How to cite:
Muhamad Ridel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak (2024) Efektivitas Kontrak Sebagai
Instrumen Perlindungan Hukum Bagi Penyedia Jasa Dan Pengguna Jasa, (6) I0
E-ISSN:
2684-883X
EFEKTIVITAS KONTRAK SEBAGAI INSTRUMEN PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI PENYEDIA JASA DAN PENGGUNA JASA
Muhamad Ridel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
Universitas Kristen Indonesia, Indonesia
Abstrak
Tujuan yang hendak di capai, maka tujuan dalam penelitian didasarkan pada rumusan
masalah, yakni untuk Mengetahui kontrak yang dapat digunakan dalam memberikan
perlindungan hukum bagi penyedia jasa dan pengguna jasa. Mengetahui efektivitas
kontrak sebagai instrumen perlindungan hukum bagi para penyedia jasa dan pengguna
jasa. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif, Penelitian ini
menggunakan dua pendekatan sekaligus, yakni pendekatan perundang-undangan (statue
aproach) dan pendekatan kasus (case approach) yang digunakan pada suatu pendekatan
dalam penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-
norma atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Perlindungan
hukum bagi penyedia jasa dan pengguna jasa perbaikan kapal melalui penggunaan
kontak terdapat dalam asas konsensualisme berupa hak dan kewajiban bagi penyedia
jasa dan pengguna jasa. Sedangkan bentuk perlindungan hukum berdasarkan asas
kebebasan berkontrak berupa pemberian ruang bagi para pihak untuk menyesuaikan
kesepakatan.
Kata kunci: Instrumen Perlindungan Hukum, Penyedia Jasa, Penyedia Jasa
Abstract
The goal to be achieved, the purpose of the research is based on the formulation of the
problem, namely to find out the contracts that can be used in providing legal protection
for service providers and service users. Knowing the effectiveness of contracts as an
instrument of legal protection for service providers and service users. This research is
categorized as normative legal research, this research uses two approaches at once,
namely the legislative approach (statue aproach) and the case approach (case
approach) which is used in an approach in normative juridical research which aims to
study the application of norms or legal rules carried out in legal practice. Legal
protection for service providers and users of ship repair services through the use of
contact is contained in the principle of consensualism in the form of rights and
obligations for service providers and service users. Meanwhile, the form of legal
protection based on the principle of freedom of contract is in the form of providing
space for the parties to adjust the agreement.
Keywords: Legal Protection Instruments, Service Providers, Service Providers
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Efektivitas Kontrak Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Bagi Penyedia Jasa Dan
Pengguna Jasa
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6609
PENDAHULUAN
Suatu perjanjian akan memiliki keabsahan dalam hukum jika selaras dengan sifat
perjanjian dan tidak bertentangan dengan kesusilaan, serta tidak melanggar isi dari
peraturan perundang-undangan. Perjanjian merupakan peristiwa antar pihak yang
berjanji dengan pihak lain untuk melaksanakan perbuatan tertentu (Setiawan, 2021).
Senada dengan Prodjodikoro, bahwa perjanjian dipandang sebagai hubungan hukum
antar dua pihak yang berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal
atau tidak melakukan sesuatu hal dengan memberikan kesempatan pada pihak lain
menuntut pelaksanaan janji itu (Muhtarom, 2014).
Fenomena yang terjadi dalam praktik, bahwa istilah perjanjian (atau dikenal
dengan kontrak) memiliki pemahaman dan istilah yang berbeda, sehingga menimbulkan
kerancuan dalam suatu perjanjian (Hernoko, 2010). Kontrak adalah kesepakatan antara
penyedia jasa dan pengguna jasa yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak
(Nevianti et al., 2024). Sedangkan prinsip dalam suatu perjanjian merupakan
kesepakatan (agreement). Para pihak hanya mengacu pada asas kebebasan berkontrak,
yang tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata (Wijaya & Purwanto, 2015), sehingga
para pihak dalam kontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan
bagaimanapun bentuknya.
Dalam asas kebebasan berkontrak yang didasarkan Pasal 1338 KUH Perdata,
tetapi jarang yang menyadari bahwa dalam pasal tersebut sesungguhnya juga terdapat
prinsip-prinsip lain yang tidak kalah pentingnya, antara lain asas konsensualisme.
Kandungan prinsip yang sangat banyak dalam Pasal 1338 KUH Perdata tidak
selamanya dihadirkan dalam bentuk yang dapat dipahami, tetapi kebanyakan
tersembunyi dalam penafsiran kata yang terangkai sebagai narasi sebuah ketentuan.
Oleh sebab itu untuk mengetahui dan memahaminya perlu digali dengan menggunakan
logika dan pemahaman yang lebih teliti. Hukum kontrak merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris, yaitu contract of law (Salim, 2021). Bunyi Pasal 1338 KUH Perdata
tersebut terdapat banyak dari asas hukum kontrak yang strategis, dan salah satunya
adalah asas konsensualisme. Dikarenakan sedemikian banyak asas yang ada di dalam
ketentuan tersebut, kesemuanya saling berjalin membentuk pilar-pilar dasar sebagai
fondasi yang diharapkan bisa saling bersinergi saat dibentuknya sebuah kontrak
sehingga dapat dihasilkan harapan fairness dalam berkontrak yang menguntungkan
semua pihak. Selain tu, kontrak yang dibuat merupakan bagian dari perlindungan
hukum yang bertujuan untuk memberikan kepastian, keamanan, dan keseimbangan
hukum antara penyedia jasa dan pengguna jasa.
Bentuk perlindungan hukum bagi penyedia jasa dalam kontrak dengan pengguna
jasa di industri perbaikan kapal adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berkaitan
dengan kontrak atau perjanjian.
Salah satu tantangan yang umum dihadapi oleh penyedia jasa perbaikan kapal
adalah meskipun kontrak jelas menyebutkan bahwa yang disediakan adalah barang
baru, ternyata banyak konsumen (pengguna jasa) yang malah meminta barang bekas.
Muhamad Ridel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6610 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Hal ini menimbulkan tantangan bagi penyedia jasa perbaikan sehingga perlindungan
hukum yang memadai diperlukan untuk memastikan bahwa penyedia jasa dapat
memenuhi permintaan pelanggan tanpa melanggar ketentuan kontrak sambil tetap
menjaga kejelasan dan kepercayaan dalam transaksi sebagaimana dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal
4 huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
pengguna jasa atau konsumen “berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya”. Prinsip dalam suatu perjanjian merupakan
kesepakatan (agreement) dari para pihak yang mengacu pada asas kebebasan berkontrak
pada Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”, sehingga para pihak
dalam kontrak bebas (penyedia dan pengguna jasa) untuk membuat perjanjian, apapun
isi dan bagaimanapun bentuknya.
Dari permasalahan di atas, implementasi kontrak sering kali tidak berjalan sesuai
dengan instrumen hukum yang telah disepakati. Selama perjalanan kontrak, berbagai
perubahan oleh pengguna jasa mengaburkan kesepakatan awal atau tidak adanya
keselarasan antara perjanjian tertulis dan praktik di lapangan. Peristiwa tersebut dikenal
dengan istilah detrimental reliance atau promissory estoppel, yang merujuk pada
kerusakan kepercayaan sehingga mengakibatkan kerugian tidak wajar pada salah satu
pihak (Siviglia, 1997). Jika sebuah perjanjian dibuat, maka akan tercipta suatu ikatan
hukum antara para pihak yang terlibat. Contoh dari hal ini dapat dilihat dalam Pasal
1457 KUH Perdata, yang menjelaskan bahwa perjanjian merupakan kesepakatan di
mana satu pihak berkomitmen untuk menyerahkan barang, sementara pihak lainnya
berjanji untuk membayar sejumlah uang tertentu. Apabila komitmen kedua pihak ini
disetujui, terutama yang berhubungan dengan barang dan harga, maka terbentuklah
ikatan hukum di antara mereka. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1233 KUH Perdata,
yang menyebutkan bahwa perjanjian akan memunculkan ikatan hukum, sehingga para
pihak terikat untuk memenuhi janji yang telah dibuat. Jika salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya, maka itu dianggap sebagai wanprestasi. Agar penelitian ini
dapat mencapai tujuan yang hendak di capai, maka tujuan dalam penelitian didasarkan
pada rumusan masalah, yakni untuk Mengetahui kontrak yang dapat digunakan dalam
memberikan perlindungan hukum bagi penyedia jasa dan pengguna jasa. Mengetahui
efektivitas kontrak sebagai instrumen perlindungan hukum bagi para penyedia jasa dan
pengguna jasa.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif, yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
(Soekanto, 2007)
disebut juga penelitian doktrinal, dimana hukum seringkali
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in
books) atau dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
Efektivitas Kontrak Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Bagi Penyedia Jasa Dan
Pengguna Jasa
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6611
berperilaku manusia yang dianggap pantas
(Asikin, 2017). Selain itu, penelitian hukum
normatif juga dapat dikatakan sebagai suatu proses untuk menemukan suatu aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008). Penelitian ini menggunakan dua
pendekatan sekaligus, yakni pendekatan perundang-undangan (statue aproach) dan
pendekatan kasus (case approach) yang digunakan pada suatu pendekatan dalam
penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma
atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum (Ali, 2021)
Semua data-data dan informasi yang telah dikumpulkan baik melalui studi
kepustakaan dianalisis secara kualitatif guna menarik kesimpulan atas pokok
permasalahan yang diajukan dengan cara menggunakan metode deskriptif analitis.
Penelitian kualitatif merupakan tahap penelitian yang melampaui berbagai tahapan
berfikir kritis ilmiah, dimana penelitian dilakukan secara induktif, yaitu mengungkap
berbagai fakta atau fenomena-fenomena yang diperoleh dari pengamatan di lapangan,
lalu menganalisisnya. Selanjutnya berupaya melakukan teorisasi berdasarkan
pengamatan tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Efektivitas Kontrak Bagi Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa Perbaikan Kapal
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau
sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer mendefinisikan
efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan (Astuti et
al., 2022). Menurut Pasolong, efektivitas pada dasarnya berasal dari kata “efek” dan
digunakan istilah ini sebagai hubungan sebab akibat (Pasolong, 2019). Efektivitas
berarti bahwa tujuan yang telah direncanakan sebelumnya dapat tercapai atau dengan
kata sasaran tercapai karena adanya proses kegiatan.
Pada dasarnya, efektivitas mengacu pada tingkat pencapaian hasil yang diinginkan
dan sering dikaitkan dengan konsep "tepat guna," meskipun kedua istilah tersebut
memiliki perbedaan. Efektivitas lebih berfokus pada hasil akhir yang dicapai. Hal yang
sama juga disampaikan oleh Supriyono (Manurung, 2012) yang menyatakan bahwa
efektivitas adalah hubungan antara keluaran dari suatu pusat tanggung jawab dengan
target yang harus dicapai. Semakin besar kontribusi keluaran dalam mencapai tujuan,
semakin efektif bagian tersebut. Jadi, efektivitas mencakup tindakan yang menghasilkan
dampak atau efek yang diinginkan, dengan penekanan pada hasil akhir atau dampak
dalam pencapaian tujuan.
Berdasarkan pendapat para ahli, efektivitas merupakan konsep yang bersifat
multidimensional, yang artinya pemahaman tentang efektivitas dapat berbeda-beda
tergantung pada disiplin ilmu yang digunakan, meskipun tujuan akhirnya tetap pada
pencapaian hasil. Kata "efektif" sering kali disamakan dengan "efisien" atau "tepat
guna," meskipun keduanya memiliki perbedaan. Sesuatu yang dilakukan secara efisien
belum tentu menghasilkan hasil yang efektif.
Muhamad Ridel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6612 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Dalam konteks hukum, efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto bahwa
efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum
dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum
mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga
menjadi perilaku hukum (Mawaddah & Haris, 2022). Pendapat tersebut dapat
diinterpretasikan bahwa efektivitas dalam konteks hukum adalah aktivitas yang
menunjukkan perbandingan antara teori hukum (law in theory) dan penerapannya di
lapangan (law in action). Dengan kata lain, efektivitas dapat diukur dengan
membandingkan hukum atau peraturan yang ada dengan praktik yang terjadi dalam
realitas di lapangan.
Dari berbagai pemahaman mengenai efektifitas tersebut di atas, efektivitas hukum
berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa
masyarakat untuk taat terhadap hukum. Hukum dapat efektif jika faktor-faktor yang
mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Suatu hukum
atau peraturan perundang-undangan akan efektif apabila warga masyarakat berperilaku
sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh Peraturan Perundang-Undangan
tersebut mencapai tujuan yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan
perundang-undangan tersebut telah dicapai. Ukuran efektif atau tidaknya suatu
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku.
Berkaitan dengan jasa perbaikan kapal, industri perbaikan kapal adalah sektor
yang memerlukan kejelasan dan kepastian dalam hubungan antara penyedia jasa dan
pengguna jasa. Kegiatan ini melibatkan pengerjaan yang kompleks, mulai dari
perbaikan struktur kapal, mesin, hingga perawatan suku cadang. Agar proses perbaikan
kapal berjalan lancar, efektif, dan sesuai dengan ekspektasi, kontrak yang jelas dan
efektif sangatlah penting. Kontrak yang efektif dalam industri perbaikan kapal adalah
kontrak yang mampu mengatur secara rinci setiap aspek perjanjian antara penyedia dan
pengguna jasa. Secara normatif.
Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang masalah penelitian,
permasalahan (kasus) seputar kontrak antara penyedia jasa dan pengguna jasa perbaikan
perkapalan dapat diidentifikasi penulis, diantaranya adalah:
Keterlambatan Pembayaran oleh Pengguna Jasa Perbaikan Kapal
Dalam dunia jasa perbaikan kapal, sering kali penyedia jasa menghadapi masalah
yang cukup merugikan, yaitu keterlambatan pembayaran dan bahkan ada juga
konsumen (pengguna jasa perbaikan) yang tidak melakukan pembayaran sama sekali.
Padahal, setelah pekerjaan perbaikan kapal selesai dilakukan, penyedia jasa seharusnya
segera menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan yang telah tercantum dalam
kontrak.
Kenyataan lain yang dihadapi penyedia jasa perbaikan kapal adalah pengguna jasa
cenderung menunda-nunda pembayaran. Meskipun pekerjaan telah selesai sesuai
standar yang disepakati, mereka sering kali mencari alasan untuk menunda kewajiban
Efektivitas Kontrak Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Bagi Penyedia Jasa Dan
Pengguna Jasa
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6613
tersebut, seperti mengklaim adanya ketidakpuasan terhadap hasil kerja, masalah internal
keuangan, atau hal-hal lain yang tidak tercantum dalam kontrak awal.
Kondisi di atas tentunya sangat merugikan pihak penyedia jasa. Penyedia jasa
telah mengeluarkan biaya operasional perbaikan kapal yang tidak sedikit, termasuk
untuk pembelian suku cadang (sparepart), biaya tenaga kerja, serta waktu dan tenaga
yang telah diinvestasikan dalam perbaikan kapal. Ketika pembayaran ditunda-tunda,
beban finansial semakin besar karena penyedia jasa harus tetap menanggung biaya
tersebut, sementara pemasukan dari pekerjaan yang telah selesai belum diterima. Selain
itu, ketidakpastian pembayaran juga dapat memengaruhi operasional bisnis penyedia
jasa perbaikan kapal. Penyedia jasa harus menunda proyek lainnya karena modal yang
terpakai belum kembali. Situasi ini bisa menyebabkan kerugian jangka panjang,
termasuk hilangnya kepercayaan antara pihak penyedia jasa dan klien lainnya.
Komplain Atas Sparepart yang Menyebabkan Kerugian Materi Bagi Penyedia Jasa
Perbaikan Kapal
Dalam industri perbaikan kapal, salah satu situasi yang sering terjadi adalah ketika
pengguna jasa mengeluhkan kondisi suku cadang (sparepart) yang dikirim dan dipasang
oleh penyedia jasa perbaikan kapal. Meskipun suku cadang tersebut adalah barang baru
dan asli dari pabrik, pengguna jasa terkadang merasa tidak puas karena bentuk atau
tampilannya tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Akibatnya, pengguna jasa meminta
suku cadang tersebut diganti dengan yang baru, meskipun dari pihak penyedia jasa
perbaikan kapal sudah mengirimkan sesuai dengan spesifikasi yang dipesan.
Masalah di atas kerap menimbulkan kerugian bagi penyedia jasa perbaikan kapal.
Ketika pengguna jasa meminta penggantian, penyedia jasa terpaksa membeli suku
cadang baru lagi dari pabrik, walaupun barang yang dikirim sebelumnya sudah sesuai
dengan standar pabrik. Hal ini dilakukan demi menjaga hubungan baik dengan
konsumen dan mencegah potensi konflik. Namun, pada kenyataannya, barang pengganti
yang baru pun bentuknya tetap sama, karena memang produk dari pabrik tersebut dibuat
dengan standar tertentu yang tidak bisa diubah sesuai keinginan pengguna jasa
perbaikan kapal.
Secara finansial, situasi tersebut sangat merugikan penyedia jasa perbaikan kapal.
Penyedia jasa tidak hanya mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli suku cadang
yang baru, tetapi juga harus menanggung ongkos pengiriman serta biaya tenaga kerja
tambahan untuk memasang suku cadang baru tersebut. Padahal, masalah yang
dikeluhkan sebenarnya bukan karena kesalahan dari pihak penyedia jasa, melainkan
karena ekspektasi konsumen yang tidak sejalan dengan kondisi barang yang diproduksi
oleh pabrik.
Selain dari aspek finansial, waktu penyedia jasa yang terbuang untuk menangani
komplain dan penggantian sparepart juga mengganggu jadwal pekerjaan lainnya.
Penyedia jasa terpaksa harus menunda proyek-proyek lain yang sedang berjalan demi
menyelesaikan permasalahan ini. Jika masalah ini terjadi secara berulang-ulang,
Muhamad Ridel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6614 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
penyedia jasa perbaikan kapal bisa mengalami kerugian besar yang berpengaruh pada
stabilitas finansial dan operasional bisnis mereka.
Penyedia jasa telah mencoba memberikan penjelasan yang lebih detail kepada
pengguna jasa mengenai spesifikasi suku cadang yang akan dikirimkan, termasuk
penampilan fisik, kualitas, dan fungsinya. Namun, tetap saja ada risiko komplain dari
pengguna jasa yang mengharapkan sesuatu yang berbeda dari kenyataan yang ada. Pada
akhirnya, penyedia jasa sering kali harus memilih antara menjaga hubungan baik
dengan konsumen atau menanggung kerugian materi yang signifikan akibat penggantian
sparepart yang sebenarnya tidak perlu.
Permintaan Pengguna Jasa Perbaikan Kapal yang Tidak Sesuai Dengan Kontrak
Meskipun kontrak secara tegas menyebutkan bahwa barang yang disediakan untuk
perbaikan kapal haruslah barang baru, pada kenyataannya, banyak pengguna jasa
perbaikan kapal yang justru meminta barang bekas. Fenomena ini tidak jarang terjadi,
terutama di industri perbaikan kapal yang memiliki berbagai pertimbangan teknis dan
ekonomis. Para pengguna jasa sering kali merasa bahwa barang bekas, terutama suku
cadang, masih layak pakai dan lebih ekonomis. Hal ini menimbulkan tantangan bagi
penyedia jasa perbaikan kapal yang sudah terikat dengan ketentuan kontrak.
Industri perbaikan kapal, yang melibatkan perawatan, penggantian suku cadang,
dan peningkatan kinerja kapal, sangat bergantung pada kesepakatan kontraktual yang
mengatur kualitas barang dan jasa yang disediakan. Ketika kontrak menyebutkan bahwa
barang yang harus digunakan adalah barang baru, penyedia jasa wajib mematuhi
ketentuan tersebut. Ini bukan hanya masalah mematuhi hukum, tetapi juga berkaitan
dengan kualitas dan keamanan kapal. Barang baru dianggap lebih dapat diandalkan
karena memiliki masa pakai yang lebih panjang dan risiko kegagalan yang lebih rendah
dibandingkan barang bekas.
Dari sudut pandang pengguna jasa, ada beberapa alasan mengapa mereka justru
meminta barang bekas. Salah satu alasan utamanya adalah faktor ekonomi. Barang
bekas, terutama di industri perkapalan, biasanya jauh lebih murah daripada barang baru.
Dalam beberapa kasus, pengguna jasa merasa bahwa barang bekas sudah cukup
memadai untuk kebutuhan operasional kapal mereka, terutama jika kapal tersebut tidak
digunakan untuk kegiatan yang terlalu berat atau kritis. Selain itu, beberapa komponen
kapal bekas mungkin lebih mudah ditemukan di pasar karena barang baru terkadang
memerlukan waktu lebih lama untuk diproduksi atau diimpor.
Situasi di atas menciptakan tantangan bagi penyedia jasa perbaikan kapal. Mereka
harus menyeimbangkan antara keinginan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dengan
kewajiban mematuhi kontrak yang telah disepakati. Jika penyedia jasa mengikuti
permintaan pengguna jasa untuk menggunakan barang bekas, meskipun bertentangan
dengan kontrak, mereka berisiko dianggap melanggar perjanjian. Hal ini bisa berujung
pada perselisihan hukum di kemudian hari, terutama jika barang bekas yang digunakan
menimbulkan masalah teknis pada kapal.
Efektivitas Kontrak Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Bagi Penyedia Jasa Dan
Pengguna Jasa
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6615
Dari berbagai fenomena kasus antara penyedia jasa dengan pengguna jasa
perbaikan kapal di atas, untuk melihat efektifitas kontrak antara penyedia jasa dan
pengguna jasa perbaikan perkapalan sebagai istrumen perlindungan hukum berdasarkan
Pasal 1338 yang memuat sejumlah asas hukum yang terdiri dari asas konsensualisme,
asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat (pacta sun servanda), dan asas
itikad baik dapat diuraikan penulis sebagai berikut:
Efektivitas Kontrak Bagi Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa Perbaikan Kapal
Berdasarkan Asas Konsensualisme
Efektivitas kontrak dalam industri perbaikan kapal berdasarkan asas
konsensualisme terletak pada kekuatan kesepakatan yang dicapai oleh para pihak.
Ketika kedua belah pihak menyepakati segala hal yang terkait dengan perjanjian,
kontrak tersebut menjadi sah dan mengikat.
Efektivitas Kontrak Bagi Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa Perbaikan Kapal
Berdasarkan Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam dunia bisnis, khususnya pada sektor perbaikan kapal, hubungan hukum
antara penyedia jasa dan pengguna jasa memainkan peran penting dalam menentukan
efisiensi, kualitas, serta kelancaran dari seluruh proses perbaikan. Untuk menjaga
keseimbangan hak dan kewajiban di antara kedua pihak, kontrak menjadi instrumen
hukum yang sentral. Dalam konteks ini, asas kebebasan berkontrak menjadi landasan
utama yang mengatur bagaimana penyedia jasa dan pengguna jasa dapat menyepakati
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Dari uraian efektivitas kontrak berdasarkan asas kebebasan berkontrak di atas,
maka kontrak antara penyedia jasa dengan pengguna jasa perbaikan kapal dapat
dikategorikan tidak efektif karena adanya potensi penyalahgunaan. Hal tersebut dilihat
dari kasus keterlambatan pembayaran oleh pengguna jasa perbaikan kapal dan
permintaan pengguna jasa perbaikan kapal yang tidak sesuai dengan kontrak.
Dari aspek potensi penyalahgunaan berupa keterlambatan pembayaran oleh
pengguna jasa perbaikan kapal. Dimana, terjadi keterlambatan pembayaran dan bahkan
ada juga pengguna jasa perbaikan yang tidak melakukan pembayaran sama sekali.
Padahal, sesuai kesepakatan yang telah tercantum dalam kontrak, harusnya penyedia
jasa segera menerima pembayaran setelah pekerjaan perbaikan kapal selesai dilakukan.
Kemudian dari aspek potensi penyalahgunaan berupa permintaan pengguna jasa
perbaikan kapal yang tidak sesuai dengan kontrak. Dimana, pengguna jasa justru
meminta barang bekas karena alasan teknis dan ekonomis, sehingga tidak sesuai dengan
ketentuan kontrak yang mengharuskan perbaikan kapal menggunakan sparepart baru.
Efektivitas Kontrak Bagi Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa Perbaikan Kapal
Berdasarkan Asas Kekuatan Mengikat
Dalam dunia perniagaan maritim, kontrak memainkan peran penting dalam
menjamin kejelasan hubungan antara penyedia jasa perbaikan kapal dan pengguna jasa.
Muhamad Ridel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6616 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Kedua pihak perlu memastikan bahwa hak dan kewajiban masing-masing diatur dengan
jelas dan efektif melalui kontrak tertulis. Salah satu prinsip utama yang mendasari
efektivitas kontrak adalah asas kekuatan mengikat. Asas ini memastikan bahwa kontrak
yang telah disepakati oleh para pihak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan
dengan demikian harus dihormati dan dilaksanakan dengan itikad baik.
Efektivitas Kontrak Bagi Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa Perbaikan Kapal
Berdasarkan Asas Itikad Baik
Dalam dunia bisnis, terutama pada sektor perbaikan kapal, kontrak menjadi
landasan penting untuk mengatur hubungan hukum antara penyedia jasa dan pengguna
jasa. Agar kontrak berjalan efektif dan menciptakan manfaat optimal bagi kedua belah
pihak, asas itikad baik memainkan peran sentral. Asas ini menekankan bahwa kontrak
harus dilakukan dengan niat yang tulus, kejujuran, dan saling menghormati hak serta
kewajiban masing-masing pihak. Dalam konteks perbaikan kapal, asas itikad baik tidak
hanya penting dalam proses penyusunan kontrak, tetapi juga dalam pelaksanaannya.
Dari uraian efektivitas kontrak berdasarkan asas itikad baik di atas, maka kontrak
antara penyedia jasa dengan pengguna jasa perbaikan kapal dapat dikategorikan tidak
efektif karena adanya unsur perbedaan pemahaman tentang itikad baik. Dimana adanya
komplain atas sparepart yang menyebabkan kerugian materi bagi penyedia jasa
perbaikan kapal. Meskipun suku cadang tersebut adalah barang baru dan asli dari
pabrik, pengguna jasa terkadang merasa tidak puas karena bentuk atau tampilannya
tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Akibatnya, pengguna jasa meminta suku cadang
tersebut diganti dengan yang baru, meskipun dari pihak penyedia jasa perbaikan kapal
sudah mengirimkan sesuai dengan spesifikasi yang dipesan.
Padahal dengan adanya asas itikad baik, dapat dijadikan landasan penting dalam
memastikan efektivitas kontrak perbaikan kapal. Dengan itikad baik, penyedia jasa dan
pengguna jasa dapat membangun hubungan yang saling menguntungkan, transparan,
dan adil. Dalam setiap tahap kontraktual, mulai dari negosiasi, penyusunan, hingga
pelaksanaan kontrak, kedua belah pihak harus berkomitmen untuk bersikap jujur,
terbuka, dan bertanggung jawab. Namun, penerapan itikad baik tidak selalu mudah,
mengingat adanya potensi perbedaan interpretasi dan tantangan yang muncul selama
pelaksanaan kontrak.
Kendala Dalam Implementasi Kontrak Jasa Perbaikan Kapal
Dalam menjalankan usaha perbaikan di industri perkapalan, penyedia jasa perlu
memperhatikan perlindungan hukum dalam setiap kontrak yang dibuat dengan
pengguna jasa. Dengan adanya perlindungan hukum yang memadai, penyedia jasa dapat
menjaga hubungan yang baik dengan pengguna jasa, meningkatkan kepercayaan, dan
meminimalkan risiko kerugian dalam bisnisnya. Sehingga, penyedia jasa dapat terus
berkembang dan memberikan pelayanan terbaik kepada pengguna jasa dalam perbaikan
perkapalan. Menurut penulis, dari ketiga kasus di atas terdapat kendala terkait
Efektivitas Kontrak Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Bagi Penyedia Jasa Dan
Pengguna Jasa
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6617
implementasi kontrak untuk mencapai efektivitas kontrak di sektor jasa perbaikan kapal,
diantaranya adalah:
Spesifikasi pekerjaan
Salah satu aspek paling penting dalam kontrak perbaikan kapal adalah spesifikasi
pekerjaan yang harus dilakukan. Spesifikasi ini mencakup jenis perbaikan yang
diperlukan, suku cadang yang akan diganti atau diperbaiki, serta standar kualitas yang
harus dipenuhi. Penjelasan yang detail mengenai pekerjaan yang harus dilakukan
membantu memastikan bahwa penyedia jasa dan pengguna jasa memiliki pemahaman
yang sama mengenai cakupan layanan yang akan diberikan.
Keterlambatan dalam proses pembayaran juga merupakan masalah umum yang
sering dihadapi dalam jasa perbaikan kapal. Sering kali penyedia jasa menghadapi
masalah yang cukup merugikan, yaitu keterlambatan pembayaran dan bahkan ada juga
konsumen (pengguna jasa perbaikan) yang tidak melakukan pembayaran sama sekali.
Padahal, setelah pekerjaan perbaikan kapal selesai dilakukan, penyedia jasa seharusnya
segera menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan yang telah tercantum dalam
kontrak. Selain itu, kenyataan lain yang dihadapi penyedia jasa perbaikan kapal adalah
pengguna jasa cenderung menunda-nunda pembayaran.
Dari berbagai uraian di atas, analisis penulis berdasarkan perspektif hukum
perjanjian, yang diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan yakni Pasal 1313
KUHPerdata, menyebutkan bahwa perjanjian sebagai “suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Artinya,
secara ideal perjanjian antara penyedia jasa dengan pengguna jasa perbaikan kapal
adalah komitmen hukum yang dibuat oleh para pihak untuk memenuhi hal-hal yang
telah disepakati. Namun dalam implementasinya, kontrak jasa perbaikan kapal terdapat
kasus berupa keterlambatan pembayaran, komplain atas sparepart dan permintaan yang
tidak sesuai dengan kontrak sehingga perjanjian atau kontrak antara penyedia jasa dan
pengguna jasa tidak efektif karena adanya wanprestasi dari salah satu pihak yakni
pengguna jasa pebaikan kapal.
Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi tersebut diatur
dalam pasal 1266 KUHPerdata yang mengatur mengenai perikatan bersyarat. Hal ini
karena pembatalan perjanjian akibat kelalaian atau wanprestasi terjadi dalam perjanjian
yang mengandung syarat batal dimana menurut undang-undang dicantumkan dalam
setiap perjanjian. Salah satu syarat adanya pembatalan akibat wanprestasi dalam Pasal
1266 KUHPerdata adalah “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-
perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”.
Perjanjian atau kontrak yang dibuat atas persetujuan kedua belah pihak harus
memenuhi empat syarat, yaitu kata sepakat kedua belah pihak, kecakapan untuk
membuat perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Di dalam hal ini
penyimpangan yang dimaksud adalah tidak terpenuhinya suatu prestasi sesuai isi
perjanjian sehingga dapat disebut wanprestasi. Dalam perjanjian yang dibuat dari para
Muhamad Ridel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6618 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
pihak memperlihatkan kesempurnaannya, namun dalam praktiknya tidak dimungkinkan
bahwa adanya oleh cacat (cedera) dalam perjanjian tersebut.
Kekeliruan atau kekhilafan
Di dalam Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan bahwa “tiada sepakat yang sah
apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan
paksaan atau penipuan.” Pasal ini menerangkan tentang faktor yang dapat menyebabkan
cacat kehendak. Apabila kesepakatan mengandung aspek sebagaimana dimaksud Pasal
1321 KUH Perdata maka akibat hukumnya dapat dibatalkan.
Jika melihat dari ketentuan Pasal 1322 KUH Perdata bahwa “Kekhilafan tidak
mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai
hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan
kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya
seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu
diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan.” Namun, jika keliru atau khilaf
itu mengenai fakta seperti pokok perjanjian atau hakikat barang yang sifatnya cukup
berat, kekeliruan mengenai identitas pokok perjanjian dapat mengakibatkan perjanjian
itu batal. Maka hal tersebut, termasuk syarat obyektif yang diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata. Jika kekeliruan atau kekhilafan itu semata-mata mengenai sifat atau nilai
pokok perjanjian, tidaklah cukup dijadikan alasan batal perjanjian.
Penulis menemukan dan menyimpulkan bahwa kekeliruan atau kekhilafan yang
sifatnya cukup berat, dapat mengakibatkan perjanjian itu batal. Artinya pokok perjanjian
atau hakikat barang tidak sesuai dengan yang dikehendaki dan harga yang dibayar.
Dalam hal perjanjian batal, atau jika ada kesediaan penjual menukarnya dengan yang
dimaksud. Yang belakangan ini mutunya rendah dan harganya pun murah sehingga
wajar dan patut untuk diganti.
Perbuatan curang atau penipuan
Menurut Pasal 1328 KUH Perdata bahwa “Penipuan merupakan suatu alasan
untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak
adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan
perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira,
melainkan harus dibuktikan.”
Berdasarkan pasal tersebut, bahwa pembatalan kontrak atau suatu perjanjian
disyaratkan adanya tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak ketika mengadakan
suatu perjanjian. Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk
memberikan perizinannya. Penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan
Dengan demikian, penulis menemukan bahwa suatu perbuatan curang atau
penipuan dapat dirumuskan sebagai pernyataan tentang fakta yang dibuat oleh satu
pihak dalam perjanjian terhadap pihak lainnya sebelum perjanjian itu terjadi, dengan
maksud untuk membujuk pihak lainnya supaya menyetujui pernyataan itu. Pernyataan
Efektivitas Kontrak Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Bagi Penyedia Jasa Dan
Pengguna Jasa
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6619
itu harus sudah dimaksudkan untuk dilakukan terhadap dan sebenarnya harus membujuk
pihak lainnya untuk membuat perjanjian, sedangkan pernyataan itu tidak benar atau
palsu.
Paksaan
Salah satu syarat batalnya kontrak atau perjanjian menurut Pasal 1323, yakni
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan
mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan
oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.”
Artinya paksaan itu terjadi apabila pihak yang diminta untuk membuat perjanjian
dipaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Perjanjian itu tidak dibuat secara bebas, karena itu perjanjian yang demikian dapat
dibatalkan menurut kehendak pihak yang diminta dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan itu. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1324 KUH Perdata yang berbunyi
“Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat
menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya,
atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam mempertimbangkan
hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang
bersangkutan.” Artinya bahwa paksaan yang dimaksud dalam Pasal 1324 KUH Perdata
adalah keadaan di mana seseorang melakukan perbuatan karena takut dengan ancaman,
baik diancam dengan paksaan fisik, maupun dengan cara-cara seperti misalnya akan
dibocorkan rahasianya. Ancaman harus suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang. Jika yang diancamkan itu suatu perbuatan yang memang diizinkan undang-
undang, misalnya ancaman akan digugat ke muka hakim dengan penyitaan barang,
maka hal ini tidak dapat dikatakan suatu paksaan.
Penulis menemukan bahwa dalam perjanjian yang batal akibat dari paksaan, tidak
saja dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian. Paksaan itu tidak
saja dapat dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian, tetapi juga dapat dilakukan
oleh pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak dibuat. Paksaan ini
merupakan alasan untuk membatalkan perjanjian. Dimana dalam Pasal 1325 KUH
Perdata disebutkan “Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila
dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila
dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke
bawah.”
Ketidakcakapan (lack of capacity)
Dalam ketentuan umum mengenai perikatan yang diatur dalam Pasal 1329 KUH
Perdata menyatakan bahwa “tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali
jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.” Perjanjian. Bahwa untuk menentukan
orang yang tidak cakap membuat perjanjian itu berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata
adalah orang yang belum dewasa adalah orang yang belum mencapai umur 21 tahun
(Pasal 330 KUH Perdata), orang yang ditaruh di bawah pengampuan (Pasal 433 KUH
Muhamad Ridel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6620 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Perdata), dan perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-
undang (Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 5 September
1963).
Dari keterangan diatas, bahwa akibat daripada ketidakcakapan yang diatur dalam
Pasal 1331 KUH Perdata dimana hak menuntut pembatalan perjanjian yang dilakukan
yang tidak cakap, Pasal 1446 KUH Perdata dimana perjanjian yang diadakan oleh
mereka yang tidak cakap mengadakan perjanjian dapat dibatalkan, dan 1456 KUH
Perdata dimana mereka yang tidak cakap mengadakan perjanjian dapat menguatkan
perjanjian setelah mereka cakap.
Selanjutnya dalam Pasal 1338 KUHPerdata merupakan pesan tersembunyi dari
pembentuk undang-undang kepada masyarakat yang banyak kali membuat perjanjian
dalam hidup kesehariannya, agar saat membuat sebuah kontrak, hendaknya
memberdayakan segenap asas yang ada secara berimbang. Sebab apabila hanya
menonjolkan salah satu prinsip saja, dapat dipastikan prinsip lain akan kehilangan
peran, dan akan melahirkan kontrak yang tidak seimbang. Namun, dalam
menyinergikan segenap asas yang terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata
memerlukan ketelitian dan usaha yang keras untuk memberikan peran pada segenap
prinsip secara proporsional saat sebuah kontrak dibangun. Merupakan tugas mulia bagi
para pihak supaya bisnis yang dikemas dengan bingkai kontrak itu dapat berhasil sesuai
rencana, tanpa perlu mencederai mitranya.
Dari narasi harfiah Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata antara lain dinyatakan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah, mempunyai kekuatan mengikat sama dengan
undang-undang bagi para pihaknya. Kata perjanjian yang dibuat secara sah,
menyiratkan asas konsensualisme, dan hal ini baru dapat dimengerti bila sesegera
mungkin menghadirkan Pasal 1320 KUH Perdata sebagai tolak ukurnya. Ketika para
pihak memutuskan untuk sepakat dengan dibentuknya suatu perjanjian, maka pada saat
itu munculnya itikad baik. Hal ini juga dijadikan acuan saat bernegosiasi agar masing-
masing dapat memperoleh keuntungan kejujuran secara proporsional tanpa
mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak. Sebab dengan adanya sepakat atau
konsensus itulah akan melahirkan perjanjian atau kontrak yang kemudian memunculkan
perikatan di antara mereka sesuai Pasal 1233 KUH Perdata yang berbunyi “Perikatan,
lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”.
Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337
KUHPer, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, mengenai suatu hal
tertentu, dan sebab yang halal. Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat
subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan
perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu
(Hariri et al., 2022). Dalam kontrak atau perjanjian selalu dipergunakan untuk perbuatan
tertentu (seperti kegiatan bisnis). Penyusunan perjanjian ini melalui klausula demi
klausula, yang didasarkan atas kesepakatan bersama agar perencanaan oleh para pihak
dapat terwujud dalam pelaksanaan pemenuhan perjanjian pada langkah berikutnya
Efektivitas Kontrak Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Bagi Penyedia Jasa Dan
Pengguna Jasa
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6621
(INDONESIA, 2012). Oleh sebab itu, tahap pra kontrak yang didahului dengan
negosiasi antar para pihak, memegang peran kunci agar kesepakatan atau konsensus
dapat tercapai secara sempurna.
Adapun diketahui bahwa apabila salah satu syarat subyektif atau obyektif tidak
terpenuhi maka akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum dari tidak
terpenuhinya syarat-syarat subyektif adalah dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak
dapat mengajukan pada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya,
tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan, perjanjian tersebut tetap dianggap
sah (Hariri et al., 2022). Sedangkan akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat-syarat
obyektif, adalah batal demi hukum. Artinya, dari semula perjanjian tersebut dianggap
tidak ada. Terkait dengan tidak terpenuhinya syarat subyektif yang berakibat hukum
dapat dibatalkan sehingga salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan perjanjian
kepada pengadilan atau melalui hakim, menjadi sangat krusial apabila syarat tersebut
tidak diindahkan.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata memaparkan syarat-syarat keabsahan kontrak,
dimana salah satu tolak ukurnya adalah sepakat. Syarat sepakat itulah sebenarnya
merupakan perwujudan konkrit abstraksi dari asas konsensualisme. Syarat sepakat demi
lahirnya sebuah kontrak, sesungguhnya berlandas utama pada konsep asas
konsensualisme (Siviglia, 1997). Dengan adanya konsensus atau sepakat dari para
pihak, maka lahirlah sebuah perjanjian atau kontrak yang sah di samping syarat lain
juga wajib dipenuhi. Hanya saja apa arti sepakat, KUH Perdata sendiri tak pemah
memberikan penjelasan runtut yang tegas.
Pengkajian perihal kata sepakat yang bertumpu pada penawaran (offerte) dan
akseptasi (acceptatie), perlu dipahami. Esensi makna sepakat adalah kehendak yang
dinyatakan oleh para pihak yang saling bertemu dan cocok untuk menutup sebuah
kontrak. Para pihak yang dimaksud, bahwa ada sesuatu pihak yang menyatakan
kehendaknya untuk melakukan penawaran (aanbood/offerte/offer) pihak ini juga dikenal
dengan istilah offeror, dan ada pihak lain yang menyatakan kehendaknya untuk
melakukan penerimaan (aanvaarding/ acceptntie/acceptance) acap kali pihak ini
disebut offeree. Apabila kedua pernyataan kehendak itu bertemu dan cocok, maka
terbentuklah sepakat, berarti para pihak tersebut melakukan perbuatan hukum berupa
perbuatan menutup kontrak yang selanjutnya lahirlah perjanjian sehingga mereka
menjadi saling terikat (vide Pasal 1233 KUH Perdata). Dengan adanya akseptasi atas
penawaran, terjadilah sepakat, hingga akhirnya lahir perjanjian yang mengakibatkan
para pihak menjadi saling terikat karenanya.
Makna penawaran merupakan pernyataan kehendak yang pada dasarnya
mengandung unsur esensialia perjanjian. Sebuah penawaran adalah ungkapan kesediaan
untuk membuat kontrak dengan syarat-syarat yang ditentukan tanpa negosiasi lebih
lanjut, sehingga yang dibutuhkan hanya penerimaan untuk bentuk perjanjian yang
mengikat). Sebagai contoh dalam jasa perbaikan kapal, salah satu unsur esensialianya
adalah benda dan harga (lihat Pasal 1457 KUH Perdata). Apabila sesuatu pihak
melakukan penawaran yang isinya menyangkut benda tertentu untuk dijadikan obyek
Muhamad Ridel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6622 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
transaksi dengan memastikan sejumlah harga, kemudian secara personal pihak lain
menerimanya, berarti telah terjadi sepakat, maka lahirlah perjanjian.
Dalam konteks jasa perbaikan kapal, apabila kehendak saling mengikatkan diri itu
disepakati, dan tentunya berpokok pada benda dan harga, maka terbitlah perikatan
diantara para pihak yang bersangkutan. Perihal ini terdapat pada Pasal 1233 KUH
Perdata, sebab dengan lahirnya perjanjian maka akan muncul perikatan, sehingga para
pihak itu menjadi saling terikat untuk memenuhi janji yang diikrarkan. Bila pada tahap
ini ada yang ingkar, otomatis itu tergolong sebagai wanprestasi.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan penelitian pada bab-bab di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut Perlindungan hukum bagi penyedia jasa dan pengguna jasa
perbaikan kapal melalui penggunaan kontak terdapat dalam asas konsensualisme berupa
hak dan kewajiban bagi penyedia jasa dan pengguna jasa. Sedangkan bentuk
perlindungan hukum berdasarkan asas kebebasan berkontrak berupa pemberian ruang
bagi para pihak untuk menyesuaikan kesepakatan. Selain itu, bentuk perlindungan
hukum dalam asas kekuatan mengikat (pacta sun servanda) berupa pemberian jaminan
bahwa perjanjian yang mereka buat akan dihormati oleh kedua belah pihak, dan jika ada
pelanggaran terhadap perjanjian tersebut, hukum memberikan mekanisme untuk
menyelesaikannya. Kemudian bentuk perlindungan hukum berdasarkan asas itikad baik
berupa jaminan atas tindakan yang tidak adil dan memastikan bahwa setiap perjanjian
dilaksanakan dengan integritas, keterbukaan, dan kejujuran. Kontrak sebagai instrumen
perlindungan hukum bagi penyedia jasa dan pengguna jasa perbaikan kapal berdasarkan
hukum perjanjian dapat disimpulkan bahwa implementasi kontrak jasa perbaikan kapal
antara penyedia jasa dan pengguna jasa dikategorikan tidak efektif karena adanya
wanprestasi dari salah satu pihak yakni pengguna jasa pebaikan kapal. Hal tesebut
didasarkan pada berbagai aspek, yakni keterlambatan pembayaran oleh pengguna jasa
perbaikan kapal, komplain atas sparepart yang menyebabkan kerugian materi bagi
penyedia jasa perbaikan kapal, dan permintaan pengguna jasa perbaikan kapal yang
tidak sesuai dengan kontrak. Salah satu kendala implementasi kontrak untuk mencapai
efektivitas kontrak di sektor jasa perbaikan kapal adalah spesifikasi perkejaan yang
kurang jelas dan terperinci, penggunaan material yang tidak sesuai dengan spesifikasi,
serta perubahan spesifikasi selama proses perbaikan, serta keterlambatan dalam proses
pembayaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Z. (2021). Metode penelitian hukum. Sinar Grafika.
Asikin, A. dan H. Z. (2017). Pengantar Metode Penelitian Hukum. tt.
Astuti, V. S., Rahmadi, A. N., & Sandy, D. (2022). Efektivitas E-Government Siap
Pemkot Probolinggo dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai Kantor Kecamatan
Wonoasih. Journal of Innovation Research and Knowledge, 1(12), 15851590.
Hariri, W. M., Mahbub, M., & Sulastri, D. (2022). Tindak Pidana Kekerasan Seksual
dalam Perspektif Etiologi Kriminal. Jurnal Hukum Media Justitia Nusantara,
Efektivitas Kontrak Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Bagi Penyedia Jasa Dan
Pengguna Jasa
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6623
12(2), 8798.
Hernoko, A. Y. (2010). Hukum perjanjian asas proporsionalitas dalam kontrak
komersial. Kencana.
Indonesia, D. O. (2012). Indonesia, D. O. Perjanjian Perdagangan Bebas Dalam Era
Liberalisasi Perdagangan: Studi Mengenai Asean-China Free Trade Agreement
(Acfta) Yang.Indonesia, D. O. Perjanjian Perdagangan Bebas Dalam Era
Liberalisasi Perdagangan: Studi Mengenai Asean-China Fre.
Manurung, D. T. H. (2012). Pengaruh Desentralisasi Fiskal, Akuntabilitas Dan Sistem
Pengendalian Manajemen Terhadap Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota
Palangkaraya. Jurnal Ilmiah Akuntansi Dan Humanika, 2(1).
Mawaddah, F. H., & Haris, A. (2022). Implementasi layanan peradilan bagi penyandang
disabilitas perspektif teori efektivitas hukum Soerjono Soekanto. Sakina: Journal
of Family Studies, 6(2).
Muhtarom, M. (2014). Asas-asas hukum perjanjian: Suatu landasan dalam pembuatan
kontrak.
Nevianti, N. D., Marniati, F. S., & Ismail, I. (2024). Kepastian Hukum Kontrak Kerja
Konstruksi terkait Wanprestasi Penyedia Jasa dalam Menyerahkan Bangunan
Tidak Tepat Waktukepada Pengguna Jasa. CENDEKIA: Jurnal Penelitian Dan
Pengkajian Ilmiah, 1(9), 609625.
Pasolong, H. (2019). Teori administrasi publik. Penerbit Alfabeta.
Peter Mahmud Marzuki. (2008). Penelitian Hukum, Cet 2,. Kencana.
Salim, H. S. (2021). Hukum kontrak: Teori dan teknik penyusunan kontrak. Sinar
Grafika.
Setiawan, I. K. O. (2021). Hukum perikatan. Bumi Aksara.
Siviglia, P. (1997). Commercial agreements: a lawyer’s guide to drafting and
negotiating. (No Title).
Soekanto, S. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.
Wijaya, N. A. P., & Purwanto, I. W. N. (2015). Surrogate Mother Menurut Hukum Di
Inonesia. Kertha Semaya, 3(1).
Copyright holder:
Muhamad Ridel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: