandang
disabilitas juga adalah bentuk saling mendukung dan memberi motivasi untuk
teman-teman disabilitas yang menggambarkan saling mendukung satu sama lain.
Komunikasi yang berhasil secara
efektif, informasi merupakan tanda yang dikonstitusikan secara konteks pada
perspesi dan konsepsi penerima pesan. Informasi harus dirumuskan sebagai objek
yang dapat dipahami dan mengandung pesan yang bermakna. Proses dekode dan
enkode menjadi penting ketika berhadapan dengan subjektivitas dan agensi yang
terlibat. Komunikasi, sekalipun hanya berjalan satu arah dan bertindak sebagai
penerima pesan, oleh karenanya merupakan tindakan yang aktif (Schandorf,
2019).
Pengumpulan
donasi lipstick untuk difabel ini juga mampu membentuk opini publik terhadap
orang-orang dengan disabilitas. Dalam rangka pembentukan opini publik, penting
untuk diingat bahwa beberapa teoritikus tidak memercayai kemampuan massa dalam
menerima dan mengolah informasi. Oleh karenanya, perubahan drastis sistem
dibutuhkan guna membantu khalayak luas dalam mengahadapi sebuah propaganda.
Publik sangat rentan terhadap propaganda, beberapa mekanisme dan agensi untuk
melindungi publik. kontrol terhadap media diperlukan untuk menempatkan siapa
saja yang tepat untuk menerima jenis informasi tertentu (Baran
& Davis, 2015).
Opini
publik berpijak pada pendirian masyarakat sebagai anggota kelompok sosial
mengenai suatu persoalan. Definisi ini dengan gamblang meyingkap aspek-aspek
apa saja yang secara positivistik dibuang dari konsep opini publik historis selama dekade-dekade perkembangan teoretis dan di atas semuanya, kemajuan metodologis empirisnya.
Mula-mula �publik� sebagai subjek opini publik disamakan dengan �massa�, lalu
dengan �kelompok�, kemudian dengan substratum sosial-psikologis bagi proses
komunikasi dan interaksi antara dua individu atau lebih. Kelompok
diabstraksikan dari serangkaian kondisi sosial dan historis, serta alat-alat
institusional, dan tentunya dari jaring-jaring fungsi sosial yang dulu pernah
jadi penentu strata masyarakat yang bergabung membentuk publik yang berdebat (Habermas, 2007).
Dampak
yang dapat ditimbulkan media dari proses agenda setting cukup beragam. Salah
satu dampak yang hadir dari proses agenda setting ini adalah munculnya sebuah
gerakan sosial. Melalui gerakan sosial ini, kelompok masyarakat bertindak
secara kolektif untuk melihat
sebuah solusi yang dapat diimplementasikan terhadap sebuah permasalahan sosial (Dearing, J. W.,
& Rogers, 1996).
Pengorganisasian
orang-orang dengan disabilitas dapat meningkatkan kesadaran masyarakat guna
menghilangkan stigma bahwa orang dengan disabilitas merupakan penghalang atau
lebih jauh lagi tindakan negatif yang berujung pada tercabutnya hak-hak orang
dengan disabilitas. Hanya dengan cara pengorganisasian ini, orang-orang dengan
disabilitas dapat merasa bangga terkait siapa diri mereka, dan dapat menerima
kekurangan diri sebagai hal yang harus diterima bukan untuk ditolak atau dihilangkan
(Campbell,
Oliver, & Oliver, 1996).
Memberdayakan
orang dengan disabilitas pada sebuah gerakan tentu memiliki dampak positif pada
perubahan sosial. Namun, upaya ini juga harus bisa lepas dari campur tangan
pasar untuk menciptakan citra bahwa sebuah brand
juga memerhatikan kondisi orang-orang dengan disabilitas. Di satu sisi
pasar memang memberdayakan orang dengan disabilitas dengan cara melibatkan
mereka pada berbagai hal, namun di sisi lain hal ini menjadi masalah karena
sistem pasar menciptakan bentuk instrumen kesetaraan baru: kemerdekaan untuk
diapropriasi oleh budaya konsumen. Isu-isu diversitas macam ini memang dapat
membangkitkan sensibilitas liberal, dengan membuat konsumen merasa telah
berbuat baik karena mengonsumsi komoditas yang diproduksi oleh perusahaan yang
peduli terhadap kondisi disabilitas
(Garland-Thomson, 2011).
Bila
ingin memadatkan dalam satu kalimat apa yang dinamakan ideologi budaya massa,
maka jargon �jadilah seperti apa yang kamu inginkan� akan selalu digaungkan dan
menjadi sebuah pemujaan terhadap reduplikasi dan justifikasi semua urusan yang
ada sembari mengabaikan semua transendensi dan kritisisme (Adorno,
2002).
Pemberdayaan
terhadap orang dengan disabilitas pada satu sisi dapat mempromosikan otonomi
dan determinasi diri, namun di sisi lain, secara implisit beberapa pemberdayaan
model ini berarti mengamini pondasi pasar bebas. Hal ini dikarenakan berarti
memosisikan orang dengan disabilitas sebagai konsumen yang menerima perlakuan
yang setara dari pasar. Kemampuan untuk mengakses pasar ini tentu akan berbeda
jika dihadapi oleh orang dengan disabilitas yang hidup pada kondisi kemiskinan.
Akses terhadap pasar dengan diikuti label pembebasan secara sosio-politis ini
hanya bisa dinikmati oleh orang yang memiliki keistimewaan, kemampuan, dan
kemauan untuk membeli (Russell
& Malhotra, 2002).
Memahami
disabilitas beroperasi pada kategori identitas dan konsep kultural berarti
memahami posisi disabilitas bukan kondisi natural atas inferioritas,
ketidakmampuan dan kesialan nasib.
Sebagaimana gender dan ras, disabilitas merupakan narasi dan fabrikasi kultural
tentang tubuh. Oposisi biner abilitas/disabilitas menciptakan subjek
berdasarkan pembedaan yang ditinjau dari segi tubuh, dan hal semacam ini lebih
bersifat ideologis ketimbang biologis. Parahnya, pandangan ini telah masuk
dalam formasi budaya dan lebih-lebih melegitimasi ketimpangan hak yang terjadi
pada masyarakat (Garland-Thomson,
2011).
Kebanyakan
orang yang hidup tanpa disabilitas mengaitkan sebuah kerusakan fungsi fisik
pada sebuah kondisi disabilitas, hal ini merupakan dampak dari medikalisasi
atas tubuh. Menjadi seorang yang hidup dengan disabilitas adalah berarti
menempuh pengalaman atas beberapa permasalahan tubuh dan/atau pikiran sehingga
membuat distingsi atas orang dengan disabilitas dan orang tanpa disabilitas.
Dengan memahami pengalaman ini, seseorang yang hidup dengan disabilitas akan
memaknai sebuah �alat bantu� bukan sekadar alat yang dapat menunjang fungsi tubuhnya,
melainkan sebagai entitas yang telah menubuh dan menjadi bagian dari tubuh
orang tersebut (Sheppard,
2020)
Perubahan
signifikan harus terjadi guna mendukung hajat hidup orang-orang dengan disabilitas.
Pemberdayaan secara kampanye media memang penting guna meningkatkan kesadaran
publik terkait kondisi yang dialami orang-orang dengan disabilitas. Namun,
tuntutan atas ketersediaan fasilitas umum yang sesuai dengan kondisi orang
dengan disabilitas semacam jalur kursi roda, pintu yang lebih lebar, dan lain
sebagainya juga harus ditingkatkan. Belum lagi jika berbicara tentang bangunan
atau fasilitas yang dimiliki secara pribadi (e.g. mal, klub, rumah ibadah, dsb), tentu belum meletakkan
prioritas atas ketersediaan fasilitas yang mendukung kondisi orang dengan
disabilitias (McNeese, 2014).
Pentingnya
gerakan yang membawa kepentingan orang dengan disabilitas bukan hanya penting
bagi orang-orang yang hidup dengan disabilitas. Semakin hari, siginfikansi
gerakan ini semakin besar, sebab gerakan yang membawa kepentingan orang dengan
disabilitas dapat menjadi pusat dari gerakan, dan ini bukan terkait legasi
macam apa yang akan ditinggalkannya, namun lebih kepada bentuk-bentuk relasi
sosial baru seperti apa yang dapat muncul dari proses kreasi gerakan ini (Campbell
et al., 1996).
Kesimpulan
Penelitian ini membahas bagaimana agenda setting media
memengaruhi opini publik. Kampanye lipstick untuk disabilitas digunakan
sebagai contoh bagaimana peranan media dalam memengaruhi opini publik di masyarakat.
Meski demikian, analisis dalam tulisan ini hanya didasarkan pada pengamatan
melaui instagram dari @laninka, bukan pada keketatan metodologi. Proses
demokratisasi media dan politik yang berlangsung pasca Orde Baru mestinya bisa
membuka area studi yang lebih luas dan menantang. Utamanya, jika
penelitian-penelitian tersebut diorientasikan untuk menguji atau mengembangkan
perspektif teoretik yang selama ini didiskusikan di ranah akademis. Studi-studi
dampak media yang selama ini masih menimbulkan silang pendapat kiranya bisa
menjadi bahan dasar pijakan bagi studi-studi lebih lanjut dengan mengambil
kasus-kasus yang terjadi dalam sistem dan komunikasi politik di Indonesia.
Studi tersebut juga bisa memasukkan fenomena yang terjadi dalam media
interaktif. Kampanye lipstick untuk disabilitas ini memperlihatkan bahwa
media interaktif mampu mendorong gerakan sosial yang lebih luas. Oleh karena
itu, dalam konteks opini dan kebijakan, kehadiran media interaktif bisa menjadi
bahan kajian lanjutan yang tak kalah menarik.
BIBLIOGRAFI
Adorno, Theodor W. (2002). Dialectic of enlightenment:
Philosophical fragments.
Balakrishnan, Bamini K. P. D., Dahnil, Mohd Irwan, & Yi,
Wong Jiunn. (2014). The impact of social media marketing medium toward purchase
intention and brand loyalty among generation Y. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 148, 177�185.
Baran, S., & Davis, K. (2015). Mass communication theory:
Foundations, ferment, and future Boston. MA: Wadsworth Cengage Learning.
Campbell, Jane, Oliver, Mike, & Oliver, Michael. (1996). Disability
politics: Understanding our past, changing our future. Psychology Press.
Dearing, J. W., & Rogers, E. M. (1996). Agenda-Setting.
California: Sage Publications.
Garland-Thomson, Rosemarie. (2011). Integrating disability,
transforming feminist theory. NWSA Journal, 1�32.
Habermas, Jurgen. (2007). Ruang Publik: Sebuah Kajian tentang
Kategorisasi Masyarkat Borjuis, Yudi Santoso (penerjemah). Bantul: Kreasi
Wacana Bantul. Hal, 44�66.
Indika, Deru R., & Jovita, Cindy. (2017). Media sosial
instagram sebagai sarana promosi untuk meningkatkan minat beli konsumen. Jurnal
Bisnis Terapan, 1(01), 25�32.
Littlejohn, S. W., Foss, K. A., & Oetzel, J. G. (2017). Theories
of Human Communication (11 ed.). Long grove: Waveland Press.
Littlejohn, Stephen W., & Foss, Karen A. (2009). Encyclopedia
of communication theory (Vol. 1). Sage.
McCombs, Maxwell E., & Guo, Lei. (2014). Agenda-setting
influence of the media in the public sphere. The Handbook of Media and Mass
Communication Theory, 251�268.
McNeese, Tim. (2014). Disability rights movement. Abdo.
Ningsih, Yunita Sofia, Novita, Novita, Fitriana, Alfina N.,
& Sahrir, Dede Cahyati. (2019). Pengaruh Bee Venom Acupuncture (Bva)
Terhadap Penyakit Neuropatik Dan Autoimun. Prosiding SNPS (Seminar Nasional
Pendidikan Sains), 35�39.
Probosiwi, Ratih. (2013). Keterlibatan Penyandang Disabilitas
dalam Penanggulangan Benca. Jurnal Dialog Dan Penanggulangan Bencana, 4(2),
77�86.
Putri, Citra Sugianto. (2016). Pengaruh media sosial terhadap
keputusan pembelian konsumen cherie melalui minat beli. Jurnal Manajemen Dan
Start-Up Bisnis, 1(5), 594�603.
Rahadi, Dedi Rianto, & Abdillah, Leon Andretti. (2013).
The utilization of social networking as promotion media (Case study: Handicraft
business in Palembang). ArXiv Preprint ArXiv:1312.3532.
Russell, M., & Malhotra, R. (2002). Disability and
capitalism. Socialist Register, 211�228.
Schandorf, Michael. (2019). Communication as Gesture:
Media (tion), Meaning, & Movement. Emerald Group Publishing.
Sheppard, A. (2020). So. Not. Broken. In A. Wong (Ed.),
Disability Visibility: Twenty-First Century Disabled Voice (p. 146). New York:
Vintage Books.
Siswanto, Tito. (2013). Optimalisasi sosial media sebagai media
pemasaran usaha kecil menengah. Liquidity, 2(1), 80�86.
Untari, Dewi, & Fajariana, Dewi Endah. (2018). Strategi
Pemasaran Melalui Media Sosial Instagram (Studi Deskriptif Pada Akun@
Subur_Batik). Widya Cipta: Jurnal Sekretari Dan Manajemen, 2(2),
271�278.